• Tidak ada hasil yang ditemukan

PUSAT TERAPI BERMAIN ANAK DENGAN PENDEKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PUSAT TERAPI BERMAIN ANAK DENGAN PENDEKA"

Copied!
222
0
0

Teks penuh

(1)

ENVIRONTMENT

Oleh:

Septina A.

I.0206100

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...

i

HALAMAN PENGESAHAN ...

ii

MOTTO DAN PERUNTUKKAN ...

iii

KATA PENGANTAR ...

iv

DAFTAR ISI ...

vi

DAFTAR GAMBAR ...

xi

DAFTAR

TABEL ...

xiv

BAB I PENDAHULUAN ...

I-1

A. Penjelasan Judul ...

I-1

B. Latar Belakang...

I-2

C. Permasalahan Dan Persoalan ...

I-7

D. Tujuan Dan Sasaran ...

I-8

E. Metoda Perancangan Arsitektur ...

I-9

F. Sistematika Penulisan ...

I-14

BAB II TINJAUAN ...

II-1

A. Terapi Bermain ...

II-1

1. Karakteristik Dunia Anak ...

II-1

2. Perkembangan Anak ...

II-8

3. Terapi

bermain

...

II-9

a. Metode terapi bermain ...

II-10

b. Anak berkebutuhan khusus ...

II-12

B. Lingkungan Sebagai Proses Penyembuhan ...

II-30

1. Lingkungan

Fisik

...

II-31

a. Lingkungan fisik yang tetap ...

II-31

b. Lingkungan fisik semi tetap ...

II-37

2. Lingkungan Psikososial (Non Fisik) ... II-38

C. Tinjauan Empiris

... II-40

(3)

commit to user

Therapy

...

II-45

3.

Tootie Kidz Center

...

I-48

4. Pelatihan

Outbound

...

II-49

a.

Outbound

di bukit ...

II-50

b.

Outbound

di pantai ...

II-52

5. Konsultan Psikologi, Pusat Terapi Anak, Taman Latihan & Pendidikan

Anak Kebutuhan Khusus Biro Psikologi Pradnyagama ...

II-54

BAB III TINJAUAN KOTA SURAKARTA ...

III-1

A. Perkembangan Kota Surakarta ...

III-1

B. Kependudukan dan Kesehatan Anak ...

III-3

1. Kependudukan

...

III-3

2. Kesehatan

Anak

...

III-4

3. Fasilitas Kesehatan Anak di Surakarta ...

III-6

C. Rencana Umum Tata Ruang Kota ...

III-9

1. Perencanaan Umum Tata Ruang Kota ...

III-9

2. Rencana Struktur Tata Guna Tanah ... III-10

D. Lokasi Pusat Terapi Bermain ... III-11

BAB IV PUSAT TERAPI BERMAIN ANAK YANG DIRENCANAKAN ...

IV-1

(4)

commit to user

BAB V ANALISIS PENDEKATAN KONSEP PERENCANAAN DAN

PERANCANGAN ...

V-1

A. Analisis Pemilihan Site ...

V-1

1. Tujuan ...

V-1

2. Dasar Pertimbangan ...

V-1

3. Proses

...

V-1

B. Analisis Program Ruang ...

V-8

1. Analisis Kebutuhan Ruang ...

V-8

2. Organisasi

Ruang

...

V-11

a. Organisasi

Ruang

Makro

...

V-11

b. Organisasi Ruang Mikro ... V-12

3. Analisis Pendekatan Jumlah Pelaku Dan Besaran Ruang ... V-20

a. Analisis Pendekatan Jumlah Pelaku Kegiatan ...

V-19

b. Analisis Pendekatan Besaran Ruang ... V-22

c. Perhitungan Besaran Ruang ...

V-23

C. Analisis Tata Site ... V-37

1. Analisis

Pencapaian

...

V-37

2. Analisis

Sirkulasi

...

V-40

3. Analisis

View

dan Orientasi ... V-42

4. Analisis

Noise

(Kebisingan) ... V-44

5. Analisis

Klimatologi

...

V-46

D. Analisis Tampilan Bangunan ... V-49

1. Tata Masa ... V-49

2. Gubahan Masa ...

V-53

3. Penataan Ruang Dalam ... V-57

4. Penataan Ruang Luar ... V-59

5. Struktur dan Material Bangunan ... V-66

a. Material Struktur ...

V-66

b. Material

Finishing

... V-70

E. Analisis Sistem Utilitas ...

V-72

1. Kenyamanan

...

V-72

2. Keamanan dan Keselamatan ... V-75

(5)

commit to user

a. Air Bersih ... V-81

b. Air

Limbah

...

V-82

c. Listrik

...

V-86

d. Komunikasi

...

V-87

BAB VI KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ...

VI-1

A. Site Terpilih ...

VI-1

B. Konsep Program Ruang ... VI-3

1. Jumlah Pelaku Kegiatan ...

VI-3

2. Besaran

Ruang

...

VI-3

C. Konsep Tata Site ...

VI-9

1. Konsep

Pencapaian

...

VI-9

2. Konsep

Sirkulasi

...

VI-10

3. Konsep View dan Orientasi ... VI-11

4. Konsep

Noise

(Kebisingan ... VI-11

5. Konsep

Klimatologi

...

VI-12

6. Zonifikasi

Hasil

...

VI-14

D. Konsep Tampilan Bangunan ... VI-16

1. Konsep Tata Massa ... VI-16

2. Konsep Gubahan Masa ... VI-17

3. Konsep Pembentukan Ruang Dalam ... VI-18

a. Warna

...

VI-18

b. Unsur Alam sebagai Terapi ... VI-19

4. Konsep Pembentukan Ruang Luar ... VI-20

a. Pemilihan Jenis Pohon ... VI-20

b. Perkerasan

Lansekap

...

VI-20

c. Pengkondisian Udara Sejuk Pada Lansekap ... VI-20

5. Konsep Struktur dan Material Bangunan ... VI-22

a. Material

Struktur

... VI-22

b. Material

Finishing

...

VI-23

E. Konsep Utilitas ... VI-24

(6)

commit to user

(7)

commit to user

(8)

commit to user

(9)

commit to user

(10)

commit to user

DAFTAR TABEL

(11)

commit to user

(12)

commit to user

Septina Artyastuti I02016100

BAB I

PENDAHULUAN

A. PENJELASAN JUDUL

Terapi Bermain

Terapi bermain adalah hubungan interpersonal

yang dinamis antara anak dengan terapis yang

terlatih dalam prosedur terapi bermain yang

menyediakan materi permainan yang dipilih dan

memfasilitasi perkembangan suatu hubungan

yang aman bagi anak untuk secara penuh

dapat mengekspresikan dan eksplorasi diri

anak (perasaan, pikiran, pengalaman, dan

perilaku) melalui media bermain.

1

Pusat

Pokok pangkal atau yang menjadi pumpunan

(berbagai-bagai urusan, hal, dan sebagainya).

2

Tempat yang dijadikan sentra sebuah kegiatan.

Dalam hal ini yang dimaksud adalah pusat

kegiatan terapi bermain.

Healing Environment

Lingkungan fisik dan pengorganisasian budaya

yang mendukung pasien dan keluarga dari

tekanan akibat penyakit maupun dalam proses

penyembuhan.

3

      

1

 

Landreth, Garry L, 2001. Innovations In Play Therapy: Issue, Process, and Special

Populations. United State of America: Brunner-Ruodledge.

2

 

www.KamusBahasaIndonesia.org 3

 

www.wikipedia.com

(13)

commit to user

dengan pendekatan

Healing Environment

adalah sebuah wadah

penyembuhan gangguan psikologis yang menerapkan metode terapi

bermain sebagai metode terapi dengan mengkondisikan lingkungan

sebagai yang mendukung proses penyembuhan pasien. Pasien yang

dimaksud sebagai sasaran adalah anak-anak berkebutuhan khusus yang

telah dikelompokkan oleh Landreth (2001)

.

B. LATAR BELAKANG

Setiap anak terlahir dengan kondisi yang berbeda-beda baik fisik

maupun psikologisnya. Beberapa anak terlahir normal dengan kondisi

fisik dan psikologis yang baik. Namun, ada pula anak yang terlahir kurang

beruntung dengan kondisi fisik dan atau kondisi psikologis yang kurang

baik. Anak dengan kelainan kondisi fisik atau sering disebut cacat

bawaan antara lain cacat penglihatan (tuna netra), cacat tubuh (tuna

daksa), cacat pendengaran dan atau bisu (tuna rungu dan atau tuna

wicara). Sedangkan kelainan psikologis atau penyakit mental pada anak

dikelompokkan dalam populasi khusus menurut Landreth (2001) yaitu

anak-anak agresive, anak-anak autis, anak-anak yang mengidap penyakit

kronis, anak-anak traumatik, anak-anak yang mengalami kesulitan

berbicara.

(14)

commit to user

Septina Artyastuti_I0206100

 

 

diberikan. Mereka cenderung asyik menikmati dan memiliki dunia mereka

sendiri, walaupun terkadang mereka bisa mengalami

trantum

yaitu suatu

keadaan dimana mereka sulit dikendalikan (emosi yang labil).

Penyakit kronis merupakan penyakit yang berlangsung sangat

lama dan menyebabkan kematian pada penderitanya. Anak-anak yang

mengidap penyakit kronis seperti kanker, kelainan pada jantung, asma,

dan lain-lain juga memiliki gangguan psikologis. Mereka harus mengalami

berbagai tekanan psikologis, seperti pengobatan ketat yang harus sesuai

prosedur, tekanan yang berasal dari keluarga (segi

financial)

, dan

ketidakyakinan diri anak akan masa depan.

Gangguan trauma atau traumatik tidak hanya terjadi pada orang

dewasa, melainkan juga pada anak-anak. Trauma pada anak diakibatkan

oleh ketakutan berlebih pada sesuatu di masa lalu. Objek trauma dapat

berupa benda maupun situasi (kejadian). Dampak dari gangguan ini

bermacam-macam, mulai dari anak menjadi kesulitan berbicara sampai

pada kondisi dimana anak tidak bisa berinteraksi dengan orang lain.

Anak-anak dengan populasi khusus seperti yang disebutkan

diatas cenderung memiliki hambatan lebih dibanding anak normal dalam

melakukan aktivitasnya. Hambatan ini dapat bersifat internal dari diri

mereka yaitu kelainan yang ada pada diri mereka. Serta faktor eksternal

yaitu masyarakat luas yang masih sulit menerima kehadiran dan

berinteraksi dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Hal ini dapat

menjadi tekanan tersendiri bagi anak-anak tersebut yang nantinya akan

menghambat tumbuh kembang anak-anak berkebutuhan khusus.

(15)

commit to user

hasil penelitian terbaru menunjukkan satu dari 150 balita di Indonesia kini

menderita autis. Laporan terakhir WHO memperlihatkan hal serupa, yang

mana perbandingan anak autis dengan anak normal di seluruh dunia,

termasuk di kota – kota besar Indonesia telah mencapai 1:100. (Hr. Suara

Karya 11/3/05) dan berdasarkan pengamatan Yayasan Autis Indonesia

jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia pada saat ini adalah 1 :

166.

Dari sumber diatas, jika dianalisa dengan jumlah kelahiran

rata-rata di Surakarta sebesar 8000 jiwa per tahun (sumber: Surakarta Dalam

Angka 2008, Badan Pusat Statistik Surakarta), dapat diasumsikan bahwa

jumlah penderita autis mencapai 51 jiwa per tahun. Jumlah ini belum

termasuk anak-anak yang mengalami sakit kejiwaan yang lain yang

jumlahnya masih sulit diprediksi.

Di Surakarta terdapat beberapa pusat terapi baik untuk terapi fisik

maupun non-fisik. Pusat terapi fisik merupakan terapi untuk

penyembuhan pasca rawat inap. Seperti yang terdapat di rumah sakit dr

Moewardi dan dr Oen. Fasilitas ini menampung jenis terapi motorik atau

yang berhubungan dengan gerak syaraf.

(16)

commit to user

Septina Artyastuti_I0206100

 

 

atau pusat terapi untuk anak-anak dengan populasi khusus lainnya

seperti kesulitan berbicara, traumatik, dan anak-anak yang mengalami

gangguan psikologi akibat penyakit fisik kronis belum di sediakan.

Selain fasilitas terapi yang belum memadai baik segi kualitas

maupun kuantitas, berbagai jenis pusat terapi telah ada di Indonesia

terutama di kota Surakarta masih tergolong mahal. Biaya terapi anak

penyandang autis misalnya masih relatif mahal yaitu rata-rata mulai 750

ribu rupiah per bulan hingga 3 juta rupiah per bulan tergantung kebijakan

penyelenggara terapi (

www.hottopics.com

). Biaya yang tinggi ini adalah

masalah yang seringkali sulit ditanggung oleh para orang tua. Semula

anak-anak berkebutuhan khusus belum menjumpai kesulitan. Tetapi

setelah terapi berjalan cukup lama maka masalah

financial

menjadi

kendala yang dapat menghentikan proses terapi.

Kondisi yang lebih sering terjadi adalah orang tua terpaksa

memakai terapis yang murah tapi kehandalannya dalam terapi tidak bisa

dipertanggungjawabkan. Kemajuan yang selama ini dialami anak menjadi

sia-sia karena terjadi regresi yang menyebabkan kemunduran perilaku

kembali.

(17)

commit to user

bermain (

Play Therapy

). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Achmad

Chusairi, Fakultas Psikologi UNAIR, 2006, menunjukkan bahwa

Terdapat pengaruh yang signifikan dari terapi bermain sosial

terhadap peningkatan kemampuan dan keterampilan anak dengan

gangguan khusus.

Selain itu, terapi ini efektif diterapkan pada anak-anak karena bermain

merupakan dunia anak. Dimanapun anak-anak berada dan di waktu

apapun, bermain adalah aktivitas utama mereka. Bermain juga suatu

bahasa yang paling universal, meskipun tidak pernah dimasukkan

sebagai salah satu dari ribuan bahasa yang ada di dunia. Melalui

bermain, anak-anak dapat mengekspresikan apapun yang diinginkan.

Tidak diragukan bahwa anak-anak bermain sepanjang waktu yang

dimiliki. Selain itu dalam bermain memperbolehkan orang dewasa untuk

masuk dalam dunia anak-anak, untuk menunjukkan bahwa

anak-anak

berkebutuhan khusus

dihargai dan diterima. Keuntungan lain dari terapi

bermain yaitu merupakan salah satu terapi yang murah dan belum

banyak diterapkan di Indonesia. Dikatakan murah, karena media terapi

yang digunakan adalah media yang sederhana seperti tanah liat, pasir,

boneka serta pemainan anak lain.

(18)

commit to user

Septina Artyastuti_I0206100

 

 

faktor lingkungan mempunyai pengaruh yang besar (40%) dalam proses

penyembuhan, faktor medis 10%, faktor genetis 20% dan faktor lain 30%

(Kaplan dkk, 1993). Begitu pula pernyataan Landreth (2001) bahwa

Dalam proses terapi bermain dipengaruhi pula oleh lingkungan

fisik dalam bangunan.

Ditinjau dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa faktor lingkungan

mempunyai peran besar dalam proses penyembuhan, maka seharusnya

faktor lingkungan tersebut mendapat perhatian yang cukup besar pada

sebuah fasilitas penyembuhan. Dalam praktik di lapangan tidak jarang

faktor tersebut diabaikan dan dianggap tidak penting. Seperti yang ada di

Surakarta, pusat-pusat terapi yang ada tidak menggunakan lingkungan

sebagai salah satu media terapi.

Oleh karena itu, diperlukan sebuah wadah penyembuhan bagi

anak-anak dengan kebutuhan khusus yang menerapkan metode terapi

bermain dengan menggunakan pendekatan lingkungan sebagai media

yang mendukung proses penyembuhan pasien.

C. PERMASALAHAN DAN PERSOALAN

1. Permasalahan

(19)

commit to user

a. Bagaimana konsep pemilihan lokasi dan tata site bangunan Pusat

Terapi Bermain Anak di Surakarta yang direncanakan.

b. Bagaimana konsep jenis kegiatan, pola kegiatan, kebutuhan

ruang, besaran ruang, organisasi ruang, dan pola peruangan.

c. Bagaimana konsep bahan dan material, bentuk, serta tampilan

bangunan yang mendukung proses penyembuhan pasien.

d. Bagaimana konsep sistem struktur dan utilitas bangunan yang

sesuai dan mendukung aktivitas di dalam Pusat Terapi Bermain

Anak.

D. TUJUAN DAN SASARAN

1. Tujuan

Menghasilkan suatu desain atau usulan desain fasilitas atau

bangunan terapi di Surakarta, sebagai wadah penyembuhan bagi

anak-anak dengan populasi khusus, melalui metode terapi bermain

dengan mengkondisikan lingkungan fisik maupun non fisik yang

membantu proses penyembuhan.

2. Sasaran

Menentukan konsep desain bangunan terapi yang meliputi:

a. Konsep perencanaan, yaitu meghasilkan konsep tata site yan

meliputi pencapaian, sirkulasi,

b. Konsep perancangan, meliputi:

1) Konsep penataan site

Pencapaian

Sirkulasi

(20)

commit to user

Septina Artyastuti_I0206100

 

 

Noise

(kebisingan)

Klimatologi

2) Konsep kegiatan

ƒ

Penentuan kelompok kegiatan

ƒ

Penentuan kebutuhan ruang

ƒ

Organisasi ruang

ƒ

Penentuan jumlah pelaku kegiatan

ƒ

Penentuan besaran ruang

3) Konsep penampilan bangunan

ƒ

Tata

masa

ƒ

Gubahan

masa

ƒ

Penataan

ruang

dalam

ƒ

Penataan

ruang

luar

4) Konsep struktur dan material bangunan

ƒ

Material

struktur

bangunan

ƒ

Material

finishing

bangunan

5) Konsep sistem Utilitas

ƒ

Kenyamanan bangunan, meliputi pencahyaan dan

penghawaan

ƒ

Keamanan dan keselamatan bangunan, meliputi

aksesibilitas dan sistem evakuasi kebakaran

ƒ

Sistem bangunan, meliputi sistem air bersih, air

(21)

Septina Artyastuti I02016100

E. METODA PERANCANGAN ARSITEKTUR

POLA BERFIKIR

PROYEK

PROPOSAL

LATAR BELAKANG

• Meningkatnya anak berkebutuhan khusus

• Pusat terapi yang ada belum memadai dari kuantitas

• Terapi yang ada masih tergolong mahal

• Terapi bermain sebagai alternative terapi yang efektif dan murah

• Lingkungan sebagai salah satu yang mendukung proses oenyembuhan PERMASALAHAN bagaimana mewujudkan fasilitas atau bangunan terapi di Surakarta TUJUAN

Menghasilkan suatu desain atau usulan desain fasilitas atau bangunan terapi di Surakarta (Garry L Landreth)

• Stimulus fisik desain anak berkebutuhan khusus (Mattew,1994)

• Desain lingkungan pada tempat bermain anak (Mitsuri Senda) TINJAUAN EMPIRIS

• Tinjauan mengenai fasilitas terapi yang telah ada di Surakarta maupun di luar kota Surakarta

TINJAUAN OBJEK Tinjauan Kota Solo secara terperinci

KONSEP PERENCANAAN

PUSAT TERAPI BERMAIN ANAK YANG

DIRENCANAKAN

• Fungsi bangunan

(22)

commit to user

Septina Artyastuti I02016100

Tahap I

Merupakan tahap pencarian data berupa fenomena yang

ditemukan di lapangan yang kemudian dirumuskan dalam latar

belakang. Dari latar belakang dikerucutkan menjadi sebuah

permasalahan yang akan diangkat berdasarkan teori secara

umum, yang kemudian memunculkan beberapa persoalan desain

meliputi tata site, pola kegiatan, tampilan bangunan serta

persoalan sistem struktur dan utilitas bangunan yang menunjang

aktivitas terapi. Barulah dirumuskan tujuan dan sasaran yang akan

dicapai.

Tahap II dan III

Gambar I.1. Skema Analisis

Sumber : Analisa Pribadi, 2010

Analisis Konsep

Perencanaan

Konsep

Perencanaan

TAHAP II

TAHAP III

Kesimpulan

Fungsi

Fasilitas Utama

Site Terpilih

Problem desain

Teori

Empiris

(23)

commit to user

Tahap II. Merupakan tahap tinjauan yang meliputi tinjauan teori,

tinjauan empiris dan tinjauan objek. Tinjauan teori berisi tentang

teori-teori yang berkaitan dengan terapi bermain, anak

berkebuthan khusus dan konsep

healing environment.

Tinjauan

empiris yaitu dengan melakukan pencarian data dan analisis

tentang pusat terapi bermain yang telah ada baik di Surakarta

maupun di luar kota Surakarta dengan berdasar pada teori yang

telah ada. Sedangkan tinjauan objek yaitu tinjauan kota Surakarta

sebagai lokasi pusat terapi bermain yang direncanakan. Tinjauan

ini juga mendasari analisis konsep perencanaan.

Tahap III. Merupakan tahap kesimpulan dari latar belakang dan

tinjauan yaitu berupa fasilitas pusat terapi yang direncanakan

meliputi fungsi bangunan, fasilitas pelayanan utama yang akan

disediakan, site terpilih serta persoalan dan strategi desain.

Tahap IV

Merupakan tahap analisa atau penguraian secara lebih terperinci

mengenai persoalan desain meliputi:

Tata

site

: proses pengelolaan dan

penzoningan site berdasarkan analisis klimatologi, kebisingan

dan orientasi.

Pola

kegiatan

: proses pengorganisasian ruang

yang berdasarkan pola kegiatan baik itu terapis, pengelola

maupun anak.

Tampilan bangunan

:

proses

mewujudkan

tampilan

(24)

commit to user

Septina Artyastuti_I0206100

 

 

dengan konsep

healing environment.

Meliputi bahan material,

bentuk dan penataan lingkungan dalan site.

Struktur dan Utilitas

: proses menentukan sistem struktur

dan utilitas yang sesuai dengan bangunan pusat terapi bermain

yang ditencanakan yang dapat mendukung aktivitas terapi di

dalamnya.

Berikut adalah skema analisis untuk mewujudkan gagasan desain:

Gambar I.2. Skema Analisis

Sumber : Analisa Pribadi, 2010

Analisis dimulai dari penentuan tujuan dan dasar petimbangan

dari setiap persoalan desain. Proses dimulai dari data yang

dianalisis berdasarkan pada teori dan standart arsitektural terkait.

Proses ini menghasilkan beberapa solusi alternatif yang kemudian

menghasilkan desain terpilih.

Tahap V

Merupakan tahap sintesis atau penggabungan dari

konsep-konsep perancangan. Tahap ini adalah proses transformasi

desain yaitu proses perubahan dari konsep menjadi desain yang

meliputi

site plan

dan gubahan masa. Berikut adalah skema

proses sintesis:

Tujuan

Dasar Pertimbangan 

Proses

Data

Teori

Analisis

Standart

Solusi Alternatif

(25)

commit to user

Gambar I.3. Skema Analisis

Sumber : Analisa Pribadi, 2010

Tahap VI

Merupakan tahapan hasil dari konsep yang terbentuk berupa

desain denah, tampak, potongan, perspektif (gambar 3 dimensi)

dan maket untuk kemudian dapat dipresentasikan.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I

Pendahuluan

Pembahasan mengenai pendahuluan meliputi judul,

pengertian judul, latar belakang, perumusan permasalahan

dan persoalan, tujuan dan sasaran, metodologi

pembahasan, dan sistematika pembahasan.

BAB II

Tinjauan Pusat Terapi Bermain

Menjelaskan tentang tinjauan teori atau kepustakaan,

tinjauan kota Surakarta dan tinjauan empirik.

Mengemukakan pengertian dan jenis bermain pada dunia

anak secara umum, pengertian terapi bermain, pengertian

dan jenis anak-anak dengan populasi khusus (Landreth,

2001), tinjauan teori mengenai lingkungan baik fisik

maupun non fisik yang mempengaruhi proses

penyembuhan (

healing environment

).

Konsep Peruangan (Organisasi Ruang)

Konsep Tampilan Bangunan

Utilitas

Site Plan

Gubahan Masa

Detail Konstruksi Material

Bahan

Gambar Desain Denah Tampak Potongan Detail Arsitektural

(26)

commit to user

Septina Artyastuti_I0206100

 

 

BAB

III

Melakukan tinjauan umum kota Surakarta mengenai

pelayanan fasilitas terapi terurama terapi anak dengan

populasi khusus. Pembahasan mengenai data fisik dan

non fisik kota Surakarta meliputi Luas wilayah dan jumlah

penduduk, Kondisi kesehatan masyarakat, Rencana

pemanfaatan ruang kota Surakarta, Pembagian Sub

Wilayah Pembangunan (SWP) kota Surakarta. Mengenai

prospek bangunan pusat terapi bermain anak di kota

Surakarta.

BAB IV

Bangunan Pusat Terapi Bermain Yang Direncanakan

Merumuskan bangunan pusat terapi bermain anak di

Surakarta sebagai wadah penyembuhan bagi anak-anak

dengan populasi khusus, dengan pendekatan

healing

environment

yang direncanakan.

BAB V

Analisis dan Sintesis

Mengungkapkan analisa perancangan sebagai usaha

pemecahan masalah dengan meninjau tujuan dan sasaran

yang akan dicapai. Menyimpulkan hasil analisa

perancangan untuk kemudian ditransformasikan dalam

wujud desain fisik bangunan.

BAB VI

Konsep Perencanaan dan Perancangan

(27)

BAB II TINJAUAN

A. Terapi Bermain

1. Karakteristik Dunia Anak

Dunia anak tidak bisa terlepas dari dunia bermain. Dimanapun

anak-anak berada dan di w aktu apapun, bermain adalah aktivitas

utama mereka. Bermain juga suatu bahasa yang paling universal,

meskipun tidak pernah dimasukkan sebagai salah satu dari ribuan

bahasa yang ada di dunia. Melalui bermain, anak-anak dapat

mengekspresikan apapun yang diinginkan. Tidak diragukan bahwa

anak-anak bermain sepanjang waktu yang dimiliki.

Dilihat dari sudut pandang psikologi, mulai akhir tahun 1800-an

bermain dipandang sebagai aktivitas yang penting untuk anak.

Sebelumnya, bermain hanya dipandang sebagai ekspresi dari

kelebihan energi yang dimiliki anak-anak atau sebagai bagian dari

ritual budaya dan agam a. Seiring perkembangan waktu, pandangan

para ahli tentang bermain berubah dan bermain dipandang sebagai

perilaku yang bermakna. Misalnya, menurut Groos (Schaefer, et al.

1991), bermain dipandang sebagai ekspresi insting untuk berlatih

peran di masa mendatang yang penting untuk bertahan hidup.

Sedang Hall (dalam Schaefer, et al., 1991) melihat berm ain

sebagai rekapitulasi perkembangan suatu ras dan merupakan media

yang penting untuk menyatakan kehidupan dalam diri (inner life) anak.

Bahkan menurut Hall tidak ada alat yang dapat mengungkap jiwa

anak sebaik permainan boneka. (dikutip dari

(28)

commit to user

Pusat Terapi Bermain Anak di Surakarta

dengan Pendekatan Healing Environment II-2

Septina Artyastuti I02016100

Beberapa orang tua yang berpendapat bahwa anak yang terlalu

banyak bermain akan m em buat anak menjadi malas bekerja dan

bodoh. Anggapan tersebut kurang bijaksana, karena beberapa ahli

psikologi mengatakan bahwa permainan sangat besar pengaruhnya

terhadap perkem bangan jiwa anak. Berm ain adalah ekspresi diri yang

alami bagi seorang anak dan merupakan bagian yang mendasar dari

tumbuh kembang seorang anak (Landreth, 2001). Berm ain memiliki

pengaruh pada tum buh kembang anak seperti:

a. Bermain m empengaruhi perkembangan fisik anak

b. Bermain dapat digunakan sebagai terapi

c. Bermain dapat mempengaruhi pengetahuan anak

d. Bermain mempengaruhi perkem bangan kreativitas anak

e. Bermain dapat mengembangkan tingkah laku sosial anak

f. Bermain dapat mempengaruhi nilai moral anak

Faktor-faktor yang mempengaruhi permainan anak:

a. Kesehatan

Anak-anak yang sehat mempunyai banyak energi untuk berm ain

dibandingkan dengan anak-anak yang kurang sehat, sehingga

anak-anak yang sehat menghabiskan banyak waktu untuk

bermain yang membutuhkan banyak energi.

b. Intelegensi

Anak-anak yang cerdas lebih aktif dibandingkan dengan

anak-anak yang kurang cerdas. Anak-anak-anak yang cerdas lebih

menyenangi permainan-permainan yang bersifat intelektual atau

permainan yang banyak m erangsang daya berpikir mereka,

misalnya permainan drama, menonton film, atau membaca

(29)

c. Jenis kelamin

Anak perempuan lebih sedikit melakukan permainan yang

menghabiskan banyak energi, misalnya m emanjat, berlari-lari,

atau kegiatan fisik yang lain. Perbedaan ini bukan berarti bahwa

anak perempuan kurang sehat dibanding anak laki-laki, melainkan

pandangan masyarakat bahwa anak perem puan lebih baik

menjadi anak yang lembut dan bertingkah laku yang halus.

d. Lingkungan

Anak yang dibesarkan di lingkungan yang kurang menyediakan

peralatan, waktu, dan ruang bermain bagi anak, akan

menimbulkan aktivitas bermain anak berkurang.

e. Status sosial ekonomi

Anak yang dibesarkan di lingkungan keluarga dengan status

sosial ekonomi tinggi, lebih banyak tersedia alat-alat permainan

yang lengkap dibandingkan dengan anak-anak yang dibesarkan di

keluarga dengan status ekonomi rendah.

Macam perm ainan dan m anfaatnya bagi perkembangan jiwa anak:

a. Permainan Aktif

1) Bermain bebas dan spontan atau eksplorasi

Dalam perm ainan ini anak dapat melakukan segala hal yang

diinginkannya, tidak ada aturan-aturan dalam permainan

tersebut. Anak akan terus bermain dengan permainan tersebut

selama permainan tersebut menim bulkan kesenangan dan

anak akan berhenti apabila permainan tersebut sudah tidak

menyenangkannya. Dalam permainan ini anak m elakukan

eksperimen atau menyelidiki, m encoba, dan mengenal hal-hal

(30)

commit to user

Pusat Terapi Bermain Anak di Surakarta

dengan Pendekatan Healing Environment II-4

Septina Artyastuti I02016100

2) Drama

Dalam permainan ini, anak memerankan suatu peranan,

menirukan karakter yang dikagumi dalam kehidupan yang

nyata, atau dalam mass media.

3) Bermain m usik

Bermain musik dapat mendorong anak untuk m engembangkan

tingkah laku social anak, yaitu dengan bekerja sama dengan

teman-teman sebayanya dalam memproduksi musik,

menyanyi, berdansa, atau memainkan alat musik.

4) Mengumpulkan atau m engoleksi sesuatu

Kegiatan ini sering m enimbulkan rasa bangga, karena anak

mempunyai koleksi lebih banyak daripada teman-temannya.

Selain itu, mengumpulkan benda-benda dapat mempengaruhi

penyesuaian pribadi dan sosial anak. Anak terdorong untuk

bersikap jujur, bekerja sama, dan bersaing.

5) Permainan olah raga

Dalam permainan olah raga, anak banyak m enggunakan

energi fisik, sehingga sangat membantu perkembangan fisik.

Di samping itu, kegiatan ini mendorong sosialisasi anak

dengan belajar bergaul, bekerja sama, memainkan peran

pemimpin, serta menilai diri dan kemampuan secara realistik

dan sportif.

b. Permainan Pasif

1) Membaca

Membaca merupakan kegiatan yang sehat. M em baca akan

memperluas waw asan dan pengetahuan anak, sehingga

(31)

2) Mendengarkan radio

Mendengarkan radio dapat mempengaruhi anak baik secara

positif maupun negatif. Pengaruh positifnya adalah akan

menambah pengetahuan, sedangkan pengaruh negatifnya

yaitu apabila anak meniru hal-hal yang disiarkan di radio

seperti kekerasan, kriminalitas, atau hal-hal negatif lain.

3) Menonton televisi

Pengaruh televisi sama seperti mendengarkan radio, baik

pengaruh positif maupun negatif.

(dikutip dari www.iqeq.web.id, 2009)

Perkembangan perilaku bermain dalam penjangkaan kondisi

psikologis anak-anak dikutip dari www.ed.gov/offices/OSERS/O SE P

dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Freud

Tentang perkembangan psikoseksual membuat komunitas

ilmiah menaruh perhatian lebih kepada perkembangan awal

masa kanak-kanak dan perilaku anak sebagai jalan untuk

memahami perkembangan kepribadian masa dewasa. Freud

berpendapat bahwa perilaku anak yang terlihat adalah refleksi

dari masalah-masalah dan konflik-konflik yang tidak disadari.

Kemudian Freud memperluas pandangannya bahwa perilaku

bermain merupakan suatu penguasaan yang spesifik dari

anak. Namun sejauh ini Freud baru melihat perilaku bermain

dalam tataran konsep namun dalam pelaksanaan terapi belum

(32)

commit to user

Pusat Terapi Bermain Anak di Surakarta

dengan Pendekatan Healing Environment II-6

Septina Artyastuti I02016100

b. Melanie Klein dan Anna Freud (Schaefer, et al., 1991),

Bermain dimasukkan dalam proses terapiutik. Menggunakan

dasar konsep psikoanalisa, mereka memasukkan dan

mempopulerkan penggunaan alat-alat permainan dalam

penanganan/tritmen yang efektif bagi anak-anak.

c. Margaret Lowenfeld

Memperkenalkan yang dia sebut “Teknik Miniatur Dunia”.

Teknik tersebut m erupakan sistem pertama dalam

penggunaan mainan dan objek dalam bentuk mini (miniatur)

secara terorganisasi, yang digunakan dalam terapi bermain.

Teknik tersebut memperluas fokus perhatian para terapis dari

sekedar menginterpretasi menjadi lebih banyak melakukan

observasi secara formal dan metodis penggunaan permainan

anak dalam situasi terapi. Nam un sejauh itu Lowenfeld belum

menganjurkan penggunaan teknik tersebut sebagai alat

diagnostik.

d. Erikson

Mendasarkan pada teori perkembangan psikososialnya,

Erikson memandang bermain sebagai sebuah ekspresi

kombinasi beberapa kekuatan, yaitu: perkembangan

individual, dinamika keluarga, dan harapan m asyarakat. Maka

untuk melakukan observasi terhadap perilaku bermain,

seorang observer harus paham betul bagaimana seorang anak

dengan usia tertentu dan dari latar belakang komunitas

tertentu harus bermain secara tepat. Hanya dengan cara

tersebut m aka observer dapat mengetahui dan m em utuskan

(33)

memiliki makna umum (normal) atau tidak normal. Seperti juga

Freud, Erikson memandang permainan sebagai jalan

mengetahui ketidaksadaran subjek.

e. Piaget

Perubahan perilaku bermain m enunjukkan perkembangan

intelektual, sama seperti peningkatan kompetensi individu.

Bermain juga menjadi media bagi individu untuk

mempraktekkan apa yang sudah dipelajari.

f. Virginia Axline

Axline menyatukan dengan pendekatan nondirective

client-centered m ilik Rogers yang sebelumnya hanya untuk orang

dewasa. Menurut Axline, dalam situasi bermain anak-anak

menampilkan diri mereka dengan cara yang paling terus

terang, jujur, dan jelas. Perasaan m ereka, sikap, dan

pikiran-pikiran yang muncul, terbuka dengan jelas dan tanpa usaha

untuk ditutup-tutupi. Anak-anak juga belajar m em ahami diri

mereka dan orang lain dengan lebih baik lewat bermain.

Mereka belajar bahwa ketika berm ain mereka dapat

melakukan apapun, m enciptakan dunia sendiri, m enciptakan

atau menghancurkan sesuatu.

g. Garry L Landreth

Menerapkan m etode terapi bermain sebagai terapi anak

berkebutuhan khusus. M enurutnya, terapi bermain sebagai

hubungan interpersonal yang dinamis antara anak dengan

terapis yang terlatih dalam prosedur terapi bermain yang

menyediakan materi permainan yang dipilih dan m em fasilitasi

(34)

commit to user

Pusat Terapi Bermain Anak di Surakarta

dengan Pendekatan Healing Environment II-8

Septina Artyastuti I02016100

sepenuhnya mengekspresikan dan eksplorasi dirinya

(perasaan, pikiran, pengalaman, dan perilakunya) melalui

media berm ain.

2. Perkembangan Anak

Banyak orang menggunakan kata ‘pertumbuhan’ dan

‘perkembangan’ secara bergantian. Anak tetapi dalam kenyataannya

kedua kata tersebut berbeda, meskipun tidak dapat berdiri sendiri.

Pertum buhan berkaitan dengan kuantitatif, yaitu perkembangan

struktur dan ukuran. Tidak hanya akan membesar secara fisik, terapi

struktur dalam organ di otak dapat m eningkat.

Sedangkan perkem bangan berkaitan dengan perubahan kualitatif

dan kuantitatif (H urlock, 1997). Faktor yang m empengaruhi

perkembangan anak secara garis besar dapat dibagi m enjadi dua,

yaitu:

a. Faktor Endogen

Yaitu faktor yang berada dalam diri anak tersebut.

1) Faktor fisik: dapat dikelom pokkan antara lain faktor

kesehatan, cacat sejak lahir, tidak berfungsinya salah satu

indera, dan yang lain.

2) Faktor psikis: antara lain faktor intelegensi, bakat, minat,

emosi, kepribadian, gangguan jiwa, atau gangguan

kepribadian yang lain.

b. Faktor Eksogen

Yaitu faktor yang berasal dari luar diri sang anak (Sum ber:

(35)

1) Faktor keluarga, yang meliputi cara pendidikan dalam

keluarga, hubungan antar orang tua dan anak, sikap orang

tua, ekonomi keluarga, dan suasana keluarga itu sendiri.

2) Faktor sekolah, dim ana anak belajar bersekolah, belajar

mencari teman, perlakuan teman dan guru, dan lainnya.

Selain itu cara belajar dapat mempengaruhi

perkembangan serta pertumbuhan anak. Hal ini dapat

dilatih dengan belajar membagi waktu, cara belajar, dan

menyelesaikan pekerjaan rumah.

3) Faktor lingkungan, dimana anak tumbuh dan berkembang,

yang dapat dibagi menjadi:

a) Faktor m edia massa (televise, radio, video, film)

b) Faktor teman bergaul dan aktivitas lingkungan

c) Faktor keluarga dim ana anak tersebut tinggal

3. Terapi berm ain

Terapi bermain didefinisikan oleh Landreth (2001) sebagai hubungan

interpersonal yang dinam is antara anak dengan terapis yang terlatih

dalam prosedur terapi bermain yang menyediakan materi permainan

yang dipilih dan memfasilitasi perkembangan suatu hubungan yang

aman bagi anak untuk mengekspresikan dan mengeksplorasi diri

(perasaan, pikiran, pengalaman, dan perilaku) melalui media bermain.

Sedangkan International Association for Play Therapy (APT), sebuah

asosiasi terapi bermain yang berpusat di A merika, dalam situsnya di

internet mendefinisikan terapi berm ain sebagai penggunaan secara

sistematik dari model teoritis untuk memantapkan proses

interpersonal dim ana terapis bermain m enggunakan kekuatan

(36)
(37)
(38)

commit to user

Pusat Terapi Bermain Anak di Surakarta

dengan Pendekatan Healing Environment II-12

Septina Artyastuti I02016100

b. Anak berkebutuhan khusus

Anak berkebutuhan khusus dikelompokkan dalam lima populasi

khusus yang membutuhkan terapi berm ain, yaitu:

1) Anak Agresive (Aggressive Acting-Out Children)

Yaitu anak yang melakukan tindakan agresive untuk

menutupi perasaan ketidak diinginkan, ketidak berharganya,

tidak dicintai dan tidak berada dalam suasana yang penuh

cinta.

Agresif secara psikologis berarti cenderung ingin

menyerang kepada sesuatu yang dipandang sebagai hal yang

mengecewakan, m enghalangi atau menghambat (KBBI: 1995:

12). Perilaku ini dapat membahayakan anak atau orang lain.

Misal, menusukan pensil yang runcing ke tangan tem an, atau

mengayun-ngayunkan tas sehingga mengenai orang yang

berada di sekitar anak. Ada juga anak yang selalu m em aksa

temannya untuk melakukan sesuatu yang ia inginkan, bahkan

tidak sedikit pula anak yang mengejek atau membuat anak lain

menjadi kesal.

Agresif terjadi pada masa perkem bangan. Perilaku agresif

sebenarnya sangat jarang ditemukan pada anak yang berusia

di bawah 2 tahun. Namun, ketika anak memasuki usia 3-7

tahun, perilaku agresif menjadi bagian dari tahapan

perkem bangan mereka dan sering kali m enimbulkan masalah,

tidak hanya di rumah tetapi juga disekolah. Diharapkan setelah

melewati usia 7 tahun, anak sudah lebih dapat mengendalikan

(39)

agresif. Tetapi, bila keadaan ini menetap, maka ada indikasi

anak mengalami gangguan psikologis.

Dampak utama dari perilaku agresif ini adalah anak tidak

mampu berteman dengan anak lain. Keadaan ini m enciptakan

lingkaran setan, semakin anak tidak diterima oleh tem

an-teman mereka, m aka sem akin m enjadilah perilaku agresif

yang ditampilkan anak terhadap lingkungan.

Karakteristik dari masalah perilaku dan emosional ini

sangat bervariasi. Berikut ini akan digambarkan karakteristik

perilaku agresif menurut Masykouri (2005) dala m

delsajoesafira.blogspot.com (diunduh 7 Juli 2010):

a) Perilaku agresif dapat bersifat verbal maupun nonverbal.

Bersifat verbal biasanya lebih tergantung pada

situasional bersifat nonverbal yakni perilaku agresif yang

merupakan respons dari keadaan frustasi, takut atau

marah dengan cara mencoba menyakiti orang lain.

Bentuk-bentuk perilaku agresif ini yang paling

tampak adalah memukul, berkelahi, mengejek, berteriak,

tidak mau mengikuti perintah atau permintaan, menangis

atau merusak. Anak yang menunjukan perilaku ini

biasanya kita anggap sebagai pengganggu atau pembuat

onar. Padahal, anak yang tidak mengalam i masalah emosi

atau perilaku juga menam pilkan perilaku seperti yang

disebutkan diatas, tetapi tidak sesering atau seimpulsif

anak yang memiliki masalah emosi atau perilaku. Anak

dengan perilaku agresif biasanya mendapatkan masalah

(40)

commit to user

Pusat Terapi Bermain Anak di Surakarta

dengan Pendekatan Healing Environment II-14

Septina Artyastuti I02016100

(dimusuhi, dijauhi, tidak diajak bermain) dan dianggap

sebagai pembuat masalah oleh guru. Perilaku agresif

sem acam itu biasa diperkuat dengan didapatkan

penguatan dari lingkungan berupa status, dianggap hebat

oleh teman sebaya, atau didapatkannya sesuatu yang

diinginkan, termasuk melihat tem an mereka menangis saat

dipukul.

b) Perilaku agresif merupakan bagian dari perilaku antisosial.

Perilaku anti sosial sendiri mencakup berbagai

tindakan seperti tindakan agresif, ancaman secara verba l

terhadap orang lain, perkelahian, perusakan hak milik,

pencurian, suka merusak (vandalis), kebohongan,

pembakaran, kabur dari rumah, pembunuhan dan lain-lain.

Menurut buku panduan diagnostik (dalam Masykouri,

2005: 12.4) untuk gangguan mental, seseorang dikatakan

mengalam i gangguan perilaku antisosial (termasuk agresif)

bila tiga di antara daftar perilaku khusus berikut terdapat

dalam seseorang secara bersama-sam a paling tidak

selama enam bulan. Perilaku tersebut sebagi berikut:

i. Mencuri tanpa m enyerang korban lebih dari satu

kali.

ii. Kabur dari rumah semalam paling tidak dua kali

selama tinggal di rumah orang tua.

iii. Sering berbohong.

iv. Dengan sengaja melakukan pembakaran.

(41)

vi. Memasuki rumah, kantor, mobil, orang lain tanpa

izin.

vii. Mengonarkan milik orang lain dengan sengaja.

viii. Menyiksa binatang.

ix. Menggunakan senjata lebih dari satu kali dalam

perkelahian.

x. Sering memulai berkelahi.

xi. Mencuri dengan menyerang korban.

xii. Menyiksa orang lain.

Perilaku agresif dapat ditampilkan oleh anak individu

(agresif tipe soliter) maupun secara berkelompok (agresif tipe

group). Pada perilaku agresif yang dilakukan berkelompok/

grup, biasanya ada anak yang merupakan ketua kelompok dan

memerintahkan tem an-teman sekelompok untuk melakukan

perbuatan-perbuatan tertentu. Pada tipe ini, biasanya

anak-anak yang bergabung m em punyai masalah yang ham pir sama

lalu m em berikan kesempatan yang sama lalu memberikan

kesempatan pada salah satu anak untuk menjadi ketua

kelompok. Pada tipe ini sering terjadi perilaku agresif dalam

bentuk fisik.

Sedang pada tipe soliter, perilaku agresif dapat berupa

fisik maupun verbal, biasanya dimulai oleh seseorang yang

bukan bagian dari tindakan kelompok. Tidak ada usaha si

anak untuk m enyembunyikan perilaku tersebut. Anak tipe ini

sering kali menjauhkan diri dari orang lain sehingga lingkungan

(42)

commit to user

Pusat Terapi Bermain Anak di Surakarta

dengan Pendekatan Healing Environment II-16

Septina Artyastuti I02016100

Tidak jarang anak-anak ini, baik secara individual atau

berkelompok, membuat anak lain mengikuti kemauan mereka

dengan cara-cara yang agresif. Sehingga, terdapat anak atau

sekelompok anak yang m enjadi korban atas perilaku anak

agresif.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat

(M asykouri, 2005: 12.7) sekitar 5-10% anak usia sekolah

menunjukan perilaku agresif. Secara umum, anak laki-laki

lebih banyak menampilkan perilaku agresif, dibandingkan anak

perempuan. M enurut penelitian, perbandingan anak laki-laki

dan perempuan mencapai 5 berbanding 1, artinya jumlah anak

laki-laki yang melakukan perilaku agresif kira-kira 5 kali lebih

banyak dibandingkan anak perempuan.

Penyebab perilaku agresif diindikasikan oleh empat faktor

utama yaitu gangguan biologis dan penyakit, lingkungan

keluarga, lingkungan sekolah, dan pengaruh budaya negatif.

Faktor-faktor penyebab ini sifatnya kompleks dan tidak

mungkin hanya satu faktor saja yang menjadi penyebab

timbulnya perilaku agresif.

Penjelasan dari keempat faktor penyebab tersebut adalah

sebagai berikut:

a) Faktor Biologis

Emosi dan perilaku dapat dipengaruhi oleh faktor

genetik, neurologist atau faktor biokimia, juga kombinasi

dari faktor ketiga tersebut. yang jelas, ada hubungan

antara tubuh dan perilaku, sehingga sangat beralasan

(43)

atau em osional. M isal, ketergantungan ibu pada alkohol

ketika janin m asih dalam kandungan dapat m enyebkan

anak m emiliki berbagai gangguan termasuk emosi dan

perilaku. Ayah yang peminum alkohol menurut penelitian

juga beresiko tinggi menimbulkan perilaku agresif pada

anak. Perilaku agresif dapat juga muncul pada anak

yang orang tuanya penderita psikopat (gangguan

kejiwaan).

Semua anak lahir dengan keadaan biologis tertentu

yang menentukan gaya tingkah laku atau temperamen,

meskipun temperamen dapat berubah sesuai

pengasuhan. Selain itu, penyakit kurang gizi, bahkan

cedera otak, dapat menjadi penyebab tim bulnya

gangguan emosi atau tingkah laku.

b) Faktor Keluarga

Faktor keluarga yang dapat menyebabkan anak

berperilaku agresif dapat diidentifikasikan seperti berikut:

i. Pola asuh orang tua yang m enerapkan disiplin

dengan tidak konsisiten. Misalnya orang tua sering

mengancam anak jika anak berani melakukan hal

yang m enyimpang. Tetapi ketika perilaku tersebut

benar-benar dilakukan anak hukum an tersebut

kadang diberikan kadang tidak, membuat anak

bingung karena tidak ada standar yang jelas. Hal ini

memicu perilaku agresif pada anak.

Ketidakonsistenan penerapan disiplin jika juga terjadi

(44)

commit to user

Pusat Terapi Bermain Anak di Surakarta

dengan Pendekatan Healing Environment II-18

Septina Artyastuti I02016100

tua, m issal, si Ibu kurang disiplin dan mudah

melupakan perilaku anak yang menyim pang, sedang

si ayah ingin memberikan hukuman yang keras.

ii. Sikap permisif orang tua, yang biasanya berawal dari

sikap orang tua yang merasa tidak dapat efektif untuk

menghentikan perilaku menyimpang anak, sehingga

cenderung membiarkan saja atau tidak mau tahu.

Sikap permisif ini membuat perilaku agresif

cenderung menetap.

iii. Sikap yang keras dan penuh tuntutan, yaitu orang tua

yang terbiasa menggunakan gaya instruksi agar anak

melakukan atau tidak melakukan sesuatu, jarang

memberikan kesempatan pada anak untuk berdiskusi

atau berbicara akrab dalam suasana kekeluargaan.

Dalam hal ini muncul hukum aksi-reaksi, semakin

anak dituntut orang tua, semakin tinggi keinginan

anak untuk memberontak dengan perilaku agresif.

iv. Gagal memberikan hukuman yang tepat, sehingga

hukuman justru menimbulkan sikap permusuhan

anak pada orang tua dan m eningkatkan sikap

perilaku agresif anak.

v. Memberi hadiah pada perilaku agresif atau

memberikan hukuman untuk perilaku prososial.

vi. Kurang mem onitor dimana anak-anak berada

vii. Kurang memberikan aturan

viii. Tingkat komunikasi verbal yang rendah

(45)

c) Faktor Sekolah

Beberapa anak dapat mengalami masalah emosi

atau perilaku sebelum memulai masuk sekolah,

sedangkan beberapa anak yang lain tampak mulai

menunjukkan perilaku agresif ketika mulai bersekolah.

Faktor sekolah yang berpengaruh antara lain:

i. Pengalaman bersekolah dan lingkungannya memiliki

peranan penting dalam pembentukan perilaku agresif

anak demikian juga temperamen teman sebaya dan

kompetensi sosial.

ii. Guru-guru di sekolah sangat berperan dalam

timbulnya masalah emosi dan perilaku itu. Perilaku

agresifitas guru dapat dijadikan m odel oleh anak.

iii. Disiplin sekolah yang sangat kaku atau sangat

longgar di lingkungan sekolah akan sangat

membingungkan anak yang masih membutuhkan

panduan untuk berperilaku. Lingkungan sekolah

dianggap oleh anak sebagai lingkungan yang

memperhatikan dirinya. Bentuk pehatian itu dapat

berupa hukuman, kritikan ataupun sanjungan.

d) Faktor Budaya

Pengaruh budaya yang negatif mempengaruhi pikiran

melalui penayangan kekerasan yang ditam pilkan di

media, terutama televisi dan film . Menurut Bandura

(M asykouri, 2005: 12.10, dikutip dari

(46)

commit to user

Pusat Terapi Bermain Anak di Surakarta

dengan Pendekatan Healing Environment II-20

Septina Artyastuti I02016100

beberapa akibat penayangan kekerasan di m edia,

sebagai berikut.

i. Mengajari anak dengan tipe perilaku agresif dan ide

umum bahwa segala m asalah dapat diatasi dengan

perilaku agresif.

ii. Anda menyaksikan bahwa kekerasan bisa

mematahkan rintangan terhadap kekerasan dan

perilaku agresif, sehingga perilaku agresif tampak

lumrah dan bisa diterima.

iii. Menjadi tidak sensitif dan terbiasa dengan kekerasan

dan penderitaan (menumpulkan empati dan

kepekaan sosial).

iv. Membentuk citra manusia tentang kenyataan dan

cenderung menganggap dunia sebagai tempat yang

tidak aman untuk hidup.

Akibat sering melihat salah satu kartun dan film robot di

beberapa stasiun TV, anak cenderung meniru tokoh

tersebut. Terkadang orang tua melarang putra – putrinya

untuk menonton film kartun dan film robot tersebut

dengan memberikan penjelasan, tetapi belum

membuahkan hasil yang maksimal.

Selain itu, faktor tem an sebaya juga m erupakan sum ber

yang paling mempengaruhi anak. Ini m erupakan faktor

yang paling m ungkin terjadi ketika perilaku agresif

dilakukan secara berkelompok. Ada tem an yang

mempengaruhi m ereka agar melakukan

(47)

kelompok yang dianggap sebagai anak yang jagoan,

sehingga perkataan dan keinginan ketua selalu diikuti

oleh temannya yang lain. Faktor-faktor tersebut di atas

sangat kom pleks dan saling mempengaruhi satu sama

lain. (sumber: dikutip dari www.belajarpsikologi.com)

2) Anak Yang Mengidap Penyakit Kronis (Children with chonic

Illness)

Yaitu anak yang mengalami tekanan baik intern m aupun

ekstern dari lingkungannya akibat penyakit yang dideritanya.

Penyakit kronis adalah suatu kondisi dimana pasien sakit

untuk waktu yang lama. Ada bantuan sem entara dengan

beberapa obat, tetapi masalah akan tetap bertahan. Karena

pada penyakit kronis jangka panjang, seorang pasien harus

minum obat untuk waktu yang lama atau selam a sisa hidup

pasien.

Hal ini membatasi apa yang dapat dilakukan seseorang

dan tidak pernah hilang. Ada ratusan penyakit kronis dari

diabetes dan asma untuk serangan jantung dan penyakit

paru-paru. Penyakit-penyakit tersebut mungkin tidak menular tetapi

umumnya diwariskan. Tidak mudah untuk mengatasi penyakit

kronis, karena pasien akan perlu mengam bil tindakan

pencegahan, ham pir sepanjang hidup, mungkin ada

ketidaknyamanan tertentu atau gejala tertentu yang

berhubungan dengan penyakit dan ini juga bertahan lama.

Dalam keadaan seperti itu, pasien akan merasa jengkel

dan frustrasi, ini lebih relevan ketika pasien adalah anak-anak.

(48)

commit to user

Pusat Terapi Bermain Anak di Surakarta

dengan Pendekatan Healing Environment II-22

Septina Artyastuti I02016100

karena mereka harus secara konstan memberikan dukungan

kepada anak. Penting dilakukan bahwa orang tua itu sendiri

harus m em pertahankan pikiran positif pada diri mereka.

Memberikan informasi sebanyak mungkin kepada anak

berkaitan dengan penyakit. Selain itu, penting dilakukan untuk

melibatkan anak dalam sekolah, sehingga mereka dapat

menghadapi situasi sosial atau kemasyarakatan. Serta

mendorong anak untuk am bil bagian dalam kegiatan-kegiatan

dan juga m em buat tem an baru. Anak tidak perlu merasa

terisolasi karena sakit sebagai penyakit kronis tidak m enular.

Kadang-kadang anak m ungkin lebih sakit secara psikologis

daripada secara fisik, dan karena itu, penting untuk mem buat

anak merasa norm al dan tidak m em perlakukan dia sebagai

abnormal atau dengan terlalu banyak sim pati.

3) Anak Traum atik (Traumatic Children)

Yaitu anak-anak yang memiliki ketakutan berlebih terhadap

sesuatu dan umumnya ketakutan terhadap sebuah situasi

yang terjadi di m asa lalu.

Pada daerah pengungsian akibat konflik, missal, bukan

berarti begitu anak-anak atau wanita diungsikan lalu masalah

selesai. Justru suatu masalah m ungkin sedang dim ulai karena

yang tertinggal adalah trauma yang berkepanjangan akibat

kekerasan psikologi yang mereka alami akibat penggusuran.

Jika berbicara tentang tindak kekerasan psikologi dan

traum a, ada suatu istilah yang dikenal sebagai Post Traumatic

Stress Disorder atau PTSD (gangguan stres pasca trauma).

(49)

traumatis luar biasa. Misalnya, melihat orang dibunuh, disiksa

secara sadis, korban kecelakaan, bencana alam, dan lain-lain.

PTSD merupakan gangguan kejiwaan yang sangat berat,

karena biasanya penderita mengalami gangguan jiwa yang

mengganggu kehidupannya. Secara umum gejala PTSD

dibagi m enjadi tiga macam, yaitu:

i. Pertam a, Reexperiencing. Perderita seperti mengalami

kem bali kejadian traum atis yang pernah dialami.

Biasanya kondisi ini akan m uncul ketika penderita

sedang melamun atau melihat suasana yang mirip

dengan pengalaman traumatis yang pernah dialami.

Penderita dapat berperilaku mengejutkan, tiba-tiba

berteriak, menangis, atau berlari ketakutan.

Fenomena lain juga dapat muncul seperti takut untuk

tidur, karena begitu ia tidur peristiwa traumatis m uncul

kem bali. M isal, peristiwa diperkosa atau pembunuhan

yang berlangsung didepan m ata.

ii. Kedua, Hyperarousal. Suatu keadaan waspada

berlebihan, seperti mudah kaget, tegang, curiga

menghadapi gejala sesuatu, benda yang jatuh dia

anggap seperti sebuah bom yang jatuh, serta tidur sering

terbangun-bangun.

iii. Ketiga, Avoidance. Seseorang akan selalu menghindari

situasi yang mengingatkan ia pada kejadian traumatis.

Jika kejadian tersebut terjadi disaat suasana ramai, dia

(50)

commit to user

Pusat Terapi Bermain Anak di Surakarta

dengan Pendekatan Healing Environment II-24

Septina Artyastuti I02016100

sebaliknya jika ia mengalami pada waktu sendiri, maka ia

akan m enghidari tem pat-tempat sepi.

Jika PSTD tidak ditangani dengan benar, m aka

mempengaruhi kepribadian seseorang (perubahan

kepribadian), seperti paranoid atau mudah curiga. Penderita

kesulitan ini jarang secara sadar datang ke para ahli. Apalagi

stigm a yang beredar dimasyarakat bahwa psikiater identik

dengan orang sakit jiwa atau gila. (sumber:

www.psikologizone.com)

4) Anak yang m engalami Kesulitan Berbicara, (Selective Mute

Childran)

Yaitu anak yang cenderung pendiam dan menarik diri dari

komunitas. Mutisme selektif biasanya terlihat pada anak

berumur 3-5 tahun, yang tidak mau bicara pada keadaan

tertentu, misalnya di sekolah atau bila ada orang tertentu. Atau

kadang-kadang ia hanya mau bicara pada orang tertentu,

biasanya anak yang lebih tua. Keadaan ini lebih banyak

dihubungkan dengan kelainan yang disebut sebagai neurosis

atau gangguan motivasi. Keadaan ini juga ditem ukan pada

anak dengan gangguan komunikasi sentral dengan intelegensi

yang normal atau sedikit rendah.

Ciri khas dari gangguan ini adalah kegagalan dalam

berbicara di situasi sosial tertentu dimana berbicara

diperlukan, walaupun tetap dapat bicara di keadaan lain.

Gangguan keadaan yang berhubungan dengan pendidikan

atau pekerjaan ataupun komunikasi social. Anak-anak dapat

(51)

berlebihan, ketakutan pada hubungan social, isolasi social,

dan desertai dengan cara bicara yang lambat, perilaku

negative, trantum , atau pertentangan pada control perilaku,

terutama saat di rumah (Diagnostic and Statistical Manual IV,

1999, dikutip dari essortment commuteselective_rdpb.htm).

5) Anak Autis (Autistic Children)

a. Pengertian

Istilah Autis berasal dari kata "Autos" berarti diri

sendiri, sedangkan "Isme” berarti suatu aliran. Sehingga

Autis adalah suatu paham yang tertarik hanya pada

dunianya sendiri. Autistik adalah suatu gangguan

perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi,

interaksi sosial dan aktivitas im ajinasi. Gejalanya m ulai

tampak sebelum anak berusia 3 tahun. Bahkan pada

autistik infantil gejalanya sudah ada sejak lahir.

Diperkirakan 75%-80% penyandang autis ini m em punyai

retardasi mental, sedangkan 20% dari mereka m em punyai

kem ampuan yang cukup tinggi untuk bidang-bidang

tertentu. (Handojo, 2008: 12-13)

b) Penyebab Autistik

Penyebab autism sendiri sampai saat ini belum di ketahui

secara pasti. Berbagai hal yang dicurigai berpotensi untuk

menyebabkan autism dikutip dari News and Inform ation

Blog.htm adalah :

i. Vaksin yang m engandung Thimerosal

Thimerosal adalah zat pengawet yang digunakan di

(52)

commit to user

Pusat Terapi Bermain Anak di Surakarta

dengan Pendekatan Healing Environment II-26

Septina Artyastuti I02016100

banyak vaksin yang tidak lagi menggunakan Thimerosal

di negara maju. Namun, entah bagaimana halnya di

negara berkembang.

ii. Televisi

Semakin maju suatu negara, biasanya interaksi antara

anak - orang tua semakin berkurang karena berbagai

hal. Sehingga TV digunakan sebagai penghibur anak.

Ternyata ada kemungkinan bahw a TV bisa menjadi

penyebab autis pada anak, terutama yang menjadi

jarang bersosialisasi. Dampak TV tidak dapat dipungkiri

memang sangat dahsyat, tidak hanya kepada

perorangan, namun bahkan kepada masyarakat dan

atau negara.

iii. Genetik

Ini adalah dugaan awal dari penyebab autis; telah lama

diketahui bisa diturunkan dari orang tua kepada

anak-anak. Namun tidak itu saja, juga ada kemungkinan

variasi-variasi lain. Salah satu contoh adalah bagaimana

anak-anak yang lahir dari ayah yang berusia lanjut

memiliki kemungkinan lebih besar untuk m enderita

autis. (walaupun sang ayah normal/ bukan autis)

iv. Makanan

Pada tahun 1970-an, Dr. Feingold dan

kolega-koleganya menyaksikan peningkatan kasus ADHD

dalam skala yang sangat besar. Sebagai seseorang

(53)

bagaim ana ADHD nyaris tidak ada sama sekali di

zaman tersebut.

v. Radiasi pada janin bayi: Sebuah riset dalam skala besar

di S wedia menunjukkan bahwa bayi yang terkena

gelombang Ultrasonic berlebihan akan cenderung

menjadi kidal.

vi. Folic Acid

Zat ini biasa diberikan kepada wanita hamil untuk

mencegah cacat fisik pada janin. Dan hasilnya m em ang

cukup nyata, tingkat cacat pada janin turun sampai

sebesar 30% . Nam un di lain pihak, tingkat autis jadi

meningkat. Yang paling baik adalah perbanyak m akan

buah-buahan yang kaya dengan folic acid, karena alam

bisa mencegah tanpa m enyebabkan efek samping.

vii. Sekolah lebih awal

Agak mengejutkan, namun ada beberapa penelitian

yang menunjukkan bahwa menyekolahkan anak lebih

awal (pre school) dapat memicu reaksi autis.

Diperkirakan, bayi yang memiliki bakat autis dapat

sembuh atau m em baik dengan berada dalam lingkup

orang tua. Namun, karena justru dipindahkan ke

lingkungan asing yang berbeda (sekolah playgroup/

preschool), maka beberapa anak jadi mengalami shock,

dan bakat autis yang dimiliki m enjadi m uncul dengan

(54)

commit to user

Pusat Terapi Bermain Anak di Surakarta

dengan Pendekatan Healing Environment II-28

Septina Artyastuti I02016100

c) Karakteristik Anak Autis

B e r d a s a r k a n s u m b e r d a r i w w w . p u tr a k e m b a r a . c o m

anak autistik mempunyai masalah/gangguan dalam

bidang:

i. Kom unikasi

Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali

tidak ada. Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara,

atau pernah berbicara tapi kemudian sirna.

Kadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai

artinya.

Mengoceh tanpa arti berulang-ulang, dengan

bahasa yang tak dapat dimengerti orang lain.

Bicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasi.

Senang m eniru atau m em beo (echolalia).

Bila senang m eniru, dapat hafal betul kata-kata

atau nyanyian tersebut tanpa mengerti artinya.

Sebagian dari anak ini tidak berbicara (non verbal)

atau sedikit berbicara (kurang verbal) sampai usia

dewasa.

Senang menarik-narik tangan orang lain untuk

melakukan apa yang ia inginkan, misalnya bila

ingin m eminta sesuatu.

ii. Interaksi Sosial

Penyandang autistik lebih suka m enyendiri.

Tidak ada atau sedikit kontak mata, atau

(55)

Tidak tertarik untuk bermain bersama teman.

Bila diajak bermain, ia tidak mau dan menjauh.

iii. Gangguan Sensori

Sangat sensistif terhadap sentuhan, seperti tidak

suka dipeluk

Bila m endengar suara keras langsung menutup

telinga

Senang mencium -cium, m enjilat mainan atau

benda-benda

Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut

iv. Pola Bermain

Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya,

Tidak suka berm ain dengan anak sebayanya.

Tidak kreatif, tidak imajinatif.

Tidak bermain sesuai fungsi m ainan, misal sepeda

dibalik lalu rodanya di putar-putar.

Senang akan benda-benda yang berputar, seperti

kipas angin, roda sepeda.

Dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu

yang dipegang terus dan dibawa kemana-mana.

v. Perilaku

Dapat berperilaku berlebihan (hiperaktif) atau

kekurangan (hipoaktif).

Memperlihatkan perilaku stimulasi diri seperti

bergoyang-goyang, mengepakkan tangan seperti

Gambar

Tabel VI.15. Macam Pengahwaan Buatan  ...........................................  VI.20
Gambar I.1. Skema Analisis
Gambar I.2. Skema Analisis
Gambar I.3. Skema Analisis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kerja sama sister city yang pertama kali dilakukan oleh Kota Bandung mulai pada tahun 1960 ini diawali karena adanya perguruan tinggi khusus keguruan dan teknik

Radio Prosalina sendiri, karena itu masih dalam lingkup perusahaan media yang masih ingin berkembang dan bertahan, tentunya Radio Prosalina mempunyai survival

Promethee adalah suatu metode penentuan urutan (prioritas) dalam analisis multikriteria. Masalah pokoknya adalah kesederhanaan, kejelasan, dan kestabilan. Dugaan dari

Jika sebuah saklar t hyrist or dihubungkan ant ara sum ber t egangan AC dan beban, m aka daya yang m engalir akan dapat dikendalikan dengan cara m engat ur nilai rm s t egangan

Sikap Pras yang menolak permintaan kedua orang tuanya untuk menikah. Hal tersebut memicu adanya pertentangan dalam keluarganya. Dengan demikian, pertentangan yang

dari mesin pengaduk sirup supaya bisa membuat sirup dalam kapasitas yang besar, mesin pensteril produk yang sudah dikemas agar produk tahan lama dan mesin penutup botol

Dari penelitian yang telah dilakukan disimpulkan bahwa durasi aplikasi bahan adhesif self-etch berpengaruh terhadap kebocoran mikro pada tumpatan resin komposit kelas

Sari, N., 2014, Pengaruh Ketidakpastian Lingkungan terhadap Kinerja Perusahaan Melalui Karakteristik Informasi Sistem Akuntansi Manajemen Sebagai Variabel Intervening