• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Peraturan dan Peradilan Dal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perkembangan Peraturan dan Peradilan Dal"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Oleh:

Respati Nadia Putri

110620170034

Dosen:

Prof. Dr. H. Rukmana Amanwinata, S.H., M.H.

Dr. Hernadi Affandi, S.H., LL.M.

Diajukan Untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester Mata Kuliah

Politik Hukum

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

(2)

i

B. Identifikasi Masalah ... 1

BAB II TINJAUAN MENGENAI TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA A. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Korupsi ... ……….3

1. Pengertian Korupsi ……….4

2. Subjek Korupsi ………...4

3. Faktor Penyebab Korupsi ………...5

B. Tinjauan Tentang Peraturan Korupsi di Indonesia... 6

1. Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 …6 2. Masa Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 …….7

3. Masa Berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ………8

C. Tinjauan Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 10 1. Pembentukan Pengadilan Tipikor dan Kedudukannya ...10

(3)

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan……….. 13

B. Rekomendasi... 13

(4)

iii

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa tugas ini dibuat oleh saya sendiri tanpa bekerja sama dengan pihak lain. Adapun sumber kutipan dan referensi yang digunakan dalam tugas ini telah kami cantumkan sesuai dengan pedoman penulisan karya ilmiah di Universitas Padjadjaran. Apabila pernyataan ini terbukti sebaliknya saya bersedia menerima sanksi akademik yang berlaku di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

Bandung, 23 November 2017

(5)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Politik hukum yaitu sebagai aktivitas memilik dan cara yang hendak dipakai untuk

mencapai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.1 Politik

hukum juga dapat diartikan sebagai kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara

yang dicita-citakan.2 Politik hukum menyelidiki perubahan-perubahan yang harus diadakan

dalam hukum yang sekarang berlaku menjadi sesuai dengan kenyataan sosial, selain itu untuk menjauhkan tatanan hukum dari kenyataan sosial dalam hal politik hukum menjadi alat

dalam ruling class yang hendak menjajah tanpa memperhatikan kenyataan sosial itu.3 Setiap

negara pasti memiliki tujuan negara yang dicita-citakan, maka setiap negara memiliki politik hukum nasional.

Politik hukum nasional adalah kebijakan dasar penyelenggara negara (Republik Indonesia) dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara (Republik Indonesia)

yang dicita-citakan. Agenda yang ditekankan dalam politik hukum nasional, yaitu:4

1. Masalah kebijakan dasar yang meliputi konsep dan letak;

2. Penyelenggaraan negara pembentuk kajian dasar tersebut;

Bermanfaat untuk memahami faktor-faktor yang mempengruhi karakteristik politik

hukum nasional. Faktor-faktor tersebut meliputi:5

1 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991. hlm 352

2 Imam Syaukani & A.Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006. hlm 58

3 Abdul Latif & Hasbi Ali, Politik Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010. hlm 21 4 Op.Cit, Imam Syaukani & A. Ahsin Thohari. hlm 58

(6)

2

e. Ekonomi;

f. Agama.

3. Materi hukum yang meliputi hukum yang akan, sedang dan telah berlaku;

4. Proses pembentukan hukum; dan

5. Tujuan politik hukum nasional.

Tujuan politik hukum nasional dibentuk dalam rangka mewujudkan tujuan cita-cita Negara Republik Indonesia.

Lembaga yang dapat melakukan kewenangan dalam menentukan politik hukum nasional dengan merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang telah mengalami amandemen sebanyak empat kali yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). MPR berwenang untuk melakukan penetapan atau perubahan terhadap UUD, hal ini merupakan politik hukum, yang mana segala bentuk perubahan dan penetapan yang dilakukan merupakan salah satu kebijaksanaan dasar dari penyelenggara

negara dan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan negara.6 DPR dapat merumuskan

politik hukum dalam bentuk undang-undang karena kedudukannya sebagai lembaga legislatif.7

Sumber hukum pidana dalam kodifikasi yaitu ketentuan yang tercantum dalam pasal-pasal dalam KUHP, sedangkan hukum pidana yang bersumber pada peraturan

perundang-undangan diluar KUHP dapat disebut tindak pidana khusus.8 Korupsi merupakan tindak

pidana khusus (white collar crime) yang merusak pembangunan dan pemenuhan

kesejahteraan sebuah negara, yang berawal dari tindakan individu karena ketamakan personal, kini berkembang menjadi tindakan terorganisir dan terstruktur secara komunal yang merusak tatanan hukum, politik, sosial, ekonomi, dan budaya bangsa. Diperlukan suatu sistem hukum yang konkrit dalam mengatasi pemasalahan korupsi di Indonesia, baik dari undang-undang formil maupun materiil, lembaga untuk menangani korupsi dan peradilan yang khusus pula untuk memberikan vonis terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimanakah perkembangan peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana

korupsi?

6 Ibid. hlm 115

7 Ibid. hlm 118

(7)
(8)

4

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENGADILAN

TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

A. Pengertian, Subjek Korupsi dan Faktor Penyebab Korupsi

Korupsi berasal dari kata Latin corruption atau corruptu, dalam bahasa Inggris dan

Prancis corruption, dan dalam bahasa Belanda korruptie. Menurut Waterbury, korupsi

terbagi dalam dua definisi yang beda yakni korupsi dalam arti hukum dan korupsi

berdasarkan norma. Korupsi dalam arti hukum adalah tingkah laku mengurus kepentingan

sendiri dengan merugikan orang lain dilakukan oleh pejabat pemerintah yang melanggar batas-batas hukum, sedangkan korupsi menurut norma yaitu korup atau tidaknya pejabat ditentukan berdasarkan pandangan masyarakat berdasarkan norma yang berlaku pada

masyarakat tersebut.9

Berdasarkan hukum positif di Indonesia, substansi korupsi terlihat dari pasal tentang kejahatan terkait jabatan dalam KUHP akan tetapi tidak menjelaskan dan menyatakan korupsi sebagai suatu tindak kejahatan. Dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) adalah setiap orang perseorangan atau korporasi secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

2. Subjek Dalam Korupsi

Berdasarkan definisi tindak pidana korupsi di atas dapat disimpulkan subjek dalam delik tindak pidana korupsi yaitu orang perseorangan (dalam Pasal 1 UU Tipikor menunjuk kepada Pegawai Negeri) dan Korporasi. Pegawai Negeri yang dimaksud oleh undang-undang ini meliputi orang-orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah atau menerima gaji atau upah dari suatu badan/badan hukum yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan

modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat.10 Pasal 1 ayat (2) UU

“Tipikor yang dimaksud dalam Pegawai Negeri adalah:

1. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian;

(9)

2. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana;

3. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;

4. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari

keuangan negara atau daerah; atau

5. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal

atau fasilitas dari negara atau masyarakat.”

Pejabat Administrasi Negara merupakan penyalahgunaan wewenang yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi apabila suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan dalam hal tertentu yang belum ada peraturan yang mengaturnya atau adanya aturan yang mengatur namun samar sehingga diperlukan kebebasan menilai dari Pejabat Administrasi Negara dan tindakan tersebut menyimpang dari yang seharusnya dilakukan dengan sengaja sehingga

memenuhi ketentuan melakukan suatu tindak pidana korupsi dengan batasan:11

1. Diskresi yang digunakan menyimpang dari tujuan peraturan yang mendasari

kewenangan pejabat administrasi negara; dan

2. Diskresi yang digunakan dimaksudkan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang

lain atau suatu korporasi sehingga dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.

Pasal 1 ayat (1) UU Tipikor menjelaskan korporasi adalah kumpulan orang atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Pemidanaan terhadap korporasi hendaknya memperhatikan kedudukan korporasi untuk mengendalikan usaha melalui kebijakan pengurus dan penerapan sanksi pidana terhadap korporasi tidak

menghapus kesalahan perorangan.12

3. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi

Pelaksanaan Tindak Pidana Korupsi tidak terlepas dari faktor-faktor yang

memperngaruhinya, adapun faktor-faktor tersebut:13

1. Lemahnya pendidikan agama dan etika;

2. Kolonialisme. Suatu pemerintahan asing tidak menggugah kesetiaan dan kepatuhan

yang diperlukan untuk membentuk korupsi;

3. Kemiskinan dan keserakahan;

11 Yopie Morya Immanuel Patiro, Diskresi Pejabat Publik dan Tindak Pidana Korupsi , Bandung: Keni Media, 2011. hlm 194

12 Muladi, Prinsip-prinsip Dasar Hukum Pidana Dalam Kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 19997, Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, Volume IV Nomor 1, 1998. hlm 9

(10)

6

4. Tidak ada sanksi yang keras;

5. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku antikorupsi;

6. Struktur pemerintahan;

7. Perubahan radikal, korupsi muncul sebagai penyakit transisional.

B. Peraturan Perundang-undangan tentang Tindak Pidana Korupsi

1. Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971

Pemerintah membentuk hukum positif guna menangani perkara korupsi telah dilakukan dari beberapa masa perubahan peraturan peundang-undangan. Korupsi pada awalnya diatur dalam Peraturan Militer Nomor PRT/PM/06/1957 yang berlaku untuk daerah kekuasaan

Angkatan Darat.14 Peraturan ini berisi tentang pembentukan badan yang berwenang

mewakili negara untuk menggugat secara perdata orang-orang yang dituduh melakukan perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan ke Pengadilan Tinggi, dan munculnya lembaga Pemilik Harta Benda (PHB) untuk menyita harta benda yang dianggap hasil korupsi sambil

menunggu putusan dari Pengadilan Tinggi.15 Peraturan tersebut diimplementasikan dalam

peraturan pelaksana pada Peraturan Pemerintah Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Nomor PRT/PEPERPU/031.1958 dan Peraturan Penguasaan Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor PRT/z.1/1/7.1958 tanggal 17 April 1958.

Undang-Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961, sebagai konsekuensi bahwa Peraturan Penguasa Perang Pusat tentang pemberantasan korupsi itu bersifat darurat, temporer, yang berlandaskan kepada

Undang-Undang Keadaan Bahaya, dicabut karena keadaan sudah menjadi normal.16

Perubahan yang ada dalam undang-undang tersebut yaitu pada Pasal 1 ayat (1) sub b, kata

“perbuatan” diubah menjadi “tindakan” karena undang-undang ini memakai istilah “tindak

pidana korupsi”. Pada sub c ditambahkan Pasal 415-417, 423, 425, dan 435 KUHP (pasal-pasal tersebut merupakan ketentuan yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan).

14 Op.Cit. Evi Hartanti. hlm 22 15 Ibid. hlm 22

(11)

pasal tersebut tidak dimasukan ke dalam peraturan sebelumnya padahal penggelapan dalam

jabatan merupakan salah satu bentuk korupsi disamping suap menyuap.17

2. Masa Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971

Pada tahun 1971 lahir Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam undang-undang ini terdapat beberapa jenis tindak pidana

korupsi:18

a. Barang siapa dengan melawann hukum melakukan perbuatan memperkaya diri

sendiri atau orang lain, atau suatu badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

b. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu

badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung maupun tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

c. Barang siapa yang melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal 209,210,387,388,

415-420, 423, dan 435 KUHP;

d. Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud

dalam Pasal 2 dengan mengingat suatu kekuasaan atau suatu wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu;

e. Barang siapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya

setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti yang tersebut dalam Pasal 418-420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib;

f. Barang siapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindak

pidana tersebut diatas.

(12)

8

Perumusan tindak pidana korupsi dalam undang-undang ini mengalami kemajuan dibanding

peraturan sebelumnya. Adapun kemajuan tersebut meliputi:19

a. Perumusan tindak pidana korupsi dengan unsur melawan hukum, sedangkan perturan

terdahulu dirumuskan dengan unsur dengan atau karena melakukan suatu tindak kejahatan atau pelanggaran.;

b. Bentuk delik korupsi merupakan delik formil, artinya delik korupsi memiliki

unsur-unsur, bentuk, dan akibat perbuatan dari tidak disyaratkan untuk selesainya delik, sedangkan dalam peraturan terdahulu merumuskan delik korupsi sebagai delik materiil;

c. Perluasan bentuk tindak pidana korupsi berupa percobaan dan pemufakatan

melakukan tindak pidana korupsi sudah dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.

Undang-undang ini tidak sesuai dengan perkembangan kejahatan tindak pidana korupsi pada tahun 1999.

3. Masa Berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001

Pasca gerakan reformasi, disahkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah mengalami perubahan dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kedua undang-undang ini masih

berlaku hingga sekarang. Aspek pembaharuan yang dapat diposisikan sebagai karakteristik

yuridis yang melekat dalam UU Tipikor, yaitu:20

a. Rumusan secara eksplisit tentang tindak pidana korupsi sebagai delik formil, sehingga

dengan demikian setiap pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan

penuntutan pidana terhadap terdakwa;

b. Diterapkannya konsep ajaran melawan hukum materil dalam fungsinya secara positif;

(13)

c. Adanya pengaturan tentang korporasi sebagai subjek hukum selain perorangan;

d. Adanya pengaturan tentang wilayah berlakunya atau yurisdiksi kriminal yang dapat

diberlakukan ke luar batas teritorial Indonesia;

e. Adanya pengaturan tentang sistem pembalikan pembutian terbatas atau berimbang;

f. Adanya pengaturan tentang ancaman pidana dengan sistem minimun khusus

disamping ancaman maksimum;

g. Adanya ancaman pidana mati sebagai unsur pemberat;

h. Adanya pengaturan tentang penyidikan gabungan dalam perkara tindak pidana korupsi

yang sulit pembuktiannya di bawah koordinasi Jaksa Agung;

i. Adanya pengaturan tentang penyidikan ke dalam rahasia bank yang lebih luas yang

diawali dengan pembekuan rekening tersangka/terdakwa yang dapat dilanjutkan

dengan penyitaan;

j. Adanya pengaturan tentang peran serta masyarakat sebagai sarana kontrol sosial yang

dipertegas dan diperluas, sehingga perlindungan hukum terhadap saksi pelapor lebih

optimal dan efektif;

k. Adanya pengaturan yang mengamanatkan kepada pembuat undang-undang untuk

membentuk sebuah komisi pemberantasan tindak pidana korupsi yang independen;

l. Adanya pengakuan secara eksplisit yang menyebutkan korupsi sebagai tindak pidana

luar biasa (extra ordinary crime) yang tindak kejahatannya harus diberantas secara

luar biasa;

m. Dirumuskan gratifikasi sebagai salah satu tindak pidana korupsi;

(14)

10

o. Perluasan sumber alat bukti petunjuk yang diperoleh dari informasi yang diucapkan,

dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik.

Secara keseluruhan telah menggambarkan adanya pembaharuan hukum pidana dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi. Undang-undang tersebut dapat terlihat bahwa

pembetuk undang-undang secara sistematis merumuskan tentang tindak pidana korupsi.

C. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

1. Pembentukan Pengadilan Tipikor dan Kedudukannya

Pengadilan Tipikor diatur dalam Bab Ketentuan Peralihan Undang-Undang nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU Pengadilan Tipikor), terbitnya undang-undang ini karena dicabutnya Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( UU KPK) oleh putusan MK nomor 12-16-19/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006, putusan itu muncul dikarenakan Pasal 53 UU KPK bertentangan dengan konstitusi yang mana pengadilan Tipikor yang kewenangannya terbatas pada perkara korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh KPK menimbulkan dualisme penanganan perkara korupsi yang mana perkara Tipikor yang penuntutannya dilakukan oleh Kejaksaan tetap diadili di pengadilan biasa, juga pengaturan mengenai pengadilan Tipikor seharusnya diatur tersendiri, hal ini melihat pada Pasal 24

ayat (5) UUD.21

Perbedaan pengaturan pengadilan Tipikor dalam UU Pengadilan Tipikor dengan UU KPK tidaklah banyak. Perbedaan yang mencolok yaitu perbedaan jumlah pasal yang mengaturnya, kewenangan (diperluas dalam UU Pengadilan Tipikor), serta syarat

pemberhentian hakim ad hoc. Kewenanga Pengadilan Tipikor awalnya hanya dibatasi pada

perkara korupsi, sekarang sedikit diperluas pada perkara pencucian uang yang terbatas pada

pencucian uang yang tindak pidananya berasal dari tindak pidana korupsi.22

Pasal 35 menyatakan bahwa Pengadilan Tipikor dibentuk disetiap Pengadilan Negeri ibukota provinsi dengan kewenangan seluruh daerah hukum masing-masing, pengadilan ini

21 Toetik Rahayuningsih & Indra Wahyuni, Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi dalam Hukum Anti Korupsi. hlm 411

(15)

dibentuk paling lambat dua tahun, sebelum terbentuk pengadilan Tipikor, pengadilan negeri berwenang menangani perkara korupsi yang menjadi kewenangan relatifnya. Salah satu amanat UU Pengadilan Tipikor yaitu pembentukan pengadilan Tipikor di setiap ibu kota

provinsi, hingga kini masih sedikit daerah yang memiliki Pengadilan Tipikor.23 Pengadilan

Tipikor merupakan pengadilan satu-satunya yang memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus tipikor sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU Tipikor. Pengajuan perkara Tipikor diajukan ke Pengadilan Tipikor yang mana dalam proses penyidikan, penyelidikan, dan proses peradilan dihadiri oleh tersangka atau terdakwa.

2. Peradilan In Absentia dalam Tindak Pidana Korupsi

Peradilan In Absentia adalah proses peradilan yang dilakukan tanpa dihadiri oleh

terdakwa sendiri, dari sejak pemeriksaan sampai dijatuhkan hukuman oleh pengadilan.

Peradilan In Absentia merupakan upaya untuk mengadili seseorang dan menghukumnya

tanpa dihadiri terdakwa, hal ini dilakukan dalam suatu keadaan yang khusus atau

mendesak.24 Peradilan In Absentia bertujuan untuk menyelamatkan keuangan negara dan

menanggulangi kerugian negara yang timbul dari tindak pidana tersebut. Peradilan In

Absentia diatur secara implisit dalam Pasal 213 dan 214 KUHAP dalam perkara lalu lintas jalan yaitu dengan terdakwa dan kuasanya tidak hadir pemeriksaan perkara tetap dilanjutkan. Tujuan ketentuan ini untuk mempercepat penyelesaian perkara karena dalam

perkara lalu lintas diterapkan prinsip peradilan cepat,25 selain di KUHAP ada ketentuan

yang mengizinkan dilakukan Peradilan In Absentia yaitu dalam Undang-undang Tindak

Pidana Ekonomi, dan Undang-undang nomor 7/Drt/1955 tentang pengusutan, penuntutan, Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, UU Tipikor, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo.

Undang-Undang 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.26 Peradilan In Absentia dapat dilakukan

jika memenuhi unsur-unsur:27

1. Terdakwa tinggal atau bepergian ke luar negeri;

2. Adanya usaha terdakwa melakukan tindakan pembangkangan;

23 Ibid. hlm 413

24 Ibid. hlm 427 25 Ibid. hlm 428

(16)

12

3. Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir pada sidang tanpa

alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.

Mekanisme Peradilan In Absentia dalam UU Tipikor merupakan kemajuan untuk penegak

hukum terhadap pelaku tipikor dan dapat menghilangkan imunitas yang dimiliki terdakwa

dengan melarikan diri ke luar negeri. Peradilan In Absentia telah digunakan dalam

menangani kasus Bank Century dan Korupsi dana BLBI.

Banyak pendapat bahwa Peradian In Absentia ini melanggar Hak Asasi Manusia

tersangka atau terdakwa yang prinsipnya kehadiran terdakwa merupakan Hak Asasi untuk

membela diri dan mempertahankan kebebasan atau kehormatannya.28 Peradian In Absentia

dalam perkara tindak perkara korupsi tidak melanggar hak terdakwa karena terdakwa diberi kesempatan disetiap tahap baik penyelidikan, penyidikan, maupun persidangan

hanya saja tersangka atau terdakwa itu tidak menggunakan hak-haknya.29

28 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984. hlm 56

(17)

13

PENUTUP

A.Kesimpulan

1. Peraturan perundang-undangan tentang Tipikor secara keseluruhan telah menggambarkan adanya pembaharuan hukum pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Undang-undang tersebut dapat terlihat bahwa pembetuk undang-undang secara sistematis merumuskan tentang tindak pidana korupsi.

2. Pengadilan Tipikor merupakan pengadilan satu-satunya yang memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus tipikor. Pengajuan perkara Tipikor diajukan ke Pengadilan Tipikor yang mana dalam proses penyidikan, penyelidikan, dan proses peradilan dihadiri oleh tersangka atau terdakwa. Pada perkembangannya muncul

Peradilan In Absentia yang mana proses peradilan dilakukan tanpa dihadiri oleh terdakwa

sendiri, dari sejak pemeriksaan sampai dijatuhkan hukuman oleh pengadilan.

B.Rekomendasi

1. Adanya pengaturan tambahan mengenai peradilan In Absentia dalam UU Tipikor atau

dibentuk dalam undang-undang tersendiri sebagai undang-undang materiil secara konkrit untuk menjamin kepastian hukum dalam pelaksanaan pemberantasan Tipikor.

2. Adanya pengaturan mengenai hukum acara peradilan In Absentia diharapkan tidak akan

(18)

14

Daftar Pustaka

A.Buku

Abdul Latif & Hasbi Ali, Politik Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010

Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung: PT.

Alumni, 2008

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan

Internasional, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2009

Imam Syaukani & A.Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2006

Oce Madril & Hasrul Halili, Pengertian Korupsi dalam Hukum Anti Korupsi,

Bandung:USAID,2011

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991

Toetik Rahayuningsih & Indra Wahyuni, Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi

dalam Hukum Anti Korupsi.

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984

Yopie Morya Immanuel Patiro, Diskresi Pejabat Publik dan Tindak Pidana

Korupsi , Bandung: Keni Media, 2011

C. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-empat

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(19)

D. Sumber Lain

Adi Condro & Diana Kusumasari, Peradilan In Absentia,

<www.hukumonline.com>

Muladi, Prinsip-prinsip Dasar Hukum Pidana Dalam Kaitannya dengan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 19997, Jurnal Hukum Pidana dan

Kriminologi, Volume IV Nomor 1, 1998.

Riswal Saputra, Pelaksanaan Peradilan In Absentia dalam Perkara Tindak

Referensi

Dokumen terkait

2 Dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian langsung ke lapangan yaitu di BMT Mubarakah Undaan Lor Kudus untuk mendapatkan data yang konkret mengenai risiko

a) Proposal ini dibuat adalah untuk mendapatkan pertimbangan serta dukungan dari Pemerintah Aceh, khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten Bireuen untuk mengembangkan

pekerja sortasi akhir pada bagian kaki sebelum perancangan ulang diketahui bahwa keluhan tertinggi pada lutut Lutut pekerja sering mengalami keluhan sakit karena

: Efek Paparan Semen Portland Putih Lokal Sebagai Pengisi Pulpa Terhadap Peningkatan Proliferasi dan Diferensiasi Sel Punca Pulpa Gigi (Uji in Vitro).. NamaLengkap :

moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama, (3) Peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika

Komunikasi Antara Suami Istri Dalam Penyelesaian Konflik Di Usia Pernikahan Di Bawah 5 Tahun dapat penulis susun dan selesai sebagai wujud pertanggung jawaban atas

Pada penulisan skripsi ini peramalan saham bertujuan untuk mendapatkan prediksi harga saham secara teknis dari sebuah perusahaan dengan menggunakan jaringan syaraf tiruan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pembelajaran kooperatif tipe Formulate Share Listen Create (FSLC) terhadap kemampuan komunikasi matematis.. Populasi