• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Ijtihad: Makna dan Relasinya dengan Syari’ah, Fiqih, dan Ushul Fiqih

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "View of Ijtihad: Makna dan Relasinya dengan Syari’ah, Fiqih, dan Ushul Fiqih"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

M aslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010 1

Pendahuluan

Ajaran Islam yang bersum ber ut am a Al-Qur’an dan Al-Hadit s secara konsept ual disebut dengan Syari’ah. Secara garis besar Sya-ri’ah m eliput i t iga bidang: (1) aki-dah at au keyakinan yang m eru-pakan ajaran yang bersifat ele-m ent er at au ele-m endasar ele- menyang-kut t erut am a eksist ensi Allah, kit ab suci, nabi, qadla-qadar, akhi-rat , yang secara keilm uan dikenal dengan Kalam at au Tauhid at au Teologi Islam , (2) segala hal yang m engajarkan penyucian jiw a dan pem bent ukan m oral yang dikenal dengan Akhlak at au Et ika Islam ,

dan segala t unt unan hidup prakt is yang m engat ur perbuat an m anu- sia yang menyangkut ibadah t ivit as rit ual) dan m uam alah (ak-t ivi(ak-t as sosial), yang dikenal de-ngan Fikih at au Hukum Islam .1

Fikih at au hukum Islam ( Isla-mic law) m erupakan salah sat u unsur ut am a ajaran Islam . Ber-beda dari dua unsur ut am a ajaran Islam yang lain yakni akidah dan akhlak, fikih m enem pat i posisi pa-ling sent ral karena ia m enandai

1

M uhamm ad Ali al-Sayis, Nasy-’ah al-Fiqh al-Ijt ihadi wa At hwaruh, Kairo: Silsilah al-Buhut s al-Islam iyyah, 1970, hal. 8.

Ijtihad: M akna dan Relasinya dengan

Syari’ah, Fiqih, dan Ushul Fiqih

Agus Supriyant o

Abstract: This art icle explains about ijt ihad and its relation to shari’ah (Islamic law), fiqh

(Islamic jurisprudence) and ushul fiqh (methodology of Islamic jurisprudence). Ijt ihad

(2)

2 M aslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010

keislam an seseorang secara for-m al. Ini dikarenakan fikih berisi ajaran Islam yang bersifat prakt is-im plem ent at if dan bercorak lahi-riah, yang berupa at uran-at uran hidup prakt is yang m eliput i aspek rit ual (ibadah) dan aspek sosial (muamalah). Karena begit u pen-t ingnya posisi fikih dalam Islam , Joseph Schacht , seorang sarjana Barat t erkem uka yang m endalam i hukum Islam , m engem ukakan bahw a “ hukum Islam m erupakan w ujud pent ing ajaran Islam , aspek paling pokok dari ajaran Islam , int i dan kandungan paling dalam dari Islam it u sendiri… M aka, m ust ahil m em ahami Islam t anpa m em a-ham i fikih at au hukum Islam ” .2

Fikih at au hukum Islam , seca-ra luas, m encakup baik hukum m oral m aupun ket et apan-ket et ap-an hukum dap-an perundap-ang-undap-ang- perundang-undang-an. Sehingga lebih t epat jika dikat akan bahw a sement ara hkum m oral diw ahyukan dalam w u-jud t eks-t eks Al-Qur’an dan Sun-nah Nabi sebagai kehendaknya, m aka adalah t ugas kaum m uslim in unt uk m ew ujudkannya dalam ben-t uk keben-t eben-t apan-keben-t eben-t apan hukum

2

Joseph Schacht , An Int roduction t o Islamic Law, London: Oxford Universit y Press, 1971, hal. 46.

dalam pelbagai kont eks: sosial, ekonom i, polit ik, dan sebagainya. Sebenarnya, sejum lah at uran hu-kum t elah diberikan oleh Al-Qur-’an unt uk m ew ujudkan kehendak-Nya. Ket et apan-ket et apan Al-Qur-’an it u dapat dibagi m enjadi dua kat egori besar, yakni ‘halal’ (se-suat u yang dibolehkan) dan ‘ha-ram ’ (sesuat u yang dilarang). Dua kat egori ini kem udian dikem bang-kan m enjadi lim a kat egori at au yang dikenal dengan ‘hukum yang lim a’ (al-ahkam al-khamsah), yait u ‘w ajib’/ ’fardlu’ (sesuat u perbuat an yang harus dilakukan), ‘m andub’/ ‘sunah’ (perbuat an yang dianjur-kan unt uk dilakadianjur-kan), ‘m ubah’ (perbuat an yang boleh dilakukan dan boleh juga dit inggalkan), ‘m akruh’ (perbuat an yang dianjur-kan unt uk dit inggaldianjur-kan), dan ‘ha-ram ’ (suat u perbuat an yang harus dit inggalkan).3

Lim a jenis kat egori hukum ini sebenarnya bukan pem ilahan hu-kum it u sendiri, t et api lebih seba-gai klasifikasi ragam perbuat an yang bisa mengant arkan realisasi hukum Islam dalam w ujud t

3

(3)

M aslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010 3

an m anusia.4 At au, dengan kat a lain, apa yang t erm uat dalam fikih seluruhnya m enyangkut perbuat -an m ukalaf (or-ang dew asa d-an berakal sehat sehingga t erkena kew ajiban hukum ) yang memiliki nilai dan t elah dit ent ukan hukum -nya. Nilai perbuat an it u bisa ber-bent uk w ajib (m isal: m elaksana-kan salat dan puasa Ram adan), sunah at au m andub (m isal: berse-dekah), m ubah (m isal: t ransaksi ekonom i), m akruh (m isal: m ero-kok), dan haram (m isal: m em bu-nuh, m encuri). Jadi, ruang lingkup fikih sebat as mencakup persoalan hukum yang t erkait langsung de-ngan perbuat an m anusia.5

Fikih at au hukum Islam yang berisi t unt unan perbuat an m anu-sia dengan landasan lim a kat egori hukum sebagaim ana t ersebut di at as, secara t eroret is t erkait dengan syari’ah dan ushul fikih. Syari’ah berposisi sebagai landas-an dasar keberadalandas-an fikih, sem

4

Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories of Islamic Law : The M et ho-dology of Ijt ihad, Kuala Lum pur: The Ot her Press, 2002, hal. 57.

5

Abdul Aziz Dahlan (Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakart a : PT Icht iar Baru van Hoeve, 1999, Jilid 1, hal. 335.

t ara ushul fikih berperan sebagai m et odologi yang bisa dipakai un-t uk m erum uskan hukum -hukum fikih. Proses pem bent ukan ushul fikih sebagai m et odologi, dan bagaim ana ushul fikih m enjalankan perannya melahirenjalankan hukum -hukum fikih, secara konsept ual dikenal sebagai ‘ijt ihad’.

Relasi Syari’ah dan Fikih

Syari’ah t idak sam a dengan fikih, keduanya m erupakan dua hal yang berbeda, m asing-m asing m em iliki ent it asnya sendiri-sendi-ri. Nam un demikian, keduanya m em iliki hubungan yang saling

m elengkapi. Keberadaan yang

sat u m em ungkinkan keberadaan yang lain. M eski syari’ah dan fikih m em iliki ikat an yang kuat dan sulit dipisahkan, di ant ara keduanya t erdapat perbedaan yang m en-dasar.

Kat a ‘syari’ah’ secara et im o-logis berart i ‘sum ber/ aliran air yang digunakan unt uk minum ’. Dalam perkem bangan selanjut nya, kat a syari’ah digunakan dengan

m engacu kepada ‘jalan yang

(4)

4 M aslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010

kebut uhan pokok m anusia unt uk m em elihara keselam at an jiw a dan t ubuh m ereka, sem ent ara jalan yang lurus m erupakan kebut uhan pokok yang akan m enyelam at kan dan m em bawa kebaikan bagi um at m anusia. Dari akar kat a ini, syari’ah diart ikan sebagai agam a yang lurus yang dit urunkan Allah bagi um at m anusia. Dengan kat a lain, syari’ah adalah ket ent uan Allah bagi ham ba-Nya yang m e-liput i persoalan akidah, ibadah, akhlak, dan t at a kehidupan um at m anusia unt uk m encapai

kebaha-giaan m ereka di dunia dan

akhirat .6

Adapun perbedaan ant ara syari’ah dan fikih bisa dikem uka-kan lew at ungkapan berikut . Sya-ri’ah adalah sebuah lingkaran yang besar, sem ent ara fikih adalah ling-karan kecil yang m engurusi apa yang um um nya dipaham i sebagai t indakan hukum . Syari’ah selalu m engingat kan kit a akan w ahyu be-rupa Al-Qur’an dan Al-Hadit s, se-dangkan dalam fikih dit ekankan penalaran dan deduksi yang dilan-daskan pada w ahyu. Jalan syari’ah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya, bangunan fikih dit egakkan

6

Ibid., hal. 334.

oleh usaha m anusia. Fikih adalah ist ilah yang digunakan bagi hukum sebagai suat u ilm u, sedangkan syari’ah bagi hukum sebagai jalan kesalehan yang dikaruniakan dari langit (w ahyu).7 Oleh karena it u, syari’ah bersifat past i dan t ak berubah, sem ent ara fikih bisa berubah sesuai dengan sit uasi dan kondisi. Selain it u, ket ent uan sya-ri’ah bersifat um um yang hanya m enyangkut prinsip-prinsip dasar, sedang ket ent uan fikih bersifat spesifik, dalam art i m enjelaskan bagaim ana prinsip-prinsip dasar syari’ah bisa dit erapkan da-lam sit uasi dan kondisi t ert ent u.8

Dengan dem ikian, bisa juga dikat akan bahw a fikih sebagai pem aham an m anusia at as ajaran Allah, didasarkan pada w ahyu dan akal, kew enangan Allah dan kew e-nangan m anusia sekaligus, di m ana kewenangan Allah lebih t inggi dibanding kew enangan m anusia. Karenanya, dalam cit a hukum Islam , sem ua orang harus t unduk pada ket et apan Allah yang berasal dari Wahyu Sam aw i, yang berbent uk konkret Al-Qur’an yang

7

Ahm ad Hasan, op.cit., hal. 8-9.

8

(5)

M aslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010 5

dilengkapi Sunnah Nabi. Fikih at au hukum Islam , jika demikian, pada hakikat nya berasal dari Allah dan bert ujuan unt uk m enem ukan dan m erum uskan kehendak-Nya. Ke-hendak Allah bukanlah suat u sis-t em yang ssis-t asis-t is dan sis-t elah disis-t en-t ukan berlaku selam anya en-t anpa m engalam i perubahan; ia lebih m erupakan sesuat u yang m eliput i seluruh lapangan kehidupan m a-nusia, dan t erungkap secara prog-resif dan dinam is.

Berdasarkan paparan di at as, kit a bisa m enganalisis bahw a sya-ri’ah didasarkan pada w ahyu ( divi-ne revelat ion) dan karena it u ia m erupakan akidah/ dogm a, se-m ent ara fikih didasarkan pada akal m anusia (human reason) dengan t et ap berlandaskan pada w ahyu, dan karena it u ia m e-rupakan pem aham an at au penget ahuan m anusia yang dibim -bing w ahyu. Oleh karena it u, pem bent ukan syari’ah secara hist oris berjalan paralel dengan proses t urunnya w ahyu Allah

kepada Nabi M uham m ad, di

M akah dan M adinah, yang m e-m akan w akt u sekit ar 22 t ahun lebih. Sem ent ara pem bent ukan fikih berlangsung t erus m enerus t anpa pernah berhent i, m engikut i

alur kehidupan m anusia yang selalu berkem bang dan berubah.

Karena Islam m em berikan t unt unan dalam sem ua bidang kehidupan, m aka fikih at au hukum Islam mencakup segi-segi m oral-religius, sosial, polit ik, dan eko-nom i, dalam kehidupan m anusia. Dalam bent uk yang lebih konkret dan konsept ual, fikih m eliput i aspek rit ual (ibadah) sepert i salat , puasa, zakat , haji, dan sebagainya; dan aspek sosial (m uam alah) se-pert i nikah, w aris, hibah, w akaf, t ransaksi ekonomi (jual-beli, per-dagangan, hut ang-piut ang, gadai, dan sebagainya), jinayah (pidana), siyasah (polit ik, pem erint ahan), dan sebagainya. It ulah sebabnya, m engapa seorang m anusia yang bert indak m enurut hukum Islam dalam segala macam sit uasi dan kegiat an, dianggap t elah mem e-nuhi kehendak Allah. Jadi, hukum Islam adalah perw ujudan dari kehendak Allah.9

Relasi Fikih dan Ushul Fikih

Fikih dan ushul fikih m erupa-kan dua hal yang berbeda, t et api ant ara keduanya t erdapat hu-bungan yang saling bergant ung

9

(6)

6 M aslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010

dan m elengkapi. Keberadaan fikih dit ent ukan oleh ushul fikih, dem i-kian pula ushul fikih ada karena ada fikih. Sehingga, keberadaan keduanya bisa diibarat kan dua sisi dari sat u m at a uang.

Pengert ian ushul fikih, yang t erdiri dari dua kat a, ‘ushul’ (ushul) dan ‘fikih’ (fiqh), t erbangun dari art i dua kat a yang m em -bent uknya t ersebut . Art i kat a ‘ushul’ dan art i kat a ‘fikih’ diurai-kan m asing-m asing, kem udian art i keduanya dikom binasikan, sehing-ga t erbent uklah art i ‘ushul fikih’. Art i ‘fikih’ t elah diuraikan di at as, dan sekarang akan dibahas art i kat a ‘ushul’.

Kat a ‘ushul’ m erupakan ben-t uk jam ak dari kaben-t a ben-t unggal ‘ashl’. Secara harfiah kat a ‘ashl’ berart i ‘sesuat u dari m ana sesuat u yang lain berasal’ (somet hing from w hich anot her t hing originat es). Inilah alasan m engapa kat a ‘ashl’ secara harfiah berart i ‘akar’ (root). Kat a ‘ashl’ juga berart i ‘sesuat u yang darinya sesuat u yang lain dibent uk’ (somet hing upon w hich anot her t hing is const ruct ed), sehingga secara harfiah kat a ‘ashl’ juga berart i ‘dasar’ (foundat ion). Dalam kasus-kasus t ert ent u, kat a ‘ashl’ disam akan pula dengan kat a

Arab ‘m ashdar’, yang berart i ‘sum -ber’ (source). Dari beberapa art i harfiah t ersebut , ‘ushul fikih’ (ushul al-fiqh) bisa didefinisikan sebagai “ prinsip-prinsip dasar dan cara-cara (m et ode-m et ode) t er-t ener-t u yang bisa dijadikan landasan oleh para ahli hukum unt uk m erum uskan hukum Islam yang bersifat prakt is-aplikat if yang berasal dari dalil-dalil t ert ent u Al-Qur’an dan Al-Hadit s” .10 Ushul fikih bisa juga disebut sebagai “ him punan kaidah dan rum us-rum us yang bisa m elahirkan hu-kum Islam yang bersifat prakt is-aplikat if yang didasarkan pada dalil-dalil t ert ent u Al-Qur’an dan Sunnah Nabi” .11

Jika yang dikaji dalam fikih adalah perbuat an m ukalaf, m aka pokok bahasan dalam ushul fikih adalah dalil-dalil Qur’an dan Al-Hadit s yang m asih bersifat um um . M aka, dalil-dalil yang m asih ber-sifat um um t ersebut harus Diana-lisis agar m enjadi t erperinci dan spesifik sehingga m udah dipaham i dan diaplikasikan dalam

10

Imran Ahsan Khan Nyazee, op.cit ., hal. 26-29.

11

(7)

M aslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010 7

an sehari-hari. M isalnya, ayat -ayat yang t erkait dengan perbuat an m anusia, m est i dikaji dan dikla-sifikasi m ana yang berupa perin-t ah, dan m ana pula yang berupa larangan.12

Dari pengert ian ushul fikih sebagaim ana diuraikan di at as, m enjadi jelas di m ana let ak per-bedaan ant ara fikih dan ushul fikih, dan di m ana let ak hubungan ant ara keduanya. Fikih m erupakan t unt unan hidup prakt is-aplikat if dalam bent uk hukum yang diru-m uskan secara sist ediru-m at is; sediru-m en-t ara ushul fikih m erupakan prinsip dasar, kaidah, dan m et ode yang dijadikan acuan at au landasan da-lam m erum uskan hukum -hukum dalam fikih. Sehingga, ushul fikih m erupakan dasar at au landasan keberadaan fikih.

Ijtihad

A.Pengertian

Dalam salah sat u karyanya, Al-M ust asyfa, sebuah kit ab yang secara khusus m em bahas per- soalan ushul fikih, Im am Al-Ghazali m elukiskan ushul fikih sebagai ‘sebuah pohon yang dit anam oleh m anusia’. Buah-buahan pohon

12

Ibid.

t ersebut m enggam barkan hukum -hukum yang m erupakan t ujuan m enanam pohon; bat ang dan cabang-cabangnya adalah m at eri-m at eri t ekst ual yang eri-m eeri-m ungkin-kan pohon m enopang dan m ena-hannya. Nam un, agar pohon t er-sebut bisa dit anam , dan m

enja-dikannya m enopang buahnya,

(8)

8 M aslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010

‘ijt ihad’, usaha penalaran it u sen-diri.13

Kat a ‘ijt ihad’ (ijt ihad), dilihat dari perspekt if ilm u sharaf at au st rukt ur konjugasi, m erupakan isim m asdar at au kat a benda ben-t ukan dari kaben-t a kerja (fi’il) ijt a-hada-yajt ahidu-ijt ihadan. Kat a dasar ‘ijt ihad’ adalah jahada, yang juga m elahirkan kat a benda jahd dan juhd, yang keduanya berart i ‘kesulit an, kesusahan, kesem pit an, kem am puan, keluasan pikiran’.14

Apa yang dim aksud dengan ijt ihad secara definit if t elah dike-m ukakan oleh para fukaha (ahli fikih/ ushul fikih) dengan beragam definisi. M eski t erdapat banyak definisi, dan m asing-masing diru-m uskan dengan susunan redaksi berbeda, t et api t erdapat benang m erah at au persam aan pem a-ham an yang bersifat um um dan esensial. Oleh karena it u, secara um um dan esensial, ‘ijt ihad’

13

Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, (Penerjem ah E. Kusna-diningrat dan Abdul Haris bin Wahid), Jakart a: PT RajaGrafindo Persada, 2001, hal. 172.

14

M ajm a’ al-Lughah al-‘Arabi-yyah, Al-M u’jam al-Wasit h, Kairo: M akt abah al-Syuruq al-Dauliyyah, 2004, hal. 142.

ham i sebagai “ m encurahkan sega-la kem am puan unt uk m erum us-kan hukum yang berasal dari dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadit s”15, “ m encurahkan segala kem am puan unt uk m erum uskan hukum syara’ dari dalil yang bersifat dhanni (sam ar/ belum past i)16, “ proses pem ikiran yang m enghasilkan hu-kum -huhu-kum Islam lew at penelit ian yang m endalam ”17, “ upaya unt uk sam pai kepada suat u keput usan yang m andiri mengenai suat u persoalan hukum ”18 “ m

engguna-kan kem am puan akal secara

sungguh-sungguh unt uk m enen-t ukan pendapaenen-t di lapangan hu-kum m engenai hal yang pelik dan m eragukan”19. Yang dim aksud

15

Abdul Wahhab Khallaf, op.cit., hal. 202, lihat juga Im ran Ahsan Khan Nyazee, op.cit., hal.9, Ali Hasabullah, Ushul al-Tasyri’ al-Islami, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1997, hal. 68.

16

Al-Jarjani, Kit ab al-Ta’rifat, Jed-dah: Al-Haram ain, t t., hal. 10.

17

Abu Am eenah Bilal Philips, op.cit ., hal. 147.

18

C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Penget ahuan dalam Islam, (Pener-jem ah Hasan Basari), Jakart a: Pust aka Obor Indonesia, 2002, hal. 138.

19

(9)

M aslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010 9

dengan ‘m encurahkan segala ke-m ake-m puan, proses pem ikiran, m enggunakan kem am puan akal’ di sini adalah ‘m encurahkan pikiran dengan sunguh-sungguh at au berpikir secara serius dan m en-dalam dengan m enggunakan prinsip-prinsip rasio’. Oleh karena it u, di sini t erdapat ket erlibat an

akal m anusia dalam proses

m em ahami nash-nash at au dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadit s, at au ayat -ayat Al-Qur’an dan hadit s-hadit s Nabi. Sehingga, t erjalin sinergi bahkan sem acam simbiosis mut ualisme ant ara ‘w ahyu’ dan ‘akal’ at au ant ara ‘syari’ah’ dan

‘pem ikiran m anusia’; dan

t ent unya posisi w ahyu t et ap berada di at as akal.

Unt uk m enut up ruang

t erjadi-nya int ervensi akal (pem ikiran m anusia) t erhadap ket et apan w ahyu (syari’ah), at au kem ung-kinan menem pat kan akal di at as w ahyu, m aka para fukaha t elah m erum uskan krit eria dan persya-rat an ijt ihad.

B. Validitas Ijtihad

Sebagian besar fukaha ( jum-hur al-fuqaha’) m enyat akan bah-w a validit as at au keabsahan

Darul Kutubil Islam iyah, 1996, hal. 113.

dilakukannya ijt ihad dilandaskan pada Al-Quran, Al-Hadit s dan Akal.

1.Landasan Al-Qur’an

(10)

10 M aslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010

syari’ah (maqashid al-syari’ah) lew at proses pem ikiran.20

Selain it u, bisa juga diguna-kan ayat -ayat yang berisi do-rongan penggunaan akal sepert i afalaa t a’qiluun, afalaa t at a-fakkaruun. At au secara lebih det il bisa digunakan Surah Al-Nisa’ ayat 83 “Dan apabila dat ang kepada mereka berit a t ent ang keamanan dan ket akut an, mereka menyiar-kan it u. Dan sekiranya mereka kembalikan it u kepada Rasul dan ulil amri (umara/ ulama) di ant ara mereka, niscaya orang-orang di ant ara mereka yang ingin menelit i (yast anbit huunahu) berit a it u akan menget ahuinya dari mereka (Ra-sul dan ulil amri)” . Kat a yast an-bit uun berasal dari t asrif ist an-bat ha-yast anbit hu-ist inbat h. Kat a ist inbath berasal dari kat a naba-t ha al-bi’ra yang berart i

‘m enggali sum ur dan

m engeluarkan air dari sum ur t ersebut ’. Ist ilah ist inbat h hukum dalam ushul fikih t ent unya berasal dari sini. Adapun art i ‘is-t inbat h’ adalah ‘m enelit i art i yang t ersem bunyi di dalam nya dengan cara ijt ihad’. Dan ini sam a dengan ist ikhraj yang berart i ‘m enarik

20

Ali Hasabullah, ibid., hal. 70.

kesim pulan dengan analogi (qi-yas)’. Jadi, ayat ini jelas m engakui prinsip penggunaan akal, yang ident ik dengan ijt ihad. M eski perist iw a yang disebut kan dalam ayat t ersebut m erupakan hal khusus, t et api prinsip penggunaan ist inbat h sebagaim ana t ersurat m erupakan prinsip um um.21

2.Landasan Al-Hadits

Para fukaha biasanya m eng-gunakan hadit s yang berasal dari M u’adz bin Jabal. Ket ika Nabi m e-ngangkat M u’adz sebagai Guber-nur Yam an, beliau bert anya kepa-danya: “ Bagaim ana cara kam u m em ut uskan perkara jika kam u m enghadapi suat u persoalan?” Jaw ab M u’adz: “ Saya akan m em u-t uskan perkara u-t ersebuu-t berda-sarkan Al-Qur’an?” . Lanjut Nabi: “ Jika t idak ada dasarnya hukum -nya dalam Al-Qur’an ?” . Jaw ab M u’adz: “ Saya akan m em ut uskan berdasarkan Al-Hadit s” . Lanjut Nabi: “ Jika t idak ada dasar hu-kum nya dalam Al-Hadit s ?” . Jaw ab M u’adz: “ Saya akan berijt ihad de-ngan m enggunakan akal saya m eski dan t idak berlebih-lebihan” .

M u’adz berkat a : “ Rasul

kem udian menepuk dada saya

21

(11)

M aslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010 11

seraya berucap ‘segala puji bagi Allah yang t elah m em bim bing ut usan Rasul-Nya t erhadap segala hal yang diridai Allah dan Rasul-Nya’” . Hadit s ini diriw ayat kan oleh Abu Daw ud, Turm udzi, dan Al-Darim i. Selain hadit s ini, ada be-berapa riw ayat yang m enjelaskan bagaim ana Nabi berijt ihad, perin-t ah Nabi kepada para sahabaperin-t agar m ereka berijt ihad, dan perse-t ujuan (iqrar) Nabi t erhadap hasil ijt ihad beberapa sahabat .22

3.Landasan Akal

Allah t elah m enet apkan Islam sebagai agam a penut up, dan m enjadikan syari’ah (ajaran)nya cocok unt uk segala w akt u dan t em pat . Sem ent ara jum lah nash-nash (ayat dan hadist ) t erbat as, sedangkan pelbagai m asalah dan persoalan yang dihadapi m anusia t erus bert am bah dan berkem -bang, m aka t idaklah m uingkin bagi nash-nash yang t erbat as t ersebut unt uk m enylesaikan pelbagai per-soalan m anusia yang t erus m un-cul. Oleh karena it u, harus dibuka kem ungkinan unt uk m enghadapi dan m enyelesaikan pelbagai per-soalan dengan m em berikan solusi hukum nya lew at ijt ihad, baik

22

Ibid., hal. 70-71.

dengan m enggunakan met ode

qiyas (analogi) m aupun dengan m enerapkan prinsip ‘kebaikan bagi m anusia’ (al-mashlahah). Jika ijt ihad t idak boleh digunakan, m aka syari’ah (ajaran) Islam akan

kehilangan relevansinya bagi

kehidupan m anusia di set iap zam an dan t em pat .23

Oleh karena it u, m enurut M uham m ad Iqbal sebagaim ana dikut ip oleh C.A. Qadir, ijt ihad m e-rupakan prinsip gerak dalam Is-lam .24 Lebih lanjut ia berpendapat bahw a Islam , sebagai suat u agam a yang dinam is dan progresif, harus m enyesuaikan diri dengan zam an, dan bahw a prinsip gerak yang dianjurkan oleh Islam adalah prinsip ijt ihad.25

Dari uraian di at as dapat di-sim pulkan bahw a ijtihad m erupa-kan t unt ut an syari’ah sebagai-m ana bisa dipahasebagai-m i dari pelbagai ayat dan hadit s yang m endorong m anusia agar berpikir. Di sam ping it u, ijt ihad sebenarnya juga bisa dipaham i sebagai inst rum en int e-lekt ual unt uk m em ahami isi kan-dungan syari’ah secara m endalam , luas, dan kom prehensif. Lebih dari

23

Ibid., hal. 71.

24

C.A. Qadir, loc.cit.

25

(12)

12 M aslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010

it u, ijt ihad boleh juga dimaknai sebagai m et odologi pem aham an

dan perum usan hukum yang

t erkandung dalam pelbagai

nash-nash baik Al-Qur’an m aupun

Sunnah Nabi.

C. Kemungkinan Ijtihad

Sejak aw al harus dipaham i bahw a ijt ihad bukanlah sum ber hukum ; sum ber hukum yang sebenarnya t et aplah nash-nash yang berupa ayat -ayat Al-Qur’an dan hadit s-hadit s Nabi. Ijt ihad adalah suat u akt ivit as, pem ikiran m endalam , suat u proses unt uk m enem ukan hukum dari kedalam -an ayat -ayat Al-Qur’-an d-an hadit s-hadit s Nabi, unt uk dit erapkan pada pelbagai persoalan yang sedang menunggu put usan hu-kum .26 Jadi, ijt ihad diberlakukan dalam perm asalahan yang t idak t erdapat ket ent uannya di dalam Al-Qur’an at au Sunnah Nabi seca-ra langsung.27 Oleh karena it u, ijt ihad dim ungkinkan unt uk diblakukan dengan syarat -syarat t er-t ener-t u.

26

Imran Ahsan Khan Nyazee, op.cit ., hal. 287.

27

Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, (Penerjem ah Ghufron A. M as’adi), Jakart a: PT RajaGrafindo Persada, 1999, hal. 161.

Dari ket iga kandungan sya-ri’ah: akidah/ t auhid/ keim anan, akhlaq/ m oral, dan fikih at au hu-kum Islam , hanya fikih at au

hukum Islam yang memiliki

kem ungkinan unt uk dijadikan objek ijt ihad. Ini dikarenakan persoalan akidah seperti keesaan

Allah, keberadaan surga dan

neraka, at au persoalan akhlaq sepert i kejujuran dan kesabaran, didasarkan pada dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadit s yang bersifat jelas dan past i (sharih wa qath’i). Sem ent ara fikih at au hukum Islam yang m enyangkut t at a cara ibadah

(ukhraw i) dan m uam alah

(duniaw i), didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat sam ar dan m em erlukan penafsiran (dha-nni).

(13)

M aslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010 13

persoalan ibadah dan m uam a-lah.28

Prinsip pert am a dan ut am a dalam ijt ihad adalah: ‘t idak ada ijt ihad t erhadap nash yang pe-ngert iannya jelas’ (la ijt ihada ma’a al-nash) at au (la masagha li al-ijt ihadi fima fihi nashshun shari-hun qat h’iyyun). Ini m enjelaskan bahw a suat u ayat at au hadit s yang m engandung sat u pem aham an yang jelas dan past i sehingga t idak dim ungkinkan adanya pem aham -an lain, m aka t iada pelu-ang bagi ijt ihad.29 Cont ohnya ayat “ al-zaniyat u wa al-zani fajlidu kulla w ahidin minhuma miat a jaladah” at au “al-sariqu wa al-sariqat u faqt ha’u aidiyahuma”. Kat a miat a jaldah (serat us cam bukan) at au qat h’ al-yad (pot ong t angan) di sini at inya sudah jelas, karena t idak m ungkin dipaham i lain se-pert i ‘dua rat us cam bukan’ at au ‘pot ong kaki’. Jadi, kat a miah (serat us) dan yad (t angan) m

28

Abdul M un’im M ajid, Tarikh Hadlarah Islamiyyah fi ‘Ushur al-Wust ha, Kairo: M akt abah Anjilu al-M ishriyyah, hal. 175.

29

Imran Ahsan Khan Nyazee, op.cit ., hal. 287.

pakan nash yang jelas (sharih) dan past i (qat h’i).30

Sedangkan m enyangkut pe-laksanaan (m ekanism e) cam bukan dan apa yang dim aksud dengan t angan, dim ungkinkan adanya ij-t ihad. M isal, apa jenis cam buk yang akan digunakan, dan bagai-m ana cabagai-m bukan akan dilaksana-kan, apakah cam bukan dengan keras at aukah pelan. Demikian pula halnya dengan pengert ian t angan; apakah yang dim aksud dengan t angan di sini bat asannya dari siku hingga jari t angan, dan yang dipot ong t angan sebelah kiri at au kanan.31

Dengan demikian, kem ung-kinan ijt ihad diberlakukan jika t idak t erdapat nash sam a sekali baik dalam Quran m aupun Al-Hadist . At au jika t erdapat dalil berupa ayat at au hadit s, t et api pengert ian ayat dim aksud bersifat sam ar at au kurang jelas (dhanni al-dalalah), dan lafal hadit s dim aksud diragukan ot ent isit asnya (dhanni al-t subut), maka t erbuka kem ungkinan adanya ijt ihad.32 Apabila keraguan t erkait dengan ot ent isit as lafal hadit s, m aka

30

Ibid.

31

Ibid.

32

(14)

14 M aslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010

ijt ihad yang dilakukan diarahkan unt uk m eneliti sanad (rangkaian peraw i) hadit s bersangkut an. Se-m ent ara keraguan yang berkait an dengan dalil ayat (dhanni al-dalalah), m aka ijt ihad dilakukan dalam bent uk t afsir at au t a’w il unt uk m encari m akna ayat yang t epat , at au m engident ifikasi m ana lafal yang bersifat um um dan m ana yang bersifat khusus.33 Nam un demikian, khusus unt uk Um ar bin Khat ht hab, ijt ihad yang beliau lakukan t erkadang m enab-rak ket ent uan t ersebut . Yakni beliau berijt ihad t erhadap nash yang jelas dan past i (qat h’i al-t subual-t dan qat h’i al-dalalah), sem at a-m at a unt uk m enggali dan m enerapkan maqashid al-syari’ah (t ujuan paling dasar dan uat am a dari syari’ah).34

D. Ijtihad dalam Kerangka Fikih

Ijt ihad sebagai suat u aktivit as sekaligus proses berpikir secara m endalam , sebenarnya m erupakan bagian dari proses pem -bent ukan fikih at au hukum Islam (t asyri’). Tasyri’ ini berjalan secara bert ahap sebagai berikut : t asyri’ m asa Nabi (dari Nabi m enerim a

33

Ibid.

34

Ibid.

w ahyu sam pai beliau m eninggal t ahun 11 H), t asyri’ m asa Khulafa Rasyidun (11 H–40 H), t asyri’ m asa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar (139 H–172 H), t asyri’ m asa Fukaha dan Im am M adzhab (299 H–394 H), dan t asyri’ m asa Taqlid (394 H–Sekarang).35 Selain proses perum usan hukum , dalam t asyri’ juga t erjadi proses pem bent ukan dalil-dalil hukum (adillah al-syar’iyyah) dan t ujuan dit et ap-kannya hukum (maqashid al-syari’ah).

Dalil-dalil hukum yang berha-sil dirum uskan lew at proses ijt i-had, t erdiri dari: Qur’an, Al-Hadit s, dan Ijt ihad. Ijt ihad sebagai dalil hukum m eliput i: Ijma’, Qi-yas, Istihsan, M ashlahah M ursa-lah, ‘Urf, Ist ishhab, Syar’u M an Qablana, M adzhab Shahabi.36

35

Uraian lengkap t ent ang proses t asyri’ bisa dibaca dalam beberapa buku berikut : ‘Ilm Ushul al-Fiqh oleh Abdul Wahhab Khallaf, Al-Tasyri’ w a al-Fiqh fi al-Islam oleh M anna’ al-Qat ht han, Ushul al-Tasyri’ al-Islami oleh Ali Hasabullah, The Evolut ion of Fiqh oleh Abu Am eenah Bilal Philips, dsb.

36

(15)

al-M aslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010 15

Qur’an dan Al-Hadit s m erupakan dalil ut am a, sem ent ara yang lain m erupakan proses ijtihad yang harus m erujuk pada kedua dalil ut am a t ersebut .

Sem ent ara t ujuan penet apan hukum (maqashid al-syari’ah) secara garis besar diarahkan unt uk m em enuhi t iga kat egori kebut uh-an hidup m uh-anusia: kebut uhuh-an dasar (dlaruri), kebut uhan pendu-kung (haji), dan kebut uhan pe-lengkap (tahsini). Selain unt uk m em enuhi ket iga kebut uhan t er-sebut , t ujuan penet apan hukum juga diarahkan unt uk mem elihara (hifdh) lim a keselam at an : agam a (din), ket urunan (nasl), akal (‘aql), hart a (mal), dan kehorm at an (‘irdl).37

Bisa dikat akan bahw a pada set iap m asa t erjadi ijt ihad yang dilakukan baik secara sist em at is m aupun secara sporadis karena ada suat u perm asalahan t ert ent u. Pada m asa Nabi, seluruh ket en-t uan hukum harus berdasarkan w ahyu. Nam un, jika t idak t erdapat w ahyu, m aka Nabi berijt ihad.

Tasyri’ al-Islami oleh Ali Hasabullah, Al-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam oleh M anna’ al-Qat ht han, dsb.

37

Imran Ahsan Khan Nyazee, op.cit ., hal. 242-245.

bila ijt ihad beliau benar, m aka selesai m asalah. Tet api jika ijt ihad beliau salah, m aka t urunlah w ahyu unt uk m engoreksi ijt ihad beliau yang salah t ersebut . Demikian pula halnya pada m asa Khulafa’ Rasyidun. Jika para sahabat t idak m enem ukan w ahyu unt uk m ene-t apkan hukum , m aka m ereka m elakukan ijt ihad.38

Bisa diberikan beberapa con-t oh ijcon-t ihad berikucon-t ini. Nabi ber-ijt ihad dalam hal t aw anan perang Badar dengan m enerim a t ebusan. Allah m enganggap ijtihad Nabi keliru, sehingga t urunlah ayat berikut sebagai koreksi t erhadap beliau: “Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai t awanan sebe-lum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi” .39 Dan diriw ayat kan dari Abu Sa’id al-Khudri, bahw a ada dua orang sedang bepergian. Kem udian t iba-lah w akt u salat , t et api t idak dida-pat kan air unt uk berw udu. M aka keduanya kem udian bert ayam um dan salat . Set elah it u keduanya m enem ukan air. Salah sat u dari keduanya berw udu dan m eng-ulangi salat nya, sem ent ara yang lain t idak. Set elah keduanya

38

Ali Hasabullah, op.cit., hal. 79.

39

(16)

16 M aslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010

t em u Nabi dan m engadukan per-soalan t ersebut , Nabi berkat a kepada orang yang t idak m eng-ulangi salat nya: “ Kam u benar dan salat m u m em berim u pahala” .

Se-m ent ara kepada orang yang

berw udu dan m engulangi salat -nya, Nabi berkat a: “ Kam u m enda-pat kan dua pahala” . Nabi m e-nyet ujui (iqrar) t indakan keduanya lew at ijt ihad karena t idak ada dalil hukum nya.40

Khalifah Abu Bakar berijt ihad dengan cara m em erangi orang yang t idak m au m em bayar zakat m eskipun m ereka t elah m elaksa-nakan salat , dengan alasan t idak bahw a kedudukan zakat set ara dengan salat . Sehingga orang yang t idak m au m em bayar zakat sam a hukum nya dengan orang yang t idak m au m elaksanakan salat , m ereka boleh diperangi. Demikian pula dengan ijt ihadnya dalam bent uk penghim punan dan penu-lisan Al-Qur’an, dengan alasan banyak para penghafal Al-Qur’an yang gugur dalam m edan perang, sehingga dikhaw at irkan Al-Qur’an akan punah.41

Khalifah Um ar bin Khat ht hab dikenal luas sebagai orang yang

40

Ibid., hal. 77-78.

41

Ibid., hal. 79-80.

berani berijtihad m eski hasil ijt ihadnya bert ent angan dengan dalil qat h’i baik ayat Al-Qur’an m aupun hadit s Nabi. M isal, Um ar m elarang kaum laki-laki m uslim m enikahi w anit a ahli kit ab m es-kipun hal it u dibolehkan, dengan alasan khaw at ir para w anit a m us-lim ah t idak laku kaw in karena kaum lelaki m uslim lebih m em ilih w anit a ahli kit ab. Ijt ihad lain Um ar berupa pendapat nya bahw a t alak t iga dalam sat u w akt u adalah sah. Hal ini berbeda dengan pendapat Nabi dan Abu Bakar bahw a t alak t iga dalam sat u w akt u t et ap yang berlaku t alak sat u. Um ar beralasan bahw a kaum m uslim dengan gam -pangnya m enjat uhkan t iga t alak sekaligus dalam sat u w akt u unt uk m ain-m ain. Pendapat Um ar ini dit ujukan unt uk m em beri pelajar-an para pengum bar t alak. Dem i-kian pun Um ar t idak m em ot ong t angan pencuri yang t ert angkap

m elakukan pencurian padahal

(17)

M aslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010 17

um at . Um ar dikenal luas sebagai orang yang benar im annya, kuat keyakinannya, luas pandangan fi-kihnya, dalam pem aham an aga-m anya, ikhlas segala aaga-malnya, dan selalu berpegang t eguh pada kebenaran dan keadilan.42

Dem ikian halnya dengan Kha-lifah Ali bin Abi Thalib, ket ika beliau dit anya t ent ang hukum an bagi pem inum kham er. Ali berij-t ihad dengan berkaberij-t a: “ Barang siapa m abuk m aka ia m engigau, dan barang siapa m engigau m aka ia berdust a, sehingga sudah sela-yaknya hukum an bagi pem abuk

sam a dengan hukum an bagi

pendust a/ penuduh zina” .43

Fikih yang didukung proses ijt ihad mengalam i puncaknya pada m asa Im am M ujt ahidin at au Im am M adzhab, yang dit andai t erut am a dengan t erbent uknya m adzhab-m adzhab t erut aadzhab-m a eadzhab-m pat adzhab-m adz-hab: Hanafi (didirikan oleh Im am Abu Hanifah), M aliki (didirikan oleh Im am M alik bin Anas), Syafi’i (didirikan oleh Im am M uham m ad bin Idris Al-Syafi’i), dan Hanbali

42

Ibid., hal. 80-82.

43

Ahm ad Am in, Fajr al-Islam, Kairo: M akt abah al-Nahdlah al-M ish-riyyah, 1975, hal. 237.

(didirikan oleh Im am Ahm ad bin Hanbal).

Di ant ara keem pat im am t ersebut berlangsung diskusi-dis-kusi m engenai usaha pem benaran pendapat nya m asing-m asing. Dis-kusi-diskusi it u dilakukan at as dasar yang benar dan cara-cara yang lurus. M asing-m asing m eng-gunakan alat pem bukt ian at as pendapat yang dianut nya sert a m em berlakukan syari’at seluruh-nya dan dalam set iap m asalah pokok fikih. Kadang-kadang, per-bedaan pendapat t erjadi ant ara Syafi’i dan M alik, sem ent ara Abu Hanifah m endukung salah sat u-nya; kadang t erjadi ant ara Syafi’i dan Abu Hanifah, sem ent ara M alik m endukung salah sat u. Di dalam diskusi-diskusi inilah m uncul ket e-rangan at as dalil-dalil dan dasar hukum para im am t ersebut , t ent ang sebab ut am a perbedaan pendapat sert a posisi-posisi ijt ihad m ereka.44

Fikih at au hukum Islam yang diist inbat hkan dari dalil-dalil syari-’ah m enim bulkan banyak perbe-daan pendapat di kalangan para ulam a yang berijtihad. Perbedaan

44

(18)

18 M aslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010

pendapat it u m uncul karena per-bedaan sum ber dan perper-bedaan sudut pandang, suat u hal yang t idak bisa dihindarkan. Perbedaan pendapat it u m enyebar seluas-luasnya di dalam Islam.45

Kit a bisa m engam bil cont oh

perbedaan pandangan im am

m adzhab dalam berijt ihad t en-t ang hukum m em baca basm alah dalam salat . Im am M alik berpendapat bahw a t idak boleh m em -baca basm alah dalam salat w ajib lim a w akt u baik yang dibaca keras m aupun pelan, baik di aw al surat AlFat ihah m aupun di aw al surat surat lainnya, t et api boleh m em -baca basm alah dalam salat sunah. Sem ent ara Im am Abu Hanifah berpendapat boleh mem baca bas-m alah secara pelan dalabas-m set iap rakaat salat , dan lebih baik kalau bacaan basm alah di aw al set iap surat lain juga secara pelan. Adapun Im am Syafi’i berpendapat w ajib m em baca basm alah baik ket ika surat dibaca keras m aupun pelan. Terakhir, Im am Ahm ad bin Hanbal berpendapat boleh m em -baca basm alah dengan suara pelan dan tidak dianjurkan dibaca dengan suara keras. Penyebab

45

Ibid.hal. 586.

t erjadinya perbedaan pendapat di ant ara para im am m adzhab adalah apakah lafal basm alah t erm asuk dalam salah sat u ayat dalam surat Al-Fat ihah dan m erupakan ayat pert am a dalam surat -surat yang lain, at au t idak.46

Dem ikian juga ijt ihad t ent ang ayat “faw alli wajhaka syat hral masjidil haram” . Persoalannya adalah apakah w ajib m enghadap w ujud ka’bah at aukah cukup m enghadap arah ka’bah dalam sa-lat . M adzhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat w ajib m enghadap w ujud ka’bah, sem ent ara m adz-hab Hanafi dan M aliki berpen-dapat bahw a hanya diw ajibkan m enghadap arah ka’bah apabila orang yang salat t idak bisa melihat ka’bah secara langsung.47

Khatimah: Keniscayaan Ijtihad

Kebut uhan akan ijt ihad m eru-pakan sesuat u yang t idak dapat dihindarkan, karena adanya kebu-t uhan kebu-t erhadap hukum dalam pelbagai sit uasi dan kondisi yang

46

M uhamm ad Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan: Tafsir Ayat al-Ah-kam min al-Qur’an, Jilid 1, Beirut : Dar al-Fikr, t t ., hal. 53-54.

47

(19)

M aslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010 19

baru. Selam anya, bahkan sam pai hari kiam at , set iap m uslim past i akan berada dalam posisi seba-gaim ana M u’adz, dan karenanya m em but uhkan ijt ihad.48

Ada beberapa hal pent ing yang perlu disam paikan berkait an dengan ijt ihad. Pert ama, t idak pernah ada ‘t it ah’ yang m em e-rint ahkan agar pint u ijt ihad dit u-t up. Para ahli fikih u-t erus m ela-kukan ijt ihad sam pai abad ke-2 H. M ereka pun m engeluarkan hukum dan fat w a sesuai dengan pert a-nyaan dan kebut uhan m asyarakat . Karena adanya perbedaan ilm u para fukaha, m aka kesim pulan hukum nya pun berbeda. Hal ini t erjadi baik dalam m asalah per-nikahan, perceraian, t ingkah laku secara um um , at au bahkan dalam urusan ibadah sepert i salat dan puasa. Akibat nya, hukum nya pun beragam dan berbeda ant ara yang sat u dengan yang lain.49

Perbedaan hukum t idak da-pat dihindari, karena hal ini m uncul dari perbedaan kadar ke-m ake-m puan ke-m asing-ke-m asing.

48

Cyril Glasse, op.cit., hal. 162.

49

Jam al al-Banna, M anifesto Fiqih Baru 1, (Penerjem ah Hasibullah Sat raw i dan Zuhairi M israwi), Jakart a: Penerbit Erlangga, 2008, hal. 67-68.

rang m ungkin m engharam kan m i-num kopi, sebagaim ana sebagian orang m engharam kan rokok pada zam an kit a sekarang ini. Sem ua it u t idak m asalah, asalkan berangkat dari rum usan dan m em punyai m et odologi sert a landasan hukum yang jelas. Persoalan ini–m ene-m ukan ruene-m usan ene-m et ode dan t eori baru dalam berijt ihad-belum ba-nyak disent uh oleh para ahli.50

Kedua, adanya perbedaan ijt ihad di m asa sekarang dengan t em po dulu, yakni dalam cakupan ijt ihad. Dulu para ulam a fikih m ungkin cukup berijt ihad dalam hal: perkaw inan, perceraian, za-kat , kepem ilikan, w arisan, riba, haji, dan salat ; m engingat perkem -bangan m asyarakat m em ang ha-nya sam pai di sit u. Berbeda dengan sekarang yang perkem -bangannya t idak dapat dibat asi lagi. Oleh karena it u, ajaran Islam harus dibaca secara lebih krit is. Dalam persoalan riba, misalnya, bagaim ana kit a akan m engat akan bahw a bank penuh riba t anpa m enget ahui sist em pasar, perban-kan, dan sebagainya. Bagaim ana kit a akan berijt ihad dalam bidang polit ik t anpa m enget ahui apa it u

50

(20)

20 M aslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010

polit ik, apa kont ribusinya, bagai-m ana cara pebagai-m ilihan, dan se-bagainya.51

Seseorang yang akan berfat -w a dalam bidang-bidang di at as harus secara ut uh m enget ahui bidang yang dim aksud. Hal ini t ent unya m em but uhkan spesia-lisasi t ersendiri. Dan it u sangat sulit . Dengan kat a lain, sangat sulit seorang ulam a fikih m em punyai w aw asan yang mem adai di sem ua bidang sepert i perbankan, polit ik, ekonom i, cara pemilihan, dan sebagainya. Di sinilah kem udian t erbent uk apa yang nam anya spesialisasi. Seseorang m ungkin alim dalam bidang polit ik at au sosial t et api penget ahuan fikihnya sangat lem ah. Begit u pula seba-liknya.52

Oleh karena it u, para ulam a fikih dan para ahli ilm u lainnya harus bisa duduk bersam a, agar sebuah perm asalahan dapat dike-t ahui secara sem purna. Kem udian

fat w a pun bisa dihadirkan dengan bent uknya yang sem purna. M eng-ingat ijtihad t idak m ungkin hanya dilakukan di sat u negara, m aka

51

Ibid.

52

Ibid., hal. 70.

seharusnya ada sem acam ‘pert e-m uan t inggi ijtihad’ yang diikut i oleh para ulam a dari dunia Islam . Hal ini t idak lain unt uk mengenali m asalah dan ijt ihad yang dibu-t uhkn secara lebih sem purna. Di sam ping it u juga harus ada sem acam badan khusus yang m engurus penerapan ijt ihad ini, agar ijt ihad yang dihasilkan dapat dilaksanakan.53

Jelas, perkem bangan kehi-dupan juga menunt ut adanya perkem bangan ijt ihad, baik m e-nyangkut m et ode m aupun bent uk. Jika pada m asa-m asa aw al ke-lahiran dan perkem bangan Islam , ijt ihad dilakukan secara individu oleh seorang m ujt ahid, sehingga disebut ‘ijt ihad individual’ (ijt ihad fardi), karena perm asalahan yang dihadapi belum begit u kom pleks. M aka, pada m asa kont em porer sekarang ini, m engingat perm a-salahan yang dihadapi begit u kom pleks, t ent u m enjadi sebuah keniscayaan jika diberlakukan ‘ijt ihad kolekt if’ (ijtihad jama’i). Wallahu a’lam.

53

Referensi

Dokumen terkait