Artikel Kajian Filsafat
ϮϬϭϯ
| Arjuna Putra Aldino
Kekerasan Simbolik dalam Pendidikan
Pendidikan seringkali menjadi sebuah ajang perebutan oleh kelompok sosial yang ada di masyarakat. Disini dunia Pendidikan dipandang berdasarkan perspektif Pierre Bourdieu adalah
“Ranah Sosial”, Ranah Sosial adalah wilayah terbatas yang di dalamnya terdapat perjuangan atau
manuver yang memperebutkan sember atau pertaruhan dan akses terbatas. Arena adalah taruhan yang dipertaruhkan seperti gaya hidup, perumahan, pekerjaan, kekuasaan (politik), intelektual, kelas sosial, ekonomi, prestise dll. Jelas dalam sebuah pertarungan dalam ranah sosial sangat
ditentukan oleh “modal”. Modal adalah sumber-sumber daya yang mempunyai nilai tertentu yang dimiliki oleh seseorang agar dapat bertahan dalam suatu arena. Setiap arena menuntut individu untuk mempunyai modal-modal khusus agar dapat hidup baik dan bertahan di dalamnya. Modal disini bukan hanya diartikan berdasarkan logika ekonomi yang sempit. Bourdieu membedakan empat jenis modal: ekonomi, budaya, sosial, dan simbolik. Pertarungan dalam sebuah Arena Sosial
yakni memperubatkan “Habitus” dan dipengaruhi oleh “Habitus”. Apa itu Habitus?
Habitus adalah struktur yang dibentuk sekaligus membentuk dunia sosial. Habitus adalah struktur subjektif internal yang diperoleh seseorang melalui pengalamannya dengan menginternalisasi struktur objektif eksternal dunia sosial tempat ia hidup. Habitus bisa disebut sebagai Kebiasaan. Pembentukan Habitus dipengaruhi oleh dunia sosial yakni kelas sosial. Artinya setiap kelas sosial masyarakat mempunyai Habitus yang berbeda-beda. Misalnya, Murid yang berasal dari kelas elit, sejak kecil tidak asing dengan buku, komputer, perpustakaan, majalah atau Koran. Semua itu telah menjadi habitus, bagian hidup sehari-hari. Bahkan akses-akses Pendidikan
yang mahal sudah menjadi hal yang wajar ketika untuk mencapai kualitas diri. Jadi “Pendidikan
yang berkualitas adalah Mahal itu Wajar, sudah menjadi Habitus kelas elit.
Disini jelas, dominasi pandangan bahwa “Pendidikan yang berkualitas adalah Mahal itu
Wajar, merupakan kemenangan penuh Habitus kelas elit dalam pertarungan di Arena Sosial
(Pendidikan). Berkat kemenangan Habitus kelas elit, pandangan “Pendidikan yang berkualitas
adalah Mahal itu Wajar, sudah menjadi Common-Sense. Sehingga Common-Sense ini menjadi
Artikel Kajian Filsafat
ϮϬϭϯ
| Arjuna Putra Aldino
kelompok dominan yang menyatakan diri dan memberlakukan diri sebagai sudut pandang yang universal. Doxa ini akan dipakai masyarakat dalam memandang dunia Pendidikan. Jelas
Common-Sense “Pendidikan yang berkualitas adalahMahal itu Wajar”, sudah menjadi Doxa di masyarakat.
Sehingga Doxa ini dipakai masyarakat memandang, mengatur dan mengelola dunia Pendidikan.
Doxa kemudian manjadi pengalaman yang “di-internalisasikan” oleh masyarakat sehingga
kembali menjadi “Habitus”. Nah disinilah terjadi “Kekerasan Simbolik”. Mengapa?
Karena masyarakat golongan bawah dipaksa untuk menginternalisasi Common-Sense yang sudah menjadi Doxa tersebut pada diri mereka sehingga menjadi Habitus mereka. Dipaksa untuk
menyatakan bahwa “Pendidikan yang berkualitas adalah Mahal itu Wajar”. Kekerasan Simbolik
sama halnya dengan Dominasi Simbolik dimana penindasan dengan menggunakan simbol-simbol (sloganistik, sederhana, populer,). Penindasan ini tidak dirasakan sebagai penindasan, tetapi sebagai sesuatu yang secara normal perlu dilakukan. Artinya, penindasan tersebut telah mendapatkan persetujuan dari pihak yang ditindas itu sendiri. Kekerasan Simbolik dilakukan agar
kemudian orang yang ditindas menganggap tatanan itu sebagai sesuatu yang “adil.” Agar orang yang ditindas tersebut menganggap pandangan yang dominan ini sebagai yang “benar.” Pandangan