• Tidak ada hasil yang ditemukan

62 BAB III PERKEMBANGAN LEMBAGA PERWAKILAN BIKAMERAL DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "62 BAB III PERKEMBANGAN LEMBAGA PERWAKILAN BIKAMERAL DI INDONESIA"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PERKEMBANGAN LEMBAGA PERWAKILAN BIKAMERAL DI INDONESIA

Pada sub bab ini Penulis akan membahas mengenai

pengaturan bicameral di Indonesia yang akan ditelaah melalui

sejarah terbentuknya DPD melalui beberapa kali Perubahan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945. Selanjutnya pembahasan ini kemudian akan berfokus

pada Kedudukan, keanggotaan dan fungsi (legislasi, Anggaran

dan pengawasan) yang ada saat ini dan kemudian merujuk

pada struktur dan peran yang dianggap ideal oleh Penulis

untuk diterapkan di Indonesia pada masa yang akan datang.

A. Sejarah Pengaturan Lembaga Perwakilan Bicameral di Indonesia

Lembaga perwakilan rakyat Indonesia telah mengalami

proses dan perkembangan sesuai dengan situasi dan kondisi

politik pada saat itu. Struktur organisasi lembaga

perwakilan Indonesia mengalami pergantian sesuai dengan

(2)

berdirinya Negara Republik Indonesia, UUD 1945

menganut sistem Parlemen MPR, yang merupakan ciri khas

Indonesia walaupun ini belum sempat terbentuk dan

dijalankan oleh Komite Nasional Pusat (KNP) dan Badan

Pekerja KNP. Pada masa RIS atas keinginan Belanda,

dibentuk negara federal dengan struktur organisasi

Parlemen bicameral dengan Senat sebagai perwakilan

teritorial.

Pada UUDS 1950, kembali dengan struktur organisasi

lembaga perwakilan unikameral. Dengan adanya Dekrit

Presiden 5 juli 1959, UUD 1945 diberlakukan kembali,

kemudian mulai dibentuk MPRS. Walaupun kedudukannya

masih kepanjangan tangan dari Presiden, tetapi pemerintah

Indonesia saat itu sudah mulai mengikuti struktur lembaga

perwakilan yang diinginkan UUD 1945. Pada masa Orde

Baru yang bertekad melaksanakan UUD 1945 secara murni

dan konsekuen, MPR kembali difungsikan sesuai yang

diinginkan oleh UUD 1945, tetapi MPR lebih sering

(3)

Sesudah reformasi, keinginan membentuk badan

perwakilan bicameral muncul berkaitan dengan sistem

politik yang sentralistik dan jarang memperhatikan aspirasi

daerah. Lembaga legislatif pada masa-masa lalu cenderung

pasif dan tidak memerhatikan kebijakan pemerintah pusat

terutama yang berkaitan dengan daerah. Sehingga sistem

bicameral dimunculkan kembali pada Perubahan Ketiga

dan Keempat UUD 1945.

1. Periode Pertama UUD 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1945-27 Desember 1949)

Satu hari setelah proklamasi pada tanggal 18 Agustus

1945 sidang PPKI mengesahkan dua agenda pokok

ketatanegaraan Indonesia Merdeka, yaitu menetapkan

Undang-undang dasar (UUD) 1945 dan memilih Presiden

serta wakil presiden. Undang-undang Dasar 1945 sebagai

staats fundamental norm merupakan hukum dasar yang

mengatur tata kehidupan berbangsa dan bernegara rakyat

Indonesia.

Apabila kita lihat dari proses pembentukannya

(4)

Proklamasi Kemerdekaan.1 Maka UUD 1945

termasuk konstitusi yang cukup singkat dan

sederhana. Meskipun UUD 1945 merupakan naskah

konstitusi yang singkat namun negara yang hendak

dijelmakannya secara normatif telah memenuhi syarat

sebagai sebuah negara hukum. Bahkan penjelasan

umum UUD 1945 itu dengan tegas menyatakan

bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum

(rechsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka

(machsstaat).

Muatan Konstitusi salah satunya adalah

pengaturan tentang susunan ketatanegaraan/ lembaga

negara dan pembagian tugas dari lembaga tersebut.

Sebagai sebuah negara yang baru merdeka, Indonesia

pada saat itu juga membutuhkan perangkat negara

atau lembaga negara yang fundamental lain

disamping lembaga negara kepresidenan yang telah

terbentuk (Presiden dan wakil Presiden).

(5)

Apabila dicermati secara keseluruhan UUD 1945

mengenal enam lembaga negara yang fundamental

sebagai pilar utama dalam kehidupan ketataneraan

Indonesia. Lembaga negara tersebut yaitu Majelis

Permusyawaratan (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR), Presiden, Mahkamah Agung (MA), Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan

Pertimbangan Agung (DPA).

Menurut Jimly Asshiddiqie dari keenam lembaga tersebut hanya MPR saja yang bersifat

khas Indonesia. Selanjutnya Jimmy

mengemukakan bahwa kelima lembaga lain berasal dari cetak biru (tiruan) kelembagaan

yang dicontoh dari zaman hindia Belanda.2

Lembaga tersebut antara lain DPR dapat dikaitkan dengan sejarah Dewan Rakyat (voolksraad) yang merupakan lembaga perwakilan rakyat, Presiden tidak lain adalah

pengganti lembaga Gouvernuur General

merupakan pelaksana kekuasaan eksekutif antara pemerintah, Mahkamah Agung berkaitan

dengan Landraad Raad Van Justitia di Hindia

Belanda, serta Hogeraad yang ada di negara

Belanda merupakan pelaksana kekuasaan judicial atau kehakiman. Sedangkan badan

pemeriksaan kekuasaan dari Raad Van

Rekenkameer, dan dewan pertimbangan Agung

berasal dari Raad van Nederlandsche Indie

2 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran

(6)

yang ada di Batavia atau Raad van State yang

ada di Belanda.3

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang

kemudian dianggap mempunyai kedudukan yang

tertinggi. Konsep lembaga tertinggi biasanya dipakai

dalam lingkungan negara komunis yang menerapkan

sistem partai tunggal di mana kedaulatan rakyat

disalurkan melalui pelembagaan majelis rakyat yang

tertinggi (supreme people council) seperti di Uni

Soviet, RRC, dll. Kedudukan MPR sebagai lembaga

tertinggi didasarkan atas ketentuan Pasal 1 ayat (2)

UUD 1945 yang mengatakan bahwa “Kedaulatan

adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permuswaratan Rakyat”. Secara

ekplesitit dalam pasal tersebut memang tidak

dinyatakan kedudukan MPR sebagai lembaga

tertinggi namun dalam penjelasan UUD 1945 tentang

sistem Pemerintahan Negara, angka II dan III jelas

dinyatakan hal tersebut. Angka II berbunyi :

Pemerintah berdasarkan sistem konstitusional dan

(7)

bukan berdasarkan absolutism. Angka III berbunyi:

kekuasaan negara yang tertinggi di tangan Majelis

Permusyawaratan Rakyat (Diegezamte

staatsgewaltliegi allein bei der majelis). Kedaulatan

terletak di tangan rakyat yang dilaksanakan oleh MPR

sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi.

Presiden adalah mandataris MPR yang

bertanggungjawab meyelenggarakan pemerintahan

tertinggi di bawah MPR, maka dapat dikatakan bahwa

UUD 1945 lebih mendekatkan asas Kedaulatan

Rakyat.

Dari penjelasan UUD 1945 tersebut, dapat

disimpulkan bahwa MPR merupakan lembaga

tertinggi negara yang merupakan penjelmaan seluruh

rakyat dan memiliki kedudukan supreme dari

lembaga lainnya yang dapat kita golongkan ke dalam

lembaga tinggi negara. Dalam sidang BPUPKI

tanggal 13 mei 1945, Muhhamad Yamin

menyebutkan:

“Kekuasaan yang dipegang oleh permusyawaratan

(8)

wakil daerah-daerah Indonesia tetapi semata-mata pula oleh wakil golongan atau rakyat Indonesia

seluruhnya………

Majelis Permusyawaratan juga meliputi segala anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Soepomo mengatakan: Majelis Permusyawaratan Rakyat yang tinggi itu tersusun atas Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan wakil-wakil dari daerah,

golongan-golongan, supaya mewujudkan seluruh rakyat”

Muhhamad Yamin dalam sidang BPUPK

pertama kali menyebut perkataan majelis pada pidato

tanggal 29 Mei, Yamin menyebutkan pusat

Parlemen/balai perwakilan yang terbagi atas majelis

dan Balai Perwakilan Rakyat. Mengenai komposisi

dari anggota MPR diatur berdasarkan Pasal 2 ayat 1

UUD 1945 yang berbunyi:

Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari

atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat

ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah

dan golongan menurut aturan yang ditetapkan

dengan undang-undang”.

Jika dibandingkan dengan sistem badan

perwakilan pada umumnya yang dianut oleh

(9)

diidealkan berparlemen tunggal (unikameral) tetapi

dengan variasi yang dikaitkan dengan teori

kedaulatan rakyat dan dibayangkan dapat

diorganisasikan secara total ke dalam suatu organ

yang dinamakan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Menurut Soepomo parlemen negara Indonesia terdiri

dari satu badan ialah Badan Perwakilan Rakyat.4

2. Periode Konstitusi RIS (27 Desember 1949-17 Agustus 1950)

Pada tanggal 27 Desember 1949, di Amsterdam,

Belanda diadakan upacara penyerahan kedaulatan kepada

Republik Indonesia Serikat. Tentang istilah “penyerahan”

kedaulatan kepada Indonesia, bangsa Indonesia,

menamakan “pengembalian/pemulihan. Indonesia

menerima istilah penyerahan hanya agar Belanda lepas

dari Indonesia.

Menurut Kostitusi RIS Pasal 1 ayat (1) Konstitusi

RIS, Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan

4 Ramdlon Naning, Lembaga Legislatif Sebagai Pilar Demokrasi dan

(10)

berdaulat ialah sebuah negara hukum yang demokratis

dan berbentuk federasi. Pada masa RIS, banyak yang

mengatakan bahwa sistem pemerintahannya adalah sistem

pemerintahan parlementer karena kabinet/para menterinya

bertanggungjawab, baik secara langsung bersama untuk

seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya

sendiri kepada Parlemen. Sejak tanggal 27 Desember

1949, Republik Indonesia yang tadinya meliputi wilayah

bekas Hindia Belanda, kemudian dikurangi wilayahnya

melalui persetujuan Linggarjati dan Renville, telah

menjadi negara bagian di dalam negara RIS sebagai

halnya negara-negara bagian lainnya.

a. Senat

Menurut Konstitusi RIS Pasal 1 ayat (2),

kekuasaan kedaulatan RIS dilakukan oleh pemerintah

bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan

Senat. Kita dapat melihat dalam konstitusi RIS, bahwa

senat diakui kedudukannya secara jelas sebagai

pemegang kedaulatan RIS, bersama-sama dengan

(11)

Anggota-anggota senat RIS berjumlah 32 orang, yaitu

masing-masing 2 anggota dari tiap negara bagian. Ketua senat

RIS diangkat oleh Presiden dari anjuran atau saran yang

dimajukan oleh senat atau atau sebagian anggota senat.

Secara keseluruhan cara kerja senat RIS diatur dalam

tata tertib senat RIS. Dalam banyak hal, banyak

ketentuan seperti tertulis dalam konstitusi RIS mengenai

hak dan kewajiban senat dan anggota senat RIS yang

belum dapat berfungsi sempurna, sama halnya dengan

kondisi DPR RIS. Hal ini lebih beralasan lagi karena

senat merupakan “badan baru” dalam kehidupan

bernegara dan berdemokrasi di Indonesia.5

Senat mewakili daerah-daerah bagian.6 Setiap

daerah bagian mempunyai dua anggota dalam senat.7

Setiap anggota senat mengeluarkan satu suara dalam

senat.8 Anggota-anggota senat ditunjuk pemerintah

daerah-daerah bagian dari daftar yang disampaikan oleh

masing-masing perwakilan rakyat dan memuat tiga calon

5 Reni Dwi Purnomowati, Sistem Bikameral Dalam……. Op cit., hal 140-141.

6 Pasal 80 ayat (1) Konstitusi RIS. 7Ibid.,

(12)

untuk tiap-tiap kursi.9 Apabila dibutuhkan calon untuk

dua kursi, pemerintah bersangkutan bebas untuk

menggunakan sebagai satu, daftar-daftar yang

disampaikan oleh perwakilan rakyat untuk pilihan

lembar itu.10 Berkaitan dengan hal itu, daerah-daerah

bagian sendiri mengadakan peraturan-peraturan yang

perlu untuk menunjuk anggota-anggota dalam senat.11

Warga negara yang boleh menjadi anggota senat

ialah warga negara yang telah berusia tiga puluh tahun

dan yang bukan orang yang tidak diperkenankan serta

dalam atau menjalankan hak pilih ataupun yang haknya

untuk dipilih sudah dicabut.12 Anggota-anggota senat

sebelumnya mengangkat sumpah (keterangan dan janji)

dihadapan Presiden atau ketua senat yang dikuasakan

untuk itu oleh Presiden, menurut cara agamanya.

(13)

b. Dewan Perwakilan Rakyat

Menurut Konstitusi RIS jumlah anggota DPR

terdiri 146 orang yang mewakili negara/daerah bagian,

sebagai berikut: Republik Indonesia 49 orang,

Indonesia Timur, Jawa Timur 15 orang, Madura 5

orang, Pasundan 21 orang, Sumatra Utara 4 orang,

Sumatra Selatan 4 orang, Jawa Tengah 12 orang,

Bangka 2 orang, Belitung 2 oang, Riau 2 orang,

Kalimantan Barat 4 orang, Daya Besar 2 orang, Banjar

3 orang, Kalimantan Tenggara 2 orang, Kalimantan

Timur 2 orang. Penunjukan anggota DPR dilakukan oleh

negara-negara bagian. Pimpinan DPR dipilih oleh dan di

antara anggota DPR dan pemilihan itu disahkan oleh

Presiden. Selama pemilihan, ketua belum di sahkan,

rapat-rapat DPR dipimpin anggota tertua. Setelah

melalui pemilihan di antara beberapa beberapa calon

ketua dan Mr. Sartono terpilih menjadi ketua.

Sidang DPR-RIS berlangsung dengan sangat bebas

dan dalam banyak hal belum sempat mendapat bentuk

(14)

dominan dari wakil RI, yang sebenarnya hanya

menerima eksistensi DPR-RIS tidak berfungsi secara

penuh. DPR-RIS dan senat bersama-sama pemerintah

melaksanakan pembuatan perundang-undangan. Selain

melakukan kekuasan perundang-undangan, DPR-RIS

berwenang pula mengontrol pemerintah, dengan catatan,

Presiden tidak dapat diganggu gugat tetapi para menteri

bertanggungjawab kepada DPR atas seluruh

kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk

seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya

sendiri. Akan tetapi, DPR tidak dapat menjatuhkan

Menteri (pemerintah). Di samping kekuasaan

perundang-undangan DPR-RIS diatur dalam tata tertib

DPR-RIS yang kenyataanya baru disahkan 28 Februari

1950, yang berarti hanya berlaku kurang dari enam bulan

dengan tercapainya Negara Kesatuan RI 17 Agustus

1950. Dalam masa kerja DPR-RIS yang enam bulan itu,

mereka berhasil mengesahkan tujuh undang-undang,

(15)

yaitu Undang-undang No. 4 Tahun 1950 tentang

penggantian kerugian anggota DPR-RIS.

Beban berat DPR-RIS pada masa-masa akhir

eksistensinya ialah perdebatan mengenai pengakhiran

eksistensi DPR-RIS atau perubahan Konstitusi RIS

menjadi Undang-undang Dasar Sementara (UUDS)

Republik Indonesia dalam proses kembali menjadi

negara kesatuan. Setelah melalui perdebatan dari

berbagai mosi dan usul, akhirnya DPR-RIS mengadakan

votting pada tanggal 14 Agustus Tahun 1950, mengenai

menerima atau tidak UUDS, yang berakhir dengan

Sembilan puluh orang setuju dan hanya delapan belas

orang tidak setuju. Dengan keputusan itu, secara de jure

dan de facto eksistensi DPR-RI berakhir.

3. Periode UUDS 1950 (17 Agustus 1950-5 Juli 1959) Pada tanggal 17 Agustus, RIS dibubarkan dan pada

saat yang sama dibentuk kembali NKRI yang dibentuk

berdasarkan UUDS 1950. Menurut ketentuan Pasal 44

UUDS 1950, lembaga negara terdiri dari : Presiden dan

(16)

Rakyat/ DPR, Mahkamah Agung, Dewan Pengawas

Keuangan/DPK.

Republik Indonesia berdasarkan UUDS 1950,

menjalankan sistem badan perwakilan satu kamar

(unikameral). Berdasarkan Pasal 3B ayat (1) tentang

persetujuan Pemerintah Republik Indonesia dan Republik

Indonesia Serikat tanggal 19 mei 1950 tersusunlah

gabungan Dewan Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan

Pekerja Komite Indonesia Pusat dengan tidak menutup

kemungkinan untuk penambahan anggota yang ditunjuk

oleh Presiden. Dalam UUDS 1950 MPR ditiadakan

gantinya, khusus untuk menjalankan fungsi pembuatan

Undang-Undang Dasar, dibentuk lembaga konstituante

yang dipisahkan dari fungsi legislatif untuk membuat

undang-undang biasa

4. Periode UUD 1945 (Setelah Dekrit Presiden 5 Juli-11 Maret 1966)

Periode kedua berlakunya UUD 1945 diawali dengan

keluarnya dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang isinya antara

(17)

menyatakan tidak berlakunya UUDS 1950, 2)

membubarkan konstituente, 3) Membentuk Majelis

Permusyawarakatan Rakyat Sementara (MPRS) dan

Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Dengan

keluarnya Dekrit Presiden tersebut maka secara langsung

kehidupan ketatanegaraan harus dikembalikan kepada

ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945.13

Dekrit juga berakibat pada diperlukannya reorganisasi

terhadap lembaga negara yang sudah ada maupun yang

belum ada. Konstituante yang melaksanakan kewenangan

MPR untuk membuat UUD yang baru telah dibubarkan dan

sesegera mungkin akan dibentuk MPRS. Sedangkan

mengenai DPR yang telah ada sebelumnya menurut

ketentuan Pasal II Aturan Peralihan mengubah DPR hasil

pemilu berdasarkan UUDS 1950 menjadi DPR menurut

UUD 1945.

5. Lembaga Perwakilan Pasca Perubahan UUD 1945 Penyimpangan pelaksanaan UUD 1945 pada masa

lalu bukan hanya terjadi karena faktor politik atau

(18)

kepemimpinan nasional saja namun juga dikibatkan oleh

rumusan pasal-pasal UUD 1945 yang memberikan peluang

untuk itu. UUD 1945 telah dijadikan instrumen politik yang

ampuh untuk membenarkan berkembangnya

otoritarianisme dan menyuburkan praktik-praktik korupsi,

kolusi, dan nepotisme disekitar kekuasaan Presiden.14

Penyimpangan terjadi juga pada kekuasaan lembaga

perwakilan rakyat yang telah direkayasa untuk

melenggengkan kekuasaan para penguasa saat itu baik Orde

Lama, maupun Orde Baru. Pada masa orde lama, Lembaga

Perwakilan (MPRS) diperalat sehingga mengangkat

Presiden Soekarno untuk masa jabatan seumur hidup.15

Oleh karena itu, di masa reformasi menyusul

berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto pada tahun 1998,

agenda Perubahan UUD menjadi sesuatu yang niscaya.

Reformasi politik dan ekonomi yang bersifat menyeluruh

tidak mungkin dilakukan tanpa diringi oleh reformasi

hukum. Tetapi reformasi hukum yang menyeluruh juga

14 Jimlly Asshiddiqqie, Pengantar Perubahan Undang-Undang Dasar

1945,Makalah disampaikan pada rapat PAH I MPR.

(19)

tidak mungkin dilakukan tanpa didasari oleh agenda

reformasi ketatanegaraan yang mendasar dan itu berarti

diperlukan adanyan „constitutional reform‟ yang tidak

setengah hati. Reformasi konstitusi niscaya dilakukan

karena sering dengan enam tuntutan reformasi yaitu

Perubahan UUD 1945, Penghapusan Doktrin Dwi Fungsi

ABRI, Penegakan Hukum, HAM, dan Pemberantasan

KKN, Otonomi Daerah, Kebebasan Pers, Mewujudkan

Kehidupan Demokrasi.16

a. Pembahasan Perubahan Pertama UUD 1945

Untuk pertama kalinya pada tanggal 19 Oktober

1999, MPR melakukan Perubahan terhadap UUD 1945.

Pembahasan dilakukan mulai dari Perubahan Pertama

hingga Perubahan Keempat. Pada mulanya rumusan asli

mengenai MPR terdapat dalam BAB I Pasal 1 yang

berbunyi:

1) Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang

berbentuk Republik.

(20)

2) Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan

sepenuhnya oleh MPR.

Perubahan yang disepakati terhadap Majelis

Permusyawarakatan Rakyat dalam Pasal 2, adalah:

1) MPR terdiri atas anggota-anggota DPR, ditambah

dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan

golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan

dengan undang-undang.

2) MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun

di ibu kota negara.

3) Segala putusan MPR Ditetapkan dengan suara yang

terbanyak.

Perubahan rumusan tersebut merupakan hasil

perdebatan panjang antara anggota MPR waktu itu. Diawali

dengan pembahasan Perubahan Pertama UUD 1945 tanggal

14-21 Oktober 1999. Untuk melakukan perubahan telah

dibentuk Badan Pekerja MPR yang disahkan pada rapat

paripurna ke-6 Sidang Umum MPR tahun 1999 pada

tanggal 14 oktober 1999. Pembahasan tentang MPR

(21)

pemandang fraksi-fraksi di MPR. Partai Golkar

menyarakan tentang kedaulatan rakyat, pemberdayaan

lembaga DPR dan MPR sebagai wujud tegaknya kedaulatan

rakyat. Selain itu, perlu adanya checks and balance dalam

memperbaiki kehidupan ketatanegaraan.17 Selanjutnya

Fraksi Kebangkitan Bangsa menyampaikan pendapat partai,

yaitu: pertama, terkait dengan pembatasan keuasaan

presiden. Kedua, tentang optimalisasi lembaga tertinggi

negara, terutama MPR dan DPR18 Sama halnya juga dengan

fraksi reformasi yaitu menyangkut kelembagaan MPR dan

DPR yaitu perlunya penguatan kewenangan kedua lembaga

tersebut.19 Fraksi PBB juga mengatakan bahwa titik berat

perubahan UUD pada pembenahan tiga pilar kekuasaan

negara yaitu, Presiden, DPR dan MA20 Ide lain yang

dimunculkan oleh Fraksi PDU melalui Asnawi Latief

memunculkan lembaga baru yang diberi nama dewan

17 Pidato yang disampaikan oleh fraksi partai Golkar melalui juru bicaranya Tubagus Haryono yang terdapat dalam Naskah Komprehensif Perubahan UUD Negara Republik Indonesia, Buku III Jilid 1, Sekjen MPR, Jakarta, hal. 50.

(22)

daerah. Walaupun sebatas ide, namun sudah mulai muncul

usulan untuk membentuk lembaga lain di luar DPR.21

Selanjutnya yang menarik adalah F-PDKB melalui

Gregorius Seto Harianto menyampaikan pendapat fraksi

yang mulai mengarah secara konkret kepada usul

pembentukan Lembaga Perwakilan bikameral dengan

mengajukan struktur MPR yang terdiri dari DPR dan

Dewan Utusan Daerah yang dipilih melalui pemilihan

umum. Walaupun banyak perdebatan dalam pembahan

perubahan pertama namun belum banyak secara konkret

mengarah kepada perbincangan mengenai DPD.

b. Pembahasan Perubahan Kedua UUD 1945

Pada Perubahan Kedua UUD 1945, keinginan untuk

membentuk lembaga perwakilan dengan sistem Bikameral

semakin kuat. Dalam rapat-rapat yang dilakukan lebih

banyak membahas mengenai komposisi Majelis

Permusyawaratan Rakyat. Perdebatan yang terjadi mengenai

sistem bicameral ini tidak hanya melibatkan anggota PAH I

MPR saja namun juga menggunakan komponen masyarakat

(23)

sosial lainnya. Materi tentang struktur MPR disampaikan

oleh Hamdan Zoelfa dari F-PBB, yang menyatakan MPR

sebagai sebuah lembaga yang menjalankan kedaulatan

rakyat seluruh anggotanya harus dipilih langsung oleh

rakyat. Dan mengenai komposisi MPR F-PBB mengusulkan

agar MPR hanya terdiri dari DPR dan Dewan Daerah.22

Selanjutnya F-PDU juga mengusulkan agar utusan daerah

adalah utusan yang mewakili daerah dan dipilih secara

langsung juga perlu adanya penghapusan utusan golongan.23

F-TNI mengusulkan agar MPR terdiri dari DPR dan wakil

daerah yang semuanya dipilih langsung oleh rakyat namun

tidak menghapuskan utusan golongan.24

Pada rapat ke-7 PAH 1 BP MPR pada tanggal 13

desember 1999 yang dipimpin Jacob Tobing dengan agenda

mendengarkan pendapat dengan pakar antara lain: Roeslan

Abdulgani, Dr. Pranarka, dan Dahlan Ranuwihardjo. Dari

ketiga pakar tersebut, yang jelas menyampaikan pemikiran

22Ibid,. hal 91.

(24)

mengenai sistem bicameral adalah Roeslan, ia

mengemukakan pemikirannya:

“….kalau utusan daerah dijadikan kuat, maka kita datang pada senat sehingga kita nanti mempunyai bicameral system, satu DPR dan satu lagi senat. Yang senat ini adalah terdiri hanya dari, umpamanya dua dari tiap-tiap provinsi atau tiga orang tiap provinsi. Tidak melihat besar kecilnya sehingga dengan begitu

kita nanti mempunyai bicameral sistem yang bisa kita

jalankan itu semua….” 25

Dari pandangan tersebut sebenarnya sudah secara

ekplisit menegaskan sekaligus mengarah pada pemikiran

untuk membentuk lembaga perwakilan bicameral system.26

Demikian pula Philipus M. Hadjon menyatakan dan

mengajukan secara tegas mengenai konsep lembaga

perwakilan dengan bicameral system dan juga perlu

dilakukan penghapusan terhadap utusan golongan. Ichlasul

Amal juga menyampaikan pendapatnya bahwa perlu ada

pemberdayaan terhadap utusan daerah. Secara tegas

mengusulkan perlu bentuk sistem bicameral sistem dengan

mengacu pada model bicameral Amerika Serikat. Pendapat

ini mendapat tanggapan dari Hamdan Zoelva yang

25Ibid., hal 100.

(25)

kemudian mempertanyakan kedudukan dewan daerah

maupun kewenangan legislasi untuk menolak maupun

mengajukan undang-undang. Perdebatan mengenai

komposisi bicameral juga di persoalkan oleh F-TNI.

Sedangkan hasil dari kunjungan di daerah, kebanyakan

daerah menyuarakan hal yang sama, mereka menginginkan

agar komposisi MPR terdiri dari anggota DPR dan utusan

daerah, sedangkan untuk utusan golongan juga perlu

dihapuskan. Pemikiran untuk memperkuat utusan semakin

mendapat dukungan dengan alasan yang kuat bahwa hal

tersebut bukan tanpa alasan melainkan sudah seiring

dengan semangat otonomi daerah. Pembahasan mengenai

MPR berikutnya, Isbodroini mengusulkan juga hal yang

sama agar sistem lembaga perwakilan dari Monocameral

diubah ke sistem bicameral seperti House of Representative

dengan senat di Amerika.

Perdebatan panjang dalam pembahasan kedua ini

memang menimbulkan pro dan kontra akan tetapi

(26)

kedua ini, sudah banyak fraksi, pakar maupun daerah yang

mulai secara konkrit mengusulkan bentuk bicameral sistem.

c. Pembahasan Perubahan Ketiga UUD 1945

Pasca Perubahan Ketiga UUD 1945, lembaga

perwakilan rakyat pada tingkat pusat dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan yang

sangat mendasar. Sebelum perubahan lembaga perwakilan

rakyat terdiri dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sedangkan setelah

perubahan menjadi tiga lembaga yaitu Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan

Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dengan telah

dilakukan Perubahan Ketiga UUD 1945 di dalam sidang

tahunan MPR pada tanggal 9 November 2001 maka secara

praktis Indonesia telah menerapkan sistem bikameral

dengan lahirnya DPD sebagai kamar kedua, setelah

(27)

terbentuklah lembaga dengan dua kamar yang lunak (soft

bikameral).27

Di samping itu, baik sebelum maupun sesudah

Perubahan UUD 1945 dikenal juga Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi maupun DPRD

Kabupaten dan Kota. Status DPD terbentuk berdasarkan

kewenangan, tugas, dan hak-hak yang dimiliki oleh DPD,

yang selanjutnya secara umum disebut dengan kekuasaan

DPD. Perlu diingat bahwa anggota DPD disamping

memiliki status sebagai angota DPD, juga merupakan

anggota MPR sehingga juga memiliki tugas, kewenangan,

dan hak sebagai anggota MPR.

Bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah

Republik Indonesia (DPD RI) diharapkan menjadi salah

satu kamar dari sistem parlemen dua kamar (bicameral)

dalam format baru perwakilan politik Indonesia. Jika

DPR RI merupakan lembaga perwakilan yang diusung

(28)

oleh partai politik, sementara DPD adalah Lembaga

Perwakilan yang mewakili wilayah atau daerah dalam

hal ini propinsi tanpa mewakili dari suatu komunitas

atau sekat komunitas di daerah (antara lain yang

berbasis ideologi atau parpol), melainkan figur-figur

yang bisa mewakili seluruh elemen yang ada di daerah.

Mengenai Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah

(DPD) tertuang dalam Perubahan Ketiga UUD 1945,

yakni terdapat pada Pasal 22C, 22D, dan 22E.

kemudian diatur lebih lanjut pada Perubahan Keempat yang

konteknya sebagai bagian dari Majelis Permusyawaratan

Rakyat (MPR) hal ini tertuang dalam Pasal 2 ayat 1

UUD 1945 dikatakan bahwa MPR terdiri dari Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Dewan

Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan

umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.28

Dewan Perwakilan Daerah lahir sebagai bagian dari

tuntutan reformasi 1998 dengan tujuan menghilangkan

penyelenggaraan negara yang bersifat sentralistik yang

(29)

berlangsung sejak era Orde Lama hingga Orde Baru

1) Memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah

negara Kesatuan Republik Indonesia dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah.

2) Meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi

dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijaksanaan nasional berkaitan dengan negara dan daerah.

3) Mendorong percepatan demokrasi, pembangunan,

dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang.29

Selanjutnya kehadiran DPD menurut Ginanjar

Kartasasmita sebagai refleksi kritis terhadap eksistensi

utusan daerah dan utusan golongan yang mengisi

formasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam

sistem keterwakilan di era sebelum reformasi.

Mekanisme pengangkatan dari utusan daerah dan utusan

golongan bukan saja merefleksikan sebuah sistem yang

(30)

tidak demokratis; melainkan juga mengaburkan sistem

perwakilan yang seharusnya dibangun dalam tatanan

kehidupan negara modern yang demokratis.30

Sebagaimana yang telah Penulis jelaskan

sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa setiap periode

dalam Perubahan UUD 1945, maka bentuk dari sistem

perwakilan di Indonesia berbeda-beda, Periode Pertama

UUD 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1945-27

Desember 1949. Struktur parlemen Indonesia diidealkan

berparlemen tunggal (unikameral)

Berdasarkan pembahasan diatas, maka kesimpulan

yang bisa diambil mengenai sejarah lahirnya DPD dan

bagaimana struktur maupun perannya sebagai kamar ke dua

dalam sistem bicameral di Indonesia adalah sebagai berikut:

Perubahan Pertama: pada periode inilah mulai diusulkan tentang Perubahan dalam sistem perwakilan

Parlemen dari satu kamar menjadi dua kamar, hal ini

30 Dewan Perwakilan Daerah republik Indonesia 2009, Konstitusi Republik

(31)

pertama kali diusulkan oleh F-PDKB melalui Gregorius

Seto Harianto menyampaikan pendapat fraksi yang mulai

mengarah secara konkret kepada usul pembentukan

parlemen bikameral dengan mengajukan struktur MPR

yang terdiri dari DPR dan Dewan Utusan Daerah yang

dipilih melalui pemilihan umum

Perubahan Kedua: Materi tentang struktur MPR disampaikan oleh Hamdan Zoelfa dari F-PBB, yang

menyatakan MPR sebagai sebuah lembaga yang

menjalankan kedaulatan rakyat seluruh anggotanya harus

dipilih langsung oleh rakyat. Dan mengenai komposisi

MPR F-PBB mengusulkan agar MPR hanya terdiri dari

DPR dan Dewan Daerah. Selanjutnya F-PDU juga

mengusulkan agar utusan daerah adalah utusan yang

mewakili daerah dan dipilih secara langsung juga perlu

adanya penghapusan utusan golongan. F-TNI mengusulkan

agar MPR terdiri dari DPR dan wakil daerah yang

semuanya dipilih langsung oleh rakyat namun tidak

(32)

Pasca Perubahan Ketiga UUD: Pada Periode ini

Terbentuklah DPD. Status DPD terbentuk berdasarkan

kewenangan, tugas, dan hak-hak yang dimiliki oleh DPD,

yang selanjutnya secara umum disebut dengan kekuasaan

DPD. Perlu diingat bahwa anggota DPD disamping

memiliki status sebagai angota DPD, juga merupakan

anggota MPR sehingga juga memiliki tugas, kewenangan,

dan hak sebagai anggota MPR. Bersama Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI),

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD

RI) diharapkan menjadi salah satu kamar dari sistem

perwakilan dua kamar (bicameral) dalam format baru

perwakilan politik Indonesia.

B. Perbandingan Sistem Bikameral di Indonesia dengan Negara Lain

1. Sistem Bikameral di Belanda

Belanda merupakan negara Monarki Konstituisional

(33)

Provinsi.31 Kepala negaranya adalah seorang ratu. Kepala

Pemerintahan adalah Perdana Mentri. Dewan mentri

merencanakan dan menetapan kebijakan pemerintahan.

Kerajaan dan dewan mentri bersama-sama disebut

crown” parlemennya merupakan perwakilan seluruh

rakyat. Parlemen terdiri dari kamar pertama (Eerste

kamer) dan kamar kedua (teweede kamer), senat atau

majelis tinggi dinamakan sebagai kamar pertama terdiri

dari 75 anggota, sedangkan kamar kedua dipertimbangkan

sebagai suatu kesatuan ketika mereka bertemu dalam

suatu joint session.32

Masa jabatan anggota kedua kamar tersebut adalah

selama empat tahun. Dan anggota Eerste kamer diubah

jika durasi dari dewan provinsi (yang terdiri dari 12

provinsi) diubah oleh Act of Parliament (Undang-undang

Tentang Parlemen) untuk waktu selain dari masa 4

tahun.33 Anggota kedua kamar dipilih dengan cara

perwakilan proporsional terbatas yang berdasarkan pada

31 King Faisal, Sistem Bicameral dalam spectrum parlemen

Indonesia.,Op.cit. hal 66.

(34)

Act of Parliament.34 Untuk dapat menjadi anggota

parlemen adalah warga negara Belanda, dan harus

mencapai usia 18 tahun dan tidak didiskualifikasikan dari

hak pilihnya. 35 anggota Eerste Kamer ( kamar kedua atau

majelis tinggi) dipilih oleh anggota dewan provinsi.

Pemelihannya seharusnya tidak lebih dari tiga bulan

sesudah pemilihan anggota dewan provinsi, kecuali pada

saat pembubaran kamar tersebut.36

Peran Eesrte Kamer dalam konstitusi Belanda lebih

banyak bersama-sama dengan Parlemen, yaitu dalam

bentuk joint session. Baik dalam perannya dalam proses

legislasi maupun kekuasaan kenegaraan lain diluar proses

legislasi. Walaupun begitu peran tersebut tidak dapat

diabaikan, karena kedua kamar dalam konstitusi belanda

mempunyai posisi yang sama kuat. Atau paling tidak,

tidak terlalu berbeda, sehingga Eerstse kamer masih

mempunyai fungsi yang penting dalam Parlemen Belanda.

Setiap kamar dapat dibuarkan oleh dekrit kerajaan ( Royal

34Ibid., Art. 53.

(35)

decree.)37 dekrit pembubaran tersebut juga mengharuskan

suatu pemilihan umum baru untuk memilih anggota kamar

yang dibubarkan tersebut.38

Sistem Parlemen di Belanda hampir sama dengan

Indonesia, Belanda menganut sistem bikameral

yakni Tweede Kamer (Majelis Rendah/House of

Representative/ Second Chamber) dan Earste

Kamer (Majelis Tinggi/Senat/First Chamber). Earste

Kaamer merupakan lembaga yang beranggotakan

perwakilan dari daerah-daerah semacam propinsi, Tweede

Kaamer yang merupakan lembaga perwakilan yang

anggotanya berasal dari parpol. Tweede

Kamer beranggotakan 150 orang, dipilih untuk masa 4

tahun dan dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui

perwakilan partai politik. Sedangkan Earste

Kamer beranggotakan 75 orang yang dipilih oleh

perwakilan provinsi untuk masa 6 tahun. Tweede

Kamer memiliki kewenangan yang lebih dominan yakni

melakukan pembahasan dan pengusulan undang-undang

37Ibid., Art 64 (1).

(36)

serta kebijakan pemerintah lainnya, sedangkan Earste

Kamer mempunyai kewenangan untuk menerima atau

menolak undang-undang yang akan disampaikan kepada

eksekutif, anggota Earste Kamer hanya melakukan rapat

satu kali dalam seminggu.39

Tweede Kamer memiliki struktur-struktur

diantaranya adalah standing commitee yang bersifat tetap

yang di dalamnya adalah anggota parlemen yang

mempunyai ketertarikan pada sebuah subjek/pembahasan

tertentu dalam konteks Indonesia standing committee ini

bisa dikategorikan sama seperti komisi. yang dilakukan

oleh standing committee ini adalah tidak sekedar

melakukan rapat saja, namun mereka juga

menyelenggarakan rapat dengar/debat publik untuk

mendapatkan gambaran opini dari masyarakat. selain itu

secara berkala mereka juga melakukan kunjungan kerja

untuk mempelajari beberapa masalah yang perlu dibahas.

Hal-hal terkait dengan teknis pembahasan di dalam

(37)

sebuah Undang-undang akan diselesaikan dalam

committee meeting ini, yang selanjutnya akan dibawa

dalam plenary sitting/meeting untuk dibahas secara

bersama-sama. Selain membahas tentang Undang-undang

anggota Tweede Kamer juga bisa mengadakan rapat

dengan eksekutif untuk menanyakan kebijakan strategis

yang dilakukan oleh eksekutif. pertanyaan yang diajukan

oleh anggota Tweede Kamer akan langsung dijawab oleh

menteri terkait. 40

Apabila dalam sistem lembaga perwakilan Indonesia

dikenal istilah rapat paripurna, di Tweede

Kamer istilah plenary sitting/meeting digunakan untuk

paripurna tersebut. Plenary sitting harus memenuhi

quorum yakni dihadiri oleh minimal 76 anggota parlemen

(atau setengah plus satu). Selain itu ada dikenal juga

istilah join sitting dimana diadakan rapat antara Earst

Kamer dengan Tweede Kamer. Join sitting ini

diselenggarakan tiap hari Selasa pada minggu ke tiga

(38)

bulan september yang juga bertepatan dengan sidang

pembukaan parlemen setiap tahunnya.41

Proses pengambilan keputusan dalam committee

meeting dilakukan dengan cara debate yang terlaksana

dalam beberapa tahap. Tahap pertama atau biasa disebut

sesi pertama diberikan kepada kelompok politik (semacam

fraksi) untuk menyampaikan pertanyaan atau pernyataan

yang kemudian ditanggapi oleh menteri yang

bersangkutan atau sekretaris negara. apabila pada tahap

pertama dirasa kurang maka pembahasan dilanjutkan pada

tahap berikutnya yakni dari masing-masing anggota

Parlemen memberi pertanyaan yang kemudian akan

dijawab oleh menteri yang bersangkutan. tahapan itu akan

terus berlanjut sampai ditemukan kesepemahaman antara

anggota parlemen dengan eksekutif. 42

Apabila dalam sebuah debat tidak terjadi titik temu

maka keputusan diambil melalui voting, ada tiga

metode voting yakni: voting terbuka berdasarkan

preferensi politik anggota parlemen, jadi dalam

41Ibid.,

(39)

mengambil keputusan pimpinan sidang bersasumsi setiap

anggota perlemen mewakili partai politik. Yang kedua,

voting terbuka berdasarkan masing-masing anggota,

dalam voting dengan metode ini, anggota parlemen bisa

jadi mempunyai keputusan yang berbeda dengan partai

politiknya. Yang ketiga adalah voting tertutup yang

dilakukan secara rahasia.

a. Proses Legislasi: Dari RUU menjadi UU

Apabila eksekutif ingin mengajukan

undang-undang tertentu maka mereka dapat mengajukan draft

Rancangan Undang-undang (RUU) yang dibuat oleh

departemen masing-masing yang sebelumnya sudah

dibahas dalam Council of Ministers. Dari Council of

Ministers tersebut kemudian diajukan kepada Council

Of State yang bertugas untuk memberikan masukan

yang detilnya akan dijelaskan nanti. Selain eksekutif,

apabila anggota parlemen ingin menginisiasi RUU,

anggota parlemen tersebut bisa meminta kepada

eksekutif untuk mengajukan RUU, dalam kasus apabila

(40)

parlemen baik secara individu maupun berkelompok

bisa menginisiasi sebuah RUU yang nantinya disebut

RUU inisiatif. Dalam proses pembuatan rancangan

undang-undang inisiatif dibantu oleh LegislationOffice

atau juga bisa dibantu oleh Departemen (eksekutif)

yang bersangkutan.43

Setelah pembahasan oleh Council of Minister, RUU

selanjutnya diajukan kepada Council Of State untuk

dimintakan masukan/saran/koreksi, masukan

dari Council Of State ini berupa pengecekan dan

harmonisasi apakah sebuah RUU bertentangan dengan

undang-undang yang lain atau tidak dan sekaligus

meneliti bagaimana dampak RUU tersebut terhadap

masyarakat. Namun, meskipun demikian, inisiator

RUU tidak harus mengikuti saran dan masukan

dari CouncilofState. Tercatat selama ini, apabila

sebuah RUU tidak mengikuti saran dari Council Of

(41)

State peluang berubah akan sangat besar karena

dianggap tidak sesuai dengan ketentuan.44

Sistem pemerintahan di Belanda adalah monarki

konstitusional, oleh karena itu, sebelum RUU

diserahkan kepada Tweede Kamer untuk dibahas,

eksekutif menyampaikan RUU tersebut dulu kepada

Raja dengan disertakan hasil masukan dari Council Of

State tadi. Proses ini dinamai dengan istilah “The

Royal Message” dimana Raja menambahkan sebuah

catatan menyertai RUU tersebut untuk diserahkan

kepada tweede kamer. berikut adalah contoh catatan

Raja:

The Royal Message; We send you herewith, for

consideration, a proposal for law (judul RUU). The

explanatory notes that accompany the proposal for law

specify the grounds on which it is based.We commend

you to God’s Holy Protection. The Hague -Willem Alexander

44 E.C. Drexhage, Een internationale vergelijking, Ministerie van

(42)

Setelah sebuah RUU mendapatkan “The Royal

Message”, kemudian RUU tersebut akan dipelajari

oleh Standing Committee, dalam pembahasannya

semua kelompok politik bisa mengajukan perubahan,

pertanyaan ataupun catatan atas RUU

tersebut. Standing committee bisa mengundang para

pakar/ahli dan juga stakeholder dari masyarakat untuk

dilibatkan dalam pembahasan RUU. Hasil

pembahasan Standing Committee akan menjadi sikap

resmi Tweede Kamer atas sebuah RUU yang kemudian

disampaikan kepada Eksekutif yakni pihak yang

mengajukan RUU. kemudian Eksekutif/Pemerintah

yang bersangkutan akan menjawab

melalui Memorandum Of Reply. proses ini dilakukan

secara terbuka dimana masyarakat juga bisa memantau.

Setelah disepakati oleh Standing Committee, RUU

tersebut diajukan ke Plenary Debate yang bertujuan

untuk menerima atau merubah RUU sebuah RUU

(amending and adopting). proses Plenary

(43)

mempertahankan RUU tersebut untuk disahkan,

sedangkan para anggota Tweede Kamer mengkritisi,

menyetujui atau mengusulkan perubahan pada RUU

tersebut. Apabila RUU tersebut hanya disetujui

sebagiannya saja maka anggota Tweede Kamer bisa

mengajukan amendments (perubahan).

Apabila sebuah RUU sudah mendapatkan

persetujuan dari Tweede Kamer, selanjutnya sebuah

RUU diajukan kepada Earste Kamer untuk disetujui

atau tidak. Earste Kamer kemudian melakukan

pembahasan secara globalnya saja dan hanya

berwenang untuk menerima atau menolak sebuah

RUU, mereka tidak mempunyai kewenangan untuk

merubah atau mengusulkan perubahan sebuah RUU.

Dalam praktiknya Earste Kamer ini selalu mendukung

kebijakan eksekutif, jadi penolakan atau penerimaan

sebuah RUU didasarkan pada kepentingan eksekutif.

Dalam kasus apabila terdapat indikasi bahwa sebuah

(44)

bisa mengajukan perubahan RUU yang diistilahkan

dengan “novelle”.

Setelah mendapatkan persetujuan dari earste

kamer, Raja akan mengesahkan RUU tersebut menjadi

undang-undang yang kemudian akan diperkuat dengan

pengesahan oleh kementerian terkait. Dalam

praktiknya bukan lah Raja secara literally yang

mengesahkan undang-undang namun, kementerian

terkait yang mengesahkan undang-undang tersebut,

setelah semua proses terlalui selanjutnya kementerian

Hukum akan mengesahkan undang-undang tersebut

dan akan menyebarkannya kepada masyarakat.

b. Pengawasan dan Anggaran di Lembaga Perwakilan Belanda

Mekanisme monarki konstitusional dengan sistem

parlementer yang dijalankan oleh Kerajaan Belanda

berdampak model pengawasan yang dilakukan oleh

Parlemen (States General). Sesuai dengan Pasal 42

Konstitusi Kerajaan Belanda, bahwa pemerintahan

(45)

ini dipimpin oleh Perdana Menteri dan

bertanggungjawab kepada Parlemen dalam

menjalankan pemerintahan (Andeweg dan Irwin:

2002). Dalam menjalankan fungsi pengawasan,

Parlemen memiliki hak untuk bertanya kepada

Pemerintah, dimana Pemerintah tidak boleh menolak

kecuali dengan alasan raison d’etat atau kepentingan

negara. Pertemuan dengan Pemerintah ini dilakukan

setiap minggu, biasanya setiap hari Selasa, dan

didahului dengan memberikan pertanyaan tertulis

kepada Parlemen, setelah Parlemen menjawab,

biasanya akan diisi debat kecil antara kedua belah

pihak.45

Kedua kamar di States General secara umum

memiliki hak yang sama, mereka berhak untuk

menyatakan pendapat, melakukan investigasi (hak

angket), mengajukan pertanyaan dan mengajukan

interpelasi (ProDemos: 2013). Tetapi, Tweede

Kamer akan berperan lebih dominan, karena merekalah

(46)

yang membawahi komisi-komisi yang berhubungan

langsung dengan Pemerintah. Mengenai hak-hak States

General ini, terlihat banyak kemiripan dengan praktik

yang dewasa ini terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat

Republik Indonesia. Dalam hal mengajukan pertanyaan

atau pengajuan pendapat, Parlemen boleh

menyampaikannya secara lisan maupun tulisan. Jika

ada kegentingan yang mendesak, Parlemen

sewaktu-waktu dapat memanggil Menteri atau Perdana Menteri

untuk melakukan emergency debate yang harus

mendapatkan persetujuan mayoritas.46

Parliamentary Inquiry menjadi instrumen kontrol

paling efektif di Parlemen Kerajaan Belanda.

Konsep Parliamentary Inquiry ini mirip dengan Panitia

Angket di DPR RI, dimana anggota Parlemen memiliki

hak untuk melakukan investigasi mendalam terkait

suatu hal, dan anggota Parlemen memiliki hak untuk

bertanya kepada semua pemangku kepentingan

dibawah sumpah. Hasil dari Parliamentary Inquiry ini

(47)

kemudian disampaikan secara tertulis kepada Tweede

Kamer dan Earst Kamer dalam bentuk rekomendasi

kebijakan.Meskipun Parliamentary Inquiry merupakan

instrumen yang kuat, mereka tidak memiliki hak untuk

memberikan hukuman atas sebuah kebijakan

(Parliamentary Inquriy: The Dutch House of

Representatives, 2015).

Selain fungsi legislasi dan pengawasan, Parlemen

Kerajaan Belanda juga memiliki fungsi anggaran.

Kedua kamar di Parlemen Kerajaan Belanda memiliki

hak yang sama terkait dengan fungsi anggaran ini,

mereka berhak untuk menerima maupun menolak

besaran anggaran yang diajukan oleh Perdana Menteri.

Kuasa atas anggaran ini menjadi penting, karena tanpa

persetujuan dari Parlemen maka kabinet tidak akan

dapat menjalankan Pemerintahan. Rancangan anggaran

ini kemudian disampaikan dalam bentuk Budget

Memorandum, dan National Budget kepada States

General pada Prince’s Day. Prince’s Day jatuh setiap

(48)

Day ini Raja Belanda akan memberikan pidatonya

selaku kepala negara dihadapan States

General (Prince’s Day: The Dutch House of

Representatives, 2015). Parlemen kemudian akan

melakukan pembahasan terhadap rancangan anggaran

ini yang dilakukan oleh Tweede dan Earst Kamer.

Dalam perdebatan yang dilakukan, dimungkinkan

adanya perubahan baik penambahan ataupun

pengurangan anggaran selama hal tersebut dibutuhkan

(ProDemos, 2013). Konsep ini juga mirip dengan

terjadi di Indonesia melalui pengantar nota keuangan

dalam Pidato Kenegaraan Presiden RI setiap tanggal 16

Agustus.47

2. Sistem Bikameral di Amerika Serikat

Pemerintah federal Amerika

Serikat adalah pemerintah pusat Amerika Serikat yang

didirikan berdasarkan Konstitusi Amerika Serikat.

Pemerintah federal Amerika Serikat memiliki tiga

cabang yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

(49)

Pemerintah federal Amerika Serikat didirikan pada

tahun 1790 dan dianggap sebagai federasi nasional

modern pertama di dunia. Meskipun demikian, rincian

federalisme Amerika telah menjadi perdebatan sejak

diundangkannya Konstitusi Amerika Serikat, di mana

beberapa pihak mengargumentasikan kekuasan

nasional secara luas, sedangkan pihak lain menafsirkan

pasal-pasal Konstitusi tentang kekuasaan pemerintah

nasional secara harfiah. Sejak Perang Saudara

Amerika, kekuasaan Pemerintah Federal secara umum

telah berkembang dengan hebatnya, kendati terdapat

beberapa periode ketika pendukung hak-hak negara

bagian telah berhasil membatasi kekuasaan federal

melalui tindakan legislatif, prerogatif eksekutif, atau

melalui penafsiran konstitusional di Mahkamah.

Kedudukan pemerintah federal berada di Washington,

D.C.. Kata "Washington" telah terbiasa dijadikan

istilah pengganti bagi pemerintah federal Amerika

Serikat.48

(50)

Badan legislatifnya dinamakan Congress dan

terdiri dari dua kamar yaitu senate dan house of

Representative. Teori politik dan politik praktisnya

menghasilkan senat Amerika Serikat. Bikameralisme

adalah kompenen yang esensial pada separation of

power atau pemisahan kekuasaan dalam kerangka

pandangan tersebut. Dalam pemerintahan, kekuasaan

legislatif perlu menonjol. Memperbaiki kesulitan ini

adalah dengan membagi legislatif ke dalam dua cabang

yang berbeda; dan membuat mereka dengan perbedaan

cara pemilihan dan perbedaan prinsip-prinsip dalam

bertindak, seperti mempunyai sedikit hubungan dengan

yang lainnya sebagai sifat dasar dari fungsi-fungsi

mereka lazim dan ketergantungan mereka yang biasa

pada masyarakat yang akan mengikuti sistem

bicameral di Amerika Serikat. Kedua kamar

Parlemen yang ada, yaitu House of Representatives

dan Senate sama-sama memiliki kekuasaan yang

besar, bahkan ada kecenderungan senat memiliki

(51)

kekuasaan yang lebih besar dibandingkan House of

Representatives.49

Senat Amerika merupakan senat yang terdapat di

negara yang berbentuk federal dengan sistem

pemerintahan presidensiil dengan beranggotakan 100

orang yang berasal dari 50 negara bagian, tiap negara

diwakili oleh dua orang senator, sejak tahun 1913

pemelihannya dilakukan dengan suara rakyat langsung.

Cabang yang lain dari legislatif adalah House Of

Representative, yang tidak mempunyai bagian dalam

administrasi apapun dan hanya mempunyai kekuasaan

yudikatif, seperti meng-impeach pejabat-pejabat publik

sebelum senat. Dua cabang legislatif ini hampir

dimanapun subjeknya sama kondisi pemenuhan

syaratnya. Mereka dipilih dengan cara yang sama dan

oleh warga negara yang sama, perbedaannya hanya

pada keberadaan mereka, yaitu masa dimana senat

dipilih lebih lama daripada House Of Representative.

House Of Representatif jarang dalam jabatan tersebut

(52)

lebih dari satu tahun, sedangkan senat, menjabat dua

atau tiga tahun.50

Dengan memisahkan badan badan legislatif dalam

dua cabang, rakyat Amerika tidak menginginkan

membuat satu kamar/majelis berdasarkan keturunan

dan pilihan lain, satu aristocrat dan yang lain

demokratik. Keuntungan yang dihasilkan dari

konstitusi saat ini dari dua kamar di Amerika Serikat

adalah lembaga kekuasaan legislatif, pemeriksaan

berikut terhadap pergerakan politik, bersama dengan

membuat satu pengadilan banding untuk merevisi

Undang-undang.

Pembuat Undang-undang Dasar merasa

Bikameralisme sebagai salah satu dari sejumlah

mekanisme untuk menjaga terhadap bahayanya

pemusatan kekuasaan. Untuk senat adalah mengawasi

House of representative dan untuk itu harus memiliki

fungsi yang sama secara subtansial, dan pembuat

Undang-Undang Dasar juga membuat itu. Pemeriksaan

50 King Faizal, Sistem Bikameral Dalam Spektrum Lembaga Parlemen

(53)

akan menjadi sangat efektif jika dua kamar dipisahkan

dan dibedakan. Dalam Konstitusi Amerika Serikat

telah mengalami Perubahan sebanyak 26 kali,

mengenai parlemen diatur dalam Article I, Sectio I,

yang berbunyi “ All legislative Power herein granted

shall be vested in congress of the united state, which

shall consist of a senate and House Of

Representative”.51

Dalam konstitusi Amerika Serikat, kamar kedua

atau disebut juga dengan senat, yang di dalamnya

diatur mengenai masa jabatan, persyaratan dan

kewajibannya. Dengan masa jabatan 6 tahun, sepertiga

bagiannya dipilih setiap dua tahun sekali secara

bergantian, dan setiap senator mempunyai satu suara.

Dalam konstitusi Amerika Serikat, terdapat dalam

Artikel I, Section 3, yaitu, The senate of the united

states shall be composed of two senator from each

state, elected by the people thereof, for six years; and

each sentor shall have one vote. The electors in each

(54)

state shall have the qualifications requisite for electors

of the most numerous branch of the state legislature.

Menurut Pasal 1 Konstitusi Amerika Serikat,

kekuasaan Kongres dibagi menjadi 2 bagian, yaitu

Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat (House of

Representative). Anggota Senat terdiri dari dua

perwakilan masing-masing negara bagian sesuai

dengan yang tercantum di dalam Undang-Undang

Dasar. Sedangkan keanggotaan di DPR (House of

Representative) dipilih berdasarkan jumlah penduduk

dari tiap negara bagian namun tidak secara terperinci

disebutkan dalam konstitusi. Para senator (anggota

senat) tidak dipilih melalui pemungutan suara langsung

melainkan dipilih oleh badan pembuat undang-undang

negara bagian. Tugas mereka adalah memastikan

bahwa negara bagian yang mereka wakili mendapat

perlakuan yang sama dalam Undang-Undang.

Persyaratan seorang Senator di dalam Konstitusi

harus berusia 30 tahun, sudah menjadi warga negara

(55)

bagian yang memilih mereka. Senator dipilih dalam

pemilihan di seluruh negara bagian yang

diselenggarakan pada tahun-tahun genap. Masa jabatan

senat adalah enam tahun dan setiap dua tahun sepertiga

anggota senat mencalonkan diri dalam pemilu. Karena

itu dua pertiga anggota senat merupakan orang-orang

yang berpengalaman dalam bidang hukum

perundang-undangan tingkat nasional. Anggota DPR harus berusia

minimal 25 tahun, dan telah menjadi warga negara

Amerika sedikitnya 7 tahun. Pada prakteknya anggota

DPR dipilih kembali dalam beberapa kali seperti

halnya senat, dan juga terdiri dari orang-orang

berpengalaman.

Karena para anggota Dewan menjalankan masa

jabatan dua tahun, kelangsungan sebuah Kongres juga

berlangsung dua tahun. Perubahan ke-20 UUD AS

menetapkan bahwa Kongres akan bersidang setiap

tanggal 3 Januari, kecuali jika kongres menentukan

tanggal lain. Kongres tetap bersidang sampai

(56)

biasanya pada akhir tahun. Presiden bisa mengadakan

rapat khusus jika dia dianggap perlu. Sidang diadakan

di gedung Capitol di Washington D.C.

Konstitusi menetapkan bahwa wakil presiden adalah

sebagai ketua Senat. Wapres tidak memiliki hak suara

atau hak memilih kecuali terjadi seri dalam

pemungutan suara. Senat memilih seorang ketua

sementara untuk memimpin jika wapres absen atau

berhalangan hadir. DPR memilih ketua sendiri

pejabatnya yaitu Ketua Parlemen. Ketua Parlemen dan

ketua sementara adalah anggota dari partai politik

dengan perwakilan terbesar di setiap dewan.

a. Wewenang House of representative dan Senate Setiap Dewan Kongres mempunyai wewenang

untuk mengajukan perundang-undangan dalam semua

bidang, kecuali kenaikan penghasilan (atas inisiatif

house of representatif). Dalam pelaksanaannya, house

of representative boleh memberikan suara menentang

terhadap undang-undang yang diajukan. Senat boleh

(57)

mengajukan perubahan tambahan yang bisa mengubah

sifat rancangan tersebut.52

Senat juga punya wewenang khusus yang hanya

diperuntukkan bagi mereka, termasuk wewenang untuk

memastikan pengangkatan para pejabat tinggi dan duta

besar oleh presiden dari pemerintah federal, juga

wewenang untuk mengesahkan semua perjanjian

dengan cara dua pertiga dari pemberian suara.

Dalam hal impeachment, pejabat negara, Dewan

punya hak tunggal untuk mengajukan tuduhan

mengenai penyelewengan yang bisa menyebabkan

terjadinya persidangan impeachment. Senat

mempunyai wewenang tunggal untuk mengadili

kasus impeachment dan menentukan apakah pejabat

yang bersangkutan atau tidak. Jika terbukti bersalah

maka pejabat tersebut harus dipecat dari jabatannya.53

Selain itu Kongres juga mempunyai fungsi

non-legislatif terpenting yaitu melakukan investigasi atau

52Ibid.,

(58)

penyelidikan. Wewenang ini biasanya didelegasikan ke

komisi, baik komisi tetap, komisi khusus, maupun

komisi gabungan yang terdiri dari anggota kedua

dewan. Investigasi diadakan untuk mengumpulkan

informasi yang diperlukan untuk pembuatan

undang-undang yang dikeluarkan, untuk mengetahui kualifikasi

dan daya guna para anggota dan pejabat cabang-cabang

pemerintahan lainnya dan, walau jarang, untuk

meletakkan dasar-dasar pemberlakukan impeachement.

Wewenang ini menimbulkan sejumlah konsekuensi

logis penting, salah satunya adalah wewenang untuk

mempublikasikan pemeriksaaan-pemeriksaan tersebut

beserta hasilnya. Pemeriksaan ini merupakan alat

penting bagi para pembuat kebijakan hukum untuk

menginformasikan rakyat serta membangkitkan minat

masyarakat terhadap isu-isu nasional.

Komisi merupakan salah satu ciri utama Kongres

dalam melaksanaan tugas mereka. Saat ini Senat

mempunyai 17 komisi tetap sedangkan DPR

(59)

diri pada bidang khusus pembuatan

perundang-undangan, urusan luar negeri, pertahanan, perbankan,

pertanian, perdagangan, dan bidang-bidang lainnya.

Hampir setiap RUU yang diajukan di Dewan harus

melalui komisi untuk mempelajari dan memberikan

rekomendasi. Komisi boleh menyetujui, merevisi,

menolak atau mengabaikan segala tindakan yang

berkenaan dengan RUU tersebut. Hampir mustahil

sebuah RUU bisa sampai ke DPR atau Senat tanpa

mendapat persetujuan komisi.

Nilai positif dari sistem komisi ini adalah sistem ini

mengijinkan para anggota Kongres dan staffnya untuk

mengumpulkan para pakar dari sejumlah cabang ilmu

di berbagai bidang legislatif. Di masa awal berdirinya

republik ketika penduduk masih sangat sedikit dan

pemerintah federal ditetapkan secara mendetail,

keahlian tidak terlalu dibutuhkan, namun semakin

banyaknya kerumitan di kehidupan nasional

(60)

satu atau dua bidang tertentu mengenai kebijakan

umum.54

b. Tugas Senate di Amerika Serikat

Sistem Perwakilan di Amerika Serikat (AS) terdiri

dari Senate sebagai perwakilan dari Negara bagian dan

House of Representatives sebagai perwakilan seluruh

rakyat. Kedua unsur perwakilan itu dinamakan

Kongres (Congress), yang dalam Konstitusi AS

terdapat article one section one yang berbunyi “All

Legistilative power herein grated shall be vested in

Congress of the United States, Which shall consist of a

Senate and House of Representative

Berdasarkan article 1, section 3 Konstitusi AS

menyatakan bahwa anggota-anggota senate ini dipilih

oleh lembaga perwakilan rakyat masing-masing Negara

bagian. Ini tandanya mekanisme pemilihan tidak

dilakukan secara langsung tetapi beringkat. Dimana

rakyat Negara bagian memilih anggota lembaga

perwakilan rakyat masing-masing Negara yang

(61)

kemudian lembaga perwakilan ini memilih anggota

Senate. Tetapi kemudian mekanisme ini mengalami

Amandemen XVII Konstitusi AS yang menegaskan

untuk mengadakan pemilihan langsung anggota Senate

oleh rakyat masing-masing Negara bagian.

Sedangkan wewenang Congress diatur dalam

Article 1, Section8 Konstitusi AS yang berbunyi “The

Congress shall have Power to Lay and collect Taxes,

Duties, Imposts and Excise, to pay the Debt and

provide for the common Defence and general welfare

of the United States; but all Duties, Imposts and

Excises shall be uniform throughout the United States”. Dari sini kita mengetahui bahwa congress

mempunyai kekuatan untuk menetapkan dan

mengumpulkan Pajak, Cukai, dimana Pajak ini untuk

membayar Hutang dan kesejahteraan umum Amerika

Serikat. Setelah clause tersebut diikuti 17 clause

lainnya yang menerangkan wewenang congress.

Semua wewenang tersebut dibagi dan dilaksanakan

Referensi

Dokumen terkait

3.2 Hak Menyatakan Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Mekanisme Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia

Pengaturan tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat dan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah merupakan pengaturan yang diamanatkan atau menjadi delegasi dari

Dalam pidatonya bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada tanggal 16 Agustus 2011, Presiden SBY menyatakan bahwa ini adalah

Dengan perkataan lain, hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dapat berkaitan dengan status DPR sebagai salah satu

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia melalui alat kelengkapan yakni Komisi III DPR RI dalam melakukan serangkaian uji kepatutan dan kelayakan fit and proper

Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor : 23/DPR RI/IV/1999-2000 tentang Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia terhadap 12

Seperti terdapat pada Undang-undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan bentuk perwakilan dari aspirasi rakyat di tingkat perlemen. Publik berhak mengetahui kegiatan