BAB III
PERKEMBANGAN LEMBAGA PERWAKILAN BIKAMERAL DI INDONESIA
Pada sub bab ini Penulis akan membahas mengenai
pengaturan bicameral di Indonesia yang akan ditelaah melalui
sejarah terbentuknya DPD melalui beberapa kali Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Selanjutnya pembahasan ini kemudian akan berfokus
pada Kedudukan, keanggotaan dan fungsi (legislasi, Anggaran
dan pengawasan) yang ada saat ini dan kemudian merujuk
pada struktur dan peran yang dianggap ideal oleh Penulis
untuk diterapkan di Indonesia pada masa yang akan datang.
A. Sejarah Pengaturan Lembaga Perwakilan Bicameral di Indonesia
Lembaga perwakilan rakyat Indonesia telah mengalami
proses dan perkembangan sesuai dengan situasi dan kondisi
politik pada saat itu. Struktur organisasi lembaga
perwakilan Indonesia mengalami pergantian sesuai dengan
berdirinya Negara Republik Indonesia, UUD 1945
menganut sistem Parlemen MPR, yang merupakan ciri khas
Indonesia walaupun ini belum sempat terbentuk dan
dijalankan oleh Komite Nasional Pusat (KNP) dan Badan
Pekerja KNP. Pada masa RIS atas keinginan Belanda,
dibentuk negara federal dengan struktur organisasi
Parlemen bicameral dengan Senat sebagai perwakilan
teritorial.
Pada UUDS 1950, kembali dengan struktur organisasi
lembaga perwakilan unikameral. Dengan adanya Dekrit
Presiden 5 juli 1959, UUD 1945 diberlakukan kembali,
kemudian mulai dibentuk MPRS. Walaupun kedudukannya
masih kepanjangan tangan dari Presiden, tetapi pemerintah
Indonesia saat itu sudah mulai mengikuti struktur lembaga
perwakilan yang diinginkan UUD 1945. Pada masa Orde
Baru yang bertekad melaksanakan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen, MPR kembali difungsikan sesuai yang
diinginkan oleh UUD 1945, tetapi MPR lebih sering
Sesudah reformasi, keinginan membentuk badan
perwakilan bicameral muncul berkaitan dengan sistem
politik yang sentralistik dan jarang memperhatikan aspirasi
daerah. Lembaga legislatif pada masa-masa lalu cenderung
pasif dan tidak memerhatikan kebijakan pemerintah pusat
terutama yang berkaitan dengan daerah. Sehingga sistem
bicameral dimunculkan kembali pada Perubahan Ketiga
dan Keempat UUD 1945.
1. Periode Pertama UUD 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1945-27 Desember 1949)
Satu hari setelah proklamasi pada tanggal 18 Agustus
1945 sidang PPKI mengesahkan dua agenda pokok
ketatanegaraan Indonesia Merdeka, yaitu menetapkan
Undang-undang dasar (UUD) 1945 dan memilih Presiden
serta wakil presiden. Undang-undang Dasar 1945 sebagai
staats fundamental norm merupakan hukum dasar yang
mengatur tata kehidupan berbangsa dan bernegara rakyat
Indonesia.
Apabila kita lihat dari proses pembentukannya
Proklamasi Kemerdekaan.1 Maka UUD 1945
termasuk konstitusi yang cukup singkat dan
sederhana. Meskipun UUD 1945 merupakan naskah
konstitusi yang singkat namun negara yang hendak
dijelmakannya secara normatif telah memenuhi syarat
sebagai sebuah negara hukum. Bahkan penjelasan
umum UUD 1945 itu dengan tegas menyatakan
bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum
(rechsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka
(machsstaat).
Muatan Konstitusi salah satunya adalah
pengaturan tentang susunan ketatanegaraan/ lembaga
negara dan pembagian tugas dari lembaga tersebut.
Sebagai sebuah negara yang baru merdeka, Indonesia
pada saat itu juga membutuhkan perangkat negara
atau lembaga negara yang fundamental lain
disamping lembaga negara kepresidenan yang telah
terbentuk (Presiden dan wakil Presiden).
Apabila dicermati secara keseluruhan UUD 1945
mengenal enam lembaga negara yang fundamental
sebagai pilar utama dalam kehidupan ketataneraan
Indonesia. Lembaga negara tersebut yaitu Majelis
Permusyawaratan (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Presiden, Mahkamah Agung (MA), Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan
Pertimbangan Agung (DPA).
Menurut Jimly Asshiddiqie dari keenam lembaga tersebut hanya MPR saja yang bersifat
khas Indonesia. Selanjutnya Jimmy
mengemukakan bahwa kelima lembaga lain berasal dari cetak biru (tiruan) kelembagaan
yang dicontoh dari zaman hindia Belanda.2
Lembaga tersebut antara lain DPR dapat dikaitkan dengan sejarah Dewan Rakyat (voolksraad) yang merupakan lembaga perwakilan rakyat, Presiden tidak lain adalah
pengganti lembaga Gouvernuur General
merupakan pelaksana kekuasaan eksekutif antara pemerintah, Mahkamah Agung berkaitan
dengan Landraad Raad Van Justitia di Hindia
Belanda, serta Hogeraad yang ada di negara
Belanda merupakan pelaksana kekuasaan judicial atau kehakiman. Sedangkan badan
pemeriksaan kekuasaan dari Raad Van
Rekenkameer, dan dewan pertimbangan Agung
berasal dari Raad van Nederlandsche Indie
2 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran
yang ada di Batavia atau Raad van State yang
ada di Belanda.3
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang
kemudian dianggap mempunyai kedudukan yang
tertinggi. Konsep lembaga tertinggi biasanya dipakai
dalam lingkungan negara komunis yang menerapkan
sistem partai tunggal di mana kedaulatan rakyat
disalurkan melalui pelembagaan majelis rakyat yang
tertinggi (supreme people council) seperti di Uni
Soviet, RRC, dll. Kedudukan MPR sebagai lembaga
tertinggi didasarkan atas ketentuan Pasal 1 ayat (2)
UUD 1945 yang mengatakan bahwa “Kedaulatan
adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permuswaratan Rakyat”. Secara
ekplesitit dalam pasal tersebut memang tidak
dinyatakan kedudukan MPR sebagai lembaga
tertinggi namun dalam penjelasan UUD 1945 tentang
sistem Pemerintahan Negara, angka II dan III jelas
dinyatakan hal tersebut. Angka II berbunyi :
Pemerintah berdasarkan sistem konstitusional dan
bukan berdasarkan absolutism. Angka III berbunyi:
kekuasaan negara yang tertinggi di tangan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (Diegezamte
staatsgewaltliegi allein bei der majelis). Kedaulatan
terletak di tangan rakyat yang dilaksanakan oleh MPR
sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi.
Presiden adalah mandataris MPR yang
bertanggungjawab meyelenggarakan pemerintahan
tertinggi di bawah MPR, maka dapat dikatakan bahwa
UUD 1945 lebih mendekatkan asas Kedaulatan
Rakyat.
Dari penjelasan UUD 1945 tersebut, dapat
disimpulkan bahwa MPR merupakan lembaga
tertinggi negara yang merupakan penjelmaan seluruh
rakyat dan memiliki kedudukan supreme dari
lembaga lainnya yang dapat kita golongkan ke dalam
lembaga tinggi negara. Dalam sidang BPUPKI
tanggal 13 mei 1945, Muhhamad Yamin
menyebutkan:
“Kekuasaan yang dipegang oleh permusyawaratan
wakil daerah-daerah Indonesia tetapi semata-mata pula oleh wakil golongan atau rakyat Indonesia
seluruhnya………
Majelis Permusyawaratan juga meliputi segala anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Soepomo mengatakan: Majelis Permusyawaratan Rakyat yang tinggi itu tersusun atas Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan wakil-wakil dari daerah,
golongan-golongan, supaya mewujudkan seluruh rakyat”
Muhhamad Yamin dalam sidang BPUPK
pertama kali menyebut perkataan majelis pada pidato
tanggal 29 Mei, Yamin menyebutkan pusat
Parlemen/balai perwakilan yang terbagi atas majelis
dan Balai Perwakilan Rakyat. Mengenai komposisi
dari anggota MPR diatur berdasarkan Pasal 2 ayat 1
UUD 1945 yang berbunyi:
“Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari
atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat
ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah
dan golongan menurut aturan yang ditetapkan
dengan undang-undang”.
Jika dibandingkan dengan sistem badan
perwakilan pada umumnya yang dianut oleh
diidealkan berparlemen tunggal (unikameral) tetapi
dengan variasi yang dikaitkan dengan teori
kedaulatan rakyat dan dibayangkan dapat
diorganisasikan secara total ke dalam suatu organ
yang dinamakan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Menurut Soepomo parlemen negara Indonesia terdiri
dari satu badan ialah Badan Perwakilan Rakyat.4
2. Periode Konstitusi RIS (27 Desember 1949-17 Agustus 1950)
Pada tanggal 27 Desember 1949, di Amsterdam,
Belanda diadakan upacara penyerahan kedaulatan kepada
Republik Indonesia Serikat. Tentang istilah “penyerahan”
kedaulatan kepada Indonesia, bangsa Indonesia,
menamakan “pengembalian/pemulihan. Indonesia
menerima istilah penyerahan hanya agar Belanda lepas
dari Indonesia.
Menurut Kostitusi RIS Pasal 1 ayat (1) Konstitusi
RIS, Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan
4 Ramdlon Naning, Lembaga Legislatif Sebagai Pilar Demokrasi dan
berdaulat ialah sebuah negara hukum yang demokratis
dan berbentuk federasi. Pada masa RIS, banyak yang
mengatakan bahwa sistem pemerintahannya adalah sistem
pemerintahan parlementer karena kabinet/para menterinya
bertanggungjawab, baik secara langsung bersama untuk
seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya
sendiri kepada Parlemen. Sejak tanggal 27 Desember
1949, Republik Indonesia yang tadinya meliputi wilayah
bekas Hindia Belanda, kemudian dikurangi wilayahnya
melalui persetujuan Linggarjati dan Renville, telah
menjadi negara bagian di dalam negara RIS sebagai
halnya negara-negara bagian lainnya.
a. Senat
Menurut Konstitusi RIS Pasal 1 ayat (2),
kekuasaan kedaulatan RIS dilakukan oleh pemerintah
bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan
Senat. Kita dapat melihat dalam konstitusi RIS, bahwa
senat diakui kedudukannya secara jelas sebagai
pemegang kedaulatan RIS, bersama-sama dengan
Anggota-anggota senat RIS berjumlah 32 orang, yaitu
masing-masing 2 anggota dari tiap negara bagian. Ketua senat
RIS diangkat oleh Presiden dari anjuran atau saran yang
dimajukan oleh senat atau atau sebagian anggota senat.
Secara keseluruhan cara kerja senat RIS diatur dalam
tata tertib senat RIS. Dalam banyak hal, banyak
ketentuan seperti tertulis dalam konstitusi RIS mengenai
hak dan kewajiban senat dan anggota senat RIS yang
belum dapat berfungsi sempurna, sama halnya dengan
kondisi DPR RIS. Hal ini lebih beralasan lagi karena
senat merupakan “badan baru” dalam kehidupan
bernegara dan berdemokrasi di Indonesia.5
Senat mewakili daerah-daerah bagian.6 Setiap
daerah bagian mempunyai dua anggota dalam senat.7
Setiap anggota senat mengeluarkan satu suara dalam
senat.8 Anggota-anggota senat ditunjuk pemerintah
daerah-daerah bagian dari daftar yang disampaikan oleh
masing-masing perwakilan rakyat dan memuat tiga calon
5 Reni Dwi Purnomowati, Sistem Bikameral Dalam……. Op cit., hal 140-141.
6 Pasal 80 ayat (1) Konstitusi RIS. 7Ibid.,
untuk tiap-tiap kursi.9 Apabila dibutuhkan calon untuk
dua kursi, pemerintah bersangkutan bebas untuk
menggunakan sebagai satu, daftar-daftar yang
disampaikan oleh perwakilan rakyat untuk pilihan
lembar itu.10 Berkaitan dengan hal itu, daerah-daerah
bagian sendiri mengadakan peraturan-peraturan yang
perlu untuk menunjuk anggota-anggota dalam senat.11
Warga negara yang boleh menjadi anggota senat
ialah warga negara yang telah berusia tiga puluh tahun
dan yang bukan orang yang tidak diperkenankan serta
dalam atau menjalankan hak pilih ataupun yang haknya
untuk dipilih sudah dicabut.12 Anggota-anggota senat
sebelumnya mengangkat sumpah (keterangan dan janji)
dihadapan Presiden atau ketua senat yang dikuasakan
untuk itu oleh Presiden, menurut cara agamanya.
b. Dewan Perwakilan Rakyat
Menurut Konstitusi RIS jumlah anggota DPR
terdiri 146 orang yang mewakili negara/daerah bagian,
sebagai berikut: Republik Indonesia 49 orang,
Indonesia Timur, Jawa Timur 15 orang, Madura 5
orang, Pasundan 21 orang, Sumatra Utara 4 orang,
Sumatra Selatan 4 orang, Jawa Tengah 12 orang,
Bangka 2 orang, Belitung 2 oang, Riau 2 orang,
Kalimantan Barat 4 orang, Daya Besar 2 orang, Banjar
3 orang, Kalimantan Tenggara 2 orang, Kalimantan
Timur 2 orang. Penunjukan anggota DPR dilakukan oleh
negara-negara bagian. Pimpinan DPR dipilih oleh dan di
antara anggota DPR dan pemilihan itu disahkan oleh
Presiden. Selama pemilihan, ketua belum di sahkan,
rapat-rapat DPR dipimpin anggota tertua. Setelah
melalui pemilihan di antara beberapa beberapa calon
ketua dan Mr. Sartono terpilih menjadi ketua.
Sidang DPR-RIS berlangsung dengan sangat bebas
dan dalam banyak hal belum sempat mendapat bentuk
dominan dari wakil RI, yang sebenarnya hanya
menerima eksistensi DPR-RIS tidak berfungsi secara
penuh. DPR-RIS dan senat bersama-sama pemerintah
melaksanakan pembuatan perundang-undangan. Selain
melakukan kekuasan perundang-undangan, DPR-RIS
berwenang pula mengontrol pemerintah, dengan catatan,
Presiden tidak dapat diganggu gugat tetapi para menteri
bertanggungjawab kepada DPR atas seluruh
kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk
seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya
sendiri. Akan tetapi, DPR tidak dapat menjatuhkan
Menteri (pemerintah). Di samping kekuasaan
perundang-undangan DPR-RIS diatur dalam tata tertib
DPR-RIS yang kenyataanya baru disahkan 28 Februari
1950, yang berarti hanya berlaku kurang dari enam bulan
dengan tercapainya Negara Kesatuan RI 17 Agustus
1950. Dalam masa kerja DPR-RIS yang enam bulan itu,
mereka berhasil mengesahkan tujuh undang-undang,
yaitu Undang-undang No. 4 Tahun 1950 tentang
penggantian kerugian anggota DPR-RIS.
Beban berat DPR-RIS pada masa-masa akhir
eksistensinya ialah perdebatan mengenai pengakhiran
eksistensi DPR-RIS atau perubahan Konstitusi RIS
menjadi Undang-undang Dasar Sementara (UUDS)
Republik Indonesia dalam proses kembali menjadi
negara kesatuan. Setelah melalui perdebatan dari
berbagai mosi dan usul, akhirnya DPR-RIS mengadakan
votting pada tanggal 14 Agustus Tahun 1950, mengenai
menerima atau tidak UUDS, yang berakhir dengan
Sembilan puluh orang setuju dan hanya delapan belas
orang tidak setuju. Dengan keputusan itu, secara de jure
dan de facto eksistensi DPR-RI berakhir.
3. Periode UUDS 1950 (17 Agustus 1950-5 Juli 1959) Pada tanggal 17 Agustus, RIS dibubarkan dan pada
saat yang sama dibentuk kembali NKRI yang dibentuk
berdasarkan UUDS 1950. Menurut ketentuan Pasal 44
UUDS 1950, lembaga negara terdiri dari : Presiden dan
Rakyat/ DPR, Mahkamah Agung, Dewan Pengawas
Keuangan/DPK.
Republik Indonesia berdasarkan UUDS 1950,
menjalankan sistem badan perwakilan satu kamar
(unikameral). Berdasarkan Pasal 3B ayat (1) tentang
persetujuan Pemerintah Republik Indonesia dan Republik
Indonesia Serikat tanggal 19 mei 1950 tersusunlah
gabungan Dewan Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan
Pekerja Komite Indonesia Pusat dengan tidak menutup
kemungkinan untuk penambahan anggota yang ditunjuk
oleh Presiden. Dalam UUDS 1950 MPR ditiadakan
gantinya, khusus untuk menjalankan fungsi pembuatan
Undang-Undang Dasar, dibentuk lembaga konstituante
yang dipisahkan dari fungsi legislatif untuk membuat
undang-undang biasa
4. Periode UUD 1945 (Setelah Dekrit Presiden 5 Juli-11 Maret 1966)
Periode kedua berlakunya UUD 1945 diawali dengan
keluarnya dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang isinya antara
menyatakan tidak berlakunya UUDS 1950, 2)
membubarkan konstituente, 3) Membentuk Majelis
Permusyawarakatan Rakyat Sementara (MPRS) dan
Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Dengan
keluarnya Dekrit Presiden tersebut maka secara langsung
kehidupan ketatanegaraan harus dikembalikan kepada
ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945.13
Dekrit juga berakibat pada diperlukannya reorganisasi
terhadap lembaga negara yang sudah ada maupun yang
belum ada. Konstituante yang melaksanakan kewenangan
MPR untuk membuat UUD yang baru telah dibubarkan dan
sesegera mungkin akan dibentuk MPRS. Sedangkan
mengenai DPR yang telah ada sebelumnya menurut
ketentuan Pasal II Aturan Peralihan mengubah DPR hasil
pemilu berdasarkan UUDS 1950 menjadi DPR menurut
UUD 1945.
5. Lembaga Perwakilan Pasca Perubahan UUD 1945 Penyimpangan pelaksanaan UUD 1945 pada masa
lalu bukan hanya terjadi karena faktor politik atau
kepemimpinan nasional saja namun juga dikibatkan oleh
rumusan pasal-pasal UUD 1945 yang memberikan peluang
untuk itu. UUD 1945 telah dijadikan instrumen politik yang
ampuh untuk membenarkan berkembangnya
otoritarianisme dan menyuburkan praktik-praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme disekitar kekuasaan Presiden.14
Penyimpangan terjadi juga pada kekuasaan lembaga
perwakilan rakyat yang telah direkayasa untuk
melenggengkan kekuasaan para penguasa saat itu baik Orde
Lama, maupun Orde Baru. Pada masa orde lama, Lembaga
Perwakilan (MPRS) diperalat sehingga mengangkat
Presiden Soekarno untuk masa jabatan seumur hidup.15
Oleh karena itu, di masa reformasi menyusul
berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto pada tahun 1998,
agenda Perubahan UUD menjadi sesuatu yang niscaya.
Reformasi politik dan ekonomi yang bersifat menyeluruh
tidak mungkin dilakukan tanpa diringi oleh reformasi
hukum. Tetapi reformasi hukum yang menyeluruh juga
14 Jimlly Asshiddiqqie, Pengantar Perubahan Undang-Undang Dasar
1945,Makalah disampaikan pada rapat PAH I MPR.
tidak mungkin dilakukan tanpa didasari oleh agenda
reformasi ketatanegaraan yang mendasar dan itu berarti
diperlukan adanyan „constitutional reform‟ yang tidak
setengah hati. Reformasi konstitusi niscaya dilakukan
karena sering dengan enam tuntutan reformasi yaitu
Perubahan UUD 1945, Penghapusan Doktrin Dwi Fungsi
ABRI, Penegakan Hukum, HAM, dan Pemberantasan
KKN, Otonomi Daerah, Kebebasan Pers, Mewujudkan
Kehidupan Demokrasi.16
a. Pembahasan Perubahan Pertama UUD 1945
Untuk pertama kalinya pada tanggal 19 Oktober
1999, MPR melakukan Perubahan terhadap UUD 1945.
Pembahasan dilakukan mulai dari Perubahan Pertama
hingga Perubahan Keempat. Pada mulanya rumusan asli
mengenai MPR terdapat dalam BAB I Pasal 1 yang
berbunyi:
1) Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang
berbentuk Republik.
2) Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh MPR.
Perubahan yang disepakati terhadap Majelis
Permusyawarakatan Rakyat dalam Pasal 2, adalah:
1) MPR terdiri atas anggota-anggota DPR, ditambah
dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan
golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan
dengan undang-undang.
2) MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun
di ibu kota negara.
3) Segala putusan MPR Ditetapkan dengan suara yang
terbanyak.
Perubahan rumusan tersebut merupakan hasil
perdebatan panjang antara anggota MPR waktu itu. Diawali
dengan pembahasan Perubahan Pertama UUD 1945 tanggal
14-21 Oktober 1999. Untuk melakukan perubahan telah
dibentuk Badan Pekerja MPR yang disahkan pada rapat
paripurna ke-6 Sidang Umum MPR tahun 1999 pada
tanggal 14 oktober 1999. Pembahasan tentang MPR
pemandang fraksi-fraksi di MPR. Partai Golkar
menyarakan tentang kedaulatan rakyat, pemberdayaan
lembaga DPR dan MPR sebagai wujud tegaknya kedaulatan
rakyat. Selain itu, perlu adanya checks and balance dalam
memperbaiki kehidupan ketatanegaraan.17 Selanjutnya
Fraksi Kebangkitan Bangsa menyampaikan pendapat partai,
yaitu: pertama, terkait dengan pembatasan keuasaan
presiden. Kedua, tentang optimalisasi lembaga tertinggi
negara, terutama MPR dan DPR18 Sama halnya juga dengan
fraksi reformasi yaitu menyangkut kelembagaan MPR dan
DPR yaitu perlunya penguatan kewenangan kedua lembaga
tersebut.19 Fraksi PBB juga mengatakan bahwa titik berat
perubahan UUD pada pembenahan tiga pilar kekuasaan
negara yaitu, Presiden, DPR dan MA20 Ide lain yang
dimunculkan oleh Fraksi PDU melalui Asnawi Latief
memunculkan lembaga baru yang diberi nama dewan
17 Pidato yang disampaikan oleh fraksi partai Golkar melalui juru bicaranya Tubagus Haryono yang terdapat dalam Naskah Komprehensif Perubahan UUD Negara Republik Indonesia, Buku III Jilid 1, Sekjen MPR, Jakarta, hal. 50.
daerah. Walaupun sebatas ide, namun sudah mulai muncul
usulan untuk membentuk lembaga lain di luar DPR.21
Selanjutnya yang menarik adalah F-PDKB melalui
Gregorius Seto Harianto menyampaikan pendapat fraksi
yang mulai mengarah secara konkret kepada usul
pembentukan Lembaga Perwakilan bikameral dengan
mengajukan struktur MPR yang terdiri dari DPR dan
Dewan Utusan Daerah yang dipilih melalui pemilihan
umum. Walaupun banyak perdebatan dalam pembahan
perubahan pertama namun belum banyak secara konkret
mengarah kepada perbincangan mengenai DPD.
b. Pembahasan Perubahan Kedua UUD 1945
Pada Perubahan Kedua UUD 1945, keinginan untuk
membentuk lembaga perwakilan dengan sistem Bikameral
semakin kuat. Dalam rapat-rapat yang dilakukan lebih
banyak membahas mengenai komposisi Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Perdebatan yang terjadi mengenai
sistem bicameral ini tidak hanya melibatkan anggota PAH I
MPR saja namun juga menggunakan komponen masyarakat
sosial lainnya. Materi tentang struktur MPR disampaikan
oleh Hamdan Zoelfa dari F-PBB, yang menyatakan MPR
sebagai sebuah lembaga yang menjalankan kedaulatan
rakyat seluruh anggotanya harus dipilih langsung oleh
rakyat. Dan mengenai komposisi MPR F-PBB mengusulkan
agar MPR hanya terdiri dari DPR dan Dewan Daerah.22
Selanjutnya F-PDU juga mengusulkan agar utusan daerah
adalah utusan yang mewakili daerah dan dipilih secara
langsung juga perlu adanya penghapusan utusan golongan.23
F-TNI mengusulkan agar MPR terdiri dari DPR dan wakil
daerah yang semuanya dipilih langsung oleh rakyat namun
tidak menghapuskan utusan golongan.24
Pada rapat ke-7 PAH 1 BP MPR pada tanggal 13
desember 1999 yang dipimpin Jacob Tobing dengan agenda
mendengarkan pendapat dengan pakar antara lain: Roeslan
Abdulgani, Dr. Pranarka, dan Dahlan Ranuwihardjo. Dari
ketiga pakar tersebut, yang jelas menyampaikan pemikiran
22Ibid,. hal 91.
mengenai sistem bicameral adalah Roeslan, ia
mengemukakan pemikirannya:
“….kalau utusan daerah dijadikan kuat, maka kita datang pada senat sehingga kita nanti mempunyai bicameral system, satu DPR dan satu lagi senat. Yang senat ini adalah terdiri hanya dari, umpamanya dua dari tiap-tiap provinsi atau tiga orang tiap provinsi. Tidak melihat besar kecilnya sehingga dengan begitu
kita nanti mempunyai bicameral sistem yang bisa kita
jalankan itu semua….” 25
Dari pandangan tersebut sebenarnya sudah secara
ekplisit menegaskan sekaligus mengarah pada pemikiran
untuk membentuk lembaga perwakilan bicameral system.26
Demikian pula Philipus M. Hadjon menyatakan dan
mengajukan secara tegas mengenai konsep lembaga
perwakilan dengan bicameral system dan juga perlu
dilakukan penghapusan terhadap utusan golongan. Ichlasul
Amal juga menyampaikan pendapatnya bahwa perlu ada
pemberdayaan terhadap utusan daerah. Secara tegas
mengusulkan perlu bentuk sistem bicameral sistem dengan
mengacu pada model bicameral Amerika Serikat. Pendapat
ini mendapat tanggapan dari Hamdan Zoelva yang
25Ibid., hal 100.
kemudian mempertanyakan kedudukan dewan daerah
maupun kewenangan legislasi untuk menolak maupun
mengajukan undang-undang. Perdebatan mengenai
komposisi bicameral juga di persoalkan oleh F-TNI.
Sedangkan hasil dari kunjungan di daerah, kebanyakan
daerah menyuarakan hal yang sama, mereka menginginkan
agar komposisi MPR terdiri dari anggota DPR dan utusan
daerah, sedangkan untuk utusan golongan juga perlu
dihapuskan. Pemikiran untuk memperkuat utusan semakin
mendapat dukungan dengan alasan yang kuat bahwa hal
tersebut bukan tanpa alasan melainkan sudah seiring
dengan semangat otonomi daerah. Pembahasan mengenai
MPR berikutnya, Isbodroini mengusulkan juga hal yang
sama agar sistem lembaga perwakilan dari Monocameral
diubah ke sistem bicameral seperti House of Representative
dengan senat di Amerika.
Perdebatan panjang dalam pembahasan kedua ini
memang menimbulkan pro dan kontra akan tetapi
kedua ini, sudah banyak fraksi, pakar maupun daerah yang
mulai secara konkrit mengusulkan bentuk bicameral sistem.
c. Pembahasan Perubahan Ketiga UUD 1945
Pasca Perubahan Ketiga UUD 1945, lembaga
perwakilan rakyat pada tingkat pusat dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan yang
sangat mendasar. Sebelum perubahan lembaga perwakilan
rakyat terdiri dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sedangkan setelah
perubahan menjadi tiga lembaga yaitu Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dengan telah
dilakukan Perubahan Ketiga UUD 1945 di dalam sidang
tahunan MPR pada tanggal 9 November 2001 maka secara
praktis Indonesia telah menerapkan sistem bikameral
dengan lahirnya DPD sebagai kamar kedua, setelah
terbentuklah lembaga dengan dua kamar yang lunak (soft
bikameral).27
Di samping itu, baik sebelum maupun sesudah
Perubahan UUD 1945 dikenal juga Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi maupun DPRD
Kabupaten dan Kota. Status DPD terbentuk berdasarkan
kewenangan, tugas, dan hak-hak yang dimiliki oleh DPD,
yang selanjutnya secara umum disebut dengan kekuasaan
DPD. Perlu diingat bahwa anggota DPD disamping
memiliki status sebagai angota DPD, juga merupakan
anggota MPR sehingga juga memiliki tugas, kewenangan,
dan hak sebagai anggota MPR.
Bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia (DPD RI) diharapkan menjadi salah
satu kamar dari sistem parlemen dua kamar (bicameral)
dalam format baru perwakilan politik Indonesia. Jika
DPR RI merupakan lembaga perwakilan yang diusung
oleh partai politik, sementara DPD adalah Lembaga
Perwakilan yang mewakili wilayah atau daerah dalam
hal ini propinsi tanpa mewakili dari suatu komunitas
atau sekat komunitas di daerah (antara lain yang
berbasis ideologi atau parpol), melainkan figur-figur
yang bisa mewakili seluruh elemen yang ada di daerah.
Mengenai Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) tertuang dalam Perubahan Ketiga UUD 1945,
yakni terdapat pada Pasal 22C, 22D, dan 22E.
kemudian diatur lebih lanjut pada Perubahan Keempat yang
konteknya sebagai bagian dari Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) hal ini tertuang dalam Pasal 2 ayat 1
UUD 1945 dikatakan bahwa MPR terdiri dari Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan
umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.28
Dewan Perwakilan Daerah lahir sebagai bagian dari
tuntutan reformasi 1998 dengan tujuan menghilangkan
penyelenggaraan negara yang bersifat sentralistik yang
berlangsung sejak era Orde Lama hingga Orde Baru
1) Memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah
negara Kesatuan Republik Indonesia dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah.
2) Meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi
dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijaksanaan nasional berkaitan dengan negara dan daerah.
3) Mendorong percepatan demokrasi, pembangunan,
dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang.29
Selanjutnya kehadiran DPD menurut Ginanjar
Kartasasmita sebagai refleksi kritis terhadap eksistensi
utusan daerah dan utusan golongan yang mengisi
formasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam
sistem keterwakilan di era sebelum reformasi.
Mekanisme pengangkatan dari utusan daerah dan utusan
golongan bukan saja merefleksikan sebuah sistem yang
tidak demokratis; melainkan juga mengaburkan sistem
perwakilan yang seharusnya dibangun dalam tatanan
kehidupan negara modern yang demokratis.30
Sebagaimana yang telah Penulis jelaskan
sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa setiap periode
dalam Perubahan UUD 1945, maka bentuk dari sistem
perwakilan di Indonesia berbeda-beda, Periode Pertama
UUD 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1945-27
Desember 1949. Struktur parlemen Indonesia diidealkan
berparlemen tunggal (unikameral)
Berdasarkan pembahasan diatas, maka kesimpulan
yang bisa diambil mengenai sejarah lahirnya DPD dan
bagaimana struktur maupun perannya sebagai kamar ke dua
dalam sistem bicameral di Indonesia adalah sebagai berikut:
Perubahan Pertama: pada periode inilah mulai diusulkan tentang Perubahan dalam sistem perwakilan
Parlemen dari satu kamar menjadi dua kamar, hal ini
30 Dewan Perwakilan Daerah republik Indonesia 2009, Konstitusi Republik
pertama kali diusulkan oleh F-PDKB melalui Gregorius
Seto Harianto menyampaikan pendapat fraksi yang mulai
mengarah secara konkret kepada usul pembentukan
parlemen bikameral dengan mengajukan struktur MPR
yang terdiri dari DPR dan Dewan Utusan Daerah yang
dipilih melalui pemilihan umum
Perubahan Kedua: Materi tentang struktur MPR disampaikan oleh Hamdan Zoelfa dari F-PBB, yang
menyatakan MPR sebagai sebuah lembaga yang
menjalankan kedaulatan rakyat seluruh anggotanya harus
dipilih langsung oleh rakyat. Dan mengenai komposisi
MPR F-PBB mengusulkan agar MPR hanya terdiri dari
DPR dan Dewan Daerah. Selanjutnya F-PDU juga
mengusulkan agar utusan daerah adalah utusan yang
mewakili daerah dan dipilih secara langsung juga perlu
adanya penghapusan utusan golongan. F-TNI mengusulkan
agar MPR terdiri dari DPR dan wakil daerah yang
semuanya dipilih langsung oleh rakyat namun tidak
Pasca Perubahan Ketiga UUD: Pada Periode ini
Terbentuklah DPD. Status DPD terbentuk berdasarkan
kewenangan, tugas, dan hak-hak yang dimiliki oleh DPD,
yang selanjutnya secara umum disebut dengan kekuasaan
DPD. Perlu diingat bahwa anggota DPD disamping
memiliki status sebagai angota DPD, juga merupakan
anggota MPR sehingga juga memiliki tugas, kewenangan,
dan hak sebagai anggota MPR. Bersama Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI),
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD
RI) diharapkan menjadi salah satu kamar dari sistem
perwakilan dua kamar (bicameral) dalam format baru
perwakilan politik Indonesia.
B. Perbandingan Sistem Bikameral di Indonesia dengan Negara Lain
1. Sistem Bikameral di Belanda
Belanda merupakan negara Monarki Konstituisional
Provinsi.31 Kepala negaranya adalah seorang ratu. Kepala
Pemerintahan adalah Perdana Mentri. Dewan mentri
merencanakan dan menetapan kebijakan pemerintahan.
Kerajaan dan dewan mentri bersama-sama disebut
“crown” parlemennya merupakan perwakilan seluruh
rakyat. Parlemen terdiri dari kamar pertama (Eerste
kamer) dan kamar kedua (teweede kamer), senat atau
majelis tinggi dinamakan sebagai kamar pertama terdiri
dari 75 anggota, sedangkan kamar kedua dipertimbangkan
sebagai suatu kesatuan ketika mereka bertemu dalam
suatu joint session.32
Masa jabatan anggota kedua kamar tersebut adalah
selama empat tahun. Dan anggota Eerste kamer diubah
jika durasi dari dewan provinsi (yang terdiri dari 12
provinsi) diubah oleh Act of Parliament (Undang-undang
Tentang Parlemen) untuk waktu selain dari masa 4
tahun.33 Anggota kedua kamar dipilih dengan cara
perwakilan proporsional terbatas yang berdasarkan pada
31 King Faisal, Sistem Bicameral dalam spectrum parlemen
Indonesia.,Op.cit. hal 66.
Act of Parliament.34 Untuk dapat menjadi anggota
parlemen adalah warga negara Belanda, dan harus
mencapai usia 18 tahun dan tidak didiskualifikasikan dari
hak pilihnya. 35 anggota Eerste Kamer ( kamar kedua atau
majelis tinggi) dipilih oleh anggota dewan provinsi.
Pemelihannya seharusnya tidak lebih dari tiga bulan
sesudah pemilihan anggota dewan provinsi, kecuali pada
saat pembubaran kamar tersebut.36
Peran Eesrte Kamer dalam konstitusi Belanda lebih
banyak bersama-sama dengan Parlemen, yaitu dalam
bentuk joint session. Baik dalam perannya dalam proses
legislasi maupun kekuasaan kenegaraan lain diluar proses
legislasi. Walaupun begitu peran tersebut tidak dapat
diabaikan, karena kedua kamar dalam konstitusi belanda
mempunyai posisi yang sama kuat. Atau paling tidak,
tidak terlalu berbeda, sehingga Eerstse kamer masih
mempunyai fungsi yang penting dalam Parlemen Belanda.
Setiap kamar dapat dibuarkan oleh dekrit kerajaan ( Royal
34Ibid., Art. 53.
decree.)37 dekrit pembubaran tersebut juga mengharuskan
suatu pemilihan umum baru untuk memilih anggota kamar
yang dibubarkan tersebut.38
Sistem Parlemen di Belanda hampir sama dengan
Indonesia, Belanda menganut sistem bikameral
yakni Tweede Kamer (Majelis Rendah/House of
Representative/ Second Chamber) dan Earste
Kamer (Majelis Tinggi/Senat/First Chamber). Earste
Kaamer merupakan lembaga yang beranggotakan
perwakilan dari daerah-daerah semacam propinsi, Tweede
Kaamer yang merupakan lembaga perwakilan yang
anggotanya berasal dari parpol. Tweede
Kamer beranggotakan 150 orang, dipilih untuk masa 4
tahun dan dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui
perwakilan partai politik. Sedangkan Earste
Kamer beranggotakan 75 orang yang dipilih oleh
perwakilan provinsi untuk masa 6 tahun. Tweede
Kamer memiliki kewenangan yang lebih dominan yakni
melakukan pembahasan dan pengusulan undang-undang
37Ibid., Art 64 (1).
serta kebijakan pemerintah lainnya, sedangkan Earste
Kamer mempunyai kewenangan untuk menerima atau
menolak undang-undang yang akan disampaikan kepada
eksekutif, anggota Earste Kamer hanya melakukan rapat
satu kali dalam seminggu.39
Tweede Kamer memiliki struktur-struktur
diantaranya adalah standing commitee yang bersifat tetap
yang di dalamnya adalah anggota parlemen yang
mempunyai ketertarikan pada sebuah subjek/pembahasan
tertentu dalam konteks Indonesia standing committee ini
bisa dikategorikan sama seperti komisi. yang dilakukan
oleh standing committee ini adalah tidak sekedar
melakukan rapat saja, namun mereka juga
menyelenggarakan rapat dengar/debat publik untuk
mendapatkan gambaran opini dari masyarakat. selain itu
secara berkala mereka juga melakukan kunjungan kerja
untuk mempelajari beberapa masalah yang perlu dibahas.
Hal-hal terkait dengan teknis pembahasan di dalam
sebuah Undang-undang akan diselesaikan dalam
committee meeting ini, yang selanjutnya akan dibawa
dalam plenary sitting/meeting untuk dibahas secara
bersama-sama. Selain membahas tentang Undang-undang
anggota Tweede Kamer juga bisa mengadakan rapat
dengan eksekutif untuk menanyakan kebijakan strategis
yang dilakukan oleh eksekutif. pertanyaan yang diajukan
oleh anggota Tweede Kamer akan langsung dijawab oleh
menteri terkait. 40
Apabila dalam sistem lembaga perwakilan Indonesia
dikenal istilah rapat paripurna, di Tweede
Kamer istilah plenary sitting/meeting digunakan untuk
paripurna tersebut. Plenary sitting harus memenuhi
quorum yakni dihadiri oleh minimal 76 anggota parlemen
(atau setengah plus satu). Selain itu ada dikenal juga
istilah join sitting dimana diadakan rapat antara Earst
Kamer dengan Tweede Kamer. Join sitting ini
diselenggarakan tiap hari Selasa pada minggu ke tiga
bulan september yang juga bertepatan dengan sidang
pembukaan parlemen setiap tahunnya.41
Proses pengambilan keputusan dalam committee
meeting dilakukan dengan cara debate yang terlaksana
dalam beberapa tahap. Tahap pertama atau biasa disebut
sesi pertama diberikan kepada kelompok politik (semacam
fraksi) untuk menyampaikan pertanyaan atau pernyataan
yang kemudian ditanggapi oleh menteri yang
bersangkutan atau sekretaris negara. apabila pada tahap
pertama dirasa kurang maka pembahasan dilanjutkan pada
tahap berikutnya yakni dari masing-masing anggota
Parlemen memberi pertanyaan yang kemudian akan
dijawab oleh menteri yang bersangkutan. tahapan itu akan
terus berlanjut sampai ditemukan kesepemahaman antara
anggota parlemen dengan eksekutif. 42
Apabila dalam sebuah debat tidak terjadi titik temu
maka keputusan diambil melalui voting, ada tiga
metode voting yakni: voting terbuka berdasarkan
preferensi politik anggota parlemen, jadi dalam
41Ibid.,
mengambil keputusan pimpinan sidang bersasumsi setiap
anggota perlemen mewakili partai politik. Yang kedua,
voting terbuka berdasarkan masing-masing anggota,
dalam voting dengan metode ini, anggota parlemen bisa
jadi mempunyai keputusan yang berbeda dengan partai
politiknya. Yang ketiga adalah voting tertutup yang
dilakukan secara rahasia.
a. Proses Legislasi: Dari RUU menjadi UU
Apabila eksekutif ingin mengajukan
undang-undang tertentu maka mereka dapat mengajukan draft
Rancangan Undang-undang (RUU) yang dibuat oleh
departemen masing-masing yang sebelumnya sudah
dibahas dalam Council of Ministers. Dari Council of
Ministers tersebut kemudian diajukan kepada Council
Of State yang bertugas untuk memberikan masukan
yang detilnya akan dijelaskan nanti. Selain eksekutif,
apabila anggota parlemen ingin menginisiasi RUU,
anggota parlemen tersebut bisa meminta kepada
eksekutif untuk mengajukan RUU, dalam kasus apabila
parlemen baik secara individu maupun berkelompok
bisa menginisiasi sebuah RUU yang nantinya disebut
RUU inisiatif. Dalam proses pembuatan rancangan
undang-undang inisiatif dibantu oleh LegislationOffice
atau juga bisa dibantu oleh Departemen (eksekutif)
yang bersangkutan.43
Setelah pembahasan oleh Council of Minister, RUU
selanjutnya diajukan kepada Council Of State untuk
dimintakan masukan/saran/koreksi, masukan
dari Council Of State ini berupa pengecekan dan
harmonisasi apakah sebuah RUU bertentangan dengan
undang-undang yang lain atau tidak dan sekaligus
meneliti bagaimana dampak RUU tersebut terhadap
masyarakat. Namun, meskipun demikian, inisiator
RUU tidak harus mengikuti saran dan masukan
dari CouncilofState. Tercatat selama ini, apabila
sebuah RUU tidak mengikuti saran dari Council Of
State peluang berubah akan sangat besar karena
dianggap tidak sesuai dengan ketentuan.44
Sistem pemerintahan di Belanda adalah monarki
konstitusional, oleh karena itu, sebelum RUU
diserahkan kepada Tweede Kamer untuk dibahas,
eksekutif menyampaikan RUU tersebut dulu kepada
Raja dengan disertakan hasil masukan dari Council Of
State tadi. Proses ini dinamai dengan istilah “The
Royal Message” dimana Raja menambahkan sebuah
catatan menyertai RUU tersebut untuk diserahkan
kepada tweede kamer. berikut adalah contoh catatan
Raja:
The Royal Message; We send you herewith, for
consideration, a proposal for law (judul RUU). The
explanatory notes that accompany the proposal for law
specify the grounds on which it is based.We commend
you to God’s Holy Protection. The Hague -Willem Alexander
44 E.C. Drexhage, Een internationale vergelijking, Ministerie van
Setelah sebuah RUU mendapatkan “The Royal
Message”, kemudian RUU tersebut akan dipelajari
oleh Standing Committee, dalam pembahasannya
semua kelompok politik bisa mengajukan perubahan,
pertanyaan ataupun catatan atas RUU
tersebut. Standing committee bisa mengundang para
pakar/ahli dan juga stakeholder dari masyarakat untuk
dilibatkan dalam pembahasan RUU. Hasil
pembahasan Standing Committee akan menjadi sikap
resmi Tweede Kamer atas sebuah RUU yang kemudian
disampaikan kepada Eksekutif yakni pihak yang
mengajukan RUU. kemudian Eksekutif/Pemerintah
yang bersangkutan akan menjawab
melalui Memorandum Of Reply. proses ini dilakukan
secara terbuka dimana masyarakat juga bisa memantau.
Setelah disepakati oleh Standing Committee, RUU
tersebut diajukan ke Plenary Debate yang bertujuan
untuk menerima atau merubah RUU sebuah RUU
(amending and adopting). proses Plenary
mempertahankan RUU tersebut untuk disahkan,
sedangkan para anggota Tweede Kamer mengkritisi,
menyetujui atau mengusulkan perubahan pada RUU
tersebut. Apabila RUU tersebut hanya disetujui
sebagiannya saja maka anggota Tweede Kamer bisa
mengajukan amendments (perubahan).
Apabila sebuah RUU sudah mendapatkan
persetujuan dari Tweede Kamer, selanjutnya sebuah
RUU diajukan kepada Earste Kamer untuk disetujui
atau tidak. Earste Kamer kemudian melakukan
pembahasan secara globalnya saja dan hanya
berwenang untuk menerima atau menolak sebuah
RUU, mereka tidak mempunyai kewenangan untuk
merubah atau mengusulkan perubahan sebuah RUU.
Dalam praktiknya Earste Kamer ini selalu mendukung
kebijakan eksekutif, jadi penolakan atau penerimaan
sebuah RUU didasarkan pada kepentingan eksekutif.
Dalam kasus apabila terdapat indikasi bahwa sebuah
bisa mengajukan perubahan RUU yang diistilahkan
dengan “novelle”.
Setelah mendapatkan persetujuan dari earste
kamer, Raja akan mengesahkan RUU tersebut menjadi
undang-undang yang kemudian akan diperkuat dengan
pengesahan oleh kementerian terkait. Dalam
praktiknya bukan lah Raja secara literally yang
mengesahkan undang-undang namun, kementerian
terkait yang mengesahkan undang-undang tersebut,
setelah semua proses terlalui selanjutnya kementerian
Hukum akan mengesahkan undang-undang tersebut
dan akan menyebarkannya kepada masyarakat.
b. Pengawasan dan Anggaran di Lembaga Perwakilan Belanda
Mekanisme monarki konstitusional dengan sistem
parlementer yang dijalankan oleh Kerajaan Belanda
berdampak model pengawasan yang dilakukan oleh
Parlemen (States General). Sesuai dengan Pasal 42
Konstitusi Kerajaan Belanda, bahwa pemerintahan
ini dipimpin oleh Perdana Menteri dan
bertanggungjawab kepada Parlemen dalam
menjalankan pemerintahan (Andeweg dan Irwin:
2002). Dalam menjalankan fungsi pengawasan,
Parlemen memiliki hak untuk bertanya kepada
Pemerintah, dimana Pemerintah tidak boleh menolak
kecuali dengan alasan raison d’etat atau kepentingan
negara. Pertemuan dengan Pemerintah ini dilakukan
setiap minggu, biasanya setiap hari Selasa, dan
didahului dengan memberikan pertanyaan tertulis
kepada Parlemen, setelah Parlemen menjawab,
biasanya akan diisi debat kecil antara kedua belah
pihak.45
Kedua kamar di States General secara umum
memiliki hak yang sama, mereka berhak untuk
menyatakan pendapat, melakukan investigasi (hak
angket), mengajukan pertanyaan dan mengajukan
interpelasi (ProDemos: 2013). Tetapi, Tweede
Kamer akan berperan lebih dominan, karena merekalah
yang membawahi komisi-komisi yang berhubungan
langsung dengan Pemerintah. Mengenai hak-hak States
General ini, terlihat banyak kemiripan dengan praktik
yang dewasa ini terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia. Dalam hal mengajukan pertanyaan
atau pengajuan pendapat, Parlemen boleh
menyampaikannya secara lisan maupun tulisan. Jika
ada kegentingan yang mendesak, Parlemen
sewaktu-waktu dapat memanggil Menteri atau Perdana Menteri
untuk melakukan emergency debate yang harus
mendapatkan persetujuan mayoritas.46
Parliamentary Inquiry menjadi instrumen kontrol
paling efektif di Parlemen Kerajaan Belanda.
Konsep Parliamentary Inquiry ini mirip dengan Panitia
Angket di DPR RI, dimana anggota Parlemen memiliki
hak untuk melakukan investigasi mendalam terkait
suatu hal, dan anggota Parlemen memiliki hak untuk
bertanya kepada semua pemangku kepentingan
dibawah sumpah. Hasil dari Parliamentary Inquiry ini
kemudian disampaikan secara tertulis kepada Tweede
Kamer dan Earst Kamer dalam bentuk rekomendasi
kebijakan.Meskipun Parliamentary Inquiry merupakan
instrumen yang kuat, mereka tidak memiliki hak untuk
memberikan hukuman atas sebuah kebijakan
(Parliamentary Inquriy: The Dutch House of
Representatives, 2015).
Selain fungsi legislasi dan pengawasan, Parlemen
Kerajaan Belanda juga memiliki fungsi anggaran.
Kedua kamar di Parlemen Kerajaan Belanda memiliki
hak yang sama terkait dengan fungsi anggaran ini,
mereka berhak untuk menerima maupun menolak
besaran anggaran yang diajukan oleh Perdana Menteri.
Kuasa atas anggaran ini menjadi penting, karena tanpa
persetujuan dari Parlemen maka kabinet tidak akan
dapat menjalankan Pemerintahan. Rancangan anggaran
ini kemudian disampaikan dalam bentuk Budget
Memorandum, dan National Budget kepada States
General pada Prince’s Day. Prince’s Day jatuh setiap
Day ini Raja Belanda akan memberikan pidatonya
selaku kepala negara dihadapan States
General (Prince’s Day: The Dutch House of
Representatives, 2015). Parlemen kemudian akan
melakukan pembahasan terhadap rancangan anggaran
ini yang dilakukan oleh Tweede dan Earst Kamer.
Dalam perdebatan yang dilakukan, dimungkinkan
adanya perubahan baik penambahan ataupun
pengurangan anggaran selama hal tersebut dibutuhkan
(ProDemos, 2013). Konsep ini juga mirip dengan
terjadi di Indonesia melalui pengantar nota keuangan
dalam Pidato Kenegaraan Presiden RI setiap tanggal 16
Agustus.47
2. Sistem Bikameral di Amerika Serikat
Pemerintah federal Amerika
Serikat adalah pemerintah pusat Amerika Serikat yang
didirikan berdasarkan Konstitusi Amerika Serikat.
Pemerintah federal Amerika Serikat memiliki tiga
cabang yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Pemerintah federal Amerika Serikat didirikan pada
tahun 1790 dan dianggap sebagai federasi nasional
modern pertama di dunia. Meskipun demikian, rincian
federalisme Amerika telah menjadi perdebatan sejak
diundangkannya Konstitusi Amerika Serikat, di mana
beberapa pihak mengargumentasikan kekuasan
nasional secara luas, sedangkan pihak lain menafsirkan
pasal-pasal Konstitusi tentang kekuasaan pemerintah
nasional secara harfiah. Sejak Perang Saudara
Amerika, kekuasaan Pemerintah Federal secara umum
telah berkembang dengan hebatnya, kendati terdapat
beberapa periode ketika pendukung hak-hak negara
bagian telah berhasil membatasi kekuasaan federal
melalui tindakan legislatif, prerogatif eksekutif, atau
melalui penafsiran konstitusional di Mahkamah.
Kedudukan pemerintah federal berada di Washington,
D.C.. Kata "Washington" telah terbiasa dijadikan
istilah pengganti bagi pemerintah federal Amerika
Serikat.48
Badan legislatifnya dinamakan Congress dan
terdiri dari dua kamar yaitu senate dan house of
Representative. Teori politik dan politik praktisnya
menghasilkan senat Amerika Serikat. Bikameralisme
adalah kompenen yang esensial pada separation of
power atau pemisahan kekuasaan dalam kerangka
pandangan tersebut. Dalam pemerintahan, kekuasaan
legislatif perlu menonjol. Memperbaiki kesulitan ini
adalah dengan membagi legislatif ke dalam dua cabang
yang berbeda; dan membuat mereka dengan perbedaan
cara pemilihan dan perbedaan prinsip-prinsip dalam
bertindak, seperti mempunyai sedikit hubungan dengan
yang lainnya sebagai sifat dasar dari fungsi-fungsi
mereka lazim dan ketergantungan mereka yang biasa
pada masyarakat yang akan mengikuti sistem
bicameral di Amerika Serikat. Kedua kamar
Parlemen yang ada, yaitu House of Representatives
dan Senate sama-sama memiliki kekuasaan yang
besar, bahkan ada kecenderungan senat memiliki
kekuasaan yang lebih besar dibandingkan House of
Representatives.49
Senat Amerika merupakan senat yang terdapat di
negara yang berbentuk federal dengan sistem
pemerintahan presidensiil dengan beranggotakan 100
orang yang berasal dari 50 negara bagian, tiap negara
diwakili oleh dua orang senator, sejak tahun 1913
pemelihannya dilakukan dengan suara rakyat langsung.
Cabang yang lain dari legislatif adalah House Of
Representative, yang tidak mempunyai bagian dalam
administrasi apapun dan hanya mempunyai kekuasaan
yudikatif, seperti meng-impeach pejabat-pejabat publik
sebelum senat. Dua cabang legislatif ini hampir
dimanapun subjeknya sama kondisi pemenuhan
syaratnya. Mereka dipilih dengan cara yang sama dan
oleh warga negara yang sama, perbedaannya hanya
pada keberadaan mereka, yaitu masa dimana senat
dipilih lebih lama daripada House Of Representative.
House Of Representatif jarang dalam jabatan tersebut
lebih dari satu tahun, sedangkan senat, menjabat dua
atau tiga tahun.50
Dengan memisahkan badan badan legislatif dalam
dua cabang, rakyat Amerika tidak menginginkan
membuat satu kamar/majelis berdasarkan keturunan
dan pilihan lain, satu aristocrat dan yang lain
demokratik. Keuntungan yang dihasilkan dari
konstitusi saat ini dari dua kamar di Amerika Serikat
adalah lembaga kekuasaan legislatif, pemeriksaan
berikut terhadap pergerakan politik, bersama dengan
membuat satu pengadilan banding untuk merevisi
Undang-undang.
Pembuat Undang-undang Dasar merasa
Bikameralisme sebagai salah satu dari sejumlah
mekanisme untuk menjaga terhadap bahayanya
pemusatan kekuasaan. Untuk senat adalah mengawasi
House of representative dan untuk itu harus memiliki
fungsi yang sama secara subtansial, dan pembuat
Undang-Undang Dasar juga membuat itu. Pemeriksaan
50 King Faizal, Sistem Bikameral Dalam Spektrum Lembaga Parlemen
akan menjadi sangat efektif jika dua kamar dipisahkan
dan dibedakan. Dalam Konstitusi Amerika Serikat
telah mengalami Perubahan sebanyak 26 kali,
mengenai parlemen diatur dalam Article I, Sectio I,
yang berbunyi “ All legislative Power herein granted
shall be vested in congress of the united state, which
shall consist of a senate and House Of
Representative”.51
Dalam konstitusi Amerika Serikat, kamar kedua
atau disebut juga dengan senat, yang di dalamnya
diatur mengenai masa jabatan, persyaratan dan
kewajibannya. Dengan masa jabatan 6 tahun, sepertiga
bagiannya dipilih setiap dua tahun sekali secara
bergantian, dan setiap senator mempunyai satu suara.
Dalam konstitusi Amerika Serikat, terdapat dalam
Artikel I, Section 3, yaitu, The senate of the united
states shall be composed of two senator from each
state, elected by the people thereof, for six years; and
each sentor shall have one vote. The electors in each
state shall have the qualifications requisite for electors
of the most numerous branch of the state legislature.
Menurut Pasal 1 Konstitusi Amerika Serikat,
kekuasaan Kongres dibagi menjadi 2 bagian, yaitu
Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat (House of
Representative). Anggota Senat terdiri dari dua
perwakilan masing-masing negara bagian sesuai
dengan yang tercantum di dalam Undang-Undang
Dasar. Sedangkan keanggotaan di DPR (House of
Representative) dipilih berdasarkan jumlah penduduk
dari tiap negara bagian namun tidak secara terperinci
disebutkan dalam konstitusi. Para senator (anggota
senat) tidak dipilih melalui pemungutan suara langsung
melainkan dipilih oleh badan pembuat undang-undang
negara bagian. Tugas mereka adalah memastikan
bahwa negara bagian yang mereka wakili mendapat
perlakuan yang sama dalam Undang-Undang.
Persyaratan seorang Senator di dalam Konstitusi
harus berusia 30 tahun, sudah menjadi warga negara
bagian yang memilih mereka. Senator dipilih dalam
pemilihan di seluruh negara bagian yang
diselenggarakan pada tahun-tahun genap. Masa jabatan
senat adalah enam tahun dan setiap dua tahun sepertiga
anggota senat mencalonkan diri dalam pemilu. Karena
itu dua pertiga anggota senat merupakan orang-orang
yang berpengalaman dalam bidang hukum
perundang-undangan tingkat nasional. Anggota DPR harus berusia
minimal 25 tahun, dan telah menjadi warga negara
Amerika sedikitnya 7 tahun. Pada prakteknya anggota
DPR dipilih kembali dalam beberapa kali seperti
halnya senat, dan juga terdiri dari orang-orang
berpengalaman.
Karena para anggota Dewan menjalankan masa
jabatan dua tahun, kelangsungan sebuah Kongres juga
berlangsung dua tahun. Perubahan ke-20 UUD AS
menetapkan bahwa Kongres akan bersidang setiap
tanggal 3 Januari, kecuali jika kongres menentukan
tanggal lain. Kongres tetap bersidang sampai
biasanya pada akhir tahun. Presiden bisa mengadakan
rapat khusus jika dia dianggap perlu. Sidang diadakan
di gedung Capitol di Washington D.C.
Konstitusi menetapkan bahwa wakil presiden adalah
sebagai ketua Senat. Wapres tidak memiliki hak suara
atau hak memilih kecuali terjadi seri dalam
pemungutan suara. Senat memilih seorang ketua
sementara untuk memimpin jika wapres absen atau
berhalangan hadir. DPR memilih ketua sendiri
pejabatnya yaitu Ketua Parlemen. Ketua Parlemen dan
ketua sementara adalah anggota dari partai politik
dengan perwakilan terbesar di setiap dewan.
a. Wewenang House of representative dan Senate Setiap Dewan Kongres mempunyai wewenang
untuk mengajukan perundang-undangan dalam semua
bidang, kecuali kenaikan penghasilan (atas inisiatif
house of representatif). Dalam pelaksanaannya, house
of representative boleh memberikan suara menentang
terhadap undang-undang yang diajukan. Senat boleh
mengajukan perubahan tambahan yang bisa mengubah
sifat rancangan tersebut.52
Senat juga punya wewenang khusus yang hanya
diperuntukkan bagi mereka, termasuk wewenang untuk
memastikan pengangkatan para pejabat tinggi dan duta
besar oleh presiden dari pemerintah federal, juga
wewenang untuk mengesahkan semua perjanjian
dengan cara dua pertiga dari pemberian suara.
Dalam hal impeachment, pejabat negara, Dewan
punya hak tunggal untuk mengajukan tuduhan
mengenai penyelewengan yang bisa menyebabkan
terjadinya persidangan impeachment. Senat
mempunyai wewenang tunggal untuk mengadili
kasus impeachment dan menentukan apakah pejabat
yang bersangkutan atau tidak. Jika terbukti bersalah
maka pejabat tersebut harus dipecat dari jabatannya.53
Selain itu Kongres juga mempunyai fungsi
non-legislatif terpenting yaitu melakukan investigasi atau
52Ibid.,
penyelidikan. Wewenang ini biasanya didelegasikan ke
komisi, baik komisi tetap, komisi khusus, maupun
komisi gabungan yang terdiri dari anggota kedua
dewan. Investigasi diadakan untuk mengumpulkan
informasi yang diperlukan untuk pembuatan
undang-undang yang dikeluarkan, untuk mengetahui kualifikasi
dan daya guna para anggota dan pejabat cabang-cabang
pemerintahan lainnya dan, walau jarang, untuk
meletakkan dasar-dasar pemberlakukan impeachement.
Wewenang ini menimbulkan sejumlah konsekuensi
logis penting, salah satunya adalah wewenang untuk
mempublikasikan pemeriksaaan-pemeriksaan tersebut
beserta hasilnya. Pemeriksaan ini merupakan alat
penting bagi para pembuat kebijakan hukum untuk
menginformasikan rakyat serta membangkitkan minat
masyarakat terhadap isu-isu nasional.
Komisi merupakan salah satu ciri utama Kongres
dalam melaksanaan tugas mereka. Saat ini Senat
mempunyai 17 komisi tetap sedangkan DPR
diri pada bidang khusus pembuatan
perundang-undangan, urusan luar negeri, pertahanan, perbankan,
pertanian, perdagangan, dan bidang-bidang lainnya.
Hampir setiap RUU yang diajukan di Dewan harus
melalui komisi untuk mempelajari dan memberikan
rekomendasi. Komisi boleh menyetujui, merevisi,
menolak atau mengabaikan segala tindakan yang
berkenaan dengan RUU tersebut. Hampir mustahil
sebuah RUU bisa sampai ke DPR atau Senat tanpa
mendapat persetujuan komisi.
Nilai positif dari sistem komisi ini adalah sistem ini
mengijinkan para anggota Kongres dan staffnya untuk
mengumpulkan para pakar dari sejumlah cabang ilmu
di berbagai bidang legislatif. Di masa awal berdirinya
republik ketika penduduk masih sangat sedikit dan
pemerintah federal ditetapkan secara mendetail,
keahlian tidak terlalu dibutuhkan, namun semakin
banyaknya kerumitan di kehidupan nasional
satu atau dua bidang tertentu mengenai kebijakan
umum.54
b. Tugas Senate di Amerika Serikat
Sistem Perwakilan di Amerika Serikat (AS) terdiri
dari Senate sebagai perwakilan dari Negara bagian dan
House of Representatives sebagai perwakilan seluruh
rakyat. Kedua unsur perwakilan itu dinamakan
Kongres (Congress), yang dalam Konstitusi AS
terdapat article one section one yang berbunyi “All
Legistilative power herein grated shall be vested in
Congress of the United States, Which shall consist of a
Senate and House of Representative”
Berdasarkan article 1, section 3 Konstitusi AS
menyatakan bahwa anggota-anggota senate ini dipilih
oleh lembaga perwakilan rakyat masing-masing Negara
bagian. Ini tandanya mekanisme pemilihan tidak
dilakukan secara langsung tetapi beringkat. Dimana
rakyat Negara bagian memilih anggota lembaga
perwakilan rakyat masing-masing Negara yang
kemudian lembaga perwakilan ini memilih anggota
Senate. Tetapi kemudian mekanisme ini mengalami
Amandemen XVII Konstitusi AS yang menegaskan
untuk mengadakan pemilihan langsung anggota Senate
oleh rakyat masing-masing Negara bagian.
Sedangkan wewenang Congress diatur dalam
Article 1, Section8 Konstitusi AS yang berbunyi “The
Congress shall have Power to Lay and collect Taxes,
Duties, Imposts and Excise, to pay the Debt and
provide for the common Defence and general welfare
of the United States; but all Duties, Imposts and
Excises shall be uniform throughout the United States”. Dari sini kita mengetahui bahwa congress
mempunyai kekuatan untuk menetapkan dan
mengumpulkan Pajak, Cukai, dimana Pajak ini untuk
membayar Hutang dan kesejahteraan umum Amerika
Serikat. Setelah clause tersebut diikuti 17 clause
lainnya yang menerangkan wewenang congress.
Semua wewenang tersebut dibagi dan dilaksanakan