BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Uraian Tumbuhan
Tumbuhan majakani pada dasarnya berasal dari daerah Allepo di
Asiatic Turkey, juga ditemukan di Syria, Iran, Cyprus, dan Yunani (Claus, 1962; Rangari, 2007).
Gal majakani bukan merupakan jenis buah-buahan atau bagian tumbuhan lainnya tetapi merupakan pertumbuhan abnormal (pembesaran menjadi bongkol) dari ranting tumbuhan Quercus infectoria G. Olivier atau disebut majakani.
Sinonim : Nutgall,Aleppo gall, Smyrna gall, Turkey gall, Oak warts, Mad-Apple, Dead Sea-Apple,
Apple of Sodom, Dyers’ Oak.
Tumbuhan asli : Quercus infectoria G.Olivier
Famili : Fagaceae
Bagian yang digunakan : gal yang diperoleh dari ranting muda (Rangari, 2007) dan disebut juga “cecidia” atau “galla” (Tjitrosoepomo, 1994).
Majakani dalam taksonomi tumbuhan dliklasifikasikan sebagai:
Devisi
Sub devisi
Kelas : Dicotyledoneae
Suku : Fagaceae
Marga : Quercus
Jenis : Quercus infectoria G.Olivier (EOL, 2013) 2.1.1 Proses pembentukkan gal
Gal merupakan perkembangan patologi yang dibentuk pada ranting pohon. Gal timbul sebagai reaksi akibat tusukan serangga kecil pada kulit rantingnya (Claus, 1962). Serangga tersebut adalah Cynips gallaetinctoria
Hartig atau Adleria galaetinctoriae Olivier, famili Cynipidae (Rangari, 2007). Serangga lain yaitu Aphis (kutu tanaman), dan beberapa oleh jamur.
Tahap pembentukkan gal (Pratt dan Herber, 1956):
a. Pada awal musim semi, serangga meletakkan telur-telurnya pada ranting
b. Larva menetas dari telur dan mensekresikan enzim yang menghidrolisis pati di daerah ranting tersebut sehingga dihasilkan gula dan peninggkatan potensial energi.
c. Hal ini memicu pertumbuhan larva dan pembelahan sel di daerah ranting
d. Pada tahap pupa, terbentuk komponen polifenol dari tanin berupa asam tanat pada jaringan gal sebelah luar dan asam galat pada jaringan gal disebelah dalam.
e. Kemudian rongga tengah terbentuk dimana pupa tumbuh dan menjadi serangga dewasa
2.1.2 Jenis-jenis gal
Gal merupakan pertumbuhan abnormal pada tanaman akibat pertumbuhan telur serangga yang diletakkan oleh induknya pada pada bagian tanaman tertentu. Gal terdapat di beberapa negara, perbedaan gal dari negara-negara ini terletak pada jenis serangga yang menginduksi ataupun berbeda pada jenis tanamannya. Berdasarkan hal ini gal dapat dibedakan menjadi:
a. Gal Cina dan Jepang
Gal ini dihasilkan oleh induksi kutu (Schlechtendalia chinensis), pada tangkai daun Rhus chinensis family Anacardiaceae. Banyak terdapat dipasaran mengandung 55-77% tanin dan digunakan sebagai astringen juga obat anti pendarahan (Claus, 1962; Trease, et al., 1983).
b. Gal Aleppo atau gal Turki
Gal ini diinduksi oleh serangga Adleria gallaetinctoriae Olivier (=
Cynips gallaetinctoriae Hartig) pada ranting muda Quercus infectoria
G. Olivier (majakani) c. Gal mahkota Aleppo
Gal ini berasal dari Aleppo Syiria utara, berukuran seperti kacang dan memiliki mahkota tertegak mengarah ke pucuk. Serangga yang menginduki adalah Cynips polycera (Trease, et al., 1983).
d. Gal Amerika
kecoklatan dan banyak kerutan. Gal Texas dibentuk pada oak Quercus virens dan menghasilkan 40% asam tanat. Gal California dibentuk pada
Quercus lobata dan banyak mengadung asam tanat (Claus, 1962). e. Gal Hungaria
Gal ini diinduksi oleh serangga Cynips lignicola pada Quercus robur
yang tumbuh di Yugoslavia dan digunakan untuk penyamakan (Trease, et al., 1983).
f. Gal oak Inggris
Gal ini diinduksi oleh Adleria kollari pada Quercus robur, berisi 15-20% tanin (Trease, et al., 1983).
Menurut kandungan tanin gal dapat dibagi menjadi 2 yaitu: a. Gal biru
Gal ini sebenarnya berwarna abu-abu atau abu-abu kehitaman (Trease, et al., 1983) sehingga juga disebut gal hitam, mempunyai kandungan tanin yang tinggi dan masih terdapat serangga didalamnya. Kandungan tanin pada gal ini tergantung pada pertumbuhan serangga. Jika telur gagal menetas, tidak ada tanin yang dihasilkan dan gal tidak terbentuk. Jika larva mati maka produksi tanin terhenti juga. Serangga mengalami masa pertumbuhan didalam gal selama 5-6 bulan (Walis, 1955).
b. Gal putih
oksidasi tanin sehingga kandungan tanin pada gal ini lebih sedikit dari gal biru (Claus, 1962; Trease, et al., 1983).
2.1.3Karakteristik makroskopik gal majakani
Bentuk gal bulat dan berdiameter 10-25 mm, memiliki tangkai yang pendek, batang bebentuk basal, dan mempunyai banyak tonjolan pada permukaanya. Gal ini berat dan biasanya tenggelam dalam air. Beberapa memiliki lubang yang melingkar untuk serangga keluar (Trease, et al., 1983). 2.1.4Karakteristik mikroskopik gal majakani
Penampang melintang gal menunjukkan parenkim berdinding tipis di sebelah luar lebih banyak dibandingkan sebelah dalam. Setelah parenkim, kemudian diikuti oleh sebuah cincin sklerenkim yang terdiri atas satu atau dua lapis sel. Bagian dalam terdiri atas jaringan parenkim berdinding tebal yang mengelilingi rongga tengah. Jaringan parenkim berisi banyak pati, gumpalan tanin, kristal dalam bentuk rose atau prisma dari kalsium oksalat (Trease, et al., 1983)
2.1.5Kandungan kimia gal majakani
OH
Asam galat asam elagit sitosterol
Gambar 2.1 Rumus struktur komponen gal majakani (Pratt dan Herber, 1956) 2.1.6 Uji kualitatif gal majakani
Campuran air dengan serbuk gal (1:10.000) menunjukkan endapan biru gelap dengan 5% larutan feri sulfat, endapan berwarna coklat gelap dengan 1% larutan feri asetat, warna orange kecoklatan dan sedikit endapan dengan kalium dikromat jenuh ditambah sedikit asam asetat; serta coklat kekuningan dan endapan dengan 1% larutan natrium karbonat (Claus, 1962).
2.1.7Kegunaan gal majakani
Secara tradisional gal majakani (Quercus infectoria G.Olivier) digunakan sebagai bahan astringen alami yang mengandung komponen antiseptik dan antioksidan (Pratt dan Herber, 1956). Beberapa penelitian juga telah membuktikan beberapa efek farmakologinya seperti sebagai antidiabetes (Hwang, et al., 2000), anastetik lokal, antivirus (Hussein, et al., 2000), dan antibakteri (Fatima, et al., 2001).
2.2 Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain simplisia merupakan bahan yang dikeringkan. Simplisia dapat berupa simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelican atau mineral. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. Yang dimaksud dengan eksudat tanaman ialah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya. Untuk menjamin keseragaman senyawa aktif, keamanan maupun kegunaannya, maka simplisia harus memenuhi persyaratan minimal. Dan untuk dapat memenuhi persyaratan minimal tersebut, ada beberapa faktor yang berpengaruh, antara lain bahan baku simplisia, proses pembuatan simplisia (termasuk cara penyimpanan simplisia), cara pengepakan dan penyimpanan simplisia (Depkes, 1985).
2.2.1 Tahap pembuatan simplisia
Agar simplisia memenuhi persyaratan minimal yang ditetapkan, maka dilakukan tahapan kegiatan berikut ini.
a. Sortasi Basah
pengotoran lainnya harus dibuang. Tanah mengandung bermacam-macam mikroba dalam jumlah yang tinggi, oleh karena itu pembersihan simplisia dari tanah yang terikut dapat mengurangi jumlah mikroba awal (Depkes, 1985).
b. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotoran lainnya yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih, misalnya air dari mata air, air sumur atau air PAM. Bahan simplisia yang mengandung zat yang mudah larut di dalam air yang mengalir, pencucian hendaknya dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin (Depkes, 1985).
c. Perajangan
Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami proses perajangan. Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan, pengepakan dan penggilingan. Semakin tipis bahan yang akan dikeringkan, semakin cepat penguapan air, sehingga mempercepat waktu pengeringan. Akan tetapi irisan yang terlalu tipis juga dapat menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat berkhasiat yang mudah menguap, sehingga mempengaruhi komposisi, bau dan rasa yang diinginkan (Depkes, 1985).
Tujuan pengeringan ialah untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik akan dicegah penurunan mutu atau perusakan simplisia. Air yang masih tersisa dalam simplisia pada kadar tertentu dapat merupakan media pertumbuhan kapang dan jasad renik lainnya. Proses pengeringan sudah dapat menghentikan proses enzimatik dalam sel bila kadar airnya dapat mencapai kurang dari 10%. Hal-hal yang perlu diperhatikan selama proses pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembapan udara, aliran udara, waktu pengeringan, dan permukaan bahan. Suhu yang terbaik dalam pengeringan adalah tidak melebihi 60°C, tetapi bahan aktif yang tidak tahan panas atau mudah menguap harus dikeringkan pada suhu serendah mungkin, misalnya 30°C sampai 45°C. Terdapat dua cara pengeringan yaitu pengeringan alamiah (dengan panas sinar matahari langsung atau dengan diangin-anginkan) dan pengeringan buatan (menggunakan instrument). Dengan menggunakan pengeringan buatan dapat diperoleh simplisia dengan mutu yang lebih baik karena pengeringan akan lebih cepat dan merata, tanpa dipengaruhi cuaca (Depkes, 1985).
e. Sortasi Kering
pengotoran-pengotoran lain yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering. Proses ini dilakukan sebelum simplisia dibungkus untuk kemudian disimpan. Pada simplisia bentuk rimpang, sering jumlah akar yang melekat pada rimpang terlampau besar dan harus dibuang. Demikian pula adanya partikel-partikel pasir, besi dan benda-benda tanah lain yang tertinggal harus dibuang sebelum simplisia dibungkus (Depkes, 1985).
f. Penyimpanan
serta penyimpanan warna, rasa, bau, dan sebagainya pada simplisia (Depkes, 1985).
2.3 Ekstrak dan Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes, 1995).
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang akan diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut dan mempunyai struktur kimia yang berbeda-beda yang dapat mempengaruhi kelarutan dan stabilitas senyawa-senyawa tersebut terhadap suhu, udara, cahaya, dan logam berat (Depkes, 2000).
2.3.1 Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut a. Cara dingin
i. Maserasi
dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Depkes, 2000).
ii. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bertahan (Depkes, 2000). b. Cara panas
i. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Depkes, 2000).
ii.Soxhlet
iii. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperature 40 – 50°C (Depkes, 2000). iv. Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperature penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98°C selama waktu tertentu (15 – 20 menit) (Depkes, 2000).
v. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama ≥ 30 °C dan temperatur sampai titik didih air (Depkes. 2000).
2.3.2 Pengeringan ekstrak dengan metode freeze drying
2.4 Inflamasi
2.4.1 Definisi inflamasi
Inflamasi adalah respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung suatu agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu. Pada bentuk akut ditandai oleh tanda klasik yaitu: nyeri (dolor), panas (kalor), kemerahan (rubor), bengkak (tumor), dan hilangnya fungsi (fungsiolesa). Secara histologis, menyangkut rangkaian kejadian yang rumit, yaitu mencakup dilatasi arteri, kapiler dan venula, disertai peningkatan permeabilitas aliran darah, eksudasi cairan, termasuk protein plasma dan migrasi leukosit kedalam fokus peradangan. Respon ini disebabkan oleh pembebasan mediator (histamin, serotonin, prostaglandin, kinin) yang berperan mengatur, mengaktifkan sel-sel, baik dari darah maupun jaringan dan kemudian dapat timbul gelaja dari jaringan yang cidera (Soenarto, 2007).
2.4.2Mediator inflamasi
basofil adalah dalam bentuk tak aktif secara biologik dan tersimpan terikat pada heparin dan protein basa. Histamin akan dibebaskan dari sel tersebut pada reaksi hipersensitivitas, kerusakan sel (misalnya pada luka) serta akibat senyawa kimia pembebas histamin (Mutschler, 1999).
Bradikinin dan kalidin adalah mediator radang yang secara lokal menimbulkan rasa nyeri, vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas kapiler dan berperan meningkatkan potensi prostaglandin (Mansjoer, 2003). Serotonin (5-hidroksitriptamin, 5-HT), berasal dari asam amino esensial triptamin melalui hidroksilasi dan dekarboksilasi, terdapat dalam platelet darah, mukosa usus dan di beberapa bagian otak dengan konsentrasi tinggi. Serotonin disimpan dalam granula, terikat dengan ATP serta protein dan dibebaskan jika sel dirangsang melalui eksositosis dan mengaktifkan reseptor spesifik. Pada trombosit, serotonin berfungsi meningkatkan agregasi dan mempercepat penggumpalan dara sehingga mempercepat hemostasis (Mutschler, 1999).
Asam arakhidonat merupakan precursor sejumlah besar mediator inflamasi. Senyawa ini merupakan komponen utama lipid seluler dan hanya terdapat dalam keadaan bebas dalam jumlah kecil, sebagian besar berada dalam bentuk posfolipid membrane sel. Bila membran sel kerusakan oleh suatu noksi (rangsangan kimiawi, fisis atau mekanis) maka enzim posfolipase akan diaktifasi untuk mengubah posfolipid menjadi asam arakhidonat. Asam lemak C20 ini selanjutnya akan diubah menjadi senyawa mediator melalui dua alur
Pada alur siklooksigenase sebagian asam arakhidonat akan diubah oleh enzim siklooksigenase menjadi endoperoksida dan seterusnya menjadi prostaglandin (PG), prostasiklin dan tromboksan, sebagian lagi asam arakhidonat akan diubah menjadi enzim lipooksigenase menjadi asam hidroperoksida dan seterusnya menjadi leukotrien yang disebut juga Slow Reacting Subtances of Anaphilaxis (SRSA). Baik prostaglandin maupun leukotrien, bertanggung jawab bagi sebagian besar gejala peradangan (Mutschler, 1999).
Prostaglandin bekerja lemah, berpotensi kuat setelah bergabung dengan mediator atau subtansi lain yang dibebaskan secra lokal seperti histamin, serotonin dan leukotrien. Prostaglandin mampu menginduksi vasodilatasi pembuluh darah dalam beberapa menit dan terlibat menjadi nyeri, radang, demam dan diare. Dari alur lipooksigenase dihasilkan mediator leukotrien. Mediator LTB4 potensial kemotaktik terhadap leukosit polimorfonuklear,
eosinofil dan monosit. Pada konsentrasi tinggi, LTB4 menstimulasi agregasi
leukosit polimorfonuklear. Selain itu LTB4 mempunyai kemampuan
meningkatkan eksudasi plasma dan mengakibatkan hiperalgesia. Kombinasi dua senyawa leukotrien yaitu LTC4 dan LTD4 dapat menyebabkan peradangan,
reaksi anafilaksis, reaksi alergi dan asma. LTE4 menyebabkan gejala
hipersensitifitas, bronkokronstriksi, kontraksi otot polos dan permeabilitas vascular. Aktivitasnya jauh lebih kecil dari prazatnya yaitu LTC4 dan LTD4
2.4.3Sistem pertahanan tubuh pada inflamasi Pertahanan tubuh dapat dibagi menjadi dua: a. Sistem imun nonspesifik (bawaan)
Sel-sel dari sistem ini adalah neutrofil fagositosis, makrofag, basofil, sel-sel
mast, eosinofil, trombosit, monosit dan sel-sel pembunuh alami (Natural Killer (NK) sel). Faktor-faktor yang larut adalah lisozim sitokin, INF, komplemen, protein fase akut (Soenarto, 2010).
b. Sistem imun spesifik (penyesuaian)
Zat yang larut termasuk pada sistem ini adalah antibody, immunoglobulin yang dihasilkan oleh limposit B dan sel plasma, dan limpokin-limpokin yang kebanyakan diproduksi oleh limposit T. Sedangkan faktor-faktor yang larut lainya adalah lisosim, interferon, sitokin, komplemen protein fase akut (Soenarto, 2010).
Sel-sel pemangsa (fagosit) merupakan pertahanan dalam lini pertama guna membinasakan zat-zat pathogen. Dan yang berfungsi dalam hal ini termasuk makrofag dan neutrofil (Soenarto, 2010).
Sel-sel yang ada didalam tubuh dilengkapi dengan reseptor-reseptor yang ada dipermukaan sel. Disamping itu dari sel-sel dilengkapi pula zat yang dapat dikeluarkan dengan fungsi untuk pengaktifan atau pemicu terhadap sel lain agar menjadi aktif. Zat-zat tersebut merupakan mediator (Soenarto, 2010). 2.4.4Mekanisme terjadinya inflamasi
Gambar 2.2 Patogenesis dan gejala peradangan (Mutschler,1999) 2.4.5Macam-macam inflamasi
Berdasarkan waktu kejadiannya, inflamasi terbagi atas 2 macam: a. Inflamasi Akut
Inflamasi ini merupakan respon langsung dari tubuh terhadap cedera atau kematian sel. Tanda-tanda pokok peradangan akut mencakup kemerahan (rubor), panas (kalor), rasa sakit (dolor), pembengkakan (tumor), dan perubahan fungsi (fungsio laesa). Peristiwa penting pada peradangan akut adalah dilatasi pembuluh darah dan perubahan permeabilitas pembuluh-pembuluh yang sangat kecil yang mengakibatkan kebocoran protein, sehingga terjadi pembentukan eksudat seluler berupa emigrasi neutrofil polimmorf ke dalam rongga ekstravaskuler yang kemudian menimbulkan pembengkakan jaringan (Price dan Wilson, 1995; Underwood, 1999).
Emigrasi Leukosit
Proliferasi sel Noksi
Kerusakan Jaringan
Pembebasan Mediator
Gangguan sirkulasi lokal
Eksudasi Perangsangan
reseptor nyeri
b. Inflamasi kronik
Inflamasi kronik didefinisikan sebagai proses radang dimana limfosit, sel plasma, dan makrofag lebih banyak ditemukan, dan biasanya disertai pula dengan pembentukan jaringan granulasi, yang menghasilkan fibrosis. Radang akut dapat menjadi radang kronik apabila pusat membentuk rongga abses yang terletak di dalam, dan pembuangannya berlangsung lama atau tidak lancar, sewaktu proses pembuangan berlangsung, terbentuk pula penebalan dinding abses yang terdiri dari jaringan granulasi dan jaringan ikat fibrosa. Oleh karena itu dinding abses yang kaku menyebabkan tidak terjadinya penyatuan sewaktu pembuangan berlangsung, dan sisa pus di dalam rongga abses mengalami organisasi dengan tumbuhnya jaringan granulasi, yang pada akhirnya akan diganti dengan jaringan parut fibrosa. Contoh inflamasi kronik adalah inflamasi akibat tuberkolosis (Underwood, 1999).
normal (Santoso, 1999; Soenarto, 2010). Mekanisme sistem imun nonspesifik dan spesifik pada inflamasi akut dan kronis dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Mekanisme sistem imun nonspesifik dan spesifik pada inflamasi akut dan kronis (Santoso, 1999; Soenarto, 2010).
2.4.6Golongan obat antiinflamasi
Gambar 2.4 Bagan penghambatan obat anti radang terhadap pembentukan mediator radang (Mansjoer, 2003).
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat antiinflamasi terbagi ke dalam golongan:
a. Antiinflamasi Steroid
Obat ini bekerja dengan cara menghambat posfolipase, suatu enzim yang bertanggung jawab terhadap pelepasan asam arakidonat dari membran lipid. Termasuk golongan obat ini adalah prednison, hidrokortison, deksametason, dan betametason (Katzung, 1996).
Pospolipase Posfolipid
Asam arakhidonat Kortikosteroid
Endoperoksida Asam hidroperoksida
Tromboksan
b. Antiinflamasi Non Steroid
Obat ini bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Termasuk golongan obat ini adalah ibuprofen, indometasin, diklofenak, fenilbutazon, dan pirosikam (Wilmana dan Gan, 2007).
2.4.7Natrium diklofenak
Natrium diklofenak merupakan obat antiinflamasi nonsteroid. Obat ini bekerja menghambat aktivitas enzim siklooksigenase yang berperan dalam metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin yang merupakan salah satu mediator inflamasi (Kertia, 2009). Natrium diklofenak merupakan derivat fenilasetat yang termasuk NSAID yang daya antiradangnya paling kuat dengan efek samping yang kurang dibandingkan dengan obat lainnya (seperti indometasin, piroxicam) (Tjay dan Raharja, 2002).
Penghambatan OAINS terhadap enzim COX dapat ditunjukkan dengan logaritma perbandingan IC80 COX-2/COX-1. Inhibitory concentration 80
(IC80) adalah konsentrasi yang dapat menghambat 80% aktivitas COX.
Berdasarkan logaritma perbandingan tersebut diklofenak mempunyai nilai logaritma perbandingan IC80 COX-2 /COX-1 lebih kecil dari 0 dan lebih besar
Gambar 2.5 Selektif penghambat COX2 dan beberapa OAINS berdasarkan
logaritmaperbandingan inhibitory concentration (IC80). Garis 0
menunjukkan potensi yang sama dimana hasil perbandingan IC80 antara COX-2 dan COX-1 adalah 1) (Kerr dan Gailer,
2010).
2.4.8Beberapa metode uji antiinflamasi a. Metode pembentukan udem buatan
Salah satu teknik yang paling umum digunakan berdasarkan kemampuan agen tersebut untuk menghambat produksi udem di kaki belakang tikus setelah injeksi agen radang yang kemudian diukur volume radang. Volume udem diukur sebelum dan sesudah pemberian zat yang diuji. Beberapa iritan yang dipakai sebagai penginduksi udem antara lain formalin, kaolin, ragi, dan dekstran. Iritan yang umum digunakan dan memiliki kepekaan yang tinggi adalah karagen (Vogel, 2008).
b. Metode pembentukan eritema
Metode ini berdasarkan pengamatan secara visual terhadap eritema pada kulit hewan yang telah dicukur bulunya. Marmot secara kimiawi dihilangkan bulunya dengan suspense barium sulfat, 20 menit kemudian dibersihkan dengan air hangat. Hari esoknya senyawa uji disuspensikan dan setengah dosisnya diberikan 30 menit sebelum pemaparan UV. Setengahnya lagi setelah 2 menit berjalan pemaparan UV. Eritema dibentuk akibat iritasi sinar UV berjarak 20 cm diatas marmot. Eritema dinilai 2 dan 4 jam setelah pemaparan (Vogel, 2008).
c. Metode iritasi dengan panas
dengan panas yang cukup tinggi. Panas menyebabkan pembebasan histamin endrogen sehingga timbul inflamasi. Zat warna akan keluar dari pembuluh darah yang mengalami dilatasi bersama-sama dengan albumin plasma sehingga jaringan yang meradang kelihatan berwarna. Penilaian derajat inflamasi diketahui dengan mengukur luas radang akibat perembesan zat ke jaringan yang meradang. Pengukuran juga dapat dilakukan dengan menimbang udem yang terbentuk, dimana jaringan yang meradang dipotong kemudian ditimbang (Vogel,2008).
d. Metode pembentukan kantong granuloma
Metode ini berdasarkan pengukuran volume eksudat yang terbentuk di dalam kantong granuloma. Mula-mula benda terbentuk pellet yang terbuat dari kapas yang ditanam di bawah kulit abdomen tikus menembus lapisan linia alba. Respon yang terjadi berupa gejala iritasi, migrasi leukosit dan makrofag ke tempat radang yang mengakibatkan kerusakan jaringan dan timbul granuloma (Vogel, 2008).
e. Metode iritasi pleura
f. Metode induksi oxazolon udem telinga mencit
Pada percobaan ini tikus telinga tikus diinduksi 0.01 ml 2% larutan oxazolon ke dalam telinga kanan. Inflamasi terjadi dalam 24 jam. Kemudian hewan dikorbankan dibawah anastesi lalu dibuat preparat dengan 8 mm dan perbedaan berat preparat menjadi indicator inflamasi udem (Vogel, 2008). 2.4.9Karagenan