• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Sejarah Singkat Lahirnya GPM - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Teologi Orang Basudara: Rancang Bangun Teologi Lokal GPM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "B. Sejarah Singkat Lahirnya GPM - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Teologi Orang Basudara: Rancang Bangun Teologi Lokal GPM"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

SEJARAH, PILIHAN, ORGANISASI DAN TEOLOGI GPM

A. Pengantar

Bertolak dari tujuan penulisan tesis ini untuk merancang sebuah

teologi lokal Gereja Protestan Maluku (GPM) demi menjawab kebutuhan

eklesiologi GPM, maka dalam bab ini penulis akan mendeskripsikan GPM

secara singkat. Pendeskripsian tersebut menggunakan data sejarah yang

diperoleh dengan studi pustaka dan literatur-literatur pendukung dari

GPM, seperti Salinan Ketetapan Sidang sinode GPM, dan Himpunan

Keputusan Sidang MPL Sinode GPM. Dari pendiskripsian tersebut, bab

ini berisikan tentang GPM sebagai gereja yang lahir dan bertumbuh di

Maluku, baik itu sejarah lahirnya, perjuangannya untuk memilih terlebur

dalam konteks keindonesiaan, organisasinya, dan juga teologinya.

B. Sejarah Singkat Lahirnya GPM

Sebagai institusi keagamaan di Maluku, GPM memiliki begitu

banyak nilai historis yang berkaitan dengan VOC, Indische Kerk, dan juga

dengan protestantisme di Indonesia. Bahkan Johan Saimima dalam

tulisannya tentang Menelaah Dimensi Historis Eklesiologi GPM menulis

(2)

Ibadah Perdana protestantisme tanggal 27 Februari 1605, yang berlangsung di Benteng Victoria Ambon, merupakan penanda historis berdirinya gereja protestan di Indonesia. Karena berawal dari benteng tersebut, injil kemudian disebarkan bagi masyarakat Maluku dan menjangkau keluar kepada masyarakat di seluruh

pelosok Indonesia.1

Berdasarkan tulisan dari Johan Saimima di atas, dapat

dikemukakan bahwa sebagai institusi keagamaan di Maluku, GPM

mempunyai begitu banyak ikatan sejarah, salah satunya terkait sejarah

penyebaran protestantisme di Indonesia. Di samping itu, sebagai institusi

keagamaan yang penuh dengan sejarah, GPM mulai menjadi gereja yang

mandiri pada tanggal 6 September tahun 1935.2 Namun jika ditelusuri

lebih jauh, rentetan awal sejarah lahirnya GPM telah dimulai pada awal

periode zaman kerajaan Kristiani (1492-1808). Mengapa demikian?

Karena GPM adalah buah dari proses penjajahan dan penginjilan yang

dimulai pada periode zaman kerajaan Kristiani.

Pada periode zaman kerajaan Kristiani (1492-1808), terjadi

kelemahan di dalam tubuh gereja Roma, dan akibatnya gereja Katolik

yang berada di kerajaan Portugis dan Spanyol kemudian menghambakan

diri kepada kerajaan Portugis dan Spanyol. Bahkan gereja Roma kemudian

memberikan kekuasaan dalam bidang ekonomi, politik, dan kehidupan

1

Johan Saimima, “Menelaah Dimensi Historis Eklesiologi GPM” dalam Menuju Gereja Orang Basudara-Refleksi 500 Tahun Protestantisme dari Maluku, (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2017), 100.

2

(3)

agama atas tanah-tanah jajahan kepada kerajaan Portugis dan Spanyol, dan

jika mandat kekuasaan tersebut dilanggar maka konsekuensinya akan

ditendang keluar dari komunitas gereja Roma.3

Dengan diberikannya kekuasaan pada kerajaan Spanyol dan

Portugis, maka terbentuklah sistim patronato yang membuat kerajaan

Spanyol dan Portugis tidak hanya berkuasa atas wilayah jajahannya dalam

bidang ekonomi dan politik saja tetapi juga dalam bidang gerejawi.4

Dengan adanya sistim patronato maka dalam misi penjajahan dan

penginjilan, kerajaan Spanyol dan Portugis berhak untuk membangun

keuskupan, melayani pertobatan, mengutus misionaris dan juga memungut

pajak untuk persepuluhan di wilayah-wilayah jajahan.5

Dalam perjalanannya untuk menjajah dan membawa misi Kristen,

kerajaan Portugis menancapkan taringnya di wilayah Asia Tenggara dan

pantai Afrika.6 Tak cukup puas dengan wilayah penjajahannya, kerajaan

Portugis berusaha untuk dapat memonopoli rute perdagangan Asia-Eropa.

Namun tujuan itu hanya dapat tercapai jika kerajaan Portugis dapat

menguasai lautan. Agar dapat mencapainya, selama abad ke-16 mereka

3

Francis Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, (Yogyakarta: LKIS, 2008),75.

4

David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen “Sejarah Teologi Misi yang

Mengubah dan Berubah”, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 355. 5

Francis Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, (Yogyakarta: LKIS, 2008),75.

6

(4)

melancarkan perang yang sengit terhadap pedagang-pedagang Asia yang

kebanyakan dari mereka beragam Islam.7

Setelah kerajaan Portugis memasuki perairan Indonesia, mereka

kemudian mengejar dan merompak semua kapal dagang yang mereka

temui. Pada tahun 1511 kerajaan Portugis telah berhasil menaklukan

Malaka, pusat perdagangan yang utama antara Maluku dan India.

Beberapa tahun kemudian mereka mendirikan benteng di Ternate sebagai

pusat domisili tentara dan misi Portugis di Indonesia Timur.8

Namun, lambat laun kerajaan Portugis mengalami kemunduran dan

akibatnya misi yang dibawa oleh kerajaan Portugis pun tidak berjalan

dengan baik. Beberapa waktu kemudian Belanda pung datang ke Asia,

alasan Belanda untuk datang ke Asia sama dengan orang-orang Portugis,

yaitu untuk memonopoli perdagangan Asia dan Eropa.9

Persisnya tahun 1602, VOC ada di Indonesia dan berhasil

menaklukan kekuatan dagang dan militer portugis disebagian besar

kawasan yang sempat didudukinya, sambil memprotestankan masyarakat

pribumi yang telah diinjili (dikatolikkan) portugis sebelumnya. VOC

menjalankan upaya protestanisasi ini karena kongsi dagang Belanda ini

membawa mandat dari gereja Gereformed Belanda, yaitu gereja protestan

7

Van Den End, Ragi Cerita 1, 30. 8Ibid

, 31. 9 Ibid,

(5)

yang beraliran Calvinis10 pada masa itu untuk menyebar luaskan iman

Kristen (Protestan) di wilayah yang dimilikinya. Dengan kehadiran VOC

maka hadirlah mazhab Kristen protestan beraliran Calvinis di Indonesia.11

Setelah dua dekade VOC berkuasa di Indonesia, pada 1 Januari

1800, pemerintah kolonial (Hindia) Belanda mengambil alih kekuasaan

dari tangan VOC. Kemudian Raja Willem I, merasa berhak dan

berkepentingaan mewujudkan satu gereja (Protestan) yang tunduk pada

kekuasaan negara (pemerintah, baik di Belanda maupun di wilayah

jajahan). Kusus di wilayah jajahan (Indonesia) berdasarkan amanat Raja

Wilhem I tahun 1815, dibentuklah satu gereja protestan, yaitu GPI

(Indische Kerk) yang mencakup semua jemaat asuhan atau peninggalan

VOC di Indonesia.12

Maluku yang termasuk dalam jemaat asuhan VOC, kemudian

terserap menjadi bagian dari gereja negara yang tunduk pada pemerintah

Hindia Belanda pada saat itu. Kemudian seiring perjalanannya di kalangan

orang Maluku, keinginan untuk berdiri sendiri sudah timbul berbaringan

dengan gerakan nasional. Secara kusus, orang ingin mendirikan gereja

Maluku yang terlepas dari perwalian pengurus di Batavia. Hal ini juga

10

Bagi De Jonge, Calvinis merujuk pada kata sifat bagi orang-orang reformasi yang setia pada ajaran Calvin. Christia De Jonge, Apa Itu Calvinisme, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 11.

11

Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 12.

(6)

didukung oleh Pdt. T. J. Van Oostom Soede yang saat itu menjadi Pdt –

Ketua Resort Ambon tahun 1926 – 1932. Dukungan tersebut diberikan

namun tetap mempertahankan keseluruhan GPI dan tetap

mempertahankan sistem pemerintahan gereja yang bertingkat-tingkat

(hierarkhi).13

Ada kelompok di Ambon bernama Autonom Mullukse Kerk

(Perhimpunan Gereja Maluku Otonom) melakukan perlawanan terhadap

kebijakan dari Pdt. T. J. Van Oostom. Kelompok itu menganggap

reorganisasi berjalan terlalu lambat dan keberatan terhadap adanya

hubungan erat dengan GPI serta sistem pemerintahan dari atas ke bawah.14

Rekaman sejarah yang menunjukan bahwa kelompok Autonom Mullukse

Kerk melakukan perlawan akibat sistim hierarkhi yang diterapkan oleh

GPI (Indische Kerk) ditulis oleh Johan Saimima bahwa:

Kesepakatan untuk ditetapkannya sistem presbiterial-sinodal sebagai tata gereja GPM turut dipengaruhi oleh perjuangan

gerakan Autonom Mullukse Kerk (AMK) yang melawan Indische

Kerk dengan sistem hierarkhi yang diterapkannya.15

Perlawan yang dilakukan oleh kelompok tersebut di dengar oleh

pengurus di Batavia dan mereka menentukan bahwa tata gereja yang baru

itu memang harus bersifat presbiterial, tetapi gereja di Maluku harus tetap

13 Th. Van Den End, Ragi Cerita “Sejarah Gereja di Indonesia 2”, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 72.

14

Ibid, 72.

15 Johan Saimima, “

(7)

berhubungan erat dengan GPI. Di tengah suara rebut itu pimpinan di

Maluku (para pendeta Belanda di Ambon) bertindak dengan menuruti

kebijakan sendiri. Pada tahun 1932 juga Pdt. Van Herwerden menyusun

konsep tata gereja bagi bakal GPM. Konsep itu dirundingkan dalam

rapat-rapat klasis (namun itu mulai dipakai sekarang) dan kemudian dalam

“proto-sinode” (Sinode pendahuluan, 1933). Dalam tahun-tahun

berikutnya, proto-sinode itu berkumpul beberapa kali lagi dan menetapkan

peraturan-peraturan gereja. Setelah naskah itu disetujui Pengurus GPI,

pada bulan September 1935 berkumpullah Sinode pertama Gereja

Protestan Maluku, dan GPM kemudian dinyatakan berdiri sendiri (6

September 1935).16

Dalam tata gereja tahun 1935, sistem hierarki yang lama

digabungkan dengan unsur-unsur presbiterial. Resort-resort pendeta bantu

(afdelingen) diubah menjadi klasis. Di Ambon-Lease, Seram, Tarnate, dan

Banda perubahan dilakukan segera, di Kei 1947, di pulau-pulau Selatan

lainnya 1948. Rapat-rapat klasis terdiri atas wakil-wakil majelis jemaat

yang terpilih (belum semua jemaat menerima hak memilih sendiri

majelisnya). Rapat-rapat sinode itu yang menjadi lembaga pimpinan

gereja sebagai ganti tokoh pendeta-ketua. Di pihak lain, kerangka hierarkis

dalam gereja tetap dipertahankan. “Tangga” pejabat yang tinggi tetap ada;

16

(8)

guru-guru jemaat tidak menerima wewenang melayankan sakramen dan

tidak juga diangkat menjadi anggota majelis (penatua). Sinode telah

menggantikan pendeta-ketua, sedangkan sidang klasis menggantikan

pendeta bantu, tetapi badan-badan itu (bilamana tidak bersidang; badan

pekerja hariannya) memerintah gereja dengan cara yang sama dengan

tokoh-tokoh tersebut sebelum 1935, dan dalam banyak hal, majelis

setempat tidak dapat bertindak tanpa persetujuan klasis dan sinode.17

Dengan demikian setelah GPM mandiri pada 6 September 1935, maka

GPM pun berjalan dengan sistim bergereja presbiterial sinodal yang telah

dikontekstualisasikan oleh GPM sesuai dengan kebutuhan GPM yang

tampak pada uraian di atas.

C. Pilihan GPM untuk menjadi bagian dari Indonesia.

Dalam kesejarahannya sebagai sebuah lembaga keagamaan di

Maluku, pada masa kemunculan RMS (Republik Maluku Selatan) pada

tanggal 25 April 1950, GPM diberikan dua pilihan yang sangat

berpengaruh terhadap keberlangsungan eksistensi dari GPM kedepan.

Kedua pilihan tersebut ialah, pertama turut bergabung dengan RMS

sebagai sebuah eksistensi baru yang menginginkan kemerdekaan Maluku

pada saat itu, atau memilih untuk tetap menjadi bagian dari Indonesia pada

17

(9)

saat itu yang telah menjadi sebuah negara dengan sistim pemerintahan,

perundang-undangan, dasar negara, hukum, dan ideologi negara yang sah.

Menjawab pilihan tersebut, GPM yang mempunyai wilayah

pelayan di Maluku (tempat RMS bereksistensi) mengambil langkah yang

cukup tegas dengan menolak untuk bergabung dengan RMS dan memilih

untuk tetap menjadi bagian dari Indonesia. Padahal saat itu, kalau saja ada

sedikit ketakutan dari GPM terhadap eksistensi RMS dan memilih

bergabung dengan RMS, tentu sekarang Maluku dan GPM telah terlepas

dari wilayah Indonesia sebagai sebuah negara. Apalagi pada waktu itu, isu

yang dimainkan oleh RMS adalah melihat Jawa dan Islam sebagai musuh

RMS,18 dengan harapan GPM sebagai lembaga keagaman (kristen

protestan) di Maluku akan terpikat dengan isu tersebut dan bergabung

dengan RMS. Namun kenyataannya tidak seperti itu.

Bahkan jauh sebelum RMS muncul dan menawarkan pilihan bagi

GPM untuk bergabung dengan eksistensi RMS sebagai sebuah gerakan

untuk memerdekan Maluku pada waktu itu, GPM telah bereksistensi untuk

tetap menjadi bagian dari Indonesia. Hal ini dapat dilacak dalam

jejak-jejak sejarah GPM dalam eksistensinya untuk menjadi sebuah lembaga

keagamaan di Maluku yang mandiri dan terpisah dari gereja negara

(Indische Kerk) pada saat itu.

(10)

Eksistensi GPM sebagai gereja yang mandiri pada tanggal 6

September 1935, disamping merupakan wujud kesadaran bergereja,

sebenarnya juga merupakan sebuah bentuk eksistensi GPM untuk

memihak pada isu-isu nasional yang pada saat itu gencar dilakukan, yaitu

isu tentang kemerdekaan Indonesia. Bahkan isu tersebut ditanggapi oleh

GPM secara sadar dengan menuntut untuk mandiri dan terpisah dari gereja

negara yang identik dengan Belanda (penjajah). Hal ini juga ditegaskan

oleh Izak Lattu dalam tulisannya tentang Mencari Ketua Sinode Interlogkal

bahwa:

GPM berdiri pada tahun 1935 pada saat dimana gerakan nasionalisme Indonesia menguat di penghujung kolonialisasi Belanda. Keputusan berpisah dari gereja Belanda sebagai gereja mandiri menjadi salah satu

model ke-Indonesiaan yang berani lepas dari Belanda.19

Bahkan lebih jauh, eksistensi GPM untuk tetap menjadi bagian dari

Indonesia terlihat dari pesan tobat yang dikeluarkan oleh GPM pada tahun

1960, yang mana dengan pesan tobat tersebut GPM menyadari dengan

sungguh bahwa masalah negara juga merupakan masalah GPM, dan GPM

tidak boleh menutup mata terhadap masalah tersebut. Di sisi lain, pesan

tobat yang dikeluarkan oleh GPM juga merupakan suatu bentuk penolakan

terhadap RMS pada saat itu.20

19

Izak Y. M. Lattu, “Mencari Ketua Sinode Interlogkal” dalam Koran Siwalima Ambon, terbitan 27 January 2017.

20

(11)

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa dalam

perjalannya sebagai sebuah lembaga keagamaan yang penuh dengan

sejarah, GPM dalam eksistensinya memilih untuk tetap menjadi bagian

dari Indonesia. Oleh sebab itu, Indonesia merupakan Identitas nasional

dari GPM selain Maluku sebagai identitas primordial dari GPM. Sehingga

dalam perjalanannya, kontribusi GPM tidak hanya menjawab pergumulan

ke-Malukuan, tetapi juga harus menjawab pergumulan ke-Indonesiaan.

D. Organisasi GPM

Ketika pikiran-pikiran reformasi yang dicetuskan oleh Luther dan

Calvin sebagai tokoh-tokoh reformator, pikiran-pikiran dari tokoh

tersebut, terkhususnya pikiran Calvin mulai memasuki Belanda pada tahun

40-an abad ke-16,21 Belanda kemudian secara perlahan berubah menjadi

gereja reformed. Sebagai pengikut gereja reform, tentu ketika Belanda

memasuki Indonesia dan menguasainya, terkhususnya menguasai wilayah

Maluku dari Portugis, Belanda kemudian mengusir misionaris-misionaris

Portugis dan Spanyol yang diutus untuk menjalankan misi Kekristenan

(gereja Katolik Roma).22

Setelah membentuk sebuah gereja negara di Batavia, Belanda pun

mengadopsi tata gereja Calvinisme yang dibawa dari Belanda, dan GPM

21

Christiaan de Jonge, Apa Itu Calvinisme, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011),23.

22

(12)

sebagai bagian dari gereja negara pada saat itu turut mengadopsi tata

gereja Calvinisme. Setelah GPM memutuskan untuk menjadi gereja yang

mandiri pada tahun 1935, GPM tetap memakai tata gereja Calvinis. Oleh

sebab itu tata gereja dan organisasi GPM sangat bercorak Calvinis,

meskipun dikemudian hari tata gereja Calvinis yang diadopsi oleh GPM

mengalami kontekstualisasi sesuai kebutuhan pelayanan GPM, seperti

dalam sistim presbiterial sinodal milik Calvin tidak ada klasis, hanya

sinode dan jemaat,23 namun karena wilayah pelayanan GPM adalah

kepulauan, sehingga GPM menambahkan klasis di dalam sistim

presbiterial sinodal sebagai perpanjangan tangan jemaat.

Menurut ajaran gereja GPM, sebutan presbiterial sinodal berasal

dari Bahasa Yunani presbuteros yang berarti penatua dan sunhodos yang

berarti jalan bersama. Dalam sistim ini gereja lokal dipimpin oleh sebuah

badan yang terdiri dari sejumlah penatua, pendeta dan diaken. Badan ini

dipilih oleh anggota untuk masa jabatan tertentu yang disebut majelis

jemaat atau majelis gereja. Merekalah yang menjalankan kegiatan

pelayanan sehari-hari di jemaat itu. Namun dalam hal-hal yang prinsipil

badan ini tidak berjalan sendiri melainkan bersama dengan jemaat lainnya,

mereka menyepakati hal-hal yang prinsipil itu dalam sidang yang disebut

sinode. Selain sinode adapula yang disebut klasis atau sinode wilayah.

23

(13)

Maka sebutan presbitorial sinodal menunjuk kepada proses bergerja yang

dimulai dari jemaat lokal sampai ke sinode. Semua hal mendasar seperti

dogma, ajaran, peraturan, pola liturgi dan buku nyanyian diputuskan

dalam sinode dan keputusan itu mengikat seluruh jemaat. Pelaksanaannya

dikoordinasi oleh sebuah badan pekerja yang dipilih pada setiap kali

bersinode. Gereja berbentuk presbiterial tidak mengenal hierarki dalam

jabatan pelayanan.24

Lebih jauh sistem organisasi presbitorial sinodal yang dianut oleh

GPM memiliki struktur organisasi yang terbentuk dari sinode, klasis,

jemaat, dengan kedudukan dan tugas masing-masing yang diatur dalam

peraturan pokok gereja. Berdasarkan peraturan pokok gereja GPM, sinode,

klasis dan jemaat dijelaskan sebagai berikut:

1. Sinode

Sinode adalah badan pengambilan keputusan tertinggi dalam jenjang

kepemimpinan Gereja Protestan Maluku dengan mencirikan kebersamaan

dan persekutuan sebagai keluarga Allah yang saling berbagi dan

menopang dari jemaat-jemaat GPM sebagai wujud pertanggungjawaban

24

(14)

iman seluruh anggotanya di bawah terang firman Allah yang terdapat

dalam alkitab, dan dalam tuntunan roh kudus.25

Di samping itu, berdasarkan peraturan pokok GPM, tugas dan

wewenang sinode adalah:

a. Menetapkan Tata Gereja dan Peraturan Pokok GPM

b. Menetapkan Pokok-pokok Pengakuan Iman, ajaran dan Liturgi

Gereja.

c. Menetapkan PIP/RIPP Gereja Protestan Maluku untuk dipedomani

oleh seluruh perangkat dan anggota Gereja selama 10 (sepuluh) tahun.

d. Mengevaluasi dan meninjau kembali pokok-pokok kebijaksanaan

yang telah ditetapkan dan dilaksanakan oleh seluruh perangkat dan anggota GPM.

e. Membahas pertanggungjawaban umum pelayanan dan keuangan

tahun terakhir MPH Sinode dalam satu masa bakti.

f. Membahas dan Menetapkan program dan anggaran tahun pertama

MPH Sinode GPM.

g. Memilih dan mengangkat MPH Sinode dan Majelis Pertimbangan

MPH sinode GPM untuk masa bakti 5 (lima) tahun.

h. Menyelesaikan masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan

secara berjenjang, dengan mendengar secara sungguh-sungguh

pertimbangan MPH Sinode GPM.26

2. Klasis

Klasis adalah kesatuan wilayah pelayanan GPM yang meliputi

sejumlah jemaat yang terbentuk sebagai respon gereja terhadap tantangan

geografis demi memperlancar pelayanan gereja. Klasis dibentuk di

wilayah GPM dalam sinode. Syarat untuk terbentuknya sebuah klasis

25

Salinan Ketetapan Sidang ke-37 Sinode GPM Tentang Peraturan Pokok Gereja Protestan Maluku (Ketetapan Sinode GPM No:09/SND/37/2016), (Ambon: Sekretariat Umum MPH Sinode GPM, 2016), 513.

26

(15)

mencakup paling sedikit lima jemaat dan paling banyak dua puluh lima

jemaat. Klasis adalah lembaga struktural yang berkedudukan di bawah

sinode.27

Di samping itu, berdasarkan peraturan pokok GPM, tugas dan

fungsi klasis adalah:

a. Memimpin dan mengkoordinasikan jemaat-jemaat dalam rangka

melaksanakan amanat dan misi pelayanan gereja di wilayahnya.

b. Mendorong kerjasama jemaat dalam dan lintas klasis.

c. Mengoordinasikan penyaluran aspirasi jemaat-jemaat di wilayah

pelayanannya kepada majelis Pekerja Harian Sinode.

d. Menyelesaikan permasalahan antar jemaat dengan pihak lain di

wilayah pelayanannya.

e. Memberi pertimbangan kepada Majelis Pekerja harian Sinode

dalam rangka pengambilan kebijakan.

f. Mengoordinasikan semua ketentuan, keputusan dan kebijaksanaan

syang ditetapkan oleh Sinode, Persidangan Majelis Pekerja Lengkap Sinode, Majelis Pekerja Harian Sinode.

g. Mendorong Pengembangan sumber daya manusia di wilayah

pelayanannya.

h. Mendampingi jemaat dalam rangka mempersiapkan rancangan

Rencana Strategi (Renstra) Pengembangan Pelayanan.

i. Menyampaikan usul-usul Persidangan Klasis kepada majelis

Pekerja harian Sinode, Majelis pekerja Lengkap Sinode dan Sinode.

j. Melaksanakan pembinaan, pengawasan, monitoring dan evaluasi

dalam rangka mendinamisasi pelayanan pada Jemaat-Jemaat.28

3. Jemaat

27

Salinan Ketetapan Sidang ke-37 Sinode GPM Tentang Peraturan Pokok Gereja Protestan Maluku (Ketetapan Sinode GPM No:10/SDN/37/2016), (Ambon: Sekretariat Umum MPH Sinode GPM, 2016), 527-528.

28

(16)

Jemaat adalah persekutuan orang-orang percaya kepada Yesus

Kristus, pada suatu tempat dan lingkungan secara teritorial dan

transteritorial tertentu dalam wilayah pelayanan GPM. Jemaat GPM

bercirikan jemaat teritorial29, kategorial30 dan khusus31. Jemaat GPM

berkedudukan sebagai basis pelaksanaan amanat pelayanan gereja. Selain

itu jemaat-jemaat GPM berada di kepulauan Maluku, mencakup provinsi

Maluku dan Maluku Utara. Adapun tugas dan tanggung jawab jemaat

adalah melaksanakan ajaran gereja, tata gereja, peraturan-peraturan pokok,

peraturan organik dan keputusan MPH serta keputusan-keputusan yang

ditetapkan oleh persidangan sinode, persidangan MPL, sinode,

persidangan klasis dan jemaat.32

Adapun sebagai roda penggerak organisasi dalam presbiterial

sinodal, peraturan organik GPM mengatur jenis jabatan dan pelayanan

gereja antara lain:

1) Jabatan Pelayanan Gereja Protestan Maluku terdiri dari:

29

Jemaat territorial adalah bagian dari suatu klasis sesuai batas-batas wilayah pelayanannya.

30

Jemaat kategorial adalah jemaat yang dibentuk pada kompleks markas atau kesatrian yang dijadikan pusat pemukiman dari anggota dan keluarga TNI, anggota keluarga Kepolisian NKRI dan /atau pegawai dan keluarga suatu perusahaan tertentu yang membutuhkan pelayanan.

31

Jemaat khusus adalah jemaat yang dibentuk lintas jemaat territorial dan / atau klasis untuk menjawab kebutuhan pelayanan kepada warga jemaat GPM etnis Tionghoa dan /atau keluarga dan / atau simpatisan yang karena alasan sejarah kelahirannya membutuhkan pelayanan tersendiri atau khusus.

32

(17)

a. Jabatan Fungsional.

Jabatan fungsional dalam Gereja Protestan Maluku ditandai dengan adanya pelaksanaan fungsi pelayanan tertentu dalam kaitan dengan penyelenggaraan Amanat Pelayanan Gereja. Jabatan fungsional terdiri

dari; pendeta dan atau penginjil, penatua, diaken.33

b. Jabatan Struktural.

Jabatan Struktural dalam Gereja Protestan Maluku ditandai dengan adanya kedudukan sebagai pemimpin satu badan dan atau unit kelembagaan tertentu pada Pola Organisasi GPM dalam rangka penyelenggaraan Amanat Pelayanan Gereja. Jabatan Struktural terdiri dari; jenjang Jemaat, Klasis dan Sinode dan lembaga gerejawi tertentu di luar organisasi Gereja Protestan Maluku, sesuai penugasan Majelis Pekerja

Harian Sinode GPM.34

Berdasarkan uraian di atas, terlihat dengan jelas bahwa organisasi

GPM sangat berciri Calvinisme, meskipun ada beberapa hal yang telah

dikontekstualisasi oleh GPM sesuai dengan kebutuhan GPM sebagai

gereja kepulauan. Pada akhirnya sistim presbiterial sinodal yang telah

dikonteskstualisasi tersebut membentuk struktur organisasi yang terbentuk

dari sinode, klasis dan jemaat digerakan oleh jabatan fungsional dan

structural, yang dalam prosesnya selalu saling berdialektika dalam

sidang-sidang gereja.

E. Teologi GPM

33

Himpunan Keputusan Sidang Ke-38 MPL Sinode GPM Tentang Penyelerasan Peraturan Uraian Tugas dan Tata Laksana Jabatan dan Badan-Badan Pelayanan Gereja Protestan Maluku (No:13/MPL/38/2016, (Ambon: Sekretariat Umum Sinode GPM, 2016), 19.

34

(18)

Setelah GPM menjadi gereja yang mandiri pada tahun 1935, ada

tiga masalah yang dihadapi oleh GPM, yaitu masalah dana, daya dan

teologi. Masalah dana dihadapi GPM, karena ketika GPM menjadi gereja

mandiri dan terlepas dari gereja negara, maka pembiayaan gaji dan biaya

pelayanan tidak lagi menjadi tanggung jawab negara Belanda, tidak seperti

ketika GPM masih menjadi bagian dari gereja negara dan dibiayai oleh

negara Belanda.35 Padahal, konteks pelayanan GPM tentu sangat

membutuhkan dana yang besar mengingat konteks pelayanan GPM adalah

konteks kepulauan.

Seiring berjalannya waktu, GPM kemudian mencakapkan dan

menetapkan sistim sentralisasi keuangan gereja pada tahun 2007 dan

menggunakannya pada tahun 2008 yang dikenal dengan istilah “sharing

70-30”.36 Yang dimaksudkan dengan mekanisme “sharing 70-30” ialah

dana penerimaan murni dari jemat-jemaat dua tahun sebelumnya di

sharing 70% berada di Jemaat sebagai dana pemberdayaan jemaat dan

30% di sharing ke Sinode sebagai dana institusi demi membayar gaji,

pensiun dan operasional di Sinode dan Klasis. Meskipun dikemudian hari

menjadi 69-31, dimana 69% tetap menjadi dana pemberdayaan jemaat,

30% tetap menjadi dana institusi dan 1% menjadi dana YPPK (Yayasan

35

Th. Van Den End, Ragi Cerita “Sejarah Gereja di Indonesia 2”, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 72-73.

36

(19)

Pembinaan Pendidikan Kristen). Dengan menggunakan sentralisasi

tersebut, GPM dapat mengatasi masalah dana.

Di samping itu, masalah daya juga dihadapi oleh GPM. Karena

pada saat GPM menjadi gereja yang mandiri, GPM masih sangat

kekurangan daya pendidik inlandsch leraar (pendeta pribumi) di hampir

setiap jemaat-jemaat yang baru terbentuk berkat kegiatan pekabaran injil

seperti di daerah-daerah pinggiran Seram, Buru dan pulau-pulau lain di

Selatan.37 Oleh sebab itu, dengan adanya Stovil yang telah dibangun sejak

tahun 1885, dengan tujuan untuk menyekolahkan orang pribumi sehingga

dapat menjadi pendeta pribumi,38 maka secara perlahan daya pendidik

(pendeta pribumi) pun kian meningkat untuk melayani di jemaat-jemaat

GPM yang baru tumbuh.

Dikemudian hari, untuk semakin memperkokoh kemandirian GPM

dalam daya, GPM kemudian mendirikan UKIMpada tahun 1985 (dulunya

STOVIL) dan mendirikan YPPK yang bertugas untuk memberikan

pendidikan kepada warga jemaat GPM mulai dari dari tingkat sekolah

dasar sampai pada perguruan tinggi. Dengan demikian GPM dapat

mengatasi masalah daya yang dihadapi oleh GPM ketika GPM menjadi

gereja yang mandiri pada 6 September 1935.

37 Th. Van Den End, Ragi Cerita “Sejarah Gereja di Indonesia 2”, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 66.

(20)

Selain itu, masalah besar yang dihadapi oleh GPM yaitu masalah

kemandirian teologi. Setelah GPM menjadi gereja yang mandiri, tentu

GPM masih tetap mengadopsi tata gereja Calvinisme, dan begitu juga

dengan teologi Calvin.39 Namun pada perkembangannya, GPM kemudian

mengkontekstualisasikan pemahaman berteologi sesuai konteks pelayanan

GPM, sehingga dalam proses organisasi yang adalah bentuk praksis dari

pemahaman berteologi mengalami perubahan dengan ditambahkannya

klasis dalam struktur organisasi presbiterial sinodal.40

Setalah itu pada tahun 1960, terjadi pergeseran dalam pemahaman

dan proses berteologi yang sangat signifikan. Hal itu ditandai dengan

dikeluarkannya pesan tobat oleh sinode GPM.41 Pesan tobat tersebut

tampaknya adalah usaha untuk mengatasi penyesuaian diri dengan situasi

baru, yakni situasi masyarakat dalam suatu negara yang baru merdeka dan

juga upaya untuk mengatasi dikotomi antara kaum rohaniawan (pendeta)

dan kaum awam (jemaat) dalam dalam proses pelayanan, serta akibat

peristiwa RMS, GPM menyadari bahwa urusan-urusan kenegaraan dan

kemasyarakatan tidak dapat diabaikan oleh gereja.42

39

Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 52.

40

Lihat pada bab III halaman 47, 50-51. 41

Th. Van Den End, Ragi Cerita “Sejarah Gereja di Indonesia 2”, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 79.

(21)

Pesan tobat yang dikeluarkan oleh Sinode GPM tahun 1960,

merupakan titik balik dalam sejarah GPM. Seruan itu, yang dicetuskan

oleh pendeta Th.P. Pattiasina, hampir-hampir berfungsi sebagai suatu

pengakuan iman. Di dalamnya para peserta sinode, yang sebelumya masih

terlibat dalam perdebatan seru antara anggota pendeta dan yang bukan

pendeta, mengaku kelemahan dan kegagalan GPM dalam mengahadapi

tantangan zaman, serat menyatakan bahwa diperlukan pembaharuan

gereja, yang hanya dapat berlaku oleh Firman Allah dan Roh Kudus.

Selama kedua dasawarsa berikut, pembaharuan memang dilakukan. Dalam

hal tata ibadah misalnya, “Mazmoer dan Tahlil” karangan Schroder

Tupamahu diganti dengan “Mazmur dan Nyanyian Rohani” karangan

I.S.Kijne. Mutu pendidikan teologi ditingkatkan dengan perubahan

Sekolah Teologia menjadi Akademi Teologia (1960). Para calon pendeta

diharapkan memiliki pengetahuan umum yang memungkinkan mereka

mengenal dan memahami soal-soal kemasyarakatan, dan memiliki ilmu

teologi yang membuat mereka mampu memahami soal-soal itu secara

teologis. Tokoh-tokoh yang bukan pendeta diberi kedudukan dalam

organisasi gereja pada umumnya. GPM menangani pula pembinaan warga

jemaat, pengelolaan keuangan gereja diperbaiki, dan semua itu membawa

(22)

peningkatan jumlah visitator atau pengunjung, agar kegiatan-kegiatan baru

dari pusat dapat sampai juga di Klasis dan jemaat yang terpencil.43

Dari pesan tobat yang dikeluarkan oleh GPM, terlihat bahwa ada

ada perubahan berteologi yang berubah secara signifikan dalam tubuh

GPM sebagai gereja yang mandiri. Bahkan lebih jauh ketika Maluku yang

merupakan wilayah pelayanan GPM mengalami konflik kemanusiaan

pada tahun 1999-2003, konflik tersebut turut mengubah pemahaman

berteologi GPM sehingga GPM lebih bersifat inklusif dibandingkan

dengan sebelum konflik terjadi. Pemahaman berteologi GPM yang lebih

inklusif dapat dijumpai dalam isu-isu PIP dan RIPP (pola induk pelayanan

dan rencana induk pengembangan pelayanan) GPM pada tahun 2005-2015

yang kemudian dibaharui dengan (13) isu strategis PIP dan RIPP GPM

untuk tahun 2016-2025,44 yang diaktualisasi dengan sikap terbuka

terhadap realitas kepercayaan maupun dedominasi gereja lain.

43

Van Den End, Ragi Cerita 2, 79. 44

(23)

Pada tahun 2016 dengan naiknya pengurus MPH-Sinode GPM

yang baru, pemahaman berteologi menjadi lebih inklusif dan ramah yang

dijumpai dalam tema eklesiologi yang diusung oleh GPM yaitu Gereja

orang basudara. Dengan mejadi gereja orang basudara berarti GPM

menjadi gereja yang terbuka dan mau berjumpa serta terlibat dalam

kemajemukan agama di Maluku, dan itu merupakan sebuah pemahaman

berteologi GPM yang sesuai dengan konteks pelayanan GPM yang begitu

kompleks, baik itu kepercayaan, suku, budaya dan juga status sosial.

Di satu sisi, karena GPM mengusung tema eklesiologi gereja

orang basudara, maka GPM membutuhkan sebuah landasan teologi yang

dapat menjadi pijakan untuk berdirinya tema eklesiologi GPM. Karena

tidak mungkin GPM mengsung tema eklesiologi tanpa ada landasan

teologi yang jelas.

F. Kesimpulan

Dari pemaparan sejarah, organisasi, dan teologi GPM, dapat

terlihat GPM sebagai gereja beraliran Calvinis. Pada awalnya GPM adalah

bagian dari gereja negera, namun dengan keinginan GPM yang kuat untuk

menjadi gereja mandiri, maka pada 6 september 1965, GPM disahkan

menjadi sebuah gereja mandiri yang melayani di Provinsi Maluku dan

(24)

Proses GPM dari gereja negara menjadi gereja mandiri, melewati

tiga tantangan, yaitu: dana, daya, dan teologi. Pada proses perjalannya,

GPM dapat mengatasi tiga persoalan tersebut, dan selalu berupaya untuk

mengembangkan paham berteologi yang sesuai dengan konteks pelayanan

GPM. Untuk mengembangkan paham berteologi yang sesuai dengan

konteks pelayanan GPM, GPM mengsung tema eklesiologi, yaitu gereja

orang basudara. Tema eklesiologi yang diusung GPM tersebut, belum

memiliki konsep teologi, sehingg GPM membutuhakan sebuah konsep

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian ini menunjukkan verba BAWA dalam bahasa Batak Toba dibentuk oleh dua makna asali yaitu MELAKUKAN dan TERJADI yang membentuk sintaksis makna universal

Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa jajanan arum manis tidak layak untuk dikonsumsi karena mengandung bahan pewarna yang dilarang. Kata kunci : Arum

PENELITIAN mahasiswi program Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies (ACICIS) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Emma Cecilia Roberts tentang korban

[r]

Menelaah struktur dan kebahasaan dari teks laporan percobaan yang didengar atau dibaca (percobaan sederhana untuk mendeteksi zat berbahaya pada makanan, adanya vitamin pada

Hasil penelitian menunjukkan hubungan pemberian ASI eksklusif dengan status gizi anak usia 1-2 tahun di Posyandu Pala VII Notoprajan Yogyakarta bahwa diantara

Kasus pembakaran gereja HKI (Huria Kristen Indonesia) dimulai pada 13 Oktober 2015, terjadi setelah munculnya protes dari warga bahwa gereja tersebut tidak memiliki izin

Biasanya umum ditemukan di dataran rendah dan perbukitan sulawesi serta pulau- pulau lepas pantai, menghuni hutan primer dan sekunder yang tinggi dan tepi hutan juga lahan