• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transformasi Ilmu ilmu Sosial untuk Meng (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Transformasi Ilmu ilmu Sosial untuk Meng (1)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

TRANSFORMASI ILMU-ILMU SOSIAL

UNTUK MENGGELUTI KESENJANGAN

DAN PERUBAHAN SOSIAL

1

Purwo Santoso2

(psantoso@ugm.ac.id)

Abstrak

Refleksi kritis terhadap praktek keilmuan yang menggeluti ilmu-ilmu sosial menyadarkan bahwa mereka diharapkan berkinerja melampau set up yang ada. Ilmu-ilmu yang digeluti di-set-up untuk menawarkan penjelasan, namun ternyata diharapkan berkontribusi langsung bagi pemecahan masalah. Oleh karena itu kontribusinya harus dilacak dari telaah yang lebih luas. Kapasitasnya untuk menstranformasikan permasalahan sangat ditentukan oleh transformasi di dunia keilmuan itu sendiri. Dengan mengacu pada issue perubahan dan ketimpangan sosial, makalah ini mengusulkan digulirkannya suatu disain diskursif untuk mengkerangkai dinemika transformasi keilmuan untuk optimalnya kontribusi ilmu-ilmu sosial bagi penanganan masalah.

Para ilmuwan di negeri ini telah terbiasa terbebani, kalau bukan membebani diri dengan tujuan (aksiologi) diluar yang secara sadar dijalani. Misi kegiatan-kegiatan keilmuannya yang secara sadar digeluti, adalah menyajian penjelaskan, dan paling banter memprediksi, atas realitas, proses dan dinamika masyarakat yang berlangsung. Metode ilmiah yang dijunjung tinggi, melarang dirinya melakukan perubahan sosial. Namun, dalam pewacanaan publik, ilmuwan ternyata diperankan sebagai agen perubahan sosial, sebagai elemen penangulangan masalah-masalah sosial. Jelasnya, kalaulah ilmu-ilmu sosial menangani masalah, yang sebetulnya dimaksudkan masalah adalah masalah keilmuan (gap antara teori dengan realita), bukan derita atau masalah praktis.

Ironisnya, beban aksiologis (penanganan masalah) ini pada umumnya tidak disertai dengan penyesuaian epistemologis. Jika tujuan penyelenggaraan kegiatan-kegiatan keilmuan memang didedikasikan untuk mengatasi masalah,

       

(2)

maka harus dipastikan bahwa metodologi keilmuan yang diberlakukan haruslah

yang konsisten dengan keperluan problem solving. Jika aksiologi ilmu-ilmu

sosial adalah penanganan masalah praktis, maka tidak ada urgensi untuk membedakan jalur akademik dengan jalur vokasi. Oleh karena itu, ada keperluan untuk melakukan transformasi dalam cara menekuni dunia keilmuan. Tulisan ini secara khusus menyoroti persoalan ini, untuk kemudian mengusulkan penyesuaian yang diperlukan.

1. Dedikasi Setengah Hati ?

Sebagai sebuah forum resmi paling penting untuk memperbincangan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, Konggres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) merupakan ajang yang paling strategis untuk membahas ilmu

pengetahuan sebagai scientific enterprise. Dalam forum inilah nasib ilmu

dipertaruhkan. Sehubungan dengan hal ini, Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia (LIPI) mempertaruhkan scientific enterprise ini dari segi aksiologinya.

Dalam dalam KIPNAS kali ini maupun putaran kesempatan sebelumnya, aksiologi ilmu yang dipatok bukankah sekedar menawarkan penjelasan-penjelasan ilmiah, melainkan menangani masalah-masalah nasional. Tulisan ini disajikan dalam kesadaran akan peran politis LIPI sebagai pengawal aksiologi ilmu, yang tidak berhenti hanya dengan menjelaskan topik (ontologi) tertentu.

Dalam wacana publik yang bergulir, kegiatann keilmuan dibayangkan sebagai bagian, kalau bukan jembatan, untuk penyelesaian masalah. Di sini kita menemukan celah yang harus diisi. Kesepakatan diam-diam yang diusung oleh komunitas keilmuan adalah berhenti pada titik aksiologis tertentu, yakni menguak kebenaran. Namun, pada saat yang sama bergulir wacana heroik: pengembangan ilmu didedikasikan untuk mengatasi permasalahan tertentu. Dalam konteks penyelenggaraan KIPNAS kali ini, aksiologi yang ingin dikawal adalah adanya “Signifikansi dan dan kontribusi Ilmu Pengetahuan bagi Indonesia Sejahtera”. Dibalik penyelenggaraan KIPNAS ini tersirat adanya harapan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu pengetahuan bukanlah sekedar menghasilkan dan menyediakan pengetahuan, melainkan didedikasikan untuk tujuan yang lebih konkrit, mewujudkan Indonesia Sejahtera.

Sebetulnya, adanya beban aksiologis itu sama sekali bukan masalah. Makalah ini sama sekali tidak bermaksud untuk menolak pemanfaatan ilmu untuk tujuan tertentu, diluar mengungkap kebenaran ilmiah. Yang menjadi persoalan di sini keseksamaan, atau konsekuensi logis dari dipancangkannya aksiologi tersebut. Dalam menekuni dunia keilmuan, para ilmuwan dididik untuk, dan dibiasakan hanya menyediakan diri diposisikan pemikul beban aksiologis: mengatasi masalah-masalah sosial yang merisaukan. Sejalan dengan hal itu, negara, melalui lembaga-lembaga yang beroperasi, menaruh harapan lebih, bahwa komunitas keilmuan menjadi agen penyelesaian masalah.

(3)

lembaga-lembaga penelitian di universitas-universitas. Perannya sebagai think tank bagi Indonesia sebagai sebuah kolektifitas, tidak terlihat.

Tingginya harapan bahwa ilmu-ilmu sosial berkontribusi bagi pencapaian tujuan-tujuan muliamenjejahterakan, mengatasi kesenjangan sosial, mengelola

perubahan sosial dan sebagainyamengharuskan ada tatanan yang

mendukungnya, dan lembaga pemerintahan seperti LIPI inilah yang harus mengawal misi politik keilmuan. Negeri ini memerlukan ada kejelasan politik keilmuan yang memungkinkan kegiatan keilmuan mewujudkan aksiologi yang dipancangkannya, menghasilkan manfaat kolektif dan akomulatif dari masa ke masa. Sangat disayangkan bahwa formula dan strategi politik yang diperlukan ini, kalaulah ada, tidak cukup jelas. Kealphaan tersebut di atas menjadikan ilmu-ilmu sosial seakan dikenai beban-beban tambahan. Lebih dari itu, ilmu-ilmu-ilmu-ilmu sosial dikenai beban untuk mengawal proses-proses transformasi sosial tanpa dipastikan ilmu-ilmu itu berwatak transformatif.

Dengan sedikit pengecualian, yang senyatanya digeluti para ilmuwan di universitas-universitas ataupun lembaga-lembaga penelitian adalah perjuangan untuk menjelaskan realita tertentu, bukan untuk mengubah realita itu sendiri. Kalaulah para ilmuwan berperan, peran tersebut bersifat sangatlah tidak langsung. Yang dihasilkan dari kajian-kajian ilmiah mereka adalah akumulasi penjelasan, baik dalam bentuk teori, model, preskripsi dan sejenisnya. Ibarat menempuh perjalanan; ilmuwan hanyalah menyiapkan peta. Yang menjadikan seseorang sampai di tujuan, bukanlah peta itu sendiri, melainkan kemampuan membaca dan mengambil keputusan saat berkendara dengan menggunakan peta itu. Realisasi dari rekomendasi keilmuan, tergantung pada fihak-fihak lain.

Hal tersebut di atas perlu ditegaskan mengingat, orang-orang yang tahu suatu hal belum tertuntu mengambil keputusan sesuai dengan pengetahuan spesifik yang dimilikinya. Mereka bertindak karena mau dan, lebih dari itu, bisa mewujudkannya. Sehubungan dengan hal ini, pembahasan tentang peran ilmu-ilmu sosial dalam mengatasi masalah publik, termasuk kesejahteraan, ketimpangan dan perubahan sosial, mengharuskan telaah terhadap keseluruhan rantai keterkaitan. Perlu klarifikasi, ilmu sosial macam apa yang dengan sendirinya menjadi bagian dari proses transformasi. Perlu keberanian untuk mempersolankan apa yang menjadi kebanggaannya: ilmu-ilmu sosial itu sendiri.

Point ini masih perlu dikedepankan mengingat, biasanya kita

memperlakukan bidang ilmu kita sebagai hal yang given. Lebih dari itu, ada juga

kecenderungan di kalangan ilmuwan sosial untuk percaya diri yang berlebihan (over-confident) bahwa ilmu-ilmu sosial digelutinya, sama sekali tidak masalah serius. Karena telah menguasai teori tertentu, seorang ilmuwan tentu saja bisa langsung merespon masalah dengan menerapkan toeri tertentu. Sehubungan dengan hal itu, menarik juga untuk dicatat bahwa, tidak sedikit ilmuwan sosial yang buru-buru menyalahkan aktor (misalnya pemerintah, partai politik,

parlemen, birokrasi) yang tidak melakukan hal yang dikehendaki

(direkomendasikan), sebelum terlebih dahulu memeriksa kehandalan perangkat keilmuan yang dimiliki: teori, metodologi ataupun kaidah untuk menjadi ilmuwan.

Untuk menghidari kecenderungan tersebut di atas, makalah ini mencoba

untuk melakukan refleksi kritis atas mainstream praktek keilmuan yang berlaku.

(4)

mencapai aksiologinya. Catatan awal yang ditemukan dalam refleksi ini adalah bahwa pendidikan dan praktek keilmuan yang berlangsung selama ini lebih berkutat pada sisi ontologi dari suatu ilmu, dan tidak cukup seksama dalam melakukan adopsi dan adaptasi kaidah epistemologi tertentu agar aksiologi yang dipancangkan bisa tercapai.

Dalam pembahasan selanjutnya, cakupan ontologisnya kajian ini dibatasi

pada ilmu-ilmu sosial.3 Bidikan aksiologinya pun dibatasi pada persoalan

‘penanggulangan masalah ketimpangan dan perubahan sosial’. Dalam rangka itu, telaah dilanjutkan dengan menyajikan potret diri. Seperti apakah sosok ilmu-ilmu sosial, manakala dirinya diposisikan sebagai agen perubahan sosial dan agen pengendali ketimpangan. Sebagai ilustrasi, pemerataan oleh bangsa ini didudukkan sebagai nilai luhur. Secara keilmuan diketahui bahwa tata kelola berbagai transaksi suka-sama-suka atau mekanisme pasar sangat rentan terhadap ketimpangan. Jika aksiologi mengekang ketimpangan ini diseriusi, maka agenda keilmuan (ontologi ilmu-imu sosial) yang harus diusung adalah turun tangan untuk secara langsung minimalisasi ketimpangan, entah dengan

mengenhentikan menghancurkan pola governance berbasis mekanisme pasar itu

sendiri, ataupun mengembangkan varian governance yang memanen manfaat

mekanisme pasar namun handal dalam mengerem

kecenderungan-kecenderungan timpang.

2. Mengubah Realita Sosial:

Terisolasi dari Realita

Refleksi kritis yang hendak disajikan di sini, sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyangkal bahwa cakupan/akumulasi pengetahuan dalam

bidang ilmu-ilmu sosial telah berkembang pesat.4 Yang menjadi pertanyaan

adalah: apakah dalam kekayaan pengetahuan itu, ilmu sosial handal dalam mengelola perubahan dan ketimpangan sosial.

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus berangkat dari kaidah filsafati bahwa, jadi diri suatu disiplin ilmu ditandai oleh koherensi keterkaitan antara ontologi, epistemologi dan aksiologi yang diadopsi oleh para ilmuwannya. Ilmu ekonomi, misalnya, dikembangkan dengan mengembangkan kapasitas prediktif, dan untuk itu berkembanglah ekonometri. Dengan ekonometri ini, kehandalan penerapan teori-teori ekonomi oleh para praktisi dikawal oleh ilmuwan. Contoh lain, antropologi dikembangkan untuk mendalami kehidupan masyarakat dari kesehariannya, dari apa yang dirasakan oleh masyarakat itu sendiri. Untuk itu, dikembangkanlah etnografi. Dua kelompok ilmuwan itu menggeluti epistemologi yang berbeda karena ontologinya berbeda. Ekonom mengacu pada kaidah

       

3 Termasuk di dalamnya: sosiologi, ilmu politik, ilmu administrasi negara, ilmu pememrintahan, ilmu komunikasi, ilmu hukum, ilmu ekonomi, ilmu management, psikologi dan sebagainya.

(5)

keilmuan yang positivistik, sedangkan antropolog mengadopsi kaidah yang non-positivistik.

Ketika mengembangkan acuan epistemologis yang tepat, dalam ilmu-ilmu sosial juga berlaku juga kaidah sederhana: setiap klaim tentang suatu hal harus harus disertai dengan pembuktian kebenaran akan hal itu. Dalam konteks ini dapat dicatat dalam ilmu-ilmu sosial ada variasi, kalau bukan kontroversi, tentang cara menjustifikasi kebenaran. Ada mahzab yang berbeda-beda, dan masing-masing mengajukan justifikasi secara berbeda tentang hal yang sama. Konstras perbedaan antara antropologis yang mengandalkan etnografi dengan ilmu ekonomi yang mengandalkan ekonometri, hanyalah salah satu contoh. Di kalangan ilmuwan, tidak terkecuali ilmuwan sosial senantiasa ada kontroversi dalam memahami dan menjelaskan suatu hal. Ada kontroversi tiada henti antara kalangan positivist dengan non-positist. Sehubungan dengan hal itu, telah berlaku juga kaidah bahwa justifikasi terhadap kebenaran dirunut dari

mahzahnya masing-masing. Karta entografis dinilai dari standar kebenaral a la

non-positistik, dan sebaliknya, ekonom terus menjunjung tinggi positisme. Dengan kaidan ini, kontroversi itu sendiri adalah suatu praktek normal.

Dalam banyak kasus, perbedaan itu terjadi karena perbedaan pilihan metidologi yang menjadi acuan. Ada kalangan positivistik, yang karena terikat pada keharusan untuk menunjukkan bukti-bukti empiris secara obyektif, cenderung menawarkan penjelasan “dari luar realita” sosial yang di kaji. Sementara itu, ada kalangan lain yang menawarkan penjelasan berbasis kaidah non-positivistik. Mereka berusaha untuk menemukan intersubyektifitas diantara para pelaku dalam relasi sosial yang terkait, dan hadir dengan penjelasan “dari dalam realita” yang dikajinya. Yang hendak ditunjukkan di sini adalah, keduanya terikat larangan untuk mengintervensi realitas sosial yang dikaji. Ekonom yang mengkaji inflasi dilarang membuat inflasi demi menguji kebenaran ilmiah yang dijunjung tinggi. Betapapun dekatnya interaksi sosial yang dijalin etnografer dengan nara sumbernya, entografer dilarang mengubah norma sosial yang

berlaku dikalangan nara sumbernya. Point yang hendak dikedepankan di sini

adalah sebagai berikut.

• Baik positivisme yang menuntut kejelasan dengan menjaga akurasi ketika

melihat realita “dari luar’, maupun non-positivisme yang menuntut kejelasan dengan mengasah sensitivitas untuk membentang realita “dari dalam” realita yang digeluti, selama ini telah/masih menjadi mainstream acuan di komunitas keilmuan masing-masing. Keduanya masih menjadi acuan populer ilmuwan sosial di Indonesia.

• Betapapun berbeda pendapat/penjelasan, keduaya sama-sama terikat pada

kaidah untuk tidak mengubah realitas yang dikaji. Kalaulah mereka melakukan eksperimen, hal itu harus dikontrol secara ketat.

• Metodologi keilmuan yang lebih kondusif untuk mengaktualisasikan peran

(6)

• Sehubungan dengan point-point tersebut di atas, transformasi ilmu-ilmu sosial sejatinya adalah pengembangan tradisi keilmuan dalam kaidah yang wataknya anti-positivistik.

3. Ilmu Sosial dan Reproduksi Nilai

Issue paling krusial dalam mendiskusikan keterlibatan ilmuwan sosial dalam perubahan dan ketimpangan sosial adalah ‘reproduksi nilai’. Dalam mainstream pengkajian realitas sosial selama ini, ilmuwan harus diisolasi dari realita sosial yang hendak digelutinya. Dalam paradigma yang ditegakkan saat ini, seorang ilmuwan justru dinilai tidak ilmiah manakala menegaskan keberpihakannya demi mengubah realita ke arah tertentu. Selama ini masih berlaku pameo: ilmuwan sosial harus netral, harus menjaga jarak terhadap realita yang digelutinya. Sekali lagi, kalaulah seorang antropolog, misalnya berhasil mendapatkan penjelasan “dari dalam realita” melalui etnografi yang disusunnya, dia tidak dibenarkan mengubah masyarakat dengan etnografi itu sendiri. Ada tembok maya yang mengisolasi keterlibatannya dalam mewujudkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi.

Demi menjamin kesahihan teori dan penjelasan-penjelasan yang dihasilkan, para peneliti tidak dibenarkan untuk mengubah realita sosial yang dijelaskannya. Dengan kata lain, para ilmuwan mengharuskan dirinya sensisi mengisolasi dari realita yang dikaji supaya tidak berlangsung perubahan karena kajian-kajian yang dihasilkan. Disinilah terletak kejanggalan, di satu sisi ada keinginan agar ilmu pengetahuan sosial dihasilkan dengan mengisolasi diri dari proses-proses sosial yang berlangsung, di sisi lain, ilmu itu sendiri didambakan menjadi penggerak perubahan. Akibatnya sudah secara jelas kita ketahui. Para sarjana hukum, tidak sedikit yang melanggar hukum. Ilmuwan politik yang sangat fasih melafalkan teori demokrasi, perilakunya tidak demokratis. Sejalan dengan hal itu, ada stigma ‘psikologi untuk anda’. Sosiolog yang ahli konflik justru terjebak dari satu konflik ke konflik lain. Muara besarnya: ilmu sosial yang digeluti, tidak kontekstual. Oleh karena itu, ilmuwan sosial yang yang selama ini “terisolasi” dan “menikmati isolasi” dari realita sosial yang digeluti perlu diajak menjebol isolasi itu sendiri. Hal ini bisa dijustifikasi melalui telaah berikut ini.

Pertama, kesinambungan pengembangan ilmu.

Hal ini erat kaitannya dengan tradisi keilmuan di masa lalu. Harus diakui bahwa perkembangan ilmu sosial berpangkal dari proses modernisasi. Ilmu sosial yang direproduksi di Indonesia selama ini adalah perluasan lokus pemberlakuan ilmu sosial yang dikembangkan di negara-negara industri maju. Ilmu berkembang dalam paket ide besar: modernisasi. Ilmu telah menjadi penanda modernitas, dan modernitas itu sendiri telah diadopsi sebagai nilai yang begitu dijunjung tinggi. Fakta ini menyimpan tragedi yang jarang diungkap. Sistem pengetahuan yang berkembang sebagai bagian dari praktek modern ini, telah menaklukkan sistem pengetahuan yang telah mentradisi sebelumnya.

Perlu dicermati bahwa, tradisi keilmuan yang mengharuskan ilmuwan mengisolasi diri dari realitas sosial tersebut di atas, adalah bagian aktualisasi

ajaran modern.5 Pemberlakuan tradisi keilmuan dalam standar modern ini,

ternyata tidak dengan serta-merta menghapuskan tradisi keilmuan lama. Kalau

       

(7)

tradisi modern ini boleh diwakilkan pada tradisi universitas, tradisi lama ini masih terlihat sisa-sisanya dalam praktek keilmuan di pondok-pondok pesantren. Sekiranya para penjajah dari Eropa tidak datang dan menguasai masyarakat negeri ini, niscaya yang berperan sebagai universitas adalah apa yang selama ini kita sebut sebagai pondok-pondok pesantren tersebut.

Ironisnya, gempuran modernitas itu juga tidak mudah dibendung oleh pondok-pondok pesantren itu sendiri karena tiadanya politik pengetahuan yang menjaga tradisi ini. Yang menjadi pokok soal di sini adalah bahwa tradisi keilmuan yang sudah tersisih itu sebetulnya dibangun diatas komitmen mereproduksi nilai-nilai. Tradisi keilmuan modern ini berbeda secara kontras dengan tradisi keilmuan tradisional pesantren dalam hal reproduksi nilai-nilai. Seorang santri mengaji bukan sekedar untuk mengakumulasi ketrampilan menjelaskan secara saintifik hal yang dipelajari, melainkan untuk mewujudkan kehidupan yang agamis sebagai bentuk penghambaannya kepada tuhannya. Menuntut ilmu adalah bagian dari ibadah, dan keberhasilan menuntut ilmu justru ditunjukkan oleh keseriusannya dalam menjalani apa yang diajarkan. Ada

pepatah Jawa yang masih menjadi acuan sehari-hari: Ilmu iku ketemune kanti

laku [ilmu itu didapat dari menjalaninya].

Kaidah keilmuan yang dilabeli tradisional (agar bisa dibedakan denganyang modern) ini justru telah menghasilkan ilmuwan yang dalam kiprah keilmuannya mereproduksi budi pekerta. Sementara itu, lembaga-lembaga pendidikan modern (instrumen pengembangan ilmu pengetahuan) dalam prakteknya hanya sangguh menjangkau wilayah kognisi peserta didik, dan selama sekian lama abai terhadap urgensinya mengasah sisi psiko-motorik siswa. Dalam konteks ini, kita bersyukur dengan kesadaran kembali akan hal ini, ditandai dengan diberlakukannya kurikulum 2013.

Dalam bingkai modernisasi, ilmu pengetahuan, tidak terkecuali ilmu-ilmu sosial Ilmu sosial telah mengalami profesionalisasi. Berlangsungnya proses profesionalisasi ini melekat dalam proses pendidikan, dan terlihat tapaknya setidaknya sejak masa penjajahan oleh bangsa-bangsa Eropa. Kalangan terdidik, mendapatkan peran dan status sebagai ilmuwan, yang sedikit-banyak profesional. Penguasaan ilmu dan teknologi, pada akhirnya menghasilkan stratifikasi sosial. Dengan profesionalisasi ini, terpola suatu dikotomi, ada ilmuwan dan ada orang awam. Lebih dari itu, ilmu menjadi milik para ilmuwan, dan orang awam menjadi target pemberlakuan ilmu tersebut. Dalam baju profesionalitas inilah mereka boleh merasa nyaman: hanya menjelaskan gejala/fenomena sosial, tanpa terikat keharusan untuk ikut mengubahnya. Dalam dikotomi itu, para ilmuwan diukur kinerjanya dari penerbitan jurnal, penulisan buku, perkuliahan yang diselenggarakan dan sebagainya. Karena profesionalisasi yang berlangsung dalam isolasi terhadap realitas sosial ini, maka di Indonesia ada pembedaan antara ilmuwan dengan cendekiawan. Kecendekiaan, justru diukur dari kesediaan dan kesanggupannya keluar dari isolasi.

Kedua, ke-kita-an.

(8)

adalah tuntutan yang secara diam-diam telah direspon. Pada saat yag sama, profesionalisasi ilmuwan telah menjadikan para ilmuwan itu sendiri mendapatkan advantage tersendiri. Hal ini konsisten dengan pemahaman yang

telah saya usulkan: ilmu sosial adalah ilmu tentang kita.6 Implikasinya, kegiatan

keilmuan sejatinya adalah proses mengasah ke-kita-an. Nilai kekitaan ini tidak pernah di asah karena profesionalisasi tersebut.

Mari kita cermati praktek keilmuan orang awam yang telah terwariskan dari sejarah. Karena melekat dalam kesehariannya, praktek tersebut dan mereka luput dari jangkauan profesionalisasi. Kalaulah praktek-praktek yang berlangsun berhasil menemukan solusi, solusi itu luput dari label ‘ilmiah’. Solusi itu belakangan baru diketahuan kehebatannya, dan para ilmuwan profesional ini lalu

melabelinya dengan istilah yang memukau: local genious, local wisdom dan

sejenisnya. Meskipun terlambat, pengakuan kalangan profesional terhadap kehebatan orang-orang orang-orang bersahaja ini perlu diapresiasi. Lebih dari itu, kalangan profesional haruslah melakukan instrospeksi diri, apalagi ketiga telah sesumbar kegiatan keilmuannya diharapkan berkontribusi bagi penanganan masalah. Orang-orang yang bersahaja itu melakukan kegiatan yang berwatak ilmiah, yang spesifikasi dan kualifikasi keilmiahannya tak dimengerti kalangan profesional. Ada epistemologi yang berbeda dengan yang dipegang teguh oleh kalangan profesional. Ada kaidah keilmuan yang tidak biasa diadopsi oleh kalangan prosefional. Kalau kalangan profesional memasuki dunia keilmuan dari aspek ontologinya, masyarakat awam tadi memasukinya dari pintu aksiologi. Suatu ilmu itu ilmiah ketika mengatasi masalah yang hendak diatasi, dan karena status ilmiah itu tidak didambakan masyarakat maka local genius ataupun local wisdom itu tidak terdeteksi oleh kalangan prosefional.

Berangkat dari kesepakatan bahwa ilmu sosial adalah ilmu tentang kita, maka asah kekitaan ini justru menjadikan tawaran-tawaran ilmuwan profesional tidak mengakar. Teori-teori dibangun di atas asumsi-asumsi yang ada dalam keseharian masyarakat, dan oleh karenanya tidak sedikit dari pemberlakuan rekomendasi ilmiah dari ilmuwan sosial, tidak bisa diberlakukan. Pada saat itu, orang awam mengejek ilmuwan sosial dengan seloroh: “itu kan hanya teori’. Point utamanya bukan saja teori yang diacu ilmuwan mengacu pada nilai-nilai yang tidak dijunjung tinggi masyarakat, dan oleh karenanya teori yang dimaksudkan bukanlah rujukan kolektif untuk berperilaku. Point penting lainnya

adalah, pada saat teori-teori yang diberlakukan tidak aplicable, aktor sosial yang

terlibat yang disalah-salahnya. Ada dua kasus yang bisa dirujuk untuk ilustrasi.

• Atas nama demokrasi, telah banyak hal diakukan utuk menjamin hak-hak

politik warga negara, yang konon menjadi sumber kedaulatan. Saluran untuk mengekspresikan kedaulatan ini adalah pemilihan umum. Ironisnya, para pemegang kedaulatan ini sama-sama faham bahwa hak pilih tersebut memiliki nilai, dan oleh karenanya bisa dikomoditikan. Lalu, berlakukah proses komoditifikasi hak pilih, yang dalam ilmu politik dikenal sebagai

praktek vote buying. Dalam bahasa sehari-hari, fenomena ini dikenal dengan

istilah money politics. Muara dari semua ini adalah politik berbiaya tinggi,

yang ditandai oleh kepiawaian calon pemilih memeras kandidat pemimpin.

       

(9)

Dengan menggejalanya praktek tersebut di atas, para politisilah yang dijadikan bulan-bulanan oleh para ilmuwan. Dilangsungkanlah kampanye

anti politisi busuk. Kenyataan bahwa voters memiliki kecerdasan untuk

membelokkan arah demokratisasi menjadi politik berbiaya tinggi luput dari

antisipasi, karena para ilmuwan merasa confident bahwa demokratisasi bisa

dilangsungkan secara top-down. Ada asumsi yang tak terkoreksi bahwa

proses demokratisasi bisa direduksi sekedar sebagai pemberlakuan prosedur, bukan proses perubahan relasi kuasa ataupun proses pencurahan kecerdasan secara kolektif.

• Atas nama good governance, dilakukanlah reformasi birokrasi pelayanan

publik. Prosedur pengurusan berbagai perijinan dipermudah. Pengurusan surat ijin mengemudi (SIM) bahkan bisa dilakukan di pusat perbelanjaan

(mall) pada malam hari. Dalam konteks ini, baik yang mengeluarkan maupun

yang mengajukan permohonan SIM, sama-sama tidak hirau: untuk apa ada SIM. Lebih dari itu, ilmuwan sosial yang mendalami issue inipun tidak sempat mengembalikan perijinan ini ke konteks asalnya.

Bahwa mengendari kendaraan bermotor adalah hak warga negara, dan penggunaan hak ini memiliki eksternalitas negatif pada warga negara yang lain. Laju kendaraan bermotor meningkatkan resiko kecelakaan. Untuk itu, negara sebagai representasi kepentingan publik, mencoba mengeliminir eksternalitas negatif itu dengan memastikan pengendara kendaraan bermotor memiliki kompetensi berkendari. SIM adalah sertifikan kompetensi. Keberhasilan skema SIM harus dikembalikan ke koteks asalnya: mencegah munculnya ekstenalitas negatif. Mudahnya: menekan angka kecelakaan.

Kealphaan untuk mengakaji secara kontekstual (sensitif konteks) telah mengakibatkan reformasi birokrasi penyelenggaraan SIM membidik elemen yang paling relevan. Yang dikawal adalah kemudahan mendapatkan dokumen SIM, dan sertifikasi kompetensi tidak menjadi issue sentral. Lebih dari itu, banyaknya dokumen SIM yang dikeuarkan tidak dipertanggungjawabkan dengan kenyataan bahwa angka kecelakaan lalu lintas bukan hanya tinggi, melainan juga cenderung meningkat.

Dua kasus di atas mengindikasikan adanya permasalahan sosial yang tidak teratasi karena kealphaan ilmuwan membaca konteks. Karena peran hegemonik para ilmuwan, kesalahan-kesalahan yang terjadi dengan mudah dipindahkan menjadi kesalahan orang awam. Bahasa yang sering dipakai adalah: masyarakat perlu sosialisasi, bukan ilmuwan sosial kurang refleksi kontestual. Hal ini bisa terjadi karena kaidah keilmuan yang tidak kontekstual tersebut telah bersifat hegemonik, dan dalam hegemoni ini ke-kita-an tidak menjadi persoalan serius.

Kejadiannya sangat kontras jika kita sandingkan dengan berlakunya

gejala yang belakangan disebut local wisdom ataupun local genius. Yang

menjadikan local wisdom bertahan sebagai wisdom adalah karena perilaku arif

yang terus-menerus dipraktekkan. Kebersamaan dalam menjalani itulah yang menjadikan ilmu menjadi acuan bersama. Dalam kebersamaan itu, spesialisasi keilmuan justru menjadikan dorongan untuk melengkapi tawaran ilmu lain. Problem solving berlangsung melalu cara kerja yang interdisipliner. Dalam

ilustrasi di dunia santri tersebut di atas, outcome dari proses pembelajaran yang

(10)

hanya saja penguasaan ilmu tidak boleh dijadikan alasan untuk mengeksklusi orang lain. Akumulasi keilmuan yang ada pada seorang santri/kyai, tetap saja memberikan nilai lebih pada diri sang kyai. Yang jelas, mereka bukan hanya memiliki keberpihakan pada nilai-nilai tertentu, mereka juga komitmen mewujudkannya.

Ketiga, kepemilikan ilmu.

Sebagaimana disebutkan di atas, jalan keluar dari isolasi ilmuwan sosial dari realitasnya disediakan oleh metode befikir yang anti-positivistik. Metodologi ini mendialektikakan keduanya. Sebagaimana yang diberlakukan dalam

masyawakat awam yang menghasilkan kearifan lokal ataupun local genious,

sekat pemisah antara ilmuwan dengan awam ditiadakan, dan kegiatan keilmuan dihayati sebagai proses emansipasi.

Secara normatid, kepemilikan ilmu-ilmu sosial itu ada pada setiap orang. Setiap karya ilmiah yang dipublikasi, pada dasarnya membiarkan publik menjadi pemilih pengetahuan tersebut. Hanya saja, yang senyatanya bisa menggunakan pengetahuan itu secara efektif adalah fihak yang memiliki kekuasaan dan daya beli. Mereka bisa menggunakan pengetahuan-pengetahuan secara spesifik untuk kebutuhan spesifik karena kekuasaan dan uang yang dimilikinya. Dengan mekanisme kuasa seperti itulah ilmuwan sosial yang selama ini berhenti sampai tahap menawarkan rekomendasi, bisa dilibatkan sebagai pelaku dala penanganan masalah.

Owership pengetahuan tidak akan menghasilkan kapasitas efektif untuk mengarahkan perubahan sosial manakala fihak-fihak yang dirundung masalah tidak ikut mendefinisikan permasalahan itu sendiri. Oleh karena itu, penelitian ilmiah yang dilakukan tidak cukup menggunakan teknik pengumpulan data melalui pengamatan partisipatif. Yang diperluan adalah participatory action research, dimana masyarakat menjadi stake holder penelitian: ikut menentukan agenda dan rumusan masalah, ikut menjadi pemilik temuan dari penelitian itu, dan menguji coba pengetahuan itu untuk mengatasi masalahnya sendiri. Dengan begitu, asah kecakapan problem solving tidak harus menunggu tindak lanjut rekomendasi dari ilmuwan, melainkan dari kegiatan keilmuan yang dilakukan secara beramaan.

Jelasnya, upaya untuk lebih efektif ambil bagian dalam proses perubahan sosial maupun mengekang ketimpangan dengan cara konvensional ternyata sangat problematis, apalagi kalau ada ketegasan bahwa kegiatan keilmuan adalah bagian dari problem solving. Untuk itu, ilmuwan sosial perlu keluar dari zona nyaman, yang diakibatkan oleh berlakunya kaidah: eksekusi dari rekomendasi-rekomendasi tersebut bukan urusan ilmuwan sosial. Orietasi keilmuan yang sempit, dimana output-output kajian ilmiah yang dihasilkan adalah karya ilmiah perlu dibentang lebih panjang. Kegiatan keilmuan harus “diperluas” sedemikian

sehinga outcome yang dihasilkan adalah perubahan sosial yang dikehendaki.

Transformasi output menjadi outcome haruslah tetap berada di luar domain keilmuan, namun domain keilmuan itu berimpit dengan kesehatian masyarakat. Pengajaran ilmu sosial perlu diperjuangkan agar bermuara pada lahirnya

komunitas keilmuan dan komunitas pembelajar (knowledge and learning

(11)

4. Discursive Design:

Menuju Transformasi Ilmu Sosial

Dari telaah tersebut di atas tersirat sebuah pelajaran penting, bahwa transformasi sosial dan transformasi keilmuan haruslah berlangsung secara simultan. Kemampuan ilmu-ilmu sosial mengawal perubahan sosial yang

berlangsung mengharuskan para ilmunya engage sebagai bagian dari perubahan

sosial yang berlangsung. Sebaliknya, masyarakat yang selama ini diasumsikan berada diluar domain keilmuan justru harus dipanen kapasitas keilmuannya. Asumsinya, sekali lagi, ilmu tidak menjadi komoditi yang dikeloka sebagai assetnya kalangan profesional.

Hal tersebut di atas adalah agenda yang betul-betul melawan arus utama di dunia keilmuan saat ini. Sungguhpun demikian, perubahan sosial mengharuskan kapasitas untuk menggempur pemaknaan yang hegemonik. Oleh karena itu, salah satu lokus penting dalam pengembangan ilmu sosial ke depan adalah mengolah politik pewacanaan. Melalui perang wacana itulah transformasi bergulir, dan melalui dekonstruksi wacana-wacana mapan tersebut di atas peluang bagi tumbuh dan berkembangnya ilmu sosial transformatif tersedia.

Untuk itu, Indonesia perlu suatu discursive design, dan idealisasi ilmu sosial

transformatif bisa dibayangkan sebagai langkah awal. Sejumlah ide yang bisa dirajut dalam discursive design ini adalah sebagai berikut.

Jika ilmu sosial betul-betul diharapkan memberi manfaat nyata dalam mengawal perubahan sosial dan mengatasi ketimpangan sosial, maka harus ditegaskan bahwa kegiatan keilmuan bukan hanya kegiatannya ilmuwan. Transformasi perlu diusahakan berlangsung di setidaknya di dua aras. Pertama

aras komunitas keilmuan (epistemic community), dimana kegiatan-kegiatan

keilmuan secara spefisik menghasilkan sederetan output. Pada saat ini komunitas ini diperankan sebagai inti kegiaan keilmuan. Kedua, transformasi pada aras makro, yakni berbagai yang terlibat dalam perubahan dan kesenjangan sosial itu sendiri, tidak terkecuali pemerintah. Sebagaimana yang telah berlangsung dalam masyarakat awam tersebut di atas, pemicu transformasi ini adalah identifikasi permasalahan. Masalah yang dikaji adalah masalah yang dirumuskan bersama

masyarakat, atau beneficiaries dari kajian yang diselenggarakan. Sungguhpun

dua aran yang diharapkan sama-sama tertransformasi, keduanya berjalan secara simultan, didasari oleh adanya politik pengetahuan. Di dalam kedua aras itulah gerakan keilmuan berlangsung, dimotori oleh para inovator.

Gerakan keilmuan harus hadir dalam proses pendidikan, tepatnya proses kaderisasi ilmuwan dan orang-orang terdidik. Spirit dari gerakan itu adalah mengasah kecendekiaan para ilmuwan. Kalau di masa lalu kegiatan pendidikan dimulai dengan bertanya ‘mau jadi apa’, ke depan pendidikan harus dimulai dengan mempertanyakan: ‘kamu melihat ada masalah apa’. Pendidikan atau

reproduski ilmuwan dikawal dengan skema ‘problem-based learning’. Cara

untuk tahu, tidak hanya dengan deduksi teoritik melainkan juga kodifikasi

pengalaman yang belakangan ini dikemas dengan istilah ‘best practice’. Dengan

kata lain, aksiologi mendektekan ontologi. Kecenderungan untuk merumuskan

kajian yang action-oriented menjadikan uji validitas pengetahuan baru dilakukan

oleh para praktisi.

Sensitifitas pada konteks sosial merupakan tantangan berat yang dihadapi epistemic community di Indonesia. Solusi-solusi besar mensyaratkan pra-kondisi dalam skala yang lebih kecil. Pengalaman-pengalaman yang bertebaran

(12)

berbagai fihak. Metodologi pengkajian secara kontestual perlu dikembangkan untuk menyajikan soluti-solusi tepat guna bagi masyarakat pembelajar dibentuk.

Ilmu-ilmu sosial tidak harus netral.7 Hanya saja, ketidaknetralan ini tidak

boleh menjadikannya monolitik. Lebih dari itu, komitment pada nilai dan ideologi dalam kegiatan keilmuan harus menjadi spirit utama dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial ke depan. Keaphaan untuk mengkaitkan ilmu sosial dengan reproduksi nilai ini telah menghasilkan tapak serius: Pancasila yang diletakkan sebagai acuan ideologis tidak cukup kuat mewarnai dunia keilmuan. Di satu sisi Pancasila tereduksi menjadi slogan di sana-sini, dan pada saat yang sama insensitif terhadap berlakunya ide yang kontradiktif dengan nilai-nilai yang diusung Pancasila. Sehubungan dengan hal ini, kita perlu belajar dari

tradisi Skandinavia yang maju dalam bingkai wacana welfare state ketika

mereproduksi ideologi social-democracy. Ideologi yang dikenal sebagai social

demokrasi ini dijabarkan sebagai paket teori yang direproduksi melalui perkulianan tentang perekomian dan pemerintahan negeri itu. Dalam teori-teori yang diajarkan, tersirat prinsip dan keberpihakan pada nilai tertentu. Dengan begitu, pengetahuan tentang suatu hal, dengan serta-merta akan menggiring pada opsi tertentu.

Acuan pokok dalam pengembangan ilmu sosial transformatif adalah bahwa ilmu adalah medium emansipasi. Fondasi untuk itu terlah diletakkan di sana-sini. Misalnya, bekerjanya universitas dipagari oleh tri dharma perguruan tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Jika pengembangan ilmu sosial hendak didedikasikan untuk menjawab permasalahan bangsa, maka ada dua hal penting yang perlu ditranformasikan.

(1) Urutan dalam menjabarkan tri dharma, perlu dibalik. Pintu

masuknya adalah pengabdian pada masyarakat, dan dengan komitmen untuk mengabdi itu lahirnya sederetan permasalahan yang harus ditelitu dan digeluti. Atas dasar itulah materi pendidikan tinggi dirumuskan. Sejauh ini, pengabdian pada masyarakat masih diperankan sebagai basa-basi ilmuwan.

(2) Penjabarannya harus terintegrasi. Kaitan antara ketiganya harus

dioptimalkan, mengingat dalam sekali beraktifitas, ketiga aspek tri dharma itu bisa dilangsungkan. Penjabaran tridharma selama ini terkotak-kotak karena birokratisasi pendidikan tinggi.

(3) Penjabaran tri-dharma perguruan tinggi perlu diupayakan bersifat

multi-disipliner, kalau bukan interdisipliner. Ketika ilmu yang dikembangkan secara terspesialisasi hendak diaplikasikan, maka ilmu itu sejatinya abai terhadap

spesialisasi lain. Proses problem solving mengharuskan para ilmuwan

menaklukkan ego-spesialis yang ditekuni, dan rekonsiliasi antar berbagai bisa ilmu merupakan ketrampilan pokok setiap ilmuwan yang menggeluti masalah-masalah nyata.

(4) Universitas harus mengedepankan perannya sebagai lembaga

keilmuan dari pada lembaha pendidikan. Urgensi pengembangan ilmu secara kontekstual sebagaimana dikemukakan di atas menjadi sulit difahami manakala obsesi lembaga pendidikan tinggi adalah mengasilkan lulisan. Akreditasi universitas, idealnya menjangkau dimensi keilmuan dalam pengelolaan universitas, bukan hanya berkutat pada dimensi manajemen.

       

(13)

5. Penutup.

Ilmu-ilmu sosial di Indonesia berada di persimpangan jalan. Jalan yang diwarisi dari tradisi kolonial, justru membuat dirinya terisolasi dari masyarakatnya. Jalan kerakyatan yang bersahaja, yang melekat dalam keseharian masyarakat menunggu untuk dilaluinya, dan niscaya tidak kunjung dilaluinya

sepanjang refleksi kritis atas jatidirinya sebagai scientific enterprise dianggap

sudah given. Refleksi kritis yang disajikan di sini diharapkan mengusik para

ilmuwan dari zona nyaman: zona abai terhadap konteks Indonesia. Kesediaan untuk keluar dari zona ‘abai dalam isolasi’ niscaya membalkan visi aksiologis: mengatasi masalah-masalah sosial yang berkecamuk.

Dalam telah ini, persoalan ketimpangan tidak terartikulasi secara memadai. Untuk menutup telaah yang belum tuntas ini, perlu dicamkan bahwa akumulasi dan distribusi pengetahuan sejatinya adalah persoalan politik (adu kuasa). Dalam konteks ini, bisa dikedepankan pemahaman bahwa potensinya mengawal ketimpangan harus ditunjukkan dengan pengembangan pengetahuan dan pembelajaran kolektif. Sadar bahwa akses terhadap pengetahuan ternyata tidak sama bagi setiap orang/kelompok, maka penguasaan pengetahuan itu sendiri adalah akar ketimbangan. Oleh karena itu, pengembangan ilmu sosial mengaruskan penjabaran prinsip ke-kita-an.

Ilmu sosial transformatif, dalam kajian ini ditawarkan sebagai acuan awal

dari gerakan keilmuan yang memiliki discursive design tertentu. Simpul

leadership ini perlu disepakai dan diperankan. Untuk sementara, LIPI diharapkan menjadi simpul itu, dan berbagai artikulasi politik pengetahuan perlu

Referensi

Dokumen terkait

penyiapan bahan penyusunan rencana dan program pembangunan dan pemeliharaan di bidang pertamanan, dan tata keindahan (dekorasi) luar dan dalam ruang, pembibitan dan

Aa’ siapapun dia, terima kasih telah menemaniku, mengingatkanku dan selalu memberikan semangat yang tiada henti, sehingga aku bisa menjalani proses kuliah.. dengan have

Iklan produk adalah iklan yang berisi pesan tentang barang, sementara iklan bukan produk berisi informasi atau jasa.Tampilan iklan-iklan pada media televisi berlomba-lomba

Faktor fundamental yang terdiri Current Ratio (CR), Debt Equity Ratio (DER), Return On Asset (ROA), Earning Per Share (EPS) dan firm size secara simultan dan

Di mana alat ini berfungsi untuk menghitung jumlah burung walet yang keluar masuk dari sarang menggunakan sensor sebagai pendeteksi keluar masuknya burung walet

Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, dapat dilihat bahwa model Full Bayesian Network yang dilatih dengan Simulated Annealing dengan fungsi

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran PROBEX lebih efektif daripada strategi pembelajaran eksperimen bila diterapkan pada materi Tekanan di

Pada tahun 2013 trend ROA (Return on Assets) mengalami peningkatan menjadi sebesar 6.8% diikuti peningkatan DER (Debt To Equity Ratio) menjadi sebesar 0.71 kali, kemudian pada