• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budaya dan Modifikasi Teori Z di Indones

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Budaya dan Modifikasi Teori Z di Indones"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Budaya dan Modifikasi Teori Z di Indonesia

Sigit Hermawan

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo Email: sigithermawan@umsida.ac.id

Abstract

The purpose of the article is to know the culture roles and the modified of Z theory in Indonesia. As a matter of fact, culture does influence the management style of a nation and a business organization, and so does the productivity theories, such as X, Y, and Z theories. The theories are influenced by certain culture of nation. The Z theory is identically with Japanese culture that has high productivity. There are real differences among the three theories related with workers motivation, workers behavior, and the respons on their job. It is important to modify the Z theory in Indonesia because of the difference of culture, era development, and globalization.

Key words: culture, the X theory, the Y theory, and the Z theory

PENDAHULUAN

Budaya suatu bangsa akan sangat mempengaruhi gaya menajemen yang

diterapkan pada organisasi atau perusahaan di negara tersebut. Demikian pula dengan bangsa Jepang dengan kekhasan budayanya sehingga mampu bangkit pasca perang dunia II (PD II). Seakan terlecut atas kehancuran kota Herosima dan Nagasaki, maka bangsa Jepang bangkit dengan produktivitasnya yang sangat tinggi dan mengalahkan produktivitas bangsa-bangsa lain di dunia. Produktivitasnya telah meningkat 400 persen bila dibanding dengan Amerika (Christiananta, 1994). Atas prestasi Jepang tersebut, Prof. William Ouchi mengadakan penelitian dan mendapatkan teori Z sebagai jawaban tingginya produktivitas bangsa Jepang. Teori Z ini seakan melengkapi khazanah teori produktivitas yang ada sebelumnya yakni teori X dan teori Y.

(2)

Artikel ini akan membahas tentang budaya dan modifikasi teori Z di Indonesia. Pada awal pembahasan akan dijelaskan terlebih dahulu tentang budaya yang membawa pengaruh pada gaya manajemen suatu bangsa. Setelah itu akan dibahas tentang teori Z, perbandingan teori X, teori Y, dan teori Z. Pada akhir pembahasan akan dijelaskan tentang modifikasi teori Z di Indonesia.

BUDAYA DAN MANAJEMEN

Seperti telah dijelaskan di awal bahwa budaya sangat mempengaruhi gaya

manajemen perusahaan di suatu bangsa. Demikian pula dengan teori Z yang telah sukses di Jepang, juga bermula dari budaya Jepang. Dengan memahami budaya di suatu negara maka nantinya dapat dirumuskan gaya manajemen atau teori yang akan dianut. Apakah menganut teori X, teori Y, teori Z atau mungkin merumuskan sendiri sesuai dengan karakteristik budaya di negara tersebut.

Pengertian Budaya

Hofstede (1991) mendefinisikan budaya sebagai ”pemrograman kolektif atas pikiran yang membedakan anggota-anggota suatu kategori orang dari kategori lainnya”. Kata kunci dari definisi tersebut adalah pemrograman kolektif, yang menggambarkan suatu proses yang mengikat setiap orang sejak lahir. Budaya juga digunakan untuk menjelaskan pengalaman bersama yang dialami oleh orang-orang dalam organisasi tertentu dari lingkungan sosial mereka. Semua organisasi mempunyai budaya meskipun pada organisasi-organisasi tertentu mudah diidentifikasi dan mempunyai lebih banyak pengaruh (yaitu lebih kuat) baik terhadap personalia maupun pelanggan daripada yang lain. Budaya organisasi dibangun dari kepercayaan yang dipegang teguh secara mendalam tentang bagaimana organisasi seharusnya dijalankan atau beroperasi. Budaya merupakan sistem nilai organisasi dan akan

mempengaruhi cara pekerjaaan dilakukan dan cara para pegawai berperilaku (Cushway dan Ledge; 1993).

Manfaat budaya bagi sebuah organisasi atau perusahaan dijelaskan oleh Robbins (1996) dalam bukunya ”Organizational Behavior”, dengan mengungkapkan bahwa budaya melakukan sejumlah fungsi di dalam organisasi, antara lain sebagai berikut : 1. budaya memiliki peran dalam menetapkan tapal batas, yang artinya bahwa budaya

(3)

2. budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi;

3. budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan-kepentingan individual seseorang;

4. budaya itu meningkatkan kemantapan sistem sosial;

5. budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para anggotanya.

6. budaya sebagai perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk yang harus dikatakan dan

dilakukan oleh anggota organisasi.

Peranan Budaya dalam Manajemen

Budaya sangat berpengaruh dalam kaitan membentuk karakteristik organisasi maupun gaya manajemen. Seperti dinyatakan oleh Pramita (1988), bahwa organisasi hakekatnya merupakan kebudayaan pada tingkat mikro yang bekerja dalam lingkungan budaya makro nasional. Oleh karena itu, kebiasaan-kebiasaan yang umum terjadi pada organisasi, sesuatu yang telah menjadi tradisi merupakan cikal bakal tumbuhnya suatu budaya organisasi (Amirullah dan Haris, 2004). Kedua satuan kebudayaan dapat saling mempengaruhi, rendahnya hasil kerja dan kerjasama dalam suatu organisasi bisnis sebagian besar disebabkan oleh adanya kurang keserasian antara budaya di tempat kerja dengan sifat pekerjaan dan atau dengan teknologi yang dipergunakan yang berasal dari kebudayaan bangsa lain yang berbeda dengan kebudayaan bangsa Indonesia.

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan nilai-nilai yang diperoleh dan dimiliki individu. Bahkan dapat dinyataan bahwa pengaruh kebudayaan terhadap seseorang dimulai sejak individu itu lahir ke dunianya secara sadar ataupun tidak dipengaruhi oleh lingkungannya yang mengajarkannya nilai-nilai secara terus

menerus yang merupakan bagian yang integral dari suatu sistem kemasyarakatan (Dalimunthe, 2003). Nilai-nilai yang dimiliki oleh seseorang acap kali sering dipilih

(4)

prinsip-prinsip dan filosofi pimpinan atau pendiri selalu identik dengan budaya organisasi.

Adanya budaya perusahaan ini bertujuan untuk menciptakan rasa memiliki jati diri dari para pekerja, sehingga ada keterkaitan pribadi dan perusahaan, membantu perusahaan, memotivasi kerja para karyawan dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Suatu perusahaan memiliki budaya kerja yang sangat erat dengan budaya masyarakat ataupun bangsa dimana organisasi itu berada. Budaya bangsa (national culture) intinya adalah merupaan nilai-nilai yang dianut suatu negara ataupun bangsa tertentu.

Setiap negara memiliki budaya masing-masing. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa budaya antara suatu bangsa berbeda dengan bangsa yang lain.

Pengaruh budaya terhadap kinerja organisasi dapat dilihat dari dimensi manajemen, anggota secara kelompok, dan anggota secara individual. Budaya organisasi merupakan determinan bagi perilaku manajemen, disamping struktur, kepemimpinan, dan lingkungan eksternal. Dari sudut anggota secara kelompok, budaya organisasi akan memberikan arah (direction) dalam menemukan cara-cara untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam hal ini budaya organisasi dapat memberikan pengaruh positif atau negatif, tergantung kecocokan (compatible) atau tidaknya budaya tersebut dengan perkembangan lingkungan internal maupun eksternal. Selain itu, budaya organisasi yang tersebar merata pada semua anggota organisasi, akan memberikan citra mengenai lembaga tersebut di mata customer. Secara individual, budaya organisasi yang meresap dengan kita pada masing-masing anggota, akan menumbuhkan komitmen, sebagaimana dicontohkan suatu sekte keagamaan dapat mempengaruhi pengikutnya untuk melakukan bunuh diri secara sukarela. Komitmen di sini diartikan sebagai suatu kondisi di mana anggota organisasi memberikan kemampuan dan loyalitas tertingginya kepada organisasi, yang dengan itu mereka mendapatkan kepuasan.

Memahami Keanekaragaman Budaya

(5)

dasar, tetapi memandang konsep tersebut dari sudut dan perspektif yang berbeda, yang menyebabkan mereka berperilaku dengan cara yang dianggap irasional atau bahkan bertentangan oleh pihak yang lain.

Perilaku orang-orang dengan budaya yang berbeda bukanlah sesuatu yang kacau balau. Ada kecenderungan, urutan, dan tradisi yang jelas. Reaksi yang serupa dari orang Amerika, Eropa, dan Asia dapat diramalkan, biasanya dibenarkan dan pada umumnya diatur. Bahkan negara-negara yang perubahan ekonomi dan politiknya cepat dan sampai ke akar-akarnya (Rusian, Cina, Hungaria, Polandia, Korea,

Malaysia, dan lain-lain), sikap dan kepercayaan yang berurat akar akan menentang transformasi nilai yang tiba-tiba bila ditekan oleh pembuat perubahan (reformist), pemerintah, atau konglomerat multinasional.

Dengan memfokuskan akar budaya perilaku nasional, baik dalam masyarakat maupun bisnis, maka dapat diramalkan dan diperhitungkan derajat ketepatan orang lain akan bereaksi terhadap rencana yang akan terjadi, dan dapat dibuat asumsi tertentu mengenai pendekatan yang akan dilakukan. Pengetahuan praktis yang memadai mengenai ciri dasar budaya lain (termasuk budaya sendiri) akan memudahkan untuk dapat merumuskan gaya seseorang atau kelompok dalam mengelola suatu organisasi atau perusahaan. Hal tersebut berkaitan dengan manajemen organisasi atau perusahaan di suatu negara didasarkan pada aspek budaya antar negara yang berbeda.

TEORI X, TEORI Y DAN TEORI Z

Budaya dan manajemen telah dijelaskan di atas dengan simpulan yang dapat diambil adalah memang budaya akan sangat mempengaruhi gaya manajemen di suatu daerah atau bangsa. Tetapi walaupun berbeda-beda tetapi pasti ada kecenderungan-kecenderungan yang dapat dikelompok-kelompokkan. Demikian pula dengan teori X,

teori Y, dan teori Z. Teori-teori ini mencoba mengelompokkan kecenderungan-kecenderungan berdasarkan karakteristik orang atau karyawan yang bekerja di suatu

(6)

organisasi. Karyawan diajak berpikir tentang organisasinya, diajak untuk membuat keputusan bersama, diajak untuk memiliki tanggung jawab bersama sehingga dengan demikian rasa memiliki akan semakin besar. Untuk lebih jelasnya, berikut disajikan masing-masing teori, baik teori X, teori Y, dan teori Z

Teori X

Pada tahun 1960, Douglas McGregor mengidentifikasi dua sudut pandang tentang manajemen, yang dianut dalam tingkatan yang bervariasi oleh sebagian besar

manajer. Dua sudut pandang itu disebut Teori X dan Teori Y. Teori X memandang manusia sebagai pemalas, yang lebih suka diberi arahan secara detail tentang apa yang harus dilakukan, menghindari tanggung jawab, memiliki sedikit ambisi, Dan di atas semuanya, manusia menginginkan rasa aman (security). Seorang pimpinan perusahaan yang memandang stafnya seperti itu akan percaya, agar pekerjaan bisa tuntas, karyawan harus dikontrol, dipaksa, diancam dengan disiplin, dan dihukum.

Teori X ini berakar pada pendekatan “scientific management,” yang dikembangkan oleh Frederick Taylor. Menurut Taylor (1947), sebagian besar orang menganggap kerja pada dasarnya tidak menyenangkan. Oleh karena itu, uang yang akan mereka peroleh adalah motivasi utama karyawan mau menghabiskan waktu berjam-jam untuk kerja.

Asumsi-asumsi Teori X adalah sebagai berikut : 1. orang tidak suka bekerja dan mencoba menghindarinya;

2. orang tidak suka bekerja, sehingga manajer harus mengontrol, mengarahkan, memaksa, dan mengancam karyawan agar mereka bekerja ke arah tujuan-tujuan organisasi;

3. orang lebih suka diarahkan, untuk menghindari tanggung jawab, untuk memperoleh rasa aman. Mereka hanya mempunyai sedikit ambisi

Teori Y

(7)

dan pemeliharaan lingkungan kerja yang memuaskan adalah sangat esensial, untuk meraih kinerja staf yang tinggi.

Teori Y muncul dari hasil karya Elton Mayo (1953) dan rekan-rekannya, dan sering disebut “pendekatan hubungan manusiawi” (human relations approach). Sudut pandang ini menekankan pentingnya peran proses sosial di tempat kerja. Ia mengasumsikan bahwa karyawan ingin merasa berguna dan penting, dan bahwa menjadi bagian dari sebuah kelompok sosial itu punya arti signifikan. Selain itu, imbalan-imbalan yang bersifat non-finansial sering lebih penting ketimbang uang,

dalam memotivasi karyawan untuk jangka panjang.

Banyak karyawan yang menerima Teori Y ini. Pada karyawan tersebut akan berbicara tentang kegairahan dan tantangan dalam pekerjaan, tentang spirit yang mereka bagi dengan rekan-rekan kerja (termasuk atasannya), serta tentang standar mereka sendiri dan hasrat untuk melakukan pekerjaan secara baik. Semua itu dipandang sebagai pendorong utama, yang memotivasi para karyawan. Mereka juga mencatat bahwa memenangkan sebuah penghargaan utama atau mendapat penugasan yang dipilihnya, sering terasa lebih berarti daripada sekadar kenaikan gaji.

Asumsi-asumsi Teori Y adalah sebagai berikut :

1. Orang pada hakikatnya bukannya tidak suka bekerja. Kerja adalah bagian alamiah dari hidup mereka.

2. Orang secara internal termotivasi untuk mencapai tujuan-tujuan, terhadap mana mereka telah berkomitmen.

3. Orang berkomitmen terhadap tujuan-tujuan, sampai ke tahap di mana mereka menerima imbalan personal ketika mereka mencapai tujuan-tujuan itu.

4. Orang akan mencari dan menerima tanggung jawab di bawah kondisi-kondisi yang menguntungkan (favorable).

5. Orang memiliki kapasitas untuk menjadi inovatif, dalam memecahkan

problem-problem organisasi.

6. Orang itu cemerlang, namun di bawah sebagian besar kondisi perusahaan,

potensi mereka menjadi tidak termanfaatkan

Teori Z

(8)

demikian maka karyawan akan bekerja dengan lebih efektif dan efisien dalam melakukan pekerjaannya. Teori Z ini pertama kali diusulkan oleh William Ouchi (1981), muncul dari hasil observasi terhadap perbedaan-perbedaan, antara bekerja di perusahaan Jepang dan di perusahaan Amerika Serikat. Teori Z menganggap, rasa aman (security) secara khusus punya arti penting.

Dalam sistem manajemen Jepang, keamanan itu terjamin karena sebagian besar pekerja memiliki masa kerja seumur hidup (lifetime employment) di satu perusahaan. Organisasi gaya Jepang ini berkomitmen pada hubungan jangka panjang tersebut,

dengan tinjauan kinerja secara reguler dan tegas, yang memberikan umpan-balik yang dituntut sebagian besar karyawan, agar bisa berfungsi efektif.

Teori Z juga menekankan perkembangan hubungan kepercayaan (trust relationship) antara pemimpin dan yang dipimpin. Penekanan itu didasarkan pada asumsi bahwa motivasi orang pertama-tama bersifat internal. Namun, perasaan-perasaan itu harus diperkuat oleh komitmen jelas terhadap karyawan dari pihak majikan atau pimpinan. Teori Z melihat pengambilan keputusan kolektif dan tanggung jawab kelompok memberikan dukungan sosial yang diperlukan bagi tercapainya kinerja puncak. Hal itu terjadi lewat penciptaan rasa aman, yang memungkinkan para karyawan membangkitkan ide-ide baru tanpa takut ditolak atau takut gagal.

Secara keseluruhan dan utuh teori Z diwujudkan dalam tujuh prinsip yakni : (Christiananta, 1994)

1. Life Time Employment (Pekerjaan Seumur Hidup)

Di dalam hal bekerja, orang Jepang cenderung untuk bekerja seumur hidup pada sebuah perusahaan saja dan tidak pernah berpikir untuk pindah apabila tidak ada sebab-sebab yang luar biasa. Sebaliknya orang Amerika terkesan merasa malu apabila dia tidak berpindah-pindah ke perusahaan – perusahaan lain dengan kedudukan yang lebih tinggi (better achievement). Dari pihak perusahaan Jepang sendiri tidak akan memutuskan hubungan kerja dengan karyawan (PHK) apabila

karyawan tidak sengaja berbuat kriminal, anarkis, atau amoral. Perusahaan Jepang dalam keadaan bermasalah lebih suka menurunkan upah daripada mem-PHK karyawan. Pada perusahaan Amerika adalah lebih lazim untuk melakukan lay off, apabila perusahaan tidak bisa beroperasi penuh. Jadi berorientasi jangka pendek

(9)

Karena karyawan Jepang cenderung bekerja sampai pensiun dalam sebuah perusahaan maka mereka menjalani promosi perlahan-lahan. Dalam waktu kerja 10 tahun pertama, biasanya karyawana Jepang belum mempunyai ”pangkat” apapun, dalam masa tersebut terjadi kenaikan gaji dari waktu ke waktu yang tidak didasarkan pada ”prestasi individual” tetapi lebih berdasarkan para rumus rata-rata seluruh karyawan. Sebaliknya karyawan Amerika merasa terlambat dipromosikan maka mereka segera mencari perusahaan lain yang dapat memberi gaji dan pangkat lebih tinggi. Bagi orang Amerika, kesetiaan pada profesi lebih penting

daripada kesetiaan pada perusahaan.

3. Non Specialized Career Path (Tidak spesialisasi dan jalur karir luas)

Dalam manajemen Jepang, karyawan tidak akan menempuh satu jalur karir dengan spesialisasi pada bidang tertentu saja. Yang lebih sering terjadi adalah job rotation pada jabatan yang tingkatnya sama. Selain itu karena kebanyakan dari mereka sudah pernah bertugas pada berbegai departemen, maka mereka saling mengetahui kesulitan atau masalah-masalah dalam masing-masing departemen, sehingga hal ini sangat membantu mereka dalam hal melakukan diskusi antar departemen.

Sebaliknya dalam manajemen Amerika, jalur karir boleh dikatakan sangat sempit. Spesialisasi sangat diutamakan dalam career planning. Seorang salesman, misalnya, dalam karirnya ia akan bermuara pada jabatan sales manajer atau marketing manajer. Seorang karyawan accounting pada akhirnya akan menduduki karir sebagai financial manajer.

4. Concencual (Collective) Decision Making (Pengambilan Keputusan Bersama) Banyak yang menilai bahwa orang Jepang terlalu lama dalam pengambilan suatu keputusan karena setiap keputusan harus dirundingkan dahulu secara selektif. Tetapi sekali keputusan itu diambil semua staf atau karyawan akan mendukung

dan menerima secara kompak (acceptance).

Pada perusahaan Amerika, keputusan biasanya dibuat dengan cepat tetapi

biasanya justru akan menemui kesulitan dalam pelaksanaannya sebab tidak semua staf dan karyawan mengerti dengan benar apa ”rationale” (fundamental reason) di balik keputusan itu. Pada dasarnya bila seseorang merasa diikutsertakan dalam proses pengambilan suatu keputusan maka ia akan mendukung sepenuh hati pelaksanaannya.

(10)

Orang Jepang menekankan pentingnya tanggungjawab kelompok sedangkan orang Amerika lebih menekankan pada tanggung jawab pribadi daripada pencapaian target kelompok (Super tim VS Super star).

6. Implicit Control Mechanism (Mekanisme Pengawasan Melekat)

Sistem control dalam manajemen Jepang lebih bersifat “melekat” sedangkan di Amerika cenderung untuk menyuratkan segala macam kontrol dengan rinci dan tertulis. Dengan sistem kontrol yang melekat, memberi peluang bagi tiap karyawan untuk juga mengontrol dirinya sendiri.

7. Wholistic Concern (Perhatian Menyeluruh Pada Karyawan)

Manajemen Jepang memandang karyawannya sebagai manusia seutuhnya, sedangkan manajemen Amerika memandang karyawan dalam batas ikatan formalnya saja. Untuk melaksanaan kebijakan wholistic concern, dibentuk paguyuban-paguyuban yang memungkinkan atasan dan bawahan beserta keluarganya bertemu di luar tugas formal dimana masalah-masalah kesejahteraan keluarga karyawan dapat dibicarakan.

Pada contoh penerapannya, teori Z sering dilawankan antara budaya Jepang dengan budaya Amerika. Hal tersebut sangat dimaklumi karena selain pencetus idenya, William Ouchi, adalah orang Amerika yang melakukan penelitian di Jepang, juga karena memang budaya Jepang dan Amerika sangat bertolak belakang. Bila dikaitan dengan tujuh prinsip teori Z maka gaya Amerika akan sangat bertolak belakang yakni :

1. Sistem kerja jangka pendek; 2. Evaluasi dan promosi cepat;

3. Sistem bonus dan upah berdasarkan produktivitas; 4. Karier berdasarkan spesialisasi;

5. Mekanisme pengawasan: hierarki;

6. Pengambilan kepusan oleh pimpinan; 7. Tanggung jawab individual

(11)

Gambar 1

Perbandingan Gaya Amerika dan Gaya Jepang (Sumber : Sullivan, 1983)

Japanese Version American Version

Cultural Imperative Managerial Decision

Corporate Philosophy Creating Industrial Clan

Incentives

Long Term Employment Flat Hirarchies, etc Incentives

Life Time Employment, Ect

Intimacy Involvement

Cooperation Closeness

TRUST Work Groups

Employee Satisfaction And Sense of Autonomy

(12)

Gambar 1 di atas menjelaskan tentang perbedaan gaya Jepang dan gaya Amerika dalam proses ogranisasi. Kalau menurut gaya Jepang, semua berawal dari imperatif budaya, yang mampu menciptakan life time employment. Jepang dapat menciptakan life time employment karena budaya di Jepang, bekerja seumur hidup, tidak mengenal pindah-pindah kerja. Hal ini berbeda dengan gaya Amerika yang proses organisasi diawali dengan managerial decision atau keputusan manajerial. Keputusan awal ini datangnya bisa dari pemilik atau pendiri perusahaan. Keputusan ini akan menghasilkan filosofi perusahaan yang kemudian menciptakan suku-suku dalam industri. Pada gaya Amerika, setelah filosofi perusahaan terbentuk maka selanjutnya menghasilkan pendorong untuk pekerjaan jangka panjang (long term employment).

Perbedaan kedua gaya tersebut sebenarnya terletak pada bagaimana menciptakan incentives pendorong pada masing-masing gaya. Tetapi setelah incentives terbentuk maka proses berikutnya akan menghasilkan intimacy (kerukunan), involvement (keterlibatan), cooperation (kerjasama), closeness (kedekatan). Apabila keempat hal ini dapat diwujudkan maka akan ada trust antara pekerja dengan perusahaan, dan juga trust antara sesama pekerja. Dan ketika trust (kepercayaan) tersebut tercapai pada suatu organisasi selanjutnya hasil yang akan diperoleh adalah employee satisfaction (kepuasan pekerja) dan rasa memiliki. Untuk selanjutnya hasil akhirnya adalah peningkatan produktivutas organisasi.

PERBANDINGAN TEORI X, TEORI Y DAN TEORI Z

Setelah memahami masing-masing teori baik teori X, teori Y dan teori Z maka berikut akan disajikan perbandingan diantara ketiga teori tersebut. Perbandingan teori didasarkan pada asumsi motivasi pekerja, sikap pekerja atas pekerjaannya, dan respon pekerja. Berikut disajikan tabel 1 tentang perbandingan teori X, Y dan teori Z.

Tabel 1

Perbandingan Teori X, Teori Y, dan Teori Z

(13)

Sikap pekerja

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa budaya Indonesia jelas berbeda dengan budaya Jepang atau budaya Amerika. Karena itu apabila ingin menerapkan teori Z dengan budaya Jepangnya yang kental ke dalam budaya Indonesia maka perlu memodifikasi teori Z sehingga cocok dan sesuai dengan budaya Indonesia. Hal ini juga menjadi rekomendasi Hermawan Kertajaya dalam Christiananta (1994) bahwa untuk menerapkan teori Z di Indonesia perlu adanya teori Z aksen atau teori I

(Indonesia).

Sebagaimana dijelaskan Bob Widyahartono, (Christiananta, 1994), bahwa paling tidak ada tiga ciri budaya Indonesia yang berbeda dengan teori Z yakni employment. Kalau di Jepang, life time employment. Sedangkan di Indonesia, untuk wilayah perkotaan lebih cenderung middle term employment, dan untuk wilayah pedesaan lebih cenderung life time employment. Kedua, rasa tanggungjawab yang cenderung individual seperti dalam organisasi Amerika. Sedangkan yang ketiga adalah pembuatan keputusan yang lebih banyak berasal dari atas (pimpinan).

(14)

ini control atau pengendalian tetap lebih besar peranannya di pimpinan atas. Hal ini tidak mengherankan karena gaya paternalistik yang merupakan budaya bangsa Indonesia, utamanya budaya Jawa.

Modifikasi juga perlu dilakukan terhadap teori Z karena adanya perkembangan zaman yang berubah. Merujuk pada rekomendasi Pierce (1991) bahwa teori Y telah berumur lebih dari 40 tahun, teori Z telah berumur lebih dari 20 tahun. Dengan demikian mengikuti perkembangan zaman, maka teori Z juga harus dimodifikasi. Hal tersebut sangat wajar karena bagaimanapun juga manajemen harus mengikuti

perkembangan zaman. Adanya globalisasi yang telah meruntuhkan batas-batas wilayah dan negara juga harus dipertimbangkan. Globalisasi juga menghilangkan batas-batas budaya di suatu daerah. Padahal budaya sangat mempengaruhi gaya manajemen suatu bangsa.

KESIMPULAN

Sebagaimana telah di jelaskan sebelumnya bahwa budaya akan mempengaruhi gaya manajemen. Teori X, Y dan teori Z dibangun atas dasar budaya yang berbeda. Teori X berasumsi bahwa karyawan atau pekerja malas menghindari tanggung jawab sehingga harus diberi arahan, petunjuk dan di dikte. Teori Y berasumsi bahwa karyawan atau pekerja memahami pekerjaannya, senang bekerja dan mencari tanggung jawab sehingga tidak perlu diarahkan, diberi petunjuk dan tidak perlu didikte. Teori Z menjadikan karyawan bagian dari perusahaan sehingga karyawan merasa memiliki perusahaan atau organisasi tersebut.

Tujuh prinsip teori Z meliputi : 1) Life Time Employment; 2) Slow Promotion and Evaluation; 3) Non Specialized Career Path; 4) Concencual (Collective) Decision Making; 5) Colective Responsibility; 6) Implicit Control Mechanism; 7) Wholistic Concern. Ketujuh prinsip teori Z tersebut dihasilkan dari budaya Jepang sehingga menciptakan produktifitas yang tinggi. Dan bangsa Indonesia dapat memodifikasi teori Z tersebut sesuai dengan budaya Indonesia sehingga menciptakan produktifitas

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Amirullah dan Haris Budiyono. 2004. Pengantar Manajemen. Edisi Kedua Cetakan Pertama. Penerbit Graha Ilmu Yogyakarta

Braden, Pamela A. 2000. Participative Management Styles : Theory Z – William Ouchi. Parkersburg West Virginia University

Christiananta, Budiman. 1994. Teori Manajemen. Program Pascasarjana. Universitas Airlangga

_____. 1994. Some Note of Teori Z. PPS Universitas Airlangga

Cushway and Lodge. 1995. Organizational Behavior and Design. (Terjemahan). Penerbit Elex Media Komputindo

Dalimunthe, Ritha. 2003. Manajemen Indonesia. Digitized by USU digital library

Hofstede, Geert. 1991. Cultures and Organizations : Software of The Mind, Intercultural Cooperation and its Importance for Survival. Maindenhead : Mc Graw-Hill

Pierce, Gordon A. 1991. Management Philosophies : What Comes After Theory Z ? Journal of System Management. Jun 1991. ABI/INFORM Global

Robbins, Stephen P. 1996. Organizational Theory ; Structure Design and Application, 3th Ed. Prentice Hall

Sullivan, Jeremiah J. 1983. A Critique of Theory Z. Academy of Management. The Academy of Management Review. ABI/INFORM Global

(16)

Biodata Penulis

Gambar

Gambar 1  Perbandingan Gaya Amerika dan Gaya Jepang
Tabel 1 Perbandingan Teori X, Teori Y, dan Teori Z

Referensi

Dokumen terkait

Faktor kekuatan dan kelemahan terdapat dalam tubuh suatu organisasi termasuk satuan bisnis tertentu, kekuatan adalah keunggulan sumber daya relatif terhadap para pesaing

Muara Tiga Kabupaten Pidie, masih tingginya masalah gizi buruk dan kurang pada. anak balita disebabkan karena masih rendahnya tingkat

Responden atau operator menilai positif untuk variabel budaya organisasi, mereka mampu beradaptasi terhadap budaya organisasi yang tercipta, tetapi ada sebagian yang

Dengan demikian, tinggi rendahnya budaya organisasi dimensi hierarki tidak mempengaruhi jumlah umat yang menyumbang, karena jumlah umat yang menyumbang terbukti terdapat

Pada tingkat meso, persoalan kemiskinan struktural muncul disebabkan oleh rendahnya representasi kaum miskin atau organisasi yang berafiliasi dengan kaum miskin yang

 Simbol Perilaku adalah budaya organisasi yang menjadi ciri bagaimana anggota-anggota organisasi berperilaku dalam sebagian besar waktunya di perusahaan, terdiri dari

Hal lain yang menarik dari organisasi yakni bahwa organisasi merupakan sistem. terbuka yang terdiri dari subsistem-subsistem yang saling terkait dan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendahnya budaya baca pemustaka di perguruan tinggi disebabkan karena faktor kurikulum yang ada tidak mendukung pengembangan budaya baca