http://nasional.kompas.com/read/2016/05/05/09402831/Kekerasan.dan.Kultur.Patriarki
Kolom Iqrak Sulhin
Dosen Kriminologi UI
Dosen Tetap Departemen Kriminologi UI, untuk subjek Penologi, Kriminologi Teoritis, dan Kebijakan Kriminal.
Kekerasan dan Kultur Patriarki
Kamis, 5 Mei 2016 | 09:40 WIB
TOTO SIHONO Ilustrasi
Oleh: Iqrak Sulhin
Status sejumlah pelaku sebagai anak membuat persoalan ini semakin rumit. Muncul tuntutan agar para pelaku dijatuhi hukuman yang berat, bahkan sampai mewacanakan hukuman seumur hidup hingga hukuman mati.
Ada apa dengan masyarakat kita sehingga kejahatan kekerasan seksual seperti ini terjadi? Secara teoritik tentu banyak penjelasan mengenai mengapa seseorang melakukan kekerasan terhadap orang lain.
Hanya saja, mengurai mengapa sekelompok orang melakukan perkosaan hingga pembunuhan terhadap anak perempuan, kiranya penjelasan konvensional sudah tidak memadai.
Diakui atau tidak, selain adanya kemungkinan faktor psikologis dalam diri pelaku, secara sosial kekerasan juga berkaitan dengan kondisi seperti kemiskinan dan ketimpangan sosial.
Putus sekolah, tidak mempunyai pekerjaan, atau kemiskinan, membuat seseorang atau sekelompok orang memiliki pilihan terbatas dalam memenuhi kehidupannya.
Kegagalan sosial ini memberikan tekanan struktural tertentu pada individu. Tekanan ini dapat menjadi bahan bakar bagi terjadinya kejahatan kekerasan.
Pemicu bisa apa saja, seperti salah paham, atau adanya faktor kontributif lainnya seperti
pelanggaran konsumsi alkohol secara tidak bertanggung jawab, atau konsumsi terhadap apa yang dianggap sebagai pornografi.
Namun, apa yang menyebabkan kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual, tidak akan seumum itu penjelasannya. Kondisi sosial yang melatarbelakangi kejahatan tidak hanya dalam arti materialis namun juga bersifat simbolis.
Terdapat faktor lain yang lebih dalam mengakar karena dibentuk sendiri oleh masyarakat melalui praktek-praktek yang dianggap biasa atau normal.
Faktor yang dimaksud adalah pandangan terhadap perempuan atau secara konseptual dirumuskan sebagai bias gender.
Di dalam pandangan feminisme radikal, kejahatan adalah sesuatu yang berakar dan bahkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari budaya patriarki. Sebuah budaya yang menganggap laki-laki lebih utama sementara perempuan berada pada posisi subordinat.
Perempuan, dan juga anak di dalam keluarga, dilihat sebagai properti bagi laki-laki, tidak ubahnya kepemilikan terhadap harta benda.
Berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak lepas dari akar ini. Bahkan sampai berimbas pada bagaimana kekerasan tersebut diselesaikan, termasuk pada saat kasus masuk ke dalam proses peradilan pidana.
Budaya patriarki memberi legitimasi pada tindakan kekerasan yang dilakukan laki-laki. Inilah mengapa dalam pandangan feminis radikal, kejahatan adalah milik laki-laki dan bukan milik perempuan.
Adapun perkosaan adalah bentuk ekspresi tertinggi dari subordinasi perempuan, karena perkosaan merupakan perilaku agresi yang di dalamnya perempuan sebagai korban diabaikan determinasi dirinya sendiri (Griffin, 1979).
Susan Brownmiller, dalam bukunya Against Our Will: Men Women and Rape tahun 1975, mengatakan; dari masa prasejarah hingga sekarang, saya mempercayai, perkosaan telah memainkan fungsi yang kritikal.
Ilustrasi pelecehan seksual
Ini tidak lebih dari proses intimidasi secara sadar, yang melaluinya semua laki-laki membuat semua perempuan dalam keadaan ketakutan.
Menurut Brownmiller, laki-laki terlahir menjadi yang dominan secara seksual dan perbedaan biologis menjadi penyebab langsung kejahatan yang dilakukannya.
Cara pandang seperti ini tidak hanya menjelaskan mengapa perempuan mengalami kekerasan seksual, namun juga mengapa perempuan dibunuh.
Ketimpangan gender membuat perempuan lebih rentan menjadi korban kejahatan. Pada saat perempuan secara nyata menjadi korban kejahatan, maka kejahatan tersebut semakin
Demikian analisis Brownmiller mengenai relasi antara gender power disparity dan female victimization. Relasi antara kekerasan dan ketimpangan kekuasaan gender berbentuk spiral yang semakin membesar.
Kejahatan kekerasan dengan kata lain menegaskan bahwa perempuan tidak memiliki kuasa yang efektif. Pertanyaannya, bagaimana mengenali budaya patriarki itu? Bagaimana budaya patriarki bersifat kriminogenik?
Disadari atau tidak, di dalam masyarakat terkadang terdapat praktek-praktek yang justru mempertahankan ketimpangan gender.
Agen-agen yang memelihara praktek tersebut tidak mesti seseorang atau kelompok yang nyata-nyata telah memilih masuk ke dalam dunia kriminal, yang setiap hari mencopet, mencuri atau merampok dari korban perempuan. Namun termasuk agen-agen sosialisasi di dalam masyarakat, sekolah, bahkan keluarga.
Bagi agen aktif yang kriminal karir, memilih perempuan sebagai korban kejahatan jalanan adalah sebuah proses konstitutif yang secara tidak disadari telah memelihara perempuan dalam lingkar viktimisasi.
Perempuan dikonstruksi sebagai salah satu korban ideal. Inilah mengapa, dalam pandangan realis, perempuan adalah subjek yang paling rentang menjadi korban kejahatan, selain anak-anak dan orang lanjut usia.
Dampak akhir dari hal ini adalah semakin dalamnya perempuan berada dalam the state of fear, yang mungkin menurunkan kapabilitas ekonomis perempuan.
Perempuan kemudian dibuat sangat bergantung pada pemilik kuasa lain yang lebih efektif, dalam hal ini laki-laki, baik sebagai individu maupun yang direpresentasikan oleh negara. Perempuan hanya akan aman bila mendapatkan perlindungan laki-laki.
Sebagai contoh, adanya gerbong communter line khusus untuk perempuan, meskipun sangat beralasan dalam pandangan pencegahan kejahatan situasional, namun secara simbolis menegaskan bahwa perempuan subordinat.
Media massa adalah salah satu contoh agen konstitutif yang secara tidak sadar turut memelihara ketimpangan kekuasaan gender.
Iklan yang mungkin dianggap deskripsi keseharian masyarakat, sehingga dianggap biasa atau ‘normal’ justru mengamplifikasi struktur patriarkis.
Sebuah iklan detergen yang memiliki ‘tagline’ wah, mama terlihat cantik kalau mencuci, mungkin dianggap lucu karena demikianlah penggambaran peran perempuan di mata masyarakat. Tapi pertanyaannya, mengapa bukan wah, papa terlihat ganteng kalau mencuci? Dalam pandangan feminis liberal, faktor sosialisasi adalah penyebab utama terjadinya proses konstitutif ini. Budaya mengajarkan bahwa perempuan memasak dan laki-laki bekerja di luar rumah. Sosialisasi seperti ini bahkan terjadi di tingkat keluarga.
Mungkin ada yang berpandangan cara berfikir ini naif. Mereka berpendapat bahwa perkosaan justru disebabkan oleh provokasi korban, seperti menggunakan pakaian yang “minim” atau berjalan sendirian, terutama di tempat sepi atau malam hari.
Cara pandang seperti ini justru memiliki cacat epistemologis, dengan melupakan aspek kekuasaan dalam sebuah definisi situasi, yaitu kuasa wacana patriarkis dalam kesadaran individu.
Kapitalisme turut pula menyumbang pengaruh pada amplifikasi budaya patriarki. Perempuan masuk dalam proses komodifikasi. Baik perempuan sebagai tenaga kerja murah, maupun perempuan sebagai bagian dari ‘etalase barang/jasa’.
Karenanya, tidak mengherankan bila perempuan kemudian “harus” ditempelkan pada produk mobil atau motor dalam sebuah pameran. Pertanyaan esensialnya, apa fungsinya?
Kasus perkosaan dan pembunuhan terhadap ‘Y’ harus disikapi serius oleh pemerintah. Penyebabnya telah jauh melampaui faktor tekanan struktural atau adanya peran faktor situasional.