• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISA PELANGGARAN CINA TERHADAP UNITED

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISA PELANGGARAN CINA TERHADAP UNITED"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISA PELANGGARAN CINA TERHADAP UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF SEA (UNCLOS) DALAM KASUS SENGKETA DI KEPULAUAN SPRATLY

(1996-2014)

Analysis of China’s Violation on United Nations Convention on the Law of Sea (UNCLOS) in Spratly Island Dispute Case (1996-2014)

P.M. Erza Killian1, Aswin Ariyanto Azis1, Valentino Tiandhika Putra Yovia2

1Staf Pengajar Program Studi Hubungan Internasional – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya

2Alumni Program Studi Hubungan Internasional – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya

Jl. Veteran Malang 65145 Penulis Korespondensi: email val.valent.valentino@gmail.com

ABSTRACT

This research aims for analyzing China’s violation on UNCLOS in Spratly Islands Dispute Case. Spratly Island is claimed by six nations, those nations are PRC (China), Vietnam, ROC (Taiwan), the Philippines, Malaysia, and Brunei Darussalam. On this case, China violates UNCLOS, even though China has already ratified UNCLOS on 7th July 1996. For analyzing why China violates UNCLOS, this research uses Compliance-based Theory which is written by Andrew T. Guzman. The theory explains about state behaviour, and one part of them explains about why state violates international law. There are two factors that affect state behaviour, and those are reputational sanction and direct sanction. Reputational sanction divided into some parts, which are severity of the violation, reasons for the violation, knowledge of the violations, clarity of the international obligation and its violation, implicit obligations, and regime changes. Meanwhile, direct sanction consist of severity of direct sanction, applicating direct sanction on multilateral treaties, direct sanction on short terms vs long terms, and acceptance of sanction. Through many factor which is mentioned above, the result concludes that China violates UNCLOS because the effect of reputational sanction is insignificant to change China’s behaviour, beside that, there’s no direct sanction from a authorized institution which could punish China, so China violates UNCLOS. The methodology which is used by this research is a qualitative research methods that has explanative characteristic which is based on two variables. The independent variable is level of China’s violation, meanwhile the dependent variable is level of sanction which is taken by China. In the content part, author found that not all of the indicator on Compliance-based theory by Andrew T. Guzman can be proved because there is no direct sanction from authorized institution for China, beside that, some of the indicators doesn’t work properly with the fact that happened on reality.

(2)

PENDAHULUAN

United Nations Convention on the Law of Sea (UNCLOS) yang sering juga disebut sebagai hukum laut internasional merupakan sebuah acuan yang digunakan di berbagai negara di dunia untuk menentukan batas-batas wilayah laut suatu negara. Menurut data yang penulis dapatkan dari PBB, tercatat ada 166 negara yang telah meratifikasi UNCLOS. Namun, dalam penerapannya UNCLOS memiliki beberapa celah yang mengakibatkan terjadinya saling klaim wilayah di beberapa negara, salah satunya terjadi di kepulauan Spratly.

Kepulauan Spratly diperebutkan oleh 6 negara diantaranya adalah Cina, Filipina, Vietnam, Malaysia, Taiwan, dan Brunei Darussalam. Keenam negara tersebut, termasuk Cina telah menandatangani dan meratifikasi UNCLOS. Cina meratifikasi UNCLOS pada tanggal 7 Juni 1996.

Dalam kasus sengketa kepulauan Spratly, ada dua macam dasar yang digunakan oleh keenam negara tersebut, yang pertama adalah pengakuan kepulauan Spratly didasarkan pada prinsip res nullius yang terdapat pada konferensi Berlin 1885, yang kedua didasarkan pada hukum laut internasional UNCLOS 1982 yang berlaku hingga saat ini. Cina melakukan klaim berdasarkan prinsip res nullius dari konferensi Berlin 1885. Konsep res nullius telah diperbaharui di dalam UNCLOS, dimana dalam konsep res nullius yang berlaku di UNCLOS, negara hanya bisa melakukan effective occupation terhadap pulau-pulau yang masuk dalam jangkauan ZEE masing-masing negara.

Cina menyatakan bahwa kepulauan Spratly adalah bagian dari Cina sejak masa dinasti Xia (abad ke-21 sampai ke-16 sebelum masehi) hingga masa dinasti Qing (tahun 1644 hingga 1911). Terdapat

bermacam-macam artifak yang

membuktikan bahwa kepulauan Spratly adalah bagian dari Cina, mulai dari buku sejarah, sajak, tulisan. Bukti terkuat yang dijadikan oleh dasar adalah peta kepulauan Spratly dari masa dinasti Han tahun 206 sebelum masehi. Jika kita melihat posisi Cina didasarkan pada UNCLOS, sebenarnya klaim Cina tidak berdasar, karena menurut garis batas bagian selatan terluar yang dimiliki Cina berjarak kurang lebih 900 mil dari kepulauan Spratly, sementara itu Cina juga telah meratifikasi UNCLOS.

Penelitian ini menggunakan Compliance-based Theory yang ditulis oleh Andrew T. Guzman dimana terdapat dua aspek, yang salah satu diantaranya adalah mengapa negara melanggar hukum internasional. Negara akan cenderung patuh apabila ada cost besar yang harus dibayar ketika negara melakukan suatu pelanggaran. Cost tersebut terdiri dari dua macam yaitu Reputational Sanction dan Direct Sanction.

Reputational Sanction

(3)

maka negara tersebut tidak akan mendapat reputasi buruk dari aktor lain, melainkan hanya mendapat reputasi buruk dari negara yang ia rugikan. Bagaimana kejelasan tentang hukum internasional dan pelanggaran apa yang dilakukan sangat berpengaruh terhadap tingkatan reputational loss yang didapat oleh negara. Semakin tidak jelasnya aturan dalam hukum internasional tersebut, semakin kecil reputational loss yang didapat oleh negara tersebut. Pelanggaran implisit terhadap hukum internasional adalah pelanggaran terhadap norma-norma internasional yang berlaku dalam sistem internasional, meskipun hal tersebut tidak tertulis di dalam hukum internasional yang telah diratifikasi oleh negara tersebut. Jika mereka melanggar aturan-aturan implisit tersebut, maka mereka juga bisa mendapatkan reputational loss sebagai akibat dari pelanggaran implisit tersebut. Ketika sebuah negara sudah terkena dampak reputational loss sebagai akibat dari pelanggaran yang dilakukannya, bukan berarti reputational loss yang diterima oleh negara tersebut tidak akan hilang. Reputational loss dapat hilang seketika di saat negara melakukan perubahan rezim (Andrew, 2002: 40-44).

Direct Sanction

Direct Sanction sebagian besar terjadi sebagai dampak lanjutan dari Reputational

Sanction yang bisa terjadi ketika

pelanggaran yang terjadi merupakan

sebuah pelanggaran yang berdampak besar bagi negara yang menjadi korban. Direct Sanction juga bisa menjadi senjata ampuh agar negara tidak melanggar hukum internasional yang telah disepakati. Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan Direct Sanction dalam membuat negara tunduk terhadap hukum internasional yang berlaku. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah kerasnya Direct Sanction yang diberikan. Semakin keras Direct Sanction yang diberikan, maka cendara akan cenderung menghindari pelanggaran dan lebih patuh. Untuk penerapan Direct Sanction pada perjanjian bilateral vs multilateral, penerapannya akan lebih efektif bila dilakukan dalam perjanjian bilateral. Selain itu, Direct Sanction akan berjalan efektif ketika negara memikirkan hubungan jangka panjang dengan para aktor lain. Ketika negara hanya memikirkan hubungan simpel jangka pendek, maka Direct Sanction tidak akan berjalan optimal. Acceptance of Sanction juga merupakan salah satu faktor dari keberhasilan sebuah Direct Sanction. Ketika negara yang melanggar memiliki kemauan untuk menerima sanksi tersebut, maka Direct Sanction dapat diaplikasikan secara optimal (Andrew, 2002: 44-51).

Untuk mengoperasionalisasikan teori ini, penulis telah merumuskan tabel operasionalisasi dari Compliance-based Theory:

Jenis Sanksi Faktor Indikator

Besarnya pelanggaran

yang dilakukan

Pelanggaran besar:

1. Kontak senjata (clash)

2. Penempatan pasukan militer

Pelanggaran kecil:

(4)

Reputational Sanction

Alasan Pelanggaran

Diterima atau tidaknya argumen

Cina mengenai pelanggaran

yang dilakukannya oleh victim

country

Aktor lain yang

mengetahui pelanggaran

Keberadaan saksi dari negara

lain dalam kasus pelanggaran

tersebut

Kejelasan hukum internasional

dan pelanggaran yang dilakukan

Tingkat ambiguitas UNCLOS

dan tingkat ambiguitas pelanggaran

Implicit Obligation Mundur tidaknya Cina dari UNCLOS

Perubahan Rezim

Pergantian menteri pertahanan:

1.Chi Haotian (1993-2003)

2. Cao Gangchuan (2003-2008)

3. Liang Guanglie (2008-2013)

4. Chang Wanquan (2013-sekarang)

Direct Sanction

Kerasnya direct sanction

yang diberikan

Ada tidaknya direct sanction keras

dari institusi berwenang yang mampu

membuat Cina jera ketika melanggar

Penerapan direct sanction dalam

perjanjian multilateral

Dampak direct sanction yang

diberikan oleh victim country

terhadap Cina dan dampak direct

sanction yang diberikan oleh

institusi atau multiple countries

Direct sanction untuk hubungan

jangka pendek atau panjang

Motivasi Cina bergabung dengan

PBB sebagai institusi yang

menaungi UNCLOS

Kemauan negara untuk

menerima sanksi

Tindakan Cina terhadap sanksi

yang diberikan oleh victim country

maupun institusi yang berwenang

(5)

Penulis menduga bahwa negara akan patuh terhadap hukum Internasional jika sanksi dari hukum Internasional tersebut dapat berjalan optimal. Dalam kasus di kepulauan Spratly, pelanggaran yang dilakukan oleh Cina tidak sebanding dengan sanksi yang Cina peroleh atas pelanggaran yang dilakukannya. Cina melanggar UNCLOS karena tidak ada sanksi yang diterima oleh Cina baik itu reputational sanction maupun direct sanction.

Metode penelitian dalam jurnal ini bersifat eksplanatif dimana penulis akan menjelaskan mengapa Cina melanggar UNCLOS dalam kasus sengketa di kepulauan Spratly. Penelitian ini terdiri dari dua variabel. Variabel yang pertama adalah variabel independen, yaitu tingkat pelanggaran yang dilakukan, sedangkan variabel dependen yang mengikutinya adalah tingkat sanksi yang diterima. Indikator dari kedua variable tersebut adalah Compliance-based Theory yang digunakan penulis sebagai landasan teoritis. Topik pada skripsi ini yaitu tentang alasan Cina melanggar UNCLOS dalam kasus sengketa di kepulauan Spratly. Batasan waktu yang digunakan adalah tahun 1996 hingga 2014. Penulis memilih tahun 1996 hingga 2014, karena pelanggaran dilakukan oleh Cina meskipun Cina telah meratifikasi UNCLOS pada tahun 1996. Teknik analisa data yang digunakan dalam skripsi ini adalah teknik analisa data kualitatif.

ANALISA PELANGGARAN CINA

TERHADAP UNCLOS Reputational Sanction

Pelanggaran Cina terhadap UNCLOS yang masuk kedalam kategori pelanggaran besar adalah ketika Cina melakukan okupasi dan membangun pangkalan militer di Mischief Reef yang berlangsung pada tahun 1996 dan 1998. Pelanggaran besar

yang kedua terjadi pada tahun 2011 dimana Cina secara sengaja menghentikan kegiatan kapal eksplorasi minyak milik Vietnam yang sedang melakukan eksplorasi di dekat kepulauan Spratly yang masih masuk dalam cakupan ZEE Vietnam. Kedua pelanggaran ini menyebabkan peningkatan tensi regional yang terbutki dengan adanya peningkatan tajam anggaran militer di negara-negara yang bersengketa di kepulauan Spratly.

Disamping pelanggaran besar yang dilakukan oleh Cina diatas, terdapat pula beberapa pelanggaran Cina dalam skala yang lebih kecil. Pelanggaran kecil yang dilakukan oleh Cina adalah masuknya kapal nelayan Cina ke ZEE Filipina tanpa izin di Scarborough Shoal pada tahun 1997. Di tahun yang sama, Cina mengirim tiga kapal perang Cina untuk melakukan okupasi di Panata dan Kota Island yang sebelumnya telah diokupasi oleh Filipina terlebih dahulu. Selain itu, Cina masuk ke area perairan Scarborough Shoal yang menjadi area ZEE Filipina pada tahun 1998 tanpa izin. Pelanggaran kecil yang ke-4 terjadi di tahun 2011 ketika Cina membangun instalasi perluasan jaringan telepon selular di area kepulauan Spratly. Pelanggaran kecil yang dilakukan Cina terkini adalah masuknya nelayan Cina ke daerah Half Moon Shoal yang masih merupakan area ZEE Filipina.

(6)

yang besar, maka reputational sanction yang Cina terima cukup besar. Hal ini terbukti ketika Cina dianggap sebagai threat oleh victim country dan negara di sekitarnya. Namun, ketika pelanggaran yang dilakukan oleh Cina relatif kecil, maka reputational sanction yang diterima oleh Cina juga kecil, dan tidak ada pengaruh terhadap kebijakan negara di sekitar victim country.

Diterima atau tidaknya alasan Cina ketika melanggar, akan mempengaruhi besaran reputational sanction yang diterima. (Andrew, 2002: 41). Pada tahun 2011, Cina memperluas jaringan telepon selularnya hingga mencakup daerah di kepulauan Spratly. Cina berargumen bahwa perluasan jaringan tersebut dilakukan untuk tujuan kemanusiaan, yakni untuk mempermudah penyelamatan ketika terjadi kecelakaan laut. Argumen Cina yang didasarkan pada tujuan kemanusiaan tersebut membuat reputational sanction yang diterima oleh Cina kecil, meskipun sebelumnya Cina mendapat protes dari lebih dari satu negara. Hal ini terbukti, meskipun Cina diprotes oleh negara claimant lainnya, namun tidak ada satupun dari negara claimant tersebut yang mengubah kebijakan mereka.

Berbeda halnya ketika terjadi pemutusan kabel eksplorasi minyak kapal Vietnam oleh Cina yang terjadi pula pada tahun yang sama. Cina berargumen bahwa hal tersebut ia lakukan karena Vietnam telah masuk ke dalam area yuridiksi Cina, dan Vietnam tidak berhak untuk melakukan eksplorasi disana. Sementara itu, area tersebut masih masuk dalam area ZEE Vietnam yang diakui secara internasional menurut UNCLOS. Argumen tersebut tentu tidak dapat diterima, baik oleh Vietnam sebagai victim country, maupun negara lain yang mengakui wilayah tersebut sebagai wilayah Vietnam

yang sah secara hukum internasional UNCLOS. Maka dari itu, Cina mendapatkan reputational sanction yang cukup besar, tidak hanya dari victim country, melainkan dari negara-negara di sekitar victim country.

Menurut Andrew, ada tidaknya saksi dari negara lain ketika terjadi pelanggaran akan mempengaruhi besaran sanksi yang diterima oleh negara tersebut (Andrew, 2002: 41-42). Pada tahun 1998, Cina memperluas pembangunan instalasi di area Mischief Reef. Pembangunan instalasi tersebut berlangsung tanpa izin dari Filipina selaku pemilik ZEE disana. Pembangunan pangkalan militer berupa landasan pesawat tempur di area kepulauan Spratly ini juga diketahui oleh negara-negara lain seperti Malaysia dan Vietnam ketika melintas di daerah tersebut. Pada tahun 2011, Cina mengumumkan perluasan jaringan telepon selulernya hingga ke kepulauan Spratly. Meskipun banyak negara claimant yang mengetahui dan menjadi saksi atas pelanggaran ini, tetapi reputational sanction yang diterima oleh Cina tidak terpengaruh oleh hal tersebut.

(7)

hanya mendapatkan reputational sanction dari Filipina melalui pelanggaran tersebut.

Melalui berbagai contoh kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa ada tidaknya saksi yang mengetahui pelanggaran Cina tidak mempengaruhi besaran reputational sanction yang diterima oleh Cina. Menurut penulis, ada tidaknya saksi dari negara lain tidak berpengaruh secara signifikan terhadap besaran reputational sanction yang diterima oleh Cina, karena ada tidaknya saksi tidak mengurangi atau menambah dampak kerugian yang ditimbulkan oleh pelanggaran tersebut. Faktor-faktor lain seperti argumen Cina, dan besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan tersebut yang berpengaruh terhadap besaran reputational sanction yang diterima oleh Cina baik dari victim country maupun negara lain.

Kejelasan suatu hukum internasional dan kejelasan pelanggaran yang dilakukan oleh negara akan mempengaruhi besaran reputational sanction yang nantinya diterima oleh negara tersebut (Andrew, 2002: 42). Namun dalam hal ini, semua aturan yang ada di dalam UNCLOS sudah jelas tercantum dalam tiap pasal-pasalnya. Pelanggaran yang dilakukan oleh Cina mulai dari tahun 1996 hingga 2014, semuanya jelas melanggar beberapa pasal yang ada di dalam UNCLOS. Bila disimpulkan, tidak ada pasal-pasal UNCLOS yang ambigu ketika dilanggar oleh Cina. Semua pelanggaran Cina jelas menyalahi berbagai pasal yang ada di UNCLOS. Oleh karena itu, reputational sanction yang didapatkan oleh Cina, sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya.

Ketika negara melakukan pelanggaran terhadap norma-norma internasional yang tidak tercantum dalam konvensi, meskipun hal itu tidak secara jelas ditulis di dalam konvensi, maka negara yang melanggar tersebut akan mendapatkan reputational sanction dari negara lain. Salah satu bentuk

implicit obligation adalah ketika negara yang sudah melakukan ratifikasi terhadap suatu konvensi, tiba-tiba mengundurkan diri (Andrew, 2002: 42-43).

Melalui data yang didapatkan oleh penulis, Cina belum pernah sekalipun mengundurkan diri dari UNCLOS terhitung sejak Cina meratifikasi UNCLOS dari tahun 1996 hingga 2014. Dalam daftar list anggota yang melakukan ratifikasi terhadap UNCLOS, nama Cina masih tertulis, dan tidak ditemukan catatan apapun mengenai kemunduran Cina dari UNCLOS. Oleh karena itu, pada poin ini penulis tidak dapat melakukan pembuktian terhadap ada tidaknya reputational loss yang didapatkan oleh Cina sebagai akibat dari pengunduran diri Cina dari UNCLOS.

Menurut Andrew, adanya perubahan rezim dapat menghilangkan reputational sanction yang pernah terjadi sebelumnya (Andrew, 2002: 43-44). Berdasarkan berbagai pelanggaran yang terjadi di empat rezim yang berbeda, dapat disimpulkan

bahwa perubahan rezim dapat

(8)

Spratly kembali agresif, sehingga Cina kembali mendapatkan reputational sanction yang cukup besar pada tahun 2011. Terakhir pada rezim Chang Wanquan, reputational sanction yang diperoleh Cina berkaitan dengan konflik Spratly berkurang, karena pelanggaran yang dilakukan di masa ini juga bukan merupakan pelanggaran serius.

Direct Sanction

Semakin keras direct sanction yang diberikan oleh suatu institusi terhadap suatu pelanggaran yang dilakukan oleh suatu negara, akan mempengaruhi perilaku negara untuk lebih patuh terhadap hukum internasional yang berlaku. Cina akan lebih patuh terhadap UNCLOS bila Cina mendapatkan direct sanction dari institusi yang berwenang dan memiliki kredibilitas tinggi untuk memberikan punishment kepada Cina (Andrew, 2002: 44-47).

Berdasarkan pengamatan penulis dari beberapa peristiwa pelanggaran yang dilakukan oleh Cina, penulis menyimpulkan bahwa direct sanction dari victim country sangatlah minim, dan hanya sebatas direct sanction yang ringan. Direct sanction yang diberikan oleh victim country hanya sebatas penangkapan terhadap individu yang melanggar, dan tidak ada direct sanction keras dari victim country. Hanya Filipina yang berani melapor kepada ITLOS, dan itupun hanya sebatas bertanya mengenai nine-dashed line, bukan laporan terhadap pelanggaran yang dilakukan Cina, sehingga Cina tidak jera dan kembali melakukan pelanggaran.

Ketika negara hendak melakukan pelanggaran, negara akan memikirkan apakah pelanggaran tersebut akan memiliki dampak jangka panjang atau pendek. Untuk itu, negara memiliki kecenderungan untuk patuh apabila negara memikirkan hubungan jangka panjang dengan konvensi

tersebut (Andrew, 2002: 48-50). Berdasarkan sumber yang didapatkan oleh penulis, motivasi Cina untuk bergabung di PBB adalah untuk membentuk hubungan jangka panjang. Hal ini tersirat dalam tulisan Susan Tieh, bahwa keberadaan Cina di PBB merupakan suatu upaya untuk mewujudkan national interest Cina yaitu menciptakan image bahwa Cina adalah bagian dari global power dan Cina berusaha untuk menandingi kekuatan negara hegemon yaitu AS (Tieh, 2004: 1-10). Melalui tulisan tersebut, motivasi Cina untuk bergabung di PBB adalah untuk

mengimbangi hegemoni AS dan

membutuhkan jangka waktu yang lama untuk mewujudkan hal tersebut.

Meskipun motivasi Cina bergabung di PBB merupakan motivasi hubungan jangka panjang, namun Cina tetap melakukan pelanggaran pasca-ratifikasi UNCLOS. Dapat disimpulkan bahwa motivasi Cina bergabung dengan PBB untuk jangka panjang tidak mempengaruhi perilaku Cina terhadap UNCLOS, dan tidak membuat Cina takut terhadap direct sanction yang mungkin dapat diterima akibat pelanggaran tersebut yang dapat mempengaruhi hubungan jangka panjang Cina dengan PBB. Cina tetap tidak patuh terhadap UNCLOS meskipun Cina sendiri tergabung dalam United Nations UNSC yang berfungsi untuk menjaga perdamaian.

Pada peristiwa pelanggaran Cina di tahun 1997, 1998, dan 2014, direct sanction hanya dijatuhkan pada individu yang menjadi pelaku illegal fishing, bukan pada pemerintah Cina. Dapat disimpulkan bahwa direct sanction yang diberikan oleh

victim country tidak menghasilkan

(9)

negara, sehingga penulis tidak dapat membuktikan apakah direct sanction dari satu negara dapat menyebabkan retaliatory sanction, karena tidak sesuai dengan direct sanction yang dimaksud oleh Compliance-based Theory. Direct sanction yang dimaksud dalam Compliance-based Theory adalah direct sanction pada level negara, bukan individu. Tidak adanya direct sanction dari institusi menyebabkan penulis tidak dapat membuktikan apakah Cina mau menerima direct sanction dari institusi atau tidak.

KESIMPULAN

Penelitian ini menjawab pertanyaan mengapa Cina melakukan pelanggaran terhadap UNCLOS dalam sengketa di kepulauan Spratly. Pada hipotesa yang dikatakan sebelumnya, penulis mengatakan bahwa tidak ada sanksi yang diterima oleh Cina baik itu reputational sanction maupun direct sanction, sehingga Cina melakukan pelanggaran. Namun, setelah penulis melakukan penelitian lebih lanjut, penulis menemukan bahwa Cina mendapatkan reputational sanction dari beberapa negara, namun tidak mendapatkan direct sanction, oleh karena itu Cina melakukan pelanggaran terhadap UNCLOS.

Ada beberapa faktor yang

menyebabkan Cina melakukan

pelanggaran. Pertama, Cina kerap kali menjadikan konsep res nullius yang terdapat di konferensi Berlin 1885 untuk melakukan klaim terhadap kepulauan Spratly berdasarkan sejarah. Sementara itu, konsep res nullius sendiri telah berubah sejak adanya UNCLOS. Cina telah meratifikasi UNCLOS, maka dari itu, otomatis Cina juga harus mematuhi konsep terbaru, yang berlaku di UNCLOS. Faktor kedua, tidak adanya aturan jelas mengenai sanksi, dan institusi yang berhak menghukum para pelanggar UNCLOS. Di dalam UNCLOS hanya terdapat pasal

mengenai penyelesaian sengketa, dan tidak ada sanksi tertulis mengenai apa yang harus dibayar oleh pelanggar ketika melakukan pelanggaran. Hal tersebut kemudian yang menyebabkan Cina tidak mendapatkan direct sanction apapun dari institusi yang berwenang.

Setelah berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh Cina, Cina hanya sebatas mendapatkan reputational sanction, baik itu dari victim country maupun negara di sekitarnya. Sementara itu, reputational sanction yang diterima oleh Cina ini tidak berpengaruh signifikan terhadap perilaku Cina. Hal ini terbukti dengan adanya pelanggaran-pelanggaran yang terus dilakukan oleh Cina mulai dari tahun 1996 hingga 2014. Tidak menutup kemungkinan bahwa Cina akan terus melanggar, selama Cina tidak mendapatkan direct sanction yang keras dari institusi yang berwenang, karena reputational sanction tidak menimbulkan cost yang signifikan bagi Cina.

Berdasarkan paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa reputational sanction tidak memiliki pengaruh signifikan dalam mempengaruhi perilaku Cina agar patuh terhadap UNCLOS. Sementara itu, tidak ada direct sanction dari institusi yang berwenang kepada Cina. Cina melanggar UNCLOS karena tidak ada direct sanction dari institusi yang berwenang.

DAFTAR PUSTAKA

Andrew T. Guzman, A Compliance-Based Theory of International Law, 90 Cal. L. Rev. 1823 (2002). Diunduh melalui http://scholarship.law.berkeley.edu/f acpubs/2076 diakses pada tanggal 1 Juli 2014.

(10)

Kualitatif dan Kuantitatif.

Laboratorium Pengembangan

Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro, Semarang.

Diunduh melalui:

http://eprints.undip.ac.id/577/1/FIL SAFAT_DAN_METODE_PENELITIA N_KUALITATIF.pdf diakses pada tanggal 21 Juli 2014.

China Vitae. 2015. Chi Haotian. Diunduh melalui

http://www.chinavitae.com/biograp hy/Chi_Haotian/full diakses pada tanggal 14 Januari 2015.

Christopher C. Joyner. 2000. The Spratly Islands Dispute in the South China Sea:Problems, Policies, and Prospects for Diplomatic Accommodation. Diunduh melalui

http://www.stimson.org/images/upl

oads/research-pdfs/cbmapspratly.pdf. Diakses pada tanggal 10 Januari 2015.

CIA. 2014. Spratly Island. Diunduh melalui https://www.cia.gov/library/publica

tions/the-world-factbook/geos/pg.html diakses pada tanggal 1 Juli 2014.

Djalal, Hasjim. 2000. South China Sea Island Disputes. The Raffles Bulletin of Zoology 2000 Suplement No. 8:9-21. Diunduh melalui

http://lkcnhm.nus.edu.sg/rbz/biblio /s8/s08rbz009-021.pdf. Diakses pada tanggal 25 Januari 2015.

Furtado, Xafier. 1999. International Law and the Disputes over Spratly Island: Whither

UNCLOS? Contemporary Southeast

Asia, Volume 21, Number 3. Diunduh melalui

http://www.jstor.org/discover/10.23 07/25798466?uid=3738224&uid=2134& uid=2482562927&uid=2&uid=70&uid=

3&uid=2482562917&uid=60&purchase

-type=none&accessType=none&sid=21 104355893317&showMyJstorPss=false &seq=1&showAccess=false diakses pada tanggal 1 Juli 2014.

Gopalakrishnan, Raju. 2014. Tension Surge in S. China Sea as Philippines seizes

Chinese Boat. Diunduh melalui

http://in.reuters.com/article/2014/05

/07/china-seas-fishermen-idINKBN0DN0DM20140507 Diakses pada tanggal 23 November 2014. http://www.un.org/depts/los/refere nce_files/chronological_lists_of_ratific ations.htm diakses pada tanggal 1 Juli 2014.

Klare, Michael. 2002. Resource Wars: The New Landscape of Global Conflict. New York: Owl Books.

Mansfield, Ian. 2011. China Mobile Expands Coverage to the Spratly Islands. Diunduh melalui http://www.cellular-news.com/story/49219.php Diakses pada tanggal 23 November 2014.

Mas’oed, Mohtar. 1990. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. LP3ES. Jakarta.

Pike, John. 2014. Spratly Skirmish – 1988.

Diunduh melalui

http://www.globalsecurity.org/milita ry/world/war/spratly-1988.htm diakses pada tanggal 19 November 2014.

Saleem, Omar. 2000. The Spratly Islands

Dispute: China Defines the New

Millennium. American University

(11)

Santolan, Joseph. 2011. Chinese patrol boats confront Vietnamese oil exploration ship in South China Sea. Diunduh melalui http://www.wsws.org/en/articles/20 11/05/chin-m31.html Diakses pada tanggal 23 November 2011.

Storey, Ian. 2013. Japan’s Growing Angst over the South China Sea. Singapore: ISEAS Perspective.

Tieh, Susan. 2004. China in the UN: United with Other Nations? Stanford Journal of East Asian Affairs Vol 4, No. 1 Diunduh melalui

http://web.stanford.edu/group/sjeaa /journal41/china1.pdf. Diakses pada tanggal 18 Januari 2015.

UN. 2013. Chronological lists of ratifications of, accessions and successions to the Convention and the related Agreements as at 29 Oktober 2013. Diunduh melalui

Yann-huei Song dan Keyuan Zou. 2014. Major Law and Policy Issues in the South China Sea: European and American

Perspectives. Farnham: Ashgate

Gambar

Tabel 1. Tabel Operasionalisasi Compliance-based Theory

Referensi

Dokumen terkait

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh

menciptakan suatu pemikiran yang baru karena kita memiliki pengetahuan- pengetahuan yang didapat dari bahasa(Kosasih, 2013). Bahasa sebagai alat kontrol sosial di

Klien lanjut usia yang pasif atau tidak dapat bangun yang mengalami kelumpuhan9.

Salah satu metode yang dapat digunakan dalam penjadwalan mata pelajaran adalah dengan menggunakan hibridisasi algoritme genetika dan simulated annealing (GA-SA)

Dari pengujian terhadap benda uji genteng beton dengan umur 28 hari didapat kuat lentur rata-rata seperti pada tabel 4.4 untuk data hasil perhitungannya terdapat pada lampiran..

[r]

Kajian yang dijalankan adalah untuk mengenal pasti tahap kefahaman konsep pelajar Tahun Akhir Program Pendidikan Fizik dalam memahami dan mengaplikasikan konsep

Budaya merupakan suatu komponen yang sangat berarti bagi suatu bangsa karena budaya merupakan perekat bangsa dan menjadi ciri khas dari suatu negara.Dengan adanya kebudayaan maka