• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH TENTANG KASUS PETRUS SANG PENEMB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH TENTANG KASUS PETRUS SANG PENEMB"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH TENTANG KASUS PETRUS

PENEMBAK MISTERIUS DI ZAMAN ORDE

BARU

Oleh : IRA WASILATUL LUSIANA INDRASWATI

LELI ITA GALUH NUR DIANA VELESIA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. karena atas izin-Nyalah yang telah melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya, memberikan kecerdasan ilmu dan wawasan, sehingga Penulis dapat menyelesaikan analisis kasus yang berjudul “Tragedi Kasus PETRUS (Penembakan Misterius)” yang merupakan salah satu tugas mata kuliah Hak Asasi Manusia. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada nabi Muhamad SAW, kepada keluarganya, para sahabatnya, serta mudah-mudahan sampai kepada kita selaku umatnya. Amin. Semua pihak yang turut membantu Penulis dalam pembuatan analisis kasus ini ini baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Identifikasi Masalah

1.3 Rumusan Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Landasan Hukum Teori tentang HAM BAB III ANALISIS KASUS

Kronologis Kasus Analisis Kasus BAB IV PENUTUP

(4)
(5)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hak Asasi Manusia (HAM) mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia karena persoalannya berkaitan langsung dengan hak dasar yang dimiliki manusia yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, karena itu pada dasarnya setiap manusia memiliki martabat yang sama maka, dalam hal hak asasi mereka harus mendapat perlakuan yang sama, walaupun kondisi mereka berbeda-beda. Martabat manusia, sebagai substansi sentral hak-hak asasi manusia di dalamnya mengandung aspek bahwa manusia memiliki hubungan secara eksistensial dengan Tuhannya (Al-Hakim,dkk, 2012 : 60).

Berlatar dari pengertian HAM diatas maka dapat disimpulkan bahwa setiap manusia memiliki martabat yang sama tanpa ada pembeda baik itu dari kondisi maupun status sosial mereka di masyarakat. Pemerintah sebagai institusi yang diamanati kekuasaan oleh rakyat bertugas dalam penjaminan hak-hak warga negaranya. Tujuan nasional dalam menegakkan HAM tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi,

“Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut serta ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan , perdamaian abadi dan keadilan sosial”

Namun jaminan atas hak-hak dasar tersebut harus tercoreng oleh peristiwa PETRUS (Penembakan Misterius) yang dianggap sebagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa pada saat itu. Korban yang tewas dalam peristiwa tersebut sebagian besar merupakan preman atau mereka yang melawan kekuasaan Orde Baru, residivis atau mantan narapidana, dan orang yang diadukan sebagai penjahat.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis dapat menarik beberapa permasasalahan yang menimbulkan peristiwa Petrus :

Perintah Presiden Soeharto yang meminta Polisi dan ABRI untuk megambil tindakan efektif dalam rangka menekan angka kriminalitas yang terjadi di Indonesia.

Presiden Soeharto beranggapan bahwa penembakan yang dilakukan terhadap para korban yang sebagian besar merupakan preman atau mereka yang melawan

(6)

keamanan nasional dengan tindakan-tindakan kriminal yang mereka lakukan dan tindakan penembakan tanpa adanya proses hukum yang berlaku seolah-olah dianggap legal.

Selain ditembak dan ditikam, mayat para korban juga dibiarkan tergeletak di pinggir jalan atau di tempat-tempat umum yang berpotensi keramaian guna memberikan efek psikologis pada masyarakat untuk tidak melakukan tindakan kriminal.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

Bagaimana kronologis terjadinya peristiwa PETRUS (Penembakan Misterius)? Apa yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa PETRUS (Penembakan Misterius)? Pasal apa saja yang dilanggar oleh pemerintah selama terjadinya peristiwa PETRUS (Penembakan Misterius)?

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Landasan Hukum

Pasal-pasal yang dilanggar dalam peristiwa Petrus :

Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan : “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”

Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan: “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana rnati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”

Pasal 344 KUHP tentang pembunuhan: “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”

Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, penyiksaan diartikan sebagai tindakan yang dengan sengaja dan melawan hukum menimbulkan

kesakitan atau penderitaan yang berat, baik fisik maupun mental, terhadap seorang tahanan atau seseorang yang berada di bawah pengawasan.

Pasal 354 KUHP tentang Penganiayaan :

(1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

(7)

Pasal 355 KUHP tentang Penganiayaan :

(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lams lima belas tahun.

Teori tentang HAM

Menurut Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal (1), bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Hak itu merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Dalam bagian Pendekatan dan Substansi TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dijelaskan bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia, dan masyarakat yang tidak boleh diabaikan, dirampas, atau diganggu gugat oleh siapapun.

Dalam konteks HAM, peristiwa Petrus (Penembakan Misterius) ini masuk ke dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan dalam UU No. 39 Th 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dalam pasal 104 ayat (1) Yang dimaksud dengan “pelanggaran hak asasi manusia yang berat” adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic diserimination).

BAB III

ANALISIS KASUS

Kronologis Kasus

Penembakan misterius atau sering disingkat Petrus (operasi clurit) adalah suatu operasi rahasia dari Pemerintahan Suharto pada tahun 1980-an untuk

(8)

Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah “petrus” (penembakan misterius).

Petrus berawal dari operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982, Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keberhasilan membongkar perampokan yang meresahkan

masyarakat. Pada Maret tahun yang sama, di hadapan Rapim ABRI, Soeharto

meminta polisi dan ABRI mengambil langkah pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982. Permintaannya ini disambut oleh Pangopkamtib Laksamana

Soedomo dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di masing-masing kota dan provinsi lainnya.

Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. Para korban Petrus sendiri saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan. Petrus pertama kali dilancarkan di Yogyakarta dan diakui terus terang M Hasbi yang pada saat itu menjabat sebagai Komandan Kodim 0734 sebagai operasi pembersihan para gali (Kompas, 6 April 1983). Panglima Kowilhan II Jawa-Madura Letjen TNI Yogie S. Memet yang punya rencana

mengembangkannya. (Kompas, 30 April 1983). Akhirnya gebrakan itu dilanjutkan di berbagai kota lain, hanya saja dilaksanakan secara tertutup.

Menurut Bhati salah seorang target yang selamat, mereka yang melawan langsung ditembak di tempat. Di berbagai tempat, orang menemukan mayat dengan luka tembak pada pagi hari—sebagian besar bertato. Ketakutan pun menyebar hingga 1985.

Dari para tentara dan polisi yang ia kenal akrab, Bathi Moelyono tahu ia masuk sasaran tembak. Sejak itu, ia tak lagi tidur di rumah sendiri. Ia menghabiskan malam di langit-langit rumah tetangga. Belakangan, dari kota kediamannya, Semarang, Bathi ke Jakarta, menghadap orang yang ia sebut sebagai “Number One”, yakni Ali Moertopo.

Tokoh “Operasi Khusus” ini ketika itu telah menjadi Wakil Ketua Dewan

(9)

Tapi tetap saja Bathi tak merasa aman. “Mungkin penguasa saat itu menganggap tugas saya sudah selesai dan tiba saatnya untuk dihabisi,” Bathi mengenang.

Selama sepuluh tahun Bhati berpindah-pindah, awalnya ke lereng Gunung Lawu di wilayah Magetan, Jawa Timur, lalu ke Jakarta, Bogor, dan sejumlah tempat lain. Ia setidaknya tujuh kali berganti nama: Edi, Hari, Budi, Agus, dan berbagai nama pasaran lain.

Bathi lahir di Semarang, 1947, tanpa catatan tanggal dan bulan akibat buruknya administrasi. Ia mandek di kelas dua Sekolah Menengah Pertama Taman Siswa, Semarang. Pada 1968, ia terlibat pembunuhan di Semarang, katanya bukan bermotif perampokan. Bathi diganjar hukuman penjara hingga 1970.

Keluar dari penjara, ia direkrut Golongan Karya menjadi anggota Tim Penggalangan Monoloyalitas Serikat Buruh Terminal dan Parkir Kota Madya Semarang. Ketika itu, Orde Baru gencar melembagakan monoloyalitas pada semua elemen masyarakat. Intinya: setia hanya kepada Golkar.

Dalam tim itu, Bathi bertugas mengajak preman dan wong cilik Semarang memilih Golkar dalam Pemilu 1971. Pada 1975-1980, ia mengetuai serikat buruh terminal dan parkir Semarang, lalu diangkat menjadi kader Golkar Jawa Tengah pada 1976. Pada Pemilu 1977, Bathi kembali menjadi motor penggalang suara preman dan masyarakat jelata agar mencoblos Golkar. “Istilahnya kami bina,” katanya. “Kalau tidak mau kami bina… ya kami binasakan.”

Sukses menggarap preman Semarang, pada 1981 Bathi mendapat tugas dari orang yang ia sebut “bos besar” untuk mengetuai Yayasan Fajar Menyingsing. Ini adalah organisasi bekas narapidana di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Anggotanya ribuan, semuanya preman. Pada 1982, Golkar bertekad merebut Jakarta—pada Pemilu 1977 kalah dari Partai Persatuan Pembangunan.

Kelompok preman pimpinan Bathi terlibat operasi menghancurkan citra PPP di Jakarta. Pada Pemilu 1982, Bathi mengkoordinasi pengawalan dan pengamanan Badan Pemenangan Pemilu Golkar Jawa Tengah. Tapi ia dan anak buahnya dikirim ke Jakarta untuk memenangkan Golkar. Ketika lautan manusia memenuhi

kampanye Golkar di lapangan Banteng, Jakarta, menjelang Pemilu 1982, Bathi dan anak buahnya menyamar sebagai pendukung PPP.

(10)

Kontras pernah menginvestigasi kasus ini pada 2002 dengan menghadirkan sejumlah saksi dan korban selamat. Setahun kemudian, Komnas HAM meneliti kasus ini, tapi mandek di tengah jalan. Kini tragedi petrus kembali menjadi target Komnas HAM untuk diungkap dengan membentuk tim ad hoc pada akhir Februari lalu.

Tim itu telah mengundang sejumlah keluarga korban. Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim mengatakan petrus adalah kejahatan kemanusiaan. Penjahat pun harus tetap dihormati hak hukumnya. “Mereka tidak boleh asal ditembak,”katanya.

Kontras mencatat korban tewas petrus di seluruh Indonesia pada 1983 berjumlah 532 orang, pada 1984 sebanyak 107 orang, dan pada 1985 sebanyak 74 orang.

Analisis Kasus

Dilihat dari pemaparan kronologis diatas, dapat disimpulkan bahwa petrus adalah gagasan Soeharto. Hal ini merujuk pengakuan Soeharto dalam otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya.

Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi, kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan.. dor.. dor.. begitu saja, bukan! Yang melawan, mau tidak mau, harus ditembak. Karena melawan, mereka ditembak. Lalu, ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Ini supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan itu. Maka, kemudian meredalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu.

—Suharto (Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989), yang ditulis Ramadhan K.H.)

Selain Soeharto, orang yang harus bertanggung jawab adalah Sudomo dan mantan Panglima ABRI/Pangkopkamtib Jenderal L.B. Moerdani.

Dalam kasus Petrus terdapat tiga pedoman pokok mengenai pelanggaran HAM atau kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh Presiden Soeharto, yaitu :

Pertama, UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM pada Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b juncto Pasal 9 haruf a, menjabarkan beberapa unsur-unsur penting bahwa (1) Seorang atasan Polisi, mampu bertanggung jawab secara pidana, yang mempunyai bawahan, mempunyai kekuasaan untuk melakukan pengendalian efektif; (2) Tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar; (3) Mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang jelas

(11)

pelanggaran HAM yang berat; (4) Tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya, untuk mencegah atau

menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan; (5) Kejahatan terthadap kemanusiaan dalam bentuk serangan yang meluas atau sistemik, yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil dengan cara pembunuhan.

Kedua, Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana, bahwa “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu merampas nyawa orang lain.” Sehingga unsur perbuatan yang memenuhi rumusan delik dari pasal ini

adalah perbuatan dengan sengaja, direncanakan terlebih dahulu, merampas nyawa orang lain.

Ketiga, Ketentuan Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b jis Pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf e UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM juga pasal 354 dan 355 KUHP tentang penganiayaan berat dan perencanaan penganiayaan berat yang berakhir pada kematian. Hal ini didasarkan pada keterangan saksi bahwa pada mayat korban yang ditemukan terdapat bekas jeratan di leher seperti dijeran oleh plat besi, dan tindak penganiayaan lainnya. Substansi tuntutan yang ada pada kedua pasal ini adalah tindakan kekerasan, penyiksaan keji, pembunuhan dan

perampasan kemerdekan terhadap korban.

Dengan demikian, uraian pasal-pasal ini bermuara pada satu definisi bahwa secara kontekstual tindakan aparat kepolisian dalam kasus ini merupakan bentuk

“kejahatan terhadap kemanusiaan”. Definisi ini selaras dengan Pasal 9 huruf e bahwa adanya tindakan dengan sengaja perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik secara sewenang-wenang.

BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Penembakan misterius atau petrus merupakan sebuah kasus yang terjadi pada zaman orde baru atau era Soeharto berkuasa. Kasus ini digolongkan sebagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia, karena mengadili seseorang tanpa melalui proses hukum dengan cara dibunuh. Akibat kasus ini, ketakutan para preman pada zaman itu sangat besar, karena mereka menjadi “sasaran tembak” pelaku petrus. Sistem dari penembakan misterius adalah menghakimi siapa saja yang dinilai sebagai pelaku kriminal atau kejahatan, seperti preman, perampok, , anak jalanan, dan sejenisnya. Awalnya, program ini dijalankan sebagai Operasi Clurit yang

diimplementasikan oleh Polda Metro Jaya, Jakarta untuk mereduksi angka

(12)

efektif, maka operasi ini diadopsi oleh daerah-daerah lain seperti Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Penyebab utama dari peristiwa ini adalah terlalu kuatnya rezim pemerintahan Soeharto, sehingga segala macam cara dilakukan untuk mencapai tujuan

pribadinya. Kasus ini juga mencerminkan sikap pemerintah yang represif. Orang-orang yang menjadi buruan petrus adalah oknum yang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Soeharto. Ironisnya, salah satu saksi hidup menyebutkan bahwa oknum tersebut dulunya pernah dimanfaatkan Soeharto selama kampanye pemilu tahun 1982. Banyak yang mengindikasikan kasus ini dilakukan oleh aparat keamanan. Banyak yang berpendapat bahwa Soeharto melakukan strategi ini untuk meneror siapa saja yang menentang kekuasaannya. Di samping itu, peran lembaga yudikatif seolah berada di bawah kontrol penguasa, sehingga kasus ini belum tuntas sampai sekarang.

Rekomendasi

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Wikipedia. (2013) Penembakan Misterius. Tersedia : http://id.wikipedia.org/wiki/Penembakan_misterius

Litabm. (2008) Kidung Gugat Sasaran Tembak. [Online] Tersedia : https://litabm.wordpress.com/

D’Jeantackque, Ollenk (2013) Tentang Pengadilan HAM Abepura. [Online] Tersedia : http://hukum.kompasiana.com/2013/08/07/tentang-pengadilan-ham-abepura–

582205.html

Janan, Malik.(2011) Pengertian dan Pelanggaran HAM Berat. [Online] Tersedia : http://malik-janan.blogspot.com/2011/05/pengertian-dan-jenis-pelanggaran-ham.html

Mohammad, Achor. (2011) Penembakan Misterius : Bukti Sikap Represif Rezim Soeharto. [Online] Tersedia :

Referensi

Dokumen terkait

Hak asasi manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat ada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,

Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan

12 Pada dasarnya Hak Asasi Manusia (HAM) bersifat umum (universal), yang diyakini bahwa beberapa hak yang dimiliki manusia tidak memiliki perbedaan atas bangsa, jenis

 Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia

Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat diganggu gugat

Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk

 Berdasarkan aspek Hak Asasi Manusia (HAM) kasus PENISTAAN Pancasila yang dilakukan oleh Zaskia Gotik, Zaskia berhak untuk membela diri dan

Hak Asasi Manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang dimiliki manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa