• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Teori Teori Hak Asasi Manus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Implementasi Teori Teori Hak Asasi Manus"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS INDIVIDU

MAKALAH HUKUM TATA NEGARA

IMPLEMENTASI TEORI-TEORI HAM DI INDONESIA

(STUDI KASUS: PROBLEMATIKA INDUSTRIALISASI PABRIK SEMEN DI KABUPATEN REMBANG)

Dosen: Muhammad Helmi Fakhrazi, S.HI., S.H., M.H.

Disusun oleh:

Nada Siti Salsabila (1610611159)

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

FAKULTAS HUKUM

(2)

ii KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam tercurah pada

junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta para pengikutnya hingga

akhir zaman. Alhamdulillah, berkat kemudahan serta petunjuk dari-Nya penulis dapat

menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Hukum Tata Negara yang berjudul “Makalah tentang

Implementasi Teori-Teori HAM di Indonesia (Studi Kasus: Problematika Industrialisasi Pabrik

Semen di Kabupaten Rembang) dapat selesai seperti waktu yang telah ditentukan. Tersusunnya

makalah ini tentunya tidak lepas dari peran serta berbagai pihak yang telah memberikan bantuan

secara materil dan spiritual, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang dapat bermanfaat

bagi penulis maupun pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini mungkin masih jauh dari

kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Seperti peribahasa “Tak ada gading yang tak retak.” Maka penulis mengharapkan kritik dan saran guna perbaikan di masa yang akan datang dan dapat membangun kami.

Jakarta, Mei 2017

Penulis

(3)

iii DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI... iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Rumusan Masalah ...10

1.3 Tujuan Masalah ...10

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Hak Asasi Manusia ...11

2.2 Perkembangan Pemikiran Hak Asasi Manusia ...12

2.2.1 Perkembangan HAM di Dunia ...12

2.2.2 Perkembangan Pemikiran HAM di Indonesia ...15

2.3 Teori-Teori HAM ...17

2.4 Implementasi Teori-Teori HAM di Indonesia ...26

2.5 Prinsip-Prinsip HAM ...43

2.6 Undang-Undang Hak Asasi Manusia ...47

BAB III PROBLEMATIKA INDUSTRIALISASI PABRIK SEMEN DI KABUPATEN REMBANG 3.1 Latar Belakang Kasus ...49

3.2 Deskripsi Kasus ...52

3.3 Analisa Kasus dan HAM ...55

3.4 Solusi Penyelesaian Kasus ...69

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ...72

4.2 Saran ...74

(4)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sebuah negara yang ideal dicirikan dengan adanya institusi yang terbentuk melalui

kesepakatan individu-individu di dalamnya yang menginginkan adanya suatu agen yang

dapat menjamin dan melindungi anggota-anggota di dalamnya. Terbentuknya suatu negara

diawali oleh kondisi alamiah manusia dalam mempertahankan dirinya yang berusaha

memenuhi kebutuhannya dan juga mempertahankan apa yang ia miliki. Hal ini merupakan

suatu bentuk kekodratan manusia yang memiliki kemampuan untuk mengetahui dan

menyadari dunianya. Dengan akal, manusia berusaha memahami mengenal yang baik dan

buruk, terutama dalam rangka mempertahankan dirinya untuk menyesuaikan dengan alam

yang berada di sekitarnya. John Locke dalam bukunya Second Treatise on Government

menulis:“Whether we consider natural reason, which tell us, that men, being once born, have a right to their preservation (pemeliharaan), and consequently to eat and drink, and

such other things as nature affords for their subsistence.”1 Dalam pandangannya, Locke

menyatakan bahwa secara kodrati manusia lahir dengan memiliki hak untuk pemeliharaan

hidupnya yang mana ia berusaha untuk mengejar hal-hal yang diperlukan untuk

menyambung hidupnya. Tindakan mempertahankan hidup, memenuhi kebutuhan, dan

menjaga apa yang dimilikinya menunjukkan bahwa manusia memiliki hak alamiah dalam

berupaya untuk mempertahankan kehidupannya.

Pada perkembangan peradaban manusia di bumi ini, manusia telah memiliki kesadaran

mengenai hak-hak asasi manusia. Penumpasan sesama manusia demi memperjuangkan

kenyamanan dan kenikmatan hidup pada zaman dahulu terkadang dianggap sebagai

tindakan yang layak, namun ternyata di kemudian hari disadari hal itu, tetap saja

menyisakan ketakutan pada diri tiap orang pada saat itu. Individu-individu tersebut takut

akan datangnya individu lain yang lebih kuat untuk merampas apa yang telah mereka

miliki, termasuk nyawanya. Jadi, cara saling menumpas sesama manusia serta pengambilan

paksa yang dilakukan individu/sekelompok manusia tetap saja tidak dapat menyelesaikan

suatu perkara untuk tujuan memperoleh kenikmatan serta kenyamanan hidup. Dengan

demikian, atas dasar inilah manusia berusaha untuk mencari solusi atas hal tersebut, yaitu

1Katrin Atmadewi, “Eksistensi Hak Individu dalam Bernegara Kajian Filosofis Pemikiran Robert Nozick dalam

(5)

2

dengan membuat suatu kesepakatan bersama untuk menjamin keselamatan hidup serta

pemeliharaan diri yang merupakan hak alamiah yang selayaknya mereka dapatkan.

Kesepakatan ini menghasilkan kontrak yang salah satu poin pentingnya yakni kesetaraan

perlakuan dan pandangan kepada setiap individu. Kesepakatan inilah yang

memunculkannya berdirinya suatu negara sebagai agen yang memproteksi hak-hak

individu pada tiap-tiap anggotanya. Karena adanya kebutuhan masyarakat akan hadirnya

sebuah kesepakatan yang diterima bersama untuk melakukan aktivitas yang menyangkut

diri individu maupun masyarakat, tanpa adanya gangguan dari pihak lain. Selain itu, setiap

individu dalam berbagai posisi dan perannya dalam masyarakat menghendaki adanya

kekuatan hukum untuk bertindak, dan juga dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya.

Oleh karenanya, dirumuskanlah suatu wacana hak asasi manusia yang dapat melindungi

setiap hak-hak individu dalam berbangsa dan bernegara yang dijamin oleh konstitusi.

Seiring dengan tuntutan kebutuhan masyarakat, wacana hak asasi manusia mengalami

perubahan yang disertai pula adanya perubahan konsepsi dan prinsip hak asasi manusia di

dunia.

Secara definitif, hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata

karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh

masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan

martabatnya sebagai manusia.2 Dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir dengan

warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia

tetap mempunyai hak-hak tersebut. Inilah sifat universal dari hak-hak tersebut. Selain

bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable). Artinya seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau betapapun bengisnya perlakuan

seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap memiliki hak-hak

tersebut. Dengan kata lain, hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai makhluk insan.3

HAM merupakan wacana yang terus mengalami evolusi pemikiran sesuai konteks

ideologi, sosial, politik, ekonomi, dan budaya dunia. Lahirnya ide tentang HAM juga tidak

terlepas dari kontribusi pemikiran para pemikir besar yang mempengaruhi kemunculan

maupun perkembangan HAM yang kita kenal pada saat ini. Dengan mempelajari berbagai

teori HAM yang ada, paling tidak, akan dapat diketahui hal-hal yang bersifat elementer

2 Rhona K. M. Smith, et. al., eds., Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), hlm. 11. Lihat

dalam Jack Donnely, Universal Human Rights in Teory and Practice, (Ithaca and London: Cornell University Press, 2003), hlm. 7-21. Lihat juga dalam Maurice Cranston, What are Human Rights?, (New York: Taplinger, 1973), hlm. 70.

(6)

3

mengenai eksistensi dan sumber HAM, kedudukan HAM sebagai hak, kaitan antara HAM

yang satu dengan yang lain. Menurut Jerome J. Shestack, istilah ‘HAM’ tidak ditemukan

dalam agama-agama tradisional. Namun demikian, ilmu tentang ketuhanan (theology) menghadirkan landasan bagi suatu teori HAM yang berasal dari hukum yang lebih tinggi

daripada negara dan yang sumbernya adalah Tuhan (Supreme Being). Tentunya, teori ini mengandaikan adanya penerimaan dari doktrin yang dilahirkan sebagai sumber dari HAM.4

Kerangka berpikir mengenai suatu hal tidak akan tercipta jika tidak mengetahui dasar

dan landasannya. Begitu juga dengan kerangka berpikir untuk memahami masalah HAM.

Oleh sebab itu, teori-teori dan prinsip-prinsip HAM adalah suatu landasan untuk

menciptakan suatu kerangka teori yang akan bertransformasi menjadi kerangka berpikir

untuk menjawab seluruh permasalahan mengenai HAM. Teori dapat berfungsi untuk

menyediakan suatu alat analisis yang memungkinkan pertanyaan penting yang dapat

diajukan dan jawaban tentatif dapat diberikan. Teori memungkinkan dibangunnya

paradigma yang memberikan koherensi dan konsistensi bagi segala perdebatan mengenai

hak dan menyumbangkan suatu model yang dapat dipakai untuk mengukur hak-hak yang

diandaikan itu. Teori juga menyediakan mekanisme yang dapat dipakai. untuk menetapkan

dengan tepat batas hak-hak yang eksistensinya telah disepakati.5

Secara umum, dalam kajian tentang hak asasi manusia, berkembang dua pendapat

berkaitan dengan sifat dan kedudukan konsep hak asasi manusia. Satu pendapat

mempersepsikan hak asasi manusia, sebagaimana yang termuat di dalam

instrumen-instrumen hak asasi manusia internasional, bersifat universal dalam makna berlaku bagi

setiap orang atau bangsa tanpa memperhatikan latar belakang sejarah, politik, ekonomi,

sosial-budaya, agama dan lainnya. Pandangan seperti ini banyak dianut di negara-negara

Eropa Barat dan Amerika Serikat yang merupakan negara-negara telah berkembang.

Sementara itu, terdapat pula persepsi lain yang memandang konsep hak asasi manusia

bukan sesuatu yang sepenuhnya universal, melainkan terkait erat dan dipengaruhi oleh

situasi dan kondisi yang melingkupi setiap komunitas manusia. Persepsi relativitas hak

asasi manusia ini banyak dianut oleh negara-negara yang sedang berkembang.

Pertentangan kedua persepsi hak asasi manusia tersebut masih terasa sampai pada

dewasa ini dan dapat menjadi kendala tersendiri bagi upaya memajukan pemahaman dan

4 Jerome J. Shestack, “Jurisprudence of Human Rights”, dalam Theodor Meron, (ed.), “Human Rights in International Law Legal and Policy Issues”, (New York: Oxford University Press, 1992), hlm. 76.

5 Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, cet. 1, (Jakarta: Rajawali Pers 2015), hal. 7. Lihat dalam

(7)

4

perlindungan terhadap hak asasi manusia itu sendiri. Sebenarnya pertentangan tersebut

dapat dijelaskan dengan melihat aspek dan tataran pemahaman hak asasi manusia. Pada

tataran ide dan gagasan, hak asasi manusia merupakan milik semua bangsa dan tradisi

budaya, termasuk agama-agama. Semua bangsa dan tradisi memiliki sejarah dan

sumbangan positif terhadap lahirnya ide tentang hak asasi manusia dan tidak ada satu

bangsa atau tradisi yang bisa mengklaim dirinya sebagai penggagas ataupun kampiun hak

asasi manusia. Pada tingkatan dan sudut pandang ini, hak asasi manusia merupakan sesuatu

yang universal. Namun, diskursus dan pemikiran hak asasi manusia jelas tidak berhenti

pada tingkatan ide, tetapi diteruskan dengan upaya menguatkan ide tersebut dengan

dasar-dasar filosofis dan selanjutnya menukik kepada hal-hal yang lebih konkrit, teknis, dan

keragaman dan relativitas kansepsi hak asasi manusia muncul dan semakin kaya dengan

keragaman seiring dengan semakin detail dan menyempitnya diskursus pembahasan hak

asasi manusia.6

Jika ditilik dalam sejarahnya, asal-usul gagasan mengenai hak asasi manusia pada

awalnya bersumber dari teori hak kodrati (natural rights theory). Teori kodrati mengenai hak itu bermula dari teori hukum kodrati (natural law theory), yang terakhir ini dapat dirunut kembali sampai jauh ke belakang hingga ke zaman kuno dengan filsafat Stoika

hingga ke zaman modern melalui tulisan-tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas.7

Hugo de Groot –seorang ahli hukum Belanda yang dinobatkan sebagai “bapak hukum internasional”, atau yang lebih dikenal dengan nama Latinnya, Grotius, mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrati Aquinas dengan memutus asal-usulnya yang teistik dan

membuatnya menjadi produk pemikiran sekuler yang rasional. Dengan landasan inilah

kemudian, pada perkembangan selanjutnya, salah seorang kaum terpelajar

pasca-Renaisans, John Locke, mengajukan pemikiran mengenai teori hak-hak kodrati. Gagasan

Locke mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi munculnya revolusi hak dalam

revolusi yang meletup di Inggris, Amerika Serikat dan Perancis pada abad 17 dan

ke-18.

6Ikhwan Matondang, “Universalitas dan Relativitas HAM,” MIQOT Vol. XXXII No. 2 (Juli-Desember 2008), hlm.

212.

7 Dalam teori hukum kodratinya, Thomas Aquinas berpijak pada pandangan thomistik yang mempotulasi hukum

(8)

5

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, dalam buku John Locke yang telah menjadi

klasik, “The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration”8

melalui suatu ‘kontrak sosial’ (social contract), perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut diserahkan kepada negara. Tetapi, menurutnya apabila penguasa negara

mengabaikan kontrak sosial itu dengan melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat

di negara itu bebas menurunkan sang penguasa dan menggantikannya dengan suatu

pemerintah yang bersedia menghormati hak-hak tersebut. Melalui teori hak-hak kodrati,

maka eksistensi hak-hak individu yang pra-positif mendapat pengakuan kuat. Gagasan hak

asasi manusia yang berbasis pada pandangan hukum kodrati itu mendapat tantangan serius

pada abad 19. Edmund Burke, orang Irlandia yang resah dengan Revolusi Perancis, adalah

salah satu di antara penentang teori hak-hak kodrati. Burke menuduh para penyusun “Declaration of the Rights of Man and of the Citizen” mempropagandakan “rekaan yang

menakutkan mengenai persamaan manusia”.

Namun demikian, kecaman dan penolakan dari kalangan utilitarian dan positivis

tersebut tidak membuat teori hak-hak kodrati dilupakan orang. Jauh dari anggapan

Bentham, hak-hak kodrati tidak kehilangan pamornya, ia malah tampil kembali pada masa

akhir Perang Dunia II. Gerakan untuk menghidupkan kembali teori hak kodrati inilah yang

mengilhami kemunculan gagasan hak asasi manusia di panggung internasional.9

Pengalaman buruk dunia internasional dengan peristiwa Holocaust Nazi, membuat dunia berpaling kembali kepada gagasan John Locke tentang hak-hak kodrati. “Setelah

kebiadaban luar biasa terjadi menjelang maupun selama Perang Dunia II, gerakan untuk

menghidupkan kembali hak kodrati menghasilkan dirancangnya instrumen internasional yang utama mengenai hak asasi manusia,” tulis Davidson.10 Hal ini dimungkinkan dengan terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1945, segera setelah berakhirnya

perang yang mengorbankan banyak jiwa umat manusia itu. Dengan mendirikan PBB,

masyarakat internasional tidak ingin mengulang terjadinya kembali Holocaust di masa depan, dan karena itu “menegaskan kembali kepercayaan terhadap hak asasi manusia, terhadap martabat dan kemuliaan manusia, terhadap kesetaraan hak-hak laki-laki dan perempuan, dan kesetaraan negara besar dan kecil”.11 Dari sinilah dimulai

8 John Locke, ed., The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration, (Oxford: Blackwell,

1964) hlm. 5.

9 David Weissbrodt, “Hak-hak Asasi Manusia: Tinjauan dari Perspektif Sejarah,” dalam Peter Davies, Hak Asasi Manusia: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1994) hlm. 1-30.

(9)

6

internasionalisasi gagasan hak asasi manusia. Sejak saat itulah masyarakat internasional

bersepakat menjadikan hak asasi manusia sebagai “suatu tolak ukur pencapaian bersama

bagi semua rakyat dan semua bangsa” (“a commond standard of achievement for all peoples and all nations”). Hal ini ditandai dengan diterimanya oleh masyarakat

internasional suatu rezim hukum hak asasi manusia internasional yang disiapkan oleh PBB

atau apa yang kemudian lebih dikenal dengan “International Bill of Human Rights”.

Dari apa yang telah dipaparkan, cukup jelas bahwasannya teori hak-hak kodrati telah

berjasa dalam menyiapkan landasan bagi suatu sistem hukum yang dianggap superior

ketimbang hukum nasional suatu negara, yaitu norma hak asasi manusia internasional.

Namun demikian, kemunculannya sebagai norma internasional yang berlaku di setiap

negara membuatnya tidak sepenuhnya lagi sama dengan konsep awalnya sebagai hak-hak

kodrati. Substansi hak-hak yang terkandung di dalamnya juga telah jauh melampaui

substansi hak-hak yang terkandung dalam hak kodrati (sebagaimana yang diajukan John

Locke). Kandungan hak dalam gagasan hak asasi manusia sekarang bukan hanya terbatas

pada hak-hak sipil dan politik, tetapi juga mencakup hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Bahkan belakangan ini substansinya bertambah dengan munculnya hak-hak “baru”, yang disebut “hak-hak solidaritas”. Dalam konteks keseluruhan inilah seharusnya makna hak asasi manusia harus lebih dipahami dewasa ini. 12

Berkaitan dengan adanya pertentangan persepsi HAM tersebut, realitas dan bukti tak

terbantahkan tentang adanya keragaman pemikiran hak asasi manusia di antara berbagai

bangsa dan tradisi yang hidup di dunia, mendorong masyarakat internasional untuk lebih

menerima pandangan tentang relativitas hak asasi manusia. Pada Konferensi Dunia tentang

Hak Asasi Manusia di Wina tahun 1993, atas desakan negara-negara berkembang,

disepakati adanya kelonggaran-kelonggaran tertentu yang diberikan PBB dalam

pelaksanaan hak asasi manusia. Disebutkan juga bahwa kekhususan-kekhususan nasional,

regional, serta berbagai latar sejarah, budaya, dan agama harus selalu dipertimbangkan

tanpa mengurangi tugas semua negara untuk memajukan semua hak asasi manusia (pasal

5 Deklarasi Wina 1993).13

Negara Indonesia merupakan negara yang memiliki sejarah panjang dalam perjuangan

perlindungan hak asasi manusia. Sebagai negara hukum yang demokratis, Indonesia telah

meratifikasi berbagai instrumen hukum internasional. Tindakan tersebut merepresentasikan

12 Rhona K. M. Smith, op. cit., hlm. 14.

13 Ikhwan Matondang, op. cit.,hlm. 212. Lihat juga dalam “HAM dan Tap MPRS. No.XXV”, dalam Majalah Forum

(10)

7

bahwa, Indonesia menempatkan ide perlindungan hak asasi manusia sebagai salah satu

elemen penting. Dengan mempertimbangkan urgensinya perlindungan hak asasi manusia

tersebut, maka konstitusi harus memuat pengaturan hak asasi manusia agar ada jaminan

negara terhadap hak-hak warga negara. Salah satu perubahan penting dalam Amandemen

UUD 1945 adalah pengaturan hak warga negara lebih komprehensif dibanding UUD 1945

(pra-amandemen) yang mengatur secara umum dan singkat.14

Bila kita telusuri perkembangan wacana hak asasi manusia dalam diskursus politik dan

ketatanegaraan di Indonesia, paling tidak dalam kurun waktu setelah kemerdekaan ditandai

dengan perdebatan yang sangat intensif dalam tiga periode sejarah ketatanegaraan, yaitu

mulai dari tahun 1945, sebagai periode awal perdebatan hak asasi manusia, diikuti dengan

periode Konstituante (tahun 1957-1959) dan periode awal bangkitnya Orde Baru (tahun

1966-1968). Dalam ketiga periode inilah perjuangan untuk menjadikan hak asasi manusia

sebagai sentral dari kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung dengan sangat serius.

Tetapi sayang sekali, pada periode-periode emas tersebut wacana hak asasi manusia gagal

dituangkan ke dalam hukum dasar negara atau konstitusi. Setelah melewati beberapa

periode tersebut pada akhirnya datang periode reformasi (tahun 1998-2000). Periode ini

diawali dengan pelengseran Soeharto dari kursi Presiden Indonesia oleh gerakan reformasi. Inilah periode yang sangat “friendly” terhadap hak asasi manusia, ditandai dengan

diterimanya hak asasi manusia ke dalam konstitusi dan lahirnya peraturan

perundang-undangan di bidang hak asasi manusia.

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah atas nama kepentingan pembangunan telah

membuka keran-keran investasi terutama dalam sektor pengelolaan sumber daya alam dan

penyediaan infrastruktur. Namun, seiring dengan itu terjadi praktek perampasan

sumber-sumber penghidupan rakyat secara semena-mena, dan terjadinya degradasi alam. Rakyat

miskin terutama, harus menerima kenyataan dipaksa berhadapan dengan pengusaha,

korporasi pemegang izin usaha, bahkan harus menghadapi alat represif negara, seperti

hukum, birokrasi, dan aparatus keamanan.

14 International Convention on the Political Rights of Women (Undang Undang No. 68 Tahun 1958), International Convention on the Elimination all Forms Discrimination Against Women (Undang-Undang No.7/1984),

(11)

8

Secara filosofis pembangunan pada hakikatnya adalah sebuah proses perubahan

menuju perbaikan kualitas kehidupan masyarakat secara kultural dan struktural.

Pembangunan bukan semata-mata melaksanakan proyek-proyek, melainkan dinamik dan

gerak majunya suatu sistem sosial keseluruhan. Hal ini berarti bahwa usaha pembangunan

tidaklah dipandang dari segi peningkatan kesejahteraan material semata, melainkan

pembangunan manusia seutuhnya sebagai tujuan utama pembangunan. Secara

paradigmatis, negara-negara berkembang pada umumnya —termasuk Indonesia— masih

kesulitan dalam menentukan arah dan orientasi pembangunannya. Kesulitan tersebut,

misalnya saja tercermin dalam perbedaan tujuan pembangunan (pertumbuhan versus

pemerataan), perbedaan tentang dinamika pembangunan (conflict model versus equilibrium model), perbedaan persepsi tentang tahap-tahap dan jalur pembangunan (unilinear versus multilinear), perbedaan persepsi tentang keseimbangan antara manusia dengan lingkungan hidupnya (limits to growth versus model of doom), perbedaan tentang strategi pembangunan (big push strategy verus unvalance growth strategy), juga prioritas pembangunan (pertanian versus industri), dan bentuk-bentuk perbedaan lainnya. Semuanya masih terjebak pada economic bias. Adanya perbedaan persepsi yang mendasar tentang konsep, tujuan, dan strategi pembangunan seperti itu merupakan pemandangan yang kerap

dijumpai di negara-negara berkembang seperti halnya di Indonesia.

Realitas menunjukkan bahwasannya dewasa ini strategi pembangunan dengan

pertumbuhan ekonomi seringkali mengabaikan masalah pemerataan, karena hasil

pembangunan terkonsentrasi pada sekelompok komunitas, sehingga masalah

pembangunan pada negara berkembang semakin kompleks yang ditandai dengan

pengangguran, urbanisasi, marginalisasi kemiskinan. Alih-alih menghentikan konversi

lahan dan menegakkan kedaulatan pangan, perampasan lahan, dan sumber-sumber

penghidupan petani semakin kentara. Dalam kasus PT. Semen Indonesia yang berencana

akan menjadikan kawasan Pegunungan Kendeng Utara menjadi wilayah industri semen,

tampak jelas bagaimana Negara malah absen dan terkesan melindungi para investor untuk

merampas sumber-sumber penghidupan kaum tani. Jelas pengerukan dan pembongkaran

Kawasan Pegunungan Kendeng Utara akan mematikan sumber air bagi wilayah Pati,

Rembang, Blora dan sekitarnya. Karakteristik pegunungan Karst, khususnya Cekungan Air

Tanah Watu Putih, yang mampu menyerap dan menyimpan persediaan air tentu menjadi

tumpuan hidup, tidak hanya bagi pertanian tetapi juga masyarakat secara luas.

Karena adanya berbagai permasalahan tersebut, menimbulkan sikap pro kontra di

(12)

9

Selain itu, pada dasarnya dari awal masyarakat petani telah menyatakan menolak. Hal ini

tentu sangat mendasar dalam konteks HAM. Warga di lokasi membutuhkan ketenangan,

rasa aman dan nyaman, serta kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 30

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Berdasarkan pada

pemenuhan hak atas keadilan yang dijamin dalam Pasal 17 (UU No. 39 Tahun 1999) serta

untuk menjaga terjaganya kondisi dan kualitas lingkungan hidup yang dijamin dalam Pasal

9 Ayat (3). Seperti juga di banyak kasus yang muncul dalam investasi pengelolaan SDA,

dalam kasus warga rembang terjadi pelanggaran hak atas informasi yang dilakukan

perusahaan. Warga tidak pernah mendapatkan informasi pembangunan pabrik semen. Hak

informasi ini berupa sosialisasi atas kajian AMDAL. Dalam aturannya AMDAL masuk

dalam dokumen publik sehingga masrayakat harus tahu. Jika ada hal teknis dan ilmiah juga

menjadi kewajiban pihak penyenggara AMDAL untuk memberikan penjelasan kepada

warga.15

Jika kita mengacu pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia keempat dapat

kita lihat bahwa diungkapkan maksud dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia

diantaranya melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Dengan demikian, masyarakat adat harus mendapatkan perlindungan hukum, agar dalam

pelaksanaan pengelolaan sumber daya hutan selalu memperhatikan hak-hak masyarakat

adat setempat. Karena anggota masyarakat adat kerapkali mengalami pengabaian dan

pelanggaran hak asasi manusia diantaranya perlakuan teror, intimidasi dan perlakuan

represif oleh oknum-oknum satuan pengamanan dari perusahaan. Undang-Undang Dasar

1945 telah mengamanatkan bahwa Bumi, dan air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

UUD 1945 Pasal 33 ayat (3). Pengertian sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

menunjukkan bahwa rakyat harus menerima manfaat dari sumber daya alam yang ada di

Indonesia.

Negara mempunyai kewajiban untuk mengatur sumber daya alam agar dimanfaatkan

untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mencapai kebahagiaan hidup yang

berdasarkan Pancasila. Oleh karena itu, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan

yang berwawasan lingkungan hidup, berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan

menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi sekarang dan generasi yang

(13)

10

akan datang. Untuk itu perlu dilaksanakan pengelolaan lingkungan hidup yang serasi,

selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang

berwawasan lingkungan hidup.16

Dalam konteks pembangunan, HAM menjadi rambu-rambu yang harus dipatuhi oleh

negara atau pemerintah dalam menjalankan misinya agar tidak menjadikan pembangunan

sebagai tujuan dengan mengorbankan manusia demi pembangunan. Sistem-sistem hukum

harus mampu mendorong dan mengembangkan pembangunan secara seimbang sambil

melindungi dan memajukan keadilan sosial. Melalui konsep HAM akan dapat diketahui

segi-segi kebutuhan dasar manusia yang belum terpenuhi, sehingga argumen dan arah

pembangunan dapat dikembangkan. Tanpa rambu-rambu kemanusiaan, pembangunan

akan terasa sebagai tindakan yang memuliakan benda dan merendahkan martabat manusia.

Selain itu, sebagai rambu-rambu, HAM menjadi acuan tidak saja dalam pelaksanaan

pembangunan melainkan sejak perencanaan pembangunan. Berkaitan dengan pokok

permasalahan tersebut maka saya mengangkat sebuah topik makalah dengan judul “Implementasi Teori-Teori HAM di Indonesia” dengan studi kasus Problematika

Industrialisasi Pabrik Semen di Kabupaten Rembang.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam

makalah ini adalah:

1. Bagaimana perkembangan pemikiran hak asasi manusia?

2. Bagaimana implementasi teori-teori HAM di Indonesia?

3. Bagaimana problematika Industrialisasi Pabrik Semen di Kabupaten Rembang?

1.3Tujuan Masalah

Berdasarkan pernyataan masalah maka tujuan yang ingin dicapai oleh penulisan

makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui mengenai perkembangan pemikiran hak asasi manusia.

2. Untuk mengetahui mengenai implementasi teori-teori HAM di Indonesia.

3. Untuk memperoleh gambaran mengenai problematika Industrialisasi Pabrik Semen di

Kabupaten Rembang.

16 Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup Dan Strategi Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Rineka

(14)

11 BAB II

PEMBAHASAN

2.1Pengertian Hak Asasi Manusia

Hak asasi fundamentaluntuk memahami hakikat Hak Asasi Manusia, terlebih dahulu

akan dijelaskan mengenai pengertian dasar tentang hak. Secara definitif “hak” merupakan

unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku, melindungi kebebasan,

kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan

martabatnya.17 Hak sendiri mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:18

a. Pemilik hak;

b. Ruang lingkup penerapan hak;

c. Pihak yang bersedia dalam penerapan hak.

Ketiga unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar tentang hak. Dengan demikian

hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam

penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait

dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak merupakan sesuatu yang

harus diperoleh. Dalam kaitannya dengan pemerolehan hak ada dua teori yaitu teori

McCloskey dan teori Joel Feinberg. Menurut teori McCloskey dinyatakan bahwa

pemberian hak adalah untuk dilakukan, dimiliki, atau sudah dilakukan. Sedangkan dalam

teori Joel Feinberg dinyatakan bahwa pemberian hak penuh merupakan kesatuan dari klaim

yang absah (keuntungan yang didapat dari pelaksanaan hak yang disertai pelaksanaan

kewajiban). Dengan demikian keuntungan dapat diperoleh dari pelaksanaan hak apabila

disertai dengan pelaksanaan kewajiban. Hal itu, berarti antara hak dan kewajiban

merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam perwujudannya. Karena itu ketika

seseorang menuntut hak juga harus melakukan kewajiban.19

John Locke menyatakan bahwa, hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan

langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh karenanya, tidak

ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak ini sifatnya sangat mendasar

(fundamental) bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak

17 Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada Media, 2003)

hlm. 199.

18Ibid.

(15)

12

bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.20 Dalam Undang-Undang Nomor 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 disebutkan bahwa:

“Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan

martabat manusia.”

Berdasarkan beberapa rumusan pengertian HAM tersebut, diperoleh suatu kesimpulan

bahwa HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan

fundamental sebagai suatu anugerah Tuhan yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi

oleh setiap individu, masyarakat atau negara. Dengan demikian, hakikat penghormatan dan

perlindungan terhadap HAM ialah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh

melalui aksi keseimbangan yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta

keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum.21

Upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi HAM, menjadi kewajiban dan

tanggung jawab bersama antara individu, pemerintah, bahkan negara. Jadi, dalam

memenuhi dan menuntut hak tidak terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus

dilaksanakan. Begitu juga dalam memenuhi kepentingan perseorangan tidak boleh merusak

kepentingan orang banyak (kepentingan umum). Karena itu, pemenuhan, perlindungan,

dan penghormatan terhadap HAM harus diikuti dengan kewajiban asasi manusia dan

tanggung jawab asasi manusia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, dan bernegara.22

2.2Perkembangan Pemikiran Hak Asasi Manusia 2.2.1 Perkembangan HAM di dunia

Dalam perkembangan dari HAM tidak lepas dari perkembangan pikiran

filosofis yang melatarbelakanginya. Pembahasan aspek filosofis, ideologis maupun

teoritis akan membantu memahami konsepsi perlindungan HAM di berbagai

Negara, dan juga munculnya konsep HAM. Pada tataran konseptual teoritik-filosofis

hak asasi manusia dapat ditelusuri hingga munculnya paham konstitualisme abad 17

dan 18, bahkan apabila diulur sampai saat manusia dalam pergaulan hidupnya sadar

20 Masyhur Effendi, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional,

(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm. 3.

(16)

13

akan hak yang dimilikinya, sejarah hak asasi manusia telah ada ketika zaman

purba.23

Setiap manusia yang ada di seluruh dunia memiliki derajat dan martabat yang

sama. Untuk itu setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk

berusaha melindungi hak asasinya dari adanya tindakan pelanggaran oleh manusia

lain yang dapat merugikan kelangsungan hak asasinya. Dalam kaitan hak asasi di

atas, maka hal yang sangat wajar, rasional, serta perlu mendapat dukungan yang

nyata bagi setiap manusia yang berpikir dan berjuang untuk memperoleh pengakuan

hak asasinya di manapun dia berada. Sejarah telah mencatat beberapa monumen

yang berupa piagam sebagai bentuk penghargaan atas pemikiran/perjuangan dalam

memperoleh pengakuan HAM dari pemerintah atau negara. Piagam mengenai

perkembangan pemikiran dan perjuangan HAM adalah sebagai berikut:

1. Magna Charta (Piagam Agung 1215)

Piagam Magna Charta ini adalah piagam penghargaan atas pemikiran dan perjuangan HAM yang dilakukan oleh rakyat Inggris kepada Raja John yang

berkuasa pada tahun 1215. Isi Piagam Magna Charta ini adalah:

(1) Rakyat Inggris menuntut kepada raja agar berlaku adil kepada rakyat

(2) Menuntut raja apabila melanggar harus dihukum (didenda) berdasarkan

kesamaan dan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya

(3) Menuntut raja menyampaikan pertanggungjawaban kepada rakyat

(4) Menuntut raja untuk segera menegakkan hak dan keadilan bagi rakyat

2. Bill of Rights (UU Hak 1689)

Bill of Rights adalah piagam penghargaan atas pemikiran dan perjuangan HAM oleh rakyat kepada penguasa negara atau pemerintah di Inggris pada tahun 1689. Inti dari tuntutan yang diperjuangkannya adalah “rakyat Inggris menuntut agar rakyat diperlakukan sama di muka hukum (equality before the law), sehingga tercapai kebebasan”. Implikasi adanya tuntutan ini memberi inspirasi kepada para ahli untuk menciptakan teori yang berkenaan dengan kesamaan hak yang diperjuangkan di atas.

Para ahli yang mengemukakan teori tersebut adalah J.J Rousseau dalam teori

Kontrak Sosial, Montesque dengan teori Trias Politica, John Locke dengan teori

(17)

14

Hukum Kodrati, dan F. D. Roosevelt dengan teori Lima Kebebasan Dasar Manusia

yang dicanangkan.

3. Declaration Des Droits de L’homme et du Citoyen (Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara Perancis tahun 1789)

Deklarasi ini menyatakan hak asasi manusia dan hak warga negara Perancis. Isi

deklarasi ini sebagai berikut:

(1) Manusia dilahirkan merdeka

(2) Hak milik dianggap suci dan tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun

(3) Tidak boleh ada penangkapan dan penahanan dengan semena-mena atau tanpa

alasan yang sah serta surat izin dari pejabat yang berwenang.

4. Bill of Rights (UU Hak Virginia 1789)

Undang-undang Hak Virginia tahun 1776, yang dimasukkan ke dalam UUD Amerika Serikat tahun 1791. Dikenal juga sebagai The Bill of Rights ini UU HAM Amerika Serikat, merupakan amandemen tambahan terhadap konstitusi Amerika

Serikat yang diatur secara tersendiri dalam 10 pasal tambahan, meskipun secara

prinsip hal mengenai HAM telah termuat dalam deklarasi kemerdekaan (declaration of independence) Amerika Serikat.

5. Declarations of Human Rights PBB

Piagam PBB lahir pada tanggal 12 Desember 1948, di Jenewa yang merupakan

usul serta kesepakatan seluruh anggota PBB. Isi pembukaan Piagam Declarations of Human Rights mencakup 20 hak yang diperoleh manusia. Maksud dan tujuan PBB mendeklarasikan HAM seperti tertuang dalam pembukaannya:

(1) Hendak menyelamatkan keturunan manusia yang ada dan yang akan datang dari

bencana perang

(2) Meneguhkan sikap dan keyakinan tentang HAM yang asasi, tentang harkat dan

derajat manusia, dan tentang persamaan kedudukan antara laki-laki dan

perempuan, juga antara bangsa yang besar dan yang kecil

(3) Menimbulkan suasana di mana keadilan dan penghargaan atas berbagai

kewajiban yang muncul dari segala perjanjian dan lain-lain hukum internasional

menjadi dapat dipelihara.

6. Piagam Atlantic Charter

(18)

15

hidup dan bekerja dengan aman menurut batas-batas wilayahnya masing-masing

serta jaminan kepada setiap manusia suatu kehidupan yang bebas dari rasa takut dan kesengsaraan”. F. D. Roosevelt menyebutkan lima kebebasan dasar manusia, yakni: bebas dari rasa takut (freedom from fear), bebas memeluk agama (freedom of religion), bebas menyatakan pendapat/perasaan (freedom of expression), bebas dalam hal pemberitaan (freedom of information), bebas dari kekurangan/kemelaratan (freedom from want).

2.2.2 Perkembangan Pemikiran HAM di Indonesia

Secara garis besar, Prof. Dr. Bagir Manan membagi pemikiran HAM dalam dua

periode, yaitu periode sebelum kemerdekaan (1908-1956) dan periode setelah

kemerdekaan.

1. Periode sebelum kemerdekaan

Perkembangan pemikiran HAM dalam periode ini dapat dijumpai dalam

organisasi pergerakan sebagai berikut:

1) Budi Oetomo, pemikirannya, “hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat”;

2) Perhimpunan Indonesia, pemikirannya, “hak untuk menentukan nasib sendiri

(the right of self determination)”;

3) Sarekat Islam, pemikirannya, “hak penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial”;

4) Partai Komunis Indonesia, pemikirannya, “hak sosial dan berkaitan dengan alat-alat produksi”;

5) Indische Party, pemikirannya, “hak untuk mendapatkan kemerdekaan dan perlakuan yang sama”;

6) Partai Nasional Indonesia, pemikirannya, “hak untuk memperoleh kemerdekaan”;

7) Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia, pemikirannya meliputi:

a. Hak untuk menentukan nasib sendiri;

b. Hak untuk mengeluarkan pendapat;

c. Hak untuk berserikat dan berkumpul;

d. Hak persamaan di muka hukum;

e. Hak untuk turut dalam penyelenggaraan negara.

2. Periode sesudah kemerdekaan

(19)

16

Pemikiran HAM pada periode ini menekankan pada hak-hak mengenai:

(1) Hak untuk merdeka (self determination);

(2) Hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang

didirikan;

(3) Hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen.

Sebagai implementasi pemikiran HAM di atas, pemerintah

mengeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945, tentang

Partai Politik dengan tujuan untuk mengatur segala aliran yang ada dalam

masyarakat dan pemerintah beharap partai tersebut telah terbentuk sebelum

pemilu DPR pada bulan Januari 1946.

b) Periode 1950-1959

Pemikiran HAM dalam periode ini lebih menekankan pada semangat

kebebasan demokrasi liberal yang berintikan kebebasan individu.

Implementasi pemikiran HAM pada periode ini lebih memberi ruang hidup

bagi tumbuhnya lembaga demokrasi yang antara lain:

a) Partai politik dengan beragam ideologinya;

b) Kebebasan pers yang bersifat liberal;

c) Pemilu dengan sistem multipartai;

d) Parlemen sebagai lembaga kontrol pemerintah;

e) Wacana pemikiran HAM yang kondusif karena pemerintah memberi

kebebasan.

c) Periode 1959-1966

Pada periode ini pemikiran HAM tidak mendapat ruang kebebasan dari

pemerintah atau dengan kata lain pemerintah melakukan pemasungan HAM,

yaitu hak sipil, seperti hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan

pikrian dengan tulisan. Sikap pemerintah bersifat restriktif (pembatasan yang

ketat oleh kekuasaan) terhadap hak sipil dan hak politik warga negara. Salah

satu penyebabnya adalah karena periode ini sistem pemerintahan

parlementer berubah menjadi sistem demokrasi terpimpin.

d) Periode 1966-1998

Dalam periode ini, pemikiran HAM dapat dilihat dalam tiga kurun waktu

yang berbeda. Kurun waktu yang pertama tahun 1967 (awal pemerintahan

(20)

17

ditandai dengan adanya hak uji materiil (judicial review) yang diberikan kepada Mahkamah Agung.

Kedua, kurun waktu tahun 1970-1980, pemerintah melakukan

pemasungan HAM dengan sikap defensif (bertahan), represif (kekerasan)

yang dicerminkan dengan produk hukum yang bersifat restriktif (membatasi)

terhadap HAM. Alasan pemerintah adalah bahwa HAM merupakan produk

pemikiran Barat dan tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang

tercermin dalam Pancasila. Ketiga, kurun waktu tahun 1990-an, pemikiran

HAM tidak lagi hanya bersifat wacana saja melainkan sudah dibentuk

lembaga penegakan HAM, seperti Komnas HAM berdasarkan Keppres No.

50 Tahun 1993, tanggal 7 Juni 1993. Selain itu, pemerintah memberikan

kebebasan yang sangat besar menurut UUD 1945 amandemen, Piagam PBB,

dan Piagam Mukadimah.

e) Periode 1998 - sekarang

Pada periode ini, HAM mendapat perhatian yang resmi dari pemerintah

dengan melakukan amandemen UUD 1945 guna menjamin HAM dan

menetapkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi

manusia. Artinya, pemerintah memberi perlindungan yang signifikan

terhadap kebebasan HAM dalam semua aspek, yaitu aspek hak politik, sosial,

ekonomi, budaya, keamanan, hukum, dan pemerintahan.

2.3Teori-Teori HAM

Menurut Todung Mulya Lubis24, ada empat teori HAM yang sering dibahas dalam

berbagai kesempatan yang berkaitan dengan disiplin keilmuan yang didalamnya ada

unsur-unsur mengenai HAM, yaitu:

1. Teori Hak-hak Alami (Natural Rights Theory)

HAM adalah hak yang dimiliki oleh seluruh manusia pada segala waktu dan tempat

berdasarkan takdirnya sebagai manusia (human right are rights that belong to all human beings at all times and all places by virtue of being born as human beings). Hak-hak tersebut termasuk hak untuk hidup, kebebasan dan harta kekayaan seperti yang diajukan

oleh John Locke. Pengakuan tidak diperlukan bagi HAM, baik dari pemerintah atau dari

(21)

18

suatu sistem hukum, karena HAM bersifat universal. Berdasarkan alasan ini, sumber HAM

sesungguhnya semata-mata berasal dari manusia.25

Teori hak-hak kodrati kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai “Bill of Rights”,

seperti yang diberlakukan oleh Parlemen Inggris (1689), Deklarasi Kemerdekaan Amerika

Serikat (1776), Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara Prancis (1789). Lebih dari

satu setengah abad kemudian, di penghujung Perang Dunia II, Deklarasi Universal HAM

(1948) telah disebarluaskan kepada masyarakat internasional di bawah bendera teori

hak-hak kodrati. Warisan dari teori hak-hak-hak-hak kodrati juga dapat ditemukan dalam berbagai

instrumen HAM di benua Amerika dan Eropa.26

Teori hak kodrati mengenai hak (natural rights theory) yang menjadi asal-usul gagasan mengenai hak asasi manusia bermula dari teori hukum kodrati (natural rights theory). Teori ini dapat dirunut kembali jauh ke zaman kuno dengan filsafat Stoika hingga ke zaman modern melalui tulisan-tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas.27 Selanjutnya, ada

Hugo de Groot (nama latinnya: Grotius), seorang ahli hukum Belanda yang dinobatkan sebagai “bapak hukum internasional”, yang mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrati Aquinas dengan memutus asal-usulnya yang theistik dan membuatnya menjadi

produk pemikiran sekuler yang rasional. Dengan landasan inilah, pada perkembangan

selanjutnya, salah seorang kaum terpelajar pasca-Renaissans, John Locke, mengajukan

pemikiran mengenai teori hak-hak kodrati. Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati

inilah yang melandasi munculnya revolusi hak dalam revolusi yang meletup di Inggris,

Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18.28

Teori hak-hak kodrati telah berjasa dalam menyiapkan landasan bagi suatu sistem

hukum yang dianggap superior ketimbang hukum nasional suatu negara, yaitu norma HAM

internasional. Namun demikian, kemunculan sebagai norma internasional yang berlaku di

setiap negara membuatnya tidak sepenuhnya lagi sama dengan konsep awalnya sebagai

hak-hak kodrati. Substansi hak-hak yang terkandung di dalamnya juga telah jauh

melampaui substansi hak-hak yang terkandung dalam hak kodrati (sebagaimana yang

diajukan oleh John Locke). Kandungan hak dalam gagasan HAM sekarang bukan hanya

terbatas pada hak-hak sipil dan politik, tetapi juga mencakup hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Bahkan belakangan ini substansinya bertambah dengan munculnya hak-hak “baru”

25 Andrey Sujatmoko, op. cit., hlm. 7. Lihat dalam Scott Davidson, op. cit., hlm. 8. Lihat juga dalam Todung Mulya

Lubis, op. cit., hlm. 15-16.

(22)

19

yang disebut “hak-hak solidaritas”. Dalam konteks keseluruhan inilah seharusnya makna HAM dipahami dewasa ini.29

Namun, tidak semua orang setuju dengan pandangan teori hak-hak kodrati. Teori

positivisme termasuk salah satunya. Penganut teori ini berpendapat, bahwa mereka secara

luas dikenal percaya bahwa hak harus berasal dari suatu tempat. Kemudian, hak seharusnya

diciptakan dan diberikan oleh konstitusi, hukum atau kontrak. Hal tersebut dikatakan oleh Jeremy Bentham sebagai berikut: “Bagi saya, hak merupakan anak hukum; dari hukum riil

lahir hak riil, tetapi dari hukum imajiner, dari hukum ‘kodrati’, lahir hak imajiner. Hak kodrati adalah omong kosong belaka: hak yang kodrati dan tidak bisa dicabut adalah omong kosong retrorik, omong kosong yang dijunjung tinggi.

Jadi dapat dikatakan bahwa, teori positivisme secara tegas menolak pandangan teori

hak-hak kodrati. Keberatan utama teori ini adalah karena hak-hak kodrati sumbernya

dianggap tidak jelas. Menurut positivisme suatu hak mestilah berasal dari sumber yang

jelas, seperti dari peraturan perundang-undangan atau konstitusi yang dibuat oleh negara.

Dengan perkataan lain, jika pendukung hak-hak kodrati menurunkan gagasan mereka

tentang hak itu dari Tuhan, nalar atau pengandaian moral yang a priori, kaum positivis berpendapat bahwa eksistensi hak hanya dapat diturunkan dari hukum negara.30

Berkenaan dengan perdebatan antara kedua teori tersebut, menurut pengamatan

Mieczyslaw Maneli –seorang pakar politik dan sarjana hukum–, perdebatan secara

tradisional yang membagi hukum kodrat dan teori positivisme saat ini sudah kehilangan

validitas dan ketajaman yang sebelumnya berlaku. Benarkah demikian, setelah kita

menyaksikan tidak hanya terjadinya suatu proses penyatuan (rapprochment), tetapi juga suatu proses positivisasi (positivization) ide-ide HAM? Menurut Todung Mulya Lubis, Maneli mungkin benar, khususnya jika kita membaca instrumen-instrumen hukum HAM

internasional dan konstitusi-konstitusi dari berbagai negara. Sebagai contoh, konstitusi

Indonesia, Malaysia dan Filipina telah memuat ketentuan-ketentuan yang merupakan

hak-hak kodrati. Keberatan lainnya terhadap teori hak-hak-hak-hak kodrati berasal dari teori relativisme

budaya (cultural relativist theory) yang memandang teori hak-hak kodrati dan penekanannya pada universalitas sebagai suatu pemaksaan atas suatu budaya terhadap

budaya yang lain yang diberi nama imperalisme budaya (cultural imperalism).31

29 Andrey Sujatmoko, op. cit., hlm. 8. Lihat dalam Rhona K. M. Smith, op. cit., hlm. 14 30Ibid., hlm. 9. Lihat dalam Scott Davidson, op. cit., hlm. 40.

31 Andrey Sujatmoko, op. cit., hlm. 7. Lihat dalam Scott Davidson, op. cit., hlm. 8. Lihat juga dalam Todung Mulya

(23)

20

Menurut para penganut teori relativisme budaya, tidak ada suatu hak yang bersifat

universal. Mereka merasa bahwa teori hak-hak kodrati mengabaikan dasar sosial dari

identitas yang dimiliki oleh individu sebagai manusia. Manusia selalu merupakan produk

dari beberapa lingkungan sosial dan budaya dan tradisi-tradisi budaya dan peradaban yang

berbeda yang memuat cara-cara yang berbeda menjadi manusia. Oleh karena itu, hak-hak

yang dimiliki oleh seluruh manusia setiap saat dan di semua tempat merupakan hak-hak

yang menjadikan manusia terlepas secara sosial (desocialized) dan budaya (deculturized).32 2. Teori Positivisme (Positivist Theory)

Teori ini berpandangan bahwa karena hak harus tertuang dalam hukum yang rill, maka

dipandang sebagai hak melalui adanya jaminan konstitusi (rights, then should be created and granted by constitution, laws, and contracts). Teori atau mazhab positivisme ini memperkuat serangan dan penolakan kalangan utilitarian, dikembangkan belakangan dengan lebih sistematis oleh John Austin. Kaum positivis berpendapat bahwa eksistensi

dan isi hak hanya dapat diturunkan dari hukum negara. Satu-satunya hukum yang sahih adalah perintah dari yang berdaulat. Ia tidak datang dari “alam” ataupun “moral”.33

Dapat dikatakan bahwa, kaum positivis berpendapat bahwa tidak ada sumber hak

kecuali dari negara atau badan yang diberi otoritas. Bagi kaum positivis, filsafat moral

sebagai sumber hak asasi manusia, sangat tidak kuat untuk mengikat manusia untuk berbuat

atau tidak berbuat sesuatu. Bagi teori ini, hukum yang dibuat dengan segala sanksinya itu,

mutlak dijalankan karena itulah yang mengikat, terlepas dari motivasi dan substansi hukum

yang mengikat tersebut.34 Cara pandang ini dikritik habis karena dinilai telah mengabaikan

prinsip-prinsip norma sosial yang berisi ajaran moral yang tumbuh dan dipraltikkan dalam

masyarakat, tanpa pernah diformalkan sebagai hukum yang mengikat. Kritik ini dipertegas

lagi dengan contoh NAZI yang melegalkan praktik anti-semit. Begitu juga praktik

apartheid di Afrika Selatan beberapa dekade lalu, yang memperoleh legitimasi hukum positif.

Menghadapi kritikan pedas seperti ini, kaum positivis berpendapat bahwa masalah

besar yang kita hadapi jika kita tidak memiliki standar hukum posotif dalam menimbang

32Ibid.,Yaitu dinyatakan sebagai berikut: “According to cultural relativists, there is no such thing as universal rights. They feel that natural rights theory ignores the social basis of an individual’s identity as a human being. A human being is always the product of some social and cultural milieu and different traditions of culture and civilization contain different ways of being human. It follows, therefore, that rights belonging to all human beings at all times and in all places would be the rights of desocialized and deculturized beings”.

33 Rhona K. M. Smith, op. cit., hlm. 13. Lihat dalam John Austin, The Province of Jurisprudence Determined, W.

Rumble (ed.), (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), first published, 1832.

(24)

21

dan menilai sesuatu, ialah tiap masyarakat memiliki cara pandang dan ajaran moralnya

sendiri-sendiri sehingga sulit sekali menemukan standar baku. Lagi pula, hukum positif

sangat fleksibel karena dapat dengan mudah diubah sesuai kebutuhan dan tuntutan zaman.

Dalam prespektif seperti ini, tentu saja kaum positivis memandang penegakkan dan

perlindungan HAM jauh lebih baik merujuk kepada konvensi-konvensi internasional yang

menjadi standar baku bagi semua bangsa. Untuk aliran positivisme ini, rujukan selalu

mengacu ke Jeremy Bentham dan John Austin.35

Dapat disimpulkan bahwa, HAM bagi kaum positivis hanyalah sebatas hak-hak yang

ditentukan oleh negara (diatur dengan hukum). Selain itu, kaum positivis tidak

membedakan mana hak yang dapat dikurangi (derogable right) dan mana hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun (non-derogable right). Bagi kaum positivis, semua hak (termasuk hak untuk hidup) dapat dibatasi dan dikurangi sepanjang ditentukan

demikian oleh hukum.

3. Teori Relativisme Budaya (Cultural Relativist Theory)

Isu relativisme budaya (cultural relativism) baru muncul menjelang berakhirnya Perang Dingin sebagai respon terhadap klaim universal dari gagasan hak asasi manusia

internasional. Gagasan tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa kebudayaan

merupakan satu-satunya sumber keabsahan hak atau kaidah moral.36 Karena itu hak asasi

manusia dianggap perlu dipahami dari konteks kebudayaan masing-masing negara. Semua

kebudayaan mempunyai hak hidup serta martabat yang sama yang harus dihormati.

Berdasarkan dalil ini, para pembela gagasan relativisme budaya menolak universalisasi hak

asasi manusia, apalagi bila ia didominasi oleh satu budaya tertentu.

Teori ini merupakan salah satu bentuk anti-tesis dari teori hak-hak alami (natural rights). Teori ini berpandangan bahwa hak itu bersifat universal merupakan pelanggaran satu dimensi kultural terhadap dimensi kultural yang lain, atau disebut dengan imperialisme

kultural (cultural imperialism). Yang ditekankan dalam teori ini adalah bahwa manusia merupakan interaksi sosial dan kultural serta perbedaan tradisi budaya dan peradaban

berisikan perbedaan cara pandang kemanusiaan (different ways of being human). Oleh karenanya, penganut teori ini mengatakan, that rights belonging to all human beings at all times in all places would be the rights of desocialized and deculturized beings.

35Ibid., hlm. 71.

(25)

22

Lebih lanjut, ide relativisme budaya berangkat dari filsafat kaum sophist yang secara umum ingin menyatakan bahwa karakter moral adalah relatif dan dipengaruhi oleh budaya

di masing-masing wilayah. Pada konteks hak asasi manusia, pandangan ini berpengaruh

cukup dalam mulai dari perumusan hak hingga tataran implementasi. Relativisme budaya

mengusulkan bahwa hak asasi manusia dan aturan tentang moralitas harus disandikan

tergantung pada konteks budaya. Terminologi budaya ini termasuk tradisi indigenos

(indigeneous tradition) dan praktik kebiasaan termasuk ideologi politik, ideologi agama, dan struktur institusi. Oleh karenanya, gagasan tentang hak dan aturan moral harus dibuat

secara berbeda-beda karena akar dari budaya juga berbeda-beda. Para pendukung utama relativisme budaya mengatakan bahwa “tidak ada ide hak asasi manusia lintas budaya yang dapat disepakati dan tidak ada budaya yang dibolehkan untuk dipaksakan untuk dipahami

dan dipraktikkan oleh negara lain”. Pada posisi ini, kaum relativisme tidak membedakan

antara moral dan hukum. Padahal, instrumen hak asasi manusia adalah kewajiban hukum

sebuah negara untuk mengkonversi kewajiban moral menjadi kewajiban hukum.37

Gagasan bahwa hak asasi manusia terikat dengan konteks budaya umumnya diusung

oleh negara-negara berkembang dan negara-negara Islam. Gagasan ini begitu mengemuka

pada dasawarsa 1990-an –terutama menjelang Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia di

Wina–, disuarakan dengan lantang oleh para pemimpin dan cendikiawan (yang biasanya

merepresentasikan kepentingan status quo) di negara-negara tersebut. Para pemimpin negara-negara di kawasan Lembah Pasifik Barat, misalnya, mengajukan klaim bahwa apa

yang mereka sebut sebagai “nilai-nilai Asia” (Asian Values) lebih relevan untuk kemajuan di kawasan ini, ketimbang “nilai-nilai Barat” (seperti hak asasi manusia dan demokrasi) yang dinilai tidak begitu urgent bagi bangsa-bangsa Asia. Yang paling terkenal dalam mengadvokasi “nilai-nilai Asia” itu adalah Lee Kwan Yew, Menteri Senior Singapura, dan

Mahathir Mohammad, mantan Perdana Menteri Malaysia.

Di Asia Tenggara yang dicari itu tidak begitu berkaitan dengan demokrasi, melainkan dengan pemerintahan yang bertanggungjawab, yakni suatu kepemimpinan yang transparan dan tidak korup”,38 ujar Lee Kwan Yew dalam sebuah ceramahnya di Jepang. Menurut Lee, yang terlebih dahulu dicari oleh bangsa-bangsa di Asia adalah pembangunan

ekonomi yang ditopang dengan kepemimpinan yang kuat, bukan memberikan kebebasan

37 Pranoto Iskandar, Hukum HAM Internasional Sebuah Pengantar Konseptual, (Cianjur: IMR Press, 2010), hlm.

367.

38 Rhona K. M. Smith, op. cit.,hlm. 21. Lihat dalam Lee Kwan Yew, “Democracy and Human Rights for the World”,

(26)

23

dan hak asasi manusia. Yang terakhir itu akan diberikan apabila negara-negara di kawasan

ini mampu menstabilkan pertumbuhan ekonomi dan memberi kesejahteraan kepada rakyat mereka. Dalam nada yang hampir sama Mahathir Mohammad berpendapat, “Saat kemiskinan dan tidak tersedianya pangan yang memadai masih merajalela, dan

kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat tidak terjamin, maka prioritas mesti diberikan kepada pembangunan ekonomi”.39 Atas dasar ini Mahathir menolak pemaksaan standar-standar hak asasi manusia dari satu negara ke negara lain. “Asia tampaknya tidak memiliki hak apapun untuk menetapkan nilai-nilainya sendiri tentang hak asasi manusia,”40 kecam

Mahathir terhadap upaya-upaya internasionalisasi hak asasi manusia. Singkatnya, baik bagi

Lee maupun Mahathir, ide hak asasi manusia tidak urgent bagi bangsa-bangsa Asia. Perdebatan mengenai isu ini dengan gamblang menunjukkan bahwa di balik gagasan “nilai-nilai Asia” para pemimpin di kawasan ini ingin mengemukakan pembenaran bagi penyimpangan-penyimpangan substansial dari tafsiran internasional yang baku tentang

kaidah-kaidah hak asasi manusia.41Dengan mengajukan “nilai-nilai Asia” mereka menolak

dijadikannya hak asasi manusia sebagai parameter dalam kerja sama pembangunan internasional. Lebih jauh sebenarnya di balik gagasan “nilai-nilai Asia” para pemimpin di kawasan itu gamang dengan diterapkannya “conditionality” dalam kerja sama

pembangunan. “Conditionality” yang dimaksud adalah menjadikan catatan hak asasi

manusia sebagai persyaratan dapat-tidaknya kerja sama pembangunan dilakukan.

Singkatnya, ada kepentingan tersembunyi (vested interest) para penguasa di kawasan itu dalam upaya advokasi “nilai-nilai Asia” sehebat-hebatnya.

Relativisme budaya (cultural relativism), dengan demikian, merupakan suatu ide yang sedikit banyak dipaksakan, karena ragam budaya yang ada menyebabkan jarang sekali

adanya kesatuan dalam sudut pandang mereka dalam berbagai hal, selalu ada kondisi di mana “mereka yang memegang kekuasaan yang tidak setuju”.42 Ketika suatu kelompok menolak hak kelompok lain, seringkali itu terjadi demi kepentingan kelompok itu sendiri.

Oleh karena itu, hak asasi manusia tidak dapat secara utuh bersifat universal kecuali apabila

39 Rhona K. M. Smith, loc. cit.Lihat dalam Mahathir Mohamad, “Keynote Address,” dalam laporan “International Conference Rethinking Human Rights”, yang diselenggarakan oleh JUST, Kuala Lumpur, 1994.

40Ibid.

41 Rhona K. M. Smith, loc. cit. Perdebatan itu dengan baik disunting oleh Michael Jacobsen & Ole Bruun, Human Rights and Asian Values: Contesting National Identities and Cultural Representations in Asia, Curzon, Australia, 2000.

(27)

24

hak asasi manusia tidak tunduk pada ketetapan budaya yang seringkali dibuat tidak dengan

suara bulat, dan dengan demikian tidak dapat mewakili setiap individu.

4. Doktrin Marxisme(Marxist Doctrine and Human Rights)

Marxisme secara substansi adalah teori emansipasi manusia, yang koheren nilai dengan

HAM. Manusia selalu menjadi inti, titik awal, dan akhir Marxisme. Seorang Marxis harus

percaya pada HAM, karena sebuah teori untuk emansipasi manusia tidak dapat

meremehkan atau mengabaikan martabat dan hak manusia. Kaum Marxis berjuang untuk

HAM dari negara borjuis, dan memiliki melindungi HAM di sosialisme yang mereka

didirikan. Di dalam suatu masyarakat, cenderung memiliki motivasi lebih terhadap hak

individu, sementara menurut Marx, masyarakat akan selalu berhadapan dengan individu

lainnya sehingga mereka akan egois, sifat yang mesti dihindari karena akan menimbulkan

konflik. Ajaran Marxisme yang menjanjikan penghapusan kelas dan perjuangan kelas

bermaksud menghilangkan akar konflik sosial.43

Marxisme sejatinya tentang perjuangan kelas, perlawanan terhadap penindasan. Karl

Marx dan Friedrich Engels mengembangkan Marxisme agar setiap manusia tertindas sadar

dan memperjuangkan hak-haknya. Marx dan Engels percaya pada akhir dari kepemilikan

pribadi, eksploitasi, kelas sosial, dan negara seperti yang kita tahu saat ini adalah hadirnya

kesetaraan bagi semua orang. Hal ini, sesuai dengan generasi HAM kedua yang telah

diuraikan sebelumnya. Kesetaraan yang sesungguhnya yang bukan berarti memperlakukan

semua orang sama, tapi menghadirkan kesetaraan kepada kebutuhan yang berbeda untuk

setiap orang. Hal ini adalah jenis masyarakat yang Marx bayangkan kedepannya.

Kebutuhan manusia tidak semua sepadan dengan satu sama lain. Kita tidak bisa mengukur

mereka semua dengan ukuran yang sama. Semua orang bagi Marx memiliki hak yang setara

untuk realisasi diri, dan untuk berpartisipasi aktif dalam membentuk kehidupan sosial.44

Tesis paling fundamental dari Marxisme dapat direkonstruksi dari masalah dasar yang

ingin dipecahkan oleh Marxisme, yaitu masalah eksploitasi kelas pekerja dalam

kapitalisme. Penindasan terjadi ketika terwujud penarikan nilai-lebih dari kelas pekerja

oleh kelas kapitalis. Artinya, pertama-tama, ada selisih antara nilai kerja dan nilai produk

kerja. Kemudian selisih nilai ini, yang merupakan hasil pencurahan kerja kelas pekerja,

43 Wei Zhou, Marxism And Human Rights: Theroritical Perspective, Creative Commons Attribution 3.0, (Hong

Kong License: Hong Kong University, 1998), hlm. 217.

(28)

25

diambil oleh kelas kapitalis. Inilah yang secara umum dimengerti oleh kaum Marxis

sebagai eksploitasi.45

Dalam karyanya, Self-Ownership, Freedom and Equality, G.A. Cohen menunjukkan bahwa sebagai Marxis, perlu berpikir dua kali tepat pada titik ini. Cohen memperlihatkan

bahwa argumen eksploitasi kaum Marxis sebenarnya mengandaikan pengakuan atas tesis

kepimilikan diri. Kelas pekerja dihisap atau dieksploitasi persis karena nilai-lebih yang

mereka hasilkan, yang karenanya merupakan hak mereka, ternyata dicuri oleh kelas

kapitalis. Mengapa argumen pengambilan nilai-lebih ini masuk akal? Persis karena

diasumsikan terlebih dulu bahwa setiap orang berhak atas hasil kerjanya, yang pada

gilirannya mengandaikan bahwa setiap orang berhak atas dirinya sendiri. Di sinilah setiap

Marxis, seperti diakui Cohen sendiri, akan merasa kikuk persis karena sekonyong-konyong

mendapati dirinya tinggal seatap dengan kaum libertarian.46

Marxis menganggap bahwa manusia tidak memiliki otonomi individu dengan hak-hak

yang melekat secara alami. Manusia terikat dengan kondisi sosial tempat ia berada. Kendati

Marxisme sebagai sistem telah porak poranda hampir dua dekade silam, sebagai sebuah

teori, Marxis tetap hadir. Bagi Marxisme, hukum alam yang dipakai untuk mendekati

HAM, terlampau idealistik dan tidak punya preseden sejarah. Bagi kaum Marxis, tidak ada

hak-hak alami atau hak-hak yang tak boleh dicabut dalam konteks HAM. Dalam

masyarakat yang didikte dengan oleh sistem kapitalisme dimana monopoli alat-alat

produksi terjadi, ide atau paham tentang hak-hak individu adalah ilusi kaum kapitalis

belaka. Konsep atau pemikiran mengenai hukum, keadilan, moral, demokrasi, dan

kebebasan amatlah ditentukan oleh kondisi-kondisi material dan kondisi sosial di mana

orang-orang itu berada. Bila kondisi kehidupan berubah, secara otomatis juga ide dan

pemikiran ikut berubah.47 Lebih lanjut kaum Marxis mendalihkan, di masyarakat kapitalis

di mana alat-alat produksi dan produksi dikontrol oleh hanya segelintiran orang, maka pasti

banyak yang tidak puas karena yang segelintir memiliki segalanya, sementara yang banyak

tidak memiliki apa pun kecuali tenaga mereka. Akibatnya, mereka tak mampu memenuhi

kebutuhan mereka.

Dapat disimpulkan dari beberapa teori-teori HAM diatas bahwasannya, terdapat

perbedaan dalam konsep filosofis hak asasi manusia. Negara-negara Barat selalu membela

45 Martin Suryajaya, Materialisme Dialektis: Kajian tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer, (Yogyakarta:

Resist Book, 2012), hlm. 212.

46Ibid., hlm. 214.

Referensi

Dokumen terkait

“Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya

Dalam Ketentuan Umum disebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha

Menurut Undang-Undang RI Nomorm 39 tahun 1999, hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa

„ “Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung

• Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib

„ “ Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya yang waj ib dihormat i, dij unj ung

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,

39/1999 tentang HAM mendefinisikan HAM sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah-Nya yang wajib