TUGAS INDIVIDU
MAKALAH HUKUM TATA NEGARA
IMPLEMENTASI TEORI-TEORI HAM DI INDONESIA
(STUDI KASUS: PROBLEMATIKA INDUSTRIALISASI PABRIK SEMEN DI KABUPATEN REMBANG)
Dosen: Muhammad Helmi Fakhrazi, S.HI., S.H., M.H.
Disusun oleh:
Nada Siti Salsabila (1610611159)
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
FAKULTAS HUKUM
ii KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam tercurah pada
junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta para pengikutnya hingga
akhir zaman. Alhamdulillah, berkat kemudahan serta petunjuk dari-Nya penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Hukum Tata Negara yang berjudul “Makalah tentang
Implementasi Teori-Teori HAM di Indonesia (Studi Kasus: Problematika Industrialisasi Pabrik
Semen di Kabupaten Rembang) dapat selesai seperti waktu yang telah ditentukan. Tersusunnya
makalah ini tentunya tidak lepas dari peran serta berbagai pihak yang telah memberikan bantuan
secara materil dan spiritual, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang dapat bermanfaat
bagi penulis maupun pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini mungkin masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Seperti peribahasa “Tak ada gading yang tak retak.” Maka penulis mengharapkan kritik dan saran guna perbaikan di masa yang akan datang dan dapat membangun kami.
Jakarta, Mei 2017
Penulis
iii DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI... iii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...1
1.2 Rumusan Masalah ...10
1.3 Tujuan Masalah ...10
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Hak Asasi Manusia ...11
2.2 Perkembangan Pemikiran Hak Asasi Manusia ...12
2.2.1 Perkembangan HAM di Dunia ...12
2.2.2 Perkembangan Pemikiran HAM di Indonesia ...15
2.3 Teori-Teori HAM ...17
2.4 Implementasi Teori-Teori HAM di Indonesia ...26
2.5 Prinsip-Prinsip HAM ...43
2.6 Undang-Undang Hak Asasi Manusia ...47
BAB III PROBLEMATIKA INDUSTRIALISASI PABRIK SEMEN DI KABUPATEN REMBANG 3.1 Latar Belakang Kasus ...49
3.2 Deskripsi Kasus ...52
3.3 Analisa Kasus dan HAM ...55
3.4 Solusi Penyelesaian Kasus ...69
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ...72
4.2 Saran ...74
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Sebuah negara yang ideal dicirikan dengan adanya institusi yang terbentuk melalui
kesepakatan individu-individu di dalamnya yang menginginkan adanya suatu agen yang
dapat menjamin dan melindungi anggota-anggota di dalamnya. Terbentuknya suatu negara
diawali oleh kondisi alamiah manusia dalam mempertahankan dirinya yang berusaha
memenuhi kebutuhannya dan juga mempertahankan apa yang ia miliki. Hal ini merupakan
suatu bentuk kekodratan manusia yang memiliki kemampuan untuk mengetahui dan
menyadari dunianya. Dengan akal, manusia berusaha memahami mengenal yang baik dan
buruk, terutama dalam rangka mempertahankan dirinya untuk menyesuaikan dengan alam
yang berada di sekitarnya. John Locke dalam bukunya Second Treatise on Government
menulis:“Whether we consider natural reason, which tell us, that men, being once born, have a right to their preservation (pemeliharaan), and consequently to eat and drink, and
such other things as nature affords for their subsistence.”1 Dalam pandangannya, Locke
menyatakan bahwa secara kodrati manusia lahir dengan memiliki hak untuk pemeliharaan
hidupnya yang mana ia berusaha untuk mengejar hal-hal yang diperlukan untuk
menyambung hidupnya. Tindakan mempertahankan hidup, memenuhi kebutuhan, dan
menjaga apa yang dimilikinya menunjukkan bahwa manusia memiliki hak alamiah dalam
berupaya untuk mempertahankan kehidupannya.
Pada perkembangan peradaban manusia di bumi ini, manusia telah memiliki kesadaran
mengenai hak-hak asasi manusia. Penumpasan sesama manusia demi memperjuangkan
kenyamanan dan kenikmatan hidup pada zaman dahulu terkadang dianggap sebagai
tindakan yang layak, namun ternyata di kemudian hari disadari hal itu, tetap saja
menyisakan ketakutan pada diri tiap orang pada saat itu. Individu-individu tersebut takut
akan datangnya individu lain yang lebih kuat untuk merampas apa yang telah mereka
miliki, termasuk nyawanya. Jadi, cara saling menumpas sesama manusia serta pengambilan
paksa yang dilakukan individu/sekelompok manusia tetap saja tidak dapat menyelesaikan
suatu perkara untuk tujuan memperoleh kenikmatan serta kenyamanan hidup. Dengan
demikian, atas dasar inilah manusia berusaha untuk mencari solusi atas hal tersebut, yaitu
1Katrin Atmadewi, “Eksistensi Hak Individu dalam Bernegara Kajian Filosofis Pemikiran Robert Nozick dalam
2
dengan membuat suatu kesepakatan bersama untuk menjamin keselamatan hidup serta
pemeliharaan diri yang merupakan hak alamiah yang selayaknya mereka dapatkan.
Kesepakatan ini menghasilkan kontrak yang salah satu poin pentingnya yakni kesetaraan
perlakuan dan pandangan kepada setiap individu. Kesepakatan inilah yang
memunculkannya berdirinya suatu negara sebagai agen yang memproteksi hak-hak
individu pada tiap-tiap anggotanya. Karena adanya kebutuhan masyarakat akan hadirnya
sebuah kesepakatan yang diterima bersama untuk melakukan aktivitas yang menyangkut
diri individu maupun masyarakat, tanpa adanya gangguan dari pihak lain. Selain itu, setiap
individu dalam berbagai posisi dan perannya dalam masyarakat menghendaki adanya
kekuatan hukum untuk bertindak, dan juga dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya.
Oleh karenanya, dirumuskanlah suatu wacana hak asasi manusia yang dapat melindungi
setiap hak-hak individu dalam berbangsa dan bernegara yang dijamin oleh konstitusi.
Seiring dengan tuntutan kebutuhan masyarakat, wacana hak asasi manusia mengalami
perubahan yang disertai pula adanya perubahan konsepsi dan prinsip hak asasi manusia di
dunia.
Secara definitif, hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata
karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh
masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan
martabatnya sebagai manusia.2 Dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir dengan
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia
tetap mempunyai hak-hak tersebut. Inilah sifat universal dari hak-hak tersebut. Selain
bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable). Artinya seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau betapapun bengisnya perlakuan
seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap memiliki hak-hak
tersebut. Dengan kata lain, hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai makhluk insan.3
HAM merupakan wacana yang terus mengalami evolusi pemikiran sesuai konteks
ideologi, sosial, politik, ekonomi, dan budaya dunia. Lahirnya ide tentang HAM juga tidak
terlepas dari kontribusi pemikiran para pemikir besar yang mempengaruhi kemunculan
maupun perkembangan HAM yang kita kenal pada saat ini. Dengan mempelajari berbagai
teori HAM yang ada, paling tidak, akan dapat diketahui hal-hal yang bersifat elementer
2 Rhona K. M. Smith, et. al., eds., Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), hlm. 11. Lihat
dalam Jack Donnely, Universal Human Rights in Teory and Practice, (Ithaca and London: Cornell University Press, 2003), hlm. 7-21. Lihat juga dalam Maurice Cranston, What are Human Rights?, (New York: Taplinger, 1973), hlm. 70.
3
mengenai eksistensi dan sumber HAM, kedudukan HAM sebagai hak, kaitan antara HAM
yang satu dengan yang lain. Menurut Jerome J. Shestack, istilah ‘HAM’ tidak ditemukan
dalam agama-agama tradisional. Namun demikian, ilmu tentang ketuhanan (theology) menghadirkan landasan bagi suatu teori HAM yang berasal dari hukum yang lebih tinggi
daripada negara dan yang sumbernya adalah Tuhan (Supreme Being). Tentunya, teori ini mengandaikan adanya penerimaan dari doktrin yang dilahirkan sebagai sumber dari HAM.4
Kerangka berpikir mengenai suatu hal tidak akan tercipta jika tidak mengetahui dasar
dan landasannya. Begitu juga dengan kerangka berpikir untuk memahami masalah HAM.
Oleh sebab itu, teori-teori dan prinsip-prinsip HAM adalah suatu landasan untuk
menciptakan suatu kerangka teori yang akan bertransformasi menjadi kerangka berpikir
untuk menjawab seluruh permasalahan mengenai HAM. Teori dapat berfungsi untuk
menyediakan suatu alat analisis yang memungkinkan pertanyaan penting yang dapat
diajukan dan jawaban tentatif dapat diberikan. Teori memungkinkan dibangunnya
paradigma yang memberikan koherensi dan konsistensi bagi segala perdebatan mengenai
hak dan menyumbangkan suatu model yang dapat dipakai untuk mengukur hak-hak yang
diandaikan itu. Teori juga menyediakan mekanisme yang dapat dipakai. untuk menetapkan
dengan tepat batas hak-hak yang eksistensinya telah disepakati.5
Secara umum, dalam kajian tentang hak asasi manusia, berkembang dua pendapat
berkaitan dengan sifat dan kedudukan konsep hak asasi manusia. Satu pendapat
mempersepsikan hak asasi manusia, sebagaimana yang termuat di dalam
instrumen-instrumen hak asasi manusia internasional, bersifat universal dalam makna berlaku bagi
setiap orang atau bangsa tanpa memperhatikan latar belakang sejarah, politik, ekonomi,
sosial-budaya, agama dan lainnya. Pandangan seperti ini banyak dianut di negara-negara
Eropa Barat dan Amerika Serikat yang merupakan negara-negara telah berkembang.
Sementara itu, terdapat pula persepsi lain yang memandang konsep hak asasi manusia
bukan sesuatu yang sepenuhnya universal, melainkan terkait erat dan dipengaruhi oleh
situasi dan kondisi yang melingkupi setiap komunitas manusia. Persepsi relativitas hak
asasi manusia ini banyak dianut oleh negara-negara yang sedang berkembang.
Pertentangan kedua persepsi hak asasi manusia tersebut masih terasa sampai pada
dewasa ini dan dapat menjadi kendala tersendiri bagi upaya memajukan pemahaman dan
4 Jerome J. Shestack, “Jurisprudence of Human Rights”, dalam Theodor Meron, (ed.), “Human Rights in International Law Legal and Policy Issues”, (New York: Oxford University Press, 1992), hlm. 76.
5 Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, cet. 1, (Jakarta: Rajawali Pers 2015), hal. 7. Lihat dalam
4
perlindungan terhadap hak asasi manusia itu sendiri. Sebenarnya pertentangan tersebut
dapat dijelaskan dengan melihat aspek dan tataran pemahaman hak asasi manusia. Pada
tataran ide dan gagasan, hak asasi manusia merupakan milik semua bangsa dan tradisi
budaya, termasuk agama-agama. Semua bangsa dan tradisi memiliki sejarah dan
sumbangan positif terhadap lahirnya ide tentang hak asasi manusia dan tidak ada satu
bangsa atau tradisi yang bisa mengklaim dirinya sebagai penggagas ataupun kampiun hak
asasi manusia. Pada tingkatan dan sudut pandang ini, hak asasi manusia merupakan sesuatu
yang universal. Namun, diskursus dan pemikiran hak asasi manusia jelas tidak berhenti
pada tingkatan ide, tetapi diteruskan dengan upaya menguatkan ide tersebut dengan
dasar-dasar filosofis dan selanjutnya menukik kepada hal-hal yang lebih konkrit, teknis, dan
keragaman dan relativitas kansepsi hak asasi manusia muncul dan semakin kaya dengan
keragaman seiring dengan semakin detail dan menyempitnya diskursus pembahasan hak
asasi manusia.6
Jika ditilik dalam sejarahnya, asal-usul gagasan mengenai hak asasi manusia pada
awalnya bersumber dari teori hak kodrati (natural rights theory). Teori kodrati mengenai hak itu bermula dari teori hukum kodrati (natural law theory), yang terakhir ini dapat dirunut kembali sampai jauh ke belakang hingga ke zaman kuno dengan filsafat Stoika
hingga ke zaman modern melalui tulisan-tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas.7
Hugo de Groot –seorang ahli hukum Belanda yang dinobatkan sebagai “bapak hukum internasional”, atau yang lebih dikenal dengan nama Latinnya, Grotius, mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrati Aquinas dengan memutus asal-usulnya yang teistik dan
membuatnya menjadi produk pemikiran sekuler yang rasional. Dengan landasan inilah
kemudian, pada perkembangan selanjutnya, salah seorang kaum terpelajar
pasca-Renaisans, John Locke, mengajukan pemikiran mengenai teori hak-hak kodrati. Gagasan
Locke mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi munculnya revolusi hak dalam
revolusi yang meletup di Inggris, Amerika Serikat dan Perancis pada abad 17 dan
ke-18.
6Ikhwan Matondang, “Universalitas dan Relativitas HAM,” MIQOT Vol. XXXII No. 2 (Juli-Desember 2008), hlm.
212.
7 Dalam teori hukum kodratinya, Thomas Aquinas berpijak pada pandangan thomistik yang mempotulasi hukum
5
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, dalam buku John Locke yang telah menjadi
klasik, “The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration”8
melalui suatu ‘kontrak sosial’ (social contract), perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut diserahkan kepada negara. Tetapi, menurutnya apabila penguasa negara
mengabaikan kontrak sosial itu dengan melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat
di negara itu bebas menurunkan sang penguasa dan menggantikannya dengan suatu
pemerintah yang bersedia menghormati hak-hak tersebut. Melalui teori hak-hak kodrati,
maka eksistensi hak-hak individu yang pra-positif mendapat pengakuan kuat. Gagasan hak
asasi manusia yang berbasis pada pandangan hukum kodrati itu mendapat tantangan serius
pada abad 19. Edmund Burke, orang Irlandia yang resah dengan Revolusi Perancis, adalah
salah satu di antara penentang teori hak-hak kodrati. Burke menuduh para penyusun “Declaration of the Rights of Man and of the Citizen” mempropagandakan “rekaan yang
menakutkan mengenai persamaan manusia”.
Namun demikian, kecaman dan penolakan dari kalangan utilitarian dan positivis
tersebut tidak membuat teori hak-hak kodrati dilupakan orang. Jauh dari anggapan
Bentham, hak-hak kodrati tidak kehilangan pamornya, ia malah tampil kembali pada masa
akhir Perang Dunia II. Gerakan untuk menghidupkan kembali teori hak kodrati inilah yang
mengilhami kemunculan gagasan hak asasi manusia di panggung internasional.9
Pengalaman buruk dunia internasional dengan peristiwa Holocaust Nazi, membuat dunia berpaling kembali kepada gagasan John Locke tentang hak-hak kodrati. “Setelah
kebiadaban luar biasa terjadi menjelang maupun selama Perang Dunia II, gerakan untuk
menghidupkan kembali hak kodrati menghasilkan dirancangnya instrumen internasional yang utama mengenai hak asasi manusia,” tulis Davidson.10 Hal ini dimungkinkan dengan terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1945, segera setelah berakhirnya
perang yang mengorbankan banyak jiwa umat manusia itu. Dengan mendirikan PBB,
masyarakat internasional tidak ingin mengulang terjadinya kembali Holocaust di masa depan, dan karena itu “menegaskan kembali kepercayaan terhadap hak asasi manusia, terhadap martabat dan kemuliaan manusia, terhadap kesetaraan hak-hak laki-laki dan perempuan, dan kesetaraan negara besar dan kecil”.11 Dari sinilah dimulai
8 John Locke, ed., The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration, (Oxford: Blackwell,
1964) hlm. 5.
9 David Weissbrodt, “Hak-hak Asasi Manusia: Tinjauan dari Perspektif Sejarah,” dalam Peter Davies, Hak Asasi Manusia: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1994) hlm. 1-30.
6
internasionalisasi gagasan hak asasi manusia. Sejak saat itulah masyarakat internasional
bersepakat menjadikan hak asasi manusia sebagai “suatu tolak ukur pencapaian bersama
bagi semua rakyat dan semua bangsa” (“a commond standard of achievement for all peoples and all nations”). Hal ini ditandai dengan diterimanya oleh masyarakat
internasional suatu rezim hukum hak asasi manusia internasional yang disiapkan oleh PBB
atau apa yang kemudian lebih dikenal dengan “International Bill of Human Rights”.
Dari apa yang telah dipaparkan, cukup jelas bahwasannya teori hak-hak kodrati telah
berjasa dalam menyiapkan landasan bagi suatu sistem hukum yang dianggap superior
ketimbang hukum nasional suatu negara, yaitu norma hak asasi manusia internasional.
Namun demikian, kemunculannya sebagai norma internasional yang berlaku di setiap
negara membuatnya tidak sepenuhnya lagi sama dengan konsep awalnya sebagai hak-hak
kodrati. Substansi hak-hak yang terkandung di dalamnya juga telah jauh melampaui
substansi hak-hak yang terkandung dalam hak kodrati (sebagaimana yang diajukan John
Locke). Kandungan hak dalam gagasan hak asasi manusia sekarang bukan hanya terbatas
pada hak-hak sipil dan politik, tetapi juga mencakup hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Bahkan belakangan ini substansinya bertambah dengan munculnya hak-hak “baru”, yang disebut “hak-hak solidaritas”. Dalam konteks keseluruhan inilah seharusnya makna hak asasi manusia harus lebih dipahami dewasa ini. 12
Berkaitan dengan adanya pertentangan persepsi HAM tersebut, realitas dan bukti tak
terbantahkan tentang adanya keragaman pemikiran hak asasi manusia di antara berbagai
bangsa dan tradisi yang hidup di dunia, mendorong masyarakat internasional untuk lebih
menerima pandangan tentang relativitas hak asasi manusia. Pada Konferensi Dunia tentang
Hak Asasi Manusia di Wina tahun 1993, atas desakan negara-negara berkembang,
disepakati adanya kelonggaran-kelonggaran tertentu yang diberikan PBB dalam
pelaksanaan hak asasi manusia. Disebutkan juga bahwa kekhususan-kekhususan nasional,
regional, serta berbagai latar sejarah, budaya, dan agama harus selalu dipertimbangkan
tanpa mengurangi tugas semua negara untuk memajukan semua hak asasi manusia (pasal
5 Deklarasi Wina 1993).13
Negara Indonesia merupakan negara yang memiliki sejarah panjang dalam perjuangan
perlindungan hak asasi manusia. Sebagai negara hukum yang demokratis, Indonesia telah
meratifikasi berbagai instrumen hukum internasional. Tindakan tersebut merepresentasikan
12 Rhona K. M. Smith, op. cit., hlm. 14.
13 Ikhwan Matondang, op. cit.,hlm. 212. Lihat juga dalam “HAM dan Tap MPRS. No.XXV”, dalam Majalah Forum
7
bahwa, Indonesia menempatkan ide perlindungan hak asasi manusia sebagai salah satu
elemen penting. Dengan mempertimbangkan urgensinya perlindungan hak asasi manusia
tersebut, maka konstitusi harus memuat pengaturan hak asasi manusia agar ada jaminan
negara terhadap hak-hak warga negara. Salah satu perubahan penting dalam Amandemen
UUD 1945 adalah pengaturan hak warga negara lebih komprehensif dibanding UUD 1945
(pra-amandemen) yang mengatur secara umum dan singkat.14
Bila kita telusuri perkembangan wacana hak asasi manusia dalam diskursus politik dan
ketatanegaraan di Indonesia, paling tidak dalam kurun waktu setelah kemerdekaan ditandai
dengan perdebatan yang sangat intensif dalam tiga periode sejarah ketatanegaraan, yaitu
mulai dari tahun 1945, sebagai periode awal perdebatan hak asasi manusia, diikuti dengan
periode Konstituante (tahun 1957-1959) dan periode awal bangkitnya Orde Baru (tahun
1966-1968). Dalam ketiga periode inilah perjuangan untuk menjadikan hak asasi manusia
sebagai sentral dari kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung dengan sangat serius.
Tetapi sayang sekali, pada periode-periode emas tersebut wacana hak asasi manusia gagal
dituangkan ke dalam hukum dasar negara atau konstitusi. Setelah melewati beberapa
periode tersebut pada akhirnya datang periode reformasi (tahun 1998-2000). Periode ini
diawali dengan pelengseran Soeharto dari kursi Presiden Indonesia oleh gerakan reformasi. Inilah periode yang sangat “friendly” terhadap hak asasi manusia, ditandai dengan
diterimanya hak asasi manusia ke dalam konstitusi dan lahirnya peraturan
perundang-undangan di bidang hak asasi manusia.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah atas nama kepentingan pembangunan telah
membuka keran-keran investasi terutama dalam sektor pengelolaan sumber daya alam dan
penyediaan infrastruktur. Namun, seiring dengan itu terjadi praktek perampasan
sumber-sumber penghidupan rakyat secara semena-mena, dan terjadinya degradasi alam. Rakyat
miskin terutama, harus menerima kenyataan dipaksa berhadapan dengan pengusaha,
korporasi pemegang izin usaha, bahkan harus menghadapi alat represif negara, seperti
hukum, birokrasi, dan aparatus keamanan.
14 International Convention on the Political Rights of Women (Undang Undang No. 68 Tahun 1958), International Convention on the Elimination all Forms Discrimination Against Women (Undang-Undang No.7/1984),
8
Secara filosofis pembangunan pada hakikatnya adalah sebuah proses perubahan
menuju perbaikan kualitas kehidupan masyarakat secara kultural dan struktural.
Pembangunan bukan semata-mata melaksanakan proyek-proyek, melainkan dinamik dan
gerak majunya suatu sistem sosial keseluruhan. Hal ini berarti bahwa usaha pembangunan
tidaklah dipandang dari segi peningkatan kesejahteraan material semata, melainkan
pembangunan manusia seutuhnya sebagai tujuan utama pembangunan. Secara
paradigmatis, negara-negara berkembang pada umumnya —termasuk Indonesia— masih
kesulitan dalam menentukan arah dan orientasi pembangunannya. Kesulitan tersebut,
misalnya saja tercermin dalam perbedaan tujuan pembangunan (pertumbuhan versus
pemerataan), perbedaan tentang dinamika pembangunan (conflict model versus equilibrium model), perbedaan persepsi tentang tahap-tahap dan jalur pembangunan (unilinear versus multilinear), perbedaan persepsi tentang keseimbangan antara manusia dengan lingkungan hidupnya (limits to growth versus model of doom), perbedaan tentang strategi pembangunan (big push strategy verus unvalance growth strategy), juga prioritas pembangunan (pertanian versus industri), dan bentuk-bentuk perbedaan lainnya. Semuanya masih terjebak pada economic bias. Adanya perbedaan persepsi yang mendasar tentang konsep, tujuan, dan strategi pembangunan seperti itu merupakan pemandangan yang kerap
dijumpai di negara-negara berkembang seperti halnya di Indonesia.
Realitas menunjukkan bahwasannya dewasa ini strategi pembangunan dengan
pertumbuhan ekonomi seringkali mengabaikan masalah pemerataan, karena hasil
pembangunan terkonsentrasi pada sekelompok komunitas, sehingga masalah
pembangunan pada negara berkembang semakin kompleks yang ditandai dengan
pengangguran, urbanisasi, marginalisasi kemiskinan. Alih-alih menghentikan konversi
lahan dan menegakkan kedaulatan pangan, perampasan lahan, dan sumber-sumber
penghidupan petani semakin kentara. Dalam kasus PT. Semen Indonesia yang berencana
akan menjadikan kawasan Pegunungan Kendeng Utara menjadi wilayah industri semen,
tampak jelas bagaimana Negara malah absen dan terkesan melindungi para investor untuk
merampas sumber-sumber penghidupan kaum tani. Jelas pengerukan dan pembongkaran
Kawasan Pegunungan Kendeng Utara akan mematikan sumber air bagi wilayah Pati,
Rembang, Blora dan sekitarnya. Karakteristik pegunungan Karst, khususnya Cekungan Air
Tanah Watu Putih, yang mampu menyerap dan menyimpan persediaan air tentu menjadi
tumpuan hidup, tidak hanya bagi pertanian tetapi juga masyarakat secara luas.
Karena adanya berbagai permasalahan tersebut, menimbulkan sikap pro kontra di
9
Selain itu, pada dasarnya dari awal masyarakat petani telah menyatakan menolak. Hal ini
tentu sangat mendasar dalam konteks HAM. Warga di lokasi membutuhkan ketenangan,
rasa aman dan nyaman, serta kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 30
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Berdasarkan pada
pemenuhan hak atas keadilan yang dijamin dalam Pasal 17 (UU No. 39 Tahun 1999) serta
untuk menjaga terjaganya kondisi dan kualitas lingkungan hidup yang dijamin dalam Pasal
9 Ayat (3). Seperti juga di banyak kasus yang muncul dalam investasi pengelolaan SDA,
dalam kasus warga rembang terjadi pelanggaran hak atas informasi yang dilakukan
perusahaan. Warga tidak pernah mendapatkan informasi pembangunan pabrik semen. Hak
informasi ini berupa sosialisasi atas kajian AMDAL. Dalam aturannya AMDAL masuk
dalam dokumen publik sehingga masrayakat harus tahu. Jika ada hal teknis dan ilmiah juga
menjadi kewajiban pihak penyenggara AMDAL untuk memberikan penjelasan kepada
warga.15
Jika kita mengacu pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia keempat dapat
kita lihat bahwa diungkapkan maksud dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia
diantaranya melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Dengan demikian, masyarakat adat harus mendapatkan perlindungan hukum, agar dalam
pelaksanaan pengelolaan sumber daya hutan selalu memperhatikan hak-hak masyarakat
adat setempat. Karena anggota masyarakat adat kerapkali mengalami pengabaian dan
pelanggaran hak asasi manusia diantaranya perlakuan teror, intimidasi dan perlakuan
represif oleh oknum-oknum satuan pengamanan dari perusahaan. Undang-Undang Dasar
1945 telah mengamanatkan bahwa Bumi, dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
UUD 1945 Pasal 33 ayat (3). Pengertian sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
menunjukkan bahwa rakyat harus menerima manfaat dari sumber daya alam yang ada di
Indonesia.
Negara mempunyai kewajiban untuk mengatur sumber daya alam agar dimanfaatkan
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mencapai kebahagiaan hidup yang
berdasarkan Pancasila. Oleh karena itu, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan hidup, berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan
menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi sekarang dan generasi yang
10
akan datang. Untuk itu perlu dilaksanakan pengelolaan lingkungan hidup yang serasi,
selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan hidup.16
Dalam konteks pembangunan, HAM menjadi rambu-rambu yang harus dipatuhi oleh
negara atau pemerintah dalam menjalankan misinya agar tidak menjadikan pembangunan
sebagai tujuan dengan mengorbankan manusia demi pembangunan. Sistem-sistem hukum
harus mampu mendorong dan mengembangkan pembangunan secara seimbang sambil
melindungi dan memajukan keadilan sosial. Melalui konsep HAM akan dapat diketahui
segi-segi kebutuhan dasar manusia yang belum terpenuhi, sehingga argumen dan arah
pembangunan dapat dikembangkan. Tanpa rambu-rambu kemanusiaan, pembangunan
akan terasa sebagai tindakan yang memuliakan benda dan merendahkan martabat manusia.
Selain itu, sebagai rambu-rambu, HAM menjadi acuan tidak saja dalam pelaksanaan
pembangunan melainkan sejak perencanaan pembangunan. Berkaitan dengan pokok
permasalahan tersebut maka saya mengangkat sebuah topik makalah dengan judul “Implementasi Teori-Teori HAM di Indonesia” dengan studi kasus Problematika
Industrialisasi Pabrik Semen di Kabupaten Rembang.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam
makalah ini adalah:
1. Bagaimana perkembangan pemikiran hak asasi manusia?
2. Bagaimana implementasi teori-teori HAM di Indonesia?
3. Bagaimana problematika Industrialisasi Pabrik Semen di Kabupaten Rembang?
1.3Tujuan Masalah
Berdasarkan pernyataan masalah maka tujuan yang ingin dicapai oleh penulisan
makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui mengenai perkembangan pemikiran hak asasi manusia.
2. Untuk mengetahui mengenai implementasi teori-teori HAM di Indonesia.
3. Untuk memperoleh gambaran mengenai problematika Industrialisasi Pabrik Semen di
Kabupaten Rembang.
16 Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup Dan Strategi Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Rineka
11 BAB II
PEMBAHASAN
2.1Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak asasi fundamentaluntuk memahami hakikat Hak Asasi Manusia, terlebih dahulu
akan dijelaskan mengenai pengertian dasar tentang hak. Secara definitif “hak” merupakan
unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku, melindungi kebebasan,
kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan
martabatnya.17 Hak sendiri mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:18
a. Pemilik hak;
b. Ruang lingkup penerapan hak;
c. Pihak yang bersedia dalam penerapan hak.
Ketiga unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar tentang hak. Dengan demikian
hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam
penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait
dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak merupakan sesuatu yang
harus diperoleh. Dalam kaitannya dengan pemerolehan hak ada dua teori yaitu teori
McCloskey dan teori Joel Feinberg. Menurut teori McCloskey dinyatakan bahwa
pemberian hak adalah untuk dilakukan, dimiliki, atau sudah dilakukan. Sedangkan dalam
teori Joel Feinberg dinyatakan bahwa pemberian hak penuh merupakan kesatuan dari klaim
yang absah (keuntungan yang didapat dari pelaksanaan hak yang disertai pelaksanaan
kewajiban). Dengan demikian keuntungan dapat diperoleh dari pelaksanaan hak apabila
disertai dengan pelaksanaan kewajiban. Hal itu, berarti antara hak dan kewajiban
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam perwujudannya. Karena itu ketika
seseorang menuntut hak juga harus melakukan kewajiban.19
John Locke menyatakan bahwa, hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan
langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh karenanya, tidak
ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak ini sifatnya sangat mendasar
(fundamental) bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak
17 Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada Media, 2003)
hlm. 199.
18Ibid.
12
bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.20 Dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 disebutkan bahwa:
“Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.”
Berdasarkan beberapa rumusan pengertian HAM tersebut, diperoleh suatu kesimpulan
bahwa HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan
fundamental sebagai suatu anugerah Tuhan yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi
oleh setiap individu, masyarakat atau negara. Dengan demikian, hakikat penghormatan dan
perlindungan terhadap HAM ialah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh
melalui aksi keseimbangan yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta
keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum.21
Upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi HAM, menjadi kewajiban dan
tanggung jawab bersama antara individu, pemerintah, bahkan negara. Jadi, dalam
memenuhi dan menuntut hak tidak terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus
dilaksanakan. Begitu juga dalam memenuhi kepentingan perseorangan tidak boleh merusak
kepentingan orang banyak (kepentingan umum). Karena itu, pemenuhan, perlindungan,
dan penghormatan terhadap HAM harus diikuti dengan kewajiban asasi manusia dan
tanggung jawab asasi manusia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, dan bernegara.22
2.2Perkembangan Pemikiran Hak Asasi Manusia 2.2.1 Perkembangan HAM di dunia
Dalam perkembangan dari HAM tidak lepas dari perkembangan pikiran
filosofis yang melatarbelakanginya. Pembahasan aspek filosofis, ideologis maupun
teoritis akan membantu memahami konsepsi perlindungan HAM di berbagai
Negara, dan juga munculnya konsep HAM. Pada tataran konseptual teoritik-filosofis
hak asasi manusia dapat ditelusuri hingga munculnya paham konstitualisme abad 17
dan 18, bahkan apabila diulur sampai saat manusia dalam pergaulan hidupnya sadar
20 Masyhur Effendi, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm. 3.
13
akan hak yang dimilikinya, sejarah hak asasi manusia telah ada ketika zaman
purba.23
Setiap manusia yang ada di seluruh dunia memiliki derajat dan martabat yang
sama. Untuk itu setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk
berusaha melindungi hak asasinya dari adanya tindakan pelanggaran oleh manusia
lain yang dapat merugikan kelangsungan hak asasinya. Dalam kaitan hak asasi di
atas, maka hal yang sangat wajar, rasional, serta perlu mendapat dukungan yang
nyata bagi setiap manusia yang berpikir dan berjuang untuk memperoleh pengakuan
hak asasinya di manapun dia berada. Sejarah telah mencatat beberapa monumen
yang berupa piagam sebagai bentuk penghargaan atas pemikiran/perjuangan dalam
memperoleh pengakuan HAM dari pemerintah atau negara. Piagam mengenai
perkembangan pemikiran dan perjuangan HAM adalah sebagai berikut:
1. Magna Charta (Piagam Agung 1215)
Piagam Magna Charta ini adalah piagam penghargaan atas pemikiran dan perjuangan HAM yang dilakukan oleh rakyat Inggris kepada Raja John yang
berkuasa pada tahun 1215. Isi Piagam Magna Charta ini adalah:
(1) Rakyat Inggris menuntut kepada raja agar berlaku adil kepada rakyat
(2) Menuntut raja apabila melanggar harus dihukum (didenda) berdasarkan
kesamaan dan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya
(3) Menuntut raja menyampaikan pertanggungjawaban kepada rakyat
(4) Menuntut raja untuk segera menegakkan hak dan keadilan bagi rakyat
2. Bill of Rights (UU Hak 1689)
Bill of Rights adalah piagam penghargaan atas pemikiran dan perjuangan HAM oleh rakyat kepada penguasa negara atau pemerintah di Inggris pada tahun 1689. Inti dari tuntutan yang diperjuangkannya adalah “rakyat Inggris menuntut agar rakyat diperlakukan sama di muka hukum (equality before the law), sehingga tercapai kebebasan”. Implikasi adanya tuntutan ini memberi inspirasi kepada para ahli untuk menciptakan teori yang berkenaan dengan kesamaan hak yang diperjuangkan di atas.
Para ahli yang mengemukakan teori tersebut adalah J.J Rousseau dalam teori
Kontrak Sosial, Montesque dengan teori Trias Politica, John Locke dengan teori
14
Hukum Kodrati, dan F. D. Roosevelt dengan teori Lima Kebebasan Dasar Manusia
yang dicanangkan.
3. Declaration Des Droits de L’homme et du Citoyen (Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara Perancis tahun 1789)
Deklarasi ini menyatakan hak asasi manusia dan hak warga negara Perancis. Isi
deklarasi ini sebagai berikut:
(1) Manusia dilahirkan merdeka
(2) Hak milik dianggap suci dan tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun
(3) Tidak boleh ada penangkapan dan penahanan dengan semena-mena atau tanpa
alasan yang sah serta surat izin dari pejabat yang berwenang.
4. Bill of Rights (UU Hak Virginia 1789)
Undang-undang Hak Virginia tahun 1776, yang dimasukkan ke dalam UUD Amerika Serikat tahun 1791. Dikenal juga sebagai The Bill of Rights ini UU HAM Amerika Serikat, merupakan amandemen tambahan terhadap konstitusi Amerika
Serikat yang diatur secara tersendiri dalam 10 pasal tambahan, meskipun secara
prinsip hal mengenai HAM telah termuat dalam deklarasi kemerdekaan (declaration of independence) Amerika Serikat.
5. Declarations of Human Rights PBB
Piagam PBB lahir pada tanggal 12 Desember 1948, di Jenewa yang merupakan
usul serta kesepakatan seluruh anggota PBB. Isi pembukaan Piagam Declarations of Human Rights mencakup 20 hak yang diperoleh manusia. Maksud dan tujuan PBB mendeklarasikan HAM seperti tertuang dalam pembukaannya:
(1) Hendak menyelamatkan keturunan manusia yang ada dan yang akan datang dari
bencana perang
(2) Meneguhkan sikap dan keyakinan tentang HAM yang asasi, tentang harkat dan
derajat manusia, dan tentang persamaan kedudukan antara laki-laki dan
perempuan, juga antara bangsa yang besar dan yang kecil
(3) Menimbulkan suasana di mana keadilan dan penghargaan atas berbagai
kewajiban yang muncul dari segala perjanjian dan lain-lain hukum internasional
menjadi dapat dipelihara.
6. Piagam Atlantic Charter
15
hidup dan bekerja dengan aman menurut batas-batas wilayahnya masing-masing
serta jaminan kepada setiap manusia suatu kehidupan yang bebas dari rasa takut dan kesengsaraan”. F. D. Roosevelt menyebutkan lima kebebasan dasar manusia, yakni: bebas dari rasa takut (freedom from fear), bebas memeluk agama (freedom of religion), bebas menyatakan pendapat/perasaan (freedom of expression), bebas dalam hal pemberitaan (freedom of information), bebas dari kekurangan/kemelaratan (freedom from want).
2.2.2 Perkembangan Pemikiran HAM di Indonesia
Secara garis besar, Prof. Dr. Bagir Manan membagi pemikiran HAM dalam dua
periode, yaitu periode sebelum kemerdekaan (1908-1956) dan periode setelah
kemerdekaan.
1. Periode sebelum kemerdekaan
Perkembangan pemikiran HAM dalam periode ini dapat dijumpai dalam
organisasi pergerakan sebagai berikut:
1) Budi Oetomo, pemikirannya, “hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat”;
2) Perhimpunan Indonesia, pemikirannya, “hak untuk menentukan nasib sendiri
(the right of self determination)”;
3) Sarekat Islam, pemikirannya, “hak penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial”;
4) Partai Komunis Indonesia, pemikirannya, “hak sosial dan berkaitan dengan alat-alat produksi”;
5) Indische Party, pemikirannya, “hak untuk mendapatkan kemerdekaan dan perlakuan yang sama”;
6) Partai Nasional Indonesia, pemikirannya, “hak untuk memperoleh kemerdekaan”;
7) Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia, pemikirannya meliputi:
a. Hak untuk menentukan nasib sendiri;
b. Hak untuk mengeluarkan pendapat;
c. Hak untuk berserikat dan berkumpul;
d. Hak persamaan di muka hukum;
e. Hak untuk turut dalam penyelenggaraan negara.
2. Periode sesudah kemerdekaan
16
Pemikiran HAM pada periode ini menekankan pada hak-hak mengenai:
(1) Hak untuk merdeka (self determination);
(2) Hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang
didirikan;
(3) Hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen.
Sebagai implementasi pemikiran HAM di atas, pemerintah
mengeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945, tentang
Partai Politik dengan tujuan untuk mengatur segala aliran yang ada dalam
masyarakat dan pemerintah beharap partai tersebut telah terbentuk sebelum
pemilu DPR pada bulan Januari 1946.
b) Periode 1950-1959
Pemikiran HAM dalam periode ini lebih menekankan pada semangat
kebebasan demokrasi liberal yang berintikan kebebasan individu.
Implementasi pemikiran HAM pada periode ini lebih memberi ruang hidup
bagi tumbuhnya lembaga demokrasi yang antara lain:
a) Partai politik dengan beragam ideologinya;
b) Kebebasan pers yang bersifat liberal;
c) Pemilu dengan sistem multipartai;
d) Parlemen sebagai lembaga kontrol pemerintah;
e) Wacana pemikiran HAM yang kondusif karena pemerintah memberi
kebebasan.
c) Periode 1959-1966
Pada periode ini pemikiran HAM tidak mendapat ruang kebebasan dari
pemerintah atau dengan kata lain pemerintah melakukan pemasungan HAM,
yaitu hak sipil, seperti hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pikrian dengan tulisan. Sikap pemerintah bersifat restriktif (pembatasan yang
ketat oleh kekuasaan) terhadap hak sipil dan hak politik warga negara. Salah
satu penyebabnya adalah karena periode ini sistem pemerintahan
parlementer berubah menjadi sistem demokrasi terpimpin.
d) Periode 1966-1998
Dalam periode ini, pemikiran HAM dapat dilihat dalam tiga kurun waktu
yang berbeda. Kurun waktu yang pertama tahun 1967 (awal pemerintahan
17
ditandai dengan adanya hak uji materiil (judicial review) yang diberikan kepada Mahkamah Agung.
Kedua, kurun waktu tahun 1970-1980, pemerintah melakukan
pemasungan HAM dengan sikap defensif (bertahan), represif (kekerasan)
yang dicerminkan dengan produk hukum yang bersifat restriktif (membatasi)
terhadap HAM. Alasan pemerintah adalah bahwa HAM merupakan produk
pemikiran Barat dan tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang
tercermin dalam Pancasila. Ketiga, kurun waktu tahun 1990-an, pemikiran
HAM tidak lagi hanya bersifat wacana saja melainkan sudah dibentuk
lembaga penegakan HAM, seperti Komnas HAM berdasarkan Keppres No.
50 Tahun 1993, tanggal 7 Juni 1993. Selain itu, pemerintah memberikan
kebebasan yang sangat besar menurut UUD 1945 amandemen, Piagam PBB,
dan Piagam Mukadimah.
e) Periode 1998 - sekarang
Pada periode ini, HAM mendapat perhatian yang resmi dari pemerintah
dengan melakukan amandemen UUD 1945 guna menjamin HAM dan
menetapkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi
manusia. Artinya, pemerintah memberi perlindungan yang signifikan
terhadap kebebasan HAM dalam semua aspek, yaitu aspek hak politik, sosial,
ekonomi, budaya, keamanan, hukum, dan pemerintahan.
2.3Teori-Teori HAM
Menurut Todung Mulya Lubis24, ada empat teori HAM yang sering dibahas dalam
berbagai kesempatan yang berkaitan dengan disiplin keilmuan yang didalamnya ada
unsur-unsur mengenai HAM, yaitu:
1. Teori Hak-hak Alami (Natural Rights Theory)
HAM adalah hak yang dimiliki oleh seluruh manusia pada segala waktu dan tempat
berdasarkan takdirnya sebagai manusia (human right are rights that belong to all human beings at all times and all places by virtue of being born as human beings). Hak-hak tersebut termasuk hak untuk hidup, kebebasan dan harta kekayaan seperti yang diajukan
oleh John Locke. Pengakuan tidak diperlukan bagi HAM, baik dari pemerintah atau dari
18
suatu sistem hukum, karena HAM bersifat universal. Berdasarkan alasan ini, sumber HAM
sesungguhnya semata-mata berasal dari manusia.25
Teori hak-hak kodrati kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai “Bill of Rights”,
seperti yang diberlakukan oleh Parlemen Inggris (1689), Deklarasi Kemerdekaan Amerika
Serikat (1776), Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara Prancis (1789). Lebih dari
satu setengah abad kemudian, di penghujung Perang Dunia II, Deklarasi Universal HAM
(1948) telah disebarluaskan kepada masyarakat internasional di bawah bendera teori
hak-hak kodrati. Warisan dari teori hak-hak-hak-hak kodrati juga dapat ditemukan dalam berbagai
instrumen HAM di benua Amerika dan Eropa.26
Teori hak kodrati mengenai hak (natural rights theory) yang menjadi asal-usul gagasan mengenai hak asasi manusia bermula dari teori hukum kodrati (natural rights theory). Teori ini dapat dirunut kembali jauh ke zaman kuno dengan filsafat Stoika hingga ke zaman modern melalui tulisan-tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas.27 Selanjutnya, ada
Hugo de Groot (nama latinnya: Grotius), seorang ahli hukum Belanda yang dinobatkan sebagai “bapak hukum internasional”, yang mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrati Aquinas dengan memutus asal-usulnya yang theistik dan membuatnya menjadi
produk pemikiran sekuler yang rasional. Dengan landasan inilah, pada perkembangan
selanjutnya, salah seorang kaum terpelajar pasca-Renaissans, John Locke, mengajukan
pemikiran mengenai teori hak-hak kodrati. Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati
inilah yang melandasi munculnya revolusi hak dalam revolusi yang meletup di Inggris,
Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18.28
Teori hak-hak kodrati telah berjasa dalam menyiapkan landasan bagi suatu sistem
hukum yang dianggap superior ketimbang hukum nasional suatu negara, yaitu norma HAM
internasional. Namun demikian, kemunculan sebagai norma internasional yang berlaku di
setiap negara membuatnya tidak sepenuhnya lagi sama dengan konsep awalnya sebagai
hak-hak kodrati. Substansi hak-hak yang terkandung di dalamnya juga telah jauh
melampaui substansi hak-hak yang terkandung dalam hak kodrati (sebagaimana yang
diajukan oleh John Locke). Kandungan hak dalam gagasan HAM sekarang bukan hanya
terbatas pada hak-hak sipil dan politik, tetapi juga mencakup hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Bahkan belakangan ini substansinya bertambah dengan munculnya hak-hak “baru”
25 Andrey Sujatmoko, op. cit., hlm. 7. Lihat dalam Scott Davidson, op. cit., hlm. 8. Lihat juga dalam Todung Mulya
Lubis, op. cit., hlm. 15-16.
19
yang disebut “hak-hak solidaritas”. Dalam konteks keseluruhan inilah seharusnya makna HAM dipahami dewasa ini.29
Namun, tidak semua orang setuju dengan pandangan teori hak-hak kodrati. Teori
positivisme termasuk salah satunya. Penganut teori ini berpendapat, bahwa mereka secara
luas dikenal percaya bahwa hak harus berasal dari suatu tempat. Kemudian, hak seharusnya
diciptakan dan diberikan oleh konstitusi, hukum atau kontrak. Hal tersebut dikatakan oleh Jeremy Bentham sebagai berikut: “Bagi saya, hak merupakan anak hukum; dari hukum riil
lahir hak riil, tetapi dari hukum imajiner, dari hukum ‘kodrati’, lahir hak imajiner. Hak kodrati adalah omong kosong belaka: hak yang kodrati dan tidak bisa dicabut adalah omong kosong retrorik, omong kosong yang dijunjung tinggi.”
Jadi dapat dikatakan bahwa, teori positivisme secara tegas menolak pandangan teori
hak-hak kodrati. Keberatan utama teori ini adalah karena hak-hak kodrati sumbernya
dianggap tidak jelas. Menurut positivisme suatu hak mestilah berasal dari sumber yang
jelas, seperti dari peraturan perundang-undangan atau konstitusi yang dibuat oleh negara.
Dengan perkataan lain, jika pendukung hak-hak kodrati menurunkan gagasan mereka
tentang hak itu dari Tuhan, nalar atau pengandaian moral yang a priori, kaum positivis berpendapat bahwa eksistensi hak hanya dapat diturunkan dari hukum negara.30
Berkenaan dengan perdebatan antara kedua teori tersebut, menurut pengamatan
Mieczyslaw Maneli –seorang pakar politik dan sarjana hukum–, perdebatan secara
tradisional yang membagi hukum kodrat dan teori positivisme saat ini sudah kehilangan
validitas dan ketajaman yang sebelumnya berlaku. Benarkah demikian, setelah kita
menyaksikan tidak hanya terjadinya suatu proses penyatuan (rapprochment), tetapi juga suatu proses positivisasi (positivization) ide-ide HAM? Menurut Todung Mulya Lubis, Maneli mungkin benar, khususnya jika kita membaca instrumen-instrumen hukum HAM
internasional dan konstitusi-konstitusi dari berbagai negara. Sebagai contoh, konstitusi
Indonesia, Malaysia dan Filipina telah memuat ketentuan-ketentuan yang merupakan
hak-hak kodrati. Keberatan lainnya terhadap teori hak-hak-hak-hak kodrati berasal dari teori relativisme
budaya (cultural relativist theory) yang memandang teori hak-hak kodrati dan penekanannya pada universalitas sebagai suatu pemaksaan atas suatu budaya terhadap
budaya yang lain yang diberi nama imperalisme budaya (cultural imperalism).31
29 Andrey Sujatmoko, op. cit., hlm. 8. Lihat dalam Rhona K. M. Smith, op. cit., hlm. 14 30Ibid., hlm. 9. Lihat dalam Scott Davidson, op. cit., hlm. 40.
31 Andrey Sujatmoko, op. cit., hlm. 7. Lihat dalam Scott Davidson, op. cit., hlm. 8. Lihat juga dalam Todung Mulya
20
Menurut para penganut teori relativisme budaya, tidak ada suatu hak yang bersifat
universal. Mereka merasa bahwa teori hak-hak kodrati mengabaikan dasar sosial dari
identitas yang dimiliki oleh individu sebagai manusia. Manusia selalu merupakan produk
dari beberapa lingkungan sosial dan budaya dan tradisi-tradisi budaya dan peradaban yang
berbeda yang memuat cara-cara yang berbeda menjadi manusia. Oleh karena itu, hak-hak
yang dimiliki oleh seluruh manusia setiap saat dan di semua tempat merupakan hak-hak
yang menjadikan manusia terlepas secara sosial (desocialized) dan budaya (deculturized).32 2. Teori Positivisme (Positivist Theory)
Teori ini berpandangan bahwa karena hak harus tertuang dalam hukum yang rill, maka
dipandang sebagai hak melalui adanya jaminan konstitusi (rights, then should be created and granted by constitution, laws, and contracts). Teori atau mazhab positivisme ini memperkuat serangan dan penolakan kalangan utilitarian, dikembangkan belakangan dengan lebih sistematis oleh John Austin. Kaum positivis berpendapat bahwa eksistensi
dan isi hak hanya dapat diturunkan dari hukum negara. Satu-satunya hukum yang sahih adalah perintah dari yang berdaulat. Ia tidak datang dari “alam” ataupun “moral”.33
Dapat dikatakan bahwa, kaum positivis berpendapat bahwa tidak ada sumber hak
kecuali dari negara atau badan yang diberi otoritas. Bagi kaum positivis, filsafat moral
sebagai sumber hak asasi manusia, sangat tidak kuat untuk mengikat manusia untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu. Bagi teori ini, hukum yang dibuat dengan segala sanksinya itu,
mutlak dijalankan karena itulah yang mengikat, terlepas dari motivasi dan substansi hukum
yang mengikat tersebut.34 Cara pandang ini dikritik habis karena dinilai telah mengabaikan
prinsip-prinsip norma sosial yang berisi ajaran moral yang tumbuh dan dipraltikkan dalam
masyarakat, tanpa pernah diformalkan sebagai hukum yang mengikat. Kritik ini dipertegas
lagi dengan contoh NAZI yang melegalkan praktik anti-semit. Begitu juga praktik
apartheid di Afrika Selatan beberapa dekade lalu, yang memperoleh legitimasi hukum positif.
Menghadapi kritikan pedas seperti ini, kaum positivis berpendapat bahwa masalah
besar yang kita hadapi jika kita tidak memiliki standar hukum posotif dalam menimbang
32Ibid.,Yaitu dinyatakan sebagai berikut: “According to cultural relativists, there is no such thing as universal rights. They feel that natural rights theory ignores the social basis of an individual’s identity as a human being. A human being is always the product of some social and cultural milieu and different traditions of culture and civilization contain different ways of being human. It follows, therefore, that rights belonging to all human beings at all times and in all places would be the rights of desocialized and deculturized beings”.
33 Rhona K. M. Smith, op. cit., hlm. 13. Lihat dalam John Austin, The Province of Jurisprudence Determined, W.
Rumble (ed.), (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), first published, 1832.
21
dan menilai sesuatu, ialah tiap masyarakat memiliki cara pandang dan ajaran moralnya
sendiri-sendiri sehingga sulit sekali menemukan standar baku. Lagi pula, hukum positif
sangat fleksibel karena dapat dengan mudah diubah sesuai kebutuhan dan tuntutan zaman.
Dalam prespektif seperti ini, tentu saja kaum positivis memandang penegakkan dan
perlindungan HAM jauh lebih baik merujuk kepada konvensi-konvensi internasional yang
menjadi standar baku bagi semua bangsa. Untuk aliran positivisme ini, rujukan selalu
mengacu ke Jeremy Bentham dan John Austin.35
Dapat disimpulkan bahwa, HAM bagi kaum positivis hanyalah sebatas hak-hak yang
ditentukan oleh negara (diatur dengan hukum). Selain itu, kaum positivis tidak
membedakan mana hak yang dapat dikurangi (derogable right) dan mana hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun (non-derogable right). Bagi kaum positivis, semua hak (termasuk hak untuk hidup) dapat dibatasi dan dikurangi sepanjang ditentukan
demikian oleh hukum.
3. Teori Relativisme Budaya (Cultural Relativist Theory)
Isu relativisme budaya (cultural relativism) baru muncul menjelang berakhirnya Perang Dingin sebagai respon terhadap klaim universal dari gagasan hak asasi manusia
internasional. Gagasan tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa kebudayaan
merupakan satu-satunya sumber keabsahan hak atau kaidah moral.36 Karena itu hak asasi
manusia dianggap perlu dipahami dari konteks kebudayaan masing-masing negara. Semua
kebudayaan mempunyai hak hidup serta martabat yang sama yang harus dihormati.
Berdasarkan dalil ini, para pembela gagasan relativisme budaya menolak universalisasi hak
asasi manusia, apalagi bila ia didominasi oleh satu budaya tertentu.
Teori ini merupakan salah satu bentuk anti-tesis dari teori hak-hak alami (natural rights). Teori ini berpandangan bahwa hak itu bersifat universal merupakan pelanggaran satu dimensi kultural terhadap dimensi kultural yang lain, atau disebut dengan imperialisme
kultural (cultural imperialism). Yang ditekankan dalam teori ini adalah bahwa manusia merupakan interaksi sosial dan kultural serta perbedaan tradisi budaya dan peradaban
berisikan perbedaan cara pandang kemanusiaan (different ways of being human). Oleh karenanya, penganut teori ini mengatakan, that rights belonging to all human beings at all times in all places would be the rights of desocialized and deculturized beings.
35Ibid., hlm. 71.
22
Lebih lanjut, ide relativisme budaya berangkat dari filsafat kaum sophist yang secara umum ingin menyatakan bahwa karakter moral adalah relatif dan dipengaruhi oleh budaya
di masing-masing wilayah. Pada konteks hak asasi manusia, pandangan ini berpengaruh
cukup dalam mulai dari perumusan hak hingga tataran implementasi. Relativisme budaya
mengusulkan bahwa hak asasi manusia dan aturan tentang moralitas harus disandikan
tergantung pada konteks budaya. Terminologi budaya ini termasuk tradisi indigenos
(indigeneous tradition) dan praktik kebiasaan termasuk ideologi politik, ideologi agama, dan struktur institusi. Oleh karenanya, gagasan tentang hak dan aturan moral harus dibuat
secara berbeda-beda karena akar dari budaya juga berbeda-beda. Para pendukung utama relativisme budaya mengatakan bahwa “tidak ada ide hak asasi manusia lintas budaya yang dapat disepakati dan tidak ada budaya yang dibolehkan untuk dipaksakan untuk dipahami
dan dipraktikkan oleh negara lain”. Pada posisi ini, kaum relativisme tidak membedakan
antara moral dan hukum. Padahal, instrumen hak asasi manusia adalah kewajiban hukum
sebuah negara untuk mengkonversi kewajiban moral menjadi kewajiban hukum.37
Gagasan bahwa hak asasi manusia terikat dengan konteks budaya umumnya diusung
oleh negara-negara berkembang dan negara-negara Islam. Gagasan ini begitu mengemuka
pada dasawarsa 1990-an –terutama menjelang Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia di
Wina–, disuarakan dengan lantang oleh para pemimpin dan cendikiawan (yang biasanya
merepresentasikan kepentingan status quo) di negara-negara tersebut. Para pemimpin negara-negara di kawasan Lembah Pasifik Barat, misalnya, mengajukan klaim bahwa apa
yang mereka sebut sebagai “nilai-nilai Asia” (Asian Values) lebih relevan untuk kemajuan di kawasan ini, ketimbang “nilai-nilai Barat” (seperti hak asasi manusia dan demokrasi) yang dinilai tidak begitu urgent bagi bangsa-bangsa Asia. Yang paling terkenal dalam mengadvokasi “nilai-nilai Asia” itu adalah Lee Kwan Yew, Menteri Senior Singapura, dan
Mahathir Mohammad, mantan Perdana Menteri Malaysia.
“Di Asia Tenggara yang dicari itu tidak begitu berkaitan dengan demokrasi, melainkan dengan pemerintahan yang bertanggungjawab, yakni suatu kepemimpinan yang transparan dan tidak korup”,38 ujar Lee Kwan Yew dalam sebuah ceramahnya di Jepang. Menurut Lee, yang terlebih dahulu dicari oleh bangsa-bangsa di Asia adalah pembangunan
ekonomi yang ditopang dengan kepemimpinan yang kuat, bukan memberikan kebebasan
37 Pranoto Iskandar, Hukum HAM Internasional Sebuah Pengantar Konseptual, (Cianjur: IMR Press, 2010), hlm.
367.
38 Rhona K. M. Smith, op. cit.,hlm. 21. Lihat dalam Lee Kwan Yew, “Democracy and Human Rights for the World”,
23
dan hak asasi manusia. Yang terakhir itu akan diberikan apabila negara-negara di kawasan
ini mampu menstabilkan pertumbuhan ekonomi dan memberi kesejahteraan kepada rakyat mereka. Dalam nada yang hampir sama Mahathir Mohammad berpendapat, “Saat kemiskinan dan tidak tersedianya pangan yang memadai masih merajalela, dan
kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat tidak terjamin, maka prioritas mesti diberikan kepada pembangunan ekonomi”.39 Atas dasar ini Mahathir menolak pemaksaan standar-standar hak asasi manusia dari satu negara ke negara lain. “Asia tampaknya tidak memiliki hak apapun untuk menetapkan nilai-nilainya sendiri tentang hak asasi manusia,”40 kecam
Mahathir terhadap upaya-upaya internasionalisasi hak asasi manusia. Singkatnya, baik bagi
Lee maupun Mahathir, ide hak asasi manusia tidak urgent bagi bangsa-bangsa Asia. Perdebatan mengenai isu ini dengan gamblang menunjukkan bahwa di balik gagasan “nilai-nilai Asia” para pemimpin di kawasan ini ingin mengemukakan pembenaran bagi penyimpangan-penyimpangan substansial dari tafsiran internasional yang baku tentang
kaidah-kaidah hak asasi manusia.41Dengan mengajukan “nilai-nilai Asia” mereka menolak
dijadikannya hak asasi manusia sebagai parameter dalam kerja sama pembangunan internasional. Lebih jauh sebenarnya di balik gagasan “nilai-nilai Asia” para pemimpin di kawasan itu gamang dengan diterapkannya “conditionality” dalam kerja sama
pembangunan. “Conditionality” yang dimaksud adalah menjadikan catatan hak asasi
manusia sebagai persyaratan dapat-tidaknya kerja sama pembangunan dilakukan.
Singkatnya, ada kepentingan tersembunyi (vested interest) para penguasa di kawasan itu dalam upaya advokasi “nilai-nilai Asia” sehebat-hebatnya.
Relativisme budaya (cultural relativism), dengan demikian, merupakan suatu ide yang sedikit banyak dipaksakan, karena ragam budaya yang ada menyebabkan jarang sekali
adanya kesatuan dalam sudut pandang mereka dalam berbagai hal, selalu ada kondisi di mana “mereka yang memegang kekuasaan yang tidak setuju”.42 Ketika suatu kelompok menolak hak kelompok lain, seringkali itu terjadi demi kepentingan kelompok itu sendiri.
Oleh karena itu, hak asasi manusia tidak dapat secara utuh bersifat universal kecuali apabila
39 Rhona K. M. Smith, loc. cit.Lihat dalam Mahathir Mohamad, “Keynote Address,” dalam laporan “International Conference Rethinking Human Rights”, yang diselenggarakan oleh JUST, Kuala Lumpur, 1994.
40Ibid.
41 Rhona K. M. Smith, loc. cit. Perdebatan itu dengan baik disunting oleh Michael Jacobsen & Ole Bruun, Human Rights and Asian Values: Contesting National Identities and Cultural Representations in Asia, Curzon, Australia, 2000.
24
hak asasi manusia tidak tunduk pada ketetapan budaya yang seringkali dibuat tidak dengan
suara bulat, dan dengan demikian tidak dapat mewakili setiap individu.
4. Doktrin Marxisme(Marxist Doctrine and Human Rights)
Marxisme secara substansi adalah teori emansipasi manusia, yang koheren nilai dengan
HAM. Manusia selalu menjadi inti, titik awal, dan akhir Marxisme. Seorang Marxis harus
percaya pada HAM, karena sebuah teori untuk emansipasi manusia tidak dapat
meremehkan atau mengabaikan martabat dan hak manusia. Kaum Marxis berjuang untuk
HAM dari negara borjuis, dan memiliki melindungi HAM di sosialisme yang mereka
didirikan. Di dalam suatu masyarakat, cenderung memiliki motivasi lebih terhadap hak
individu, sementara menurut Marx, masyarakat akan selalu berhadapan dengan individu
lainnya sehingga mereka akan egois, sifat yang mesti dihindari karena akan menimbulkan
konflik. Ajaran Marxisme yang menjanjikan penghapusan kelas dan perjuangan kelas
bermaksud menghilangkan akar konflik sosial.43
Marxisme sejatinya tentang perjuangan kelas, perlawanan terhadap penindasan. Karl
Marx dan Friedrich Engels mengembangkan Marxisme agar setiap manusia tertindas sadar
dan memperjuangkan hak-haknya. Marx dan Engels percaya pada akhir dari kepemilikan
pribadi, eksploitasi, kelas sosial, dan negara seperti yang kita tahu saat ini adalah hadirnya
kesetaraan bagi semua orang. Hal ini, sesuai dengan generasi HAM kedua yang telah
diuraikan sebelumnya. Kesetaraan yang sesungguhnya yang bukan berarti memperlakukan
semua orang sama, tapi menghadirkan kesetaraan kepada kebutuhan yang berbeda untuk
setiap orang. Hal ini adalah jenis masyarakat yang Marx bayangkan kedepannya.
Kebutuhan manusia tidak semua sepadan dengan satu sama lain. Kita tidak bisa mengukur
mereka semua dengan ukuran yang sama. Semua orang bagi Marx memiliki hak yang setara
untuk realisasi diri, dan untuk berpartisipasi aktif dalam membentuk kehidupan sosial.44
Tesis paling fundamental dari Marxisme dapat direkonstruksi dari masalah dasar yang
ingin dipecahkan oleh Marxisme, yaitu masalah eksploitasi kelas pekerja dalam
kapitalisme. Penindasan terjadi ketika terwujud penarikan nilai-lebih dari kelas pekerja
oleh kelas kapitalis. Artinya, pertama-tama, ada selisih antara nilai kerja dan nilai produk
kerja. Kemudian selisih nilai ini, yang merupakan hasil pencurahan kerja kelas pekerja,
43 Wei Zhou, Marxism And Human Rights: Theroritical Perspective, Creative Commons Attribution 3.0, (Hong
Kong License: Hong Kong University, 1998), hlm. 217.
25
diambil oleh kelas kapitalis. Inilah yang secara umum dimengerti oleh kaum Marxis
sebagai eksploitasi.45
Dalam karyanya, Self-Ownership, Freedom and Equality, G.A. Cohen menunjukkan bahwa sebagai Marxis, perlu berpikir dua kali tepat pada titik ini. Cohen memperlihatkan
bahwa argumen eksploitasi kaum Marxis sebenarnya mengandaikan pengakuan atas tesis
kepimilikan diri. Kelas pekerja dihisap atau dieksploitasi persis karena nilai-lebih yang
mereka hasilkan, yang karenanya merupakan hak mereka, ternyata dicuri oleh kelas
kapitalis. Mengapa argumen pengambilan nilai-lebih ini masuk akal? Persis karena
diasumsikan terlebih dulu bahwa setiap orang berhak atas hasil kerjanya, yang pada
gilirannya mengandaikan bahwa setiap orang berhak atas dirinya sendiri. Di sinilah setiap
Marxis, seperti diakui Cohen sendiri, akan merasa kikuk persis karena sekonyong-konyong
mendapati dirinya tinggal seatap dengan kaum libertarian.46
Marxis menganggap bahwa manusia tidak memiliki otonomi individu dengan hak-hak
yang melekat secara alami. Manusia terikat dengan kondisi sosial tempat ia berada. Kendati
Marxisme sebagai sistem telah porak poranda hampir dua dekade silam, sebagai sebuah
teori, Marxis tetap hadir. Bagi Marxisme, hukum alam yang dipakai untuk mendekati
HAM, terlampau idealistik dan tidak punya preseden sejarah. Bagi kaum Marxis, tidak ada
hak-hak alami atau hak-hak yang tak boleh dicabut dalam konteks HAM. Dalam
masyarakat yang didikte dengan oleh sistem kapitalisme dimana monopoli alat-alat
produksi terjadi, ide atau paham tentang hak-hak individu adalah ilusi kaum kapitalis
belaka. Konsep atau pemikiran mengenai hukum, keadilan, moral, demokrasi, dan
kebebasan amatlah ditentukan oleh kondisi-kondisi material dan kondisi sosial di mana
orang-orang itu berada. Bila kondisi kehidupan berubah, secara otomatis juga ide dan
pemikiran ikut berubah.47 Lebih lanjut kaum Marxis mendalihkan, di masyarakat kapitalis
di mana alat-alat produksi dan produksi dikontrol oleh hanya segelintiran orang, maka pasti
banyak yang tidak puas karena yang segelintir memiliki segalanya, sementara yang banyak
tidak memiliki apa pun kecuali tenaga mereka. Akibatnya, mereka tak mampu memenuhi
kebutuhan mereka.
Dapat disimpulkan dari beberapa teori-teori HAM diatas bahwasannya, terdapat
perbedaan dalam konsep filosofis hak asasi manusia. Negara-negara Barat selalu membela
45 Martin Suryajaya, Materialisme Dialektis: Kajian tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer, (Yogyakarta:
Resist Book, 2012), hlm. 212.
46Ibid., hlm. 214.