• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip-Prinsip HAM

Dalam dokumen Implementasi Teori Teori Hak Asasi Manus (Halaman 46-50)

BAB II LANDASAN TEORI

2.5 Prinsip-Prinsip HAM

Berbicara mengenai prinsip-prinsip HAM dalam konteks hukum HAM internasional, maka akan terkait dengan prinsip-prinsip umum hukum internasional (general principles

67http://pekanbaru.tribunnews.com/2013/05/02/buruh-tuding-pt-musim-mas-tekan-pekerja-wanita, Diakses pada 21 Mei 2017, pkl. 12.50 WIB.

44 of law) yang juga merupakan salah satu sumber hukum internasional yang utama (primer), di samping perjanjian internasional (treaty), hukum kebiasaan internasional (customary international law), yurisprudensi, dan doktrin.

Agar suatu prinsip dapat dikategorikan sebagai prinsip-prinsip umum hukum internasional diperlukan dua hal, yaitu adanya penerimaan (acceptance) dan pengakuan (recognition) dari masyarakat internasional. Dengan demikian, prinsip-prinsip HAM yang telah memenuhi kedua syarat tersebut memiliki kategori sebagai prinsip-prinsip umum hukum. Pada kenyataannya, hal itu kemudian dielaborasi ke dalam berbagai instrumen hukum HAM internasional, misalnya perjanjian internasional.

Terdapat beberapa prinsip yang telah menjiwai HAM. Prinsip-prinsip tersebut terdapat di hampir semua perjanjian internasional dan diaplikasikan ke dalam hak-hak yang lebih luas. Prinsip kesetaraan, pelarangan diskriminasi, dan kewajiban positif yang dibebankan kepada setiap negara digunakan untuk melindungi hak-hak tertentu. Sesuai dengan dikemukakan oleh Rhona K. M. Smith, bahwa ada tiga prinsip dalam HAM, yaitu:

1. Prinsip Kesetaraan (Equality)

Gagasan mengenai HAM dibangun atas dasar prinsip kesetaraan. Prinsip ini menekankan bahwa manusia berkedudukan setara menyangkut harkat dan martabatnya. Manusia memiliki kesetaraan di dalam HAM. Berbagai perbedaan yang melekat pada diri manusia tidak menyebabkan kedudukan manusia menjadi tidak setara, karena walaupun begitu tetaplah ia sebagai manusia. Hal tersebut misalnya tercermin dari prinsip equal pay for equal work yang dalam UDHR dianggap sebagai hak yang sama atas pekerjaan yang sama. Prinsip tersebut sekaligus juga merupakan HAM. Kesetaraaan dianggap sebagai prinsip hak asasi manusia yang sangat fundamental. Kesetaraan dimaknai sebagai perlakuan yang setara, dimana pada situasi yang sama harus diperlakukan dengan sama, dan dimana pada situasi berbeda dengan sedikit perdebatan diperlakukan secara berbeda. Kesetaraan juga dianggap sebagai prasyarat mutlak dalam negara demokrasi. Kesetaraan di depan hukum, kesetaraan kesempatan, kesetaraan akses dalam pendidikan, kesetaraan dalam mengakses peradilan yang fair dan lain-lain merupakan hal penting dalam hak asasi manusia.68 Masalah muncul ketika seseorang berasal dari posisi yang berbeda dan diperlakukan secara sama. Jika perlakuan yang sama ini terus diberikan, maka tentu saja perbedaan ini akan terjadi terus menerus walaupun standar hak asasi manusia telah

68 Eva Brems, Human Rights: Universality and Diversity, (London: Martinus Nijhoff Publishers, 2001), hlm. 14. Lihat dalam Eko Riyadi, et. al.,Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia, hlm. 14.

45

meningkat. Oleh karena itu, penting untuk mengambil langkah selanjutnya guna mencapai kesetaraan.

Perkembangan gagasan hak asasi manusia memunculkan terminologi baru, yaitu diskriminasi positif (affirmative action). Tindakan afirmatif mengizinkan negara untuk memerlakukan secara lebih kepada kelompok tertentu yang tidak terwakili, seperti adanya kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen. Contoh lain, dapat berupa mengizinkan perempuan untuk diterima dibanding laki-laki dengan kualifikasi dan pengalaman yang sama melamar, hanya dengan alasan lebih banyak laki-laki yang melamar dilowongan pekerjaan tersebut. Beberapa negara mengizinkan masyarakat adat untuk mengakses pendidikan yang lebih tinggi dengan kebijakan-kebijakan yang membuat mereka diperlakukan secara lebih (favourable) dibandingkan dengan orang-orang non-adat lainnya dalam rangka untuk mencapai kesetaraan. Pasal 4 CEDAW dan 2 CERD adalah contohnya. Hal yang perlu dicatat adalah bahwa tindakan afirmatif hanya dapat digunakan dalam suatu ukuran tertentu hingga kesetaraan itu dicapai. Namun, ketika kesetaraan telah tercapai. Maka tindakan ini tidak dapat dibenarkan lagi.69

2. Prinsip Non-Diskriminasi (Non-Discrimination)

Pelarangan terhadap diskriminasi atau non-diskriminasi adalah salah satu bagian dari prinsip kesetaraan. Jika semua orang setara, maka seharusnya tidak ada perlakuan yang diskriminatif (selain tindakan afirmatif yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan). Pada efeknya, diskriminasi adalah kesenjangan perbedaan perlakuan dari perlakuan yang seharusnya sama atau setara. Prinsip ini dikenal pula dengan nama prinsip nondiskriminasi. Dalam “International Bill of Human Rights”, yaitu UDHR, ICCPR maupun ICESCR, prinsip ini telah dimuat secara tegas. Bahkan sebelumnya, hal yang sama juga telah lebih dahulu ditegaskan dalam Piagam PBB (United Nations Charter).

Prinsip ini kemudian menjadi sangat penting dalam hak asasi manusia. Dalam hal ini, diskriminasi memiliki dua bentuk, yaitu:

a. Diskriminasi langsung, yaitu ketika seseorang baik langsung maupun tidak langsung diperlakukan secara berbeda dari pada lainnya (less favourable).

b. Diskriminasi tidak langsung, yaitu ketika dampak praktis dari hukum dan atau kebijakan merupakan bentuk diskriminasi walaupun hal itu tidak ditujukan untuk tujuan diskriminasi. Misalnya, pembatasan pada hak kehamilan jelas mempengaruhi lebih kepada perempuan daripada kepada laki-laki.

69 Rhona K. M. Smith, op. cit., hlm. 39-40.

46

Pemahaman diskriminasi kemudian meluas dengan dimunculkannya indikator diskriminasi yaitu berbasis pada ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agana, pendapat politik atau opini lainnya, nasionalitas atau kebangsaan, kepemilikan atas suatu benda (property), status kelahiran atau status lainnya. Semakin banyak pula instrumen yang memperluas alasan diskriminasi termasuk di dalamnya orientasi seksual, umur, dan cacat tubuh.70

3. Prinsip Kewajiban Positif Setiap Negara

Prinsip kewajiban positif negara timbul sebagai konsekuensi logis dari adanya ketentuan menurut hukum HAM internasional bahwa individu adalah pihak yang memegang HAM (right bearer) sedangkan negara berposisi sebagai pemegang kewajiban (duty bearer) terhadap HAM, yaitu kewajiban untuk: melindungi (protect), menjamin (ensure), dan memenuhi (fulfill) HAM setiap individu. Namun, menurut hukum internasional, kewajiban di atas merupakan kewajiban yang bersifat erga omnes atau kewajiban bagi seluruh negara jika menyangkut norma-norma HAM yang berkategori sebagai jus cogens (peremptory norms). Misalnya, larangan melakukan: perbudakan,

genocide, dan penyiksaan.

Prinsip kewajiban positif negara digunakan untuk melindungi hak-hak tertentu. Menurut hukum hak asasi internasional, suatu negara tidak boleh secara sengaja mengabaikan hak-hak dan kebebasan-kebebasan. Sebaliknya negara diasumsikan memiliki kewajiban positif untuk melindungi secara aktif dan memastikan terpenuhinya hak-hak dan kebebasan-kebebasan. Untuk kebebasan berekspresi, sebuah negara boleh memberikan kebebasan dan sedikit memberikan pembatasan. Untuk hak hidup, negara tidak boleh menerima pendekatan yang pasif. Negara wajib membuat suatu aturan hukum dan mengambil langkah-langkah guna melindungi secara positif hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang dapat diterima oleh negara. Karena alasan inilah, negara membuat aturan hukum melawan pembunuhan untuk mencegah aktor non negara (nonstate actor) melanggar hak untuk hidup. Sebagai persyaratan utama, negara harus bersifat proaktif dalam menghormati hak untuk hidup, bukan bersikap pasif.71

Menurut Manfred Nowak, ada empat prinsip HAM, yaitu universal (universality), tak terbagi (indivisibility), saling bergantung (interdependent), dan saling terkait (interrelated). Prinsip tak terbagi dimaknai dengan semua hak asasi manusia adalah sama-sama penting

70 Rhona K. M. Smith, loc. cit. Lihat Pasal 1 International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CRC).

47

dan oleh karenanya tidak diperbolehkan mengeluarkan hak-hak tertentu atau kategori hak tertentu dari bagiannya. Prinsip universal dan prinsip tak terbagi dianggap sebagai dua prinsip kudus atau suci paling penting (the most important sacred principle). Dua-duanya menjadi slogan utama dalam ulang tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang kelima puluh, yaitu semua hak asasi manusia untuk semua manusia (all human rights for all). Juga ditegaskan dalam Pasal 5 Deklarasi Wina tentang program aksi yang berbunyi bahwa semua hak asasi manusia adalah universal, tak terbagi, saling bergantung, dan saling terkait (all human rights are universal, indivisible, interdependent and interrelated).72

Dalam dokumen Implementasi Teori Teori Hak Asasi Manus (Halaman 46-50)

Dokumen terkait