• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Kasus dan HAM

Dalam dokumen Implementasi Teori Teori Hak Asasi Manus (Halaman 58-72)

BAB II LANDASAN TEORI

3.3 Analisa Kasus dan HAM

3.3Analisa Kasus dan HAM

Kajian tentang Pasal 33 UUD 1945 selalu mendengung dan dijadikan dasar dalam pengelolaan pertambangan di Indonesia. Bahkan menjadi isu yang usang dan lebih bermotif keadilan ekonomi daripada keadilan ekologi. Memang dapat kita lihat dalam beberapa aspek pengelolaan ekonomi yang berhubungan atau berbasiskan penggunan lahan atau sumber daya alam selalu mengesampingkan aspek lingkungan. Lingkungan oleh sebagian kaum antroposentrisme dianggap sebagai obyek yang dikelola secara maksimal karena manusia dianggap makhluk yang paling tinggi derajatnya dari mahluk lain baik yang sifatnya abiotik (benda mati seperti gunung, hutan, sungai, dan lain-lain) dan juga sifatnya biotik (benda hidup seperti hewan dan tumbuhan) sehingga tidak peduli apa yang terjadi kelak atau generasi selanjutnya. Begitupun isu lingkungan selalu menyeruak jika telah terjadi perusakan dan atau pencemaran atau kemudian ada korban atas suatu kegiatan usaha tersebut. Aspek lingkungan hidup selalu diabaikan untuk menghasilkan produk yang baik dan ekonomis dan cepat menghasilkan uang kendatipun aspek penanggulangan dan pemulihan sehingga bisa dipastikan kerusakan semakin meluas dan tidak terkendali. Sebaik apapun suatu usaha untuk memulihkan lingkungan yang telah rusak atau tercemar tidak akan mengembalikan ke posisi kualitas lingkungan sebelumnya.

Kita ketahui bahwa, industri pertambangan sebagai salah satu sumber devisa Indonesia dalam beberapa dasawarsa terakhir dengan segala bentuk dan jenisnya menjadi isu yang menarik dan memiliki dimensi yang besar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Menjadi isu yang menarik karena kalau kita berbicara mengenai pertambangan yang menjadi fokus adalah mengenai isu ekonomi dimana negara dan perusahaan besar (nasional dan asing) mendapatkan keuntungan dari proses dan hasil dari pertambangan. Negara dalam hal ini mendapatkan penerimaan baik yang berupa pajak maupun bukan pajak. Sedangkan perusahaan pertambangan mendapatkan hasil dari penjualan bahan galian yang

87Launa Qisti, “Harmonisasi Hukum Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 660.1/17 Tahun 2012 Tentang

Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan dan Pembangunan Pabrik Semen oleh PT. Semen Gresik (PERSERO)

56

diekpolitasi. Di satu sisi ada banyak aspek juga yang terabaikan dalam hal mengejar keuntungan ekonomi di bidang pertambangan. Sebagai contoh dengan berdirinya perusahaan pertambangan, meminta negara untuk menyediakan aparat keamanan yang berlebihan dengan alih-alih merupakan sumber pendapatan negara dan menjaga tempat yang strategis.

Tetapi yang kemudian terjadi ada beberapa tindak kekerasan yang mengarah pada pelanggaran HAM yang dilakukan aparat keamanan terhadap masyarakat sekitar yang dianggap melakukan kekacauan atau gangguan sehingga kehidupan masyarakat di daerah pertambangan semakin terdesak. Negara dalam hal ini bukan saja melakukan pelanggaran, tetapi telah gagal dalam hal melindungi masyarakatnya. Dalam konteks sosial budaya kita dapat melihat mulai tergerusnya nilai-nilai budaya dan kearifan lokal diganti dengan hadirnya alat-alat berat yang bergerak tanpa batas dengan suara bising dan polusinya. Masyarakat yang dulu lebih senang berkebun dan bertani dengan budaya guyubnya digantikan dengan buruh-buruh tani yang berkerja di areal pertambangan yang lebih menjanjikan secara ekonomi dalam jangka pendek daripada bekerja di ladang atau sawah. Hal ini juga didukung dengan kebijakan di bidang pertanian dan pangan yang lebih berorientasi pasar dan hasil. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah aspek lingkungan. Aspek ini kemudian menjadi kriteria terakhir dalam penentuan kebijakan ekonomi dan proses produksi dalam skala makro dan mikro dalam sektor pertambangan. Kalau kerusakan dan pencemaran diliput oleh media dan ada korban terluka atau bahkan meninggal, maka baru saat itu juga Pemerintah dan Pemerintah Daerah memikirkan untuk mengambil langkah-langkah penanganannya. UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 dengan jelas mengatakan bahwa ”Bumi, air dan kekayaaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Secara sederhana semua yang dihasilkan dari kekayaan alam Indonesia hanya untuk masyarakat Indonesia. Ini adalah keputusan final dimana kita menganut negara kesejahteraan (welfare state). Jadi bukan untuk kepentingan perseorangan, perusahaan besar, bahkan negara (Pemerintah) Indonesia sendiri.88

Dalam hal ini, Bagir Manan menyatakan bahwa pengusaan negara atas pertambangan dengan sebesar-besar kemakmuran rakyat menimbulkan kewajiban negara yaitu bahwa segala bentuk pemanfaatan sumber daya alam pertambangan serta hasil yang didapat di dalamnya (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan

88 Franky Butar Butar, op. cit., hlm. 188.

57

kesejahteraan masyarakat. Negara juga dalam hal ini hendaknya dapat menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam dan di atas bumi yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat. Lebih lanjut, beliau menyatakan bahwa negara mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau kehilangan hak yang terdapat di dalam dan di atas bumi. Ketiga hal tersebut yang seharusnya menjadi perdoman bagi pemerintah dan pemerintah daerah dalam rangka menentukan arah kebijakan di bidang pertambangan.

Selain pasal 33, dalam pengelolaan lingkungan, Pasal 28H UUD 1945 menyatakan bahwa ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Menurut hemat saya bahwa hak atas lingkungan yang baik dan sehat adalah bagian dari hak asasi manusia disamping hak asasi manusia yang lain. Tentu hal ini bukan hanya ditujukan kepada manusia sebagai pengguna atas lingkungan tetapi juga hak asasi alam itu sendiri untuk tidak dirusak atau dicemarkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Lebih lanjut di dalam pasal 5 ayat 1 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolalan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa ”Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Dari beberapa norma yang ada tersebut diatas, maka jelas bahwa jenis usaha apapun yang berhubungan dengan aktivitas lingkungan dan mempunyai potensi merubah dalam hal ini merusak atau mencemar harus memperhatikan prinsip dan norma yang tercantum dalam peraturan perundangan yang diatasnya dan yang berhubungan termasuk aktivitas industri pertambangan di dalamnya.89

Luasnya spektrum pelanggaran HAM dalam aktivitas pertambangan di Indonesia menunjukkan tidak adanya peran negara dalam melindungi, menghormati, dan memenuhi HAM warganya. Hak asasi manusia seakan tidak menjadi prioritas dalam setiap pembangunan sehingga pelanggaran atasnya lumrah terjadi.90 Pegunungan Kendeng Utara sebagian besar merupakan Kawasan Bentang Alam Kars (KBAK) yang membentang dari Kab. Pati, Kab. Grobogan, Kab. Rembang, dan Kab Blora di Jawa Tengah; hingga ke Kab. Bojonegoro dan Kab. Lamongan di Jawa Timur. Kawasan tersebut kaya akan bahan baku utama semen (batu gamping dan tanah liat), serta sumber daya air bawah tanah untuk pertanian.

89Ibid., hlm. 189.

58

Kawasan karst memiliki dua sumber daya alam yang pemanfaatannya bersifat mutually exclusive. Batu gamping dan tanah liat merupakan bahan baku penting bagi industri semen. Namun bila sumber daya ini dieksploitasi, maka sumber air bawah tanah yang menjadi penopang penting bagi kehidupan pertanian dan kebutuhan rumah tangga warga sekitar menjadi terancam. Demikian pula bila sumber daya air bawah tanah dikonservasi, maka batu gamping dan tanah liat tidak dapat dieksploitasi secara massif. Pegunungan gamping di kawasan CAT Watuputih memiliki fungsi ekologi dan ekonomi amat penting bagi masyarakat setempat demi sumber ketersediaan air bersih bagi wilayah Rembang.

Jika kawasan itu ditambang, kerusakan lingkungan akan berdampak luas. Sebagian air PDAM Rembang juga diambil dari sungai yang berasal dari mata air Watuputih. Kerusakan pada CAT watuputih akan berdampak pada ketersediaan air seluruh Rembang.91 Dalam konflik antara masyarakat Rembang dengan PT Semen Indonesia, terjadi pelanggaran atas pemenuhan pangan yang bertautan dengan pemenuhan hak atas air. Hak ini secara spesifik diatur di dalam Pasal 11 Paragraf 1 dari Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya92 Lebih lanjut, hak atas air adalah salah satu indikator pemenuhan utama bagi kelangsungan hidup. Dalam Komentar Umum No. 15, ditegaskan tautan antara hak atas tanah dengan fungsinya untuk menunjang penikmatan hak atas air. Wilayah-wilayah di pedesaan dan daerah-daerah kota yang terampas dari fungsinya harus mendapatkan perhatian, utamanya pada keterbukaan akses pada penggunaan fasilitas air yang terawat. Akses terhadap sumber-sumber air alami dibanyak daerah di pedesaan harus mendapatkan perlindungan penuh dari segala bentuk praktik-praktik yang melanggar hukum maupun tindakan-tindakan yang mampu membahayakan kelestarian akses terhadap sumber daya air. Aktivitas pabrik semen oleh PT Semen Indonesia akan mengancam pemenuhan kebutuhan air bagi warga masyarakat sekitar dimana aktivitas pertambangan berada pada sumber mata air utama bagi kehidupan warga sehari-hari baik untuk rumah tangga, maupun irigasi pertanian.

Pada kenyataannya seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, masyarakat Kendeng sebagai masyarakat yang terkena dampak secara langsung dari pembangunan pabrik PT. Semen Indonesia merasa tidak diikutsertakan dalam proses pembuatan ijin atau proses

91http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/07/kerusakan-watuputih-bisa-berdampak-luas, Diakses pada 24 Mei 2017, pkl. 19.30 WIB.

92Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan...” Dokumen dapat diakses di:

http://tbinternet.ohchr.org/_layouts/treatybodyexternal/Download.aspx?symbolno=E%2fC.12%2f1999%2f5 &Lang=en, Diakses pada 29 Mei 2017, pkl. 09.40 WIB.

59

lainnya. Ini adalah kesalahan fatal yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Rembang. Seharusnya informasi itu diberikan (bukan hanya dibuka) sejak awal, sebelum pembangunan pabrik PT. Semen Indonesia dilaksanakan.93 Pemkab Rembang terlalu ceroboh, karena mereka bertemu dan berkomunikasi dengan warga ketika proyek sudah mau dilaksanakan. Dalam sosialisasi tersebut, terkesan ada pemaksaan kehendak yang dilakukan oleh Pemkab kepada warganya. Seharusnya masyarakat diberitahu dahulu mengenai perencanaan, kemudian rakyat menanggapinya dengan kata setuju atau tidak yang disertai dengan alasan, sehingga ada komunikasi dua arah bukan malah satu arah.

Penolakan masyarakat Kendeng terhadap pendirian pabrik semen ini menjadi bukti, bahwa Pemkab Rembang tidak mengikuti alur yang telah diamanatkan oleh UU No. 14 tahun 2008. Padahal keterbukaan informasi adalah hal penting yang harus dipenuhi oleh Pemkab Rembang dalam menjalankan roda organisasi pemerintahan. Apabila keterbukaan ini tidak dilaksanakan maka akan memunculkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Untuk itu, pemerintah harus mentaati asas-asas yang telah dicantumkan dalam UU No. 14 tahun 2008. Sengketa yang terjadi antara masyarakat Kendeng dengan Pemerintah Rembang (sampai kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah) ini telah bisa dijadikan bukti, bahwa pemerintah tidak mentaati asas-asas keterbukaan publik.94 Apabila badan publik tidak menjalankan asas-asas keterbukaan informasi publik seperti yang dijelaskan diatas, maka potensi munculnya konflik horizontal dan vertikal akan besar, apalagi terkait dengan informasi yang menyangkut hajat orang banyak.

Rencana pembangun Pabrik Semen di Kabupaten Rembang, merupakan kebijakan yang menyangkut hajat orang banyak, karena terkait dengan “penggusuran” lahan warga dan juga ekspolitasi alam yang berdampak pada kerusakan alam. Jadi, negara (dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Rembang) harus membuka segala informasi yang terkait dengan pembangunan dan perencanaannya kepada masyarakat luas, terutama masyarakat yang tinggal di daerah proyek yakni masyarakat Pegunungan Kendeng.

Padahal dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, negara wajib menjaga kelestarian dan keberlanjutan dan juga keserasian dan keseimbangan. Apabila asas tersebut tidak ditaati maka dengan sendiri proyek-proyek pembangunan yang berkaitan dengan lingkungan secara otomatis gugur dan tidak bisa dilanjutkan lagi. Semenjak dibangunnya Pabrik Semen di pegunungan kendeng,

93 Amicus Curiae..., op. cit., hlm. 11.

60

ternyata memberikan dampak buruk bagi pertanian masyarakat Kendeng, selain itu lingkungan juga menjadi rusak, karena lahan hutan yang seharusnya dijaga kelestariannya telah dieksploitasi untuk kepentingan jangka pendek.95

Adanya nilai-nilai tradisional sebagai bagian dari kearifan lokal masyarakat Kendeng berdasarkan nilai-nilai hukum adat tentang tanah sebagaimana dipaparkan di atas secara yuridis adalah hal yang secara normatif harus diperhatikan. Hal tersebut paling tidak didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut: Pertama, tuntutan normatif untuk memperhatikan kearifan, nilai-nilai dan hak-hak tradisional masyarakat adalah amanat konstitusi sebagaimana dituangkan dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Pasal 18B ayat (2) UUD 45 mengatur: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Sedangkan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 mengatur: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”

Berdasarkan ketentuan dua pasal UUD 1945 di atas maka jelaslah kiranya bahwa secara konstitusional adalah kewajiban siapa saja, termasuk Pemerintah maupun korporasi, untuk menghormati hak-hak tradisional sebuah kesatuan masyarakat hukum adat dan atau masyarakat tradisional.96 Pengabaian begitu saja atas nilai-nilai tradisional sebagaimana di atas adalah sebuah pengabaian atas hak-hak tradisional masyarakat setempat, dan hal itu adalah sebuah pelanggaran hukum yang serius karena merupakan tindakan yang menyalahi konstitusi khususnya Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945.97

95Ibid., hlm. 19.

96Apa yang disebut oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sebagai “kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat” pada hakekatnya adalah apa yang dalam teori ilmu hukum adat disebut sebagai “persekutuan hukum adat” atau

adatrechtsgemeenschap, yang bisa berbentuk 4 jenis: Pertama, persekutuan hukum adat berbasis kesatuan genealogis. Kedua, persekutuan hukum adat yang berbasis kesatuan territorial atau wilayah. Ketiga, persekutuan hukum adat yang berbasiskan dua hal sekaligus, yakni kesatuan genealogis dan teritorial. Keempat, persekutuan hukum adat berbasiskan pengikatan diri secara sukarela (voluntary association). Lihat J.F. Holleman (Ed.), Van Vollenhoven on Indonesian Adat Law, Springer-Science+Business Media, B.V., 1981, hlm. 45-51; Lihat juga: Frans and Keebet von Benda-Beckmann, “The Social Life of Living Law in Indonesia,” in Marc Hertogh (Ed.),

Living Law. Reconsidering Eugen Ehrlich, Oñati International Series in Law and Society, Oxford and Portland Oregon, 2009, hlm. 180-181). Khusus jenis persekutuan hukum adat yang kedua yakni persekutuan hukum adat berdasarkan kesatuan territorial, maka contoh dari persekutuan jenis ini adalah desa di Jawa, Madura, dan Bali (B. Ter Haar Bzn, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat (terj. oleh Soebakti Poesponoto), Pradnya Paramita, Jakarta, 1979, hlm. 31-32). Dengan demikian, maka kesatuan masyarakat Desa Tegaldowo di Rembang bisa dimaknai sebagai sebuah persekutuan hukum adat atau kesatuan masyarakat hukum adat.

61

Disamping itu, proses pembangunan pabrik Semen PT. Semen Indonesia seringkali menimbulkan ancaman masyarakat karena perlibatan aparat keamanan baik kepolisian maupun TNI dengan senjata lengkap untuk mengawal dan mendatangani warga sekitar terutama di tenda perlawanan tempat ibu-ibu tinggal. Kehadiran aparat Kepolisian dan TNI ini sengaja untuk menimbulkan ketakutan masyarakat yang selama ini menolak pembanguan pabrik semen PT. Semen Indonesia. Masih berlanjutnya konflik dan kekerasan di sektor tambang juga amat terkait dengan ketidakmampuan pengelola negara, dalam hal ini pemerintah pusat, pemerintah daerah dan sektor keamanan terutama TNI dan Polri untuk merespons gejolak-gejolak sosial yang berpotensi bisa memicu konflik lebih lanjut antara warga dengan negara –melalui keterlibatan unsur pemerintah yang lebih condong memberikan perlindungan kepada korporasi investasi; dan antara warga dengan aktor non-negara –melalui pemberian izin yang melampaui batas maksimal dan jamaknya tidak melalui proses konsultasi dengan publik. Dalam hal sektor keamanan, TNI dituntut untuk tidak melakukan aktivitas bisnis militer yang menyalahi norma yang diatur di dalam UU No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Di lain sisi, Polri juga harus tunduk pada aturan yang diatur di dalam UU No. 22/2000 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, ditambah dengan hadirnya Peraturan Kapolri No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai aturan yang mengikat seluruh internal kepolisian di Indonesia. Jika terdapat kesalahan prosedur, tindak sewenang-wenang terutama dalam penanganan konflik di sektor bisnis, maka adalah kewajiban dari dua institusi sektor keamanan ini untuk membuka ruang penyelidikan dan penyidikan secara akuntabel dan transparan.

Di ruang pertanggungjawaban aktor non-negara, adalah Prinsip-Prinsip Panduan untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia: Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa “Perlindungan, Penghormatan, dan Pemulihan” (The Guiding Principles on Business and Human Rights: Implementingthe protect, respect, and remedy”) atau yang populer dikenal sebagai Ruggie Principles. Ruggie Principles ini telah dikembangkan secara khusus oleh Special Representative of the United Nations Secretary General on the issue of human rights and transnational corporations and other business enterprises, telah menjadi patokan utama dari pengintegrasian agenda pembangunan, bisnis, dan jaminan perlindungan HAM di banyak negara, termasuk di Indonesia. Prinsip-prinsip yang terkandung di dalam panduan ini dikembangkan dari ruang diskursus hukum internasional dan beberapa dinamika kerangka otoritatif dari perilaku bisnis yang berparadigma HAM. Melalui Ruggie Principles diharapkan bisa membuka ruang diskusi konstruktif pada agenda akuntabilitas

62

kelompok-kelompok bisnis dan korporasi pada isu bisnis dan HAM di masa depan. Sederhananya, ke-31 prinsip yang terkandung di dalam panduan ini dapat dibedakan menjadi tiga kewajiban utama, yaitu:

a) Kewajiban negara untuk melindungi HAM, di mana pemerintah harus melindungi individu dari pelanggaran HAM oleh pihak ketiga, termasuk bisnis;

b) Tanggung jawab perusahaan untuk menghormati HAM, yang berarti tidak melanggar HAM yang diakui secara internasional dengan menghindari, mengurangi, atau mencegah dampak negatif dari operasional korporasi;

c) Kebutuhan untuk memperluas akses bagi korban mendapatkan pemulihan yang efektif, baik melalui mekanisme yudisial maupun non-yudisial.

• Analisa Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilanggar:98 1) Hak atas lingkungan hidup

Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat juga diatur di dalam Undang-Undang No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu di dalam Pasal 9 ayat (3). Dengan demikian, sebagai hak yang mendasar, maka negara harus memastikan bahwa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat terjamin bagi setiap orang. Apalagi, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat telah diinkorporasikan di dalam Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 di Pasal 28H ayat (1). Dengan demikian, hak a quo telah menjadi hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali.

Dalam konteks kewajiban negara untuk melindungi hak a quo, maka setiap usaha yang berdampak luas bagi masyarakat dan lingkungan hidup, diharuskan untuk melakukan kajian Analisis Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), sebagaimana diatur di dalam PP No. 27/2012 tentang Izin Lingkungan yang menggantikan PP No. 27/1999 tentang AMDAL. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan AMDAL di dalam siklus pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup berada pada bagian pengendalian (controlling) di Pasal 13 s/d 56 UU PPLH. Sebelum disusun KLHS dan AMDAL, didahului oleh ada tahap perencanaan (Pasal 5 s/d 11 UU PPLH) dan pemanfaatan (Pasal 12 UU PPLH). Di dalam tahap perencanaan tersebut, diantaranya adalah perlunya dilakukan inventarisasi lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion, dan disusun perencanaan perlindungan dan pengelolaan LH yang masuk di dalam RPJMNP (Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang). Sedangkan pada sisi pemanfaatan, perlu dilakukan kajian

63

tentang perencanaan PPLH dan daya dukung serta daya tampung LH, untuk memastikan keberlanjutan fungsi dan peran LH bagi masyarakat.

2) Hak atas air

Hak atas air adalah bagian dari pemenuhan hak untuk hidup (Pasal 9 ayat (1) UU HAM), sebab air adalah komponen terpenting untuk memenuhi dan melindungi hak untuk hidup yang merupakan hak mutlak dan tidak bisa dikurangi dalam situasi dan kondisi apapun (nonderogable right). Resolusi Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 64/292 secara eksplisit mengakui hak atas air dan sanitasi adalah hak asasi manusia. Resolusi tersebut menyerukan pada negara anggota dan lembaga internasional untuk menyediakan sumber daya untuk membantu negara-negara miskin untuk menyediakan air minum dan sanitasi yang aman, bersih, terakses, dan terjangkau untuk setiap orang. Air bersih adalah komponen mendasar bagi terpenuhinya norma di dalam Konstitusi tersebut, yaitu hak untuk hidup secara layak dan hak untuk hidup sejahtera. Dengan demikian, terpenuhinya hak atas air adalah mutlak bagi terpenuhinya hak untuk hidup yang merupakan non derogable rights.

Kawasan karst adalah salah satu wilayah tangkapan air yang sangat penting sehingga banyak ditemukan mata air dan sungai bawah tanah yang berguna bagi masyarakat, baik untuk kebutuhan air minum, rumah tangga, dan irigasi. Untuk itulah di dalam pedoman IUCN tentang Pengelolaan Karst dan Gua pada angka 11 disebutkan bahwa suatu kawasan karst yang dilindungi hendaknya meliputi seluruh daerah tangkapan air. Kelestarian dan terjaganya fungsi ekosistem karst yang mana di permukaan menjadi wilayah masuknua air dan di dalamnya terdapat sungai-sungai bawah tanah menjadi sangat penting bagi terpenuhinya hak atas air. Dengan demikian, pengelolaan dan pemanfaatan kawasan karst

Dalam dokumen Implementasi Teori Teori Hak Asasi Manus (Halaman 58-72)

Dokumen terkait