• Tidak ada hasil yang ditemukan

Undang-Undang Hak Asasi Manusia

Dalam dokumen Implementasi Teori Teori Hak Asasi Manus (Halaman 50-55)

BAB II LANDASAN TEORI

2.6 Undang-Undang Hak Asasi Manusia

Dapat kita ketahui bahwasannya, periode reformasi merupakan periode yang sangat “friendly” terhadap hak asasi manusia. Berbeda halnya dengan periode Orde Baru yang melancarkan “black-campaign” terhadap isu hak asasi manusia. Presiden B.J. Habibie dan DPR sangat terbuka dengan tuntutan reformasi, maka sebelum proses amandemen konstitusi bergulir, presiden lebih dulu mengajukan Rancangan Undang-Undang Hak Asasi anusia ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas. Pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat juga tidak memakan waktu yang lama dan pada 23 September 1999 telah dicapailah konsensus untuk mengesahkan undang-undang tersebut yakni Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang tersebut dilahirkan sebagai turunan dari Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memuat pengakuan yang luas terhadap hak asasi manusia. Hak-hak yang dijamin di dalamnya mencakup mulai dari pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, hingga pada pengakuan terhadap hak-hak kelompok seperti anak, perempuan, dan masyarakat adat (indigenous people). Undang-Undang tersebut dengan gamblang mengakui paham ‘natural rights’, melihat hak asasi manusia sebagai hak kodrati yang melekat pada manusia. Begitu juga dengan kategorisasi hak-hak di dalamnya tampak merujuk pada instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia, seperti Universal Declaration of Human Rights, International Covenan on Civil and Political Rights,

International Covenan on Economic, Social and Cultural Rights, International Convention on the Rights of Child, dan seterusnya. Dengan demikian boleh dikatakan Undang-Undang

72 Lihat Pasal 5 Deklarasi Wina.

48

ini telah mengadopsi norma-norma hak yang terdapat di dalam berbagai instrumen hak asasi manusia internasional tersebut.

Di samping memuat norma-norma hak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga memuat aturan mengenai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Bab VII). Mulai Pasal 75 sampai Pasal 99 mengatur tentang kewenangan dan fungsi, keanggotaan, serta struktur kelembagaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Jadi kalau sebelumnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdiri berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993, maka setelah disahkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 landasan hukumnya diperkuat dengan Undang-Undang. Hal yang menarik dalam Undang-Undang ini adalah adanya aturan tentang partisipasi masyarakat (Bab VIII), mulai dari Pasal 100 sampai Pasal 103. Aturan ini jelas memberikan pengakuan legal terhadap keabsahan advokasi hak asasi manusia yang dilakukan oleh organisasi-organisasi pembela hak asasi manusia atau “human rights defenders”. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengamanatkan pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia yang harus dibentuk paling lama dalam jangka waktu empat tahun setelah berlakunya Undang-Undang tersebut (Bab IX).

Status Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ini setelah keluarnya Amandemen Kedua tentang Hak Asasi Manusia tetap berlaku karena kaidah “ketentuan yang baru menghapus ketentuan yang lama” jelas tidak dapat diterapkan di sini. Kaidah tersebut hanya berlaku untuk norma yang setingkat. Karena kedudukan kedua ketentuan tersebut tidak setingkat, dan sejalan dengan “stuenbau theorie des rechts” (hierarchy of norm theory), norma konstitusi lebih tinggi daripada undang-undang. Maka Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 itu tetap dan dapat dipandang sebagai ketentuan organik dari ketentuan hak asasi manusia yang terdapat pada amandemen kedua.

49 BAB III

PROBLEMATIKA INDUSTRIALISASI PABRIK SEMEN DI KABUPATEN REMBANG

3.1Latar Belakang Kasus

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah atas nama kepentingan pembangunan telah membuka keran-keran investasi terutama dalam sektor pengelolaan sumber daya alam dan penyediaan infrastruktur. Namun, seiring dengan itu terjadi praktek perampasan sumber-sumber penghidupan rakyat secara semena-mena, dan terjadinya degradasi alam. Rakyat miskin terutama, harus menerima kenyataan dipaksa berhadapan dengan pengusaha, korporasi pemegang izin usaha, bahkan harus menghadapi alat represif negara, seperti hukum, birokrasi, dan aparatus keamanan.73

Sejak terjadi proses pengeksploitasian dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup atas nama pembangunan yang berakibat pada kehancuran dan kepunahan nilai-nilai ekologis yang terkandung di dalam alam. Dengan cepat terjadi penurunan daya dukung lingkungan serta kerusakan lingkungan, termasuk berkurang dan hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity). Menurut Muladi: Sumber daya alam menjadi aspek yang sangat penting karena Indonesia adalah negara yang “basis ekonominya” tergantung dari sumber daya alam. Komoditas yang diekspor sebagian besar adalah sumber daya alam, baik berupa kayu, minyak, timah, biji besi dan bahan tambang lainnya. Pemanfaatan sumber daya alam selama ini lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi, sumber daya alam dipandang sebagai aset untuk mengeruk devisa sebesar-besarnya dengan kurang memperdulikan kelestariannya.74

Perlu diketahui bahwasannya, konsep perlindungan lingkungan bukan semata-mata untuk manusia, tetapi juga makhluk hidup lain seperti hewan dan tumbuhan. Pengelolaan yang berorientasi hanya pada manusia dan bermotif ekonomi ternyata sangat merusak lingkungan hidup. Bahkan cenderung mengabaikan hak-hak makhluk hidup lain. Meskipun secara ekonomi ada keuntungan besar yang diperoleh namun dengan membiarkan kerusakan, alasan itu tak dapat dibenarkan. Alasan ekonomi tidak boleh dijadikan dasar

73 Press Release Solidaritas Makassar untuk Rembang, Makassar, 1 April 2015, hlm. 1.

74 ICEL, Demokrasi Pengelolaan Sumber Daya Alam: Reformasi Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan serta Berbasis Kerakyatan; Urgensi dan Prioritas, (Jakarta, ICEL, 1999), hal. 2.

50

pandangan bahwa perlindungan lingkungan tidak perlu. Bahwa dalam kegiatan-kegiatan yang sangat beresiko, perlindungan lingkungan tetap harus dikedepankan.75

Selain itu, efek dari aktivitas pertambangan tersebut tidak hanya kerugian ekonomi tetapi juga menimbulkan gejolak sosial yang meresahkan. Sebut saja meningkatnya eskalasi gesekan antara perusahan tambang dengan masyarakat, berubahnya pola agraris masyarakat menjadi masyarakat tambang dan yang terakhir yang selalu jadi bahan pembicaraan adalah rusaknya dan tercemarnya daerah sekitar tambang. Walaupun ada usaha untuk memperbaiki kerusakan atau pencemaran tersebut, tapi masih dirasa kurang dan tidak menyentuh hal yang substantif.76

Dalam beberapa tahun ke depan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam Indonesia masih akan terus berlanjut, apalagi investasi merupakan hal fundamental dalam prioritas kerja pemerintahan Jokowi-JK. Bila mengacu ke kasus Rembang dan kasus-kasus pengelolaan SDA di berbagai daerah, maka besar kemungkinan masyarakat miskin harus terus berjuang agar tidak kehilangan hak atas sumber-sumber penghidupannya. Negara harus terus-menerus diingatkan akan kewajibannya dalam hal HAM warganya, baik pengakuan, perlindungan, penegakan, hingga pemenuhan. Oleh karena itu, solidaritas atas berbagai kasus dan konflik pengelolaan SDA antara korporasi dengan masyarakat miskin dan marginal juga harus-terus-menerus digalakkan.77

Dalam konflik antara masyarakat petani rembang dengan PT. Semen Indonesia di lapangan, semakin berlarut-larut karena diabaikannya rekomendasi Komnas HAM. Komnas HAM menyimpulkan bahwa dalam AMDAL yang telah disusun oleh PT. Semen Indonesia diduga tidak memasukan tentang ponor serta fungsi kawasan karts dan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih sebagai kawasan lindung sumber daya air yang telah dimanfaatkan untuk masyarakat memenuhi kebutuhan air minum, sanitasi, dan irigasi. Rekomendasi ini telah disampaikan melalui surat Nomor: 0.679/K/PMT/II/2015 tertanggal 4 Februari 2015. Dengan adanya rekomendasi tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk menjaga kelestarian akuifer CAT Watuputih, sehingga kegiatan penambangan di batu gamping tersebut dilarang. Hal itu, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 26 Tahun

75 Kesimpulan dalam Perkara Tata Usaha Negara Nomor: 064/G/2014/PTUN Smg, Tim Advokasi Peduli Lingkungan Jalan Jomblangsari IV Nomor 17, Semarang, 2 April 2015, hlm. 4.

76Franky Butar Butar, “Penegakkan Hukum Lingkungan di Bidang Pertambangan,” Jurnal Yuridika: Vol. 25 No. 2

(Mei-Agustus 2010), hlm. 187.

51

2011 tentang Penetapan Cekungan Air Tanah Indonesia. Namun, rekomendasi pelarangan ini tidak mendapat tindak lanjut yang memadai.78

Dari awal masyarakat petani telah menyatakan menolak mengenai pembangunan pabrik semen di kabupaten Rembang. Hal ini tentu sangat mendasar dalam konteks HAM. Warga di lokasi membutuhkan ketenangan, rasa aman dan nyaman, serta kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Berdasarkan pemenuhan hak atas keadilan yang dijamin dalam Pasal 17 (UU No. 39 Tahun 1999) serta untuk menjaga terjaganya kondisi dan kualitas lingkungan hidup yang dijamin dalam Pasal 9 Ayat (3).79

Secara kultural, masyarakat Rembang yang akan terdampak pembangunan pabrik PT. Semen Indonesia, mayoritas bekerja sebagai petani. Sudah barang tentu ketika pabrik semen tersebut berdiri, maka akan sangat berpengaruh terhadap kondisi pertanian masyarakat, salah satu dampak nyata yang dirasakan oleh masyarakat adalah berkurangnya sumber mata air. Adanya penambangan batu kapur disekitar pabrik, secara otomatis akan mematikan sumber mata air yang digunakan oleh masyarakat untuk melakukan irigasi pada areal persawah. Dengan demikian berdampak pula terhadap area persawahan yang di garap oleh para petani. Perlu diperhatikan pula, tuntutan normatif untuk memperhatikan kearifan, nilai-nilai, dan hak-hak tradisional masyarakat adalah amanat konstitusi sebagaimana dituangkan dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 mengatur: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Sedangkan Pasal 28I ayat (3) UUD 45 mengatur: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” Berdasarkan ketentuan dua pasal UUD 1945 di atas maka jelaslah kiranya bahwa secara konstitusional adalah kewajiban siapa saja, termasuk Pemerintah maupun korporasi, untuk menghormati hak-hak tradisional sebuah kesatuan masyarakat hukum adat dan atau masyarakat tradisional.80

78 Ringkasan Eksekutif Pelestarian Ekosistem Karst dan Perlindungan Hak Asasi Manusia, Jakarta 5 Agustus 2016, hlm. 7.

79Ibid.

80 Amicus Curiae atas Peninjauan Kembali terkait putusan PTUN Semarang No. 064/G/2015/PTUN.SMG (Joko Prianto dkk. v. I. Gubernur Jawa Tengah; II. PT. Semen Gresik) dan Putusan PTTUN Surabaya No. 135/B/2015/PT.TUN.SBY. hlm. 23.

52

Dari apa yang telah diuraikan, terlihat bahwa pemerintah negara belum sepenuhnya menjalankan amanah konstitusionalnya, terutama dalam melindungi hak warga negara untuk mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ironisnya, negara baik langsung maupun tidak langsung mengambil bagian dari perampasan sumber penghidupan warga negara.81

Dalam dokumen Implementasi Teori Teori Hak Asasi Manus (Halaman 50-55)

Dokumen terkait