• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengkajian Penulisan dan Proses Advokasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengkajian Penulisan dan Proses Advokasi"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1

Pengkajian, Penulisan, dan Proses Advokasi

1

oleh Dion Valerian2

Pendahuluan

Latar belakang keilmuan yang penulis pelajari di perguruan tinggi adalah ilmu hukum.

Hal tersebut perlu ditegaskan dari awal, sebab materi yang penulis sampaikan di Kelas

Penulisan ini, misalnya mengenai perspektif analisis kajian dan sistematika penulisan, tentu

sedikit banyak dipengaruhi oleh latar belakang keilmuan itu. Namun, keadaan ini tidak berarti

bahwa penulis sama sekali mengacuhkan perspektif-perspektif lain di luar disiplin ilmu hukum.

Justru, kajian yang baik dan komprehensif seharusnya dirumuskan dengan perspektif analisis

yang beragam. Kecenderungan untuk memakai hanya satu perspektif seringkali mengakibatkan

suatu kajian tidak dapat menangkap suatu fenomena secara utuh. Hukum positif, misalnya,

kerapkali tak mengenal perubahan-perubahan sosial dan tidak jarang mengesampingkan

dimensi kemanusiaan demi mengejar kepastian hukum. Perspektif dari ilmu-ilmu lain perlu

digunakan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan itu. Masalah reklamasi Teluk Benoa

dan Pesisir Utara Jakarta, tentu tidak dapat didekati dengan perspektif hukum saja; kita

memerlukan pendekatan filsafat, ekologi, sosiologi, ekonomi, perairan/kelautan, hak asasi

manusia, dan gender sekaligus agar dapat merumuskan kajian yang mantap.

Meskipun penulis tumbuh dalam tradisi berpikir ilmu hukum, penulis akan mencoba

menyampaikan materi yang dapat diterima dan diterapkan oleh semua peserta, yang tentu

datang dari berbagai macam disiplin ilmu. Jika pengkajian dan penulisan hukum adalah

keadaan khusus, maka penulis perlu mencari keadaan umum (universal) dari keadaan khusus

tersebut; keadaan umum inilah yang dapat diterapkan oleh semua peserta dalam merumuskan

kajiannya masing-masing. Keadaan umum itu, menurut penulis, tak lain tak bukan adalah

metode penalaran masalah dan logika penulisan dalam suatu kajian. Kedua hal ini adalah

keadaan umum yang dikenal dan dapat dipakai oleh semua disiplin ilmu.

Penulis memandang bahwa tulisan ini lebih layak disebut sebagai esai reflektif daripada

artikel ilmiah. Ia merupakan esai reflektif sebab ditulis berdasarkan pengalaman dan

pengetahuan penulis sendiri dalam membuat kajian dan analisis selama kuliah di Fakultas

Hukum UI. Sebab ia berperan sebagai panduan dalam menalar suatu masalah dan

1 Esai disampaikan pada Kelas Kajian dan Kepenulisan, Change Maker Academy BEM Universitas

Indonesia 2016, 7 Oktober 2016, Depok.

2_Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2016. Pernah menjabat sebagai Wakil

(2)

2

menuliskannya dalam suatu kajian, maka esai reflektif ini juga memiliki dimensi praktikal.

Tidak berhenti pada proses penulisan kajian, segi praktikal itu juga sangat tampak dalam hal

penggunaan kajian itu sebagai salah satu bagian dalam strategi gerakan sosial. Pertama, penulis

akan membahas mengenai proses identifikasi masalah dan pemilihan perspektif analisis yang

tepat untuk suatu masalah tertentu. Kemudian, penulis akan menyampaikan tentang metode

penulisan kajian yang tepat serta komprehensif. Terakhir, penulis akan menguraikan mengenai

peran kajian dalam suatu proses advokasi.

Tahap Pengkajian

Hal yang pertama dan utama dalam setiap upaya pengkajian adalah memahami

masalah (fenomena yang dihadapi) secara utuh dan menyeluruh. Ini syarat yang sangat

penting dan tidak dapat ditawar-tawar. Ketidakberhasilan pengkaji dalam memahami suatu

masalah secara utuh-menyeluruh akan membuat analisisnya menjadi sia-sia dan kehilangan

arah. Jika masalah itu tidak bisa dipahami secara utuh-menyeluruh, pengkaji setidaknya harus

mengumpulkan serpihan-serpihan informasi yang diperlukan untuk mendapatkan gambaran

besar dari masalah itu. Informasi-informasi mengenai fenomena yang hendak dipahami itu

dapat ditemukan dalam banyak bentuk, misalnya pemberitaan di media massa, atau didapatkan

langsung dari penelitian lapangan.3 Jika yang hendak dianalisis adalah isu kontemporer, maka

informasi-informasi mengenainya dapat ditemukan di media massa. Apabila informasi itu

masih belum cukup, dapat dilakukan wawancara atau audiensi kepada pihak-pihak yang

berkepentingan.4

Agar didapat suatu gambaran utuh dari masalah yang dikaji, pengkaji harus mengetahui

beberapa hal, antara lain:

1. Apa substansi masalahnya?

2. Apa dan siapa yang menyebabkan masalah itu muncul?

3. Pihak-pihak apa saja yang berkepentingan dengan masalah itu?

4. Bagaimana konteks historis dan sosiologis dari masalah itu?

5. Bagaimana perkembangan dari masalah itu hingga sekarang?

6. Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap masalah itu?

3_Mayoritas analisis hukum, misalnya, adalah penelitian kepustakaan. Pengkaji hukum cukup

memahami peristiwa hukum yang ia hadapi, untuk kemudian menganalisisnya dengan hukum positif ataupun teori hukum.

4_Pada beberapa kesempatan, audiensi kepada pihak berwenang justru merupakan tujuan dari kajian dan

(3)

3

7. Upaya-upaya apa saja yang sudah dilakukan untuk memahami dan menyelesaikan

masalah itu?

Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas tidak selalu dapat ditemukan dalam

data kepustakaan. Ada kalanya, pengkaji perlu melakukan penelitian lapangan untuk

mendengar langsung dari masyarakat atau pihak yang terkena dampak dari masalah itu. Kajian

yang dilakukan untuk keperluan advokasi (hukum maupun non-hukum) terhadap suatu

masyarakat tertentu, memerlukan penelitian lapangan untuk mengetahui masalah yang

benar-benar terjadi di situ. Dengan penelitian lapangan, selain dapat mendengar pendapat masyarakat

mengenai masalah yang menimpanya, pengkaji juga dapat membangun kedekatan dengan

masyarakat yang diadvokasi sebagai mitra yang setara.5 Advokasi masalah konflik agraria,

penggusuran permukiman kaum miskin kota, serta masalah-masalah lain yang kerap menimpa

kaum tertindas, selalu membutuhkan penelitian lapangan.

Setelah memahami duduk persoalan, pengkaji kemudian menentukan

perspektif-perspektif apa saja yang akan dipakainya untuk menganalisis masalah tersebut. Pada

tahap ini, pengkaji dapat menganalisis masalah itu dengan perspektif keilmuan yang dia

dalami. Jika pengkaji merasa hanya mampu menganalisis suatu masalah berdasarkan perspektif

disiplin ilmunya sendiri, itu bukan masalah, asalkan pengkaji tersebut mau menerima dan

mempertimbangkan analisis dari pengkaji yang menggunakan disiplin ilmu lain. Sebagai

contohnya adalah penyikapan isu di tingkat BEM se-UI (biasanya dibahas di Sospolnet atau

CEM). Terhadap suatu masalah, katakanlah kasus kekerasan seksual yang menimpa mahasiswi

UI, masing-masing perwakilan fakultas bertemu untuk menyampaikan hasil analisisnya.

Fakultas Hukum datang dengan analisis hukum pidana dan hukum acara pidana terhadap

penyidikan kasus tersebut; Fakultas Psikologi menguraikan analisis keadaan trauma korban

kekerasan seksual; Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya memaparkan analisis feminisme;

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik menyampaikan analisis gender dan viktimologi; dst.

Akhirnya, kajian dari semua disiplin ilmu itu membuat analisisnya menjadi lengkap dan

komprehensif.

Penentuan perspektif analisis berhubungan dengan satu perdebatan klasik tentang

hubungan kajian dan penyikapan masalah. Perdebatan itu, pada pokoknya, adalah sebagai

berikut: mana yang paling benar, apakah: a. hasil kajian menentukan sikap; atau b. sikap

ditentukan terlebih dahulu, baru membuat kajiannya? Penulis sendiri berpendapat bahwa

5_Mengenai kesetaraan posisi antara pelaku advokasi dan masyarakat yang diadvokasikan, juga tentang

(4)

4

sikap terhadap masalah apapun harus ditentukan berdasarkan kajian terlebih dahulu. Namun,

poin krusialnya terletak pada perspektif analisis yang dipilih oleh pengkaji. Menurut penulis,

hasil akhir dari suatu kajian sebenarnya sudah dapat diperkirakan dengan melihat perspektif

apa yang dipakai untuk menganalisis masalah tersebut. Misalnya, mengenai penyikapan

masalah pidana mati. Apabila pengkaji hanya menggunakan perangkat analisis berupa hukum

positif dan menalarnya dengan pikiran yang formalistik, maka tentulah hasil kajiannya sudah

tertebak: pengkaji mendukung pidana mati. Namun, jika pengkaji menggunakan paradigma

hak asasi manusia, dan pendekatan hukum atau kriminologi yang kritis serta progresif, hasilnya

juga tertebak: pengkaji menolak pidana mati. Di sini, penulis berpendapat bahwa suatu masalah

dapat dianalisis dengan beragam pendekatan, yang hasil analisisnya dapat berbeda antara satu

dan lainnya. Pada titik ini, pengkaji menentukan pada perspektif atau metode analisis mana ia

berpihak.

Tahap Penulisan

Tahap selanjutnya setelah pengkaji memahami masalah dan menentukan perpektif

analisis adalah tahap penulisan kajian. Suatu kajian harus dituliskan secara padat, jelas, dan

argumentatif. Terutama pada kajian yang dibuat untuk kepentingan advokasi, intensi dan

intonasi tulisan harus diarahkan untuk meyakinkan khalayak pembaca kajian itu. Dengan bekal

argumen yang kuat dan logis, pengkaji berkesempatan untuk membuat si pembaca kajian agar

menjadi sepemikiran dengannya (pada titik ini, kajian juga memiliki nilai propaganda dan

agitasi). Tulisan harus dibuat dengan sistematis dan berurutan, Pengkaji sangat disarankan

untuk tidak menulis paparan yang melantur dari tema besar tulisan. Jika tulisan diibaratkan

sebagai suatu pohon, maka tidak boleh ada ranting-ranting kecil yang mencuat keluar dari

rerimbunan daun yang menyelubungi pohon itu.6 Untuk menjamin kuatnya argumen dalam

suatu tulisan, maka jalinan rantai pemikiran yang dinalar oleh pengkaji harus disajikan dalam

tulisan yang runut.

Bagian paling awal dalam tubuh suatu tulisan adalah bagian pernyataan masalah.

Pada bagian ini, pengkaji menguraikan tentang fakta-fakta dari suatu fenomena yang dikaji.

Setelah fakta-fakta itu dikemukakan, pengkaji kemudian melokalisasi masalah-masalah apa

saja yang terdapat dalam fenomena itu. Masalah-masalah tersebut harus dituliskan dengan

6_Jika ada hal yang perlu dipaparkan namun tidak berkaitan langsung dengan substansi tulisan, hal

(5)

5

tegas dalam bentuk poin-poin yang berurutan. Semakin pengkaji memahami fenomena yang ia

hadapi, maka kemungkinan munculnya masalah akan semakin banyak.

Masalah-masalah itu kemudian akan dijelaskan dengan perspektif analisis yang sudah

pengkaji tentukan. Pengkaji perlu menjelaskan secara singkat mengenai perspektif yang ia

gunakan tersebut. Setiap poin masalah kemudian dianalisis berdasarkan perspektif itu. Kajian

yang padat dan komprehensif mensyaratkan adanya analisis menyeluruh terhadap

masalah-masalah yang ditemukan. Artinya, tidak boleh ada sisi-sisi dari masalah-masalah yang tertinggal dan

tidak dianalisis. Terakhir, pada bagian akhir tulisan, pengkaji kemudian menguraikan

kesimpulan-kesimpulan apa saja yang ia dapat dari analisisnya. Kesimpulan ini juga harus

dihubungkan dengan proses advokasi yang akan dilakukan selanjutnya.

Pada penulisan kajian, setiap mengkaji dapat menggunakan gaya penulisannya

masing-masing. Pengkaji juga bebas mengeksplorasi gaya bahasa apa saja yang ingin ia terapkan dalam

tulisannya. Meskipun demikian, pengkaji sebisa mungkin tidak menggunakan gaya bahasa

yang berlebih-lebihan dan tidak relevan dengan pokok argumen dalam tulisan. Jika

digunakan dengan dosis yang tepat, gaya bahasa akan membuat tulisan enak dan menarik

dibaca. Jika dosisnya tidak tepat, gaya bahasa dapat membuyarkan fokus tulisan. Bahkan, gaya

bahasa yang tak pada tempatnya bisa mengaburkan argumen yang hendak disampaikan

pengkaji. Selanjutnya, dalam pemilihan kata, pengkaji sedapat mungkin menggunakan

istilah-istilah yang efektif dan tidak digunakan berulang-ulang.

Untuk membuat tulisannya menjadi menarik, pengkaji harus sering berlatih menulis.

Dengan latihan yang rutin, pengkaji dapat menemukan gaya penulisan yang khas dirinya. Pula,

seorang pengkaji sebaiknya banyak membaca literatur dan belajar cara menulis dari tulisan

para penulis yang kredibel. Dari tulisan para penulis itu, seorang pengkaji dapat mempelajari

caranya menganalisis masalah dan bagaimana ia menuangkan analisis itu ke dalam tulisannya.

Pengkaji juga sangat perlu membaca banyak literatur untuk menambah perbendaharaan

perspektif analisisnya. Jika ia tidak banyak membaca, maka pengkaji akan terjebak pada cara

pandang yang itu-itu saja; ia tak akan bisa berkembang. Akibatnya, tak ada kesegaran

pemikiran dalam tulisan-tulisannya.

Peran Kajian dalam Advokasi

Secara praktikal, kajian biasanya dijadikan sebagai landasan bergerak dalam

menghadapi suatu isu. Tetapi, sebenarnya, kajian memiliki peran yang lebih dari itu jika

digunakan secara optimal dalam proses advokasi. Contohnya, dalam advokasi hukum kasus

(6)

6

2013, BEM FHUI 2014, dan LBH Jakarta digunakan sebagai materi dalam gugatan perdata

yang diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta. Hasil kajian itu pula yang dijadikan dasar

argumen dalam setiap audiensi ke pihak-pihak berwenang.

Selain dibuat untuk menganalisis substansi masalah, kajian juga dapat dibuat untuk

membuat dan mengatur strategi advokasi. Pada kajian strategi advokasi, pengkaji dapat

menganalisis mengenai pihak-pihak atau jaringan-jaringan mana saja yang dapat dihubungi

untuk membangun aliansi dalam mengadvokasi suatu masalah. Pengkaji dapat pula

menentukan bentuk-bentuk advokasi apa saja yang perlu dilakukan terhadap suatu masalah

tertentu, juga langkah demi langkah pelaksanaannya.

Penutup

Dalam esai singkat ini, penulis telah mengemukakan beberapa pokok pikiran mengenai

pengkajian, penulisan, dan peran kajian dalam proses advokasi. Penulis paham bahwa materi

yang penulis sampaikan masih akan terasa terlalu abstrak dan normatif untuk beberapa

pembaca. Materi ini hanya dapat dikonkretkan dan dibawa ke alam nyata apabila ia dipakai

dan diterapkan pembaca dalam menuliskan kajian-kajiannya. Adalah suatu hal yang

menggembirakan bagi penulis jika para pembaca mendapatkan manfaat dari esai ini. Di

samping itu, penulis juga memohon maaf apabila esai ini memiliki kekurangan dan tidak cukup

memuaskan bagi para pembaca. Selebihnya, materi dalam esai ini dapat disempurnakan dengan

Referensi

Dokumen terkait

Beradasarkan kedekatan sel-sel parenkim hati dengan pembuluh darah (vena distribusi), maka sel-sel tersebut dapat dibagi menjad 3 zona:.. a) Zona 1 : sel-sel pada zona I

Dengan informasi sampai September, penjualan barang dari perusahaan besar melambat di bulan September ke tingkat tahunan sebesar 4,2% (6,4% pada bulan Agustus),

Sumber data penelitian ini adalah acara talk show Sudut Pandang di Metro TV sedangkan data yang digunakan adalah tuturan yang mengandung ketidakpatuhan prinsip kerja

Halaman Raport siswa merupakan halam- an yang berfungsi untuk menampilkan ke- seluruhan rekan nilai siswa setiap anak. Pada halaman Raport ini wali kelas dapat me-

Manfaat buah - buahan untuk tubuh sangat banyak dan beragam, buah umumnya merupakan salah satu kebutuhan untuk hidup sehat dan merupakan salah satu cara mencegah kanker dan

Lampiran 17 Struktur File kode_pos Lampiran 18 Struktur File pemohon Lampiran 19 Struktur File jalur Lampiran 20 Struktur File kawasan Lampiran 21 Struktur File jenis_reklame

Penelitian ini merupakan uji diagnos- tik untuk menentukan validitas foto polos sinus paranasal 3 posisi dan CT scan potongan koronal sebagai alat diagnosis pada pasien dengan

This study aims to determine and describe how the implementation of productive waqf utilization and management at the Tebuireng Islamic Boarding School in