• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengeringan - Rancang Bangun Alat Pengering Pakaian Sistem Hibrida Dengan Kapasitas Ruang Pengering Satu Meter Kubik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengeringan - Rancang Bangun Alat Pengering Pakaian Sistem Hibrida Dengan Kapasitas Ruang Pengering Satu Meter Kubik"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengeringan

Rangkaian proses pengeringan secara garis besar merupakan metoda

penguapan yang dapat dilakukan untuk melepas air dalam fasa uapnya dari dalam

objek yang dikeringkan. Penguapan ini dapat dilakukan dengan dua cara yakni,

cara pertama adalah dengan memberikan panas kedalam bahan tersebut sehingga

terjadi kenaikan temperaturnya untuk keperluan memanaskan dan selanjutnya

untuk menguapkan sejumlah air. Ataupun dengan cara menangkap uang air oleh

udara yang telah dikondisikan (dipanaskan atau didinginkan).

Setiap operasi dalam rantai produksi memanfaatkan sumber daya dan

meningkatkan biaya, maka pemahaman yang tinggi tentang proses pengeringan

dalam kaitannya dengan produk tertentu adalah penting. Proses pengeringan

meliputi perpindahan panas dan massa. Uap air yang dihilangkan dapat berada

dipermukaan dan juga didalam produk; sehingga pengeringan secara normal

mengeluarkan air dari dua level ini ( Garg and Bhargava, 1989).

Kandungan air yang lebih rendah pada permukaan akan memaksa keluar

air dari dalam produk. Migrasi kandungan air keluar diperlambat oleh daya tarik

molekul air. Tingkatan daya tarik ini dan karenanya tahanan internal terhadap

kehilangan uap air tergantung pada sifat higroskopis dan koloid serta ukurang pori

yang membangun gerakan kapiler fulida ( Karel et al. 1975).

Perpindahan kandungan air ke permukaan padatan selama pengeringan

terjadi melalui berbagai mekanisme termasuk diffuse, kapilaritas dan tekanan

internal disebabkan oleh pengkerutan selama pengeringan, faktor-faktor ini

mungkin terjadi secara kombinasi (Menon and Mujumdar, 1987). Tingkat dan

sifat dari proses ini serta efisiensi mereka dalam memindahkan uap air keluar

tergantung pada perpindahan panas internal, derajak porositas dan higroskopisitas

dari bahan serta sifat dasar dari batas uap air-padatan (Keey 1978, Menon and

(2)

Faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses pengeringan adalah suhu,

kelembaban udara, laju aliran udara, kadar air awal bahan dan kadar air akhir

bahan.

a. Proses perpindahan panas

Proses perpindahan panas terjadi karena adanya perbedaan suhu udara pengering

dengan suhu bahan yang dikeringkan, dimana suhu udara pengering lebih tinggi

dari suhu bahan. Panas yang dialirkan melalui udara pengering akan

meningkatkan suhu bahan, sehingga air dalam bahan berubah menjadi uap air.

b. Proses perpindahan Massa Uap Air

Peningkatan suhu bahan karena proses perpindahan panas akan menyebabkan

tekanan uap air di dalam bahan lebih tinggi dari tekanan uap air pada udara

pengering, sehingga terjadi perpindahan uap air bahan ke udara.

Kelembaban relatif udara pengering akan turun dengan adanya

peningkatan suhu udara pengering, Hal ini menyebabkan kelembaban relatif udara

pengering lebih rendah dari kelembaban relatif bahan. Selanjutnya panas yang

dialirkan ke permukaaan bahan akan meningkatkan tekanan uap air bahan

sehingga tekanan uap air bahan lebih tinggi dari tekanan uap air udara pengering.

Dengan kondisi demikian akan terjadi perpindahan massa uap air dari

bahan ke udara pengering dan disebut sebagai proses penguapan. Proses

penguapan air dari bahan akan terus berlangsung sampai terjadi kesetimbangan

tekanan uap air antara bahan dengan pengering.

Pengaruh temperature dan humiditas udara pengeringan terhadap

pelepasan uap air adalah saling berhubungan. Semakin tinggi temperature duara

diikuti dengan humiditas udara yang lebih rendah pada volume udara tertentu

akan meningkatkan kapasitasnya dalam mengikat uap air.

Temperatur udara yang lebih tinggi menambah kemungkinan perpindahan

panas pada produk. Ketika yang terakhir ini terjadi, tekanan uap didalam produk

meningkat dan evaporasi uap air dari permukaan menjadi lebih mudah (Menon

and Mujumdar, 1987).

Ketika penguapan berlangsung dan kandungan uap air pada volume tetap

(3)

berkurang. Oleh karenanya udara jenuh disekitar produk harus segera digantikan

dengan menetapkan kondisi tertentu untuk temperature dan humiditas udara, maka

jumlah uap air yang dihilangkan tergantung pada volume udara yang dibawa pada

kontak dengan produk. Ketika evaporasi uap air tidak terbatas, menjaga atau

meningkatkan laju aliran udara dapat menjamin keberlangsungan proses

pengeringan.

2.2. Mekanisme Perpindahan Panas

Mekanisme Perpindahan Panas dibagi menjadi tiga , yaitu :

a. Perpindahan Panas Konduksi

b. Perpindahan Panas Konveksi

c. Perpindahan Panas Radiasi

2.2.1. Perpindahan Panas Konduksi

Konduksi adalah proses perpindahan panas dari suatu bagian benda padat

atau material ke bagian lainnya. Perpindahan panas secara konduksi dapat

berlangsung pada benda padat, umumnya logam. Jika salah satu ujung sebuah

batang logam diletakkan di atas nyala api, sedangkan ujung yang satu lagi

dipegang, bagian batang yang dipegang ini suhunya akan naik, walaupun tidak

kontak secara langsung dengan nyala api.

Pada perpindahan panas secara konduksi tidak ada bahan dari logam yang

berpindah. Yang terjadi adalah molekul-molekul logam yang diletakkan di atas

nyala api membentur molekul-molekul yang berada di dekatnya dan memberikan

sebagian panasnya. Molekul-molekul terdekat kembali membentur

molekul-molekul terdekat lainnya dan memberikan sebagian panasnya, dan begitu

seterusnya di sepanjang bahan sehingga suhu logam naik.

Jika pada suatu logam terdapat perbedaan suhu, maka pada pada logam

tersebut akan terjadi perpindahan panas dari bagian bersuhu tinggi ke bagian

bersuhu rendah. Besarnya laju perpindahan panas (q) berbanding lurus dengan

luas bidang (A) dan perbedaan suhu pada logam tersebut seperti

(4)

Secara matematis dinyatakan sebagai :

= − (2.1)

Keterangan :

q = laju perpindahan panas

k = konduktifitas termal

A = Luas Penampang

Tanda minus (-) menunjukkan arah perpindahan panas terjadi dari bagian yang

bersuhu tinggi ke bagian yang bersuhu rendah.

Gambar 2.1 Perpindahan Panas konduksi

Nilai kondukitivitas thermal suatu bahan menunjukkan laju perpindahan

panas yang mengalir dalam suatu bahan. Konduktivitas thermal kebanyakan

bahan merupakan fungsi suhu, dan bertambah sedikit kalau suhu naik, akan tetapi

variasinya kecil dan sering kali diabaikan. Jika nilai konduktivitas thermal suatu

bahan makin besar, maka makin besar juga panas yang mengalir melalui benda

tersebut. Karena itu, bahan yang harga k-nya besar adalah penghantar panas yang

baik, sedangkan bila k-nya kecil bahan itu kurang menghantar atau merupakan

isolator.

Apabila dalam sistem itu terdapat lebih dari satu macam bahan, misalnya dinding

berlapis rangkap seperti pada Gambar 2.2, maka aliran panas dapat dituliskan

sebagai :

= −

(5)

Gambar 2.2 Konduksi Berlapis

Persamaan tersebut mirip dengan hukum Ohm dalam aliran listrik. Dengan

demikian perpindahan panas dapat dianalogikan dengan aliran arus listrik seperti

ditunjukkan pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Analogi Tahanan Termal Konduksi

Menurut analogi diatas, perpindahan panas sama dengan :

= ∆

∑ (2.3)

Jika ketiga persamaan diatas dipecahkan serentak, maka aliran panasnya adalah :

= ( )

(∆ ) (∆ ) (∆ ) (2.4)

Sehingga persamaan Fourier dapat dituliskan sebagai berikut :

=

Harga tahan thermal total tergantung pada susunan dinding penyusunnya,

(6)

2.2.2. Konduksi pada Silinder

Arah perpindahan panas pada benda berbentuk silinder seperti tabung atau

pipa adalah radial. Pada Gambar 2.4 ditunjukkan suatu pipa logam dengan jari-jari

dalam ri, jari-jari luar ro, dan panjang L, perbedaan suhu permukaan dalam

dengan permukaan luar adalah ∆ = −

Gambar 2.4 Konduksi Pada Silinder

Aliran perpindahan panas pada elemen dr yang jaraknya r dari titik pusat adalah

= − (2.5)

Luas bidang permukaan silinder berjari-jari r adalah

= 2 (2.6)

Sehingga

= 2 (2.7)

Dan Perpindahan panas dari permukaan dalam ke permukaan luar silinder adalah :

= ( ) (2.8)

Maka tahanan termal silinder adalah :

= (2.9)

Dengan demikian, analogi listrik aliran panas pada silinder dapat dibuat seperti

gambar 2.5

(7)

2.2.3. Perpindahan Panas Konveksi

Perpindahan panas terjadi secara konveksi dari pelat ke sekeliling atau

sebaliknya. Perpindahan panas konveksi dibedakan menjadi dua yaitu konveksi

bebas dan konveksi paksa.

Gambar 2.6 Perpindahan Panas Konveksi

Pada konveksi pelat akan mendingin lebih cepat

Gambar 2.7 Konveksi Paksa

Adapun persamaan dasar konveksi, adalah :

= ℎ ( − ) (2.10)

Keterangan :

q = laju perpindahan panas

h = koefisien perpindahan panas konveksi

(8)

Tw = temperatur dinding

T∞ = temperatur sekeliling

Prinsip Perpindahan Panas Secara Konveksi

Panas yang dipindahkan pada peristiwa konveksi dapat berupa panas laten

dan panas sensible. Panas laten adalah panas yang menyertai proses perubahan

fasa, sedang panas sensible adalah panas yang berkaitan dengan kenaikan atau

penurunan temperatur tanpa perubahan fasa.

2.2.4. Perpindahan Panas Radiasi

Perpindahan Panas radiasi adalah panas yang dipindahkan dengan cara

memancarkan gelombang elektromagnetik. Berbeda dengan mekanisme konduksi

dan konveksi, radiasi tidak membutuhkan medium perpindahan panas. Sampainya

sinar matahari ke permukaan bumi adalah contoh yang paling jelas dari

Karakteristik Radiasi dari Permukaan Benda Hitam:

1. Emisi Permukaan

Sifat dari permukaan radiasi (emisivitas) didefinisikan sebagai

perbandingan radiasi yang dihasilkan oleh permukaan benda hitam pada

temperatur yang sama. Emisivitas mempunyai nilai yang berbeda tergantung

kepada panjang gelombang dan arahnya. Nilai emisivitas bervariasi dari 0-1, di

(9)

2. Absorbsivitas (Penyerapan)

Absorbsi adalah proses pada saat suatu permukaan menerima radiasi.

Akibat langsung dari proses penyerapan ini adalah terjadinya peningkatan energi

dari dalam medium yang terkena panas tersebut.

3. Transmisivitas

Transmisivitas adalah fraksi dari jumlah energi radiasi yang

ditransmisikan perjumlah total energi radiasi yang diterima suatu permukaan.

Gambar 2.8 Perpindahan Panas Radiasi

Gabungan Konduksi, Konveksi & Radiasi

Gambar 2.9 Gabungan Konveksi, Konduksi, Dan Radiasi Aliran, T∞

(10)

2.3. Siklus Kompresi Uap

SKU mempunyai komponen utama, yaitu kompresor, kondensor, katup

ekspansi, dan evaporator, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.10

Gambar 2.10 Siklus Kompresi Uap Sederhana

Diagram T-s ( T adalah temperature dan s adalah entropi [kJ/kgK]

ditampilkan pada gambar 2.11(a). ). Diagram P-h (P adalah tekanan dan h adalah

entalpi) ditampilkan pada grafik pada Gambar 2.11(b).

Proses-proses termodinamika yang terjadi pada SKU ini dapat dibagi atas 4 proses

ideal, yaitu:

1) 1-2s: adalah proses kompresi isentropik dari tekanan evaporator ke

tekanan kondensor. Pada titik 1, idealnya refrigeran berada pada fasa cair

jenuh setelah menyerap panas pada suhu rendah dari evaporator.

2) 2s-3: adalah perpindahan panas yang diikuti kondensasi dari kondensor

pada tekanan konstan. Pada bagian awal sisi masuk kondensor refrigeran

mash dalam kondisi superheat dan akibat pendingin akan turun suhunya

hingga mencapai temperature kondensasi, dan akhirnya menjadi cair

jenuh pada sisi keluar kondensor.

3) 3-4: adalah ekspansi adiabatik dari tekanan kondensor ke tekanan

(11)

masuk evaporator sebagian fluida berada pada fasa cair dan sebagian lagi

menjadi uap.

4) 4-1: adalah penguapan pada tekanan konstan. Di sini fluida menyerap

panas dari medium agar dapat menguap. Refrigeran akan, seluruhnya

menguap di sisi keluar evaporator dan siklus akan berulang ke langkah 1.

(a) (b)

Gambar 2.11 (a) Diagram T-s dan (b) Diagram P-h SKU sederhana

2.4. Jenis-Jenis Pengeringan

Jenis-jenis pengeringan berdasarkan karakteristik umum dari beberapa

pengering konvensional dibagi atas 8 bagian, yaitu: (Arun S. Mujumdar, Chung

Lim Law, 2009)

a) Baki atau wadah

Pengeringan jenis baki atau wadah adalah dengan meletakkan material yang

akan dikeringkan pada baki yang lansung berhubungan dengan media

pengering. Cara perpindahan panas yang umum digunakan adalah konveksi

dan perpindahan panas secara konduksi juga dimungkinkan dengan

memanaskan baki tersebut.

b) Rotary

Pada jenis ini ruang pengering berbentuk silinder berputar sementara material

yang dikeringkan jaruh di dalam ruang pengering. Medium pengering,

umumnya udara panas, dimasukkan ke ruang pengering dan bersentuhan

(12)

panas yang dipasang di dalam ruang pengering untuk memungkinkan

terjadinya konduksi.

c) Flash

Pengering dengan flash (flash dryer) digunakan untuk mengeringkan

kandungan air yang ada di permukaan produk yang akan dikeringkan. Materi

yang dikeringkan dimasukkan dan mengalir bersama medium pengering dan

proses pengeringan terjadi saat aliran medium pengering ikut membawa

produk yang dikeringkan. Setelah proses pengeringan selesai, produk yang

dikeringkan akan dipisahkan dengan menggunakan hydrocyclone.

d) Spray

Teknik pengeringan spray umumnya digunakan untuk mengeringkan produk

yang berbentuk cair atau larutan suspensi menjadi produk padat. Contohnya,

proses pengeringan susu cair menjadi susu bubuk dan pengeringan

produk-produk farmasi. Cara kerjanya adalah cairan yang akan dikeringkan dibuat

dalam bentuk tetesan oleh atomizer dan dijatuhkan dari bagian atas. Medium

pengering (umumnya udara panas) dialirkan dengan arah berlawanan atau

searah dengan jatuhnya tetesan. Produk yang dikeringkan akan berbentuk

padatan dan terbawa bersama medium pengering dan selanjutnya dipisahkan

dengan hydrocyclone.

e) Fluidized bed

Pengeringan dengan menggunakan kecepatan aliran udara yang relatif tinggi

menjamin medium yang dikeringkan terjangkau oleh udara. Jika

dibandingkan dengan jenis wadah, jenis ini mempunyai luas kontak yang

lebih besar.

f) Vacum

Pengeringan dengan memanfaatkan ruangan bertekanan udara rendah.

Dimana pada ruangan tersebut tidak terjadi perpindahan panas, tetapi yang

(13)

g) Membekukan

Pengeringan dengan menggunakan suhu yang sangat rendah. Biasanya

digunakan pada produk-produk yang bernilai sangat tinggi, seperti produk

farmasi dan zat-zat kimia lainnya.

h) Batch dryer

Pengeringan jenis ini hanya baik digunakan pada jumlah material yang sangat

sedikit, seperti penggunaan pompa panas termasuk pompa panas kimia.

Pada Tugas Skripsi ini akan dilakukan simulasi pengeringan tipe wadah dengan

menggunakan pompa kalor sebagai sumber energi pemanas udara pengering.

Gambar 2.12 Pengering Menggunakan Sistem Pompa Kalor

2.5. Pengering Sistem Pompa Kalor

Pompa kalor merupakan salah satu sistem yang dapat dimanfaatkan pada

teknologi pengeringan. Teknologi ini telah banyak di manfaatkan di Australia dan

(14)

(Denkenberberg, et al. 2013). Pompa kalor untuk pengeringan pakaian atau Heat

Pump Clothes Dryers (HPCDs) dapat menghemat energi sebesar 50% dibanding

sistem pengering pakaian listrik konvensional, dan karenanya memiliki potensi

menyimpan energi yang besar (Meyers, et al. 2010).

Pada penelitian ini, panas buangan kondensor yang akan dimanfaatkan

sebagai sumber energi untuk melakukan pengeringan. Prinsip kerja pengering

pompa kalor diilustrasikan seperti Gambar 2.13.

Pompa kalor melalui kondensor memberikan panas kepada aliran udara

luar. Proses ini akan menghasilkan udara panas dan kering. Udara ini akan

dimasukkan ke dalam ruang pengering dan berinteraksi dengan bahan yang akan

dikeringkan. Seperti yang ditunjukkan gambar, panas yang dikeluarkan oleh

kondensor dimanfaatkan untuk menguapkan air dari suatu bahan. Udara panas

dari kondensor dialirkan ke ruang pengeringan, selanjutnya udara hasil

pengeringan menjadi lembab (basah). Udara sisa ini akan dibuang ke lingkungan.

Sementara sisi evaporator tidak akan diganggu atau tetap melakukan fungsi

refrigerasi.

Gambar 2.13 Siklus Pengering Dengan Sistem Pompa Kalor

Karakteristik penting dari sebuah pompa kalor adalah bahwa jumlah panas

yang dapat ditransfer lebih besar daripada energi yang diperlukan untuk

menggerakkan siklus. Perbandingan antara panas yang dapat diserap dan energi

(15)

Energi Listrik yang digunakan untuk menggerakkan pompa kalor yang

digunakan untuk memanaskan lingkungan beriklim sedang biasanya memiliki

COP 3,5 pada kondisi desain. Ini berarti bahwa untuk setiap1 kWh listrik yang

digunakan untuk menggerakkan pompa kalor akan dapat ditarik panas di

evaporator sebesar 3,5 kWh (Brown 2009). Kemudian gabungan panas ini,

sebesara 4,5 kWh, akan dibuang di kondensor berupa panas sisa atau buangan.

Beberapa peneliti telah melaporkan penelitian yang berhubungan dengan

pompa kalor untuk pengeringan beberapa produk. Hii, dkk (2010) melakukan

pengeringan biji kakao menggunakan sistem pompa kalor yang beroperasi pada

temperatur dan humiditas rendah. Hasil pengeringan ini mampu meningkatkan

mutu (pH, warna dan aroma) dibanding sampel komersial dari negara-negara

produsen kakao.

P.Suntivarakorn dkk (2010) melakukan penelitian kajian pengering

pakaian dengan menggunakan panas sisa dari Air Conditioner (AC) dengan

kapasitas 12.648 Btu/h. Luas ruang pengeringan 0,5 x 1,0 m2. Percobaan

dilakukan dalam 2 aspek yaitu pengeringan pakaian dengan dan tanpa kipas

tambahan dan. hasilnya adalah laju pengeringan 2,26 kg/jam dan 1,1 kg/jam.

2.6. Analisis Performansi Pengering Pompa Kalor

Kajian tentang performansi suatu unit pengering system pompa kalor

dapat dianalisis dengan cara menghitung beberapa parameter performansi, seperti:

efisiensi pengeringan, nilai laju ekstraksi air spesifik, konsumsi energi spesifik,

laju pengeringan, kinerja dari pompa kalor (COP) dan kinerja dari sistem

kompresi uap hibrid.

2.6.1 Efisiensi Pengeringan (EP)

Efisiensi Pengeringan dihitung dengan cara membandingkan jumlah energi

yang digunakan untuk menguapkan kandungan air bahan dengan jumlah energi

yang digunakan untuk memanaskan udara pengering, dinyatakan dalam persen.

Semakin tinggi nilai efisiensi pengeringan maka performansi alat pengering

tersebut semakin baik.

Perhitungan efisiensi pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan

(16)

η= x100% (2.12)

dimana, Qp adalah energi yang digunakan untuk pengeringan (kJ) dan Q adalah

energi untuk memanaskan udara pengering (kJ).

2.6.2 Nilai Laju Ekstraksi Uap Spesifik atau Spesific Moisture Extraction Rate (SMER)

SMER merupakan perbandingan jumlah air yang dapat diuapkan dari

bahan dengan energi listrik yang digunakan tiap jam atau energi yang dibutuhkan

untuk menghilangkan 1 kg air (Mehdi Torki Harchegani, 2012), dinyatakan dalam

kg/kWh. Perhitungan SMER menggunakan persamaan sebagai berikut : (Mahlia,

Hor and Masjuki, 2010)

=

̇ ( ) (2.13)

2.6.3 Konsumsi Energi Spesifik atau Specific Energy Consumption (SEC) SEC adalah perbandingan antara energi yang dikonsumsi dengan

kandungan air yang hilang, dinyatakan dalam kWh/kg dan dihitung dengan

menggunakan persamaan sebagai berikut : (Mahlia, Hor dan Masjuki, 2010) :

= ̇ ( ) (2.14)

dimana X adalah kandungan air yang hilang.

2.6.4 Laju Pengeringan (Drying Rate)

Laju pengeringan adalah perbandingan antara jumlah air yang dihilangkan

dengan waktu yang diperlukan, dinyatakan dalam kg/jam, dihitung dengan

menggunakan persamaan sebagai berikut : (Suntivarakorn, et al. 2010)

̇ = (2.15)

dimana w0 adalah berat bahan sebelum pengeringan (kg), wf adalah berat bahan

setelah pengeringan (kg), dan t adalah waktu pengeringan (jam).

2.6.5 Kinerja dari Pompa Kalor

Kinerja dari suatu pompa kalor dapat dinyatakan dalam coefficient of

performance (COP), yang didefinisikan sebagai perbandingan antara kalor yang

dilepaskan oleh kondensor dengan kerja yang dibutuhkan untuk menggerakkan

(17)

, =

adalah panas spesifik udara, dan masing-masing adalah suhu rata-rata

udara keluar dan masuk kondensor. Dan ℎ dan ℎ adalah entalpi pada tekanan

evaporator dan kondensor.

2.6.6 Total Performance (TP)

Sebuah system kompresi uap dengan memanfaatkan evaporator dan

kondensor sekaligus disebut dengan system kompresi uap hibrid. Kinerja dari

sebuah system kompresi uap hibrid dinyatakan dengan Total Performance (TP),

yang dirumuskan sebagai berikut :

= (2.19)

dimana adalah kalor yang diserap oleh evaporator, adalah kalor yang

dilepaskan oleh kondensor, dan adalah kerja Kompressor. Kalor yang diserap

oleh evaporator dihitung dengan menggunakan persamaan berikut :

= ̇(ℎ − ℎ ) (2.20)

2.6.7 Faktor Prestasi (FP)

Faktor Prestasi adalah perbandingan jumlah kalor yang dilepaskan

kondensor dengan kerja kompressor

= = ( )

( ) (2.21)

2.7. Periode Laju Pengeringan

Menurut Henderson dan Perry (1955), proses pengeringan memiliki 2

(dua) periode utama yaitu periode pengeringan dengan laju pengeringan tetap dan

periode laju pengeringan menurun. Kedua periode utama ini dibatasi oleh kadar

air kritis (critical moisture content).

Henderson dan Perry (1955) menyatakan bahwa pada periode pengeringan

(18)

permukaan bahan berlangsung penguapan yang lajunya dapat disamakan dengan

laju penguapan pada permukaan air bebas. Laju penguapan sebagian besar

tergantung pada keadaan sekeliling bahan, sedangkan pengaruh bahannya sendiri

relative kecil.

Laju pengeringan akan menurun seiring dengan penurunan kadar air

selama pengeringan. Jumlah air terikat makin lama semakin berkurang. Perubahan

dari laju pengeringan tetap menjadi laju pengeringan menurun untuk bahan yang

berbeda akan terjadi pada kadar air yang berbeda pula.

Pada periode laju pengeringan menurun permukaan partikel bahan yang

dikeringkan tidak lagi ditutupi oleh lapisan air. Selama periode laju pengeringan

menurun, energi panas yang diperoleh bahan digunakan untuk menguapkan sisa

air bebas yang sedikit sekali jumlahnya.

Laju pengeringan menurun terjadi setelah laju pengeringan konstan

dimana kadar air bahan lebih kecil daripada kadar air kritis (Gambar 2.14).

Periode laju pengeringan menurun meliputi dua proses, yaitu: perpindahan dari

dalam ke permukaan dan permindahan uap air dari permukaan bahan ke udara

sekitarnya.

(19)

Keterangan :

AB = Periode pemanasan

BC = Periode laju pengeringan menurun pertama

CD = Periode laju pengeringan menurun pertama

DE = Periode laju pengeringan menurun kedua

2.8. Kadar Air

Kadar air merupakan salah satu sifat fisik dari bahan yang menunjukan

banyaknya air yang terkandung di dalam bahan. Kadar air biasanya dinyatakan

dengan persentase berat air terhadap bahan basah atau dalam gram air untuk setiap

100 gram bahan yang disebut dengan kadar air basis basah (bb). Berat bahan

kering atau padatan adalah berat bahan setelah mengalami pemanasan beberapa

waktu tertentu sehingga beratnya tetap atau konstan.

Kadar air bahan menunjukkan banyaknya kandungan air persatuan bobot

bahan. Dalam hal ini terdapat dua metode untuk menentukan kadar air bahan

tersebut yaitu berdasarkan bobot kering (dry basis) dan berdasarkan bobot basah

(wet basis).

Kadar air basis basah dapat ditentukan dengan persamaan berikut:

Kabb= Wa

Wt x 100%= Wt-Wk

Wt x 100% (2.22)

Dimana:

Kabb = Kadar air basis basah (%)

Wa = Berat air dalam bahan (gram)

Wk = Berat kering mutlak bahan (gram)

(20)

Kadar air basis kering adalah perbandingan antara berat air yang ada

dalam bahan dengan berat padatan yang ada dalam bahan. Kadar air berat kering

dapat ditentukan dengan persamaan berikut:

Kadar air basis kering adalah berat bahan setelah mengalami pengeringan

dalam waktu tertentu sehingga beratnya konstan. Pada proses pengeringan, air

yang terkandung dalam bahan tidak dapat seluruhnya diuapkan meskipun

demikian yang diperoleh disebut juga sebagai berat bahan kering.

2.9. Moisture Ratio (Rasio Kelembaban)

Sama halnya dengan laju kadar air, rasio kelembaban juga mengalami

penurunan selama proses pengeringan. kenaikan suhu udara pengeringan

mengurangi waktu yang diperlukan untuk mencapai setiap tingkat rasio

kelembaban sejak proses transfer panas dalam ruang pengeringan meningkat.

Sedangkan, pada suhu tinggi, perpindahan panas dan massa juga meningkat dan

kadar air bahan akan semakin berkurang [7].

Rasio kelembaban (moisture ratio) pada pakaian selama pengeringan

dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

MR= Mt - Me

Mo-Me

(2.24)

Dimana MR merupakan moisture ratio (rasio kelembaban), Mt merupakan

kadar air pada saat t (waktu selama pengeringan, menit), Mo merupakan kadar air

(21)

konstan. Nilai satuan Mt, Mo dan Me merupakan persentase dari kadar air basis

kering bahan.

2.10. Perhitungan Analisis Titik Impas (Break Even Point)

Analisis titik impas digunakan untuk mengetahui keterkaitan antara

volume produksi, volume penjualan, harga jual, biaya produksi, serta laba dan

rugi. Dengan kata lain analisis titik impas merupakan teknik untuk

mengetahui besarnya volume pendapatan dari pengeringan pakaian sehingga

produk pengeringan tidak mengalami kerugian.

- Nilai BEP dalam jumlah pengeringan dapat dihitung dengan :

BEP =

Gambar

Gambar 2.1 Perpindahan Panas konduksi
Gambar 2.3 Analogi Tahanan Termal Konduksi
Gambar 2.4 Konduksi Pada Silinder
Gambar 2.7 Konveksi Paksa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Struktur penggerak (mobilisasi)masih dilakukan secara sporadis dan lokal dengan basis komunitas lingkungan pemukiman (tempat tinggal), seperti RT, RW dan Desa karena pada periode

• Guru membimbing siswa untuk menulis kembali isi teks percakapan permintaan maaf tentang sikap hidup rukun dalam kemajemukan teman yang telah dibaca membentuk sebuah cerita

[r]

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Bupati Bantul tentang Pelaksana Pengelolaan Dana Bergulir

Penentuan posisi lokasi tower BTS diatas muka bumi dapat dicari dengan melakukan studi pada peta topografi yang telah ada ( Study map ).. Peta yang digunakan

Penilaian holistik adalah penilaian terhadap hasil kerja siswa secara keseluruhan. Penilaian holistik biasanya digunakan untuk penilaian pada tahap akhir seperti penilaian terhadap

abstrak: (bahasa Indonesia) merupakan intisari artikel, berjumlah 100—150 kata dan dituangkan dalam satu paragraf tanpa pustaka acuan;.. kata-kata kunci : di bawah

Beberapa penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan pemodelan dan peramalan IHSG diantaranya adalah Sadeq [2] melakukan analisis prediksi indeks harga saham gabungan