• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konstruktivisme dalam Memahami Kejahatan pilitik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Konstruktivisme dalam Memahami Kejahatan pilitik "

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Memahami Sikap Israel dalam Menjustifikasi Kejahatan Perang

di Lebanon

Studi Kasus: Konflik Israel – Hizbullah pada tahun 2006

Abstraksi:

Konflik antara Israel dan Hizbullah di Lebanon pada tahun 2006 terjadi selama 34 hari dan menyebabkan jatuhnya korban sipil kurang lebih 1100 orang tewas dan 95% diantaranya merupakan warga Lebanon. Berbagai Non-governmental Organisations (NGOs) seperti Amnesti Internasional dan Human Right Watch menyatakan bahwa Israel dan Hizbullah telah melakukan kejahatan perang. Dalam makalah ini, penulis berusaha menjelaskan sikap Israel dalam menjustifikasi aksi militer Israel dalam menyerang sipil dari perspektif Konstruktivisme yang memiliki fokus terhadap konsep makna dalam mengkonstruksi identitas dan ancaman dengan Hizbullah. Dengan melakukan konstrukti tersebut, maka Israel merasa tindakan di luar prosedur perlu agar ancaman terhadap Tel Aviv hilang atau berkurang.

Kata Kunci: Israel, korban sipil, Konstruktivisme, konstruksi identitas, dan kejahatan perang.

Pendahuluan

(2)

2 lainnya di perbatasan utara Israel. Operasi militer ini dikenal dengan nama Operation Truthful Promise yang bertujuan untuk membebaskan 4 anggota Hizbullah yang ditahan Israel, salah satunya bernama Samir Quntar1 yang ditahan

Israel pada tahun 1979 dengan dakwaan pembunuhan di Nahariya dan sedang menjalani hukuman penjara seumur hidup di Israel. (BBC Worldwide, 2006)

Selama konflik terjadi, korban sipil berjatuhan dari kedua pihak. Pihak sipil Lebanon merasakan dampak dari konflik paling parah karena korban sipil yang tewas mencapai 1191 menurut data Lebanese Higher Relief Council (2006). Bahkan UNICEF dalam laporannya (2006) menyatakan bahwa 30% korban sipil yang diderita Lebanon merupakan anak anak berusia kurang dari 13 tahun. Penyebab dari banyaknya korban dari pihak Lebanon ini adalah aksi militer yang dilakukan tentara Israel dimana IDF (Israel Defense Forces) sering menyerang infrastruktur sipil seperti bandara internasional Rafic Hariri Beirut (McGreal, 2006), mobil ambulans Palang Merah Internasional (Goldenberg, 2006), pemukiman, dan bahkan PBB dalam laporannya (2006) menjelaskan bahwa Israel bertanggung jawab atas penggunaan senjata bom curah dan fosfor dalam serangannya di wilayah sipil Lebanon.

Aksi militer yang dilakukan Israel ini tentu melanggar hukum humaniter internasional, namun Tel Aviv seolah tidak peduli dengan pelanggaran tersebut. Hal ini yang menjadi dasar pemikiran penulis dalam memahami sikap Israel pada perang Lebanon 2006 ini. Ini perlu diteliti karena tindakan Israel pada tahun 2006 tersebut tidak sesuai dengan berbagai hukum yang mengatur perang seperti Hukum Humaniter Internasional dalam Konvensi Jenewa dan Konvensi Den Haag, tetapi tetap dilanggar. Sikap Israel yang tidak mematuhi hukum internasional terkait dengan perlindungan terhadap warga sipil di wilayah perang pada tahun 2006 tersebut menimbulkan pertanyaan bagi akademisi terutama studi hubungan internasional.

(3)

Rumusan Masalah

Mengapa Israel dalam perang melawan paramiliter Hizbullah di Lebanon pada tahun 2006 tidak mempersoalkan aksi militer Israel (IDF) yang melakukan serangan terhadap objek non-combatant seperti warga sipil yang melanggar Hukum Humaniter Internasional?

Kerangka Konseptual

1. Konstruktivisme

Pendekatan Konstruktivisme studi Hubungan Internasional dalam melihat isu-isu global merupakan cara pikir yang berusaha membantah pendekatan pendekatan klasik terutama Realisme. Kaum Realisme memandang fenomena atau realita sosial secara materil, konsep seperti balance of power, kapabilitas militer, prilaku negara, dan kekuatan itu sendiri. Sedangkan konstruktivis, yang berakar dari ilmu sosiologi, melihat realita sosial secara sosial.

Alexander Wendt, seorang akademisi yang berpandang konstruktivisme, menolak cara pikir kaum Realist bahwa sistem anarki dalam politik internasional membuat negara akan berpandangan untuk melakukan self-help dalam berinteraksi dengan negara lain. Ini artinya kaum neorealist percaya bahwa identitas negara sudah terbentuk karena sistem itu sendiri, sehingga negara tahu siapa mereka dan bagaimana mereka berinteraksi dengan negara lain. Singkatnya Realis melihat identitas dan kepentingan sebagai sesuatu yang memang didesain untuk negara di dunia anarki (given). Wendt melihat sebaliknya, dalam bukunya “Anarchy is what states make of it: the social construction of power politics” (1992, hal. 394) bahwa interaksi-lah yang membuat negara membentuk identitas atas negaranya dan memaknai negara lain, hal ini menjadi pertimbangan negara dalam menentukan kepentingan nasionalnya.

(4)

Oleh karena itu, orang atau negara2 berprilaku berdasarkan

pemaknaan yang mereka terima terhadapnya. Hal ini sejalan dengan salah satu konsep sosiologi yaitu interaksionisme simbolis. Pemaknaan dari satu negara terhadap negara lain dapat menyebabkan negara yang menjadi objek itu diintepretasikan sebagai ancaman atau teman oleh dua subjek negara yang berbeda. Pengintepretasian ini juga merupakan cara untuk menjelaskan identitas, dengan mengintepretasikan, maka negara telah memberikan batasan mana yang bisa disimbolkan sebagai kami/kita (in-group), mana yang bisa disimbolkan sebagai kamu/kalian (out-group). Identitas ini yang kemudian menurut Wendt (1999, hal 24) mendorong negara dalam melakukan tindakan. Jika kemudian negara memaknai negara objek sebagai ancaman, maka negara subjek akan melakukan proses sekuritsasi agar objek yang menjadi ancaman tersebut tidak menimbulkan masalah kepada negara berkaitan. Proses sekuritisasi ini akan lebih dijelaskan dalam teori Sekuritisasi Buzan.

2. Teori Sekuritisasi Buzan

Sekuritasasi menurut Buzan (1998) merupakan bentuk ekstrim dari politisasi isu. Sebuah isu yang tadinya hanya merupakan isu standar/normal, dapat dijadikan sebagai ancaman oleh aktor yang men-sekuritisasi isu tersebut seperti pemerintah/lembaga berwenang terhadap rakyat/masyarakat secara keseluruhan. Proses ini dapat dilakukan jika pemerintah atau aktor yang melakukan sekuritisasi dapat menjalankan konsep speech act dengan baik. Konsep ini adalah konsep yang menjelaskan bahwa pihak berwenang dapat mengatakan suatu isu dalam wawancara/press release/pidato sebagai ancaman terhadap keamanan (security). Contohnya seperti yang dilakukan oleh George W. Bush(2001) dalam rencananya untuk menginvasi Afghanistan dihadapan Kongres Amerika Serikat dimana ia dapat melakukan proses sekuritisasi secara baik dengan mengatakan bahwa “Either you are with us, or with the terrorist”. Kalimat ini

(5)

membuat isu teroris yang tadinya diintepretasikan bukan sebagai ancaman besar bagi keamanan nasional Amerika Serikat, dikonstruksikan sebagai ancaman yang harus dilawan.

3. Konvensi Jenewa ke-Empat (IV) tahun 1949 terkait dengan Perlindungan Warga Sipil dalam Keadaan Perang.

Dalam konvensi ini dijelaskan bahwa ketika situasi perang terjadi, negara yang terlibat dalam peperangan harus melindungi pihak sipil atau yang tidak terlibat dalam peperangan dari kemungkinan menjadi korban perang.Dalam pasal yang ada di konvensi ini dijelaskan subjek yang harus dilindungi saat perang. Adapun beberapa subjek yang dilindungi diantaranya adalah:

 Warga Sipil, yang menurut Konvensi ini (Protocol I, art 50) bukan merupakan atau bagian dari personil militer. Seseorang dikatakan bukan bagian dari militer jika tidak memberikan kontribusi efektif terhadap keuntungan aksi militer (PI, art 52). Serangan terhadap warga sipil dilarang oleh konvensi Jenewa. (P.I, 51)

 Unit medis dan kendaraan medis, Konvensi Jenewa menjelaskan bahwa dalam keadaan perang semua unit medis yang menggunakan emblem Palang Merah Internasional harus dilindungi dan dilarang untuk diserang (Protocol I, 19). Hal ini juga termasuk kendaraan medis seperti ambulans, kapal bantuan, dan lain lain. (I, 19/P.I, 8, 9, 12 / P.ll, 11)

Bahkan dalam Konvensi ini juga dijelaskan bahwa dalam melakukan serangan, negara atau pihak yang terlibat harus menyelidiki kemungkinan adanya korban dari pihak sipil (precaution) (P.I, 57, 58)

Hipotesis

(6)

membuat IDF melanggar hukum dengan menjadikan rakyat sipil sebagai target militer.

Pembahasan

Tindakan yang diambil IDF saat perang melawan Hizbullah pada tahun 2006 dengan melakukan serangan serangan terhadap rakyat sipil Lebanon tentu merupakan pelanggaran keras terhadap hukum humaniter internasional terutama Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan terhadap Warga Sipil dalam Keadaan Perang. Amnesti Internasional dan Human Right Watch merupakan 2 lembaga non-pemerintahan (Non-Governmental Organisation) yang menyuarakan keberatan mereka atas tindakan yang diambil IDF tersebut. Amnesti Internasional dalam laporannya (2006) mengatakan bahwa militer Israel terbukti melakukan banyak aksi perusakan, termasuk perusakan terhadap rumah sipil, pusat instalasi listrik, ruang publik, dan industri non militer secara sengaja dan merupakan bagian dari strategi militer, daripada hanya merupakan collateral damage.3

Kate Gilimore, sekretaris jenderal Amnesti Internasional seperti yang diberitakan The Guardian (2006) menjelaskan bahwa serangan Israel di wilayah Lebanon dilakukan tidak secara proporsional dan tidak memilih antara kombatan dengan non-kombatan. Secara detil, Amnesti Internasional mengungkapkan bahwa selama 34 hari konflik terjadi, Israel telah menghancurkan 2 rumah sakit dan merusak 3 rumah sakit lainnya. Bahkan Gilimore mengindikasikan adanya penggunaan bom curah dalam serangan yang dilakukan angkatan udara Israel saat menyerang Lebanon. Salah satu kantor berita ternama di Israel, Haaretz melaporkan (2006) bahwa Komandan IDF mengakui penggunaan bom curah selama operasi militer di Lebanon pada tahun 2006 “What we did was insane and monstrous, we covered entire towns in cluster bombs”.

Human Right Watch (HRW) juga menyoroti konflik pada tahun 2006 ini (2006) dengan menyalahkan kedua pihak baik Israel maupun Hizbullah karena ketidakmampuan mereka dalam menjaga prinsip pembedaan kombatan atau non-kombatan dalam peperangan. Peter Bouckaert, peneliti senior Human Right Watch mengatakan (2006) bahwa Israel tidak berniat untuk melakukan “the necessary precautions to distinguish between civilian and military targets”. Dalam laporan

3 Collateral damage adalah kerusakan secara tidak sengaja yang ditimbulkan terhadap warga sipil ataupun properti publik akibat serangan yang

(7)

HRW pada tahun 2007 mengungkapkan jika Israel melakukan serangan terhadap pergerakan kecil yang dilakukan kendaraan ataupun warga sipil, bahkan terhadap kendaraan yang membawa kabur warga sipil.

Dari hal-hal di atas, Israel jelas melakukan kejahatan perang di wilayah Lebanon dalam aksi militernya melawan Hizbullah pada tahun 2006 lalu. Pelanggaran pelanggaran tersebut menyalahi aturan yang telah ditetapkan oleh Konvensi Jenewa IV terutama Protocol I, pasal 8, 9, 19, 50, 51, 52, dan 58.

“But this doesn’t justify the IDF’s failure to distinguish between civilians and combatants, and if in doubt to treat a person as a civilian, as the laws of war require.” – Human Right Watch (Special report on Lebanon, 2007)

Berbagai pernyataan dikeluarkan pemerintah Israel dalam menanggapi kritik Organisasi Non-pemerintah, Palang Merah Internasional, maupun komunitas Internasional yang ditujukan kepada Tel Aviv. Israel menyatakan sudah menggunakan berbagai cara untuk mengurangi korban sipil di wilayah Lebanon dengan menyebarkan selembaran sebelum serangan dimulai, namun Israel berkilah bahwa Hizbullah menggunakan daerah padat penduduk untuk menaruh senjata roketnya dan meluncurkan dari wilayah tersebut sehingga Israel menjustifikasi serangan ke wilayah padat penduduk sebagai target militer.

Konstruktivisme dalam Memandang Tindakan Israel

(8)

Isu keamanan perbatasan menjadi isu penting karena hubungan antara Israel dengan Lebanon terutama Hizbullah tidaklah bagus. Sejak tahun 1982, Israel dan Lebanon yang di wakili Hizbullah telah terlibat beberapa konflik. Puncaknya terjadi pada tahun 2000 ketika Israel dipaksa mundur dari kawasan selatan Lebanon oleh pasukan Hizbullah. Israel bersama aliansinya seperti Amerika Serikat pun memberikan cap teroris terhadap organisasi Hizbullah.

Berbeda dengan Israel, pemerintah Lebanon tidak memberi cap teroris terhadap Hizbullah, bahkan Hizbullah memiliki peranan penting dalam parlemen Lebanon. Israel memandang sikap yang diberikan pemerintah Lebanon terhadap Hizbullah sebagai tindakan kooperatif dengan terorisme.

Ketika Hizbullah melakukan serangan yang melewati batas antar Israel dan Lebanon (Cross-border Raid) pada tahun 2006, Israel melihat ini sebagai ancaman nyata bagi negaranya sehingga kemudian IDF diberi mandat untuk melakukan serangan balasan terhadap Hizbullah di wilayahnya, Lebanon. Dalam pernyataan resmi yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri Israel (2006) menyatakan bahwa Pemerintah Lebanon bersalah dalam melindungi Hizbullah dan tidak menghiraukan resolusi PBB 1559 untuk menghilangkan Hizbullah dari perbatasan Lebanon. Oleh karena itu Pemerintah Lebanon harus bertanggung jawab atas ‘keringanan’ yang diberikan Beirut terhadap Hizbullah.

(9)

Lebanon sebagai teroris bersama dengan Hizbullah. Tentara Israel pun terdoktrin dengan ucapan tersebut sehingga ketika mereka membunuh sipil, mereka akan menganggap sama seperti membunuh pasukan Hizbullah.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan singkat yang dibahas diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa hipotesis yang coba di argumentasikan penulis terbukti secara akademis. Hipotesis penulis yang menyatakan bahwa Israel melakukan kejahatan perang di Lebanon pada tahun 2006 dengan membunuh banyak warga sipil Lebanon terjadi karena pelabelan identitas yang dilakukan pemerintah Israel sehingga tentara Israel tidak mampu membedakan mana yang disebut Kombatan dan mana yang bukan kombatan.

Adapun dalam tulisan ini masih terdapat beberapa kelemahan terkait dengan proses sekuritisasi di wilayah Israel. Sekuritisasi bertujuan untuk membangun opini publik bahwa ancaman yang ditimbulkan adalah nyata dan perlu tindakan pemerintah sehingga kemudian masyarakat Israel akan mendukung kebijakan pemerintah Israel dalam perang Lebanon. Namun di tulisan ini, penulis belum melihat bukti kuat bahwa warga Israel mendukung penuh Israel di perang ini.

Referensi

 Goldenberg, S. (2006). Red Cross ambulances destroyed in Israeli air strike on rescue mission. The Guardian, [online] p.1.

Available at:

http://www.theguardian.com/world/2006/jul/25/syria.israel5 [Accessed 15 May 2015].

(10)

http://www.theguardian.com/world/2006/jul/14/syria.israelandthe palestinians2 [Accessed 15 May 2015].

 Myre, G. and Steven Erlanger, S. (2006). Clashes spread to Lebanon as Hezbollah raids Israel Africa & Middle East -International Herald Tribune. The New York Times, [online] p.1.

Available at:

http://www.nytimes.com/2006/07/13/world/africa/13iht-web.0713mideast.2188501.html?_r=3& [Accessed 13 May 2015].

 Zisser, E. (2011). Iranian Involvement in Lebanon. Military and

Strategic Affairs, [online] 3(1), p.3. Available at:

http://www.inss.org.il/uploadimages/Import/ (FILE)1308129458.pdf [Accessed 13 May 2015].

 Human Right Watch, (2006). Fatal Strikes Israel’s Indiscriminate Attacks Against Civilians in Lebanon. [online] Human Right

Watch, p.4. Available at:

http://www.hrw.org/reports/2006/lebanon0806/ [Accessed 14 May 2015].

(11)

 Fickling, D. (2006). Amnesty report accuses Israel of war crimes.

[online] the Guardian. Available at:

http://www.theguardian.com/world/2006/aug/23/israelandthepale stinians.syria [Accessed 17 May 2015].

 UN News, (2006). Israel’s ‘immoral’ use of cluster bombs in

Lebanon poses major threat – UN aid chief. [online] Available at:

http://www.un.org/apps/news/story.asp?

Referensi

Dokumen terkait

Penulis menyimpulkan bahwa dalam konflik bersenjata non- internasional antara Israel dengan Hezbollah yang terjadi pada tahun 2006 banyak ditemkan pelanggaran Hukum

Dalam konflik bersenjata non-internasional antara Israel dengan Hezbollah.. yang terjadi pada tahun 2006 banyak ditemukan pelanggaran

Hal ini sesuai pendapatZaskis and Chernof (2006), yang menyatakan bahwa konflik kognitif terjadi ketika seseorang yang belajar dihadapkan pada situasi atau informasi yang tidak

Bab II : adalah pembahasan yang terdiri dari tiga sub bab yaitu: Tinjauan umum Hukum Humaniter Internasional, Konflik bersenjata antara Israel dengan Hezbollah di Lebanon

Perang hebat antara para gerilyawan yang tergabung ke dalam Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dengan tentara Zionis Israel terjadi pada ..... Setelah menjatuhkan korban tewas 9

Pertempuran itu mulai terjadi pada 12 Juli 2006 dan serangan udara Israel mulai masuk ke Libanon Selatan pasca adanya klaim tentara Hezbollah yang telah

Dalam novel tersebut konflik terjadi ketika pasukan pemerintah (tentara) seketika menyerang.. jalan Pariabek beserta dengan anjing yang bertali kekang. Penyerangan

Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penyebab terjadinya konflik sosial perang suku dan mengetahui peran pemerintah daerah dalam mengatasi konflik sosial perang antara Suku