• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wacana dan Identitas Pengaruh Mitos Loka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Wacana dan Identitas Pengaruh Mitos Loka"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

Nama : Lidia Kristri Afrilita

Program Studi : Ilmu Linguistik

Judul : Wacana dan Identitas : Pengaruh Mitos Lokal terhadap Identitas Penyandang Disabilitas di Nusa Tenggara Timur

Disability issue has been a new focus in Eastern Part of Indonesia due to the high number of poverty and people with disability. Different problems have been addressed in order to create a more positive identity of people with disability. However, one of the challenges towards this effort is the local myths. Two local mtyhs; curse and fate myth, and work motivation and land cultivation myth, are discussed in this paper. Anna De Fina’s view on identity as a social contructionism and Roland Bathes’ theory on connotation and myth are used to analyze the phenomenon.

Keywords: local myth, disability in NTT, identity, social constructionism.

1. Pendahuluan

Pada tanggal 21 Oktober 2013, sebagai tindaklanjut Deklarasi Bali yang membahas kesetaraan hak-hak penyandang disabilitas, situs resmi Kemenkokesra melansir:

“Perlindungan terhadap penyandang disabilitas tidak lagi sifatnya hanya memberikan sumbangan tapi lebih kepada kesetaraan hak, mereka sama seperti orang normal. Kesetaraan terutama aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dimulai pada sarana-sarana publik” 1

Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyandang disabilitas, yaitu Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997. Meskipun demikian, peraturan ini ternyata tidak begitu berhasil menjamin kesejahteraan penyandang disabilitas di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan masih tingginya angka penyandang disabilitas di Indonesia dari tahun ke tahun, baik yang disebabkan oleh gizi buruk, bawaan sejak lahir, kecelakaan, bencana alam, ataupun konflik. Meskipun belum lengkap, menurut data dari Kementrian Sosial, jumlah penyandang disabilitas di 14 propinsi di Indonesia sampai tahun 2010 mencapai 1.167.111 jiwa (Irwanto, dkk, 2010:7). Dari jumlah tersebut, angka penyandang disabilitas yang hidup dibawah garis kemiskinan sangat tinggi, yaitu mencapai 1.033.698 jiwa. Menindaklanjuti keadaan ini, Indonesia telah menyempurnakan peraturan ini dengan meratifikasi konvensi PBB mengenai hak-hak penyandang disabilitas melalui Undang-Undang

(2)

No.19 tahun 2011. Dengan adanya peraturan baru ini, pemerintah Indonesia berharap dapat memberikan solusi terhadap berbagai masalah sosial yang dihadapi penyandang disabilitas di Indonesia, penyetaraan hal hak-hak dan partisipasi penyandang disabilitas dalam pengambilan keputusan di segala lini masyarakat.

Persoalan yang dihadapi penyandang disabilitas di Indonesia sangat kompleks, mulai dari masalah kesehatan, pendidikan, akses yang tidak tersedia, minimnya partisipasi dalam masyarakat, hingga ke persoalan paling riskan, yaitu stigma negatif dari masyarakat. Bukan hal yang asing lagi ketika penyandang disabilitas diperlakukan tidak setara dengan orang-orang normal pada umumnya. Meminjam istilah Mike Oliver (1994) bahwa penyandang disabilitas cenderung mengalami perlakuan exclusion, alih-alih inclusion dalam masyarakat. Selain itu, penyandang disabilitas juga menjadi kelompok minoritas yang riskan terhadap kekerasan, penganiayaan, eksploitasi, dan pembiaran dikarenakan keadaan fisik mereka yang lemah maupun kondisi mental yang berbeda, terutama secara intelektual.

Dari sisi pendidikan, kebanyakan penyandang disabilitas memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dibandingkan dengan orang-orang non-disabilitas pada umumnya. Persoalan lain yang sering dialami oleh penyandang disabilitas adalah penolakan dari pihak sekolah untuk menerima anak-anak cacat di sekolah reguler. Dari sisi ekonomi, mayoritas penyandang disabilitas tergolong ke dalam masyarakat miskin yang minim keahlian atau keterampilan. Hal ini memperburuk kondisi hidup penyandang disabilitas, sehingga risiko kesehatan dan pendidikan menjadi semakin besar. Dari sisi kesehatan, penyandang disabilitas juga belum maksimal menerima pelayanan kesehatan, termasuk bantuan alat-alat kesehatan semisal kursi roda, alat bantu pendengaran, tongkat, dan sebagainya. Salah satu faktor yang menyebabkan masalah-masalah sosial ini adalah terbatasnya APBN (Anggaran Pengeluaran Belanja Negara) untuk masalah kesejahteraan sosial terkait penyandang disabilitas.

(3)

stigma negatif masyarakat terhadap mereka. Dalam program nasional ini, Menkokesra menginstruksikan tim dari PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) untuk melakukan penilaian terkait kondisi penyandang disabilitas di lapangan, khususnya di 12 propinsi di Indonesia timur. Tujuan utama dari program ini adalah untuk melihat kondisi penyandang disabilitas di lapangan dan usaha-usaha apa saja yang telah dan akan dilakukan oleh organisasi-organisasi penyandang disabilitas, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan pemerintah setempat dalam meningkatkan kesejahteraan dan partisipasi kelompok minoritas ini. Selain itu, program ini juga bertujuan untuk melihat sejauh mana upaya-upaya tersebut membawa perubahan positif terhadap image penyandang disabilitas di mata masyarakat.

Melalui observasi dan wawancara di lapangan dengan sejumlah organisasi yang bergerak dalam isu kecacatan dan instansi-instansi pemerintah yang terkait seperti dinas kesehatan, dinas sosial, dinas pendidikan, dan Bupati setempat, diperoleh data bahwa penyandang disabilitas masih mendapat diskriminasi dari masyarakat maupun pemerintah setempat. Hal ini disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu kondisi kecacatan mereka dan budaya masyarakat setempat, termasuk penyandang disabilitas itu sendiri. Tak jarang usaha peningkatan taraf hidup penyandang disabilitas ini malah mendapat halangan dari masyarakat dan penyandang disabilitas itu sendiri. Tulisan ini akan melihat bagaimana budaya masyarakat lokal memengaruhi wacana identitas penyandang disabilitas di Kabupaten Manggarai, Propinsi NTT.

2. Identitas sebagai Bentuk Konstruksi Sosial

Istilah identitas sebagai sebuah bentuk konstruksionisme sosial dikemukan oleh De Fina dalam De Fina, Schriffrin, dan Bamberg (2006:352). Identitas dipandang bukan sebagai sebuah produk, melainkan sebuah proses yang terjadi dalam interaksi sosial, yang terpatri dalam praktik-praktik wacana keseharian. Artinya identitas bukan lahir begitu saja tapi dibentuk oleh unsur-unsur masyarakat sehingga identitas bersifat dinamis, dapat berubah sesuai dengan cara pandang masyarakat dan perubahan yang terjadi dalam sistem.

(4)

jender. Bahasa, baik tertulis maupun lisan, memiliki kekuatan untuk membentuk pandangan, pengetahuan, kepercayaan, ideologi, pemahaman, sikap, dan perilaku masyarakat terhadap isu tertentu.

Identitas tidak hanya menyangkut diri pribadi, tapi juga menentukan posisi individu dalam sebuah kelompok. Sack dalam De Fina, Schriffrin, dan Bamberg (2006:2) menyatakan bahwa konstruksi identitas berhubungan dengan dua istilah, yaitu kategori inklusi dan eksklusi individu dalam masyarakat mayoritas, yang bisa dilihat dari aktifitas keseharian masing-masing anggota masyarakat. Dalam kasus penyandang disabilitas, disebabkan masalah kecacatan yang mereka hadapi, mereka memiliki ruang gerak yang terbatas, kemampuan berpikir yang tidak sama dengan orang rata-rata, kondisi fisik yang lemah, dan ketergantungan yang tinggi dengan keluarga. Kondisi yang demikian menyebabkan penyandang disabilitas dipandang sebagai kelompok yang berbeda dengan orang-orang ‘normal’ karena aktifitas keseharian yang mereka lakukan berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Anggapan mengenai perbedaan ini, melahirkan konstruksi sosial bahwa identitas penyandang disabilitas bukanlah bagian dari masyarakat umum (inklusi) melainkan kelompok minoritas (eksklusi) yang termarjinalkan. Mereka tidak lagi dipandang sebagai individu yang memiliki masalah kesehatan saja, melainkan dikonstruksi menjadi ‘bagian masyarakat yang lain’, sebagaimana diungkapkan oleh Wendell dalam Reinikainen (2006:51-55),

“....the biggest obstacle in the deconstruction of disabling social restrictions and barriers, for example by legislation and socio-political reforms, lies in the othering cultural constructions of disability, which produce otherness for disabled people.”

3. Konotasi yang Berkembang Menjadi Mitos

Mike Oliver yang juga seorang penyandang disabilitas, pada halaman pertama makalahnya mengutip Swan (1981:14) dalam kumpulan tulisan karya anak-anak penyandang disabilitas berjudul What It’s Like to be Me:

I am not a disability, I’m me. I have dislexia and I’ve had polio

But I’m not ‘a dyslexic’ or ‘a cripple’ I’m me.

(5)

pemrotes menganggap penggunaan kata tersebut sebagai sebuah bentuk diskriminasi dan penghinaan bagi penyandang disabilitas karena kata Retarde, menurut mereka, hanya digunakan sebagai olok-olok.

“The word retard, or retarde, only means one thing. It’s a word that’s used to bully. Kids are killing themselves, kids are comitting suicide because they’re being bullied”

Kedua contoh diatas cukup kiranya memberikan gambaran bagaimana sebuah kata dapat menjadi medium untuk menciptakan diskriminasi dalam masyarakat. Kata dyslexic dan cripple yang pada mulanya digunakan dalam ranah kesehatan, bisa berubah fungsi menjadi kata-kata yang merujuk pada nilai-nilai negatif, seperti orang yang rendah kemampuan intelektualnya, orang yang tidak memiliki potensi untuk memiliki masa depan yang cerah, orang yang memiliki kekurangan fisik, sehingga tidak bisa melakukan banyak aktivitas seperti orang kebanyakan, dan banyak pemaknaan negatif lainnya. Begitu juga dengan kata retarde yang ditolak penggunaannya karena mengandung makna yang negatif pula.

Di Indonesia, istilah ‘penyandang cacat’ adalah yang pertama disepakati untuk dipakai oleh masyarakat umum dan para pemangku kepentingan hingga awal tahun 2010. Namun, istilah ini dianggap mengandung nilai yang negatif karena dianggap mengandung makna konotasi ‘orang-orang yang tidak berdaya, tercela, tidak berguna, dan hanya menjadi beban keluarga’. Atas dasar ini, pada tanggal 8-9 Januari 2010, pemerintah resmi menghapuskan penggunaan istilah ‘penyandang cacat’ dan menggantinya dengan terminologi penyandang disabilitas, yang dianggap mengandung makna lebih positif (Daksa Foundation, 2013).

Pemberian makna kedua, ketiga, dan seterusnya ini menurut Barthes, yang dikutip oleh Hoed (2011:13), disebut konotasi. Sebuah kata, selain memiliki makna denotasi, juga memiliki makna yang ditambahkan (konotasi). Jadi, makna sebuah kata tidak bersifat stabil, tapi dapat berubah menjadi makna baru yang diberikan oleh pemakainya sesuai latar belakang pengetahuan, konvensi baru dalam masyarakat, pandangan budaya, pandangan politik, atau ideologi pemberi makna, misalnya pada kata dyslexic, cripple, dan retarde diatas. Penambahan makna pada suatu kata atau konsep akan memengaruhi perlakuan seseorang terhadap objek yang dimaksud, sebagaimana ditekankan oleh Oliver (1994:5) berikut ini.

(6)

Kata retarde pada masa sekarang mempunyai makna konotatif ‘orang yang bodoh, idiot, menjadi aib dan beban keluarga, tidak berguna, dan dijauhi oleh masyarakat’. Ketika seseorang memberikan label retarde kepada penyandang disabilitas, maka konsep yang akan muncul dalam kognisinya adalah bahwa mereka perlu dikurung, diperlakukan sedemikian rupa, atau bahkan dibunuh agar tidak membebani masyarakat.

Selain itu, Oliver (1994:7), dalam tulisan yang sama juga mengutip Foucault:

“The way we talk about the world and the way we experience it are inextricably linked - the names we give to things shapes our experience of them and our experience of things in the world influences the names we give to them.”

Kutipan diatas juga mendukung pendapat bahwa wacana yang digunakan untuk melabeli seseorang atau sesuatu tidak hanya berupa wujud bahasa yang merepresentasikan suatu objek, tapi juga memengaruhi cara pandang dan perlakuan yang kita berikan terhadap objek tersebut. Bahasa tidak memiliki hubungan langsung dengan referen, melainkan harus melalui sebuah proses pembentukan dan pemahaman konsep di dalam kognisi, sebagaimana konsep segitiga makna Ogden dan Richard. Konsep pemaknaan bahasa dalam kognisi bergantung pada pengalaman dan budaya seseorang. Satu kata bisa saja dimaknai secara berbeda oleh kelompok masyarakat yang berbeda, sehingga bisa melahirkan konotasi, yang apabila terus berkembang dalam waktu yang lama akan berubah menjadi mitos. Konsep konotasi yang berkembang menjadi mitos seperti ini menurut Barthes, digunakan untuk menjelaskan bagaimana gejala budaya memperoleh makna khusus dari anggota masyarakatnya. Dan di Indonesia, sebagai negara yang kaya akan budaya-budaya lokal, banyak sekali ditemukan bentuk-bentuk konotasi yang berkembang menjadi mitos di dalam kehidupan sosial masyarakatnya, salah satunya di Nusa Tenggara Timur.

4. Pengaruh Mitos Lokal terhadap Identitas Penyandang Disabilitas di Indonesia Timur

(7)

tersebut. Salah satu yang mendasar adalah masih adanya pengaruh budaya lokal yang menjadi hambatan untuk memperbaiki taraf hidup penyandang disabilitas itu sendiri. Berdasarkan data tersebut, penulis ini melihat paling tidak ada dua (2) bentuk mitos yang membentuk wacana identitas penyandang disabilitas di Kabupeten Manggarai, yaitu mitos kutukan dan kepasrahan, dan mitos motivasi kerja dan pemanfaatan lahan.

Wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai kondisi penyandang disabilitas di Kabupaten Manggarai. Pada bagian awal wawancara, informan menjelaskan tentang keadaan penyandang disabilitas yang mayoritas tergolong masyarakat miskin dan dimarjinalkan oleh masyarakat karena dianggap tidak ‘normal’. Teks wawancara dengan informan diambil sebagai representasi pandangan umum masyarakat lokal kabupaten Manggarai. Asumsi ini dibuat berdasarkan fakta bahwa organisasi ini telah lama aktif melayani penyandang disabilitas di daerah setempat dan aktif melakukan pendekatan-pendekatan ke masyarakat lokal dalam rangka mensosialisasikan kesetaraan hak penyandang disabilitas.

Mitos Kutukan dan Kepasrahan

Sebagai masyarakat lokal dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, Kabupaten Manggarai dihadapkan pada rentetan dampak kemiskinan, seperti minimnya akses pendidikan, fasilitas publik, lapangan pekerjaan, dan rentannya tingkat kesehatan. Kondisi sosial seperti ini memberikan dampak ganda bagi penyandang disabilitas, disamping stigma negatif masyarakat akan keberadaan mereka. Penyandang disabilitas memiliki keterbatasan ruang gerak dalam keseharian mereka, sehingga mereka sangat bergantung pada orang-orang terdekatnya, yaitu keluarga dan tetangga. Faktor kemiskinan dan rendahnya pendidikan masyarakat setempat menjadi pemicu lahirnya mitos bahwa penyandang disabilitas merupakan sebuah kutukan dari Tuhan. Anak-anak dengan kecacatan dianggap sebagai sebuah aib dan beban bagi keluarga dikarenakan penampilan fisik mereka yang tidak sempurna dan ketidakmampuan mereka membantu ekonomi keluarga.

(8)

enggan untuk berkomunikasi apalagi membantu keluarga dengan penyandang disabilitas. Mitos semacam ini menyebabkan tak hanya penyandang disabilitas yang mendapat perlakuan diskriminasi, tapi juga keluarga penyandang disabilitas itu sendiri. Keadaan ini menambah beban sosial keluarga sehingga keluarga semakin terbebani dengan kehadiran penyandang disabilitas di tengah-tengah keluarga mereka. Alasan ini menjelaskan mengapa penyandang disabilitas sering disembunyikan di dalam rumah, atau bahkan dipasung di belakang rumah.

”Ada kesan juga di beberapa tempat tertentu kalau saya menolong keluarga yang sedang dalam tanda kutip “dikutuk” ya... dikutuk itu juga bisa sampai kepada saya. Tapi itu di masyarakat yang belum masuk dalam kelompok agama yang besar.”

Masih adanya mitos kutukan ini merupakan cerminan dari belum menyeluruhnya sosialisasi pemerintah ataupun lembaga terkait dalam rangka menghapus persepsi yang salah mengenai penyandang disabilitas. Realitas ini membuktikan bahwa kepercayaan yang telah lama ada dalam kelompok masyarakat tertentu akan berubah menjadi mitos, dan membutuhkan waktu yang lama untuk mengubahnya kembali. Keberadaan agama pun tidak menjadi jaminan bahwa mitos kutukan ini bisa semata-mata lenyap.

Menerima kecacatan sebagai sebuah kutukan menjadikan penyandang disabilitas dan keluarganya bersikap pesimis dan menutup diri dari peluang memperbaiki keadaan hidup mereka. Keluarga lebih memilih untuk terus menyembunyikan anak mereka. Keadaan ini menjadikan penyandang disabilitas kehilangan hak-hak mereka, seperti hak mendapatkan perawatan kesehatan di rumah sakit atau pusat rehabilitasi, hak untuk terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan, dan hak memperoleh pendidikan yang layak. Kepasrahan ini tercermin dari kutipan berikut:

“....tidak usah diubah lagi, sudah toh begitu. Tidak ada harapan pada perubahan.”

(9)

“Kalau orangtuanya bertani, anak-anak cacat ditinggalkan di rumah, main dengan anjing atau dititip ke tetangga. Mereka hanya berpikir kapan anak ini mati, supaya kami tidak ada beban.”

Kepasrahan ini mencerminkan keadaan keluarga penyandang disabilitas, yaitu miskin secara finansial dan miskin secara pengetahuan. Penerimaan ini sekedar menjadi pelarian keluarga yang tidak mampu melakukan sesuatu untuk anak mereka. Memberikan ‘perubahan’ berarti membutuhkan biaya untuk perawatan rumah sakit, dan memberikan akses pendidikan berarti menciptakan beban baru bagi keluarga. Penyandang disabilitas semata-mata dipandang sebagai, tak hanya beban moril, tapi juga beban materiil bagi keluarga. Ketidakhadiran mereka dalam keluarga dianggap lebih baik daripada keberadaan mereka.

Mitos Motivasi Kerja dan Pemanfaatan Lahan

Satu diantara program yang sedang digalakkan oleh Yayasan Ayo Indonesia adalah memberikan keterampilan cara bertani kepada penduduk setempat, terutama penyandang disabilitas. Dasar dilaksanakannya program ini adalah banyaknya lahan produktif di NTT yang tidak diolah oleh pemiliknya. Adiyoga dan Herawati (2008) menyatakan bahwa persentase lahan yang tidak digunakan di Manggarai adalah 18,62%, sedangkan lahan yang diolah untuk berladang hanya 12,73%. Hal ini cukup ironis, mengingat masyarakat NTT sebenarnya telah mengenal konsep pengelolaan lahan untuk berladang sejak lebih dari setengah abad yang lalu. Mayoritas penduduknya hidup dari sektor agraris, yang ditandai dengan adanya pranata-pranata pengelolaan lahan yang diatur oleh adat. Daerah Manggarai sendiri dikenal sebagai salah satu kabupaten penghasil padi, jagung, kopi, cengkeh, dan kemiri.

(10)

bukanlah kelompok masyarakat yang tidak paham cara bertani, sehingga membutuhkan pelatihan cara bercocoktanam. Namun, peneliti ini melihat ada masalah lain yang tercermin dari kutipan-kutipan berikut:

“Suruh orang normal saja di desa sini untuk menanam sayur, satu kali dia diajarkan menanam sayur, sedikit-sedikit setelah itu dia tidur lagi, apalagi penyandang cacat.”

“Most of the people here have their own piece of land, not the big one. Normally a family has some small plot in front of their house, but traditionally they don’t make use of it. They abandoned it. They just give it for the dogs and chicken to play at.

“You can teach people how to use organic fertilizer everyday. They can learn. They can have the knowledge and the skill, but to keep them doing this after, you know it is like a culture, way of thinking. It is not about something you can do, but something inside it. They cant see how they should change their habit now.”

Dari kutipan diatas, penulis ini melihat bahwa permasalahannya bukanlah permasalahan teknis, melainkan tidak adanya motivasi dari diri masyarakat untuk memberdayakan diri mereka sendiri. Faktor kemalasan ini dijelaskan oleh klausa sedikit-sedikit setelah itu dia tidur lagi. Tidur sebagai representasi sifat malas, mewakili perilaku masyarakat setempat yang dianggap menjadi penghambat laju perbaikan ekonomi. Informan juga menyandingkan dua kelompok masyarakat dalam pernyataannya, yaitu orang normal dan penyandang cacat. Dengan penggunaan kata penghubung perbandingan apalagi, informan secara tidak langsung ikut melanggengkan mitos bahwa penyandang disabilitas selalu mempunyai kemampuan lebih rendah daripada orang normal, sehingga jika orang normal dianggap malas dan sulit diajari, maka penyandang cacat akan dianggap lebih malas dan lebih sulit diajari.

(11)

dekat dengan mereka (lahan), mereka lebih suka memelihara anjing untuk berburu dan ayam untuk beternak. Padahal, dibandingkan dengan berburu dan beternak, bertani sayur-sayuran di pekarangan rumah tidak membutuhkan biaya dan tenaga yang besar.

Faktor rendahnya motivasi kerja dianggap telah tumbuh dan mengental dalam diri masyarakat, it is like a culture, way of thinking, it is not about something you can do, but something inside it. Salah satu faktor penyebab yang mungkin adalah masalah status kepemilikan lahan di NTT. Di beberapa komunitas, kekuasaan tanah berada di tangan pemuka adat atau tuan tanah (Remigius, 1993:56). Masyarakat umum hanya diberikan hak pakai atas tanah, bukan hak milik. Hak pakai inilah yang kemudian diwariskan kepada anak cucu mereka. Penulis ini melihat bahwa keengganan masyarakat di Manggarai untuk bercocoktanam dapat disebabkan oleh faktor kepemilikan tanah yang tidak jelas ini. Oleh karena itu, tidak jarang masyarakat setempat lebih memilih keluar dari daerah mereka untuk memperoleh pekerjaan bercocoktanam di daerah lain.

5. Simpulan

De Fina dalam De Fina, Schriffrin, dan Bamberg (2006) mengatakan bahwa wacana identitas tidak hanya berada pada tataran individu, tetapi juga menyangkut bagaimana posisi individu dalam tataran masyarakat yang dominan. Pemerolehan identitas tidak terjadi dalam satu waktu, melainkan melalui proses panjang dalam praktik-praktik keseharian. Identitas menjadi penting karena identitas dapat menentukan perlakuan seperti apa yang akan diberikan kepada individu.

(12)

yang menjadi salah satu penghambat keberhasilan program pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup dan menciptakan identitas yang lebih positif bagi penyandang disabilitas di Nusa Tenggara Timur.

DAFTAR ACUAN

Adiyoga dan Herawati. (2008). Acuan Mengkaji Kemiskinan di Era Otonomi

Daerah: Kasus Propinsi Nusa Tenggara Timur (diakses dari http://manggarai-ntt.blogspot.com/2008/09/pola-nafkah-lokal.html pada tanggal 18 Desember

2013)

Daksa Foundation (3 Juni 2013). Istilah Penyandang Disabilitas sebagai

Pengganti Penyandang Cacat (diakses dari

http://daksa.or.id/istilah-penyandang-disabilitas-sebagai-pengganti-penyandang-cacat/ pada tanggal 24

November 2013).

(13)

Hoed, Benny.H. (2011). Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Komunitas Bambu: Jakarta.

http://www.menkokesra.go.id/content/ri-ratifikasi-konvensi-penyandang-disabilitas

(diakses pada tanggal 28 Novermber 2013).

http://www.abc.net.au/news/2013-11-09/row-over-retarde-clothing-range/5100528

(diakses pada tanggal 28 November 2013).

Irwanto, dkk. (2010). Analisis Situasi Penyandang Disabilitas di Indonesia : Sebuah Desk-Review. Depok : Pusat Kajian Disabilitas FISIP UI.

Kementerian Sekretariat Negara RI (10 November 2011). Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 (diakses dari

http://www.bphn.go.id/data/documents/11uu019.pdf pada tanggal 18

Desember 2013).

Oliver, Mike. (1994). Politic and Language: Understanding the Disability

Discourse. Paper in the MA in Disability Studies Programme: Dept. Of Psychotherapy, University of Sheffield (diakses dari http://disability-studies.leeds.ac.uk/files/library/Oliver-pol-and-lang-94.pdf pada tanggal 24

November 2013).

Reinikainen, Marjo-Riitta. (2006). Everyday Discourses on Disability: A Barrier to Successful Disability Policy?. Women’s Studies University of Jyväskylä, Department of Social Science and Philosophy (diakses dari

http://www.idunn.no/ts/nsa/2006/03/everyday_discourse_on_disability_a_barri

er_to_successful_disability_policy pada tanggal 18 November 2013).

Remigius, Dewa. “Perubahan Pranata Pengelolaan Lahan pada Komunitas

Peladang di Nusa Tenggara Timur: Kasus Lio dan Iwanggete di Pulau Flores”. Ekonesia. A Journal of Indonesian Human Ecology. Vol.1, No.1, 1993, hal.37-57. Jakarta: Program Studi Antropologi, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

isu-isu yang menjadi ancaman dan mengganggu kepentingan nasional suatu Politik luar negeri suatu negara cenderung untuk memperhatikan. kepentingan nasionalnya dan memperjuangkannya

Stabilisasi mekanis adalah salah satu metode untuk 2 meningkatkan daya dukung tanah dengan cara perbaikan struktur dan perbaikan sifat-sifat mekanis tanah, sedangkan

Di atas sudah dijelaskan berbagai peran dan tugas pelayanan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh wanita baik yang ada di dalam alkitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian

Hasil analisis didapatkan karir adalah faktor yang paling mempenga- ruhi kinerja perawat sebesar 30 kali lebih tinggi dibandingkan dengan karir yang kurang baik

(stakeholder), oleh karena itu perlu adanya suatu pengukuran kinerja yang tidak hanya melihat aspek financial tetapi juga aspek non financial, akan tetapi kebanyakan

Nilai F hitung diperoleh sebesar 107,099 dimana nilai F hitung lebih besar dari F tabel yaitu sebesar 2,77, sehingga dapat disimpulkan bahwa inflasi, tingkat suku

Judul skripsi ini adalah Program Eksternal Public Relations Dalam Membentuk Reputasi Positif Melalui Corporate Social Responsibility ( Studi Deskriptif : Program Health

Untuk memahami bagaimana admisi afirmasi ini diimplementasikan, digunakan dua faktor sebagai basis analisisnya. Pertama faktor individu mahasiswa yang mencakup prestasi akdemik saat