• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. internasional sejak tragedi runtuhnya gedung WTC (World Trade Centre) yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. internasional sejak tragedi runtuhnya gedung WTC (World Trade Centre) yang"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Isu terorisme menjadi sebuah isu yang menggemparkan keamanan dunia

internasional sejak tragedi runtuhnya gedung WTC (World Trade Centre) yang

terjadi pada tanggal 11 September 2001. Runtuhnya gedung World Trade Centre

di New York akibat serangan teroris, kini dilihat banyak pihak sebagai defining

moment yang mengakhiri era perang dingin.1

Aksi teror merupakan sebuah kata yang berarti upaya menciptakan

ketakutan, kengerian atau kekejaman oleh seseorang, kelompok atau golongan. Hal ini menunjukkan bahwa dunia

internasional tidak lagi fokus dalam memperhatikan perang ideologi yaitu

pertentangan antara Barat dan Timur (Liberalisme dan Komunisme) yang telah

terjadi sejak berakhirnya Perang Dunia II tahun 1945, akan tetapi saat ini dunia

internasional mulai fokus untuk melakukan perang terhadap terorisme yang mana

tindakan terorisme ini dianggap sebagai salah satu pelanggaran Hak Azasi

Manusia (HAM).

2

1

Rizal Sukma, Keamanan Internasional Pasca 11 September: Terorisme, Hegemoni AS dan Implikasi Regional, makalah ini disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema: Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakimandan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar 14-18 Juli 2003.

2

Mardenis, Pemberantasan Terorisme:Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011, hal 119.

Aksi teror yang dilakukan merupakan tindakan-tindakan yang mengancam

(2)

rasa tidak aman. Berbagai aksi teror yang telah terjadi menyebabkan isu terorisme

merupakan salah satu ancaman bagi dunia internasional, dilakukan oleh orang,

kelompok atau golongan tertentu. Salah satunya adalah aksi serangan teroris yang

terjadi dalam tragedi WTC pada tanggal 11 September 2001, tentu saja aksi

serangan teroris ini telah melecehkan nilai-nilai kemanusiaan, martabat bangsa,

dan norma-norma agama.

Adanya tindakan teror ini sama halnya dengan hancurnya cita-cita

manusia untuk hidup berdampingan secara damai dengan bangsa-bangsa lain.

Aksi serangan teroris juga semakin meningkat di negara-negara eropa, asia, dan

afrika sejak tragedi runtuhnya gedung WTC. Peningkatan aksi teror yang telah

terjadi di berbagai negara telah banyak memberikan dampak negatif bagi

perkembangan dan pembangunan sebuah negara. Sehingga dapat dikatakan bahwa

aksi terorisme ini ikut ambil bagian dalam kehidupan berbangsa yang

menunjukkan gambaran dari berbagai jenis kejahatan, khususnya kejahatan

kekerasan, kejahatan terorganisasi, dan kejahatan yang tergolong luar biasa

(extraordinary crime).

Amerika Serikat yang tampil sebagai negara adidaya satu-satunya

(Unipolar, khususnya bidang militer/keamanan internasional), akhirnya mengakui

juga bahwa sekalipun Amerika Serikat sebagai negara super power, akan tetapi

mereka tidak mampu menghadapi serangan teroris tersebut sendirian. Ini dapat

dilihat pada sistem keamanan Amerika yang tidak mampu mendeteksi dini

(3)

WTC dan Pentagon. Aksi teror dilakukan dengan cara membajak dua pesawat

sipil dan menabrakkan pesawat tersebut ke gedung WTC, tragedi serangan teroris

yang terjadi pada saat itu membunuh 3000 orang korban jiwa.3

Sejak serangan ke WTC dan Pentagon terjadi maka isu terorisme global

mengemuka dan menjadi perhatian aktor-aktor politik dunia baik negara maupun

non-negara. Amerika Serikat yang merupakan korban dari aksi terorisme ini memandang bahwa bahaya ancaman bukan saja berasal dari negara tertentu, tetapi

juga dari kekuatan non negara (non state actor) terutama dari kaum teroris.

4

Presiden Bush secara eksplisit mengundang warga Amerika serta dunia

internasional secara umum untuk bersama-sama melancarkan “War againts

Terrorism” sebagai bagian integral dari perjuangan untuk menegakkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi yang menjadi komitmen bersama menuju tata dunia

baru pasca-Perang Dingin.

Jaringan teroris yang merupakan salah satu kekuatan aktor bukan negara (non

state actor) kini dianggap semakin meluas dan melewati batas-batas negara, bahkan melintasi antar benua sehingga benar-benar bersifat global.

5

“...everytime we stand up for human rights and fundamental freedoms, we stand up against terrorism. Everytime we act to resolve political disputes, we act against terrorism. Everytime we make the rule of law stronger, we make terrorists weaker”.

Ada kutipan yang diungkapkan Koffi Annan yaitu

6

3

Frans Fikki Djalong, Reorientalising Islam: Terrorism and Discourse on Evil, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Vol 14, Nomor 2, November 2010, hal 252

4

Mardenis, Op. Cit, hal 5. 5

Gabriel Lele, Terorisme dan Demokrasi: Masalah Global, Solusi Lokal, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol 9, No. 1, Juli 2005.

6

Anak Agung Abimanyu Perwita, Reformasi Sektor Keamanan Demi Demokrasi Penanganan Terorisme di Indonesia, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol 9, No. 1, Juli 2005, hal 45-46.

(4)

Ungkapan yang disampaikan oleh Kofi Annan menunjukkan bahwa

permasalahan terorisme merupakan sebuah permasalahan yang bersifat

transnasional yang menjadikan setiap negara yang ada di dunia akan merasa

terancam dengan adanya jaringan teroris ini, sehingga globalisasi teror serta

ketakutan yang mengikutinya memaksa berbagai negara untuk memperkuat

keamanan nasional negara masing-masing.

Terorisme sebagai salah satu jenis dari Activities of Transnational/

Criminal Organizations merupakan kejahatan yang ditakuti karena ancaman dan akibat yang ditimbulkan cukup luas. Ancaman tersebut meliputi ancaman

terhadap kedaulatan negara, masyarakat, individu, stabilitas nasional, nilai-nilai

demokratis dan lembaga-lembaga publik, ekonomi nasional, lembaga keuangan,

demokratisasi, privatisasi, dan juga pembangunan. Akibat dampak yang

ditimbulkan oleh aksi serangan terorisme ini, maka terorisme bukan lagi dianggap

sebagai bentuk kejahatan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan

terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes against peace and

security of mankind).7

Akibat dipicu oleh serangan teroris terhadap Amerika Serikat dan juga

aksi serangan teroris lainnya yang terjadi di berbagai wilayah belahan dunia

termasuk yang terjadi di Indonesia, mengakibatkan respon terhadap terorisme ini

hadir dalam bentuk pembaharuan terhadap kebijakan keamanan (security policy)

masing-masing negara. Serangan-serangan yang dilakukan teroris dianggap

7

Mulyana W Kusumah, Terorisme dalam Perspektif Politik dan Hukum. Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, Vol 2, No. III, Desember 2002, hal 22.

(5)

sebagai serangan terhadap kemerdekaan dan peradaban, pembaharuan terhadap

kebijakan keamanan (security policy) merupakan sebagai bagian dari meluasnya

dan mendalamnya konsep keamanan di seluruh dunia.

Sejak runtuhnya WTC dan Pentagon, Amerika Serikat memfokuskan diri

untuk memerangi gerakan islam radikal dan teroris, mereka meyakini bahwa

Al-Qaeda membentuk basis pergerakannya di Asia Tenggara, beberapa negara yang

dijadikan sel-sel pelatihan yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand.8 Banyaknya aktivitas terorisme yang merupakan mitra dari jaringan teroris

Al-Qaeda yang telah menyerang Amerika Serikat, maka Asia Tenggara sempat

ditunjuk sebagai ‘front kedua’ oleh Amerika Serikat dalam Perang Global dalam

Melawan Teror setelah Afghanistan dan Timur Tengah, sebuah label yang

dilekatkan oleh Amerika Serikat melihat keberadaan jaringan-jaringan teroris

Al-Qaeda yang aktif di wilayah Asia Tenggara.9

Negara-negara di kawasan Asia Tenggara sendiri mengakui bahwa

ancaman dari terorisme ini merupakan hal yang serius bagai keamanan kawasan di

Asia Tenggara. Asia Tenggara dianggap sebagai satu kawasan yang berpotensi

menyimpan radikalisme dan terorisme. Salah satu yang menyebabkan pandangan

tersebut adalah keberadaan jaringan kelompok radikal, Al-Qaeda yang telah

memperkuat jaringan regionalnya di kawasan Asia Tenggara. Jaringan radikal ini

memiliki tujuan dan ideologi transnasional dan anti baratnya, adapun tujuannya

8

Bruce Vaughn, Emma Chanlett-Avery, Ben Dolven, Mark E. Manyin, Michael F. Martin, Larry A. Niksch, 2009. Terrorism In Southeast Asia, Congressional Research Service, hal 5.

9

(6)

adalah untuk mendirikan kekhalifahan atau negara Islam di kawasan Asia

Tenggara, meliputi wilayah Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, dan Filipina.

Implikasi yang lebih jauh lagi yang dirasakan Asia Tenggara adalah ketika

PBB resmi menyatakan bahwa kelompok “Jamaah Islamiah” digolongkan sebagai

Organisasi Teroris Internasional. Keputusan PBB tersebut mempengaruhi Asia

Tenggara, di mana selama ini Amerika Serikat selalu menekankan bahwa Jamaah

Islamiah merupakan perpanjangan tangan jaringan teroris Al-Qaeda.

Menurut Rohan Guraratna lebih banyak kelompok ekstrimis yang

dipandang lebih mendekati gerakan terorisme, diantaranya: MILF (Moro Islamic

Liberation Front), Abu Sayyaf Goup (ASG) di Filipina, Laskar Jundullah di Indonesia, Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM) di Malaysia, Jemmah

Salafiyah (JS) di Thailand, Arakan Rohingya Nationalist Organization (ARNO)

dan Rohingya Solidarity Organization (RSO) di Myanmar dan Bangladesh dan

Jemaah Islamiyah di Australia.10

Di wilayah Filipina kelompok yang dianggap radikal adalah Moro Islamic

Liberation Front (MILF) dan kelompok Abu Sayyaf, kedua kelompok ini

bertujuan untuk mendirikan negara Islam independen terutama di

propinsi-propinsi dengan mayoritas penduduknya menganut agama Islam yaitu di daerah

Mindanao Selatan. Dalam konteks politik Al Qaeda dianggap telah memberikan Semua gerakan ekstremis tersebut aktif dan

menjadikan kawasan Asia Tenggara sebagai daerah operasinya untuk melakukan

aksi-aksi terornya.

10

Rohan Gunaratna, Terrorism in Southeast Asia : Threat and Response, Center for Eurasian policy occasional research paper series II, No,1 Hudson Institute, 2006, hal 1-2.

(7)

dukungan ideologis, finansial dan operasional terhadap jaringan kelompok radikal

di wilayah Asia Tenggara, seperti Moro Islamic Liberation Front (MILF) dan Abu

Sayyaf Group (ASG) di Filipina, Jemaah Salafiyah (JS) di Thailand dan Laskar

Jundullah di Indonesia, Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM) di Malaysia,

Arakan Rohingya Nationalist Organization (ARNO) dan Rohingya Solidarity

Organisation (RSO) di Myanmar dan Bangladesh.

Semua kelompok radikal yang berada di kawasan Asia Tenggara tersebut

merupakan mitra yang berada di bawah pengawasan dan dukungan kelompok

teroris jaringan Al Qaeda yang berada di Afghanistan. Bantuan finansial, dan

operasional serta tujuan ideologis yang sama menunjukkan serangan teroris yang

dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal ini tidak dibatasi oleh batas-batas

negara. Al Qaeda kemudian menyerukan pembentukan World Islamic Front for

Jihad against the Jews and The Crusaders pada bulan februari 1998, dan menjadikan front perlawanan ini sebagai jalur koordinasi utama bagi

kelompok-kelompok perlawanan Islam di seluruh dunia.11

Kelompok radikal di Asia Tenggara mengadaptasi taktik dan ideologi Al

Qaeda, sehingga dengan banyaknya kelompok radikal dan militant yang memiliki

ideologi dan tujuan yang sama maka kawasan Asia Tenggara merupakan kawasan

yang penuh dengan kelompok radikal yang aktif untuk melakukan operasi teror

untuk melawan kekuatan barat di kawasan Asia Tenggara. Adapun aksi teror dari

aktivitas kelompok radikal dan militant yang berada di kawasan Asia Tenggara

11

(8)

adalah kasus Bom Bali, dan Bom kedubes Australia di Indonesia, Rencana

pengeboman bandara Changi di Singapura, konflik kekerasan di Filipina Selatan

dan berbagai aksi teror yang berada di negara-negara lain yang berada di kawasan

Asia Tenggara lainnya.

ASEAN sebagai institusi regional yang bertujuan untuk meningkatkan

kerja sama antara negara-negara yang berada kawasan di Asia Tenggara melihat

bahwa aksi teror yang telah terjadi di kawasan Asia Tenggara merupakan hal yang

harus disikapi dengan serius. Oleh karena hal tersebut maka negara-negara di

kawasan Asia Tenggara segera memperhatikan kebijakan keamanannya baik

dalam bentuk kerja sama keamanan kawasan melalui ASEAN Political Security

Community yang telah disepakati bersama oleh sesama anggota ASEAN.

Masing-masing negara anggota ASEAN memandang bahwa terorisme

merupakan salah satu ancaman yang dapat mengganggu kestabilan kawasan dan

mengganggu dalam mewujudkan visi ASEAN Community 2015. Hal ini dapat

dilihat dari tindakan yang diambil ASEAN untuk ikut mendukung sikap Amerika

Serikat yang mendeklarasikan perang terhadap Terorisme Global, yakni dengan

melakukan Deklarasi Tindakan Bersama Untuk Kontra-Terorisme yang dibuat

setelah KTT ASEAN di Brunei, November 2001.

Sebagian negara anggota ASEAN pada awalnya melihat peristiwa

terorisme yang terjadi pada 11 Sepetember 2001 sebagai masalah Amerika bukan

masalah Asia. Aksi terorisme pada peristiwa Bom Bali pada tanggal 12 Oktober

(9)

membuat negara-negara di Asia memiliki pandangan yang sama dalam melihat

terorisme sebagai masalah keamanan dalam negeri yang sangat serius.12

Pada KTT ke-12 ASEAN yang berlangsung di Cebu, Filipina

masing-masing negara anggota ASEAN semakin kuat untuk mewujudkan ASEAN Vision

2020 yang kemudian dipercepat menjadi ASEAN Community 2015 dengan

menandatangani “Cebu Declaration on the Acceleration of the Establishment of

an ASEAN Community by 2015”, yaitu ingin menciptakan kawasan Asia Tenggara yang memiliki keamanan, stabilitas, dan perdamaian khususnya sesama negara

anggota ASEAN dan umumnya perdamaian di dunia.

Kejahatan terorisme yang merupakan kejahatan transnasional, yang

artinya bahwa aksi yang dilakukan terorisme ini sudah tidak dibatasi oleh negara,

melainkan aksi ini sudah bersifat antar negara yang memberikan dampak negatif

tidak hanya bagi keamanan suatu negara melainkan keamanan daerah kawasan

juga ikut terkena dampak dari aksi-aksi terorisme ini. Sehinggga dalam

penanggulangannya diperlukan kerja sama yang baik diantara negara-negara

kawasan dalam menyikapi isu terorisme yang mengganggu stabilitas kawasan.

13

Untuk menanggulangi masalah terorisme selama ini PBB telah

mengeluarkan banyak konvensi sebagai panduan bagi negara-negara untuk Dalam hal ini terorisme

menjadi musuh bersama negara-negara anggota ASEAN dalam mencapai cita-cita

bersama tersebut yaitu mewujudkan keamanan kawasan di Asia Tenggara.

12

Victor Silaen, AS, Indonesia, dan Koalisi Global: Memerangi Jaringan Teroris Internasional, Jurnal kriminologi Indonesia Vol 4, No. I September 2005, hal 39.

13

Dian Triansyah Djani, et.al., ASEAN Selayang Pandang, Jakarta: Direktoral Jenderal Kerja sama ASEAN Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 2008, hal 3.

(10)

membentuk konsep keamanan nasional masing-masing negara anggota PBB,

adapun beberapa konvensi internasional yang mengatur terorisme antara lain:

• Acts committed on-board air craft (Tokyo 1963);

• Unlawful seizure of aircraft (The Hague 1970);

• Acts against the safety of civil aviation (Montreal 1971);

• Crime against internationally protected persons (New York 1973);

• Taking of hostages (New York 1979);

• Nuclear materials (Vienna 1980);

• Acts against the safety of fixed platforms on the continental shelf (Rome 1988);

• Maritime navigation (Rome 1988);

• Plastic explosives identification (Montreal 1991);

• Terrorist bombings (New York 1997);

• Terrorist Financing (New York 1999);

• Nuclear terrorism (New York 2005).14

Konvensi-konvensi internasional yang disebut di atas merupakan sebagai

landasan bagi negara-negara untuk membentuk kebijakan keamanan nasional

masing-masing negara untuk melawan terorisme yang menggangu keamanan dan

kedamaian di suatu negara, ataupun untuk membentuk kebijakan bagi keamanan

kawasan (regional).

Selain konvensi internasional tersebut juga terdapat 4 (empat) resolusi

Dewan Keamanan PBB, yaitu: Resolusi DK PBB Nomor 1333 Tahun 2000

tanggal 19 Desember 2000 yang ditujukan secara khusus untuk pencegahan suplai

14

(11)

senjata atau kapal terbang atau kelengkapan militer ke daerah Afghanistan dan

seruan kepada seluruh negara anggota PBB untuk membekukan aset-aset Osama

bin Laden; Resolusi DK PBB Nomor 1368 Tahun 2000 tanggal 12 September

2001 tentang pernyataan simpati PBB terhadap korban tragedi 11 September

2001, dan seruan kepada seluruh negara anggota PBB untuk melakukan

langkah-langkah untuk merespon serangan teroris tersebut; Resolusi DK PBB Nomor 1373

Tahun 2001; dan Resolusi DK PBB Nomor 1438 tanggal 15 Oktober 2002 yang

menyatakan belasungkawa dan simpati PBB kepada pemerintah dan rakyat

Indonesia, terhadap korban dan keluarganya dan menegaskan kembali

langkah-langkah untuk memberantas terorisme serta menyerukan kepada seluruh

bangsa-bangsa untuk bekerja sama membantu Indonesia dalam menemukan dan

membawa pelakunya ke pengadilan.15

Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan terhadap serangan

teroris, hal ini dapat dilihat dari frekuensi serangan teroris sejak tahun 2000

semakin meningkat yaitu serangan bom yang terjadi di Bursa Efek Jakarta (BEJ),

dan kemudian pada tahun 2002 diikuti dengan terjadinya peristiwa Bom Bali I.

Peristiwa dan upaya peledakan bom di Indonesia masih terjadi, Bali kembali

menjadi target sasaran ledakan Bom pada tahun 2005 (Bom Bali II). Kemudian

peristiwa Bom Kuningan, Bom Marriot tahun 2003, Bom JW Marriot dan Ritz

Carlton pada tahun 2009.16

15

Mardenis, Op. Cit., hal 82-83.

Pelaku dari serangan tersebut merupakan jaringan

16 http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2012/10/121010_lapsusterorism1.shtml diakses pada tanggal 3 Maret 2014.

(12)

teroris yang sama yaitu Jemaah Islamiyah (JI) yang bermitra dengan jaringan

Al-Qaeda dan juga jaringan teroris yang aktif di kawasan Asia Tenggara.

Serangan-serangan yang dilakukan oleh jaringan terorisme yang aktif di

Asia Tenggara tentu saja mengganggu stabilitas keamanan setiap negara yang

berada di kawasan Asia Tenggara, juga mengganggu dalam menjaga dan

mencapai visi serta kepentingan nasional masing-masing negara anggota ASEAN.

Tindakan terorisme tersebut menimbulkan dampak negatif yaitu merusak

perdamaian, dan bahaya yang ditimbulkan akibat aksi terorisme tidak pandang

bulu sehingga manusia yang tidak bersalah juga menjadi korban, seperti halnya

bom bunuh diri yang mengakibatkan tewasnya orang-orang yang tidak besalah,

kerusakan infrastruktur, mengganggu stabilitas kawasan dan negara, serta

mengganggu pembangunan ekonomi.

Imbas dari aksi terorisme ini berdampak terhadap kerja sama kawasan

Asia Tenggara (ASEAN) yang ingin mewujudkan visi ASEAN Community 2015,

adanya masalah terorisme mengakibatkan keamanan kawasan Asia Tenggara

terganggu. Tentu saja hal ini menjadi faktor penghambat dalam mencapai visi

ASEAN tersebut. Dalam piagam ASEAN yang menjadi salah satu tujuan dan

prinsip ASEAN adalah memelihara dan meningkatkan perdamaian, keamanan,

dan stabilitas serta lebih memperkuat nilai-nilai yang berorientasi pada

perdamaian di kawasan.17

17

ASEAN Selayang Pandang, Direktorat Jenderal Kerja sama ASEAN, Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 2008, hal 7.

Melihat dari isi piagam ASEAN tersebut maka

(13)

menciptakan dan mewujudkan nilai-nilai perdamaian tersebut di kawasan Asia

Tenggara.

Ancaman keamanan yang dilakukan oleh jaringan terorisme inilah, yang

menjadi alasan pentingnya kerja sama di kawasan Asia Tenggara untuk

memberantas terorisme yang merupakan musuh bersama dari setiap negara-negara

anggota ASEAN bahkan oleh dunia internasional. ASEAN merupakan salah satu

bentuk kerja sama kawasan di Asia Tenggara yang memiliki cita-cita untuk

menjadi sebuah “komunitas keamanan”, dan terorisme merupakan salah satu

penghambat dalam mencapai cita-cita tersebut. Sehingga salah satu langkah yang

diambil ASEAN sendiri untuk menanggulangi isu keamanan ini adalah dengan

menyepakati adanya sebuah konvensi ASEAN yang fokus dalam memberantas

terorisme di kawasan ASEAN, yaitu ASEAN Convention on Counter Terrorism.

Indonesia sendiri merupakan salah satu pencetus utama untuk terbentuknya pilar

utama dalam ASEAN yaitu ASEAN Security Community (Masyarakat Keamanan

ASEAN) tentu saja melalui kerja sama ini akan membantu setiap negara anggota

ASEAN untuk mencapai kepentingan nasionalnya masing-masing.

1.2 Perumusan Masalah

Terorisme yang merupakan non-state actor dalam dunia internasional

telah berkembang menjadi ancaman bagi keamanan negara-negara di dunia

internasional sejak tragedi WTC di Amerika Serikat. Perkembangan teroris

tersebut juga merupakan dampak dari globalisasi yang berkembang saat ini,

(14)

tetapi juga berkembang di daerah lain, sehingga hal ini lah yang menjadikan

terorisme merupakan kejahatan transnasional. Amerika Serikat yang merupakan

garda terdepan dalam melakukan perang terhadap terorisme menghimbau dunia

internasional untuk bekerja sama dalam melakukan perang terhadap terorisme ini.

Sejak tahun 2002 Indonesia telah mengalami berbagai macam bentuk

serangan teroris, dan serangan teroris yang paling besar yang pernah terjadi

adalah peristiwa Bom Bali I. Kemudian diikuti dengan serangan Bom JW Marriot,

dan Bom Kuningan, pada tahun 2009 serangan teroris juga terjadi di Hotel JW

Marriot dan Ritz Carlton. Akibat serangan-serangan teroris ini tentu saja telah

mengganggu stabilitas keamanan di Indonesia, dan mengganggu pertumbuhan

ekonomi Indonesia. Akibat serangan teroris tersebut Australia yang warga

negaranya paling banyak melakukan kunjungan wisata ke Bali, menjadikan

Indonesia sebagai daerah yang berbahaya untuk dikunjungi(travel warning),

tindakan tersebut merupakan respon dari Pemerintahan Australia karena mayoritas

korban tragedi Bom Bali I adalah warga negara Australia. Hal ini tentu saja

mengganggu pertumbuhan ekonomi dalam sektor pariwisata bagi Indonesia juga

menghambat negara lain untuk melakukan investasi di Indonesia.

Stabilitas kawasan dan keamanan nasional merupakan faktor penting bagi

sebuah negara dalam mencapai kepentingan nasionalnya. Kawasan Asia Tenggara

yang dianggap sebagai front kedua dalam pemberantasan terorisme menjadi

sebuah ancaman yang sangat serius dalam menjaga stabilitas tersebut. Serangan

(15)

juga akan mengganggu Indonesia untuk mewujudkan cita-cita nasional (tujuan

nasional) Indonesia seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.18

Saat ini konvensi tersebut telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia

menjadi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012. Ratifikasi

Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme ini menginginkan adanya

kerja sama keamanan dalam penanganan terorisme di ASEAN, kerja sama

keamanan tersebut diperlukan untuk mewujudkan perdamaian dan stabilitas yang

dinamis di kawasan, dan tetap mengedepankan kepentingan nasional Indonesia

yang akan turut menyokong terwujudnya ASEAN Community 2015, sesuai

dengan tiga pilar yang menopang ASEAN, yaitu Komunitas Politik Keamanan,

Komunitas Ekonomi dan Komunitas Sosial Budaya. Dalam perumusan ACCT ini Serangan teroris yang terjadi di Indonesia dan juga di negara-negara yang

berada di kawasan Asia Tenggara merupakan isu yang harus diselesaikan secara

bersama oleh negara-negara anggota kawasan tersebut. Sehingga pada KTT

ASEAN ke-12 yang berlangsung di Cebu, Filipina 13 Januari Tahun 2007.

Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN lainnya menyepakati sebuah

konvensi tentang pemberantasan terorisme. Konvensi tersebut adalah ASEAN

Convention on Counter Terrorism (Konvensi ASEAN tentang pemberantasan Terorisme) atau disebut juga dengan ACCT, merupakan kerja sama antar

negara-negara anggota ASEAN untuk memberantas Terorisme.

18

Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas), Kewiraan Untuk Mahasiswa, Jakarta: PT Gramedia, 1980, hal 4.

(16)

Indonesia merupakan Lead Sheppherd/Leads a part di bidang pemberantasan

terorisme yang telah mempelopori perumusan ACCT.19

1.3 Pertanyaan Penelitian dan Pembatasan Masalah

Sehingga judul penelitian dalam skripsi ini adalah “Kepentingan Indonesia

dalam Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention On Counter Terrorism)”.

1.3.1 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas tentu saja dalam konvensi ASEAN

tersebut ada kepentingan nasional Indonesia yang ingin dicapai. Sehingga

pertanyaan penelitian dalam masalah ini adalah “Bagaimana Kepentingan

Nasional Indonesia dalam Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention On Counter Terrorism)?”.

1.3.2 Pembatasan Masalah

Sebagai upaya untuk membuat masalah penelitian dalam penelitian ini

lebih sistemastis, maka perlu adanya batasan-batasan masalah agar masalah dalam

penelitian yang akan diteliti menjadi jelas, terarah, serta konsisten. Pembatasan

masalah ini berguna untuk mengidentifikasi perihal apa saja yang termasuk dalam

ruang lingkup masalah penelitian. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian yang dilakukan terbatas pada kerja sama yang dilakukan

oleh Indonesia dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya dalam

(17)

memberantas terorisme di kawasan Asia Tenggara berdasarkan

ASEAN Convention on Counter Terrorism.

2. Penelitian yang akan dilakukan fokus terhadap kepentingan nasional

Indonesia dalam usaha pemberantasan terorisme melalui Konvensi

ASEAN tentang pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention on

Counter Terrorism).

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan kerja sama Indonesia dan negara-negara anggota

ASEAN untuk memberantas terorisme, melalui Konvensi ASEAN

tentang Pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention On Counter

Terrorism).

2. Untuk mengetahui kepentingan nasional Indonesia dalam upaya

pemberantasan terorisme di Indonesia melalui Konvensi ASEAN

tentang Pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention on Counter

Terrorism).

1.4.2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang ingin dicapai melalui penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Secara akademis penelitian ini hendak memperkaya referensi ilmu

(18)

kajian seputar Politik Luar Negeri yaitu kerja sama keamanan

kawasan.

2. Secara praktis penelitian ini mendeskripsikan pentingnya kerja sama

keamanan kawasan ASEAN untuk mencapai visi ASEAN Community

2015 dan juga tercapainya kepentingan nasional Indonesia melalui

Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme.

1.5 Kerangka Teori

Untuk melakukan sebuah penelitian maka dibutuhkan kerangka teori yang

dijadikan sebagai acuan dalam menganalisa fenomena yang terjadi dalam

penelitian yang dilakukan. dan pisau analisa bagi peneliti dalam menjawab

masalah penelitian. Teori digunakan sebagai awal menjawab pertanyaan

penelitian, bahwa sesungguhnya pandangan deduktif menuntun penelitian dengan

terlebih dahulu menggunakan teori sebagai alat ukuran, dan bahkan instrumen

untuk membangun hipotesis secara tidak langsung menggunakan teori sebagai alat

analisis dalam melihat masalah penelitian.20

1.5.1 Teori Hubungan Internasional

Berbagai isu yang berkembang dalam dunia Internasional merupakan hal

yang dapat mempengaruhi keadaan negara-negara di dunia, dan Hubungan

Internasional yang akan menjelaskan apa yang terjadi di dunia internasional dan

pengaruh-pengaruh yang diakibatkan, bisa berakibat baik dan juga bisa berakibat

20

Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, hal 26.

(19)

fatal. Hal ini mengesahkan perlunya studi hubungan internasional karena asumsi

dari studi ini adalah bahwa potensi bahaya dapat dikurangi dan kemungkinan

untuk menciptakan perdamaian bisa ditingkatkan, asalkan umat manusia mau

melakukan sesuatu demi tujuan itu.21

Hubungan internasional dibentuk oleh hubungan antar negara yang saling

memiliki nilai-nilai berharga yang ingin diraih demi kehidupan warga negaranya,

paling sedikit ada lima nilai dasar sosial yang diharapkan untuk dijaga oleh

negara: keamanan, kebebasan, ketertiban, keadilan dan kesejahteraan.22

Hubungan Internasional (HI) Kontemporer selain mengkaji hubungan

politik, juga mencakup sekelompok kajian lainnya seperti tentang interdependensi

perekonomian, kesenjangan Utara-Selatan, keterbelakangan, perusahaan

transnasional, hak-hak asasi manusia, organisasi-organisasi dan lembaga swadaya

masyarakat (LSM) internasional, lingkungan hidup, gender dan lain sebagainya. Negara

dipandang sebagai sistem yang mengatur kehidupan manusia, yaitu bagi

kehidupan warga negaranya, tanpa negara kehidupan manusia menjadi dibatasi,

tidak menyenangkan, terpencil, miskin serta tidak berperikemanusiaan. Melalui

pendekatan hubungan internasional kita dapat memahami bagaimana sebuah

fenomena yang terjadi dalam dunia internasional ditanggapi oleh negara, baik

untuk dicari penyebab masalah, menyelidiki masalah, dan bagaimana

menyelesaikan masalah atau isu dunia internasional yang sedang berkembang

yang menjadi ancaman bagi negara.

21

Mochtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi, Jakarta: LP3ES, 1990, hal 31. 22

Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal 3.

(20)

Hubungan Internasional mengkaji hal-hal atau aspek-aspek tersebut dari segi

keterhubungan global, yang non-domestik, yang melintasi batas wilayah

masing-masing entitas negara. Pola interaksi hubungan internasional tidak dapat

dipisahkan dengan segala bentuk interaksi yang berlangsung dalam pergaulan

masyarakat internasional, baik oleh pelaku negara-negara (state actors) maupun

oleh pelaku-pelaku bukan negara (non-state actors). Pola hubungan atau interaksi

ini dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition), dan

pertentangan (Conflict).23

Isu terorisme telah berkembang di Abad-21 ini, telah mengancam

keamanan dunia internasional, dalam studi Hubungan Internasional terorisme

telah digolongkan sebagai salah satu aktor yang mempengaruhi dunia

internasional. Terorisme adalah non-state actor baru dalam Hubungan

Internasional, yaitu aktor bukan negara yang mempengaruhi situasi dan keadaan

pola hubungan internasional. Terminologi terorisme yang berkembang saat ini

telah melakukan tindakan kekerasan (use of violence) dengan melibatkan jaringan

yang luas yang melintasi batas-batas negara, sehingga terorisme merupakan salah

satu kejahatan transnasional yang dapat menyerang negara-negara mana saja yang

telah dijadikan target operasi terorisme tersebut. Dalam hal ini terorisme telah

muncul sebagai aktor baru yang menjadi perhatian dunia internasional, sehingga

dengan ancaman keamanan yang berasal dari terorisme merupakan sebuah isu

yang harus diselesaikan bersama.

23

T. May Rudy, Hubungan Internasional Kontemporer dan Masalah-masalah Global, Bandung: PT Refika Aditama, 2003, hal 1-2.

(21)

Hubungan Internasional berperan untuk membentuk kesadaran bersama

bahwa terorisme bukan ancaman hanya untuk satu negara, tetapi ancaman bagi

setiap negara di dunia internasional. Melalui kesadaran terhadap ancaman

tersebutlah akan tercipta kerja sama antar negara, salah satunya adalah Indonesia

yang meningkatkan kerja sama keamanannya dengan negara-negara ASEAN

untuk memberantas terorisme yang ada di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara.

Untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan yang merupakan nilai-nilai

dasar yang harus ditegakkan sebuah negara, maka negara-negara memiliki

kepentingan bersama dalam membangun dan memelihara ketertiban internasional

sehingga dengan menjaga dan menegakkan nilai tersebut maka masing-masing

negara dapat hidup berdampingan dan berinteraksi atas dasar stabilitas. Untuk

mencapai tujuan itu negara-negara diharapkan menegakkan hukum internasional:

untuk menjaga komitmen perjanjian, dan mematuhi aturan, konvensi, dan

kebiasaan tatanan hukum internasional.

Ancaman terorisme terhadap dunia internasional membuat negara-negara

merapatkan barisan untuk membenahi kebijakan keamanan dalam memberantas

terorisme. Seperti halnya negara-negara ASEAN yang telah sepakat untuk

membuat Konvensi ASEAN Tentang Pemberantasan Terorisme merupakan

langkah untuk menegakkan nilai-nilai dasar ketertiban dan keadilan yang dapat

diberikan negara kepada warganya sehingga tercipta kestabilan di negara maupun

(22)

1.5.2 Politik Luar Negeri

Menurut Coulumbis dan Wolfe, politik luar negeri merupakan sintesis dari

tujuan atau kepentingan nasional dengan power dan kapabilitas, politik luar negeri

dalam pelaksanaannya dilakukan oleh aparat pemerintah, Oleh karena itu

pemerintah mempunyai pengaruh terhadap politik luar negeri. Disamping aparat

pemerintah, kekuatan sosial politik yang lebih dikenal dengan pressure groups

ikut berpengaruh dalam politik luar negeri.24

Politik Luar Negeri merupakan salah satu isu yang banyak memperoleh

kajian dan sorotan. Meski banyak defenisi yang ditawarkan, dalam bukunya

Understanding International Relations, Chris Brown memberikan pemahaman secara sederhana mengenai Politik Luar Negeri. Menurut Brown politik luar

negeri dapat dipahami sebagai cara untuk mengartikulasikan dan

memperjuangkan kepentingan nasional terhadap dunia luar. Dari defenisi ini tidak

berlebihan untuk mengatakan bahwa politik luar negeri sangat erat kaitannya

dengan kepentingan nasional suatu negara.

25

Secara umum, bisa dikatakan bahwa politik luar negeri merupakan

kebijakan yang diambil oleh pemerintah suatu negara, atau komunitas politik

lainnya dalam hubungan dengan negara dan aktor bukan negara di dunia Kepentingan nasional merupakan

keseluruhan nilai yang hendak diperjuangkan atau dipertahankan dalam forum

internasional.

24

R. Suprapto, Hubungan Internasional, Sistem Interaksi, dan Perilaku, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997, hal 187-188.

25

Ganewati Wuryandari, Dhurorudin Mashad, Tri Nuke Pujiastuti, Athiqah Nur Alami, Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hal 14.

(23)

internasional.26 Melalui pengertian di atas maka politik luar negeri merupakan tindakan yang diambil pemerintah dalam dunia internasional baik dalam bentuk

hubungan diplomatik, perjanjian internasional, membentuk kerja sama kawasan,

membuat aliansi, dan mencanangkan tujuan jangka panjang dan jangka pendek.

Fokus utama kajian politik luar negeri adalah untuk memperhatikan intensi

(maksud), pernyataan dan tindakan aktor yang diarahkan pada dunia eksternal dan

respon dari aktor-aktor lain terhadap intensi, pernyataan dan tindakan ini.27

Hal ini dapat dilihat dari tindakan politik luar negeri yang diambil oleh

masing-masing negara anggota ASEAN untuk menyepakati adanya kerja sama

keamanan untuk memberantas terorisme, yaitu melalui Konvensi ASEAN tentang

Pemberantasan Terorisme. Jadi politik luar negeri suatu negara dipengaruhi oleh

isu-isu yang menjadi ancaman dan mengganggu kepentingan nasional suatu Politik luar negeri suatu negara cenderung untuk memperhatikan

kepentingan nasionalnya dan memperjuangkannya dalam dunia internasional,

maka negara tersebut harus menetapkan apa kepentingan nasionalnya. Sehingga

dengan menetapkan kepentingan nasional, maka para aktor-aktor pemerintah

dapat melakukan hubungan diplomatik, melakukan perjanjian, dan kerja sama

dengan negara lain dengan menjadikan kepentingan nasional sebagai acuan.

Kasus terorisme yang terjadi di kawasan Asia Tenggara merupakan sebuah

ancaman bagi tercapainya kepentingan nasional masing-masing negara anggota

ASEAN.

26

Abubakar Eby Hara, Pengantar Analisis Politik Luar Negeri: Dari Realisme sampai Kontruktivisme, Bandung: Penerbit Nuansa, 2011, hal 13.

27

(24)

negara, sehingga tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam melakukan politik

luar negeri terhadap dunia internasional dapat berubah-ubah sesuai dengan

kepentingan nasional yang ingin dicapai oleh negara tersebut.

Politik luar negeri yang cenderung berubah-ubah menunjukkan bahwa

politik luar negeri suatu negara adalah dinamis, ada beberapa faktor determinan

atau indicator yang dapat dipakai untuk memahami perilaku politik luar negeri

yang dinamis. Dalam hal ini, William D. Coplin mengidentifikasi ada empat

determinan politik luar negeri.28

28

Ganewati Wuryandari, et al., Op. Cit, 2008, hal 17-1.

Pertama, adalah konteks internasional. Artinya, situasi politik internasional yang sedang terjadi pada waktu tertentu dapat mempengaruhi

bagaimana negara itu akan berperilaku. Dalam kaitan ini, Coplin lebih lanjut

menyatakan bahwa ada tiga elemen penting dalam membahas dampak konteks

internasionalterhadap politik luar negeri suatu negara, yaitu geografis, ekonomis,

dan politis.

Faktor kedua yang menjadi determinan dalam politik luar negeri adalah

perilaku para pengambil keputusan. Dalam hal ini mencakup pihak eksekutif,

kementerian,dan lembaga negaradi suatu pemerintahan. Perilaku pemerintah yang

dipengaruhi oleh persepsi, pengalaman, pengetahuan, dan kepentingan

individu-individu dalam pemerintahannya menjadi faktor penting dalam penentuan

(25)

Determinan ketiga adalah kondisi ekonomi dan militer. Kemampuan

ekonomi dan militer suatu negara dapat mempengaruhi negara tersebut dalam

interaksinya dengan negara lain. Keempat, determinan terakhir yang

mempengaruhi politik luar negeri adalah politik dalam negeri. Melalui perspektif

ini yang ingin dilihat adalah sistem pemerintahan atau birokrasi yang dibangun

dalam suatu pemerintahan serta pengaruhnya terhadap perpolitikan nasional.

Situasi politik yang terjadi dalam negeri akan memberikan pengaruh dalam

perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri.

1.5.3 Kepentingan Nasional

Kepentingan nasional diakui sebagai kunci dalam politik luar negeri.

Sepanjang mengenai kepentingan nasional, orang bisa berorientasi kepada

ideologi atau sistem nilai sebagai pedoman perilaku. Artinya keputusan dan

tindakan politik luar negeri yang dilakukan oleh aktor-aktor politik dapat

berdasarkan atas pertimbangan ideologis atau atas

pertimbangan-pertimbangan kepentingan.

Kepentingan Nasional (National Interest) adalah tujuan-tujuan yang ingin

dicapai sehubungan dengan kebutuhan bangsa/negara atau sehubungan dengan hal

yang dicita-citakan. Dalam hal ini kepentingan nasional yang relatif tetap dan

sama di antara semua negara/bangsa adalah keamanan (mencakup kelangsungan

hidup rakyatnya dan kebutuhan wilayah) serta kesejahteraan. Kedua hal pokok ini,

(26)

merupakan dasar dalam merumuskan atau menetapkan kepentingan nasional bagi

setiap negara.29

Dalam bukunya The National Interest (1970), Joseph Frankel membagi

konsep kepentingan nasional pada tingkatan aspirasional dalam tujuh sifat, yaitu

kepentingan nasional itu berjangka panjang, berakar dalam sejarah dan ideologi,

sumber kritik oposisi terhadap pemerintah, memberikan kesadaran akan tujuan

atau harapan terhadap kebijaksanaan, tidak perlu diartikulasikan dan

dikoordinasikan secara penuh serta bisa saling bertentangan, tidak memerlukan

studi kelayakan dan lebih ditentukan oleh kehendak politik daripada oleh

kemampuan nyata.30

Hakikat kepentingan nasional menurut Frankel, sebagai keseluruhan nilai

yang ditegakkan oleh suatu bangsa. Lebih lanjut Frankel mengatakan bahwa

kepentingan nasional dapat melukiskan aspirasi negara, dan kepentingan nasional

dapat dipakai secara operasional yang dapat dilihat dalam aplikasinya pada

kebijaksanaan-kebijaksanaan yang aktual serta rencana-rencana yang dituju.

31

Paul Seabury mendefenisikan konsep kepentingan nasional secara

normatif dan deskriptif. Secara normatif,konsep kepentingan nasional berkaitan Jadi dapat diartikan bahwa setiap kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh

aparat pemerintah maupun rancangan yang dituju berorientasi kepada kepentingan

nasional.

29

T. May Rudy, Studi Strategis Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin, Bandung: PT Refika Aditama, 2002, hal 116.

30

Ganewati Wuryandari, et al., Op. Cit., 2008, hal 16. 31

(27)

dengan kumpulan cita-cita suatu bangsa yang berusaha dicapainya melalui

hubungan dengan negara lain, sedangkan secara deskriptif, kepentingan nasional

dianggap sebagai tujuan yang harus dicapai suatu bangsa secara tetap melalui

kepemimpinan pemerintah. Donald E. Nuechterlin sedikitnya menyebutkan empat

jenis kepentingan nasional:

1. Kepentingan pertahanan, diantaranya menyangkut kepentingan untuk

melindungi warga negaranya serta wilayah dan sistem politiknya dari

ancaman negara lain;

2. Kepentingan ekonomi, yakni kepentingan pemerintah untuk meningkatkan

perekonomian negara melalui hubungan ekonomi negara lain;

3. Kepentingan tata internasional, yaitu kepentingan untuk mewujudkan atau

mempertahankan sistem politik dan ekonomi internasional yang

menguntungkan bagi negaranya;

4. Kepentingan ideologi, yaitu kepentingan untuk mempertahankan dan

melindungi ideologi negaranya dari ancaman ideologi negara lain.32

Kepentingan nasional Indonesia dapat dilihat dalam Pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah

Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum,

dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial. Isu terorisme yang berkembang di dunia

internasional, dan juga berbagai serangan yang telah dilakukan oleh Jaringan

32 Umar Suryadi Bakry, Pengantar Hubungan Internasional, Jakarta: Jayabaya University Press, 1999, hal. 61-62.

(28)

Teroris di Indonesia, seperti Bom Bali I dan II, pengeboman di Hotel JW Marriot

dan Ritz Carlton, dan serangan-serangan teroris lainnya telah mengancam

kepentingan nasional Indonesia, yaitu kepentingan nasional Indonesia untuk

melindungi keamanan Indonesia dan untuk menjaga ketertiban dunia.

Serangan yang dilakukan oleh jaringan teroris telah menciptakan

ketakutan kepada seluruh masyarakat Indonesia, dan menjadi penghambat bagi

Indonesia untuk mencapai tujuan nasionalnya, aksi teror yang terjadi memakan

korban jiwa yang tidak bersalah, menyebabkan timbulnya rasa takut dan tidak

aman, serangan teroris yang terjadi juga menimbulkan pengaruh yang tidak

menguntungkan pada kehidupan sosial, ekonomi, dan politik Indonesia, hubungan

Indonesia dengan dunia internasional. Juga menghambat pertumbuhan ekonomi

negara. Salah satu dampak yang terjadi akibat serangan teroris ini adalah travel

warning yang ditujukan kepada Indonesia oleh negara Australia pasca terjadinya Bom Bali I tahun 2002 lalu, merupakan salah satu hambatan bagi Indonesia untuk

meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, larangan yang diberikan

pemerintah Australia kepada warga negaranya untuk melakukan perjalanan wisata

ke Indonesia berimbas kepada menurunnya devisa negara melalui sektor

pariwisata.

Maka untuk menjaga kepentingan nasional inilah Indonesia harus

merumuskan kembali kebijakan keamanannya agar kepentingan nasional yang

telah ditetapkan dapat terwujud. Salah satu langkah yang telah diambil Indonesia

(29)

ASEAN dalam memberantas terorisme, karena terorisme telah dianggap sebagai

musuh bersama ASEAN. Terorisme telah menjadi ancaman tidak hanya bagi

keamanan nasional satu negara tetapi ancaman keamanan bagi kawasan Asia

Tenggara.

1.5.4 Komunitas Keamanan

Karl W. Deutsch mendefenisikan komunitas keamanan sebagai kelompok

negara yang telah terintegrasi sedemikian rupa sehingga bisa dikatakan bahwa

hubungan damai antar negara di dalamnya telah terjalin dengan mapan dan dalam

waktu yang cukup lama.33

Bentuk komunitas keamanan yang sesuai dengan defenisi di atas sama

dengan konsep pembentukan ASEAN Security Community (Masyarakat

Keamanan ASEAN). Dalam pembentukan ASEAN Security Community juga

menginginkan adanya keinginan untuk membentuk adanya rasa kekitaan (we

feeling) sehingga dengan timbulnya rasa we feeling ini akan membentuk ASEAN bukan lagi sebagai organisasi internasional melainkan sebgai komunitas regional Komunitas keamanan memiliki sifat bahwa interaksi

damai yang terjalin diantara negara yang bergabung dalam sebuah komunitas

keamanan telah terjalin cukup lama, dengan demikian komunitas keamanan lebih

cenderung untuk mengendalikan konflik yang ada ataupun timbul dalam

komunitas tanpa menghilangkan perbedaan yang ada diantara negara-negara

anggota komunitas.

33

M. Rajendran, ASEAN Foreign Relations The Shift to Collective Action, Kuala Lumpur: Arena Buku sdn.bhd, 1985, hal 5.

(30)

yang telah mengalami integrasi. Hal inilah yang ingin dibangun oleh setiap negara

anggota ASEAN sehingga untuk mencapai integrasi tersebut maka ASEAN

Vision 2020 dipercepat menjadi tahun 2015.

Mengikuti defenisi yang diperkenalkan oleh Karl Deutsch pada

pertengahan tahun 1950-an, suatu komunitas keamanan diartikan sebagai

kelompok rakyat yang terintegrasi pada satu titik di mana terdapat jaminan nyata

bahwa para anggota komunitas tersebut tidak akan berperang satu sama lain

secara fisik, melainkan akan menyelesaikan perselisihan di antara mereka dengan

cara lain. Deutsch mengobservasi ada dua bentuk komunitas keamanan, yaitu

Amalgamated Security Community dan Pluralistic Security Community (PSC).34

Amalgamated Security Community ada ketika terjadi penggabungan dua atau lebih unit-unit yang tadinya independen ke dalam satu unit yang lebih besar,

dengan satu tipe pemerintahan bersama setelah terjadinya amalgamasi, misalnya

Amerika Serikat. Pluralistic Security Community (PSC) sebagai alternatif yang

tetap mempertahankan interdependensi hukum dari pemerintahan-pemerintahan

yang terpisah. Negara-negara dalam PSC ini memiliki kesesuaian nilai-nilai inti

yang didorong dari institusi-institusi bersama, dan tanggung jawab bersama untuk

membangun identitas bersama dan loyalitas serta rasa “kekitaan” dan terintegrasi

pada satu titik di mana komunitas tersebut memiliki dependable expectations of

peaceful change.35

34

CPF Luhulima, et al., Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hal 73.

35

(31)

Konsep ASC (ASEAN Security Community) sebagai salah satu tonggak

Komunitas ASEAN berupaya memuat prinsip-prinsip yang tidak saja

dimaksudkan untuk membangun budaya hubungan damai tetapi juga untuk

menciptakan di antara negara-negara ASEAN situasi yang damai dan stabil di

dalam negeri masing-masing. Sehingga dengan terbentuknya rasa kekitaan (we

feeling) yang akan mendorong terbentuknya integrasi regional akan menjadikan komunitas keamanan sebagai bentuk kerja sama yang saling membantu dalam

menghadapi isu-isu keamanan baik yang berasal dari dalam negeri sesama

anggota ASEAN maupun isu yang datang dari luar, seperti misalnya isu terorisme

yang dihadapi kawasan Asia Tenggara menjadikan adanya kerja sama di antara

negara-negara anggota ASEAN untuk memberantas terorisme melalui ASEAN

Convention on Counter Terrorism.

1.5.6 Terorisme

Sejarah tentang terorisme berkembang sejak berabad lampau, ditandai

dengan bentuk kejahatan murni berupa pembunuhan, dan ancaman yang memiliki

tujuan untuk mencapai hal yang diinginkan. Perkembangan aksi terorisme

bermula dari bentuk fanatisme aliran kepercayaan atau ideologi yang dianut,

kemudian berubah menjadi pembunuhan baik secara perorangan maupun oleh

suatu kelompok terhadap penguasa yang otoriter. Pengertian terorisme untuk

pertama kali dibahas dalam European Convention on the Supression of Terrorism

(ECST) di Eropa tahun 1977 terjadi perluasan paradigm dari Crime against State

(32)

pidana untuk menciptakan suatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan,

dan masyarakat umum ada dalam suasasan yang teror.36

Secara etimologi, perkataan “teror” berasal dari bahasa Latin “terrere”

yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan dalam perkataan “to fright”, yang dalam

bahasa Indonesia berarti “menakutkan” atau “mengerikan”.

37

Rumusan terorisme

secara terminologis, sampai saat ini masih menjadi perdebatan meskipun sudah

ada ahli yang merumuskan dan dirumuskan di dalam peraturan

perundang-undangan. Kamus Webster’s New School and Office Dictionary oleh Noah

Webster, A Fawcett Crest Book, menyebutkan bahwa teror sebagai kata benda

berarti: Extreme afaer, ketakutan yang amat sangat One who excite extreme afaer,

atau seorang yang gelisah dalam ketakutan yang amat sangat. The ability to cause

such afaer, kemampuan menimbulkan ketakutan.38

36

Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, Hak Asasi Manusia, dan Hukum, Bandung: PT. Refika Aditama, 2004, hal 23.

37

Mardenis, Op. Cit., hal 85. 38

Ibid., hal 85.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa Terorisme merupakan sebuah tindakan

seseorang ataupun kelompok orang yang menggunakan kekerasan, ancaman dan

sejenisnya untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan/ akhir tujuan. Dengan rasa

ketakutan yang disebarkan melalui aksi-aksi kejahatan terhadap kemanusiaan

seperti, terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang

tidak berdosa maka kelompok tersebut dapat mencapai tujuannya. Terorisme

adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan

(33)

Walaupun telah banyak defenisi terorisme yang dikemukakan oleh para

ahli kontra terorisme dan defenisi arti kata terorisme berdasarkan etimologis kata,

serta pemahaman aksi teror dilihat berdasarkan sejarahnya akan tetapi defenisi

terorisme belum ada yang dapat diterima secara universal. Istilah terorisme

merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitif karena

terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan terhadap

orang-orang yang tidak berdosa. Tidak ada negara yang ingin dituduh mendukung

terorisme atau menjadi tempat perlindungan bagi kelompok terorisme.

Amerika Serikat sebagai negara yang pertama kali mendeklarasikan “war

on terrorism´ (perang melawan terorisme), dapat dilihat tidak konsisten dalam menyampaikan istilah teroris. Ketidakkonsistenan Amerika Serikat dalam

menggunakan istilah terorisme dapat dilihat bahwa perang melawan terorisme

oleh Amerika Serikat sesungguhnya merupakan perang untuk melawan

pihak-pihak yang mengancam kepentingan mereka. Hal ini dapat dilihat melalui

Undang-undang Anti Terorisme Amerika Serikat, terorisme berkaitan dengan

penggunaan kekuatan (force) dalam mencapai tujuan politik dalam politik

internasional. Menurut undang-undang tersebut, ada dua kelompok yang termasuk

kategori teroris:

1. Bangsa atau kelompok yang menggunakan kekuatan.

2. Bangsa-bangsa yang membuat keputusan berdasarkan ideologi dan

berdasarkan ideologi itu mereka menggunakan kekuatan.39

39

(34)

Apabila pengertian terorisme tersebut digunakan secara konsisten, dapat

kiat lihat bahwa Amerika Serikat lah yang merupakan salah satu negara yang

menggunakan aksi teror. Karena Amerika Serikat cenderung menggunakan

kekerasan apabila kepentingannya terancam. Amerika Serikat juga telah

melakukan invasi ke negara yang berdaulat tanpa persetujuan dewan keamanan

PBB.40

Aksi terorisme merupakan aksi yang tidak tunduk pada tata cara

peperangan seperti pelaksanaan atau aksi teror yang dilakukan selalu tiba-tiba dan

target korban jiwa yang acak sering kali merupakan warga sipil. Hal ini

merupakan bentuk kekerasan yang dilakukan para teroris, pelakunya sering

mempublikasikan dan mengatakan pertanggungjawaban terhadap aksi serangan

yang telah dilakukan, di dalam publikasi pertanggung jawaban aksi yang telah

dilakukan pemimpin jaringan teroris juga menyampaikan ancaman kepada negara

dengan melakukan publikasi tersebut maka ketakutan yang dihasilkan dapat

memenuhi tujuan yang ingin dicapai pelaku teroris. Dengan menarik perhatian

masyarakat luas maka teroris memanfaatkan media massa untuk menyuarakan Seperti yang terjadi di Irak, Amerika Serikat menginvasi Irak, karena Irak

dianggap sebagai negara teroris yang telah memiliki senjata pemusnah massal,

akan tetapi senjata pemusnah massal tersebut tidak ditemukan. Berdasarkan uraian

yang diungkapkan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian dan klasifikasi

terorisme masih sangat bias dengan kepentingan. Sehingga untuk membuat suatu

pengertian terorisme yang universal masih sulit untuk dibuat.

40

(35)

pesan perjuangannya, hal tersebut merupakan metode yang sering digunakan

teroris.

Indonesia yang telah mengalami banyak serangan teroris, dan telah

dianggap sebagai sarang dari gembong teroris yang beroperasi di Asia Tenggara,

menyatakan bahwa terorisme telah menjadi tantangan dan ancaman pada tingkat

global dan regional yang telah mengganggu upaya pemerintah untuk melakukan

pembangunan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Untuk mengatasi

ancaman tersebut dalam kerja sama keamanan kawasan ASEAN yang disepakati

dalam ASEAN Convention on Counter Terrorism, dalam konvensi tersebut

Indonesia dan negara anggota ASEAN lainnya menolak pengaitan terorisme

dengan bangsa, etnis, dan budaya, serta agama tertentu. Untuk memberantas

terorisme dalam kerja sama keamanan kawasan tersebut Indonesia lebih memilih

untuk menggunakan pendekatan soft approach yaitu melalui program

deradikalisasi dan rehabilitasi.

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam tulisan ini merupakan jenis metode

penelitian deskriptif, yaitu peneltian deskriptif menyajikan suatu gambaran yang

terperinci tentang satu situasi khusus, setting sosial, atau hubungan.41

41

Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, Bandung: PT Refika Aditama, 2009, hal 27.

Penelitian

(36)

atau fenomena yang diteliti.42

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data

Tipe penelitian deskriptif digunakan jika ada

pengetahuan atau informasi tentang gejala sosial yang akan diselidiki atau

dipermasalahkan. Pengetahuan tersebut diperoleh dari survey literature, laporan

hasil penelitian, atau dari hasil studi eksplorasi.

Penelitian ini melakukan beberapa teknik pengumpulan data. Dalam

mengumpulkan data-data yang dibutuhkan untuk menyelesaikan penelitian ini

maka dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Teknik penelaahan terhadap dokumen tertulis atau disebut juga dengan

riset kepustakaan (library research).Dalam riset pustaka penelusuran

pustaka lebih dari pada sekedar melayani fungsi-fungsi untuk menyiapkan

kerangka penelitian, tetapi sekaligus memanfaatkan sumber perpustakaan

untuk memperoleh data penelitian.43

2. Metode dokumenter adalah salah satu metode pengumpulan data yang

digunakan dalam metodologi penelitian sosial, melalui dokumen dapat

ditemukan sejumlah besar fakta dan data sosial tersimpan dalam bahan

yang berbentuk dokumentasi.44

3. Metode Penelusuran Data Online, merupakan metode penelusuran data

online yaitu tata cara melakukan penelusuran data melalui media online seperti Internet dan media jaringan lainnya yang menyediakan fasilitas

42

Matias Siagian, Metode Penelitian Sosial: Pedoman Praktis Penelitian Bidang Ilmu-ilmu Sosial dan Kesehatan, Medan: Grasindo Monoratama, 2011, hal 52.

43

Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004, hal 1 44

(37)

online, sehingga memungkinkan peneliti dapat memanfaatkan data-informasi online yang berupa data maupun data-informasi teori.45

1.6.3 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif

deskriptif. Penelitian analisis data kualitatif deskriptif bertujuan untuk

mendeskripsikan apa yang sedang berlaku. Penelitian kualitatif tidak berusaha

untuk menguji hipotesis, dan penelitian ini bersifat alamiah (natural setting),

artinya peneliti tidak berusaha memanipulasi situs (setting) penelitian ataupun

melakukan intervensi terhadap aktivitas subjek penelitian dengan memberikan

perlakuan tertentu, namun peneliti berusaha untuk memahami fenomena yang

dirasakan subjek sebagaimana adanya.46 Data yang akan ditemukan dari buku-buku, surat kabar, dokumen-dokumen maupun situs media daring (online) akan

ditampilkan dalam bentuk uraian lalu dianalisis kemudian dieksplorasi secara

mendalam, dan ditarik kesimpulan untuk menjelaskan masalah yang diteliti.

45

Ibid., hal 124.

46

(38)

1.7 Sistematika Penulisan

Untuk melihat gambaran yang jelas dan lebih terperinci, penelitian ini

disusun dalam sebuah sistematika agar penelitian dapat terlihat lebih logis dan

efisien. Maka penelitian ini akan disusun dengan pembabakan sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Pada BAB I ini akan diuraikan tentang latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, kerangka

teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II: Perkembangan Terorisme di Asia Tenggara dan Terbentuknya Konvensi ASEAN Tentang Pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention On Counter Terrorism)

Pada BAB II ini akan diuraikan tentang perkembangan terorisme di

kawasan Asia Tenggara yang pada akhirnya melatar belakangi proses

pembentukan Konvensi Asean tentang Pemberantasan Terorisme

(ASEAN Convention On Counter Terrorism), serta tujuan yang ingin

dicapai melalui kerja sama kemanan kawasan dalam Konvensi ASEAN

tentang Pemberantasan Terorisme.

BAB III : Kepentingan Nasional Indonesia dalam Konvensi Asean Tentang Pemberantasan Terorisme (Asean Convention On Counter Terrorism)

Pada BAB III ini akan diuraikan tentang kepentingan nasional Indonesia

(39)

penting yang diperoleh Indonesia melalui kerja sama kawasan dalam

memberantas terorisme.

BAB IV : Penutup

Pada BAB IV ini merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan

yang diperoleh dari hasil-hasil pembahasan pada bab sebelumnya, serta

berisikan tentang saran-saran yang berguna dan mendukung bagi

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan antara perubahan tata guna lahan dengan karakteristik hidrologi (debit puncak dan waktu puncak) pada DAS Lesti dan DAS Gadang menunjukkan nilai debit yang cenderung

Petunjuk : : Beri Beri Lingkaran Lingkaran pada pada angka angka yang yang sesuai sesuai untuk untuk setiap setiap kemampuan. kemampuan yang yang teramati teramati pada pada

 Alamat : lamat : Jl.. engan demi*ian, item +o%mula%ium adala) a%ana penting dalam memati*an mutu penggunaan oat dan pengendalian )a%gana.. P%a*ti

Budi Utomo merupakan organisasi yang lahir pada tanggal 20 Mei 1908. Sebagian besar anggota Budi Utomo adalah para pemuda Jawa. Meskipun demikian, semangat para pemuda tersebut

nilai ambang maka sistem persamaan linear yang dibangkitkan akan mempunyai variabel yang semakin banyak sehingga akan semakin sulit untuk menemukan solusi persamaan. Menezes,A,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sosis dengan fortifikasi β-caroten dari labu kuning sebagai substitusi filler sampai level 100% berpengaruh sangat nyata (P<0,01)

Sedangkan untuk Tujuan Penelitian ini adalah untuk: (1) Mengetahui karakteristik campuran beton aspal padat ditinjau dari metode pengujian Marshall yang menggunakan

Bulan Mei-Juni diduga bukan merupakan musim penangkapan ikan cendro, dimana pada bulan-bulan ini kondisi perairan di musim peralihan cukup tenang dan bukan kondisi yang cocok untuk