BAB II
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA
A. Pengertian Pengelolaan Lingkungan Hidup
Istilah lingkungan hidup, dalam bahasa Inggris disebut dengan environment, dalam
bahasa Belanda disebut dengan millieu atau dalam bahasa Perancis disebut dengan
l’environment.26
Dalam kamus lingkungan yang disusun Michael Allaby, lingkungan hidup itu
diartikan sebagai: the physical, chemical and biotic condition surrounding and organism.
S.J. McNaughton dan Larry L. Wolf mengartikannya dengan semua faktor eksternal yang
bersifat biologis dan fisika yang langsung mempengaruhi kehidupan, pertumbuhan,
perkembangan dan reproduksi organisme. Prof. Dr. Ir. Otto Soemarwoto, seorang ahli
ilmu lingkungan (ekologi) terkemuka mendefinisikannya sebagai berikut: Lingkungan
adalah jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati yang
mempengaruhi kehidupan kita. Sedangkan Prof. Dr. St. Munadjat Danusaputro, SH, ahli
hukum lingkungan terkemuka dan Guru Besar Hukum Lingkungan Universitas
Padjajaran mengartikan lingkungan hidup sebagai semua benda dan kondisi, termasuk di
dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya, yang terdapat dalam ruang tempat manusia
berada dan mempengaruhi hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya.27
Pengertian lingkungan hidup juga dirumuskan di dalam Pasal 1 angka 1 UUPPLH,
bahwa: “Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan,
dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu
26
N.H.T. Siahaan, Op.cit., hlm. 4
27
sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lain.”28
Berdasarkan beberapa definisi mengenai lingkungan hidup yang telah dikemukakan
di atas, maka dapat diuraikan unsur-unsur yang terdapat di dalam pengertian lingkungan
hidup secara terperinci, antara lain:29
1. Kesatuan Ruang
Maksud kesatuan ruang, yang berarti ruang adalah suatu bagian tempat berbagai
komponen lingkungan hidup bisa menempati dan melakukan proses interaksi di antara
berbagai komponen lingkungan hidup tersebut. Jadi, ruang merupakan suatu tempat
berlangsungnya ekosistem, misalnya ekosistem pantai, ekosistem hutan. Ruang atau
tempat yang mengitari berbagai komponen lingkungan hidup yang merupakan suatu
ekosistem satu sama lain pada hakikatnya berwujud pada satu kesatuan ruang.
2. Semua Benda
Benda dapat dikatakan juga sebagai materi atau zat. Materi atau zat merupakan segala
sesuatu yang berada pada suatu tempat dan pada suatu waktu. Pendapat kuno
mengatakan suatu benda terdiri atas empat macam materi asal (zat asal), yaitu api, air,
tanah, dan udara. Dalam perkembangan sekarang empat materi tersebut tidak dapat
lagi disebut zat tunggal (zat asal). Perkembangan ilmu pengetahuan alam dan
teknologi, materi adalah apa saja yang mempunyai massa dan menempati suatu ruang
baik yang berbentuk padat, cair, dan gas. Materi ada yang dapat dilihat dan dipegang
seperti kayu, kertas, batu, makanan, pakaian. Ada materi yang bisa dilihat, tetapi tidak
28
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Nomor 140 Tahun 2009
29
Sodikin, Penegakan Hukum Lingkungan: Tinjauan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997,
bisa dipegang seperti air, ada pula materi yang tidak dapat dilihat dan dipegang seperti
udara, memang udara tidak dapat dilihat dan dipegang, tetapi memerlukan tempat.
3. Daya
Daya atau yang disebut juga dengan energi atau tenaga merupakan sesuatu yang
memberi kemampuan untuk menjalankan kerja atau dengan kata lain energi atau
tenaga adalah kemampuan untuk melakukan kerja. alam lingkungan hidup penuh
dengan energi yang berwujud seperti energi cahaya, energi panas, energi magnet,
energi listrik, energi gerak, energi kimia, dan lain-lain.
4. Keadaan
Keadaan disebut juga dengan situasi dan kondisi. Keadaan memiliki berbagai ragam
yang satu sama lainnya ada yang membantu berlangsungnya proses kehidupan
lingkungan, ada yang merangsang makhluk hidup untuk melakukan sesuatu, ada juga
yang mengganggu berprosesnya interaksi lingkungan dengan baik. Sebagai contoh
misalnya kucing atau musang dalam waktu gelap bukannya tidak bisa melihat justru
lebih mempertajam matanya untuk mencari mangsa atau makanannya. Dalam keadaan
berisik, pada umumnya orang sulit untuk tidur nyenyak atau pulas. Dalam keadaan
miskin masyarakat cenderung merusak lingkungannya.
5. Makhluk Hidup (termasuk manusia dan perilakunya)
Makhluk hidup merupakan komponen lingkungan hidup yang sangat dominan dalam
siklus kehidupan. Makhluk hidup memiliki ragam yang berbeda satu sama lainnya.
hidup sangat penting, tetapi makhluk hidup seperti itu tidaklah merusak dan menemari
lingkungan, lain halnya dengan manusia.
Selain definisi lingkungan hidup, disebutkan juga di dalam UUPPLH mengenai
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 1 angka 2 UUPPLH merumuskan
bahwa: “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan
terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan,
pemanfaatan, pengendalian, pengawasan, dan penegakan hukum.”30
Dalam pengelolaan lingkungan hidup ditegaskan pula kewenangan negara, yaitu hak
menguasai dan mengatur oleh negara dalam pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya buatan yang menyangkut hajat hidup orang banyak memberikan wewenang untuk
mengatur peruntukan, pengembangan, penggunaan, penggunaan kembali (daur ulang),
penyediaan, pengelolaan dan pengawasan melalui perbuatan hukum dan mengatur pajak
serta retribusi lingkungan. Oleh karena itu, wawasan dalam menyelenggarakan
pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia adalah wawasan nusantara, karena kondisi
obyektif geografi nusantara yang terdiri dari ribuan pulau yang tersebar dan terbentang di
khatulistiwa serta terletak pada posisi silang yang sangat strategis, memiliki karakteristik
yang berbeda dengan negara lain.31
Menurut Munadjat, wawasan nusantara adalah cara pandang bangsa dan negara
Indonesia tentang diri dan lingkungannya, yang (nyatanya) sarwa-nusantara (bersifat
serba nusantara). Wawasan nusantara memandang perwujudan Indonesia sebagai satu
kesatuan utuh menyeluruh, baik dari aspek fisik alamiah maupun dari aspek sosial politik
ialah citra lingkungan hidup nusantara.32
30
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Nomor 140 Tahun 2009
31
Sodikin, Op.cit., hlm. 26
32Ibid.,
Kekayaan sumber daya alam yang terdapat di dalam lingkungan hidup manusia dapat
menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat apabila dikelola, diolah dan dimanfaatkan
dengan baik dan benar. Hal ini sesuai dengan perintah Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945 yang berbunyi:33
Dengan demikian, hal-hal yang berkenaan dengan kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat harus diutamakan, tidak terkecuali pengelolaan lingkungan hidup maupun
pemanfaatan sumber daya alam yang harus dilakukan secara efektif dan efisien karena
menurut Otto Soemarwoto, sumber daya lingkungan mempunyai daya regenerasi dan
asimilasi yang terbatas. Selama eksploitasi atau permintaan pelayanan ada di bawah batas
daya regenerasi atau asimilasi, sumber daya terbarui itu dapat digunakan secara lestari.
Akan tetapi, apabila batas itu dilampaui, sumber daya itu akan mengalami kerusakan dan
fungsi sumber daya itu sebagai faktor produksi dan konsumsi atau sarana pelayanan akan
mengalami gangguan.
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
34
Lingkungan mempunyai keterbatasan dalam melakukan proses kehidupannya.
Keterbatasan dan kemampuannya untuk menanggulangi proses keseimbangannya itu,
lazim disebut dengan daya dukung lingkungan. Menurut Otto Soemarwoto, daya dukung
terlanjutkan ditentukan oleh dua faktor, baik faktor biofisik maupun faktor
sosial-budaya-ekonomi. Kedua faktor ini saling mempengaruhi. Faktor biofisik penting untuk
menentukan daya dukung yang terlanjutkan, yaitu proses ekologi yang merupakan sistem
33
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
34
pendukung kehidupan dan keanekaragaman jenis yang merupakan sumber daya gen.
Misalnya, hutan adalah salah satu faktor ekologi dalam sistem pendukung kehidupan.
Hutan melakukan proses fotosintesis yang budaya juga mempunyai peranan yang sangat
penting, bahkan menentukan dalam daya dukung terlanjutkan.35
Bertitik tolak dari pendapat Otto Soemarwoto, dapat diambil kesimpulan bahwa
dalam realitasnya lingkungan merupakan sumber daya yang memiliki kemampuan dalam
melakukan regenerasi pada dirinya, apalagi terhadap sumber daya alam yang tidak dapat
diperbarui. Oleh karena itu, dalam menata lingkungan sebagai sumber daya, maka yang
perlu dilakukan adalah agar melakukan pengelolaan dengan bijaksana.
Lebih jauh Otto Soemarwoto mengatakan bahwa sumber daya lingkungan milik
umum sering dapat digunakan untuk berbagai macam peruntukan secara simultan, tanpa
suatu peruntukan mengurangi manfaat yang dapat diambil dari peruntukan lain sumber
daya yang sama itu. Misalnya, air sungai dapat digunakan sekaligus untuk melakukan
proses produksi dalam pabrik, mengangkut limbah, pelayaran sungai, produksi ikan, dan
keperluan rumah tangga.
36
B. Sejarah Perkembangan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia
Di tingkat internasional, Deklarasi Stockholm 1972 dianggap sebagai tonggak
pemisah antara rezim hukum internasional klasik dan rezim hukum lingkungan modern.
Artinya, karena konvensi-konvensi internasional, putusan-putusan pengadilan
internasional sebelum Deklarasi Stockholm 1972 dipandang sebagai rezim hukum
internasional klasik, sedangkan konvensi-konvensi internasional dan putusan-putusan
35Ibid.,
hlm. 3
36Ibid.,
Pengadilan Internasional setelah Deklarasi Stockholm dipandang sebagai rezim hukum
lingkungan modern.37
Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Lingkungan Hidup di Indonesia tidak
dapat dipisahkan dengan Deklarasi Stockholm tahun 1972 yang memuat 26 prinsip dan
109 dukungan. Hal ini seiring dengan keadaan dan kepentingan negara Indonesia. Oleh
karena itu, Indonesia perlu turut bertanggung jawab dan berkewajiban terhadap
pelestarian dan pengembangan lingkungan hidup, baik secara nasional maupun
internasional. Bagi Indonesia, yang mempunyai sumber daya alam yang cukup luas,
keprihatinan terhadap kelestarian hidup sudah disesuaikan dan dicantukan dalam Pasal 33
ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
bagi kemakmuran rakyat.” Landasan ini merupakan komponen-komponen dasar untuk
menyusun dan merumuskan peraturan dan perundangan lingkungan hidup di Indonesia.
Atas dasar itu, proses pembuatan peraturan perundangan tentang lingkungan hidup di
Indonesia dimulai dari prinsip-prinsip dalam Deklarasi Stockholm khususnya prinsip 17,
21, 22 dan sekaligus merupakan nafas atau landasan dalam penyusunan keinstitusian
perundangan untuk pelestarian alam.38
Tepat sepuluh tahun setelah berlangsungnya Konferensi Lingkungan Hidup Sedunia
(UNCHE, United Nations Conference on the Human Environment, 1972, Stockholm),
negara kita berhasil merumuskan satu produk perundangan penting di bidang lingkungan
hidup.39
Perkembangan selanjutnya, pada 11 Maret 1982, diundangkan sebuah produk
hukum mengenai pengelolaan lingkungan hidup, dengan nama Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, sering
disingkat dengan UUPLH. Dengan hadirnya Undang-Undang Lingkungan ini, terbukalah
lembaran baru bagi kebijaksanaan lingkungan hidup di Indonesia guna terciptanya
pengendalian kondisi lingkungan yang memiliki harmoni yang baik dengan
dimensi-dimensi pembangunan.40
Undang-undang ini kita nilai begitu penting karena Undang-undang ini lahir dalam
situasi sebagai berikut:41
1. Saat negara kita sedang giatnya melancarkan pembangunan dengan pesat di semua
segi kehidupan. Dalam kenyataan, segi apapun yang akan diambil untuk tujuan
membangun, Undang-undang ini akan selalu berhadapan dengan aspek ekologi
lingkungan hidup. Pembangunan ialah hasil proses dari sumber daya (alam,
lingkungan hidup, manusia).
2. UUPLH adalah Undang-undang pokok yang merupakan dasar peraturan pelaksanaan
bagi semua sektor yang menyangkut lingkungan hidup. Undang-undang ini berfungsi
sebagai ketentuan payung (umbrella provision) bagi peraturan-peraturan lingkungan
hidup yang sudah ada (lex lata) maupun bagi pengaturan lebih lanjut (lex feranda)
atas lingkungan hidup.
3. Corak ekologis negara kita sangat spesifik. Negara kita merupakan wilayah
berkepulauan (Nusantara) yang terdiri dari dua pertiga wilayah laut, yaitu terletak di
antara dua benua, Asia dan Australia, serta dua lautan raksasa yaitu Samudra Hindia
dan Samudra Pasifik. Negara kita memiliki sumber alam yang kaya raya dan dihuni
oleh penduduk dengan berbagai corak ragam suku, budaya, agama, tingkatan sosial
ekonomi, dan lain-lain.
40
N.H.T. Siahaan, Op. cit., hlm. 34
41Op. cit.,
Adapun dasar-dasar pemikiran yang diberikan oleh UUPLH ini adalah konsep
perpaduan prinsip-prinsip pembangunan dan lingkungan serta ekologi yang lazim disebut
dengan Prinsip Ecodevelopment, yang dinyatakan sebagai berikut:42
1. Lingkungan hidup Indonesia adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus kita
kembangkan berdasarkan asas keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup
manusia sebagai pribadi; dalam hubungan manusia dengan manusia; dalam
hubungannya dengan alam lingkungan; dalam hubungan manusia dengan Tuhan Yang
Maha Esa maupun dalam kehidupan lahiriah serta kebahagiaan batiniah.
2. Sumber daya alam yang dapat digunakan untuk menuju kesejahteraan harus
dilestarikan kemampuan ekosistem secara serasi dan seimbang dengan cara bijaksana,
terpadu, dan menyeluruh dengan memperhitungkan generasi kini dan mendatang.
3. Pengelolaan lingkungan berasaskan kemampuan lingkungan yang serasi dan
seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan.
4. Hanya dalam lingkungan yang serasi dan seimbang dapat tercapai kehidupan optimal.
UULH 1982 memuat ketentuan-ketentuan hukum yang menandai lahirnya suatu
bidang hukum baru, yakni hukum lingkungan karena ketentuan-ketentuan itu
mengandung konsep-konsep yang sebelumnya tidak dikenal dalam bidang hukum. Di
samping itu, ketentuan-ketentuan UULH 1982 memberikan landasan bagi kebijakan
pengelolaan lingkungan hidup.43
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup telah menandakan awal pengembangan perangkat hukum
sebagai dasar bagi upaya pengelolaan lingkungan hidup Indonesia sebagai bagian
integrasi dari upaya pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup. Dalam kurun waktu lebih dari satu dasawarsa sejak diundangkannya
42Ibid.,
hlm. 153
43
undang tersebut, kesadaran lingkungan hidup masyarakat telah meningkat dengan pesat,
yang ditandai antara lain oleh makin banyaknya di bidang lingkungan hidup selain
swadaya masyarakat. Terlihat pula peningkatan kepeloporan masyarakat dalam
pelestarian fungsi lingkungan hidup, sehingga masyarakat tidak hanya sekedar berperan
serta, tetapi juga mampu berperan serta secara nyata.44
Asas-asas hukum yang diadopsi UUPLH 1982 dirasakan banyak membawa
kemajuan dalam pembangunan lingkungan. Prinsip dan pola pembinaan lingkungan hidup
sedemikian majunya untuk diintroduksikan ke dalam pembangunan nasional dan
hendaknya diakui bahwa pengenalan asas-asas itu ke dalam sistem hukum guna
memulihkan prinsip pembangunan yang berwawasan lingkungan tidak kalah dengan
negara lain. Hanya saja tentunya harus diakui bahwa dalam aspek-aspek pelaksanaannya,
negara kita tidak bisa banyak berbicara mengenai hal itu, karena mengenai segala sesuatu
tentang pelaksanaan asas (konsistensi), kita selalu serba tertinggal dengan negara lain.45
Sejak pengundangan UULH 1982, kualitas hidup di Indonesia ternyata tidak
semakin baik dan banyak kasus hukum lingkungan hidup tidak dapat terselesaikan
dengan baik. Para pengambil kebijakan di pemerintah, khususnya di lingkungan Kantor
Menteri Negara Lingkungan Hidup dan BAPEDAL, berpandangan bahwa kegagalan dari
kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia akibat dari kelemahan penegakan
hukum UULH 1982. Dan kelemahan penegakan hukum itu bersumber dari UULH 1982
itu sendiri.46
Perkembangan global mengenai isu lingkungan, terutama setelah berlangsungnya
Earth Summit di Rio de Jainero, 1992, yang lebih dikenal dengan KTT Rio telah menjadi salah satu alasan mengapa UUPLH 1982 harus direvisi, karena bila melihat hasil-hasil
yang dicapai dalam KTT Rio, terlihat bahwa dengan UUPLH 1982 tidak banyak hal yang
dapat kita lakukan dalam rangka membuat kebijakan pembangunan lingkungan sesuai
dengan majunya prinsip-prinsip yang telah diadopsi dalam KTT Rio.47
Deklarasi Rio tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan yang juga disebut
sebagai The Earth Charter merupakan “soft-law agreements”, yang memuat 27 prinsip48
UUPLH baru atau UU No. 23 Tahun 1997 memuat berbagai peraturan sebagai
respons terhadap berbagai kebutuhan yang berkembang yag tidak mampu diatasi melalui
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982. Demikian juga Undang-undang baru ini
dimaksudkan untuk menyerap nilai-nilai yang bersifat keterbukaan, paradigma
pengawasan masyarakat, asas pengelolaan dan kekuasaan negara berbasis kepentingan kemudian ditambah dengan banyaknya perkembangan mengenai konsep dan pemikiran
mengenai masalah lingkungan, serta dengan mengingat hasil-hasil yang dicapai
masyarakat dunia melalui KTT Rio tahun 1992, dirasakan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1982 sudah tidak banyak lagi menjangkau perkembangan-perkembangan yang ada
sehingga perlu ditinjau dengan membuat penggantinya. Untuk itulah lima tahun
kemudian setelah berlangsungnya KTT Rio, dibuat UUPLH yang baru sebagai pengganti
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982, yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, diundangkan tanggal 19 September 1997 melalui
Lembaran Negara No. 68 Tahun 1997.
47Op. cit.,
hlm. 154
48
Beberapa prinsip tersebut menjadi unsur penting konsep pembangunan berkelanjutan, diantaranya:
a. prinsip kedaulatan dan tanggung jawab negara (prinsip 2);
b. prinsip antargenerasi (prinsip 3);
c. prinsip keadilan intragenerasi (prinsip 5 dan 6);
d. prinsip keterpaduan antara perlindungan lingkungan hidup dan pembangunan (prinsip 4);
e. prinsip tanggung jawab bersama tetapi berbeda (prinsip 7);
f. prinsip tindakan pencegahan (prinsip 11);
g. prinsip bekerja sama dan bertetangga baik dan kerja sama internasional (prinsip 18, 19, dan 27) h. prinsip keberhati-hatian (prinsip 13);
i. prinsip pencemaran membayar (prinsip 16);
umum (bottom-up), akses publik terhadap manfaat sumber daya alam, dan keadilan
lingkungan (environmental jusice).49
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 ini memuat norma-norma hukum
lingkungan hidup. Selain itu, Undang-undang ini menjadi landasan untuk menilai dan
menyesuaikan semua peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan tentang
lingkungan hidup yang berlaku, yaiu peraturan perundang-undangan mengenai perairan,
pertambangan dan energi, kehutanan, konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, industri, permukiman, penataan ruang, tata guna tanah, dan lain-lain.50
UULH 1997 tetap memuat konsep-kosep yang semula dituangkan dalam UULH
1982, misalnya kewenangan negara, hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan hidup, perizinan, AMDAL, penyelesaian sengketa dan sanksi pidana. Selain
itu, UULH 1997 memuat konsep-konsep atau hal-hal yang sebelumnya tidak diatur dalam
UULH 1982. Misalnya, di bidang hak masyarakat, UULH 1997 mengakui hak
masyarakat untuk mendapatkan informasi. Di bidang instrumen pengelolaan lingkungan,
UULH 1997 mengatur penerapan audit lingkungan. Di bidang penyelesaian sengketa,
UULH 1997 mengatur penyelesaian sengketa melalui pengadilan dan penyelesaian
sengketa di luar pengadilan atas dasar kebebasan memilih para pihak. Di bidang sanksi
pidana, UULH 1997 memberlakukan delik formil di samping materil dan delik
korporasi.51
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 memang belum beperan maksimal sebagai
dasar menangani masalah lingkungan dalam hubungannya dengan pembangunan.
Demikian pula dengan konsep-konsep yang dicapai dalam Deklarasi Rio, belum banyak
yang diserap sebagai instrumen hukum dan kebijakan menata lingkungan. Namun dari
segi landasan hukum, Undang-undang ini dapat dikatakan sudah cukup lebih baik dari
Undang-undang sebelumnya.52
Perkembangan terbaru adalah pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN Tahun
2009 No. 140) yang menggantikan UULH 1997. Setidaknya ada empat alasan mengapa
UULH 1997 perlu untuk digantikan oleh undang-undang yang baru. Pertama, UUD 1945
setelah perubahan secara tegas menyatakan bahwa perkembangan ekonomi nasional
diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan pembangunan berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan. Kedua, kebijakan otonomi daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah membawa perubahan hubungan
dan kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah termasuk di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Ketiga, pemanasan global yang semakin
meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas
lingkungan hidup. Ketiga alasan ini belum ditampung dalam UULH 1997. Keempat,
UULH 1997 sebagaimana UULH 1982 memiliki celah-celah kewenangan penegakan
hukum administratif yang dimiliki Kementerian Lingkungan Hidup dan kewenangan
penyidikan penyidik pejabat pegawai negara sipil sehingga perlu penguatan dengan
mengundangkan sebuah undang-undang baru guna peningkatan penegakan hukum.53
C. Tujuan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 menyebutkan tujuan pengelolaan
lingkungan hidup:54
52
N.H.T. Siahaan, Op. cit, hlm. 36
53
Op. cit, hlm. 51-52
54
“Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, disebutkan tujuan
pengelolaan lingkungan hidup di dalam Pasal 3, yang berbunyi:55
a. Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan:
b. Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
c. Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian
ekosistem;
d. Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
f. Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa
depan;
g. Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup
sebagai bagian dari hak asasi manusia;
h. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
i. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
j. Mengantisipasi isu lingkungan global.”
Tujuan lingkungan hidup seperti yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tersebut adalah adanya kata-kata pembangunan berwawasan lingkungan.
Maksud pembangunan berwawasan lingkungan adalah melaksanakan pembangunan
dengan memperhatikan kepentingan lingkungan atau dengan kata lain pembangunan
tanpa merusak lingkungan, sehingga akan berguna bagi generasi kini dan generasi
mendatang.56
55
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Nomor 140 Tahun 2009
56
Pembangunan adalah upaya-upaya yang diarahkan untuk memperoleh taraf hidup
yang lebih baik. Upaya-upaya untuk memperoleh kesejahteraan atau taraf hidup yang
lebih baik merupakan hak semua orang di mana pun berada. Khususnya di negara-negara
berkembang, pembangunan merupakan pilihan penting dilakukan guna terciptanya
kesejahteraan penduduknya. Upaya di bidang pertanian dilakukan secara ekstentifikasi
dan intensifikasi. Lahan diperluas dan pupuk ditingkatkan jumlah maupun mutunya
melalui sistem teknologi. Sarana-sarana infrastruktur ditingkatkan seperti jalan,
pembangunan irigasi, waduk dan transportasi. Sektor industri dibuka, bukan saja sebagai
sarana pendukung bagi pembangunan pertanian, tetapi juga untuk mendapatkan produk
manufaktur yang dibutuhkan. Industri selain meningkatkan pendapatan juga berperan
untuk menyerap tenaga kerja.
Dengan demikian pembangunan merupakan sarana bagi pencapaian taraf
kesejahteraan manusia. Namun demikian, setiap pembangunan tidak terlepas dari adanya
dampak yang merugikan, terutama kepada lingkungan. Lingkungan menjadi semakin
rusak berupa pencemaran, dan kerusakan sumber-sumber hayati seperti penipisan
cadangan hutan (deforestization), punahnya bermacam-macam biota, baik spesies
binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Di samping itu, terjadi pula berbagai penyakit
sebagai akibat dari pencemaran industri.57
Untuk mengatasi dampak dari pembangunan tersebut, Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 mensyaratkan adanya paradigma atau arah baru untuk meningkatkan
kualitas hidup bagi rakyat melalui perubahan-perubahan yang didukung oleh seluruh
unsur pelaku dan sumber daya alam yang diperlukan, sehingga berkembanglah gagasan
tentang sustainable development.58
57
N.H.T Siahaan 2, Op.cit., hlm. 19
58Op.cit.,
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan salah satu isu yang
sangat penting yang menjadi dasar pembicaraan di KTT Rio. Pengertian dari sustainable
development adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya.
Definisi ini diberikan oleh World Commission on Environment and Development
(Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan) sebagaimana tersaji dalam laporan
Komisi yang terkenal dengan Komisi Brundtland yang terumuskan berupa: 59
Sustainable development pada dasarnya sama dengan prinsip Ecodevelopment, dimaknakan sebagai pembangunan dengan tidak mengorbankan kepentingan lingkungan
atau senantiasa memperhatikan aspek lingkungan (Prinsip 1 dan 2 Deklarasi Stockholm).
Ecodevelopment diartikan dengan pembangunan berwawasan lingkungan, yang kemudian diakomodir dalam sistem kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di
Indonesia,
“If it meets the needs of the present without compromising the ability of future generation to meet their own needs.”
60
diartikan sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek
lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin
keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan dan mutu
hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.61
Guna mengubah orientasi dari penekanan (priority) pembangunan (pertumbuhan
ekonomi), maka dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development)
terdapat penekanan yang sama terhadap aspek pembangunan ekonomi dan aspek
lingkungan. Lebih dari itu, karena tujuan pembangunan berkelanjutan adalah
kesejahteraan masyarakat, diintegralkanlah aspek sosial budaya, sehingga pembangunan
berkelanjutan mengandung tiga aspek: ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya.62
Istilah pembangunan berkelanjutan kini telah menjadi konsep yang bersifat subtle
infiltration, mulai dari perjanjian-perjanjian internasional, dalam implementasi nasional, dan peraturan perundang-undangan. Susan Smith mengartikan sustainable development
sebagai meningkatkan mutu hidup generasi kini dengan mencadangkan modal/sumber
alam bagi generasi mendatang. Menurutnya, dengan cara ini dapat dicapai empat hal:63
1. Pemeliharaan hasil-hasil yang dicapai secara berkelanjutan atas sumber daya yang
dapat diperbarui;
2. Melestarikan dan menggantikan sumber alam yang bersifat jenuh (exhaustible
resources);
3. Pemeliharaan sistem-sistem pendukung ekologis; dan
4. Pemeliharaan atas keanekaragaman hayati.
Sekalipun demikian, kritik terhadap pembangunan berkelanjutan dilontarkan
sehubungan dengan berbagai interpretasi yang berbeda-beda terhadapnya. Pihak
developmentalism menyoroti pembangunan berkelanjutan sebagai jawaban atas pola kecenderungan yang lebih mengedepankan pembangunan dalam segala hal, yang
kemudian menjadi suatu paham tersendiri untuk menyelesaikan segala faktor-faktor
keterbelakangan.64
Pembangunan berkelanjutan ternyata memiliki kelemahan. Kelemahan tersebut
dikemukakan oleh A. Sony Keraf, ahli etika yang kemudian menjadi Menteri Negara
Lingkungan Hidup (1999-2001). Hal yang pertama, tidak ada sebuah titik kurun waktu
yang jelas dan terukur sebagai sasaran pembangunan berkelanjutan. Konsep
Pembangunan Berkelanjutan hanya merupakan komitmen, sedangkan realisasinya sulit
diukur dari segi waktu (kapan bisa tercapai). Kedua, paradigma pembangunan
berkelanjutan didasarkan kepada cara pandang yang sangat antroposentris, yakni cara
pandang bahwa alam hanya sekedar alat pemenuhan kebutuhan material yang tertunda.
Ketiga, asumsi bahwa manusia bisa menentukan daya dukung ekosistem lokal dan
regional. Mengasumsikan manusia berkemampuan untuk mengetahui batas alam dan
mengeksploitasi sumber-sumber alam itu di dalam batas-batas daya dukung tadi. Padahal
manusia tidak menyadari bahwa alam memiliki kekayaan dan kompleksitas yang begitu
rumit jauh melampaui kekayaan iptek hasil karya manusia. Keempat, paradigma
pembangunan berkelanjutan justru bertumpu pada ideologi materialisme yang tidak diuji
secara kritis, tetapi diterima begitu saja sebagai benar. Hal yang dilematis di sini adalah
semua negara justru dianjurkan untuk mengikuti jalan salah yang ditempuh
negara-negara industri, yang terpacu oleh semangat materialisme. Hal yang patut dikoreksi oleh
pembangunan berkelanjutan justru mengulangi kesalahan yang sama.65
Konsep pemikiran dalam hubungan antara pembangunan dengan lingkungan,
muncul pula secara lebih jauh dengan konsep “berkelanjutan ekologi.” Sonny Keraf
berpendapat bahwa keberlanjutan ekologi mengandung perhatian penting kepada
aspek-aspek lingkungan tetapi dengan tetap menjamin kualitas kehidupan ekonomi dan sosial
budaya. Konsep ini berbeda dengan konsep pembangunan berkelanjutan, yakni
paradigma yang dianut adalah perhatian pada pembangunan ekonomi sambil
menekankan kepentingan proporsional atas aspek lingkungan dan aspek sosial budaya.66
D. Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia
Pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya manusia untuk berinteraksi dengan
lingkungan guna mempertahankan kehidupan dan mencapai kesejahteraannya. Istilah
65Ibid.,
hlm. 14-15
66
“pengelolaan”, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berasal dari kata dasar “kelola”,
dan selanjutnya dalam kata kerja mengelola, yang artinya: mengendalikan,
menyelenggarakan (pemerintahan dan sebagainya); menjalankan, mengurus (perusahaan,
proyek, dan sebagainya).67
Jika dilihat dari pengertian di atas, maka kegiatan yang meliputi pengelolaan dapat
dikelompokkan menjadi:68
1. Proses, cara, perbuatan mengelola;
2. Proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan tenaga orang lain;
3. Proses yang membantu merumuskan kebijaksanaan dan tujuan organisasi;
4. Proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam
pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan.
Keberlanjutan pembangunan di suatu daerah atau negara ditentukan oleh
kemampuan daerah atau negara tersebut dalam mengelola lingkungan hidupnya.
Pendekatan pengelolaan lingkungan dilakukan dengan menata sistem pengelolaannya.
Sebab berbicara mengenai pengelolaan, sangat berkaitan dengan pendekatan manajemen.
Pendekatan manajemen bertumpu pada kemampuan menata sistem yang berada pada
sistem tersebut. Hal inilah yang dapat ditangkap dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1982 ke Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 ini berkaitan pula dengan filosofi dari
masing-masing Undang-undang tersebut.
Pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982, filosofinya bertumpu pada “hukum
lingkungan sebagai payung” dalam artian bahwa semua bidang dapat membentuk
peraturan lingkungan sendiri. Sementara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 adalah
bagaimana melakukan manajemen terhadap lingkungan tersebut, atau dengan kata lain
bahwa lingkungan tersebut dapat dikelola dengan melakukan pendekatan manajemen.
67
N.H.T. Siahaan, Op.cit., hlm. 85
Pendekatan manajemen lingkungan mengutamakan kemampuan manusia dalam
mengelola lingkungannya, sehingga pandangan tersebut harus diubah dengan melakukan
sebuah pendekatan yang lazim disebut dengan “ramah lingkungan”. Ramah lingkungan
menurut Otto Soemarwoto, haruslah juga bersifat mendukung pembangunan ekonomi.
Betapa pun, kita masih miskin dan kehidupan sebagian besar rakyat kita belumlah layak.
Dengan lain perkataan, sikap dan kelakuan prolingkungan hidup tidak boleh bersifat
antipembangunan ekonomi.69
Di samping itu, diatur pula pengertian pengelolaan di dalam Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 yang diikuti dengan kata “perlindungan”, yang mana perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem terpadu berupa
suatu kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus
dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah. Oleh karena itu,
lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas
tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan
lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya
yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi,
serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan.70
Namun dalam hal pengelolaan lingkungan hidup, ada beberapa hal penting yang
harus diingat. Pertama, hukum lingkungan menjadi dasar dan pedoman dari segala
pengelolaan lingkungan hidup. Aspek pengelolaan lingkungan hidup memiliki segi dan
cakupan yang sangat luas seperti pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan,
penetapan perencanaan tata ruang, menetapkan sistem zona dan baku mutu lingkungan,
kebijakan pembuatan/penerapan AMDAL (Analisis mengenai Dampak Lingkungan),
perizinan, penegakan hukum (law enforcement), pendayagunaan dan pemberdayaan
69
Supriadi, Op.cit., hlm. 32-33
70
masyarakat, penanggulangan kerusakan lingkungan dan bencana alam, dan sebagainya.
Keseluruhan aspek-aspek demikian diatur oleh hukum lingkungan guna tercapainya
keberlanjutan lingkungan bagi kesejahteraan manusia.
Kedua, kekuasaan untuk mengelola lingkungan dan semua sumber daya alam
berpusat di tangan negara. Hal ini disadari di samping sebagai konsekuensi dari
kedaulatan negara atas teritorialnya (tanah, udara, air, dan segala yang dikandungnya)
juga sebagai konsekuensi dari perlunya ada suatu organ kekuasaan berdaulat penuh untuk
mengatur, mengelola, mengawasi, dan mengendalikan lingkungan supaya tercapai
efektivitas dari tujuan mencapai keberlanjutan lingkungan bagi kesejahteraan manusia.
Kekuasaan demikian bukan berarti untuk memiliki atau mempergunakan sumber daya
alam dan lingkungan secara semena-mena, tetapi adalah dalam rangka kepentingan
kesejahteraan masyarakat.
Ketiga, interaksi lingkungan dengan antarmanusia. Fokus perhatian penting hukum
lingkungan dikaitkan dengan bagaimana interaksi atau hubungan timbal balik antara
manusia dengan lingkungan hidup. Namun, karena interaksi manusia dengan sesamanya
pada akhirnya tidak terlepas dengan pengaruhnya kepada lingkungan maka interaksi
antarsesama pun menjadi bagian dari pengaturan hukum lingkungan. Sebab dalam jalinan
interaksi pergaulan sosial antara manusia (individu dengan individu lain atau alam
masyarakat), konsekuensinya juga menyangkut persoalan lingkungan hidup.
Esensi lain dari interaksi manusia dengan manusia dalam hubungannya dengan
penataan lingkungan hidup, terutama yang menyangkut aspek-aspek tata lingkungan
hidup yang bersifat publik dan kebersamaan. Interaksi antara manusia dengan manusia
sangat penting artinya bagi lingkungan karena tanpa adanya interaksi demikian akan
memelihara, melindungi, dan mengawasi tata lingkungan, lebih pula kepada yang sifatnya
kepentingan umum (publicly use).
Keempat, keserasian sebagai asas pengelolaan lingkungan hidup. Keserasian
berkaitan erat dengan kepantasan bertindak, keseimbangan berinteraksi dengan
lingkungan dalam mencapai kesejahteraan. Perilaku yang akhirnya merusak lingkungan
seperti menggali tanah sampai merusak ekosistem seperti banjir, longsor atau tandus
merupakan lingkungan tidak serasi, karena dalam perbuatan tersebut tidak ada
kesiembangan. Hal yang sama pada perilaku lainnya seperti membuang limbah,
menebangi hutan tanpa batas, mengeksploitasi barang-barang tambang tanpa memikirkan
cadangannya, dan seterusnya. Asas keserasian dapat dijadikan sebagai dasar dari sistem
pengambilan keputusan atas berbagai karakteristik dan atau pola-pola spesifik dari semua
aspek lingkungan.
Asas pengelolaan lingkungan hidup seyogyanya memang haruslah berdasarkan
penyerasian dan bukan berdasarkan pelestarian. Sebab dengan melestarikan, konotasinya
adalah menyebabkan atau membuat lingkungan itu dalam keadaan lestari dan lingkungan
tidak boleh diganggu gugat. Lestari pada lingkungan berarti membuat lingkungan berada
dalam keadaan status quo dan statis. Jika lingkungannya sifatnya lestari, maka
sumber-sumber daya lingkungan tentulah tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan
pembangunan pada hal sumber-sumber daya lingkungan adalah salah satu elemen (unsur)
mutlak bagi pembangunan. Hanya tentu supaya setiap pemanfaatan sumber-sumber daya
lingkungan seyogyanyalah memperhatikan aspek berkelanjutan (sustainability).
Asas hukum penyerasian lingkungan sebagaimana diuraikan di atas memiliki kaitan
dan nilai-nilai dasar falsafah hidup kita sebagaimana dalam Pancasila. Falsafah Pancasila
menyatakan, kebahagiaan hidup akan tercipta jika didasarkan atas keselarasan,
dalam hubungan manusia dengan masyarakat, dalam hubungan manusia dengan alam,
dalam hubungan bangsa dengan bangsa lain, dalam hubungan manusia dengan Tuhannya,
dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kebahagiaan rohaniah.
Aspek keberlanjutan (sustainability) merupakan aspek kelima yang harus
diperhatikan. Hal ini didasari oleh nilai pembangunan berkelanjutan (sustainable
development), yakni pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masa kini dengan tidak
mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang mencapai kebutuhannya.71
Selain hak terhadap lingkungan hidup yang baik, Undang-Undang Lingkungan
Hidup juga mengatur mengenai kewajiban pengelolaan lingkungan hidup terhadap
orang-perorang. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 67 disebutkan bahwa:72
Selanjutnya bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 68 yang berbunyi:
“Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup
serta mengendalikan pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan.”
73
a. Memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;
“Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:
b. Menjaga fungsi keberlanjutan lingkungan hidup; dan
c. Menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/ atau
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Pemberlakuan Undang-Undang Lingkungan Hidup mempunyai dua pola yang
berbeda. Pertama, Undang-Undang Lingkungan Hidup menjadi kaidah dan norma.
71
N.H.T. Siahaan, Op.cit., hlm 53-57
72
Pasal 67 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Nomor 140 Tahun 2009
73
Kedua, sebagai salah satu instrumen yang bermaksud untuk mempertahankan,
mengendalikan, dan menegakkan kaidah ataupun norma-norma yang dikandungnya.
Sebagai suatu sistem undang-undang yang perlu ditegakkan, dalam menjalankan
Pengawasan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dapat menggunakan tiga instrumen,
yaitu:74
74
Supriadi, Op.cit., hlm. 35