• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAPAT HUKUM LEGAL OPINION NOMOR PERKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENDAPAT HUKUM LEGAL OPINION NOMOR PERKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAPAT HUKUM (LEGAL OPINION) NOMOR PERKARA 7/PUU-XV/2017

Perihal Pengujian Materil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 87, 104, 105, 106, 107, 139a, 139b dan 140

Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Oleh:

Anugerah Edys Dermawan1), Kevin Bonaparte1), Nurul Mutmainnah1), Andi Mutiah Amalia Haris2), Aulia Mashyta Arifin 3)

1) Fakultas Hukum, 2) Fakultas Kedokteran 3) Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin

Jalan Perintis Kemerdekaan Km. 10, Makassar 90245 Indonesia A. Isu Konstitusional

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) sudah lima kali menggelar sidang dengan Nomor Perkara 7/PUU-XV/2017 sejak dimasukkannya permohonan tersebut pada Senin 6 Februari 2017 hingga Selasa 24 Juli 2017 di ruang sidang MK dengan agenda mendengarkan keterangan Dewan Perwakilan Rakyat. Perkara yang dimohonkan oleh badan hukum privat tersebut, memohonkan uji materi Pasal 87, 104, 105, 106, 107, 139a, 139b dan 140 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP).

Dalam perkara tersebut, terdapat 1 Pemohon yakni Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana atau Institute for Criminal Justice Reform.

Pemohon merasa bahwa tidak jelasnya definisi frasa makar dalam Pasal 87, Pasal 104, 106, 107, 139 a, 139 b, 140 Undang-undang No.1 Tahun 1946 secara faktual atau setidak-tidaknya berpotensi untuk merugikan hak-hak konstitusional pemohon. Kehadiran Pasal a quo dengan cara langsung maupun tidak langsung telah merugikan berbagai macam usaha-usaha yang sudah dilakukan secara terus menerus oleh pemohon dalam rangka menjalankan tugas dan perannya untuk mendorong perlindungan, pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia, keadilan dalam hukum pidana di Indonesia.

(2)

Mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), yang menyatakan ;

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk; a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Oleh karena permohonan pemohon adalah mengenai pengujian konstitusionalitas Undang Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139 a, Pasal 139 b dan Pasal 140 Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Oleh Pemohon dianggap bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) dan pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Pokok permasalahan sidang Perkara Nomor 7/PUU-XV/2017 yaitu adanya frasa Makar yang dalam pasal a quo tidak didefinisikan sebagaimana mestinya. Pemohon merasa adanya frasa Makar yang tertuang dalam Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139 a, Pasal 139 b dan Pasal 140 Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah melanggar hak-hak konstitusional pemohon karena secara langsung ataupun tidak langsung telah merugikan berbagai macam usaha-usaha yang sudah dilakukan secara terus-menerus oleh pemohon dalam rangka menjalankan tugas dan perannya untuk mendorong perlindungan, pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia dan keadilan dalam hukum pidana di indonesia.

Menurut pemohon, makar sendiri bukanlah berasal dari bahasa Indonesia namun berasal

dari bahasa Arab. Sementara aanslag dalam bahasa Belanda berarti serangan. Pemohon juga telah

mempelajari beberapa putusan Mahkamah Agung, yang mana Jaksa dan Hakim telah salah

(3)

sebagaimana mestinya, sehingga dalam banyak putusan tersebut tidak ada pembuktian perbuatan

makar yang berarti serangan.

Akibat dari hal tersebut maka KUHP yang adapun tidak sepenuhnya melindungi hak-hak

konstitusi para Pemohon dan juga segenap warga negara dan penduduk Republik Indonesia

sekarang ini, sehingga para Pemohon mengusulkan Mahkamah Konstitusi RI agar berkenan

menerima permohonan judicial review dan memperbaiki pasal-pasal KUHP tersebut. Para Pemohon

berpendapat bahwa perubahan tersebut akan melindungi hak konstitusional segenap warga negara

dan penduduk Indonesia. Para Pemohon pun yakin bahwa Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia yang merupakan benteng Pancasila dan konstitusi akan sependapat dengan para Pemohon

demi terwujudnya kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum serta menjunjung

tinggi hak asasi manusia.

Penulis berpendapat bahwa, dikarenakan objek permohonan merupakan Pasal-Pasal yang

terdapat dalam Undang-Undang No 1 tahun 1946 atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maka

Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian konstitusionalitas

terhadap pasal a quo.

C. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON

Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, terdapat dua syarat yang harus dipenuhi

untuk menguji apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara

Pengujian Undang-Undang, yaitu: (i) terpenuhinya kualifikasi untuk bertindak sebagai pemohon,

dan (ii) adanya hak dan/atau Hak Konstitusional dari para Pemohon yang dirugikan dengan

berlakunya suatu Undang-Undang.

1. Kualifikasi Sebagai Pemohon

(4)

- perorangan warga negara Indonesia;

- kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang; - badan hukum publik atau privat, atau lembaga negara.

Dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa

yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang

Dasar 1945; Bahwa hak konstitusional sebagaimana terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya meliputi hak untuk tidak diberlakukan secara sewenang-wenang, perlindungan hak asasi manusia dan kekayaan alam yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Bahwa atas ketentuan di atas, maka terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk menguji apakah Pemohon memiliki legal standing (dikualifikasi sebagai pemohon) dalam permohonan pengujian Undang-Undang tersebut.

Adapun syarat yang pertama adalah kualifikasi bertindak sebagai pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.

Syarat kedua adalah adanya kerugian Pemohon atas terbitnya Undang-Undang tersebut (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 133/PUU-VII/2009); Bahwa para Pemohon adalah badan hukum privat, yang bergerak, berminat dan didirikan atas dasar kepedulian untuk dapat memberikan perlindungan dan penegakan konstitusi, keadilan sosial dan hak asasi manusia, yang berbadan hukum privat dan didirikan berdasarkan akta notaris;

Walaupun demikian tidak semua organisasi dapat atau bisa mewakili kepentingan publik (umum) akan tetapi hanya organisasi yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh berbagai Undang-Undang maupun yurisprudensi, yaitu:

- Berbentuk badan hukum;

- Dalam AD/ART secara tegas menyebutkan tujuan didirikan organisasi tersebut;

- Secara rutin telah melakukan kegiatan yang telah diamanatkan oleh AD/ART nya tersebut;

(5)

Dalam mencapai maksud dan tujuannya Pemohon telah melakukan berbagai macam usaha/kegiatan yang dilakukan secara terus menerus, hal mana telah menjadi pengetahuan umum (notoire feiten). Adapun bentuk kegiatan yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Melakukan penelitian dan menerbitkan laporan terkait hak asasi manusia;

b. Melakukan pengkajian dan advokasi terhadap kebijakan-kebijakan (policies) dan/atau hukum

(laws and regulations), penerapannya, serta dampaknya terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan

budaya, masyarakat;

c. Melakukan kampanye publik dalam rangka peningkatan kesadaran warga negara akan hak-hak

konstitusionalnya yang dijamin oleh UUD 1945, termasuk didalamnya hak atas infomasi dan hak

atas keadilan. Kampanye pemohon dapat dilihat dalam situs resmi masing-masing pemohon di

www.icjr.co.id, www.reformasikuhp.org, www.hukumanmati.web.id, www.pantaukuhap.id

d. Melakukan pendampingan hukum secara cuma-cuma bagi kelompok masyarakat yang harus

berhadapan dengan hukum terhadap isu-isu yang menjadi fokus dari Pemohon;

e. Menerbitkan berbagai macam buku maupun bentuk-bentuk publikasi lainnya dalam rangka

mendorong partisipasi masyarakat dalam setiap proses pengambilan kebijakan negara maupun

dalam penyelenggaraan negara secara umum, khususnya guna memastikan pengintegrasian

prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia dalam penyelenggaraan negara, publikasi digital pemohon

dapat dilihat di situs resmi pemohon di www.icjr.co.id ;

Sebagai pihak yang fokus pada pembaharuan hukum pidana, juga berdasarkan Anggaran Dasar

Perkumpulan Pemohon dengan mandat dan tujuan untuk (1) Mendorong pembentukan hukum yang

berkeadilan serta mengupayakan reformasi peradilan (2) Mendorong kebijakan pembaharuan

peradilan pidana yang berorientasi pada nilai-nilai hak asasi manusia dan kebebasan dasar.

2. Kerugian Konstitusional Pemohon

Pemohon memiliki hak konstitusional untuk memperjuangkan haknya secara bersama untuk

kepentingan bangsa dan negara ini. Menurut Pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945

dinyatakan bahwa: "Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya

(6)

Persoalan yang menjadi objek pengujian yang diujikan oleh Pemohon merupakan persoalan

setiap warga negara indonesia karena sifat universalnya, yang bukan hanya menjadi kepentingan

Pemohon namun juga menjadi kepentingan bagi setiap warga negara Indonesia.

Lebih jauh, pengajuan permohonan pengujian Pasal 87, 104, 106, 107, 139a, 139b dan 140 KUHP

ini merupakan wujud kepedulian dan upaya Pemohon untuk perlindungan, pemajuan dan

pemenuhan hak asasi manusia dan perlindungan kebebasan sipil dan politik di Indonesia.

Dengan demikian, adanya Pasal 87, 104, 106, 107, 139a, 139b dan 140 KUHP memiliki

potensi untuk melanggar hak konstitusional Pemohon , dengan cara Iangsung maupun tidak

Iangsung, merugikan berbagai macam usaha-usaha yang telah dilakukan secara terus-menerus

dalam rangka menjalankan tugas dan peranan untuk perlindungan pemajuan dan pemenuhan hak

asasi manusia; pemajuan dan perlindungan kebebasan sipil dan politik di Indonesia yang selama ini

telah dilakukan oleh Pemohon.

Bahwa berdasarkan uraian di atas, Penulis menyimpulkan jelas bahwa Pemohon telah

memenuhi kualitas maupun kapasitas sebagai Pemohon pengujian Undang-Undang terhadap

Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 huruf c Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,

maupun sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan penjelasan mengenai

syarat-syarat untuk menjadi pemohon pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Karenanya, jelas pula keseluruhan Pemohon memiliki hak dan kepentingan hukum mewakili

kepentingan masyarakat untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106,

Pasal 107, Pasal 139a, Pasal 139b, dan Pasal 140 Undang-Undang No 1 Tahun 1946.

D. ANALISIS ISU KONSTITUSIONAL

Pemohon mengajukan permohonan yang pada intinya makna dari kata “makar” yang

termaktub dalam Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139 a, Pasal 139 b dan Pasal 140

diartikan sebagai “serangan”. Pemohon menyatakan bahwa hingga saat ini belum ada peraturan

perundang-undangan yang secara resmi menerjemahkan WvSNI. Hal ini berarti tidak adanya

terjemahan resmi “aanslag” ke dalam bahasa Indonesia.

(7)

Dikatakan ada Makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari

adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam pasal 53.

Pasal 104

Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan

kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana

penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Pasal 106

Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana

penjara seumur hidup atau pidana sementara paling lama dua puluh tahun.

Pasal 107

(1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara

paling lama lima belas tahun.

(2) Para pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana seumur

hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Pasal 139a

Makar dengan maksud melepaskan wilayah atau daerah lain dari suatu negara sahabat untuk

seluruhnya atau sebagian dari kekuasaan pemerintah yang berkuasa di situ, diancam dengan

pidana penjara paling lama lima tahun.

Pasal 139b

Makar dengan maksud meniadakan atau mengubah secara tidak sah bentuk pemerintahan negara

sahabat atau daerahnya yang lain, diancam dengan pidana paling lama empat tahun.

Pasal 140

(1) Makar terhadap nyawa atau kemerdekaan raja yang memerintah atau kepala negara

(8)

(2) Jika makar terhadap nyawa mengakibatkan kematian atau dilakukan dengan rencana

terlebih dahulu mengakibatkan kematian, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara

seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

(3) Jika makar terhadap nyawa dilakukan dengan rencana terlebih dahulu mengakibatkan

kematian, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana

penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Terhadap isu ini, akan dijabarkan beberapa pertimbangan, baik dari aspek filosofis, sosiologis,

maupun yuridis sebagai berikut:

a. Aspek Filosofis

Tidak dapat dipungkiri bahwa Hukum di Indonesia (salah satunya adalah Hukum Pidana)

saat ini merupakan warisan hukum yang dibuat oleh Belanda (Nederland) yang melakukan aneksasi

atas beberapa Kerajaan-kerajaan atau Negara-negara yang terbentang dari Sabang sampai Marauke,

pada wilayah kepulauan bernama Kepulauan Melayu (the Malay Archipelago)1 atau juga biasa

disebut Indian Archipelago2 (selanjutnya menjadi nama Indonesia), yang kemudian hari menjadi

Negara Indonesia. Jika Indonesia menyatakan dirinya sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat

sejak 17 Agustus 1945 (de facto) 3 dan 27 Desember 1949 (de jure) 4 , maka selayaknya hukum

pidana Indonesia adalah produk dari bangsa di Indonesia sendiri. Namun idealisme ini ternyata

tidak sesuai dengan realitasnya. Hukum Pidana Indonesia sampai saat ini masih mempergunakan

hukum pidana (warisan) Belanda. Pemberlakuan hukum pidana yang berasal dari Negara asing ini

jelas menimbulkan problem bagi masyarakat Indonesia. Problematika tersebut antara lain sebagai

berikut: Pertama; Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan sejak 72 tahun lalu merupakan

awal pendobrakan hukum kolonial menjadi hukum yang bersifat nasional. Namun pada realitasnya,

hukum pidana positif (KUHP-Kitab Undang-undang Hukum Pidana) Indonesia merupakan warisan

Negara Belanda. Secara politis ini menimbulkan masalah bagi sebuah bangsa (negara, pen) yang

merdeka.5 Dengan kata lain, walaupun Indonesia merupakan negara merdeka, namun hukum

pidana Indonesia belum bisa melepaskan diri dari ‘penjajahan’

Kedua; Wetboek van Strafrecht atau bisa disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah

diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1918. Ini berarti KUHP telah berumur lebih dari 90 tahun.

Jika umur KUHP dihitung sejak dibuat pertama kali di Belanda (tahun 1881), maka KUHP telah

berumur lebih dari 130 tahun. Oleh karena itu, KUHP dapat dianggap telah usang dan sangat tua,

(9)

perubahan ini tidak sampai kepada masalah substansial dari KUHP tersebut. Sedangkan KUHP

Belanda sendiri pada saat ini telah banyak mengalami perkembangan.6

Ketiga; Wujud asli hukum pidana Indonesia adalah Wetboek van Strafrecht (voor

Nederlandsch Indie, pen) yang menurut UU Nomor 1 Tahun 1946 bisa disebut dengan KUHP. Hal

ini menandakan bahwa wujud asli KUHP adalah berbahasa Belanda.7 Sedangkan KUHP yang

beredar di pasaran adalah KUHP yang diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh beberapa ahli

hukum pidana Indonesia, seperti terjemahan Moeljatno, Andi Hamzah, Sunarto Surodibroto, R.

Susilo, dan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Tidak ada teks resmi terjemahan

Wetboek van Strafrecht yang dikeluarkan oleh Negara Indonesia. Oleh karena itu, sangat mungkin

dalam setiap terjemahan memiliki redaksi dan substansi yang berbeda-beda.8

Kemudian yang Keempat; KUHP warisan Belanda memang memiliki jiwa yang berbeda

dengan jiwa bangsa-bangsa yang berada di Negara Indonesia. KUHP warisan zaman Hindia

Belanda ini berasal dari sistem hukum kontinental (Civil Law System) atau menurut Rene David

disebut dengan the Romano-Germanic Family. The Romano Germanic family ini dipengaruhi oleh

ajaran yang menonjolkan aliran individualisme dan liberalisme (individualism, liberalism, and

individual right).9 Hal ini sangat berbeda dengan kultur bangsa-bangsa yang berada di Indonesia

yang menjunjung tinggi nilai-nilai sosial. Jika kemudian KUHP ini dipaksakan untuk tetap berlaku,

benturan nilai dan kepentingan yang muncul tidak mustahil justru akan menimbulkan

kejahatan-kejahatan baru.

Meskipun tidak disebutkan bahwa KUHP tersebut bersifat kolonial, tidak dapat dihindari

bahwa didalamnya masih terdapat pasal yang bersifat kolonial, seperti pasal-pasal tentang

perbuatan yang merendahkan atau menghina pemerintah atau tentang keamanan negara, dan

sebagainya. Terlebih lagi KUHP tersebut masih dalam bahasa Belanda, sehingga bukan tidak

mungkin di dalam penerapannya dapat menimbulkan perbedaan pendapat.10

Pemerintah Indonesia sebagai penguasa di dalam sebuah Negara, mempunyai kewajiban

untuk memelihara dan menjaga ketertiban yang terutama adalah keamanan di dalam masyarakat.

Sedangkan di dalam suatu masyarakat tidak dapat dihindari terjadinya perbuatan yang dianggap

menyimpang dari norma-norma yang telah ditetapkan oleh masyarakat tersebut. Sesuai dengan

(10)

di dalam aturan tertulis tentang perbuatan apa-apa saja yang dianggap merusak keamanan negara.

Terkait dengan uraian diatas, menurut hemat Penulis, pasal yang bersifat kolonial yang masih

terdapat di dalam KUHP salah satunya adalah tentang Delik Terhadap Keamanan Negara atau yang

biasa juga disebut Delik Politik. Yang dimaksud dengan Delik Terhadap Keamanan Negara disini

diatur di dalam Bab-I (Buku ke-II) KUHP, yang pada dasarnya sama dengan Bab I dari WvS

(Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie/Hindia Belanda) yang diundangkan dengan

Staatblad No. 732 Tahun 1915 dan mulai berlaku 1 Januari 1918.

Loebby Loqman di dalam bukunya/disertasinya mengatakan bahwa, Delik Terhadap

Kemanan Negara hampir selalu dilatarbelakangi serta/atau dengan tujuan-tujuan politik dan

setiap-setiap pemerintahan suatu Negara mempunyai pengertian serta batasan tersendiri tentang

perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai mempunyai latar belakang serta tujuan politik, dan bahkan

terdapat perbedaan penafsiran terhadap pengertian ‘politik’ baik dikalangan sarjana, para hakim,

maupun penguasa suatu Negara. 11 Kemudian terkait dengan hal tersebut di atas, Mardjono

Reksodiputro di dalam bukunya menyebutkan bahwa, Inti dari perbuatan yang di larang dalam

Bab-I (dari Buku Bab-IBab-I) KUHP tersebut adalah ‘Makar’ (treason; verraad), perbuatan mana yang dimaksud

dikategorikan sebagai “usaha pengkhianatan terhadap negara dan bangsa”.12

Menurut Penulis, di dalam praktek maupun sejarah bangsa ini, seringkali ditemukan

kasus-kasus pelanggaran hukum di Indonesia yang sebenarnya belum tentu termasuk kategori pelanggaran

atas usaha pengkhianatan terhadap negara/kemanan negara/makar tersebut. Namun oleh Pemerintah

selaku penguasa politik Indonesia, kepada pelanggar pidana seringkali dijerat dan dikenakan

dengan isi pasal-pasal perbuatan dimana diatur oleh Bab-I Buku II KUHP tersebut. Kejadian ini

telah terdapat dalam sejarahnya pada masa Orde Lama, hingga berlanjut pada Pemerintah Orde

Baru yang lalu, kemudian era Reformasi, sampai dengan sekarang. Hal ini tentu menimbulkan

berbagai polemik di pihak yang pro maupun kontra atas pengaturan hukum mengenai ‘Makar’

tersebut.

Aspek Sosiologis

Dalam kenyataannya, pasal makar sering digunakan pemerintah dalam beberapa kasus yang

(11)

1. Kasus Sehu Blesman Alias Melki Bleskadit dalam putusan MA No.574/K/Pid/2012

didakwa melakukan “Makar” karena menjadi Ketua Panitia Hari Perayaan

Kemerdekaan papua Barat yang dianggap niat untuk memisahkan diri dari

Indonesia. Dalam dakwaannya, Jaksa sama sekali tidak menjelaskan unsur

aanslag”atau “serangan” sebagaimana mestinya, dakwaan hanya menjabarkan niat

dari terpidana untuk memisahkan diri dari Indonesia. Terpidana dipidana dengan 5

tahun penjara. Bahwa dalam kasus sehu Blesman Alias Melki Bleskadit, Jaksa

mendakwa yang bersangkutan atas perbuatan menjadi ketua panitia dan

penanggungjawab Perayaan Kemerdekaan Papua Barat. Bahwa dalam acara tersebut,

terjadi beberapa orasi dan pembentangan bendera yang dianggap bendera Papua.

Jaksa sama sekali tidak mendakwakan adanya unsur serangan dalam perbuatan yang

dilakukan terdakwa, hal ini dapat dilihat dari barang bukti yaitu: Lembaran kertas

undangan,Kertas yang dianggap memiliki gambar kemerdekaan Papua dan beberapa

spanduk. Mahkamah Agung kemudian memperberat pidana dari terdakwa karena

didasarkan atas alasan-alasan yang sama sekali tidak menjelaskan unsur makar

sebagai serangan.

2. Bahwa dalam kasus Semuel Waileruny dalam Putusan MA No.1827 K/Pid/2007,

didakwa dengan permufakatan jahat untuk melakukan “makar” karena ingin

mengibarkan bendera RMS (Republik Maluku Selatan) yang dianggap niat untuk

memisahkan diri dari Indonesia. Dalam dakwaannya, jaksa juga tidak menguraikan

unsur “aanslag” atau “serangan” sebagaimana mestinya, dakwaan hanya

menjabarkan niat dari terpidana untuk memisahkan diri dari indonesia. Terpidana

dengan 3 tahun penjara; Bahwa dalam dakwaan, Jaksa mendakwa dengan perbuatan

terdakwa yang mengirimkan pesan singkat SMS ke rekannya untuk melakukan

persiapan upacara pengibaran bendera RMS. Sama sekali tidak ada unsur serangan

yang didakwakan oleh Jaksa, apabila melihat barang bukti yang didapat yaitu

Handphone (telepon genggam), dokumen, disket, foto dan surat-surat maka terlihat

bahwa terdakwa sama sekali tidak sedang merencanakan serangan.

Apabila dicermati maka baik jaksa dan hakim saat ini tidak mampu untuk memaknai

makar, bahkan dalam beberapa putusan, Jaksa memberikan pemahaman yang keluar

(12)

berbeda dari kata “aanslag”, bahwa kondisi seperti ini justru berbenturan dengan

tujuan asli frasa makar atau “aanslag” pada saat dibentuk, yaitu tidak boleh diartikan

meluas dari pengertian “serangan” sehingga dapat menyasar perbuatan-perbuatan

lain diluar perbuatan serangan.

Aspek Yuridis

Terhadap permohonan pemohon yang meminta Sepanjang tidak dimaknai sebagai serangan,

frasa Makar dalam Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106, 107, 139a, 139b dan 140 Undang-Undang No 1

Tahun 1946 (KUHP) bertentangan dengan Pasal 28 D (1) UUD 1945 dan Pasal 28 G ayat (1) akan

dijabarkan sebagai berikut.

Penulis berpendapat bahwa frasa “makar” yang tidak memiliki penafsiran atau definisi

resmi menjadi multitafsir dan tidak sesuai dengan dengan Pasal 1 ayat (3) “Negara Indonesia

adalah Negara Hukum”, menurut penulis salah satu unsur terpenting dari negara hukum adalah

adanya jaminan serta tegaknya prinsip kepastian hukum, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh

Gustav Radbruch yang menjelaskan bahwa cita hukum (Idee des rechts), yang kemudian

dilembagakan dalam suatu bentuk negara hukum, dapat diklasifikasikan ke dalam tiga prinsip

umum, yaitu : purposiveness-kemanfaatan (zweckmassigkeit), justice-keadilan (gerechtigkeit),dan

legal certainty- kepastian hukum (rechtssicherheit).

Kepastian hukum atau legal certainty dalam tradisi klasik the rule of law menurut pendapat

friedrrich von hayek adalah salah satu atribut utama dari the rule of law, selain dua atribut lainnya,

yakni atribut berlaku umum (generality) dan atribut kesetaraan (equality). Untuk menjamin

kepastian hukum (legal certainty) menurut pendapat Hayek berarti hukum dapat diprediksi atau

memenuhi unsur prediktibilitas sehingga seorang subyek hukum dapat memperkirakan peraturan

apa yang mendasari perilaku mereka dana bagaimana aturan tersebut ditafsirkan dan dilaksanakan.

Kepastian hukum merupakan aspek penting yang sangat terkait dengan kebebasan bertindak dari

seseorang.

Sejalan dengan teori mengenai cita hukum tersebut, UUD 1945 juga telah menegaskan

(13)

sebagaimana dituliskan di dalam pasal 28 D ayat 1 UUD 1945, “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di

hadapan hukum”; Merujuk pada pendapat Prof.Dr.Nurhasan Ismail, sebagaimana dikutip dalam

Putusan Mahkamah Konstitusi No.3/PUU-VIII/2010 pada pengujian UU No.27 Tahun 2007 tentang

pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (halaman 74), dikatakan bahwa kepastian

hukum di definisikan adanya kejelasan norma tentu harus ada indikator dan ukurannya. Tiga

indikator untuk menyatakan bahwa sebuah norma itu memberikan kepastian hukum meliputi:

A. Norma mengandung Konsistensi, baik secara internal di dalam undang-undang maupun

konsistensi horizontal dengan undang-undang yang lain ataupun konsistensi secara vertikal

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dalam hal ini adalah UUD 1945

B. Konsep penormaannya atau rumusan normanya tidak mengandung multi makna atau

multitafsir

C. Ada suatu implikasi yang sangat jelas terhadap pilihan-pilihan perilaku yang sudah diatur di

dalam undang-undang atau didalam peraturan perundang-undangan

Selain dalam putusan Mahkamah Konstitusi, salah satu asas dalam membentuk peraturan

perundang-undangan dalam UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan adalah Kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan, yang melalui penjelasan Pasal 5 UU No

12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan diartikan sebagai :

A. Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas

yang hendak dicapai

B. Setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan

peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum

yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbukan berbagai macam

interpretasi dalam pelaksanaannya.

Penulis melihat makna kata “aanslag” dalam pasal-pasal a quo kebanyakan

penerjamahannya telah diterjemahkan kedalam bahasa indonesia sebagai kata “Makar”, karena jika

diteliti secara historis dalam KUHP Versi Balai Pustaka 1921 (sebelum kemerdekaan), “aanslag

tidak serta merta diterjemahkan menjadi “makar” melainkan disandingkan, bahkan dalam beberapa

pasal seperti pasal 140, tidak digunakan frasa “makar” melainkan menggunakan langsung frasa

(14)

sendiri dalam beberapa pasal seperti pasal 139a,139b dan pasal 140, Namun frasa “makar” masih

disandingkan dengan “aanslag” dalam seluruh pasal awal tentang makar. Contoh perbandingan

pasal Makar KUHP Versi Balai Pustaka 1921 dan KUHP versi Balai Pustaka 1940;

Pasal 87 KUHP Versi Balai Pustaka 1921

“Maka adalah Makar (aanslag), kalau telah ada pertjobaan jang boleh dihoekoem akan

melakoekan percobaan jang dimaksoed”

Pasal 87 KUHP Versi Balai Pustaka 1940

“Makar (aanslag) akan sesoeatoe perboeatan itoe ada, kalaoe soedah njata maksoed

orangnja, karena soedah dimoelainja mendjalankan perboeatan itoe menoeroet maksoed pasal 53

Sejarah perjalanan pengaturan frasa “makar” yang dapat diakses melalui KUHP terjemahan versi balai pustaka menunjukkan bahwa frasa “makar” adalah identik bahkan merupakan terjemahan langsung dari frasa “aanslag” dengan demikian maka frasa “makar” harusnya memiliki pemaknaan yang sama dengan frasa “aanslag” yang berarti serangan. Lebih lanjut, berdasarkan

Memorie Van Tolichting (MVT) KUHP di Belanda, definisi dan pengertian tersebut juga pernah

ditanyakan oleh Raad Van State pada waktu pasal 104 KUHP dibentuk. Dan dalam jawabannya,

Menteri Kehakiman telah menjelaskan bahwa apa yang dimaksudkan dengan aanslag op de person

ialah elke daad van geweld tegen de person atau setiap tindak kekerasan terhadap seseorang.

Dengan demikian, penulis beranggapan bahwa setelah menimbang setiap komponen diatas

bahwa frasa “makar” didalam pasal a quo harus dimaknai sebagai “serangan” dikarenakan

penggunaan frasa “makar” dalam undang-undang a quo yang tidak disertai dengan adanya

pemaknaan otentik berdasarkan tujuan aslinya atau “original intent” dari frasa makar sebagai

serangan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

Karena pada dasarnya “makar” atau “aanslag” adalah sebuah perbuatan “serangan”,

kemudian serangan sebagai metode tersebut memiliki tujuan masing-masing yaitu tergantung pada

delik dalam pasal, misalnya pasal 104 adalah serangan dengan maksud membunuh presiden, pasal

105 adalah serangan dengan maksud memisahkan diri dari wilayah negara dan pasal 107 adalah

(15)

KUHP yang juga terdapat frasa “makar”. “Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan seperti dimaksud dalam pasal 53”, dimaksudkan untuk mengatur perluasan pertanggungjawaban pidana khusus untuk

tindak pidana “makar” atau “aanslag” dimana dalam hal makar, pertanggung jawaban pidana sudah

ada apabila niat untuk itu telag ternyata dari adanya permulaan pelaksanaa.

Dari rumusan pasal tersebut, maka unsur utamanya adalah (1) Niat dan (2) Permulaan

pelaksanaan, sehingga tidak juga memberikan definisi pada arti “makar”. Dalam pasal 87 sebagai

bentuk pertanggung jawaban “makar” menghilangkan syarat dalam percobaan dan hanya

mengadopsi unsur pertama dan kedua, yaitu niat dan permulaan perbuatan, lalu unsur “tidak

selesainya pelaksaan itu bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri” dihapuskan,

sehingga apabila seseorang sudah memiliki niat dan ada permulaan pelaksanaan untuk melakukan

makar atau serangan, pertanggungjawaban pidana sudah dianggap ada tanpa perlu

mempertimbangkan unsur selesainya pelaksanaan perbuatan.

Pemahaman unsur pasal 87 hanya dapat dilakukan apabila “makar” dimaknai sebagai

perbuatan yang memiliki perluasan pertanggungjawaban sendiri, apabila “makar” hanya dimaknai

sebagai kata “sifat” atau “niat”, sebagaimana dalam KBBi atau pergeseran makna makar selama ini,

maka jelaslah pengertian itu berpotensi menimbulkan terjadinya ketidakpastian hukum. Dalam

delik pidana, keharusan perumusan pidana yang bersandar pada asas kejelasan tujuan dan kejelasan

rumusan tidak hanya dalam posisi untuk melindungi warga negara dari perbuatan yang tidak jelas

tidak hanya dalam posisi untuk melindungi warga negara dari perbuatan yang sewenang-wenang.

KESIMPULAN REKOMENDASI

(16)

pidana di Indonesia yang dapat merugikan hak konstitusional masyarakat Indonesia. Kata makar yang merupakan terjemahan dari kata “aanslag” tetapi kenyataanya makar merupakan kata serapan bahasa arab. Kata “aanslag” jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti “serangan”.

Hal ini yang menjadi salah satu dasar Pemohon bermohon agara kata “makar” dalam KUHP ditafsirkan sebagai “serangan”. Tidak adanya kepastian mengenai tafsir makar juga disebabkan karena hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang secara resmi menerjemahkan WvSNI, hal ini berarti saat ini KUHP ada dalam dua bahasa yaitu Bahasa Belanda dan Bahasa Indonesia yang belum disahkan secara resmi oleh pemerintah. Maka dari itu diperlukan definisi makar yang resmi yang ditafsirkan oleh pemerintah demi tercapainya kepastian hukum dan mencegah pihak tertentu untuk menyalahgunakan ketidakpastian definisi makar untuk melanggar hak konstitusional masyarakat Indonesia.

Dalam merumuskan tindak pidana makar harus lebih memperhatikan pengertian pasti (certainty) terhadap setiap delik. Delik makar, seharusnya hanya terkait dengan tindakan yang bersifat menyerang/attack. Tanpa adanya perbuatan menyerang/attack, perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana makar. Ketentuan yang bersifat pasti (certainty) sangat diperlukan sehingga terhindar dari penafsiran yang berbeda serta terhindar dari penyalahgunaan wewenang yang dimiliki oleh aparat penegak hukum

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian suhu yang tertera pada Tabel 3 tiap-tiap stasiun yang berbeda didapatkan keadaan yang masih baik / normal untuk daerah tropis dengan

“ Pengaruh Metode Memilih dan Memilih Kartu ( Card – Sort ) Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Sejarah Kelas XI SMA N 2 Koto Baru Kabupaten Dharmasraya

Salah satu upaya untuk meningkatkan kompetensi sosial pada siswa SMA yaitu dengan diberikannya konseling multibudaya supaya mereka mampu menghargai perbedaan yang dimiliki

surat permintaan pembelian, surat penawaran harga, surat penetapan penyedia barang, surat perintah kerja, faktur pembelian, faktur pajak, surat penerimaan barang,

Pengalaman terbentuk dari lamanya seseorang mengusahakan suatu usaha, semakin lama waktu dalam usaha yang dijalankannya tersebut, maka semakin banyak hal yang

Selain itu, menurut Geertz (1982), fungsi pernikahan bagi etnis Jawa yaitu merupakan pelebaran menyamping tali ikatan antara dua kelompok himpunan masyarakat yang tidak

Diah Ekaningtias, Ak., MM., CA., AAP-B selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran dengan sabar untuk membimbing, memberikan motivasi semangat dan

Wujud dari pelaksanaan perlengkapan administrasi lalu lintas dalam mengendarai kendaraan berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 3 Tahun 2006 Tentang