Artikel Kajian Filsafat
2013
Jurnal Merah
| Arjuna Putra Aldino
Mencari Teori Belajar dan Pembelajaran Untuk
Manusia Indonesia
Peran teori belajar dan pembelajaran dalam proses belajar dan pembelajaran di Sekolah sangatlah sentral, ketika ia dijadikan sebagai usaha untuk mendekati dan menyelesaikan masalah belajar siswa. Sebagai sebuah “pendekatan” pembelajaran ia akan menentukan proses pemilihan
“strategi”, “metode”. “teknik” bahkan “taktik” pembelajaran. Penggunaan ini juga akan menentukan hasil terutama “outcome” yang di hasilkan oleh proses pembelajaran tersebut. Karena “objek material” dari pembelajaran adalah siswa yakni seorang manusia, manusia yang memiliki karakter berbeda yang selalu dipengaruhi kondisi sosial-budaya dimana ia berpijak. Maka perlukah kita mempermasalahkan sebuah teori yang digunakan untuk mengkaji, memandang, menyelami, dan memberikan solusi bagi seorang siswa, seorang manusia Indonesia yang hendak belajar. Ketika sebuah pembelajaran adalah sebuah kondisi, yakni kondisi dimana guru melakukan aktivitas yang dapat membuat siswa belajar. Disinilah “kondisi” yaitu dimana guru dapat membuat siswanya belajar adalah objek formal dari pembelajaran. Terlihat bahwa teori belajar dan pembalajaran adalah sebuah “cara” yang “mengkonstruk” siswa untuk dapat belajar. Bukankah akan menjadi seperti apakah siswa itu, baik karakter, nilai-nilai yang diyakini, dan tingkahlaku yang dibentuk serta sesuatu yang dianggap benar dan salah bergantung dari proses pembentukan itu sendiri? Sudut pandang yang digunakan untuk membentuk proses pembelajaran adalah hal yang akan kita bicarakan disini sehingga ia membentuk manusia sebagai produk pembelajaran yang telah dilakukan. Dalam setiap proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan siswa pastilah terdapat “tujuan” yang hendak dicapai. Tujuan pembalajaran pastilah tidak sekonyong-konyong jatuh dari langit, ia di “rancang”, di “rencanakan”, dan di
“tetapkan”. Singkatnya penentuan tujuan pembelajaran adalah sebuah tindakan “sadar” dan
“terencana”. Sebagai tindakan sadar, ia pasti bertolak pada “pandangan hidup” atau “ideologi” tertentu yang diyakini benar. Sebagai tindakan terencana, segala mekanisme pembalajaran mangacu pada pandangan hidup (ideologi) yang diyakini atau digunakan sebagai titik acuan.
Artikel Kajian Filsafat
2013
Jurnal Merah
| Arjuna Putra Aldino
sekiranya perlu, untuk membuka cakrawala kita terkait misi apa di balik teori yang kerapkali dan santer di wacanakan sebagai teori yang paling ideal untuk memprogram proses pembelajaran. Kritik atas teori membuka kita untuk menemukan khasanah dan mengembangkan teori belajar dan pembelajaran yang cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia beserta filosofi dan budaya kita. Wacana-wacana teori belajar dan pembelajaran yang santer dianut oleh para pelaku pendidikan dan menjadi arus utama (mainstream) dalam pengembangan proses pembelajaran merupakan teori yang di pengaruhi oleh filosofi Barat, terutama filsafat era Pencerahan atau
Aufklarung. Dalam pandangan behaviorisme misalnya, yang memandang terbentuknya
pengetahuan karena terjadinya ikatan antara peristiwa-peristiwa (stimulus) yang dirangsangkan kepada seorang pebelajar dengan tanggapannya (respon) terhadap rangsangan itu. Semakin sering ikatan stimulus (S) dan respon (R) dipergunakan maka akan semakin kuatlah ikatan itu. Jadi, kegiatan belajar sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan, dipandang sebagai sistem respon tingkah laku terhadap rangsangan fisik. Semakin sering sistem respon ini dilakukan, maka akan semakin dikuasai pengetahuan yang diperoleh. Pandangan ini sangat dipengaruhi oleh paradigma Newtonian, dimana pengetahuan dapat dicapai dengan “menaklukan” hukum-hukum yang melingkupi aneka peristiwa yang terlepas dari konteksnya. Peristiwa sebagai rangsangan disajikan terus menerus agar dapat dikuasai dan dikontrol oleh akal budi. Menangkap dan memahami hukum-hukum objektif yang mengatur sebuah peristiwa merupakan titik kunci bagi perolehan pengetahuan dalam paradigma Newtonian.
Artikel Kajian Filsafat
2013
Jurnal Merah
| Arjuna Putra Aldino
badan, yang memisahkan dengan tajam antara subjek dengan objek. Kedua teori ini pun menekankan pembangunan pengetahuan secara mandiri guna mencapai pribadi yang independen. Penekanan pada sisi personal agency yang berkeyakinan bahwa sumber kebenaran terletak di dalam diri individu dan menganggap “aktualisasi diri” ditentukan oleh pikiran, perasaan dan keputusan diri sendiri. Hal ini merupakan “cara berada” masyarakat Barat melalui semboyan
“Cogito Ergo Sum” (Aku berpikir maka Aku Ada).
Sehingga pembelajaran lebih di tekankan pada proses pencarian kebenaran yang bersifat individual, mengutamakan self-direction dan kemampuan melakukan inquiry serta berusaha berfikir aktif dan menemukan pengetahuan baru berdasarkan usahanya sendiri. Proses belajar menekankan pada pembetukan sikap pribadi, menumbuhkan motivasi intrinsik sehingga pebelajar mencapai kemajuan tanpa bimbingan guru dan teman. Aktivitas belajar di tekankan pada penerapan efisiensi tugas dengan menggunakan strategi yang efektif guna menyelesaikan tugas secepat mungkin. Serta mengagungkan pada prestasi individual, kemampuan intelegensi dan kompetisi. Dalam praksis penerapannya, teori-teori ini yang notabene di kembangkan berdasarkan filosofi masyarakat Barat, mempunyai watak kolonialisme dan bersifat hegemonik
dengan pretensinya untuk menjadi sebuah “perspektif dominan” tanpa menghiraukan faktor
kebudayaan dan perbedaan budaya. Budaya pribumi dianggap primitif, sehingga masyarakat
pribumi (budaya Timur) harus mendapat “pembudayaan” melalui sistem pendidikan modern
yang bergaya Eropa dan Amerika dengan tujuan untuk menanamkan filosofi dan cara hidup masyarakat Barat sehingga mencapai kemajuan seperti apa yang di kehendaki oleh Barat. Penerapan pembelajaran yang di rumuskan berdasarkan pandangan hidup masyarakat Barat telah banyak menimbulkan efek problematis di lapangan, seperti permasalahan Ujian Nasional, sistem pembelajaran dan penerapan perbaikan kurikulum yang kelihatannya banyak di warnai inovasi – inovasi akan tetapi mutu pendidikan nasional terus merosot dari tahun ke tahun. Bahkan kehilangan orientasi.
Artikel Kajian Filsafat
2013
Jurnal Merah
| Arjuna Putra Aldino
pembelajaran yang tidak mempunyai relasi dengan dunia kehidupan (sosial, budaya, dll) masyarakat Indonesia adalah tidak bermakna. Itulah mengapa dunia pendidikan kita seakan-akan
mengalami “kemajuan semu” dengan berbagai inovasi akan tetapi hasil yang dicapai tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Melepaskan manusia dari dunia kehidupannya alih-alih untuk kemajuan manusia rasional dan otonom adalah mimpi belaka. Pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia, maka seyogyanya ia tidak boleh buta dengan dunia kehidupan manusia itu sendiri. Masyarakat Indonesia yang notebene tergolong dalam masyarakat Timur dan memiliki budaya yang beragam mempunyai filosofi yang berbeda dari masyarakat Barat.
Dalam budaya Jawa misalnya (salah satu varian budaya Indonesia), yang salah satu
filosofinya “Mangan ora mangan asal kumpul” yang bermakna budaya Jawa menekankan
harmoni bersama, manusia yang terikat akan nasib bersama dan tujuan bersama. Serta filosofi
“Gotong Royong” yang menekankan kebersamaan terkait kepentingan bersama yang harus di
dahulukan dibanding kepentingan pribadi, rasa keterlibatan yang tinggi dalam kehidupan orang lain (persaudaraan), pengorbanan diri demi kebaikan bersama, kesetaraan dan semangat berbagi dengan orang lain. Penekanan pada nilai-nilai “Adi Luhung” dan “Collective Agency” yang menekankan kesadaran akan kewajiban sosial dan peduli terhadap sesama, serta individu merupakan bagian dari ikatan kolektivitas yang erat juga terlihat dalam budaya Jawa. Ikatan kolektive merupakan sumber daya kehidupan bagi kesejahteraan. Dimana prestasi individu atau
Ajining diri dilihat seberapa besar peranannya kebaikan sesama dan lingkungannya (prestasi