• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menilik Peluang Kiprah Kepemimpinan Pere

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Menilik Peluang Kiprah Kepemimpinan Pere"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Volume 1

Diterbitkan Oleh:

DEPUTI BIDANG KAJIAN KEBIJAKAN

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Jl. Veteran no. 10 Jakarta 10110

Analisis Kebijakan Volume 1 Nomor 2 Halaman 123-239 2016

Jurnal Analisis K

ebijakan V

olume 1 Nomor 2 T

ahun 2016

2

2016

ANALISIS BANTUAN KEUANGAN BAGI PARTAI POLITIK: Urgensi dan Formulasi Besarannya

ANALISIS KAPASITAS FISKAL TUJUH DAERAH PROVINSI BARU

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA: Kasus Desa Banjarwaru, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor

PERBANDINGAN MANAJEMEN JABATAN SENIOR BIROKRASI DI AUSTRALIA, INDONESIA DAN SINGAPURA DALAM PERSPEKTIF PUBLIC SERVICE BARGAINS

MENILIK PELUANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM BINGKAI DEMOKRASI KOMUNITARIAN DESA: Ihwal Representasi Perempuan dalam BPD

PENDAMPING DESA KONTEKSTUAL

PENGANGKATAN TENAGA HONORER SEBAGAI TANTANGAN MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DAERAH.

M. Sofyan Muslim

Juli Panglima Saragih

Renny Savitri

Muhammad Imam Alfie S

Any Sundari dan Rusman Nurjaman

Tony Murdianto Hidayat

(2)

MENILIK PELUANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN

DALAM BINGKAI DEMOKRASI KOMUNITARIAN DESA:

Ihwal Representasi Perempuan dalam BPD

Abstrak:

UU No. 6/2014 tentang Desa membuka kesempatan bagi proses pendalaman demokrasi ko -munitarian desa, termasuk peluang kiprah kepemimpinan perempuan di ranah desa. Dengan berpijak pada prinsip “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, arah reposisi peran publik perempuan di desa semakin terbuka lebar. Mekanisme yang dipakai adalah dengan mem -pergunakan demokratis baik melalui pemilihan atau musyawarah. Proses ini mengandaikan bahwa demokrasi memberi ruang-ruang partisipasi bagi seluruh elemen yang ada di masya-rakat, termasuk di dalamnya adalah perempuan. Artinya, posisi perempuan yang selama ini terpinggirkan dapat diperoleh kembali. Dalam konteks membangun nilai kesetaraan di desa, tentunya wajib mempertimbangkan representasi perempuan, dan UU Desa mengakomodir hal tersebut. Representasi perempuan dapat dilakukan dengan mencontoh kebijakan air -masi di lembaga legislasi/parlemen, baik di level nasional maupun daerah, yakni dengan memberikan aturan kuota 30% perempuan dalam Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang posisinya menyerupai “parlemen desa”. Representasi perempuan di dalam pemerintahan desa melalui BPD penting untuk memberikan ruang demokrasi bagi perempuan. Melalui ru -ang ini perempuan dapat mengasah kemampuan berorganisasi, mengeluarkan aspirasi dan mengontrol setiap kebijakan, program, kegiatan dalam penyelengaraan pemerintahan desa agar memiliki perspektif gender. Selain itu, representasi ini dapat menjadi salah satu upaya untuk membentuk kembali ruang-ruang politik dan munculnya kepemimpinan politik perem -puan di level desa (grassroot). Kepemimpinan yang dimaksudkan di sini adalah kemampuan perempuan untuk menggunakan pengaruhnya pada suatu kelompok dalam mencapai tujuan tertentu. Tulisan ini mendeskripsikan peluang, tantangan, dan strategi penguatan kiprah kepemimpinan perempuan di ranah desa, melalui keterwakilannnya dalam keanggotaan BPD, pasca implementasi UU No. 6/2014 tentang Desa.

Kata Kunci: demokrasi desa, representasi perempuan, kepemimpinan perem-puan, Badan Permusyawaratan Desa.

Abstract:

ULaw No. 6/2014 on Villages enhance opportunities for deepening the communitarian de -mocracy process in the village, including in terms of women’s leadership. The principle “of the people, by the people, and for the people” have encouraged the repositioning of women’s public role in the village level by using democratic mechanism, either through elections or consencus. These processes assume that democracy provide a room for participation from all elements within the community, including women. Hence, women’s public role that have been marginalized can be recovered. In the context of building the value of equality in the village, it is inevitable that the representation of women has become one of the major consideration, as it has been accomodated by the Law on Villages. Women’s representation can be pursued by following the example of afirmative policies in the parliament, both at national and local lev -els, by providing rules of 30% women’s quota in the Village Consultative Board (BPD) whose position resembles a “village parliament”. Representation of women in the village government through BPD is important to give a democratic space for women in which women sharpen

WOMEN’S LEADERSHIP IN VILLAGE COMMUNITARIAN

DEMOCRACY PERSPECTIVE: Women Representation in

the Village Consultative Body (BPD)

Any Sundari dan Rusman Nurjaman

(3)

A. PENDAHULUAN

Di dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) Pasal 3, pengaturan desa diatur dalam beberapa asas, yakni (a) rekognisi; (b) subsidiaritas; (c) keberagaman; (d) kebersamaan; (e) kegotongroyongan; (f) kekeluargaan; (g) musyawarah; (h) demokrasi; (i) kemandirian; (j) partisipasi; (k) kesetaraan; (l) pem

-berdayaan; dan (m) keberlanjutan. Proses-proses demokratisasi di desa dengan UU No 6 Tahun 2014 masih harus menempuh upaya panjang un

-tuk mencapai demokrasi yang subs-tansial. Semangat UU Desa yang ingin mengembalikan kewenangan desa un

-tuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan masyarakatnya se-suai dengan prakarsa masyarakat serta pengakuan atas hak asal usul merupa

-kan capaian baik. Mengapa? Karena desa memiliki sejarah panjang dalam cengkeraman bayang-bayang otorite-risme Orde Baru yang dampaknya

masih mengakar hingga hari ini. Pada

masa Orde Baru, desa sama sekali ti

-dak memiliki kaki-kaki kemerdekaan untuk berorganisasi selain organisasi yang disponsori oleh pemerintah. Tak terkecuali kondisi yang dialami oleh

perempuan-perempuan yang hidup di desa.

Orde Baru merupakan sistem pe

-merintahan yang dibangun dengan gaya karakter kepemimpinan militer

-istik. Gaya kepemimpinan di bawah Soeharto mengandaikan satu garis komando. Seluruh organisasi yang

ada di bawah pemerintahannya harus mengikuti gaya aturan terpusat. Di level desa, setelah runtuhnya pemerin

-tahan Soekarno, hampir tidak pernah ditemukan lagi organisasi-organisasi progresif, semuanya adalah organi

-sasi yang disponsori pemerintah. Da

-lam relasinya dengan perempuan, Orde Baru membangun legitimasi pe

-merintahannya terhadap perempuan dengan menjalankan politik seksual. Ia memulai dengan menghancurkan Gerwani, sebuah gerakan perempuan progresif pada masa Soekarno (Wieri-nga, 2010). Gerwani sebuah gerakan perempuan pada masa Soekarno ialah

organisasi yang membangun sebuah

basis gerakan yang sangat kuat di level desa maupun nasional. Satu hal yang membedakan gerakan perempuan lain pada masa itu ialah Gerwani menuntut hak-hak perempuan untuk berpolitik. Sesuatu yang mengancam struktur besar patriarkhi yang diba ngun dalam bayang-bayang kekuasaan politik la

-ki-laki. Pada masa itu, Gerwani

meng-organisir perempuan-perempuan

un-tuk menghapuskan buta huruf di desa, mereka menolak poligami, memper

-juangkan UU Perkawinan yang mem

-berikan perlindungan terhadap perem-puan dalam perkawinan, dan satu

yang dianggap cukup berbahaya

ada-lah karena Gerwani berpolitik, mereka mulai merambah ke parlemen untuk membuat kebijakan-kebijakan yang pro perempuan (Lestariningsih, 2011)

Dengan tipikal progresif dan be

-railiasi dengan Partai Komunis Indo

-organizational skills, canalise aspiration, and incorporate gender perspective into each policy, program, and activity within the village administration. Moreover, this representations can be considered as one of the efforts to reshape the political spaces and to encourage the emer -gence of women’s political leadership at the village level (grassroots). Leadership refers to women’s ability to use their inluence in a group to achieve certain goals. This paper describes the opportunities, challenges, and strategies to strengthen women’s leadership in the village level, through women’s representation in BPD upon the implementation of Law No. 6/2014 on Villages.

(4)

nesia, organisasi perempuan progresif ini akhirnya ditumpas oleh Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto. Orde Baru, dengan menggunakan tangan militer, membangun imajinasi kolek

-tif bahwa perempuan yang mengi

-kuti organisasi Gerwani adalah sosok sundal yang tidak memiliki etika dan melakukan penyiletan kepada jend-ral-jendral yang terbunuh di Lubang Buaya. Imajinasi tentang sosok sun

-dal ini terus-menerus dikonstruksi dengan berbagai cara seperti meng

-gunakan ilm Gestok, kurikulum buku pelajaran dan mengaburkan sejarah. Bagi perem puan yang terlibat Ger

-wani, mereka banyak yang ditangkap, dan mengalami penyiksaan di penjara (Les tariningsih, 2011). Banyak di an

-tara mereka yang kemudian menutup identitas, yang lain harus menjalani wajib lapor hingga harus meminta izin kepada militer kala mereka berpergian keluar kota. Hari-hari para perempuan itu, mereka diawasi oleh Orde Baru.

Dengan menjalankan politik sek

-sual, Orde Baru kemudian melakukan serangkaian normalisasi atas berba-gai kehidupan perempuan termasuk kehidupan perempuan desa. Sebagai ganti wadah organisasi bagi perem

-puan di kota maupun desa, pemerin-tah membentuk Pembinaan Kese

-jahteraan Keluarga (PKK). Organisasi ini merupakan organisasi yang ditun

-juk oleh negara sebagai saluran untuk menghubungkan antara perempuan dan negara. Soeharto dalam pidato pada tahun 1981 mengatakan ;

“Pemerintah mendukung PKK yang diharapkan menjadi anak panah bagi pembangunan masyarakat dari bawah, yang akan dimotori oleh wanita. Saya minta agar berbagai kegiatan yang diprogramkan di tingkat nasional untuk kaum wani-ta dapat disalurkan melalui PKK. Namun, jangan dilupakan, bahwa

program itu akhirnya harus dituju

-kan oleh kaum wanita sendiri di de

-sa-desa atau di kampung-kampung, atau di daerah perkotaan. Jika ter

-lalu banyak organisasi, maka kaum wanita perdesaan itu akan menjadi bingung, dan tidak sesuai dengan

pemikiran dan keinginan mereka

yang masih sederhana”. (Sumber: Pidato Presiden pada Rakernas Peningkatan Peran Wanita-Keluarga Sehat Sejahtera, 2 Maret 1981) Dengan kondisi demikian, perem

-puan tidak memiliki alternatif untuk bergerak di organisasi yang lain ke

-cuali PKK. PKK menggunakan jalur sasaran terakhirnya pada keluarga. Keluarga dianggap sebagai satuan ekonomi, yaitu tempat reproduksi dan konsumsi; sebagai satuan biososial yakni tempat seseorang mendapatkan konstruksi dan makna sosial; terakhir sebagai sarana untuk pembentukan ideologis-keyakinan, agama, kon

-servatisme maupun nilai mulai sejak anak-anak (Suryakusuma, 2011). Se

-hingga pada masa ini, praktis perem

-puan tertarik kembali ke jalur domes

-tik. Program-program PKK dirancang untuk menjauhkan perempuan untuk bergerak dalam ranah politik, memiliki kesadaran untuk menuntut hak-hak -nya sebagai perempuan dan warga

negara serta menghilangkan kesada

-ran kritis perempuan dengan menja

-dikannya semata sebagai agen untuk

mensukseskan pembangunan negara.

Praktis, sepanjang periode domesti

-ikasi yang dialami oleh perempuan pada masa Orde Baru, hampir sangat jarang bisa ditemukan kepemimpinan politik perempuan di dalam kehidupan

negara.

(5)

-ya kepemimpinan perempuan di dalam politik praktis. Berdasarkan data yang diperoleh dari Komisi Pemilihan Umum, Women Research Institute, dan Pus

-kapol UI, di dalam 3 periode Pemilu angka representasi perempuan di De

-wan Perwakilan Rakyat RI tahun 1999-2004 hanya 9%, tahun 1999-2004-2009 sebanyak 11,09%, dan tahun 2009-2014 sebantak 18%. (Adriana, dkk., 2012). Dorongan perempuan untuk terjun memimpin, dengan munculnya kebijakan airmasi 30% perem puan di Parlemen dalam UU Partai Politik No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggo

-ta Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Di dalam UU terse

-but ada aturan khusus tentang kuota 30% bagi perempuan, sebagai se

-buah upaya mendorong keterwakilan dan kepemimpinan perem puan di ja-lur politik formal. Prinsip kuota 30% perempuan di parlemen memiliki misi untuk membentuk praktek politik yang setara dan berkeadilan. Namun, UU ini sayangnya kemudian dianulir oleh putusan Mahkamah Konstitusi dengan Keputusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang membatalkan pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e. Dalam putusan ini di

-anulir pengggunaan nomor urut untuk memilih daftar calon anggota terpilih, sebagai gantinya sistem pemilihan berdasarkan suara terbanyak. Sebagai akibatnya, zipper system yang

diha-rapkan bisa menentukan posisi perem-puan tidak berjalan (Tholib, 2014). Kondisi demikian membuat perem

-puan harus bertarung di medan poli

-tik formal dengan amunisi yang sama dengan laki-laki, sementara konstruksi sosial budaya lebih banyak melemah

-kan perempuan ketika ia berada di panggung politik formal.

Namun dalam konteks mikro, terbit -nya UU Desa membuka babak baru bagi

proses pendalaman demokrasi desa, termasuk peluang kiprah

kepemim-pinan perempuan di aras desa.

De-ngan berpijak pada prinsip demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, arah reposisi peran publik

perempuan di desa memang semakin

terbuka lebar. Mekanisme yang dipakai adalah dengan mempergunakan cara-cara pemilihan umum atau musyawa-rah untuk mufakat. Proses ini

meng-andaikan bahwa demokrasi memberi

ruang-ruang partisipasi bagi seluruh elemen yang ada di masyarakat, ter

-masuk di dalamnya adalah perem

-puan. Dalam proses demokrasi, posisi perempuan yang selama ini terpinggir

-kan dapat diperoleh kembali. Melalui sistem demokrasi, perempuan dapat merebut ruang-ruang politik, akses dan kontrol yang selama ini lebih ba-nyak dipegang oleh laki-laki. (Subekti, 2015). Demikian pula ketika berbicara demokrasi di level desa. Dengan ada-nya UU Desa, proses-proses demokrasi semestinya bisa dirasakan penuh oleh warga. UU Desa memberikan otonomi yang begitu besar kepada desa untuk memaksimalkan potensi sumber daya desa. Sumber daya yang dimaksud di sini bukan hanya soal sumber daya alam tetapi juga potensi sumber daya manusia untuk membangun desa.

Tak bisa dipungkiri bahwa semua

tunas kepemimpinan di negeri ini jus

-tru diperoleh dari desa. Tokoh-tokoh pemimpin bangsa, seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka, ataupun Sjahrir, tidak dilahirkan di kota besar. Mereka hidup di daerah pedesaan yang jauh dari hingar bingar keramaian kota. Desa sesungguhnya menjadi gudang dari stok pemimpin yang berkuali

(6)

soal-soal administratif birokrasi, tetapi para pemimpin di desa juga dikontrol oleh etika publik yang ketat. Dalam arti, kepemimpinan di desa juga me-nyangkut relasi kultural yang dibangun antara pemimpin desa dengan war

-ganya. Dan, UU Desa sesungguh bisa menjadi instrumen kebijakan strategis untuk memastikan mendapatkan calon pemimpin yang berkualitas sehingga menghadirkan demokrasi substansial

di desa.

Demokrasi substansial yang di

-hadirkan melalui UU Desa diharapkan dapat memunculkan makna mendalam seperti penghargaan terhadap perbe

-daan (toleransi), kemanusiaan, peng

-hargaan atas hak asasi manusia, dan tentu kesetaraan (Alfan, 2009). Dalam konteks membangun nilai kesetaraan pada demokrasi di desa, tentunya wa

-jib mempertimbangkan representasi perempuan, dan UU Desa sebenarnya bisa mengakomodir hal tersebut. Re-presentasi perempuan dapat dilakukan dengan mencontoh kebijakan airma

-si di parlemen, baik di level na-sional maupun daerah, yakni dengan mem

-berikan aturan kuota 30% di Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang posisinya menyerupai “par lemen de-sa”. Representasi perempuan di dalam pemerintahan desa melalui BPD se

-benarnya penting untuk memberikan

ruang demokrasi bagi perempuan.

Melalui ruang ini perempuan dapat

mengasah kemampuan

berorganisa-si, mengeluarkan aspirasi dan me-ngontrol kebijakan-kebijakan dana di

desa agar pro pada program-program

perempuan di level desa. Selain itu, representasi ini dapat menjadi salah satu upaya untuk membentuk kemba

-li ruang-ruang po-litik dan munculnya kepemimpinan politik perempuan di level desa (grassroot).

Dalam tulisan ini, penulis secara khusus ingin melihat tentang peluang

diskursus kepemimpinan perempuan

di level desa. Pertama, bagaimana peluang munculnya representasi 30% perempuan di BPD pasca implementasi UU No. 6 Tahun 2014? Secara umum, isi UU Desa memang masih netral gen

-der. Di dalamnya tidak menyebutkan secara khusus tentang representasi perempuan di level kepemimpinan desa, seperti representasi 30% kuota perempuan di BPD. Kedua, bagaimana representasi 30% perempuan di BPD ini dapat menjadi strategi untuk mem

-bentuk aksi kolektif perempuan yang bermanfaat bagi perempuan-perem

-puan desa? Serta apa sajakah tantang-an ytantang-ang muncul ketika strategi 30% perempuan di BPD kiranya dimuncul

-kan di level desa?

B. METODE

Kajian yang disajikan dalam tulisan ini menggunakan metode kualitatif dengan varian studi kasus terhadap peluang representasi perempuan da

-lam keanggotaan Badan Permusya-waratan Desa (BPD). Kajian ini meng-ambil di Kabupaten Minahasa Selatan di Provinsi Sulawesi Utara. Pengum

-pulan data dilakukan melalui studi kepustakaan yang relevan, pemetaan kebijakan, dan wawancara mendalam, serta observasi yang dilakukan dalam rentang waktu antara bulan Septem

-ber-Oktober 2016.

C. PENCARIAN KERANGKA KON-SEPTUAL

Sebagai bagian dari pencarian kerangka konseptual kajian ini, bagian berikut ini akan memaparkan bebera-pa konsep kunci. Beberabebera-pa konsep seperti demokrasi komunitarian, dan domestikasi perempuan (state ibuism), merupakan konsep kunci yang menja

-di kerangka penjelas dalam tulisan ini.

Demokrasi komunitarian

(7)

-rang pendiri Republik Indonesia, Mo

-hammad Hatta, berikut ketika berbica-ra tentang desa. “Di desa-desa sistem yang demokratis masih kuat dan hi dup sehat sebagai bagian adat-istiadat yang hakiki, dasarnya adalah pemilikan tanah yang komunal yaitu setiap orang merasa bahwa ia harus bertindak ber

-dasarkan keputusan bersama, sewaktu menyelenggarakan kegiatan ekonomi” (dalam Sutoro Eko, 2005:64-65 dan 2015:178). Lebih lanjut, menurut Su

-toro, Hatta juga menegaskan bahwa struktur demokrasi yang hidup dalam diri bangsa Indonesia harus berdasar

-kan pada tradisi demokrasi asli yang berlaku di desa. Lalu apakah sesung

-guhnya demokrasi desa itu?

Dari ungkapan Hatta tampak bah

-wa demokrasi desa tentunya berbe -da dengan demokrasi modern yang

diterapkan di era sekarang. Tradisi demokrasi yang selama ini hidup di desa atau demokrasi desa bera

-kar pada demokrasi komunitarian. Menurut Sutoro Eko, demokrasi komu

-nitarian desa tersebut pada prinsipnya bertumpu pada tiga substansi: 1) demokrasi politik dalam bentuk pen

-gambilan keputusan bersama melalui musyawarah; 2) demokrasi sosial da

-lam wujud solidaritas bersama melalui gotong royong, dan; 3) demokrasi ekonomi dalam wujud kepemilikan tanah secara komunal.

Apakah sesungguhnya demokrasi komunitarian itu? Apa yang membeda

-kan demokrasi komunitarian de ngan demokrasi liberal yang kini ba nyak di praktikkan? Mengapa demokrasi komunitarian lebih kompatibel da

-lam menjelaskan berbagai fenomena demokrasi di ranah lokal termasuk di level desa? Beberapa pertanyaan tersebut menjadi penting untuk dikemukakan ketika hendak berbicara tentang demokrasi desa. Hal ini karena demokrasi desa itu sendiri hanya vari

-an dari demokrasi komunitari-an. Demokrasi komunitarian bukanlah demokrasi nasional yang kemudian dijiplak di ranah komunitas. Menurut Sutoro Eko (2005:78), demokrasi ko

-munitarian adalah demokrasi yang ber

-orientasi pada masyarakat dan lokalis

-tik. Demokrasi, dalam hal ini, dipahami sebagai seni atau cara “pergaulan hi-dup” untuk meraih kebahagiaan bersa

-ma. Para penganut demokrasi komu

-nitarian menolak pandangan bahwa demokrasi adalah kebebasan individu. Alih-alih menekankan pada kebebasan individu, demokrasi komunitarian jus

-tru berorientasi pada komunitas atau masyarakat.

Uniknya, demokrasi komunitarian justru berkembang sebagai kritik ter

-hadap model demokrasi liberal yang

berbasis pada kebebasan individu

dan kini banyak diadopsi oleh banyak negara. Di Indonesia, demokrasi di kancah nasional yang dibingkai de-ngan demokrasi liberal tersebut, ditan

-dai dengan beberapa ciri. Pertama, keberadaan parlemen sebagai lemba

-ga perwakilan rakyat yang dibentuk dengan kompetisi aktor-aktor politik, termasuk partai politik, melalui me

-kanisme elektoral (Pemilu). Kedua, presiden dan wakil presiden yang dipilih secara langsung melalui pemi

-lu. Ketiga, demokrasi elektoral untuk membentuk parlemen (legislatif) mau

-pun eksekutif dengan prinsip one

per-son one vote. Keempat, pelembagaan

pembagian kekuasaan maupun

me-kanisme kontrol dan keseimbangan (check and balance) antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kelima, konsti

-tusi memberikan jaminan kebebasan politik bagi warga untuk berbicara, berkumpul, berserikat, berorganisasi maupun memperoleh informasi dari

pers yang bebas.

(8)

indikator penting: kontestasi (kompeti

-si, pertarungan), liberalisa-si, dan parti

-sipasi. Ketiga elemen ini berbasis pada individualisme dan semangat kebe

-basan individu. Secara prosedural ke

-tiga elemen itu kemudian dilembaga

-kan dalam pemilihan dan lembaga perwakilan yang memberi ruang pada setiap individu untuk berkompetisi memperebutkan jabatan-jabatan pu-blik, baik eksekutif maupun legislatif, melalui proses pemilihan. Setiap indi

-vidu bebas berpartisipasi dalam pemi

-lihan umum, atau menggunakan hak suaranya secara bebas, tanpa tekanan, ancaman, dan mobilisasi. Dengan kata lain, prinsip one man one vote sangat dipegang teguh oleh pandangan libe-ral. Oleh karena itu, diperlukan jami

-nan hukum untuk melindungi peng

-gunaan hak-hak politik setiap individu untuk berkompetisi dan berpartisipasi. Namun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ha-nya di negara-negara maju lah model demokrasi liberal mampu menciptakan stabilitas politik yang kokoh. Sedang -kan di negara-negara berkembang

yang masih tergopoh-gopoh belajar berdemokrasi seperti Indonesia, mo-del ini belum mampu menciptakan fondasi yang kokoh bagi institusiona-lisasi dan konsolidasi demokrasi na

-sional. Sebaliknya, demokrasi liberal yang direduksi dalam demokrasi dalam bentuk demokrasi elektoral mengala

-mi krisis legitimasi yang serius, baik dari sisi institusi (parlemen dan par

-tai politik) maupun proses (pemilihan umum). Selain itu, demokrasi elektoral tidak mampu mendorong transformasi politik melainkan hanya menciptakan mobilisasi politik dan terjebak dalam proseduralisme, yang hanya mem

-bentuk lembaga-lembaga formal yang dikuasai oleh segelintir elite (oligarki) minus partisipasi warga.

Oleh karena itulah demokrasi

komunitarian lahir untuk mengko

-reksi demokrasi liberal. Demokrasi liberal dinilai menjadi hegemoni uni

-versal yang menyeragamkan praktik demokrasi di seluruh dunia. Pandangan umum mengatakan bahwa demokrasi adalah kebebasan individu, pemilihan, dan partisipasi. Jarang sekali muncul pandangan bahwa demokrasi adalah metode untuk mencapai kebersamaan secara kolektif. Sementara tradisi ko

-munitarian menaruh perhatian pada masalah ini. Dalam tradisi komuni

-tarian memaknai demokrasi secara partikularistik dan historis, dengan memperhatikan keragaman dan karak

-teristik budaya, struktur sosial, sistem ekonomi dan sejarah setiap negara (Eko, 2005: 80). Penganut tradisi ko

-munitarian meyakini bahwa rakyat selalu dalam ikatan komunal ketim

-bang individualistik. Model demokrasi perwakilan cenderung menyebabkan setiap partisipasi publik terpisah dari persoalan nyata keseharian alih-alih mampu memenuhi kebutuhan dasar publik. Namun demikian, kaum komu

-nitarian juga mengakui adanya oto

-nomi individu seperti halnya kamu libe-ral. Hanya saja, yang ditonjolkan oleh kaum komunitarian bukan kebebasan individu melainkan penghargaan atas otonomi individu serta pemberian ke

-sempatan pada setiap individu untuk memaksimalkan aktualisasi diri dalam ikatan kolektif (Eko, 2005: 81).

Dengan latar belakang teoritik de

-mikian, konsep demokrasi komunitari-an skomunitari-angat relevkomunitari-an diterapkkomunitari-an pada level komunitas yang lebih kecil seperti desa. Hal ini didasarkan pada argumen bahwa demokrasi komunitarian, se

-bagai pilar self-governing community, hendak mendorong partisipasi publik dalam urusan publik, pemerintahan, dan pembangunan di level komuni

-tas. Tidak hanya itu, demokrasi ko

(9)

pengaktifan peran-peran kelompok so

-sial, forum warga, serta jaringan antar kelompok, yang tidak hanya berorien

-tasi untuk membantu pemenuhan ke

-butuhan warga itu sendiri, tetapi juga sebagai wahana penyadaran warga,

civic engagement dan partisipasi da

-lam urusan pemerintahan di tingkat komunitas (desa). Elemen-elemen ko

-munitarian inilah, menurut Sutoro Eko, yang memungkinkan penyelenggaraan pemerintahan (governance) dan pem

-buatan keputusan berbasis komunitas (bukan segelintir elite) secara partisi

-patif serta memungkinkan penggalian potensi dan kreativitas dalam ikatan kolektif.

Soetardjo Kartohadikoesoemo (19-83), mengemukakan bahwa demokra

-si komunitarian desa dibingkai dengan tiga tata yang berbasis pada “kontrak sosial” masyarakat setempat. Pertama, tata krama (fatsoen) dan, kedua, tata susila (etika), sebagai bentuk budaya demokrasi yang mengajarkan toleran

-si, penghormatan terhadap sesama, kesantunan, kebersamaan, dan lain-lain. Ketiga, tata cara atau aturan main sebagai mekanisme untuk mengelola pemerintahan, hukum waris, perkawi-nan, pertanian, pengairan, pembagian tanah, dan lain-lain. Adapun dalam konteks pemerintahan, sejak zaman dulu desa sesungguhnya sudah

mene-rapkan pembagian kekuasaan yang

sejalan dengan konsep Montesqiue tentang Trias Politica: eksekutif yang diperankan oleh pemerintah desa, legis latif dalam bentuk rembug desa, dan yudikatif dalam bentuk dewan

morokaki.

Namun demikian, sebagaimana dikemukakan oleh Yumiko M. Prijono dan Prijono Tjiptoherijanto (Sutoro Eko 2005: 67 dan; Eko, 2015: 181), demokrasi desa pernah mengalami kemunduran. Menurut mereka, go-tong-royong dan musyawarah, dua

kata kunci dalam demokrasi tradisio-nal desa yang dulu pernah hidup, kini makin surut. Kemunduran demokrasi komunitarian desa, menurut mere

-ka, disebabkan oleh perubahan so

-sial-ekonomi dan kepemimpinan kepa

-la desa. Setidaknya terdapat empat bukti kemunduran demokrasi desa di era modern yang mereka catat. Per

-tama, lurah (kepala desa) tidak lagi menggunakan cara demokrasi, tidak lagi menjadi “bapak” bagi rakyatnya; Kades lebih cenderung menjadi admi-nistrator ketimbang menjadi pemim-pin. Kedua, tidak ada lagi pemerataan dan kepemilikan tanah secara komunal di desa karena karena keterbatasan lahan akibat pertumbuhan penduduk yang begitu pesat. Ketiga, berubahnya struktur kekuasaan desa yang dipicu oleh masuknya partai-partai politik ke ranah desa. Keempat, timbulnya pola-risasi masyarakat desa yang disebab

-kan oleh dinamika sosial, politik, dan ekonomi pasca kemerdekaan, konlik land reform, dan meluasnya pemba-ngunan pedesaan, yang menyebabkan berubahnya fungsi ekonomi kepala desa dan keterlibatan masyarakat da

-lam proses politik dan pembangunan

desa.

Menyusutnya praktik demokrasi desa terutama terjadi pada masa Orde Baru. Kuatnya nuansa korporatis da

-lam UU No. 5/1979 tentang Pemerin

-tahan Desa telah secara masif meng

-hilangkan demokrasi desa. Meskipun ada Pilkades namun demokrasi desa pada masa ini bersifat artiisial belaka karena setiap proses elektoral selalu mendapat intervensi dari pemerintah supradesa. Dalam Pilkades, pihak ka

-bupaten hanya akan meloloskan kan

-didat yang telah terbukti loyal kepada pembangunan dan partai penguasa

maupun mereka yang benar-benar

dinyatakan “patuh” kepada pemerin

(10)

-ga musyawarah desa (LMD). Walhasil, dalam praktiknya, lembaga ini hanya menjustiikasi kebijakan dari atas yang dikendalikan kades, serta bekerja tan

-pa berbasis -pada aspirasi lokal dan tantangan nyata yang di desa (Sutoro Eko: 2005, 66-67).

Setelah mengalami kemunduran, kini orang cenderung romantis ketika berbicara tentang demokrasi komuni

-tarian desa. Demokrasi desa merupa

-kan benteng terakhir demokrasi ketika demokrasi nasional telah mati. Orang Minangkabau, misalnya, selalu mem

-banggakan bahwa sejak lama nagari selalu merawat tradisi demokrasi ko

-munitarian melalui musyawarah da

-lam pengambilan keputusan kolektif. Begitu pula dengan keyakinan seba -gian besar orang bahwa mereka masih meyakini adanya sisa-sisa demokrasi

yang masih terpelihara di desa-desa di Jawa. Beberapa indikatornya antara lain: pemilihan langsung kepala desa, tradisi forum-forum RT sampai rembug desa sebagai arena pembuatan kepu

-tusan kolektif yang demokrasi, terja

-ganya solidaritas komunal antar war

-ga dalam bentuk gotong-royong, dan kini telah terbentuk badan permusya-waratan desa yang anggotanya dipilih secara demokratis. Bahkan, khusus terkait keanggotaan BPD, kini UU No. 6/2014 tentang Desa mengharuskan adanya keterwakilan perempuan da

-lam “parlemen desa” tersebut.

Domestikasi kaum perempuan (State ibuism)

Domestikasi perempuan merupakan konsep yang merujuk pada bagaimana konstruksi sosial peran publik perem

-puan dideinisikan sehingga berim

-plikasi pada penjinakan, segregasi, dan depolitisasi kaum perempuan itu sendiri. Konsep ini dikembangkan oleh sosiolog feminis Julia Suryakusuma ke

-tika melakukan investigasi mengenai implikasi pembentukan organisasi-or

-ganisasi korporatis, seperti Pembinaan Kesejahteraan Keluarga dan Dharma Wanita, terhadap kaum perempuan di era Orde Baru. Menurut Julia (2011: 1-9), konsep domestikasi ini berkai

-tan dengan wilayah ekonomi, politik, dan budaya, yang mempengaruhi konstruksi keperempuanan Indonesia, yakni bagaimana perempuan didei

-nisikan perannya di dalam masyarakat. Domestikasi tercermin dalam program pemerintah untuk kaum perempuan pada umumnya, dan secara khusus, di dalam PKK dan Dharma Wanita.

Lebih jauh, menurut Julia Suryaku

-suma, proses domestikasi tidak lepas dari upaya negara dalam mendei

-nisikan suatu ideologi gender yang diorientasikan untuk kepentingannya sendiri. Ideologi gender yang dimak

-sud di sini adalah apa yang disebut oleh Julia sebagai “ibuisme negara” (Suryakusuma, 2011: 10). Ideolo

-gi gender ini menciptakan stereotipe kaku dan sangat membatasi kaum perempuan dengan tujuan untuk me ngontrol dan menciptakan suatu tatanan hirarkis.

Kecenderungan seperti ini sesung

-guhnya dapat kita runut ke belakang. Sepanjang sejarah, demikian Julia, negara lazim memanipulasi secara bergantian paham perempuan sebagai istri atau ibu, atau keduanya, sesu-ai dengan “kebutuhan” negara atau bangsa. Di era Orde Baru, tampak nya pemerintah menemukan cara yang paling baik untuk membendung dan memanipulasi kekuatan kaum perem

-puan—baik secara sosial, politik, dan ekonomi—adalah dengan mendei

(11)

Melalui domestikasi, negara meng-ambil konstruksi keperempuanan dari aspek-aspek yang paling opresif dari ideologi gender. Perempuan disegre-gasikan ke dalam program-program yang khusus untuk perempuan. Melalui Dharma Wanita dan PKK,

ne-ga ra sesungguhnya sedang

mencip-takan organisasi istri yang wajib diiku

-ti, meniru hirarki suami. Hal tersebut, menurut Julia, mencerminkan gagasan bahwa perempuan dideinisikan untuk melayani suami, keluarga, dan nega-ra. Dalam paham “ibuisme”, kaum perempuan harus melayani suami, anak-anak, keluarga, masyarakat, dan

negara.

Evolusi Kelembagaan Badan Per-musyaratan Desa

Kehadiran BPD dalam tata pemerin-tahan desa bukanlah hal baru. Kita dapat merunut embrio keberadaan BPD hingga jauh ke belakang. Sebe

-lum era Ordes Baru, dalam konteks tata kelola pemerintahan, desa-desa zaman dulu sudah memiliki mekanisme pembagian kekuasaan ala Trias Politi

-ca: eksekutif (pemerintah desa), legis

-latif (rembug desa), dan yudikatif (de

-wan morokaki). Rembug desa terdiri dari seluruh kepala keluarga di desa yang secara politik sebagai pemegang kedaulatan rakyat di desa (Sutoro Eko dalam Bahagijo, dkk., 2005: 65). Di era Orde Baru, nama BPD memang belum dikenal, namun di tingkat desa sudah ada lembaga kemasyarakatan desa yang menjalankan fungsi sebagai wa

-dah permusyawaratan/pemufakatan warga desa, yaitu Lembaga Musya-warah Desa (LMD). LMD lahir dari rahim UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang antara lain mengatur tentang keberadaan lemba

-ga tersebut. Pada Pasal 17 (1) UU No. 5/1979 menyebutkan bahwa anggota LMD terdiri dari kepala-kepala dusun, pimpinan lembaga-lembaga

kemasya-rakatan, dan pemuka masyarakat di desa yang bersangkutan. Meski tum

-buh dalam konteks sistem politik yang otoritarian dan situasi masa mengam

-bang era Ordes Baru, LMD inilah yang kemudian dapat disebut sebagai cikal bakal BPD, seperti yang dikenal dalam struktur pemerintahan desa saat ini (Riawan Tjandra dan Ninik Handayani, 2014:1). Fungsi LMD adalah membina kelancaran hubungan yang berkem

-bang dalam masyarakat desa dan menyalurkannya dalam rapat-rapat LMD. Sedangkan komposisi peng urus LMD didominasi oleh elite-elite birokra

-si desa. Hal ini tampak jelas dari po-si-si ketua yang dipegang oleh kepala desa dan sekretaris dijabat sekretaris desa.

Pembentukan BPD (Badan Per

-wakilan Desa) diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut Sutoro Eko (dalam Bahagijo, dkk, 2005: 84), kemun-culan BPD tidak bisa lepas dari arus demokratisasi desa yang berlangsung seiring dengan euforia rakyat me-nyambut gelombang reformasi tahun 1998. Arus demokratisasi desa terjadi dalam 2 (dua) fase. Runtuhnya banyak kepala desa bermasalah karena de

-sakan rakyat di jalanan menandai arus demokratisasi desa paling awal. Arus demokratisasi desa ditandai dengan hadirnya BPD sebagai arena baru bagi

kekuasaan dan demokrasi di ranah

desa. Kelahiran BPD sendiri merupa

-kan bentuk kritik terhadap LMD. Mes

-ki BPD hanya mampu menghadirkan partisipasi masyarakat secara terba

-tas, namun kehadirannya dipandang menjanjikan arena bagi demokrasi perwakilan yang lebih baik ketimbang LMD. Beberapa hal mencolok yang membedakan antara BPD dengan LMD terletak dari keanggotaan dan kedudukan kepala desa. Keanggotaan LMD ditunjuk oleh kepala desa, se

(12)

-kan kepala desa sebagai ketua ex-of

-icio sehingga perannya dominan, kini kepala desa murni menjadi eksekutif sedangkan BPD sebagai legislatif yang terpisah dari kepala desa. Pimpinan BPD (ketua, wakil ketua, dan sekretar

-is BPD) dipilih dari anggota BPD, bu

-kan dari perangkat desa. Berdasar-kan UU No. 22/1999, fungsi BPD adalah mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, dan melakukan penyelenggaraan pemerin

-tah desa.

Pada kenyataannya di lapangan, se

-butan nama BPD bukan nomenklatur yang bersifat baku. Tidak semua desa menggunakan nama BPD, dan bisa menyebutnya dengan nama lain sesuai dengan kesepakatan masyarakat desa/ wilayah yang bersangkutan. Sebagai contoh, di Aceh masyarakat setempat pada umumnya menamai lembaga se

-rupa BPD dengan sebutan Tuha Peuet Gampong, sedangkan khusus di Aceh Tamiang bernama Mejelis Duduk Seti -kar. Namun di desa-desa yang

meru-pakan basis penduduk transmigran, masyarakat setempat tetap memakai nama BPD.

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Desa, kemudian meng-ubah BPD menjadi Badan Permusya-waratan Desa. Berdasarkan UU ini, BPD merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Oleh karena itu, BPD berwenang dan ikut mengatur dan mengurus desa. Fungsi BPD adalah menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, me

-netapkan kepala desa melalui kepala desa, dan melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah Desa. Ketika UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa terbit, terjadi lagi perubahan (kedudukan) dan fungsi BPD. UU Desa

mendeinisikan BPD sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi pemerin

-tahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.

BPD kini tidak lagi mempunyai ke

-wenangan menetapkan peraturan desa bersama kepala desa. Fungsi BPD kini adalah membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama kepala desa. Selain itu, yang membe

-dakan BPD saat ini dengan sebelum

-nya adalah pada fungsi-nya melaku

-kan pengawasan kinerja kepala desa. Menurut Sutoro Eko (2015: 188), hal tersebut berarti pelemahan fungsi hu

-kum (legislasi) BPD digantikan dengan penguatan fungsi politiknya melalui representasi, kontrol, dan deliberasi.

Secara sederhana, Tabel 1 meng -gambarkan bagaimana berkembangan

BPD sejak berlakunya UU No. 5/1979 hingga lahirnya UU No. 6/2014 ten

-tang Desa.

Jumlah anggota BPD mengala -mi perubahan dari masa ke masa.

Di masa lalu, jumlah anggota BPD ditetapkan dengan jumlah ganjil, an

-tara 5 (lima) hingga 11 orang, dengan memperhatikan sejumlah indikator, yaitu: luas wilayah, jumlah penduduk, kemampuan keuangan desa, dan ke-ter wakilan perempuan minimal 30 % dari jumlah anggota BPD. Sementara itu, UU No. 6/2014 mengatur keang

-gotaan BPD tidak jauh berbeda. Hanya saja dalam ketentuan yang terakhir ini, jumlah anggota BPD paling banyak 9 (sembilan) orang, dengan tetap mem

-perhatikan luas wilayah, keterwakilan perempuan, jumlah penduduk, dan

kemampuan keuangan desa.

Posisi Perempuan dalam Evolusi Kelembagaan Desa

(13)

Sebelum Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, desa sudah memiliki eksistensinya di Nusantara. Desa bah

-kan sudah termaktub dalam pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, di mana NKRI memberikan penghormatan atas kebinekaan yang dimiliki oleh desa. Desa-desa pada masa tersebut ada

-lah entitas yang otonom dan memili

-ki hak asal usul. Sehingga NKRI yang baru merdeka pun juga memberi

-kan pengakuan atas desa di luar dari

kerangka sub-sistem pemerintahan

daerah. Namun hubungan baik

an-tara negara dengan desa mengalami pasang surut, masa-masa kelam itu terjadi pada masa Orde Baru. Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1979. Di dalam UU tersebut, pemerintah pu

-sat melakukan penyeragaman organi

-sasi dan kelembagaan desa. Unit desa berada dibawah kecamatan. Usia dari UU ini cukup panjang hingga ia

akhir-Substansi UU No. 5/1979 UU No. 22/1999

UU No. 32/2004 UU No. 6/2014 tentang Desa

Nomenklatur LMD (Lembaga

Musyawarah Desa) BPD (Badan Perwakilan Desa)- Permusyawaratan BPD (Badan Desa) tan, dan pemuka masya rakat

Dipilih dari dan oleh penduduk desa yang memenuhi

per-syaratan

Wakil dari penduduk desa bersangkutan Jabatan Ketua dipegang

kepala desa dan sekretaris dijabat sekretaris desa

Pimpinan BPD (meliputi ketua, wakil ketua, dan sekretaris BPD) dipilih dari anggo -ta BPD dan bukan dari perangkat desa

Pimpinan BPD (meliputi ketua, wakil ketua, dan sekretaris BPD) dipilih dari anggota BPD dan bukan dari perangkat desa

Pimpinan BPD terdiri dari 1 (satu) orang ketua, 1(satu) orang wakil ketua, dan 1 (satu) orang sekretaris. Dipilih dari dan oleh ang-gota BPD dalam rapat BPD yang diadakan secara khusus

Fungsi Membina kelan -caran hubungan

Tiga pilar fungsi BPD: 1) menam -pung dan menya-lurkan aspirasi masyarakat, 3) menetapkan pera -turan desa bersama kepala desa, dan 3) melakukan peng-awasan terhadap kebijakan pemerin -tah desa.

1) Membahas dan menyepakati Ran

-Evolusi Badan Permusyawaratan Desa (BPD)

(14)

nya dihapus pada tahun 1999 karena posisinya bertentangan dengan UUD 1945.1 Pasca reformasi hubungan

pe-merintahan dengan pusat mengalami perubahan dengan munculnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan berubah lagi dengan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam bingkai pemerintahan daerah, desa dianggap sebagai ba

-gian pemerintah daerah. Namun de

-mikian, jangkuan UU 32 Tahun 2004 ini ternyata tidak berhasil memberi

-kan manfaat penuh bagi desa. Karena nyatanya jangkauan keadilan distribusi dan pemerataan pembangunan tidak

pernah sampai pada desa. Desa masih

menjadi obyek dari pembangunan dari keinginan pusat maupun pemerintah

daerah.

Lahirnya UU Desa, sejatinya be

-rusaha merombak kembali tatanan pengaturan tentang desa. Kini desa memiliki kewenangan untuk menga

-tur pemerintahan dan masyarakatnya sendiri, termasuk adat yang ia miliki, yaitu kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal ber

-skala desa, yang diturunkan dari asas rekognisi dan subsidiaritas. Dengan demikian, desa memiliki kontrol penuh atas sumber daya yang dimiliki dan mempergunakan seluruh akses sum

-ber daya tersebut untuk kemakmuran dan kesejahteraan warga desa.

Dalam proses evolusi kelembagaan di desa, perempuan adalah entitas yang tidak pernah bisa dipisahkan di dalamnya. Tahun 1972, dibawah Orde Baru, diperkenalkanlah Pembinaan Kesejahteraan Keluarga bagi

perem-puan di desa-desa.2 Organisasi ini

1. http://desamembangun.or.id/2014/04/ tata-kelola-desa-dalam-uu-desa/ diunduh 15 Oktober 2016

2. Dewi, Kurniawati H. “Demokrasi dan De -konstruksi Ideologi Gender Orde Baru”. Demokrasi Mati Suri. Jurnal Penelitian Poli

-menarik kembali peran-peran publik perempuan dan menjadikan perem -puan bergerak pada ranah

domes-tik (keluarga/rumah tangga). Dalam konteks ini, ada yang disebut Panca Dharma PKK yang mengatur tugas seorang perempuan sebagai istri ada

-lah mengurus suami, mengurus rumah tangga, menjadi pendidik anak, men

-cari nafkah tambahan bagi keluarga dan sebagai warga masyarakat (Wolf, 1992). PKK merupakan sebuah organi-sasi terstruktur dari tingkatan provinsi hingga ke level desa. Dan yang menja

-bat sebagai ketua PKK di setiap wilayah dari pusat, provinsi, kabupaten, keca

-matan hingga desa merupakan istri dari pemimpin di setiap level pemerin-tahan. Misalkan, seorang gubernur, maka istri gubernur adalah ketua tim penggerak PKK. Begitu pula di tingka

-tan kabupaten dibawah bupati, di ke

-camatan dipimpin oleh istri camat, dan tentu di desa ketua tim penggerak PKK adalah istri kepala desa.

Program PKK biasa disebut 10 pro

-gram pokok PKK yakni meliputi: peng

-hayatan dan pengamalan Panca sila; gotong royong, pangan, sandang, perumahan dan tata laksana rumah tangga; pendidikan dan keterampilan; kesehatan; pengembangan kehidupan berkoperasi; kelestarian lingkungan hidup dan perencanaan sehat. Se pu -luh program pokok PKK dikerjakan melalui 4 kelompok kerja. Nama PKK sendiri sempat mengalami perubahan dari tahun 1972. Awalnya bernama Pendidikan Kesejahteraan Keluarga menjadi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga melalui surat kawat No. Sus 3/6/12 kepada seluruh gubernur kepa

-la daerah Tk. I Jawa Tengah dengan tembusan gubernur seluruh Indone

-sia. Pada masa reformasi, namanya pun berubah menjadi Pemberdayaan

(15)

dan Kesejahteraan Keluarga berdasar pada Keputusan Menteri Dalam Nege-ri dan Otonomi Daerah No. 53 Tahun 2000.

Perubahan singkatan nama dari PKK sejatinya tidak pernah mengu

-bah ruh ideologi dari organisasi terse

-but. PKK tetap menjadi organisasi di bawah komando dari pusat sehingga desa tidak bisa serta merta mengu

-bah garis kebijakan PKK. Panca Dhar

-ma PKK yang memposisikan perem

-puan kembali pada ranah domestik, membuat pe rempuan tidak memiliki akses yang luas untuk menjangkau persoalan-persoalan publik, misal

-kan dalam pengambilan keputusan di ranah desa. Kondisi demikian mem

-buat perempuan-pe rempuan PKK di bawah Orde Baru mewariskan sebuah tradisi domestiikasi kepada anak-anak perempuan. Bahwa perempuan yang ideal merupakan perempuan yang dikons truksikan seperti yang ada di dalam Panca Dharma PKK. Perem

-puan harus menjadi pendamping istri dan bergerak pada kodratnya dalam ranah domestik. Akibatnya, peluang perempuan untuk menjadi pemimpin-pemim pin di level desa atau komuni

-tasnya amat terbatas.

Peluang Representasi Perempuan dalam BPD Pasca UU No. 6 Tahun 2014

Kondisi represif semasa 32 tahun Orde Baru berkuasa, membuat posisi perempuan di desa makin terpinggir

-kan. Organisasi-organisasi perempuan di luar dari PKK, dianggap organisasi yang berlawanan dengan pemerintah. Tak jarang organisasi perempuan yang tidak sesuai dengan komando dari pe

-merintah dianggap sebagai organisasi subversif. Di pedesaan PKK dianggap menjadi representasi dari suara perem-puan. Padahal acapkali suara perem

-puan di PKK tidak selalu merepresen

-tasikan kepemimpinan perempuan,

mengingat PKK merupakan wadah dan program yang terstruktur. Di banyak desa yang pernah dikunjungi penulis, kegiatan PKK hanya terbatas pada ari

-san, baik hanya undian arisan maupun arisan simpan pinjam. Selebihnya, PKK hanya menerima sosialisasi dari berba-gai instansi dari pemerintah, seperti penyuluhan kesehatan dari Dinas Ke-se hatan, penyuluhan keKe-sehatan re

-produksi dari BKKBN, maupun instansi lain dari pemerintah. Bahkan, sering pula PKK dijadikan “wahana” promo

-si penjualan barang oleh agen-agen distribusi barang. Adanya UU Desa sebenarnya dapat menjadi peluang untuk mengubah keadaan perempuan di desa. Dalam banyak kasus, mere

-ka yang menjadi bagian dari PKK, baik yang menjadi pengurus dan anggota, sebenarnya memiliki kemampuan dan kapasitas yang mumpuni untuk meng -gerakkan perempuan desa.

Praktik baik dari daerah, yang memiliki organisasi masyarakat si-pil (OMS) aktif, dalam menggerakan kelompok-kelompok perempuan desa untuk keluar dari cara berpikir Orde Baru yang sangat patriarkhi dalam

memandang perempuan sebenar nya

sudah banyak berkembang. Salah satu kasus keberhasilan perempuan beror

-ganisasi di tingkat desa muncul pada kelompok perempuan di Desa Arakan, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara. Desa ini merupakan salah satu basis komunitas dari orga-nisasi perempuan Swara Perempuan di Manado. Swara Perempuan meru-pakan sebuah organisasi masyarakat sipil yang muncul didekade 90an. Pada dekade ini Swara Perempuan banyak melakukan pendampingan bagi pe-rempuan di sekitar Pantai Bunaken. Pendampingan ini dilakukan kepa

(16)

masa itu terancam karena maraknya penggunaan bom untuk mendapatkan ikan. Sebagai akibatnya lingkungan laut seperti terumbu karang menjadi rusak. Kondisi ini mendorong Swara Perempuan untuk menjadikan perem

-puan sebagai entitas penting dalam menjaga kelestarian alam. Mereka menjadi salah satu ujung tombak un

-tuk melakukan penjagaan lingkungan pantai, sosialisasi bahaya bom ikan

hingga menanam bakau guna

mence-gah abrasi di sekitar pantai Bunaken. Berjalannya waktu, proses pen -dampingan bagi perempuan yang

dilakukan oleh Swara Perempuan kemudian tidak hanya sebatas menge-nai isu lingkungan tetapi juga isu kekerasan terhadap perempuan. Ke

-kerasan tehadap perempuan dianggap biasa bagi warga di Desa Arakan. Desa Arakan sendiri adalah sebuah desa nelayan yang mayoritas beragama muslim dan berasal dari suku Bajo. Berdasarkan cerita dari salah satu pen

-damping lapangan Swara Perempuan yakni Bapak Ismail yang juga tinggal di desa Arakan, kekerasan dalam rumah tangga adalah hal yang sangat wajar. Menurutnya, dahulu di Desa Arakan, tidak ada satu pun warga yang berani mencampuri urusan perkelahian suami istri, sekalipun si perempuan sudah babak belur dipukuli. Kekerasan terha-dap perempuan didalam konteks ru

-mah tangga dianggap sebagai urusan privat.

Kondisi perempuan yang rentan terhadap kekerasan di Desa Arakan ini membuat perempuan yang sudah diorganisir Swara Perempuan dalam penanganan lingkungan akhirnya juga belajar untuk menangani kasus KDRT. Mereka diajak untuk mempelajari kem

-bali relasi-relasi gender, jenis-jenis ke

-kerasan, mekanisme penanganan ka

-sus kekerasan dan penyelesaian ka-sus kekerasan rumah tangga dalam

ling-kup komunitas atau di level desa. Pro-ses pembelajaran tentang kekerasan terhadap perempuan meng ajarkan kepada perempuan untuk berorgani

-sasi dan saling bantu untuk menolong

sesama perempuan. Mereka bersama

dengan Pak Ismail selaku pendamping lapangan di Desa Arakan, belajar men

-gorganisir dirinya dengan membentuk posko pengaduan KDRT pada tahun 2015. Proses pendampingan panjang mulai dari isu lingkungan diawal 90-an hingga munculnya posko pengaduan KDRT di level desa pada tahun 2015, pada akhinya berhasil memunculkan

perempuan-perempuan pemimpin di

desa. Mereka banyak dipercaya oleh warga desa untuk menangani perso-alan-persoalan yang ada di desa. Ter

-masuk keberhasilan yang nyata ialah dari jumlah 7 orang di BPD di Desa Arakan, 3 perempuan berhasil menjadi anggota BPD, satu di antara 3 perem

-puan tersebut adalah anggota pos

-ko pengaduan KDRT yang diorganisir oleh para perempuan di Desa Arakan de ngan Swara Perempuan.

Belajar dari kasus keberhasilan

pengorganisasian perempuan di Desa

Arakan, memang tidak dipungkiri bi

-asanya keberhasilan itu diperoleh

karena proses pengorganisasian yang

panjang oleh organisasi masyarakat sipil yang bergerak dalam ranah isu

perempuan. Pengorganisasian ini

membutuhkan waktu yang panjang disebabkan represi dan domestiika

-si terjadi hampir selama tiga dekade di masa Orde Baru. Di kasus-kasus yang lain, keberdayaan perempuan untuk memimpin juga muncul kare

-na mereka memiliki akses sumber daya ekonomi yang cukup, sehingga memiliki daya tawar di level desa da

-lam menggerakan dirinya. Sekarang ini, dengan munculnya UU Desa, se

(17)

BPD, seperti halnya di tingkatan na

-sional, provinsi, maupun kabupaten/ kota. Berdasarkan Pasal 57 dan Pasal 58 UU Desa, anggota BPD merupakan wakil penduduk desa yang ditetapkan melalui musyawarah mufakat dengan mengakomodasi keterwakilan perem

-puan di dalamnya. Konstruksi penga

-turan tentang BPD demikian jelas me -mungkinkan perencanaan desa yang

responsif gender dapat diwujudkan.3

Berdasarkan berbagai studi terung

-kap bahwa persentase perempuan di dalam Musyawarah Perencanaan dan Pengembangan Desa (Musrenbang

-des) nyatanya tidak pernah lebih dari 20%.4 Dengan asumsi tersebut, maka

perempuan harus diberikan kebijakan airmasi, misalkan dengan dorongan munculnya peraturan representasi 30% perempuan aturan peraturan daerah (Perda) maupun nantinya da

-lam peraturan desa (Perdes). Di da

-lamnya, baik Perda dan Perdes, ada kebijakan tertulis yang mengatur re-presentasi perempuan dalam parle

-men desa atau BPD. Sebagai contoh, Pemerintah Daerah Kabupaten Pati menerbitkan Peraturan Daerah ten

-tang Badan Permusyawatan Desa (BPD) yang secara khusus memuat ketentuan mengenai mekanisme pengisian keanggotaan BPD dengan mensyarakan 30% kuota perempuan dalam pengisiannya.5 Dengan adanya

kuota 30% perempuan di BPD, hara

-pannya dapat melakukan fungsi peng-awasan dan dapat menampung aspi

-3. http://www.kalyanamitra.or.id/2014/03/ kesetaraan-gender-dalam-uu-desa-per -lu-diperhatikan/ diunduh 16 Oktober 2016 4. http://pattiro.org/2014/03/kese -taraan-gender-dalam-uu-desa-per -lu-diperhatikan/ diunduh 16 oktober 2016 5. http://pasfmpati.com/radio/index. php/1313-perda-bpd-syaratkan-kuo -ta-perempuan-30 diunduh 11 oktober 2016

rasi kebijakan pro perempuan di desa. Namun, apakah dengan memunculkan aturan representasi 30% perempuan di BPD, akankah kepentingan perem

-puan terakomodasi?

Pengalaman panjang sejak tahun 1998, dorongan airmasi tidak serta merta bisa memberikan manfaat bagi perempuan. Banyak kasus perempuan pemimpin justru terjebak dalam prag

-matisme dan oligarki politik parleman. Di level legislatif, banyak perempuan yang terjebak dalam pusaran kasus korupsi. Ironisnya perempuan adalah pihak pertama yang dikorbankan me

-lindungi kepentingan politik yang lebih besar, yang berpotensi menjerat pe

-main utama dalam kasus megakorup -si.6 Hal ini dapat dilihat dalam kasus

yang melibatkan perempuan pemim-pin di parlemen seperti Angelina Son

-dakh dan Wa Ode Nurhayati. Maka seandainya representasi pun diadopsi dilevel desa, perlu proses yang cukup panjang untuk memastikan proses ini berjalan alamiah dan natural bagi pe-rempuan dan desa. Memberikan lan

-dasan aturan di tingkat Perda ataupun Perdes, itu hal yang wajib dilakukan untuk menjamin keterwakilan. Namun, ada hal-hal lain yang perlu diperhati

-kan dalam proses ini.

Pertama, desa memiliki sejarah panjang terkait bagaimana pro ses-proses kehidupan masyarakat desa berjalan. Sejarah desa wajib menjadi acuan untuk proses masuknya perem

-puan di dalam elemen sistem pemerin

-tahan desa seperti BPD. Maka, dalam proses ini relasi gender di desa perlu dianalisis dari masa ke masa. Sulitnya perempuan masuk dalam arena politik desa disebabkan desa tidak memiliki pengalaman atau sudah lama tidak

(18)

mengikutsertakan perempuan dalam proses perumusan kebijakan desa. Dengan demikian, membutuhkan analisis gender yang mendalam terkait strategi pengarusutamaan gender ber -dasar pada kasus-kasus perempuan di desa.

Kedua, memasukan unsur perem

-puan dalam keanggotaan BPD tidak akan efektif jika hanya berbasis pada aturan semata. Keterwakilan perem

-puan dalam BPD tidak serta merta mendorong aspirasi kebijakan yang pro perempuan dapat tersalurkan. Oleh karena itu, kelompok perempuan harus melakukan pengorganisasian kolektif untuk menggalang kekuatan mempengaruhi kebijakan dan dana yang ada desa. Desa Arakan men

-jadi salah satu contoh keberhasilan pengorgansiasian kolektif untuk men

-dorong munculnya perempuan pe-mimpin di desa. Ditempat lain, sebe

-narnya hal ini juga dapat diduplikasi. Caranya bisa dilakukan dengan mem

-bentuk kelompok-kelompok tandingan PKK ataupun mengakusisi PKK de ngan mendiskusikan hal-hal lain di luar soal-soal PKK. Mengapa demikian? Potensi

kader perempuan pemimpin di desa

sebenarnya sangat melimpah dan me-reka rela bekerja secara sukarela. Na

-mun, acapkali pertemuan perem puan di organisasi tidak berbicara soal-soal kepentingan perempuan. Pembicaraan kepentingan perempuan bisa dilaku

-kan dengan pendampingan oleh para pendamping desa. Dengan syarat, pendamping desa tersebut memahami isu dan kebutuhan-kebutuhan perem

-puan desa untuk menjadi pemim pin. Namun, persoalannya menjadi pelik ketika pendamping desa tidak memi

-liki kapasitas itu. Jika pun organisasi perempuan harus turun, mereka tidak serta merta memiliki energi terus-me

-nerus untuk mendampingi.

Ketiga, untuk membuat nafas

panjang agar muncul kepemimpinan perempuan di BPD, maka kelompok perempuan harus didekati dari perso

-alan riil yang mereka hadapi dengan pengorganisasian berbasis komunitas. Pengorganisasian ini sebaiknya dilaku

-kan oleh orang-orang asli desa. Hal ini terkait dengan keberlanjutan peng-organisasian daam jangka panjang. Organisasi perempuan di luar peme-rintah harus menabung dan mengin

-vestasikan orang-orang potensial yang berasal dari desa, khususnya mereka yang berjenis kelamin perempuan untuk melakukan pengorganisasian. Me reka wajib memastikan bebera

-pa aspek muncul di dalam kelompok yang didampingi; (1) perempuan ha

-rus mampu belajar berbicara di depan

sesama perempuan maupun di depan

umum. Kemampuan berbicara dan mengartikulasikan suara perempuan adalah khas cara perempuan. Berbeda dengan laki-laki, pengalaman perem

-puan adalah pengalaman soal tubuh, cara berpikir dan bertindak yang han

-ya mampu dirasakan oleh perempuan. Sehingga suaranya tidak bisa diwakil

-kan oleh laki-laki; (2) pe rempuan pemimpin bisa muncul ketika mere

-ka menguasai informasi dan potensi pengetahuan pada dirinya, lingkung-an dlingkung-an masyarakatnya. Pe rempulingkung-an memiliki pengalaman menjadi manu

-sia yang dinomorduakan posisinya, maka ia akan tahu betul mana saja hal-hal yang akan merugikan maupun masa depan dirinya, terutama masa depan keluarganya; (3) Jika pengua

-saan pengetahuan di level desa su

-dah diketahui oleh perempuan, maka ia tentu memiliki kemampuan yang meningkat dari berbagai aspek. Pada

proses ini perempuan bisa

mempe-lajari hal-hal teknis untuk melakukan lobby, advokasi, pembacaan ang-garan, hingga melakukan kritik jika dirasa ada yang tidak benar. (4) Jika

(19)

dimiliki perempuan, maka nilai tawar perempuan yang terhimpun secara kolektif akan dilihat oleh desa. Mereka memiliki kekuatan pengetahuan dan jumlah massa. Pada posisi ini, mere ka harus bisa berstrategi mengakses dana yang ada di desa, sekaligus bertarung memperebutkan posisi BPD pada peri

-ode pemilihan. Proses penyiapan pe-rempuan pemimpin bukan hal yang mudah. Pengalaman di desa Arakan, yang didampingi Swara Perempuan di Minahasa Selatan, membutuhkan proses bertahun-tahun hingga berha

-sil memasukan perempuan di BPD de-ngan kapasitas yang mumpuni.

Jika demikian, jawaban atas tan

-tangan yang muncul dalam proses

inisasi kepemimpinan perempuan di

BPD maupun program-program pro perempuan di level desa bukanlah hal yang dapat diraih dalam satu malam. Selain penguatan kapasitas perem

-puan sebagai individu dan kelom

-pok, dibutuhkan kemampuan jejaring dan strategi yang baik untuk meraih simpati warga dan kerjasama dari tokoh-tokoh yang ada di desa. Re

-sistensi dari pemerintah desa, tokoh masyarakat atau pun tokoh agama di

-level desa harus dimini malisir. Strate -gi yang digunakan pe rempuan harus

dirundingkan betul di level kelompok,

agar gerak pengorga nisasian

komuni-tas sejalan, baik secara individu mau

-pun organisasi. Strategi nya tergantung bagaimana konteks dan dinamika kon

-testasi di desa. Dalam banyak kasus, resistensi dari kelompok laki-laki juga kerap muncul karena mereka merasa kepentingan dan kekuasaannya ter

-ganggu. Munculnya perempuan dalam arena publik desa kerapkali juga di

-anggap menjadi ancaman bagi eksis

-tensi laki-laki.

D. PENUTUP

Berdasarkan uraian dari tulisan di atas, UU Desa membuka peluang

bagi perempuan untuk meraih kem

-bali ruang-ruang keterwakilannya di level desa melalui BPD. Keterwakilan perempuan memberikan kesempatan

bagi perempuan yang duduk di

kur-si BPD untuk menyepakati peraturan desa, melakukan pengawasan dan monitoring terhadap program-program pembangunan desa dan pelaksanaan pemerintahan desa sekaligus menja-ring aspirasi dari masyarakat. Namun demikian, perjuangan untuk mewu

-judkan kuota 30% wakil perempuan di BPD tidak akan berjalan dengan baik manakala tidak didukung dengan regu-lasi, semisal melalui peraturan daerah (Perda), yang merinci secara khusus mengatur keterwakilan perempuan di dalam parlemen desa. Sehingga, upa-ya advokasi keterwakilan perempuan sebaiknya dilakukan terlebih dahulu dengan memastikan produk turunan UU Desa dilevel daerah (Perda) agar mendukung representasi perempuan. Sebab, peraturan ini akan menjadi rujukan bagi desa untuk menentukan siapa saja yang berhak duduk di BPD

dan bagaimana mekanisme

pemenu-han kuota 30% wakil perempuan di dalamnya.

Namun demikian, adanya peraturan daerah tentang memberikan repre-sentasi perempuan di BPD tidaklah cukup. Sejarah panjang peminggi

-ran dan domestiikasi perempuan di desa, membuat banyak perempuan didesa cenderung menjauhi kontesta

-si kepemimpinan di level desa. Untuk menghasilkan perempuan pemim pin di desa bukanlah hal yang mudah. Perem-puan desa sejatinya merupakan pe-rempuan-perempuan yang cerdas, na -mun program-program perempuan di

PKK jarang memberikan peluang bagi munculnya pemimpin. Memunculkan

perempuan pemimpin di desa

(20)

cara instant dengan memanfaatkan kebijakan perempuan masuk di par

-lemen justru menjadi blunder. Banyak perempuan justru terjebak dalam poli

-tik yang pragmatis dan oligarkis. Untuk menghindari hal tersebut, proses masuknya perempuan di BPD harus dilakukan secara matang dan baik. Perempuan harus kembali lagi untuk membuat akar kepemimpinan menancap secara individu dan kelom

-pok. Pengalaman khas perempuan harus diceritakan dalam kelompok sebagai sebuah pengetahuan perem

-puan. Dengan perempuan mengeta

-hui akses informasi dan pengetahuan yang bisa menjadi bekal memimpin, ia akan tahu bagaimana bergerak dan bekerja sesuai dengan kepentingan dari perempuan. Gerak mereka teri

-kat, karena berbasis pada kebutuhan bersama seluruh perempuan di desa dan dorongan jumlah masa pemilih yang loyal dan kuat. Namun demikian perempuan juga harus melihat faktor eksternal dengan melihat konstelasi politik dilevel desa untuk mendapatkan legitimasi dari tokoh-tokoh masyarakat

yang berpengaruh dan mendukung

perempuan. Selain itu perempuan perlu meneguhkan kembali posisinya dengan memastikan benar ia juga bisa dipercaya oleh masyarakat agar bisa terjun kembali dalam arena represen

-tasi politik perempuan di desa.

DAFTAR PUSTAKA

Adriana dkk. 2012. Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kiner

-ja Anggota Legislatif Perempuan di Tingkat Lokal. PT. Gading Inti Pri

-ma. Jakarta.

Alfan, M Alian. 2009. Menjadi Pemim-pin Politik : Perbincangan Kepemim-pinan dan Kekuasaan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Dewi, Kurniawati H. “Demokrasi dan Dekonstruksi Ideologi Gender Orde

Baru”. Demokrasi Mati Suri. Jurnal Penelitian Politik Vol 4 No. 1 2007. Lestariningsih, A.D., 2011. Gerwani:

Kisah Tapol Wanita di Kamp Plan

-tungan. PT Gramedia Pustaka Uta

-ma. Jakarta.

N. Riawan Tjandra dan Ninik Han

-dayani. 2014. Badan Permusya-waratan Desa dalam Demokrasi

Desa. Forum Pengembangan dan

Pembaharuan Desa. Yogyakarta. Pambudi, Agus. Perda BPD Syarat

-kan Kuota Perempuan 30%. http://pasfmpati.com/radio/in

-dex.php/1313-perda-bpd-syarat

-kan-kuota-perempuan-30 11 okto

-ber 2016

Soetjipto, Ani. Perempuan dan Korup

-si. http://nasional.kompas.com/ read/2012/10/22/10070590/Per

-empuan.dan.Korupsi 16 oktober 2016.

Subekti, V.S., 2015. Dinamika Konsoli-dasi Demokrasi: Dari Ide Pembaru

-an Sistem Politik hingga ke Praktik Pemerintah Demokrasi. Yayasan

Pustaka Obor Indonesia. Jakarta. Suryakusuma, Julia, 2011. Ibuisme

Negara: Konstruksi Sosial Keperem

-puanan Orde Baru. Komunitas Bam -bu. Depok

Sutoro Eko, “Memperdalam Demokrasi Desa” dalam Sugeng Bahagijo dan Rusdi Tagaroa (Ed.). 2005. Orde Partisipasi: Bunga Rampai Partisi

-pasi dan Politik Anggaran. Jakarta: Perkumpulan Prakarsa.

Sutoro Eko. 2015. Regulasi Baru, Desa Baru: Ide, Misi, dan Semangat UU

Desa. Kementerian Desa, Pem

-bangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Jakarta.

Wieringa, S.E., 2010. Penghancuran

Gerakan Perempuan: Politik Seksu

-al di Indonesia Pascakejatuhan PKI.

(21)

Gender, Household Dynamics, and Rural Industrialization in Java.

Uni-versity of California Press. Califor -nia.

Tholib, Nur Asikin. 2014. HAK POLI

-TIK PEREMPUAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (Uji ma

-teriil pasal 214 UU No. 10 Tahun 2008) Jurnal Cita Hukum, Vol. I No. 2 Desember hal 234. http://journal. uinjkt.ac.id/index.php/citahukum/ article/download/1466/1245. 10 Okt o ber 2016.

__________. Tata Kelola Desa dalam UU Desa. http://desamembangun. or.id/2014/04/tata-kelola-desa-da

-lam-uu-desa/. 15 Oktober 2016.

__________. Kesetaraan Gender dalam UU Desa Perlu Diperhati

-kan. http://www.kalyanamitra. or.id/2014/03/kesetaraan-gen

-der-dalam-uu-desa-perlu-diperhati

-kan/. 16 Oktober 2016.

__________. Kesetaraan Gender da

-lam UU Desa Perlu Diperhatikan. http://pattiro.org/2014/03/kese

-taraan-gender-dalam-uu-desa-per

-lu-diperhatikan/ diunduh 16 okto

-ber 2016

__________. Pidato Presiden pada Rakernas Pening katan Peran Wan

-ita-Keluarga Sehat Sejahtera. 2 Ma

Gambar

Tabel 1.Evolusi Badan Permusyawaratan Desa (BPD)

Referensi

Dokumen terkait

Kutipan tersebut merupakan kesepakatan global tentang makna sebuah tanggung jawab sosial perusahaan, dimana organisasi atau perusahaan bertanggung jawab untuk

Seseorang yang memiliki tingkat kemampuan motorik yang tinggi dapat diartikan bahwa orang tersebut memiliki potensi atau kemampuan untuk melakukan keterampilan gerak yang lebih

terintegrasinya negara2 miskin ke dalam sistem perekonomian dunia/ global, tetapi justru karena terlalu intensifnya negara2 maju terintegrasi ke dalam sistem. ekonomi dunia

Data yang diperoleh pada hari pertama pengamatan pada kondisi intervensi adalah siswa mengalami peningkatan yang signifikan, yakni siswa mampu melakukan delapan

Kenyataan ini dapat menjadi peluang bagi Institusi Pendidikan untuk menyelenggarakan proses pembelajaran dengan memanfaatkan perangkat bergerak sebagai media atau yang

Untuk terjadinya proses penambatan nitrogen dibutuhkan beberapa syarat yaitu : (1) adanya enzim nitrogense; (2) ketersediaan sumber energi dalam bentuk ATP; (3) adanya sumber

Apabila hasil hitungan sama dengan kapasitas area parkir, maka mikrokontroler akan menginstruksikan driver untuk menutup palang pintu masuk.. Dan apabila terjadi perubahan seperti