• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan Galeri Komersil di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pertumbuhan Galeri Komersil di Indonesia"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS MATA KULIAH

SENI DAN PASAR II

SEJARAH GALERI KOMERSIL DI INDONESIA

Oleh:

GANJAR GUMILAR

27014011

(Program Studi Seni Rupa dan Desain)

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

(2)

Sejarah Galeri Komersil di Indonesia

Makalah ini berupaya untuk mengutarakan beberapa esai dan kajian ilmiah yang dalam

elaborasinya menyinggung aspek-aspek galeri komersil yang kemudian dikembangkan

untuk melacak awal permulaan tumbuhnya institusi galeri komersil di Indoensia. Patut

ditekankan bahwa meskipun makalah ini dikembangkan dari judul ‘Sejarah Galeri

Komersil di Indonesia’, makalah ini belum mengadopsi metode sejarah secara

menyeluruh meliputi tahap heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiofrafi (sumber:

http://file.upi.edu/direktori). Makalah ini baru dapat melewati tahap herusitik, yakni

mengumpulkan sumber yang berkaitan dengan topik yang akan dibahas.

Pengantar

Pengamatan dan pemeriksaan feomena sosial yang terjadi dalam praktik seni rupa

merupakan hal yang cenderung masih baru dikembangkan di Indonesia. Yustiono dalam

makalah Pendekatan Estetika dalam Penelitian Seni (2004) menyatakan bahwa pada perkembangannya, kajian seni rupa mulai mengadopsi pendekatan sosiologi dalam

membedah fenomena estetik. Metode sosiologi dianggap mampu membedah

fenonena-fenomena estetik yang tidak dapat dijangkau oleh metode sejarah seni modern yang

menggunakan kritik seni sebagai ‘pisau bedah’ utama dengan karya seni sebagai objek

analisis tunggal. Dalam pendekatan sosisologi seni, interaksi sosial menjadi hal yang

ditinjau secara mendalam. Nilai sebuah karya seni menurut pendekatan tersebut tidak

dapat hanya didasarkan pada nilai intrisik karya itu sendiri, melainkan juga diikuti

atmosfer sosiologis yang melingkupinya. Atmosfer sosiologis dibentuk dari interkasi

sosial sejumlah agen atau aktor dalam sebuah ruang. Dalam pendekatan ini, baik agen

(pelaku seni) dan ruang memiliki signifikansinya masing-masing.

Dalam konteks sosiologi seni, dikenal istilah ‘medan’. Salah satu penulis dan pemikir

seni yang mulai memperkenalkan istilah ini adalah Sanento Yuliman dalam artikel

(3)

(2005) dan disertasi Kusmara (2011). Istilah ini berkesinambungan dengan istilah field

yang diperkenalkan Pierre Bordieu dalam The Cultural Production (1993). Dalam penjelasannya mengenai medan sosial, A. Rikrik Kusmara dalam disertasinya Medium Seni dalam Medan Sosial Seni Rupa Kontemporer Indoensia (2011) membagi unsur pembentuk medan seni rupa ke dalam 4 bagian, antara lain: pelaku, pengetahuan seni,

sistem / aturan, dan infrastruktur. Dalam bagian infrastruktur, Kusmara kembali

memilah bagian ini menjadi: galeri, balai lelang, Jakarta Art District, Art Fair, dan majalah populer atau media. Makalah ini kemudian akan meninjau signifikansi salah

satu infrastruktur dalam medan, yakni galeri komersil.

Lingkup galeri dalam penuturan Kusmara cenderung mencakupi seluruh ruang seni

partikelir, atau ruang seni yang dimiliki swasta. Ia tidak melakukan pemilahan yang

lebih jauh antara galeri / ruang komersil ataupun nirlaba. Ia juga tidak melakukan

pemilahan yang tegas antara ruang seni (artspace) ataupun galeri komersil. Pemilahan ruang seni partikelir tersebut dapat dilihat dalam penelitian Agung Hujatnika dalam

disertasinya yagn berjudul Praktik Kekuratoran dan Relasi Kuasa dalam Medan Seni Rupa Kontemporer Indonesia (2012). Hujatnika membagi ruang seni kedalam 2 bagian besar, yakni negara dan partikelir. Meskipun tidak diutraakan secara eksplisit, Hujatnika

kembali membagi ruang seni partikelir kedalam beberapa bagian, yakni galeri yang

berkaitan dengan sistem komodifikasi dan ruang alternatif terutama ruang gagas

seniman (artist initiative space) yang memiliki kekhasan masing-masing dalam karakter pengelolaannya. Pemilahan ini menjadi penting untuk dipahami karena terminologi

galeri komersil biasanya akan berkaitan dan cenderung mengutamakan aspek laba

dalam sisi manajerialnya. Pada praktiknya yang paling mutakhir, kedua karakter ini

(komersial dan nirlaba) menjadi tumpang tindih tanpa kriteria pemilah yang jelas. Hal

ini akan dijelaskan pada pemaparan akhir.

Kembali pada konteks galeri komersil, telah dilakukan penelitian-penelitian ilmiah yang

menjadikan fenomena ‘galeri’ sebagai objek penelitian. Dengan secara ketat menjadikan

(4)

dirumuskan oleh Armyn Fadjar Umar dalam penelitiannya di tingkat skripsi yang

berjudul Galeri Seni Rupa Komersial di Jakarta (1987), Bramantijo (1999) yang berjudul Galeri dalam Medan Seni Lukis Modern Jogjakarta, disertasi T. Cahyani (2006): Pengaruh Pelaksanaan Strategi Promosi dan Harga terhadap Citra Galeri Seni serta Implikasinya pada Hasil Penjualan Lukisan (Suatu Survei pada Galeri Seni di Pulai Jawa dan Bali), penelitian ilmiah di tingkat tesis R. G. Cempaka (2005) dengan judul Telaah Pengoleksian dan Penginvestasian Lukisan dalam Kaitannya dengan Motivasi dan Orientasi, serta Peran Kolektor dalam Medan Sosial Seni di Indonesia, dan disertasi Harwanto pada tahun 2007 yang berjudul Karya Seni Rupa di Galeri-galeri seni sebagai Gaya Hidup Masyarakat Perkotaan Jakarta. Selain dalam penelitian ilmiah, telaah mengenai galeri juga dicantumkan dalam beberapa jenis media massa,

buku, dan media pelengkap pameran, antara lain: tulisan Agus Dermawan T. dalam

pameran The Jakarta International Fine Arts Exhibition 1994 yang berjudul Galeri di Indonesia: Antara Bisnis dan Apresiasi, dan tulisan B. Bujono dalam katalog Biennale Seni Rupa Jakarta IX - 1993 yang berjudul Galeri, Pendukung, Penyebar, juga Pasar.

Dalam beberapa tinjauan yang dituliskan, mayoritas penelitian dan tulisan melihat

posisi galeri seni berkaitan dengan aspek komodifikasi dan gaya hidup.

Selain pada tinjauan-tinjauan yang telah disebutkan, telaah yang juga menyertakan

pembahasan pada galeri komersil dan aspek komodifikasi adalah beberapa penelitian

yang mencantumkan terminologi ‘medan seni kontemporer’ atau ‘medan sosial seni’.,

seperti disertasi Agung Hujatnika (judul telah disebutkan) dan disertasi A. Rikrik

Kusmara (judul telah disebutkan). Hal ini mengindikasikan bahwa pembahasan

fenomena yang berkaitan dengan medan seni rupa akan memperlihatkan kaitan dengan

praktik komersialisasi seni.

Kemunculan galeri komersil di Indonesia

Untuk membentuk paparan deskriptif mengenai kemunculan galeri-galeri seni

(5)

(2011), disertasi Hujatnika (2012), disertasi Djatiprambudi (2009), dan skripsi Umar

(1987).

Sebelum menjelaskan kemunculan galeri koemrsial di Indonesia, makalah ini akan

mengelaborasi terlebih dahulu pemahaman mengenai istilah ‘benda seni’. Merujuk pada

penelitian Umar, teminologi ‘benda seni’ yang Ia gunakan merujuk tidak hanya pada

lukisan yang dikerjakan seniman, melainkan juga mencakupi benda-benda kerajinan

tradisional yang diperuntukkan sebagai souvenir dalam konteks turisme. Gerai lukisan

dengan label artshop biasanya lebih fokus pada peruntukkan tersebut. Beberapa model rintisan galeri komersial di Indonesia, seperti Galeri Hadiprana, Galeri Mon Decor, dan

Galeri Bintara, pada mulanya juga memajang karya-karya seni tradisional dan karya

kerajinan. Galeri Mon Decor bahkan juga menjadikan reproduksi fotografis karya seni

sebagai komoditi dagangnya. Pada perkembangannya, komoditi dagang yang dijual oleh

gerai-gerai ini semakin spesifik ke arah karya seni. Model dagang seperti ini yang

kemudian lebih dikenal dalam konteks ‘galeri komersil’,

Gambar 1: Galeri Hadiprana (tampak depan) Sumber: Umar (1987)

Dalam catatan Dermawan T (2005, dalam Hujatnika 2012) dan Umar (1987), salah satu

(6)

Galleries yang berdiri pada dekade 1950-an. Galeri ini kemudian berganti nama menjadi

Galeri Prasta Pandawa pada tahun 1962. Hujatnika menyebutkan bahwa tata kelola

galeri ini berbeda dengan model artshop atau gerai lukisan yang diperuntukkan oleh turis. Dalam skripsi Umar (1987), komoditas yang dijual dalam tata kelola Galeri

Hadiprana adalah “[…] hasil seni dan kerajinan tradisional serta karya seni individual“

(Umar, 1987). Karya individual yang dimaksud Umar dapat dipahami sebagai karya

seni pada umumnya (dengan authorship yang jelas pada satu seniman) , bukan kerajinan tradisional yang umumnya dijual di artshop. Lebih jauh dalam paparannya, Darmawan

menyatakan bahwa program yang dijalankan dalam galeri ini disebutkan sudah mulai

memperlihatkan metode pemilihan karya seni dan seniman yang lebih ketat. Pembacaan

ini berkesinambungan dengan analisis Umar yang menyatakan bahwa salah satu visi

yang dipegang oleh galeri ini adalah “[…] untuk mendorong bakat seniman-seniman baru yang memenuhi kualifikasinya“ (ibid). Selain galeri Hadiprana, galeri seni komersial yang juga berdiri pada dekade 1950an adalah Galeri Merdeka (1958).

Gambar 2: Jenis Komoditi pada Galeri Hadiprana Sumber: Umar (1987)

Beranjak pada dekade 1960an, kembali muncul beberapa galeri komersial di beberapa

kota besar di Indoensia. Galeri tersebut antara lain: di Jakarta berdiri Galeri Banowati,

Galeri Indoensia, Galeri Toni, dan Galeri Oets; di Surabaya Galeri Pik Gan, dan di Bali

(7)

Gallery adalah galeri seni dengan komoditi dagang ‘karya seni individual’, atau model

galeri komersil yang lebih dikenal saat ini.

Gambar 3: Galeri Mon Decor Sumber: Umar (1987)

Gambar 4: Galeri Mon Decor Sumber: Umar (1987)

Kemunculan galeri komersil pada dekade 1950 dan 1960an dapat dinyatakan cenderung

belum banyak dan intensif. Melalui data yang diperoleh, hanya 8 galeri yang berdiri

selama dua dekade ini. Makalah ini berasumsi bahwa minimnya intensitas tersebut

berkaitan dengan dinamika sosial dan politik nasional yang terjadi pada saat tersebut.

(8)

periode pasca kemerdekaan hingga tahun 1965 adalah patronase negara yang dominan

pada peneyelenggaraan kebudayaan. Hujatnika (2012) menelisik bahwa hal ini

kemudian berubah pada periode Orde Baru, yakni bahwa patronase seni bergeser “[…]

dari negara menjadi partikelir”. Pergeseran ini kemudian disebutkan memberikan dampak pada kondisi medan seni rupa saat itu. Mulai didorongnya sektor swasta pada

pemerintahan Orde Baru pada gilirannya juga berpengaruh pada kemunculan

galeri-galeri komersil di Indoensia pada dekade-dekade selanjutnya.

Makalah ini belum menemukan adanya sumber yang menyatakan kemunculan galeri

komersil yang terjadi di dekade 1970-an.

Salah satu momentum yang mendorong perkembangan galeri komersil pada dekade

1980-an adalah fenomena boom seni rupa. Dalam kondisi seperti ini, iklim investasi

pada sektor seni rupa menjadi lebih menjanjikan (Yuliman dalam Hasan, 2001). Hal ini

pun diasumsikan berpengaruh pada kemunculan galeri-galeri komersil di Indonesia.

Dalam situasi boom 1987, Supangkat (1999, dalam Hujatnika, 2012) menyatakan

bahwa intensitas pertumbuhan galeri komersil pade periode 1980 - 1990an menjadi

sangat intensif. Ia meninjau bahwa ratusan galeri muncul pada periode ini. Hujatnika

menyatakan bahwa dari asumsi ratusan galeri tersebut, hanya beberapa galeri yang

mampu bertahan hingga saat ini. Dalam catatan Dermawan (2005), banyaknya

galeri-galeri komersial yang tidak mampu bertahan tersebut disebabkan oleh profesionalisme

yang kurang dari para pengelola serta minimnya komitmen untuk menjadikan seni rupa

sebagai bisnis dan investasi jangka panjang. Makalah ini hanya menemukan 3 galeri

yang muncul pada dekade 1980an dapat bertahan hingga saat ini, antara lain: Rumah

Seni Cemeti, Galeri Mon Decor, dan Edwin’s Gallery.

Pernyataan Supangkat mengenai kemunculan ratusan galeri pada dekade 1980-1990an

berbeda dengan pernyataan Umar (1987). Dalam skripsinya Umar menyatakan bahwa

(9)

1987). Dari 20 galeri tersebut Umar menjaidkan 8 galeri sebagai objek penelitiannya,

antara lain: Bintara Art Gallery, Harris Art Gallery, Galeri Hadiprana, Galeri Mon

Décor, Florence Gallery, Frame Up Gallery, Duta Fine Arts Gallery, dan Oet’s Gallery.

Umar tidak mencantumkan keterangan tahun pendirian galeri-galeri ini. Makalah ini

tidak beramaksud untuk mempertanyakan ketepatan pernyataan Supangkat, hanya saja

dalam catatam yang ditemukan, intensitas ratusan galeri tersebut masih perlu dikaji

lebih dalam.

Sumber lain yang ditempatkan sebagai pijakan dalam makalah ini adalah disertasi

Kusmara (2011). Pada disertasinya, Kusmara melakukan pendataan mengenai

galeri-galeri seni yang masih aktif berkegiatan pada dekade 2000an (dalam rentang tahun

penelitian 2000-2010). Pada data yang tercantum, tercatat hanya satu galeri yang berdiri

pada dekade 60an yang mampu bertahan hingga saat ini, yakni galeri Tonyraka;

sejumlah 3 galeri pada dekade 80an, yakni: Rumah Seni Cemeti, Galeri Mon Decor, dan

Edwin’s Gallery; dan sejumlah 8 galeri pada dekade 1990-an, antara lain: Andi’s

Gallery, Cemara 6 Gallery, Rudana Fine Art Gallery, Galeri Padi, Darga Gallery, CG

Artspace, Selasar Sunaryo Artspace, dan Zola Zolu Gallery.

Meningkatnya pertumbuhan galeri komersil pada dekade 2000-an diasumsikan juga

dipengaruhi oleh fenomena boom seni rupa 2006 yang juga berkaitan dengan dinamika

sosial dan politik nasional. Pada periode ini, terjadi perubahan situasi politik yang

cukup drastis yang ditandakan dengan berakhirnya Orde Baru pada tahun 1998. Setelah

Orde Baru berakhir, iklim politik di Indonesia menjadi lebih stabil meskipun kondisi

ekonomi sempat sangat melemah pada tahun-tahun awal perubahan pergeseran

kekuasaan. Selain kondisi sosial, politik, dan ekonomi nasional, dalam catatan

Supangkat (1999), tren pengoleksian karya seni rupa dalam lingkup internasional juga

menjadi faktor lain yang juga mempengaruhi fenomena boom seni rupa. Semakin

tingginya iklim investasi pada sektor seni rupa juga diasumsikan semakin mendorong

(10)

Bagan 1: Grafik intensitas kemunculan Galeri per dekade Sumber: Penulis

Kembali merujuk pada catatan Kusmara, sejumlah 37 galeri muncul pada dekade

2000an. Galeri tersebut antara lain: Nadi Gallery, Linda Gallery, dGallerie, Galeri

Canna, Puri Art Gallery, Semarang Gallery, Koong Gallery, Vanessa Art Link, Galeri

Langgeng, Emmitan Contemporary Art, Aryaseni Art Gallery, CP Artspace, Biasa Art

Space, Philo Art Space, Elcanna Gallery, ARTsphere Gallery, Jogja Galleri, Sangkring

Art Sapce, Srisasanti Arthouse, Umahseni, ARK Gallerie, SIGIarts, Tembi

Contemporary, D’Peak Art Gallery, Vivi Yip Art Room, Hanna Artspae, Kendra Gallery,

RURU (Ruang Rupa) Gallery, Galeri 678, Roemah Roepa, Galeri Salihara, Galeri Apik,

Syang Art Space, North Art Space, Lawangwangi Art & Science Center, Platform 3,

Fang Gallery, dan Green Artspace.

(11)

Penutup

Makalah ini mencatat beberapa hal yang patut digarisbawah dalam menelisik sejarah

perkembangan galeri komersil di Indonesia, beberapa hal tersebut antara lain:

• Dengan menimbang jenis komoditi yang dijual, pada awal kemunculannya sistem

supply komoditi galeri komersil di Indonesia bertumpang tindih dengan model

artshop, dan lambat laun berkembang menjadi lebih spesifik terbatas hanya pada karya seni.

• Pertumbuhan galeri komersil dipengaruhi oleh kondisi pasar seni rupa, fenomena

boom akan diikuti dengan kemunculan galeri-galeri komersil baru.

(12)

Daftar Pustaka

Pustaka Ilmiah

Djatiprambudi, Djuli (2009): Komodifikasi Seni Rupa Kontemporer Indonesia: Basis Sosial-Historis, Struktur dan Implikasinya, disertasi Program Studi Doktor Ilmu Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung

Hujatnika, Agung (2012): Praktik Kekuratoran dan Relasi Kuasa dalam Medan Seni Rupa Kontemporer Indonesia, disertasi Program Studi Doktor Ilmu Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung

Kusmara, Andryanto Rikrik (2011): Medium Seni dalam Medan Sosial Seni Rupa Kontemporer Indonesia, disertasi Program Studi Doktor Ilmu Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung

Umar, Armyn Fadjar (1987): Galeri Seni Rupa Komersial di Jakarta, skripsi Program Studi Seni Rupa dan Desain, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung

Pustaka

Gambar

Gambar 1: Galeri Hadiprana (tampak depan) Sumber: Umar (1987)
Gambar 2: Jenis Komoditi pada Galeri Hadiprana Sumber: Umar (1987)
Gambar 4: Galeri Mon Decor Sumber: Umar (1987)

Referensi

Dokumen terkait

Peran mereka selain menepis stigma komunis yang melekat pada Dp dan mengangkat reputasinya, mereka juga mengemas Dp sebagai seniman kerakyatan dalam dunia seni rupa ketika

Untuk mengetahui peran tersebut, penulis terlebih dahulu melakukan observasi dimana penulis mendapatkan data bahwa Advokat di Pemko Medan tergabung dalam 8 Organisasi,

pertumbuhan Ekonomi Bisnis Mikro Islam jika dilihat dari peran UMKM pada LKMS dalam memajukan pertumbuhan ekonomi di Indonesia sangat memiliki peran yang aktif, dimana

Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perilaku konsumen Indonesia dalam konteks pengaruh motivasi hedonik terhadap pembelian impulsif pada

hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh Harga terhadap Kepuasan Pelanggan pengguna jasa kereta api sribilah kelas exsekutif Medan.. karakteristik dasar dalam orientasi

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis tentang peran pertumbuhan ekonomi dalam menurunkan kemiskinan di tingkat provinsi di Indonesia tahun 2004–2012, maka diperoleh

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis tentang peran pertumbuhan ekonomi dalam menurunkan kemiskinan di tingkat provinsi di Indonesia tahun 2004–2012, maka diperoleh

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis tentang peran pertumbuhan ekonomi dalam menurunkan kemiskinan di tingkat provinsi di Indonesia tahun 2004–2012, maka diperoleh