• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jakarta, September 2013, Tubagus Andre Sukmana Kepala Galeri Nasional Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jakarta, September 2013, Tubagus Andre Sukmana Kepala Galeri Nasional Indonesia"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

Tahun ini akan menandai sebuah hubungan kerjasama yang panjang, antara Galeri Nasional Indonesia dengan OK. Video. Sejak penyelenggaraan OK. Video—Jakarta International Video Festival yang pertama pada 2003 hingga penyelenggaraan untuk keenam kali ini, Galeri Nasional Indonesia menjadi tempat penyelenggaraan utama. Sebuah kerjasama yang patut disyukuri melihat berkembangnya seni video di Indonesia, terutama di Jakarta dewasa ini.

Sebagai penyelenggara kegiatan ini, ruangrupa—juga divisi Pengembangan Seni Videonya, tentu telah menjaga komitmen dan konsistensinya dalam mendukung perkembangan seni rupa kontemporer, khususnya dalam konteks budaya urban, dengan memunculkan dan mewadahi karya-karya multimedia. Hal ini sejalan dengan visi Galeri Nasional Indonesia yang berupaya menyajikan karya-karya seni rupa yang berorientasi ke depan, kreatif, dinamis, dan inovatif. Kami menganggap karya seni dan seniman yang terlibat dan dilibatkan dalam kegiatan dua tahunan ini cukup representatif di bidangnya.

Sepuluh tahun telah berlalu dari tahun 2003, kini perkembangan teknologi informasi dan media telah memunculkan dan mendorong lebih jauh para pencipta yang menekuni bidang media baru, diantaranya merekan yang memanfaatkan perangkat komputer, televisi, juga video. Fenomena ini kemudian menumbuhkan beberapa komunitas yang mewadahi minat yang sama dalam mengeksplorasi karya-karya media baru, dan ruangrupa adalah salah satu yang konsisten bergerak dalam ranah ini. Komunitas ini juga intens melakukan kerja kreatif dan inovatif dengan mengandalkan kerja jaringan antar-seniman muda dan komunitas, baik di dalam maupun di luar Indonesia.

Oleh karena itu, secara personal maupun institusional, Galeri Nasional Indonesia sebagai lembaga pemerintah tentunya menyambut baik atas terlaksananya OK. Video kali ini yang mengangkat tema “MUSLIHAT”. Terlebih di dalam festival ini, selain karya seniman Indonesia juga ditampilkan karya-karya dari seniman luar negeri. Hal ini tentu memiliki dampak yang luas, baik bagi apresiasi seni itu sendiri, maupun bagi terjalinnya kolaborasi dan kerjasama lintas-negara dalam memperkenalkan dan mengaktualisasikan perkembangan seni multimedia di masyarakat. Semoga kegiatan ini tetap berjalan dan memberi kontribusi bagi perkembangan seni rupa di Indonesia. Selamat!

Jakarta, September 2013,

Tubagus ‘Andre’ Sukmana Kepala Galeri Nasional Indonesia

(5)

This year, we signify a long collaboration between the National Gallery of Indonesia and OK. Video. The National Gallery of Indonesia has been the main place where OK. Video held their first to sixth Jakarta International Video Festivals (since 2003 until now). Looking at the video art growth in Indonesia, especially Jakarta, this collaboration can be regarded as something worth to be appreciated.

As the organizer of this event, which raised and accommodated multimedia works, ruangrupa – and also its division of Video Art Development, has shown its commitment and consistency in supporting contemporary fine art, particularly in the context of urban culture. This is in accordance with the National Gallery of Indonesia vision which attempts to present progressive, creative, dynamic, and innovative fine arts. We consider the artworks and the artists involved in this two-year event represent their field.

For the past ten years, information technology and media development has raised and encouraged creators who explored new branch of media by using computer, television, and video devices. This phenomenon bred several communities which accommodated those who were interested to explore works of new media. ruangrupa is one of the communities which concerns on those kind of works. This community also intensely manages creative and innovative works by counting on community and young artist network in and outside Indonesia.

Therefore, personally and institutionally The National Gallery of Indonesia as a governmental institution certainly welcome the realization of this OK. Video event which picks “MUSLIHAT” (Deception) as its theme. Moreover, the works exhibited in this event are not only the works of Indonesian artists, but also world artists. This will bring vast impact on the art appreciation itself and on the cross-country collaboration and cooperation in introducing and actualizing multimedia art development to society. May this event keep being continued and bring contribution to the development of art in Indonesia. Congratulations!

Jakarta, September 2013 Tubagus ‘Andre’ Sukmana

(6)

Menyelenggarakan festival dua tahunan dengan fokus pada bentuk seni yang menggunakan perangkat teknologi video dan gambar bergerak (elektronik) di ‘negara konsumen’—yang pengalaman perkembangan sejarah seni dan teknologinya berjalan terpisah, akan menjadi catatan tersendiri bagaimana festival ini kemudian memposisikan dirinya di tengah masyarakat dan juga kancah seni rupa internasional.

Festival OK. Video kini telah masuk tahun keenam. Selama rentang sepuluh tahun perhelatan seni video dan gambar bergerak ini secara konsisten menjadi ruang pertemuan dan pertukaran gagasan antara seniman, kurator, kritikus, peneliti, pelajar atau bahkan masyarakat umum dari berbagai latar belakang pendidikan. Festival ini juga berusaha mengukur sejauh mana capaian artistik, isu-isu sosial yang diangkat, hingga perkembangan moda produksi dan sensibilitas seniman dalam mempertanyakan, mengkritik, dan merespon pengaruh dari kemajuan media dan teknologi di masyarakat.

Sejak penyelenggaraan di tahun 2003, festival OK. Video telah mengemukakan bahwa seni dan teknologi tidak terpisah, dan kehadiran keduanya memiliki dampak bagi peradaban. Dan sebaliknya, bahwa situasi (persoalan) di masyarakat juga mempengaruhi bagaimana seni dan teknologi bersikap dan berkembang. Hubungan saling ketergantungan itulah yang mendorong festival OK. Video selalu hadir setiap dua tahun dengan tema-tema spesifik. Tema-tema kontekstual yang mampu merefleksikan sejauh mana kehadiran dan penggunaan media dan teknologi–dalam hal ini video dan gambar bergerak–dan juga praktik-praktik sosial yang menyertainya di tengah arus perubahan masyarakat global.

Perubahan geoekonomi dan geopolitik global, serta kemajuan pesat media dan teknologi dalam lima tahun terakhir, telah merubah cara pandang kita sebagai warga konsumen terhadap diri kita sendiri, lingkungan sekitar, dan kenyataan sehari-hari. Situasi tersebut menantang festival OK. Video untuk menentukan tema yang relevan, yang tidak hanya berdampak bagi masyarakat Indonesia, tetapi juga sebagai upaya membaca gejala global; menemukan moda-moda distribusi baru dalam mempersembahkan sebuah festival kepada publik yang kehidupannya semakin teknologis; dan membuka lebar ranah artistik bagi perkembangan karya-karya video dan gambar bergerak lintas media.

Bagaimana kita membaca perilaku warga yang menyulap ‘tutup panci’ menjadi antena televisi atau penangkap gelombang Wi-Fi? Bagaimana kita memaknai ‘produksi massal’ speaker active portable yang digendong oleh para pengamen karaoke yang ada di kereta ekonomi serta pengamen dari rumah ke rumah? Atau ketika kita menonton televisi portable ‘rakitan’ di angkot? Dan masih banyak lagi gejala muslihat warga konsumen terhadap teknologi, yang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.

Di Indonesia sendiri, praktik dan perilaku ini berkembang secara organik dan terus-menerus. Gejala itu menggelitik kita sebagai warga konsumen, untuk melihat kembali fungsi teknologi, memaknainya, atau bahkan dijadikan inspirasi.

Pada gejala di atas, teknologi di tangan warga konsumen tidak berhenti pada sifatnya yang konsumtif, tetapi telah bergeser pada ‘alat produksi’. Persebaran pengetahuan ‘mengakali teknologi’ yang semakin massive melalui media internet dewasa ini, seperti misalnya video tutorial pada kanal youtube, juga berkontribusi mendorong pertumbuhan prilaku dan praktik ‘mengakali teknologi’ di warga konsumen yang bahkan melintas batas geografis.

OK. Video memaknai muslihat warga konsumen –termasuk di dalamnya seniman, sebagai sebuah ‘inovasi’ – atau bahkan temuan– warga konsumen yang ingin memuaskan hasratnya mengakses dan mengembangkan teknologi dengan berbagai macam motif, seperti; mengatasi keterbatasan, mengganti (substitusi), menambah dan atau mengubah fungsi atau nilai guna benda, menambah usia penggunaan, main-main, atau bahkan estetika. Walau pada akhirnya, prilaku dan praktik memuslihati teknologi dapat dibaca sebagai tindakan menentang ataupun menantang sistem, baik sistem sosial-budaya, ekonomi, politik, bahkan sistem dari teknologi itu sendiri.

SUDAH WAKTUNYA MENGGUNAKAN

HAK JAWAB KITA

(7)

TIME TO USE OUR RIGHTS TO REPLY

Holding biennial festival focusing on the art from based on video technology and moving image (electrical devices) in this 'consumer state', which experiencing the development of art and technology separately, becomes our own notes, how this festival will positioning itself in community as well as in the international art scene.

OK. Video Festival has now entered its sixth year. During a decade, this festival consistently becomes a meeting point and a space to exchange ideas between artists, curators, critics, researchers, students, even common people from various educational background. This festival tries to see how far the artistic achievement, social issues that are discussed, up to the development of the mode of production and the artist's sensibility to ask, criticize, and respond the influence of the development of technology and media in society.

Since the first festival in 2003, OK. Video had stated that art and technology are inseparable and gives impacts for our civilization. On the other way, the situation and condition in the society also gives influence on how of art and technology behave and develop. This mutual relationship encourages OK. Video always present every two years with specific themes: contextual theme that can reflecting how far the existence and usage of media and technology (in this sense are video and moving image) and its social practices in the midst of the current global changes.

The changing of global geoeconomics and geopolitics and the rapid development of the media and technology in these five years have been changing our way as a consumer to see ourselves, our environment, and our daily life. This situation challenges OK. Video to find relevant theme, which is not only giving impact to Indonesian society, but also as an effort to read global phenomenon; finding new methods of distribution to create a festival for more sophisticated-society; and wide open for artistic development of video arts and moving images various media.

How do we define the behaviour of people who make 'pot lid' into a television antenna or Wi-Fi receiver? How do we interpret 'mass-production' of speaker active portable used by karaoke singers in the train and street-musician from door to door? And what does it feel when we watch assembled-portable-television in public transportation? There are so many things that can be seen as consumer deception against technology, which is not only happening in Indonesia, but also in around the world.

This practice and behaviour are naturally and continually develop in Indonesia. This phenomenon encourages us as the consumer to look back at the technology function, to interpret it, or even to use it as inspiration. Technology in the hands of consumers is not merely stop in its consumptive nature, but also shift to ‘production tool’. Dissemination the knowledge of “outsmarting technologies, which is more massive through internet today – as for example, tutorial video in Youtube – also contributes on the development of practice and behavior of “outsmarting technologies” in society, even crossing geographical boundaries.

OK. Video interprets people deception – the artists include in this category – as an ‘inovation’; even the consumer who want to fulfill its needs to access and develop technology through many motives such as: overcome the limitations, change (substitute), and add or alter the function of objects value, adding the use of age, playing games, or even aesthetics trick. Although in the end, this practice and behavior can be seen as opposing and challenging the system, both socio-cultural system, economic, political, even the system of the technology itself.

(8)

Tahun ini festival OK. Video mengundang tiga kurator muda untuk berkolaborasi mengkuratori pameran utama. Tiga orang tersebut datang dengan latar belakang berbeda-beda; Irma Chantily, seorang pengarsip dan penulis; Julia Sarisetiati banyak membuat karya-karya berbasis fotografi dan juga seni media; sedang Rizki Lazuardi adalah seorang seniman aktif yang membuat karya video dan seni media. Ketiga kurator ini ditantang untuk memaknai muslihat pada karya-karya yang masuk melalui aplikasi terbuka ataupun dengan mengundang seniman dan karya yang memiliki kecenderungan muslihat. Dari 303 karya dari 53 negara yang masuk melalui aplikasi terbuka, mereka memilih 28 karya dari 16 negara, dan 6 di antaranya berasal dari Indonesia; dari seniman yang diundang, para kurator menghadirkan 20 karya dari 19 seniman dengan beragam pendekatan moda produksi, pilihan estetik, dan bentuk presentasi.

Berbeda dengan perhelatan festival OK. Video sebelumnya, tahun ini akan banyak menghadirkan karya berbasis proyek yang dipresentasikan dalam bentuk kanal tunggal, kanal multi, dan instalasi objek. Selain bentuk karya dan presentasi yang sesuai dengan tema muslihat yang memiliki kecenderungan pada aksi dan juga pola-pola ‘bermain’ yang lebih banyak pada ranah perangkat keras (materi) teknologi –yang pasti juga diiringi pada ranah perangkat lunak (gagasan); pilihan artistik ini juga sebagai bentuk respon kebaruan moda produksi artistik seni media di kancah seni rupa kontemporer internasional. Keputusan artistik ini diusahakan sejalan dengan keinginan festival OK. Video untuk membuka lebih lebar kemungkinan dan kebaruan bahasa estetik dan moda produksi dari karya-karya video dan gambar bergerak lintas media. Festival ini juga ingin memberi kesan bahwa secara ilmiah, teknologi dapat membantu membebaskan daya kreatif seniman persis dengan kapasitas publik dalam mengapresiasi dan berinteraksi dengan teknologi.

Festival OK. Video juga berkolaborasi dengan The Japan Foundation untuk mempersembahkan sebuah pameran Media/Art Kitchen yang dikuratori oleh Ade Darmawan dan M. Sigit Budi S. Pameran yang berlangsung secara bersamaan dengan festival OK. Video ini diikuti oleh seniman-seniman seni media dari Jepang dan Asia Tenggara. Pada pameran ini, karya-karya yang dihadirkan akan mencoba menjembatani dua budaya yang berbeda antara Jepang dan Asia Tenggara dalam menyikapi kemajuan media dan teknologi dewasa ini. Pameran di Jakarta ini akan menjadi pembuka untuk serangkaian pameran estafet di beberapa negara Asia Tenggara yang akan berakhir pada bulan Februari 2014.

Meneruskan tradisi pada perhelatan sebelumnya, festival OK. Video kembali mengundang secara khusus dua festival seni media internasional IMPAKT (Belanda) dan Videobrasil (Brazil). Arjon Dunnewind dari IMPAKT (Belanda) akan mengkuratori program Inside Job; dan Solange Farkas dari Videobrasil (Brazil) akan mengkuratori program A Historical View dan Improbable Journeys. Selain dipamerkan pada ruang khusus di Galeri Nasional Indonesia, karya-karya ini juga akan diputar dalam format sinema di Kineforum Jakarta. Bekerjasama dengan RURU Gallery, festival OK. Video akan mengundang Jatiwangi Art Factory (JAF) dari Jatiwangi-Jawa Barat dan Kinetik yang berkolaborasi dengan WAFT dari Surabaya-Jawa Timur. Dua komunitas ini berasal dari dua wilayah Indonesia yang memiliki kultur yang sangat berbeda sehingga mendorong cara-cara kreatif dalam mengeksplorasi media dan teknologi sebagai eksperimentasi artistik yang sesuai dengan karakter kotanya dan juga masyarakatnya. Pameran akan diselenggarakan di RURU Gallery-ruangrupa. Selain pameran utama dan program presentasi khusus, festival OK. Video tetap akan menghadirkan berbagai macam program publik; presentasi kurator, diskusi, tur kurator, dan artist talk, sebagai bagian dari usaha menjembatani publik dengan tema yang ingin dikomunikasikan penyelenggaraan festival tahun ini.

Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada semua pihak yang telah membantu hingga terselenggaranya Muslihat OK. Video – 6th Jakarta International Video Festival 2013. Semoga perhelatan tahun ini dapat menginspirasi kita sebagai warga konsumen dalam merespon kehadiran media dan teknologi yang telah merubah begitu banyak cara pandang kita terhadap diri sendiri, lingkungan sekitar, dan kenyataan sehari-hari. Sudah waktunya untuk menggunakan hak jawab kita sebagai warga konsumen dengan memaknai media dan teknologi tidak hanya sebagai alat konsumsi semata, tetapi juga sebagai alat produksi.

Jakarta, September 2013,

Mahardika Yudha Direktur Festival

(9)

This year, OK. Video invites three young curator to collaborate in the main exhibition. The three curators with different background are: Irma Chantily, archivist and writer; Julia Sarisetiati, photography-and-media-art-based artist.; and Rizki Lazuardi, video and media art artist. These three curators are challenged to interpret 'deception' from entries through open submission program or selected artist program. From Open Submission program that gained 303 entries from 53 countries, they select 28 works from 16 countries (six of them from Indonesia); from selected artist, they choose 20 works from 19 artists with a variety of modes of production approach, aesthetic choice, and form of presentation.

Different with previous festival, this year will be several works based on the project presented in one channel, multi channel, and object installation. The works presented have a tendency to act and also to 'play' patterns which can be found more in the realm of hardware (material) technology, and at the same time, the artists implemented their idea of "deception" through their works. Besides that, this artistic respond can be seen as a new method of artistic production through media art in international contemporary art. This artistic decision can bring collateral relation to OK. Video wishes, to open up wider possibilities and aesthetic novelty of language and modes of production of video art and moving images across the media. This festival also wants to give impression that scientifically technology can help the artists to release their creative power coherent with the public ability to appreciate and interact with technology.

OK. Video festival also collaborates with The Japan Foundation to present an exhibition Media/Art Kitchen, curated by Ade Darmawan and M. Sigit Budi S.. This exhibition will be held at the same time with OK. Video Festival, compiling media-art artists from Japan and South East Asia. In this exhibition, the works presented will try to relate two different cultures between Japan and Southeast Asia in dealing with media and technology advancement today. This exhibition in Jakarta will be the opening act for a series of exhibitions relay in several Southeast Asian countries which will end in February 2014.

Continuing the previous event tradition, OK. Video specifically re-invites two international media art festival: IMPAKT (Netherlands) and Videobrasil (Brazil). Arjon Dunnewind of IMPAKT (Netherlands) will curating Inside Job program, and Solange Farkas of Videobrasil (Brazil) will curating A Historical View and Improbable Journeys programs. Besides exhibited in a special room at the Indonesia National Gallery, these works will also be screened in cinema format at Kineforum Jakarta.

Collaborating with RURU Gallery, OK. Video festival will invite Jatiwangi Art Factory (JAF) from Jatiwangi, West Java and Kinetik collaborated with WAFT from Surabaya, East Jawa. These two communities come from two areas in Indonesia that have very different cultures that encourage different creative approaches to explore media as technology as their artistic experimentation, which is still related with their condition and socio-cultural background. This exhibition will be held at RURU Gallery, ruangrupa, Jakarta.

In addition to main exhibition and special presentation program, OK. Video festival will keep presenting several public programs: curator presentation, discussion, tour with curator and artist talk, as part of efforts for those who wish to communicate with the theme of the festival this year.

We thank profusely to all of those who have help the implementation Muslihat OK. Video - 6th Jakarta International Video Festival 2013. Hope this year even can be an inspiration for us the consumer in responding the presence of media and technology that have changed the way we see ourselves, our environment, and our everyday reality. It is time for us to use our Right of Reply as consumer through accepting that media and technology are not merely as a consumption, but also as a media to produce.

Jakarta, September 2013

Mahardika Yudha

(10)

Press Conference

Date : Tuesday, 3 September Time : 15.00

Venue : Galeri Nasional Indonesia Opening

Date : Wednesday, 4 September Time : 19.00

Venue : Galeri Nasional Indonesia Exhibition

Date : 5 - 15 September Time : 10.00 - 20.00

Venue : Galeri Nasional Indonesia Screening

Date : Monday, 9 September

Time : 15.00 Stand van de Mand (Shape of the Moon) - Leonard Retel Helmrich (The Netherlands) 17.00 This Ain’t California - Marten Persiel (Germany)

19.00 Supermen of Malegaon - Faiza Ahmad Khan (India) Venue : Goethe Institut

---VIDEO OUT

IMPAKT Festival, Videobrasil, & Media/Art Kitchen

Screening

Date : 7 - 15 September Time : 14.15, 17.00, and 19.30 Venue : Kineforum

Discussion

Date : Wednesday, 11 September Time : 17.00 - 19.00

Venue : Kineforum

Speakers : Mahardika Yudha (Indonesia) Moderator : Aditya Adinegoro (Indonesia)

Jatiwangi Art Factory (JAF) vs Kinetik in collaboration with WAFT

Opening

Date : Thursday, 12 September Time : 19.00

Performance : Jatiwangi Art Factory (Indonesia)

Exhibition

Date : 13 - 25 September Time : 10.00 – 20:00 Venue : RURU Gallery

Curators : Alghorie (Indonesia) & Benny Wicaksono (Indonesia)

FESTIVAL PROGRAM

(11)

Discussion

Date : Friday, 20 September Time : 17.00

Venue : RURU Gallery

Speakers :Alghorie (Indonesia) & Benny Wicaksono (Indonesia) Moderator : oomleo (Indonesia)

---PUBLIC PROGRAM

Media/Art Kitchen Curators Presentation Date : Thursday, 5 September Time : 15.00 - 18.00

Venue : Galeri Nasional Indonesia

Speakers : M. Sigit Budi S. (Indonesia), Adeline Ooi (Malaysia), Dayang Yraola (Philippines), Pichaya Suphavanij (Thailand), Keiko Okamura (Japan)

Moderator : Ade Darmawan Festival Tours with Curators Date : Friday, 6 September Time : 15.00 - 17.00

Venue : Galeri Nasional Indonesia

DISCUSSIONS

Art and Technology

Date : Saturday, 7 September Time : 16.30 - 18.00

Venue : Galeri Nasional Indonesia

Speakers : Aryo Danusiri (Anthropologist & Filmmaker/Indonesia), Clarissa Chikiamco (Curator/Philippines) Krisgatha Achmad (Artist/Indonesia)

Moderator : Maria Josephina (Project Officer Jakarta Art Council/Indonesia)

Technology and Society

Date : Sunday, 8 September Time : 13.00 - 15.00

Venue : Galeri Nasional Indonesia

Speakers : Roy Thaniago (Writer/co-founder Remotivi), Deden Hendan Durahman (Lecturer Faculty of Art & Design Institut Teknologi Bandung/Indonesia), Andreas Siagian (Artist/Indonesia) Moderator : Ardi Yunanto (Editor Karbon Journal/Indonesia)

ARTIST TALK

Media/Art Kitchen

Date : Saturday, 7 September Time : 13.30 - 15.30

Venue : Galeri Nasional Indonesia

Speakers : Kanta Horio (Japan), Yuko Mohri (Japan), Muhammad Akbar (Indonesia) Moderator : Ade Darmawan (Indonesia)

(12)

OK. Video

Date : Monday, 9 September Time : 13.00 - 15.00

Venue : Galeri Nasional Indonesia

Speakers : Irwan Ahmett (Indonesia), M.R. Adytama Pranada (Indonesia) Moderator : Rizki Lazuardi (Indonesia)

THE INSTRUMENT BUILDERS PROJECT

Discussion

Date : Tuesday, 10 September Time : 15.00 - 16.00

Venue : Galeri Nasional Indonesia

Speakers : The Instrument Builders Project (Indonesia) Moderator : Leonhard Bartolomeus (Indonesia)

Performance

Date : Tuesday, 10 September Time : 17.00 - 18.00

Venue : Galeri Nasional Indonesia

Artist : The Instrument Builders Project (Indonesia)

Galeri Nasional Indonesia :

Jl. Medan Merdeka Timur no. 14, Jakarta 10110 Kineforum :

Taman Ismail Marzuki, Jl. Cikini Raya no. 73, Jakarta 10330 Goethe Institut :

Jl. Sam Ratulangi 9-15, Jakarta 10350 RURU Gallery :

(13)

SCREENING

Venue: Kineforum

)

)

07 September 2013

Inside Jobs

(IMPAKT Festival)

A Historical View

(Videobrasil)

Landscape and Beyond

(Media/Art Kitchen)

08 September 2013

Media at Hand

(Media/Art Kitchen)

Being Physical

(Media/Art Kitchen)

Improbable Journeys

(Videobrasil)

09 September 2013

A Historical View

(Videobrasil)

Landscape and Beyond

(Media/Art Kitchen)

Inside Jobs

(IMPAKT Festival

14.15

17.00

19.30

10 September 2013

Media at Hand

(Media/Art Kitchen)

Improbable Journeys

(Videobrasil)

Being Physical

(Media/Art Kitchen)

11 September 2013

Inside Jobs

(IMPAKT Festival)

DISCUSSION

(Mahardhika Yudha)

A Historical View

(Videobrasil)

12 September 2013

Improbable Journeys

(Videobrasil)

Inside Jobs

(IMPAKT Festival

Being Physical

(Media/Art Kitchen)

14.15

17.00

19.30

13 September 2013

A Historical View

(Videobrasil)

Landscape and Beyond

(Media/Art Kitchen)

Media at Hand

(Media/Art Kitchen)

14 September 2013

Inside Jobs

(IMPAKT Festival)

Being Physical

(Media/Art Kitchen)

Improbable Journeys

(Videobrasil)

15 September 2013

Landscape and Beyond

(Media/Art Kitchen)

A Historical View

(Videobrasil)

Media at Hand

(Media/Art Kitchen)

14.15

17.00

19.30

(14)
(15)
(16)

Orde Baru merupakan masa saat teknologi menyublim di Indonesia. Pada awal 1990-an, setiap siswa di sekolah mengidolakan Baharuddin Jusuf Habibie. Sebagai bapak teknologi di Indonesia, Habibie menanamkan sebuah pengalaman kolektif nan populer dari sebuah keagungan hadirnya keajaiban teknologi: pesawat buatan dalam negeri, kapal buatan dalam negeri, dan industri teknologi tinggi buatan dalam negeri. Peluncuran pesawat pertama diceritakan sebagai pengalaman yang mendekati sebuah keajaiban. Keagungan teknologi (meminjam istilah dari David E. Nye) di Indonesia sendiri didirikan dan didukung oleh istana Suharto yang pro-kapitalis dan otoriter (yang mana tidak ada ajaib-ajaibnya sama sekali). Teknologi, seperti hal lain, menjadi proses yang signifikan untuk kemajuan bangsa. Setelah 1998, lampu hijau perkembangan teknologi perlahan-lahan meredup. Pondasi yang dibangun sekian tahun hancur, wacana teknologi yang baru melalui kebijakan-kebijakan dengan dalih liberalisasi dari Orde Baru perlahan-lahan masuk ke Indonesia. Mimpi yang dibangun Habibie pun berakhir.

Perkembangan teknologi pada masa Orde Baru menekankan pada gagasan bahwa teknologi merupakan bagian yang datang dari luar, misalnya, revolusi hijau, satelit Palapa, komputer, pesawat terbang dan video. Oleh karena itu, untuk menjadikannya suatu hal yang “nasional”, teknologi harus ditundukkan di bawah mesin rezim yang kuat. Teknologi harus diperiksa, diatur, terdaftar, dan dikendalikan. Rezim Orba mengembangkan kategori-kategori bagi teknologi seperti mana yang berguna dan yang tidak, serta mana yang memiliki kontribusi penuh untuk pembangunan dan kebalikannya. Setiap kategori harus diawasi dan bagi para pengguna yang melakukan pelanggaran akan diberikan sanksi tegas. Pemerintahan Orba sendiri mendirikan badan sensor, kementrian riset dan teknologi, dan kementrian informasi, dan juga melakukan infiltrasi terhadap partai politik, organisasi keagamaan, organisasi mahasiswa, dan institusi lain untuk menjaga batasan tersebut supaya teknologi benar-benar “bebas resiko”.

Kedua, keagungan akan hal-hal yang berbau teknologi dipelihara dengan proses yang berjarak, proses hegemonik dimana agenda ideologisnya disembunyikan. Proses ini memiliki dua konsekuensi. Pertama, dalam pendidikan Orba, teknologi merupakan usaha yang rumit. Teknologi harus kompleks, rumit, dan hanya jenius seperti Habibie yang bisa mengatasinya. Pengetahuan tentang teknologi harus dikuasai dan dikontrol oleh mereka para teknokrat dan pelajar-pelajar di sekolah. Orang seperti Onno W. Purbo yang membangun koneksi Internet mandiri –tidak menggunakan jaringan milik pemerintah– dan yang membuat kopian video bajakan merupakan anarkis-tekno yang mana harus dihukum, atau lebih sederhananya didisiplinkan. Pembagian produsen dan konsumen teknologi semakin menguat kala itu. Semua upaya ini ditujukan untuk satu hal: keagungan teknologi yang akan membuat dan membantu dalam membuat sebuah konsep Orde Baru yang agung, keagungan sebuah kemajuan dan perkembangan.

MERETAS TEKNOLOGI DAN

PRAKTIK SUBVERSIF LAINNYA

Veronika Kusumaryati*

(17)

Di sisi lain, kita harus berterimakasih pada kebijakan teknologi milik pro-kapitalis ini yang mana bisa membuat teknologi terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari, merasuk ke kehidupan rumah tangga masyarakat Indonesia sebagai komoditas. Televisi sebagai teknologi rumah tangga diperkenalkan oleh rezim Soekarno pada 1962 tetapi tidak sampai tahun 1970an, kepemilikannya menyebar seantero nusantara. Tahun 1965, sudah ada 40.000 set TV yang terdaftar oleh negara, tetapi kemudian pada tahun 1980 jumlahnya bertambah hingga 2,1 juta. Hampir pada saat yang bersamaan, teknologi video mendatangi rumah tangga para borjuis di Asia Tenggara, awalnya adalah U-matic 3/4” Format kemudian disusul oleh Betamax (McDaniel 1994:263). Kedatangan teknologi video dan adopsi media yang cepat menjadi fenomena yang layak untuk dibahas secara khusus.

Keranjingan video di Asia Tenggara termasuk di Indonesia menjadi topik hangat di pemerintahan dan lingkaran komunitas film pada tahun 1980an. McDaniel menyebutkan pengaruh video pada produksi film dalam 27th Asian Film Festival tahun 1982 di Kualalumpur. Pada tahun yang sama, pemerintah Indonesia dipaksa untuk mengorganisir seminar tentang kedatangan teknologi video. Pidatonya, “Manajemen Teknologi Video untuk Pembangunan”, menujukkan ketakutan Orba akan suatu hal. Setahun sesudahnya, Orba melarang sementara impor “kaset senonoh” dan materi-materi yang tidak disensor lainnya. Pemerintah memiliki banyak alasan untuk cemas. Teknologi video memungkinkan sirkulasi gambar dan informasi hal-hal yang disensor seperti pornografi, film kiri, dan video game. Dalam sudut pandang pemerintah Indonesia (bahkan sampai sekarang), mereka tergolong dalam kategori sama. Video protokol, bisa disebut seperti itu, memungkinkan distribusi tak terkendali atas kopian-kopian melalui kamar menonton pribadi, agen distribusi, dan toko kaset (Forum Lenteng:2011), bisa dikendalikan dengan cara searah, monopolistik, penyamarataan dan hegemoni media imperatif pemerintah. Hal ini sama halnya dengan teknologi cetak. Sebelum reformasi politik 1998, orang-orang yang percaya pada sifat auratik dan revolusioner dari karya-karyanya Karl Marx, F. Engels, V.I. Lenin, Rosa Luxembourg atau penulis kiri kita seperti Tan Malaka, D.N. Aidit, atau juga penulis sastra termahsyur layaknya Pramoedya Ananta Toer, berbagi versi fotokopi karya favorit mereka secara sembunyi-sembunyi. Kehadiran teknologi digital pada akhirnya hanya memperkuat praktek pembajakan karya yang telah berlaku. Sejak 1980an, perangkat-perangkat lunak dari yang tidak sah telah didistribusikan secara bebas dengan harga terjangkau di Asia Tenggara (McDaniel 1994:283). Orang pergi ke beberapa pusat perbelanjaan (ITC, International Trade Centers) di Mangga Dua, Jakarta Utara, untuk bisa menjelajahi lantai per lantai demi mencari suku cadang komputer, komputer rakitan, dan software bajakan dari seluruh dunia. Pada awal 2000an ketika video-video musik Indonesia menjadi berskala industri (terima kasih untuk kehadiran TV swasta, termasuk MTV), film-film indie menjadi trend, software bajakan dan komputer rakitan telah membantu seniman video dan pembuat film untuk membuat karya seni mereka.

Teknologi Liar sebagai Senjata bagi yang Lemah

“Sistem dan teknologi baru tidak hadir ke dunia dalam keadaan utuh. Mereka selalu menjadi suatu kumpulan dari teknologi dan teknis yang sebelumnya hadir” (Giddings and Lister 2011:5).

Teknologi merupakan praktik yang memerlukan pemahaman tentang keberadaan manusia dan kekhususan sejarah dan budaya untuk menggambarkan bentuknya yang komplek (Williams 1974). Tidak ada kemajuan-kemajuan tentang teknologi selama teknologi dipahami sebagai repertoar budaya yang terletak dalam jaringan teknologi dan pertukaran sosial. Seperti halnya yang digambarkan rezim “high-tech” Orde Baru, teknologi tertata, dalam sistem teknis sosial yang lebih besar dimana kekuasaan sangat mengatur. Namun, konsumen selalu menjadi aktor sosial yang memiliki ketrampilan dan kredibilitas untuk mendefinisikan makna budaya teknologi. Penggunaan teknologi dibatasi oleh protokol, tapi selalu ada orang-orang yang

(18)

“mengakali” keterbatasan ini bahkan memanipulasi dari agenda protokol itu sendiri. Ada banyak cara di mana pengguna teknologi meretas baik bersifat teknis dan sosial teknologi tersebut. Pembajakan adalah salah satu cara.

Dalam teks revolusionernya, Walter Benjamin berpendapat bahwa reproduksi mekanis dari suatu karya seni merupakan sesuatu yang baru (1936: 218). Reproduksi mekanis melahirkan kemunculan publik kritis –ketika konsumen mampu untuk mengontol penerimaan mereka. Dalam wacana khusus mengenai teknologi, sifat konsumen pasif sudah dilupakan. Misalnya dalam kasus orang-orang Nigeria, Brian Larkin menunjukkan bahwa teknologi meretas adalah sebuah tindakan korup namun kreatif terhadap infrastruktur teknologi yang telah ada.

“Saya melihat pembajakan tidak hanya dalam segi hukum, tetapi sebagai modus infrastruktur yang memfasilitasi pergerakan budaya. Pembajakan bukan hanya saluran netral tapi memaksakan kondisi khusus pada rekaman, transmisi, dan pengambilan data. Dengan cara ini, pembajakan menciptakan estetika, satu set kualitas formal yang menghasilkan pengalaman sensorial media tertentu yang ditandai dengan miskin transmisi, gangguan, dan kebisingan” (14).

Untuk kasus Indonesia, Joshua Barker memberikan catatang penting tentang “teknologi meretas” yang disebut Interkom, jaringan komunikasi analog yang populer pada 1980an di Indonesia. Barker berpendapat bahwa berkat statusnya yang kecil dan mandiri, Interkom “memberikan kesempatan pada pengguna untuk merefleksikan dan memanipulasi materi dan kondisi ideologis yang membentuk pengalaman diri, wicara dan sosialita dalam dunia yang dimediasi dengan rapat” (Barker 2008: 127). Kasus lain ditunjukkan oleh Merlyna Lim yang mengelaborasi domestifikasi Internet melalui platform yang disebut “warnet” (warung internet). Lim berpendapat bahwa melalui warnet, interner terlokalisir dan diletakkan dalam kosmologi pemikiran budaya Indonesia. Internet di warnet merupakan ruang publik, tempat pertukaran informasi yang tertanam dalam sejarah panjang jaringan sosial di Indonesia.

Dalam konteks ini, praktek “mengakali” tidak menentu dan selalu timbul dari tindakan kesadaran diri untuk melawan atau hanya reaksi terhadap distribusi teknologi dan imaji modern yang tidak adil (Liang 2005). Ini keduanya. Pasca reformasi Indonesia 1998, kemerosotan negara berbau teknologi ala Orba, liberalisasi media, transformasi budaya visual yang cepat dan pergantian situasi politis dan ranah sosial memainkan peranan penting dalam memediasi media baru. Ini membuat hal-hal terdesentralisasi; adopsi teknologi non-negara. Perkembangan teknologi digital juga memungkinkan pengguna menjadi produser dan konsumer dari teknolgi itu sendiri. Mungkin pada titik ini, OK. Video bisa berfungsi semacam inventoris dari praktik-praktik subversif. Mungkin, saat ini adalah momen bagi OK. Video untuk memberikan ruang dan dokumen bagi mereka yang telah ditinggalkan dari sejarah resmi teknologi.

*) Veronika Kusumaryati adalah mahasiswa PhD di Departemen Antropologi dengan bidang sekunder Studi Film dan Visual di Universitas Harvard. Penelitiannya tentang teknologi media dan politik partisipatif di Papua Barat.

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Amir, Sulfikar. 2012. The Technological State in Indonesia: the Co-Constitution of High Technology and Authoritarian Politics. New York: Routledge.

Benjamin, Walter. 2008 [1936].The Work of Art in the Age of Its Technological Reproducibility and Other Writings on Media. Cambridge, Mass.: The Belknap Press of Harvard University Press.

Barker, Joshua.2008. “Playing with publics: Technology, Talk, and Sociability in Indonesia” in Language & Communication 28:127–142

deCerteau, Michel.1984. The Practices of Everyday Life.Steven Rendall (transl.). Berkeley: University of California Press.

Giddings, Seth and Martin Lister (ed.). 2011. The New Media and Technocultures Reader. New York: Routledge.

Heidegger, Martin. 2002 [1977].The Question Concerning Technology and Other Essays. New York: Garland Pub.

Lenteng, Forum. 2009. Videobase: Video, Sosial, Historia. Jakarta: Forum Lenteng.

Lim, Merlyna. 2003. “The Internet, Social Networks, and Reform in Indonesia” in In N. Couldry and J. Curran. Contesting Media Power: Alternative Media in A Networked World. Rowan & Littlefield.pp. 273–288.

McDaniel, Drew O. 1994. Broadcasting in the Malay World: Radio, Television and Video in Brunei, Indonesia, Malaysia, and Singapore. Norwood, N.J.: Ablex Pub.

Nye, David E. 1994. American Technological Sublime. Cambridge, Mass.: MIT Press.

Silverstone R. and E. Hirsch, eds. 1992. Consuming Technology. London: Routledge. Williams, Raymond. 1974. Television: Technology and Cultural Form. New York: Schocken Books.

(20)

Saya selalu merasa bahwa kebiasaan membaca merupakan modal untuk dapat mengikuti perkembangan teknologi secara baik dan benar. Dengan membaca kita dapat meningkatkan pengetahuan dengan konsisten dan dalam kaitannya dengan perkembangan teknologi informasi, hal tersebut mungkin dapat membantu kita untuk memilah mana informasi yang baik dan benar.

Pada tahun 2012, berdasarkan data yang dikeluarkan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pengguna jasa internet di Indonesia telah mencapai jumlah 63 juta. Dari data itu dapat diperkirakan 24% dari total populasi manusia di Indonesia, telah mengenal internet. Namun sayangnya, besaran angka ini belum disertai dengan pengetahuan tentang penggunaan teknologi internet dengan benar. Maka, tidak jarang terjadi kesalahan-kesalahan dalam penerapan teknologi informasi dalam masyarakat kita. Misalnya saja, kasus-kasus pelecehan dan penculikan yang kini marak terjadi di media sosial seperti Facebook dan Twitter, bahkan ada satu kasus bunuh diri yang kabarnya akibat dari bullying lewat kicauan Twitter. Kemudahan dalam mengakses informasi juga sering disalahartikan lewat kehadiran berbagai macam berita di media, yang hanya mementingkan kecepatan terbit, tanpa mempertimbangkan kualitas dan kebenaran beritanya. Hal ini menjadi lebih rumit, ketika masyarakat juga enggan untuk melakukan klarifikasi atas kebenaran berita itu. Padahal internet adalah sebuah jagat yang maha luas, yang tentu saja dipenuhi oleh berbagai macam informasi yang harus disaring lagi sesuai dengan kebutuhan yang kita inginkan. Pada posisi inilah, kebiasaan untuk membaca (informasi) menjadi penting untuk dilakukan oleh kita sebagai pengguna internet. Pondasi kebiasaan ini saya pikir akan mendorong penggunaan internet ke arah yang lebih sehat dan lebih baik.

Indonesia telah mengenal internet sejak 1988, tepatnya pada tanggal 24 Juni. Berdasarkan catatan Asia Pacific Network Information Centre, alamat protokol internet (IP) pertama dari Indonesia didaftarkan.1Namun, baru

di tahun 1990-an, internet mulai diperhitungkan sebagai bagian dari masa depan komunikasi di Indonesia. Pada saat itu komputer sudah cukup dikenal oleh masyarakat—terutama perkotaan—dan walaupun harganya masih mahal, sudah cukup banyak yang memiliki dan mampu menggunakan komputer. Saya yang sejak tahun 1982 memang memiliki usaha toko komputer di daerah Bogor, mampu menjual sampai sekitar 200 juta unit per bulannya. Sebuah tempat penyewaan komputer yang saya buat memiliki pelanggan yang cukup banyakkendati harga sewa per jamnya Rp. 5.000,- yang tentu saja dikarenakan harga perangkat komputer yang masih mahal serta printer masih menjadi barang yang langka.

Di tahun 1995, saya mulai membangun jaringan Internet Service Provider (ISP) di Bogor. Kala itu konsep menyewakan komputer untuk mengakses internet sempat terlintas, terutama karena melihat kenyataan banyaknya turis yang masuk ke restoran dimana ISP tersebut berada.2BoNet menyediakan 10 line, dengan

kecepatan/speed 19.200 bps dari Jakarta. Namun selama 6 bulan beroperasi, BoNet hanya mendapat 75 orang user. Kondisi ini antara lain disebabkan sering terputusnya (disconnected) saluran telepon, dan 1. Berdasarkan catatan whois ARIN dan APNIC, alamat protokol Internet (IP) pertama dari Indonesia, UI-NETLAB (192.41.206/24) didaftarkan oleh Universitas Indonesia pada tanggal 24 Juni 1988.“24 Juni 1988: Alamat IP Pertama Indonesia 192.41.206/24” SpeedyWiki. Tautan http://opensource.telkomspeedy.com/wiki/index.php/24_ Juni_1988:_Alamat_IP_Pertama_Indonesia_192.41.206/24

2. Tanggal 1 Juli 1995, ISP PT BoNet Utama dibuka di Café Botanicus, di tengah Kebun Raya Bogor. Sekarang namanya berubah menjadi Café Dedaunan.

MEMBACA TEKNOLOGI INFORMASI KITA

(21)

UNDERSTANDING OUR INFORMATION TECHNOLOGY*

Michael Sunggiardi*)

I always feel that reading habit is a capital to properly keep up with the development of technology. Through reading, we can consistently increase our knowledge, and in terms of information technology development, it may help us sort out the proper and correct information.

In 2012, Based on data issued by Indonesia Internet Service Provider Association (APJII - Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet, ind.), internet users in Indonesia have reached 63 million. From the data, it can be estimated that 24% from total of Indonesian population is familiar with the internet. However, the number is yet accompanied by the knowledge on proper use of internet technology. Hence, errors aren’t uncommon in the application of information technology within our society. For example, cases of harassment and abduction rampant in social media such as Facebook and Twitter, there was even a suicide case reportedly caused by Twitter bullying. Easy access to information often causes misinterpretation through various news in the media that only cares about quick publication without considering the news quality and truth. It becomes more complicated as the society is reluctant to clarify the news. Whereas internet is a vast universe, which of course is filled with various kinds of information that should be filtered based on our needs. At this position, the habit to read (information) becomes important for us as internet user. I think this habitual foundation will lead us to a healthy and better use of internet.

Indonesia has been familiar with internet use in colleges since 1988, precisely on June 24. Based on Asia Pacific Network Information Centre data, the first Internet Protocol (IP) address in Indonesia was then registered.1 However, it wasn’t until the 1990s the Internet began to be taken into account as part of the

future of communication in Indonesia. At the time computer was already familiar in the society—especially the urban community—and despite of the expensive price, many people had owned and were able to operate a computer. I, who since 1982 had owned a computer shop in Bogor, was able to sell to approximately 200 million computer units per month. A computer rental that I made had a lot of customers, despite the rental price was IDR 5000/hour, which of course was because computers were still expensive and printers were still a rare item.

In 1995, I began to build an Internet Service Provider (ISP) network in Bogor. At the time, the concept to hire out a computer with internet access had come to mind, especially because I was seeing the fact that many tourists went to restaurant where that ISP was located. 2 BoNet supplied 10 lines, with the speed of 19.200

bps from Jakarta. Yet, for six months of its operation BoNet only had 75 users. This was caused by frequent disconnected phone line and the lack of internet knowledge by public in Bogor. Only those who had studied abroad were aware about the internet. Finally, they decided to introduce internet to the society by organizing seminars about the internet nearly every month, sometimes inviting people from research institutes to present explanations about the internet. In order to facilitate broader community, in 1997 I moved the ISP into Pajajaran area. Back then, having bandwidth and internet access was very luxurious, because to buy

1. Based on whois ARIN and APNIC notes, the first IP address in Indonesia: UI-NETLAB (192.41.206/24) was registered by Indonesia University at June 24, 1988. “24

Juni 1988: Alamat IP Pertama Indonesia 192.41.206/24” SpeedyWiki. Link http://opensource.telkomspeedy.com/wiki/index.php/24_Juni_1988:_Alamat_IP_Pertama_ Indonesia_192.41.206/24

(22)

masih kurangnya pengetahuan masyarakat Bogor tentang internet. Hanya mereka yang pernah studi di luar negeri yang tahu. Akhirnya mereka memutuskan untuk memperkenalkan internet ke masyarakat, dengan mengadakan seminar tentang internet hampir setiap bulan, dan kadang mereka juga mengundang orang-orang dari lembaga penelitian untuk memberi penjelasan tentang internet. Agar memudahkan akses masyarakat yang lebih luas, pada tahun 1997, saya memindahkan ISP tersebut ke daerah Pajajaran. Pada saat itu, memiliki bandwidth dan akses internet merupakan hal yang sangat mewah karena untuk membeli bandwith keluar negeri, harus merogoh kantong sebesar USD 10.000/Mbps —bandingkan sekarang hanya USD 150/Mbps. Sedangkan untuk akses Jakarta-Bogor harus membayar 40 juta Rupiah dengan kecepatan 1 Mbps —saat ini biaya untuk 100 Mbps hanya sekitar 50 juta. Akibat hal tersebut dapat dibayangkan betapa bingungnya untuk melayani kehadiran warung-warung internet3 yang jumlahnya mencapai 400 titik di Bogor.

Kesulitan untuk memenuhi kebutuhan ini, sayangnya tidak dibarengi dengan inisiatif dari pemerintah selaku pemegang kekuasaan. Malah pada saat itu, pemerintah seperti belum ada persiapan apa-apa. Sehingga akhirnya, saya dan beberapa pelaku lain memutuskan untuk jalan sendiri. Kepedulian saya pada saat itu adalah bagaimana caranya agar banyak orang menjadi lebih paham atas penggunaan internet. Dari pengalaman membuat warnet BoNet, yang saat itu hanya mendapat 75 orang user, ternyata sebagian besar masyarakat di Bogor sangat kekurangan pengetahuan akan teknologi internet. Bahkan hanya mereka yang pernah sekolah di luar negeri yang tahu dan mengerti akan teknologi ini.Dari situ saya kemudian tahu bahwa teknologi dan demand dari masyarakat tidak berjalan linier. Akhirnya pada 1999, saya memutuskan untuk ‘keluar’ dari Bogor dan membuat serangkaian workshop dan seminar di seluruh Indonesia bersama Onno W. Purbo. Upaya saya saat itu sangat beralasan, sebab Indonesia, yang mungkin pada saat itu masyarakatnya masih belajar baca-tulis, sudah diserang oleh kemajuan teknologi yang amat cepat, namun tidak segera ditangani infrastrukturnya oleh pemerintah.

Jurang perbedaan antara kemajuan pengetahuan dengan kesiapan infrastruktur inilah yang menyebabkan masyarakat Indonesia belum mampu menyerap teknologi dengan baik. Sejak boom digital di tahun 2000, masyarakat kita hanya sekedar menjadi pengguna dan bukan produsen. Jika dibandingkan dengan presentasi populasi penduduk, mungkin hanya 3-5% saja yang mampu memanfaatkan perkembangan teknologi dengan serius. Presentasi angka ini mungkin bisa saja diperdebatkan, namun jika kita melihat lingkungan di sekitar kita akan ada kenyataan yang mengejutkan mengenai hal ini. Misalnya saja, Selain contoh Facebook dan Twitter tadi, kita dapat melihat —juga pada diri kita sendiri— berapa banyak dari kita yang memiliki smartphone? Dan berapa banyak aplikasi yang kita ‘kuasai’ di dalamnya, selain untuk telepon, kamera, multimedia dan pesan singkat? Kenyataan ini sendiri merupakan ironi, karena di tengah maraknya penyebaran smartphone, kita masih memiliki masalah dengan pembajakan software. Anda bisa berargumen, bahwa soal pembajakan ini juga berlaku sama di luar negeri, tapi harus diperhatikan bahwa yang melakukan ini hanya sedikit dan sifatnya pun saling berbagi. Bandingkan dengan kenyataan disini, dimana software tersebut diperdagangkan.

Persoalan pembajakan ini sebetulnya sudah bisa ditangani dengan menggunakan open source, namun dari komunitas-komunitas yang ada pun, belum ada kemajuan signifikan karena lagi-lagi, kebanyakan hanya menjadi pengguna. Walaupun banyak nama orang Indonesia yang beredar di dunia Open Source yang kiprahnya perlu dipertimbangkan, tapi orangnya hanya itu-itu saja, sementara yang mau mengajarkan dan mengerti dengan baik tentang open source masih sangat terbatas. Dari puluhan hacker yang saya didik, hanya sedikit yang sampai saat ini masih aktif dan ‘rajin bergerilya’ dengan beberapa ‘old soldier’ seperti Budi Rahardjo (ITB), Made Wayan (Gunadarma) dan RM Samik-Ibrahim (UI). Kemudian berkaitan dengan inisiatif warga untuk ‘menyiasati’ kemajuan teknologi ini, sebetulnya sudah banyak program yang dilakukan. Misalnya ketika, konsep ‘merakit komputer sendiri’ masih belum populer, saya sudah menggagasnya. Malah pada 1999, dalam sebuah acara bertajuk Arisan Informasi (ARTI), saya memperlihatkan video yang menunjukkan bahwa merakit komputer itu dapat dilakukan oleh siapa saja, bahkan oleh cewek-cewek BoNet yang kuku jarinya masih menggunakan cutex! Kemudian pada 2009, bersama dengan International Telecommunication Union (ITU) —sebuah organisasi internasional yang didirikan PBB untuk membakukan dan meregulasi radio internasional dan telekomunikasi— dan Kementrian Informasi dan Komunikasi, melakukan proyek untuk membangun 6900 Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK) dan 2000 Mobile PLIK yang dapat memberikan akses internet dengan menggunakan teknologi satelit.

3. Istilah ‘warung internet’ saya gunakan untuk mengganti kata ‘café’ yang berkesan terlalu elit. Dengan nama warung tersebut, saya berharap dapat lebih menarik perhatian masyarakat dari kalangan manapun.

(23)

bandwidth overseas we had to pay USD 10.000 per one-megabyte - compares with now, which is only USD 150/Mbps. While for the Jakarta-Bogor access we had to pay IDR 40 million only for one Mbps - currently 100 Mbps is only around IDR 50 million. Thus it could be imagined how bewildering it was to serve warung

internet3 (internet cafes) that reached up to nearly 400 points in Bogor.

The difficulties to fulfill the needs unfortunately were not answered by any initiatives from the government as the authority. In fact, at the time there were no preparations from the government. Finally, I and several other individuals decided to do it our way. My concern was how to make more people understand the use of internet. Based from the experience in building BoNet internet cafe , which at the time only had 75 users, I knew that most people in Bogor hadn’t fully understand the use of internet. Even only people who had studied abroad who knew and understood this technology. From this point I leaned how the technology and society’s demand are not going on a linear line. Finally, in 1999, I decided to ‘leave’ Bogor and made a series of workshops and seminars all over Indonesia together with Onno W. Purbo. My effort at that time was very reasonable, because Indonesia, whose people were still grasping with illiteracy, were being attacked by the rapid advances of technology, yet the infrastructures were not being immediately addressed by the government.

This gap between the progress of technology and infrastructure readiness is what cause Indonesians’ inability to absorb technology properly. Since the digital boom in 2000, our people had only become consumers and not the producers. If we compare the population percentage, perhaps only 3 - 5% of all population who can seriously utilize technology advancements. The percentages can be argued, but if we looked around we can see surprising facts about this. For instance, besides the previous Facebook and Twitter example, we could observe—also to ourselves— how many of us own a smartphone? And how many application we “master” in it, aside for telephoning, camera, multimedia and short text messages? The reality itself is an irony since in the midst of smartphones distribution we are still having issues with software piracy. You could that piracy issues also happen in other countries, but to bring to mind only few who did it and the nature is sharing. Compare it to the reality here, where the soft wares are on trade.

Piracy issues can actually be dealt with using open source, however, even the existing communities never show a significant progress because once again mostly became merely consumers. Despite that there are many Indonesian names that can be found in the Open Source world, there hasn’t been any new names, while those who are willing to teach and have better understanding about open source is still very limited. From the dozens of hackers I educate, only a few are still active and ‘in active guerrilla’ with the ‘old soldiers’ like Budi Raharjo (ITB), Made Wayang (Gunadarma) and RM Samik-Ibrahim (UI). Related to the community initiatives to deal with this technology advancement, actually a lot of programs were already done. When ‘assemble your own computer’ was not popular, I already had that idea. As a matter of fact in 1999, during an event titled Arisan Informasi (ARTI - Information Gathering), I already screened a video that assembling a computer can be done by anyone, even by BoNet girls whose nails were polished! Later in 2009, along with the International Telecommunication Union (ITU) - an international organization founded by United Nations to standardize and regulate international radio and telecommunication - and the Ministry of Information and Communication, ran a project to build 6900 Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK; Internet Service Center District) and 2000 Mobile PLIK that could provide internet access using satellite technology.

*

Information technology, especially internet, has become part of our culture today. The most significant influences is of course the convenience to get, to see, to read, to watch, and to access millions of information of various subjects that in the past might be difficult to seek. Unfortunately only a few people are having willing to use, to pay attention, and to share their knowledge. Some who are now experts and able to utilize the technology sometimes only want to do their own way and become arrogant. Technology advancement itself is no longer balanced with a good basic education system, that often there are ‘deviation’ of technology that might harm others and even one. We also continue to attach technology as a mere complementary for the modern lifestyle, not as a form of culture that needs to be addressed wisely and met with a careful preparation. The government certainly must prepare the facilities and infrastructures that are able to support the technology advancement in the right direction, so the society can harness the entire potential of this

(24)

Teknologi informasi, terutama internet memang telah menjadi bagian dari kebudayaan kita saat ini. Pengaruh yang paling signifikan tentunya kemudahan kita untuk mendapatkan,melihat, membaca, menonton, dan mengakses jutaan informasi dari berbagai macam hal yang pada jaman dulu mungkin sangat sulit untuk dicari. Namun sayang masih sangat sedikit yang mau memanfaatkan, memperhatikan, dan membagikan ilmunya. Beberapa yang sudah ahli dan mampu memanfaatkan teknologi malah terkadang hanya mau jalan sendiri dan menjadi bersifat arogan. Perkembangan teknologi itu sendiri tidak diimbangi dengan sistem pendidikan dasar yang baik, hingga sering terjadi ‘penyimpangan’ teknologi yang mungkin dapat merugikan pihak lain dan diri sendiri. Kita juga masih sekedar menempelkan teknologi sebagai bagian dari gaya hidup moderen semata, bukan sebagai sebuah bentuk kebudayaan yang harus disikapi dengan bijak dan disambut dengan persiapan yang matang. Pemerintah tentu harus menyiapkan sarana dan prasarana yang mampu mendukung perkembangan teknologi ini ke arah yang benar, sehingga masyarakat pun dapat memanfaatkan seluruh potensi dari teknologi dengan sebesar-besarnya. Namun, sebagai masyarakat, kita pun tidak boleh tinggal diam dan menunggu tangan penguasa saja. Kita harus berjuang untuk dapat mengembangkan kemampuan sendiri dan kemudian jangan sungkan untuk membaginya dengan orang lain. Walaupun belum tentu menyelesaikan masalah dengan tuntas, paling tidak kita dapat memahami teknologi dengan benar, dan semua hal itu, mungkin saja dimulai dengan satu hal. Membaca.

*) Michael Sunggiardi, lahir pada 1959, adalah seorang praktisi Teknologi Informasi di Indonesia. Pada tahun 1995, ia mendirikan warnet pertama di Indonesia. Michael juga banyak melakukan keliling ke kota-kota untuk memberikan pendidikan mengenai internet bagi warga. Kini ia masih aktif mengajar di Universitas Trisakti serta menjadi Konsultan Teknologi bagi Korlantas Polri.

(25)

technology. Yet, as the community, we also must not just stay put and waiting for the hands of the authority. We must struggle to develop our own abilities and later to not shy away from sharing it with others. Although this might not completely solve the issues, at least we can better understand technology, and all of these just might start with one thing. Reading.

*) Michael Sunggiardi, born in 1959, is a practitioner of Information Technology in Indonesia. In 1995, he founded the first Internet Cafe in Indonesia. Michael is also doing a lot of traveling to many cities to provide education about the internet for citizens. Currently he is still actively teaching at the University of Trisakti as well as Technology Consultant for Korlantas POLRI.

(26)
(27)
(28)

OK. Video

Irma Chantily lahir di Jakarta, 1985. Ia adalah penikmat fotografi, meski sama sekali bukan fotografer. Ia beberapa kali menulis tentang fotografi di media massa cetak dan online serta terlibat dalam produksi pameran foto atau seni rupa—baik sebagai kepala proyek, kurator, asisten kurator, penulis atau pun editor. Walau belum cukup sering atau pun mahir, Irma juga gemar melibatkan diri pada beberapa proyek penelitian fotografi Indonesia. Bersama dua rekannya, ia membuat www.sejarahfoto.com, sebuah inisiatif untuk mencoba memetakan sejarah fotografi Indonesia. Pada 2011, Irma bergabung dengan Komunitas Salihara dan satu tahun kemudian ia menjadi manajer arsip dan dokumentasi—sambil terkadang tetap memenuhi panggilan untuk menjadi pengajar lepas di Program Studi Fotografi, Institut Kesenian Jakarta

Julia Sarisetiati lahir di Jakarta, 1981. Setelah menamatkan pendidikan di Jurusan Fotografi di Universitas Trisakti, Jakarta, ia aktif terlibat dalam berbagai proyek seni di ruangrupa. Sejak 2008 hingga 2011, ia menjadi manajer ruangrupa, dan setelah itu tergabung dalam komite artistik RURU Corps http://www.rurucorps. com, sebuah biro komunikasi visual yang didirikan oleh ruangrupa, Serrum, dan forum Lenteng. Di samping bekerja sebagai fotografer lepas dan berkarya dengan medium fotografi, ia kerap mengembangkan praktik artistiknya ke wilayah lain yang berpijak pada riset dan kolaborasi lintas disiplin. Pameran terakhir yang dikuratori olehnya adalah Sugar Town. Inc, sebuah proyek kerjasama antara ruangrupa dan Noorderlicht.

Rizki Lazuardi lahir di Semarang, 1982. Ia menyelesaikan pendidikannya di Jurusan Komunikasi Massa, FISIP Universitas Diponegoro pada 2007. Di samping menyelesaikan studi formal tersebut, di tahun yang sama Rizki juga mendapatkan fellowship dari Yayasan Kelola, dan kemudian Berlinale Talent Campus for Visual Art di Jerman pada 2009. Selain bekerja untuk Goethe-Institute Jakarta, dirinya juga aktif terlibat baik sebagai kurator/programmer ataupun seniman dalam berbagai festival film-video di Indonesia dan luar negeri. Proyek terakhirnya adalah Dear Curator, Curate Me di Selasar Sunaryo Art Space Bandung pada awal 2013. Dalam proyek ini, Rizki mencoba mengkaji kembali pola hubungan yang jamak muncul dalam praktek kuratorial, pameran, dan pengarsipan karya video.

MEDIA/ART KITCHEN

Ade Darmawan, lahir di Jakarta, 1974. Ia aktif berkarya sebagai perupa dengan karya mulai dari instalasi, obyek, cetak digital, hingga seni rupa publik. Ade belajar di Insitut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, di Jurusan Seni Grafis. Pada tahun 1997, ia melangsungkan pameran tunggal pertamanya di Cemeti Contemporary Art Gallery. Setahun setelahnya, Ade menetap di Amsterdam, Belanda selama dua tahun mengikuti program residensi di Rijksakademie Van Beeldende Kunsten (Akademi Seni Rupa, Belanda). Pada 2000, bersama dengan lima orang seniman muda dari Jakarta, ia mendirikan ruangrupa, sebuah lembaga nirlaba yang fokus pada seni rupa dan kaitannya dengan konteks budaya sosial terutama dalam lingkungan perkotaan. Dari 2006 - 2009 ia menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta, dan pada 2009 ia menjadi Direktur Artistik Jakarta Biennale XIII-ARENA. Sekarang ia tinggal dan bergiat di Jakarta sebagai perupa, Direktur ruangrupa, dan Direktur Eksekutif Jakarta Biennale 2013.

M. Sigit Budi. S, lahir di Jakarta pada 1983. Ia lulus dari Fakultas Seni Rupa, Universitas Negeri Jakarta. Pada 2006, Sigit turut membidani lahirnya Serrum (www.serrum.org) sebuah komunitas seni rupa, yang membuat beberapa program seperti Propagraphic Movement and Project. Ia bergabung di ruangrupa sebagai Koordinator Pameran di RURU Gallery, menjadi seniman dan Koordinator Artistik di Jakarta 32°C (Bienalle Pelajar dan Mahasiswa) dan bertindak sebagai Kurator di Grafis Huru-Hara. Pada 2008, ia menjadi

CURATORS

(29)

Irma Chantily was born in Jakarta, 1985. She is a connoisseur of photography, although she’s not really a photographer. She has been writing about photography both online and printed media, and also participated in photography and visual art exhibition—as of the head of the project, assistant curator, curator, author, and editor. Although she didn’t quite often nor adept, Irma is constantly dabble in some research project photography Indonesia. Along with two of her friends, she initiated www.sejarahfoto.com, an initiative who tries to map the history of photography indonesia. In 2011, Irma joined Komunitas Salihara. One year later, she became manager of archive and documentation while sometimes still fulfill the call to become a freelance lecturer for Photography study program, Institut Kesenian Jakarta.

Julia Sarisetiati, was born in Jakarta, 1981. After graduating her study at Department of Photography, Trisakti University, Jakarta, she has been involved in many art projects of ruangrupa. Since 2008 until 2011, she became the manager of ruangrupa. After that, Sari joined RURU Corps (www.rurucorps.com), a visual communication bureau established by ruangrupa, Serrum, and Forum Lenteng, as Artistic Committee. She’s also a photographer and often makes art using photo as the medium, and continues to develop her artistic practice to other fields of study, which based on research and multidiscipline collaboration. She recently became the curator for Sugar Town Inc., a collaboration between ruangrupa and Noorderlicht.

Rizki Lazuardi was born in Semarang, 1982. He finished his study on Department of Mass Communication, Diponegoro University on 2007. While completing the formal study, in the same year Rizki also received fellowship from Yayasan Kelola, and then Berlinale Talent Campus for Visual Art in Germany at 2009. Currently, beside working at Goethe-Institute Jakarta, he is also actively engaged either as curator/ programmer or artist in various festival film-video in Indonesia and abroad. His recent project was Dear Curator Curate Me at Selasar Sunaryo Art Space Bandung, early 2013. In this project, Rizki was trying to reassess relationship pattern which appears in many practice of curatorial, exhibition, and video archiving.

Ade Darmawan, was born in Jakarta, 1974. He has been actively working as visual artist with works range from installations, objects, digital print and public art. He studied at Indonesia Art Institute (I.S.I), in Graphic Art Department. A year after His first solo exhibition in 1997 at the Cemeti Contemporary Art Gallery, Yogyakarta (now Cemeti Art House), he stay in Amsterdam, Netherlands for two years residency at the Rijksakademie Van Beeldende Kunsten (State Academy of Fine Arts, Netherlands). In 2000, with five other artists from Jakarta he founded ruangrupa. A non-profit organization, which focuses in visual arts and its relation with the social cultural context especially in urban environment. From 2006-2009 he was a member of Jakarta Arts Council, and in 2009 he became the artistic director of Jakarta Biennale XIII-ARENA. Now he lives and works in Jakarta as an artist, Director of ruangrupa, and Executive Director of Jakarta Biennale 2013.

M. Sigit Budi S, was born in Jakarta, 1983. He graduated in art major at Universitas Negeri Jakarta, and established an art community called Serrum (serrum.org) in 2006 until now, with programs such as Propagraphic-Movement and Project_or. He later joined ruangrupa as Exhibition Coordinator for RURU Gallery, taking part in the Artistic Team for Jakarta 32°C (student’s biennale), Curator for Grafis Huru-Hara (Print-making group from Jakarta). In 2008 he became finalist in Indonesia Art Award and did a residency at H.O.N.F Yogyakarta. Sigit became an Assistant Currator for Jakarta Biennale, Coordinator Exhibition for

(30)

finalis dari Indonesia Art Award serta mengikuti residensi di H.O.N.F Yogyakarta. Sigit menjadi Asisten Kurator pada Jakarta Biennale 2009, selain itu ia juga menjadi koordinator pameran untuk OK. Video Comedy dan mengikuti lokakarya penulisan seni rupa yang diselenggarakan oleh www.jarakpandang.net. Pada 2011, ia mengikuti residensi di Jatiwangi Art Factory (JAF) untuk karya videonya.

VIDEO ART & PUBLIC PROGRAM

Solange Oliveira Farkas adalah seorang kurator yang telah berkarir selama 25 tahun di dunia seni rupa Internasional. Ia merupakan penggagas International Contemporary Art Festival SESC_Videobrasil, serta menyelenggarakan berbagai pameran seni rupa yang cukup penting di Brasil dan sekitarnya. Antara 2007 dan 2010, ia menjabat sebagai Direktur dan Kurator Kepala dari Museum of Modern Art of Bahia. Pada 2004, Farkas mendapatkan penghargaan dari Sergio Motta Hors Concours Award. Ia juga menjadi salah satu anggota juri dari Nam June Paik Award di Jerman.

Arjon Dunnewind, lahir di Ommen, Belanda, pada 1967. Menempuh pendidikan di Utrecht School of Arts. Pada 1988, ia menyelenggarakan Impakt Festival pertama dan pada 1993 dia mendirikan Impakt Foundation. Sepanjang 1990-an, menjadi kurator serta menyelenggarakan program dan presentasi bagi seniman dan pembuat film internasional, proyek yang nantinya berkembang menjadi Impakt Event. Dari 1994 sampai 1997, ia menjadi produser KabelKunst dan Vizir, dua seri televisi tentang seni video dan film eksperimental. Pada 2000, ia memulai program Impakt Online, sebuah proyek yang bertujuan untuk mengembangkan internet sebagai platform dalam mempresentasikan siaran video dan proyek seni interaktif. Pada 2005 ia membuat Impakt Works yang memfasilitasi seniman dengan medium video, media digital, dan teknologi baru untuk membuat karya-karya baru. Arjon juga bekerja sebagai penasihat untuk beberapa organisasi kesenian seperti, The Dutch Film Fund, The Dutch Mediafonds & Fonds BKVB. Ia juga secara rutin memberikan kuliah tamu di beberapa akademi dan universitas seni serta berpartisipasi sebagai juri dalam berbagai festival dan kompetisi seni.

Kristi Maya Dewi Mofries berasal dari Melbourne, Australia yang saat ini tinggal di Yogyakarta. Ia adalah kurator independen untuk seni rupa, musik eksperimental dan film. Gelar Bachelor of Arts dibidang fotografi didapat di Grad Dip dalam Media Studies, Royal Melbourne Institute of Technology, Australia. Dia telah menjadi kurator sejumlah pameran internasional di antaranya; Contemporary Photography from Indonesia: Mes 56, Centre for Contemporary Photography, Melbourne, Australia; Piece by Piece, ROOM Galerij, Rotterdam, Belanda; Southern: A Show of 10 Australian Artists, HOME Gallery, Prague, Republik Ceko; Out of the Vault, pemutaran film 16mm dari arsip film ACMI, Clubs Projects, Melbourne, Australia; dan Tropis///Subsonics Festival, festival musik eksperimental, Yogyakarta.

Arie Syarifuddin, dikenal juga sebagai Alghorie. Lahir di Jatiwangi, Jawa Barat, Indonesia pada 1985. Tinggal dan bekerja di Jatiwangi dan Jakarta, Indonesia. Sejak 2006 aktif mengikuti banyak kegiatan seni kontemporer baik lokal maupun internasional, seperti festival, pameran, lokakarya, video, musik, performans, penelitian, dan sebagainya. Saat ini, selain menjadi direktur Jaf Air dan tim kreatif desain di Studio Ahmett Salina, ia juga menjalankan proyek seni kulinernya, berjudul Makanan Adalah Bahasa Persatuan.

Benny Wicaksono adalah seniman suara dan visual, illustrator, desainer grafis, dan peneliti media independen. Pendiri VIDEO:WRK – Surabaya International Video Festival ini juga salah seorang pendiri ELECTRO:WORK! – Festival Musik Elektronik. Ia aktif berpameran di dalam dan luar negeri di sela waktunya menjadi pembicara dan pemateri untuk sejumlah kuliah tamu dan lokakarya seni media di berbagai kampus di Surabaya. Saat ini ia sedang aktif membangun intitusi independennya, WAFT-Lab.

Gambar

Gambar dan suara akan berubah sesuai dengan posisi bidang layar kaca. Tapi walaupun sebagai mainan DIY  Lumenoise diciptakan di era digital, perangkat ini hanya kompatibel dengan televisi tabung.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian ini, maka representasi perempuan pekerja migran menurut laki-laki di Kota Palembang dapat dilihat dari enam kategori, yaitu persepsi, peran perempuan

Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera abdomen , tetapi trauma tumpul pada abdomen dapat terjadi karena kecelakaan motor , jatuh, atau pukulan.. Laserasi , merupakan

Sequences of the Serratia plymuthica Strains 3Rp8 and 3Re4-18, Two Rhizosphere Bacteria with Antagonistic Activity Towards Fungal Phytopathogens and Plant Growth

SUSANTO Seni Budaya SMA PEMBANGUNAN WONOSARI SABTU, 9 Agust 2014 51 Kab... Teknik Kendaraan Ringan SMK Muhammadiyah Doro SABTU, 9 Agust 2014

Sebabnya, Islamisasi ilmu pengetahuan saat ini (the Islamization of present-day knowledge), melibatkan dua proses yang saling terkait: i) mengisolir unsur-unsur dan konsep-konsep

Perusahaan, Komisaris, Direksi, Manajemen dan afiliasi-afiliasi serta perwakilan-perwakilan mereka secara tegas menolak setiap kewajiban atau kesanggupan untuk memperbarui

Banyak jenis metode peramalan yang tersedia untuk meramalkan permintaan dalam produksi. Namun yang lebih penting adalah bagaimana memahami karateristik suatu metode peramalan

Bab III buku ini memuat hal-hal pokok yang berkaitan dengan turunan fungsi, antara lain (1) pengertian dan sifat turunan, (2) aturan rantai, (3) turunan fungsi implisit