• Tidak ada hasil yang ditemukan

“…Aneh sebenarnya, bila masih ada pihak yang terperangah melihat perkembangan mutakhir macam ini, terutama bila mereka berasal dari kalangan seni rupa sendiri. Beberapa di antaranya lantas mengeluarkan komentar yang bukan cuma basi, tapi—maaf—bodoh: ‘ini bukan seni’ atau bahkan: ‘Apaan video art? Orang-orang Glodok saja lebih jago.’ Saya sendiri tidak sepenuhnya bisa memahami (atau menyukai) karya-karya video seperti yang terangkum dalam Festival (OK. Video). Tapi membludaknya karya yang masuk ke ruangrupa menunjukkan bahwa fenomena ini jelas ada, tidak bisa kita pungkiri. Yang mestinya jadi pertanyaan justru: mengapa kita terkejut melihat pertautan antara seni dan teknologi, seakan-akan hal itu baru berlangsung setahun dua tahun saja? Bukankah keduanya sepanjang berabad-abad sejarahnya di Eropa, memang berkembang bersama secara dialektis?”5

Dalam seni media, penggunaan medium video secara umum dapat dikelompokkan ke dalam tiga pengertian, yaitu: Pertama, melakukan percobaan-percobaan terhadap medium dan teknologi yang secara radikal menyasar televisi dan melakukan perlawan terhadap alienasi yang terjadi akibat institusionalisasi lembaga penyiaran; Kedua, melihat video sebagai seni yang berusaha masuk ke ruang galeri dan museum; Ketiga adalah bermain di wilayah politik media dengan eksperimentasi yang cenderung konseptual dan berusaha untuk mencari altenatif bahasa dan konten terhadap media massa (televisi) yang membedakan mereka secara politis (Spielmann, 2008). Menururut Agung Hujatnika, berbeda dengan konteks perkembangan di Barat, dalam kekaryaan seniman media Indonesia generasi awal yang menggunakan medium video, prinsip kolaborasi antara seni dan teknologi tidak terlalu dieksplorasi dengan semangat penemuan ilmiah.6

Gambaran Singkat OK.Video dalam 10 Tahun.

OK. Video Jakarta International Video Art Festival 2003 merupakan penanda penting bagi ruangrupa dalam memandang perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia. Kehadiran festival dua tahunan berskala internasional ini merupakan salah satu cara ruangrupa untuk merasuk ke dalam medan seni rupa untuk mewacanakan penggunaan teknologi media dalam karya seni rupa. Festival video ini merupakan usaha untuk membaca perkembangan fenomena ini, karena toh teknologi media sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia terutama di perkotaan.

Saya masih ingat saat gagasan memulai pameran besar seni video ini muncul, Pertanyaan pertama yang ada di kepala kami waktu itu adalah siapa yang akan menjadi kurator? Siapa yang akan menulis? Tentu tak mudah untuk mengundang seorang kurator atau penulis yang belum memiliki pengalaman melihat karya-karya gambar bergerak, lalu memintanya menjadi kurator atau menulis tentang karya-karya seni video. Lewat proses diskusi, kami memutuskan untuk menjadi kurator festival pertama seni video berskala internasional ini secara bersama-sama. Kurator gelaran pertama OK. Video saat itu adalah: Ade Darmawan, Farah Wardani (yang saat itu masih aktif di ruangrupa), dan saya sendiri. Proses kuratorial sendiri dilakukan dengan metode sharing pengalaman audio visual dan karya seni gambar bergerak dari masing-masing kurator. Lalu, kami juga mengundang Agung Hujatnika, salah satu kurator muda berbakat dari Bandung —juga pengajar di Fakultas Seni Rupa Intitut Teknologi Bandung— untuk masuk dalam tim kurator sebagai unsur luar ruangrupa dan menjadi penyeimbang dalam melihat lebih kritis fenomena seni video dengan pendekatan teoritis-akademis. Festival OK. Video sendiri merupakan kelanjutan proyek seni yang sebelumnya diadakan ruangrupa pada tahun 2001, yaitu: Silent Forces—proyek seni video dalam membaca Jakarta. Proyek ini mendedah fenomena budaya visual urban dengan membingkai persoalan-persoalan sosial-budaya kota Jakarta lewat penggunaan medium video. Dua orang seniman muda dari Indonesia dan dua seniman video dari Argentina dan Belgia diundang untuk berpartisipasi dalam kegiatan ini. Lalu, untuk keperluan data yang dibutuhkan dalam proyek seni ini, ruangrupa melakukan penelitian tentang fenomena seni video di Indonesia. Saat itu, saya bersama Ugeng T. Moetidjo ditunjuk sebagai periset dan melakukan penelusuran karya-karya seni video yang pernah ada di Indonesia. Referensi buku yang kami punya tentang seni video di Indonesia hanya Video Publik, Krisna Murti terbitan Kanisius Yogyakarta tahun 1999. Saat itu, ruangrupa menganggap pentingnya memasukkan unsur teknologi media dalam proyek-proyek seninya. Hal ini terjadi dengan melihat fenomena teknologi video (media) yang sudah merasuk dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Medium video telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya visual masyarakat urban yang menjadi perhatian utama ruangrupa. Proyek 5. Ronny Agustinus, “Video: Not All Correct…’, Katalog Paska Pameran OK. Video Jakarta International Video Art Festival 2003 (Ruangrupa, Jakarta, 2003). hlm. 109. 6. Agung Hujatnika, “Tentang Seni Media Baru: Catatan Perkembangan”, Buku Apresiasi Seni Media Baru (Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Nilai Seni dan Film, Depbudpar, 2006), hlm. 22.

happened two years ago? Aren't they throughout centuries in European history developing together dialectically?"5

In the media art, using video as medium can be categoried into three parts, such as: the first, doing experimentations into medium and technology radically and specially addressed to televion and doing a resistance toward alienation due to the institutionalization of our broadcasting system; the second one, seeing video as art that trying to be part of gallery and museum; third, playing around in the political area of media through experimentation which is conceptual and trying to search other alternative language and content toward mass media (television) (Spielman, 2008). According to Agung Hujatnika, the development and art process for artists in the West and Indonesia is different. The first generation of video artists were not considered the principal of collaboration between art and technology with spirit of scientific discovery. 6

OK. Video Overview in 10 Years.

OK. Video Jakarta International Video Art Festival 2003 is an important signifier for ruangrupa to see the development of contemporary art in Indonesia. The presence of this international-scale biennal is one of ruangrupa’s way to obsess in the art field to contribute a discourse on technology and artworks. This video festival is an effort to follow the flowering of this phenomenon because, as we know, technology has been being the part of Indonesian people everyday life, especially in the city.

I still remember the idea when this big video festival appeared - the first question in our mind was who will be the curators? Who wants to write? We knew that it is hard to ask a curator or a writer who never had an experience to see moving image artworks then ask them to curate or write about video art. Through discussion, we decided to be the first curator of this festival. The curators of the first OK. Video Festival were: Ade Darmawan, Farah Wardani (still active in ruangrupa for that time), and me. The curatorial process itself was done by sharing method of each curator’s visual experiment on audio visual and moving image artworks. We invited Agung Hujatnika then, one of young talented curator from Bandung to join the curator team as the one outside ruangrupa and the balancing, the one who will see this phenomenon more critically through theoretic-academics approach.

OK. Video Festival itself was a continuation of ruangrupa previous art project in 2001, namely: Silent Forces - a video art project to look at Jakarta. This project uncovered an urban visual culture phenomenon with framing socio-cultural aspect of Jakarta through the use of video as medium. Two young artists from Indonesia and two video artists from Argentina and Belgium were invited to participate this event. For data collection that will be used in this event, ruangrupa had done research about video art phenomenon in Indonesia. At that time, me with Ugeng T. Moetidjo were designated to be researcher and we investigated video artworks that had been existed in Indonesia. As reference, we had a book about video art Video Publik (Public Video) written by Krisna Murti and published by Kanisius Yogyakarta in 1999. At that time, ruangrupa considered the importance to put technology elements in its art projects. This happened because we saw that technology video (media) had been pervasive in people’s lives. Video medium had been being a part that cannot be separated from visual culture of urban communities which became ruangrupa main interest. Video art project Silent Forces and the result of the research then were summarized in the second edition of Karbon journal with Video Art as its theme. OK. Video Jakarta International Video Art Festival 2003 became a valuable lesson for ruangrupa, especially on how to put video art in the visual art field in Indonesia. In the beginning of 2000, video art had not been considered important phenomenon in our art field. It was only looked as ‘small wave’ of young artists movement who carried away by use technology in the word of contemporary art field. Ruangrupa decided to omit ‘art’ in OK. Video as one of the way to spread the discourse on using video for the artworks. In our view, at that time, art terminology often build a distance between audience and the artwork. Public in Indonesia still considered art as something special, odd, and hard to understand. Whereas, the language of this audio visual medium had appeared for along time.

There was a significant increase on the displayed artworks and a number of participants in 2005, in the OK. Video Sub/Version—2nd Jakarta International Video Festival 2005. Comparing with the event in 2003 when there were 150 entries of video arts, in 2005 there were 200 entries. The big leap happened when there were 350 entries for OK. Video Militia—3rd Jakarta International Video Festival 2007. In this third event, OK Video

5. Ronny Agustinus, ‘Video: Not All Correct…’, OK.Video Jakarta International Video Art Festival 2003 After Event Catalog(Ruangrupa, Jakarta, 2003). page. 109. 6. Agung Hujatnika, “Tentang Seni Media Baru: Catatan Perkembangan”, Buku Apresiasi Seni Media Baru (Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Nilai Seni dan Film, Depbudpar, 2006), page 22.

seni video Silent Forces dan hasil penelitian tentang seni video di Indonesia kemudian terangkum dalam jurnal Karbon edisi kedua dengan tema Video Art.

OK. Video Jakarta International Video Art Festival 2003, telah memberi pelajaran berharga bagi ruangrupa, terutama bagaimana meletakan seni video dalam medan seni rupa Indonesia. Pada awal tahun 2000-an, seni video belum dianggap sebagai sebuah fenomena penting dalam medan seni rupa kita. Ia hanya dilihat sebagai ‘riak kecil’ gerakan seniman muda yang terpesona oleh penggunaan teknologi dalam medan seni rupa kontemporer dunia. Ruangrupa memutuskan untuk menghilangkan kata ‘art’ dalam OK. Video sebagai salah satu cara untuk memperluas bacaan terhadap penggunaan medium video dalam karya seni. Dalam pandangan kami waktu itu, terminologi art atau seni sering membangun jarak antara audiens dan karyanya. Khalayak di Indonesia masih menganggap seni sebagai sesuatu hal yang bersifat spesial, asing dan sulit untuk dimengerti. Padahal, kehadiran bahasa medium audio visual ini telah lama hadir di tengah-tengah masyarakat.

Peningkatan yang cukup signifikan apabila dilihat dari jumlah karya yang ditampilkan dan partisipasi seniman terjadi pada tahun 2005, dalam gelaran OK. Video Sub/Version—2nd Jakarta International Video Festival 2005. Dibandingkan dengan 2003, di mana jumlah karya yang masuk 150 video, pada tahun 2005 karya yang masuk berjumlah 200 karya video. Lompatan besar terjadi pada saat OK. Video Militia—3rd Jakarta International Video Festival 2007, di mana jumlah karya yang masuk ke panitia berjumlah 350 karya video. Pada gelaran ketiga ini, OK.Video melakukan program workshop ke 12 daerah di Indonesia. Program workshop tersebut menghasilkan 120 karya seni video yang kemudian dipresentasikan di Galeri Nasional Indonesia. Pada pameran bertajuk ‘MILITIA’ itu juga 239 karya seni video ditampilkan di ruang-ruang publik seperti; stasiun kereta api, kafe, toko buku, perkantoran dan halte busway. Pada OK. Video Comedy—4th Jakarta Intenational Video Festival 2009, jumlah karya yang masuk mengalami penurunan yaitu berjumlah 242 karya. Namun, yang menarik dari festival ini adalah karya seniman Indonesia yang dipilih mengalami peningkatan secara mutu dalam hal ini ekperimentasi kekaryaan. OK. Video FLESH—5th Jakarta Intenational Video Festival 2011, merupakan magnet terbesar sepanjang diadakannya OK. Video, dengan jumlah karya yang masuk ke ruangrupa 500 karya seni video. Fesival kelima ini juga menyedot lebih dari 6500 pengunjung.

Dari gambaran singkat tentang perkembangan OK. Video selama 10 tahun terakhir, secara pribadi saya tentu merasa bangga pada apa yang telah dicapai oleh festival ini. Beberapa indikator yang dapat dilihat adalah: 1) munculnya seniman-seniman yang secara total menjadikan medium video sebagai pilihan bahasanya, 2) munculnya kelopok-kelompok seniman dan komunitas berbasis teknologi media yang memproduksi karya-karya video, meskipun karya-karya video tersebut tidak diniatkan sebagai karya-karya seni, 3) hadirnya berbagai gelaran serupa yang menjadikan penggunaan teknologi media sebagai fokusnya, dan 4) ada banyak seniman-seniman muda yang karyanya mendapat pengakuan secara nasional dan internasional, baik dalam konteks wacana maupun pasar seni rupa.

Namun, kebanggaan yang saya rasakan memunculkan berbagai pertanyaan, salah satunya sejauh mana OK.Video mampu memberikan kontribusi pada perkembangan estetika seni, baik dalam konteks seni video itu sendiri maupun seni rupa kontemporer Indonesia dan international secara umum? Karena dalam sejarah, seni secara ideologis selalu memisahkan antara kesenian dan media. Kita dapat melihat bagaimana tidak diakuinya filem sebagai salah satu bentuk seni. Pentingnya kehadiran seni video adalah menghapus pemisahan ideoligis tersebut. Seni video secara retrospektif dianggap berhasil berkontribusi untuk memperluas genre-genre seni ke media.7 Dalam posisi yang cukup politis inilah OK. Video Festival dapat mengambil peran selanjutnya. Saya mengharapkan ia dapat meleburkan berbagai kemungkinan dalam penggunaan teknologi media dalam seni. Karena bagi saya, seni saat ini bukan hanya melulu persoalan medium, namun bagaimana menyuarakan pesoalan sosial, politik dan kebudayaan dengan keniscayaan ruang informasi yang sudah membanjiri kita.

*) Hafiz lahir pada 1971. Ia menempuh pendidikan di Fakultas Seni Rupa,Institut Kesenian Jakarta. Ia adalah salah satu pendiri ruangrupa (2000) dan Forum Lenteng (2003). Disamping menjadi periset dan curator untuk sejumlah pameran seni rupa, Ia juga aktif berkarya dalam medium video. Sekarang, ia menjabat sebagai Ketua Komite Seni Rupa, Dewan Kesenian Jakarta.

had done workshop program in 12 areas in Indonesia. The result of this workshop was 120 artworks that later were presented in Indonesia National Gallery. At the exhibition entitled ‘MILITIA’, there were 239 artworks displayed in several public spaces, such as: train station, cafe, bookshop, workplace and bus stops. At the OK. Video Comedy—4th Jakarta Intenational Video Festival 2009, there was an increasing number of entries, only 242 artworks. However, there was a quality improvement on the experimentation of the artworks from selected video artist, which became the interesting point of this festival. Then, OK. Video FLESH—5th Jakarta Intenational Video Festival 2009 was a magnificent magnet for OK. Video - there were 500 entries. This fifth festival was able to bring more than 6500 visitors.

From the brief overview of OK. Video development during this last 10 years, personally, I would be proud of what has been achieved by this festival. Some indicators that can be seen are: 1) the emerging of the artists who used video as their language, 2) the emerging of group of artists or communities which used media technology to produce video art, although at first they did not mean it to make it as artworks, 3) the presence of similar events which focus on use media technology, and 4) there are so many young artists who have been acknowledged in national and international for their artworks, both in context of discourse or art market. However, this pride leads me to several questions, one of them is how far OK. Video will be able to contribute to the progress of art aesthetic both in the video art context or in the contemporary art in Indonesia and international generally? As we can see from history, art, through ideological perspective, always separated art and media. As for example, we can see how cinema never be acknowledged as one of art forms. The important of video art, then, is to wipe out this ideological separation. Video art, is considered good contribution to expand the genres of art in media.7 In this political position, OK. Video Festival can make the next turn. I hope OK. Video can fuse all the possibilities in the using of media technology in art. Well, for me, art nowadays is not only about medium, but also about rose up the issue of social, political and cultural within inevitability information space that has flooded us.

*) Hafiz b. 1971. He studied at Faculty of Fine Art, Jakarta Arts Institute. He is well known as one of the founders of ruangrupa (2000) and Forum Lenteng (2003), a community that focuses on research and development in video art. Apart from being researcher and curator for amount of exhibitions and projects, he also vigorously creates video art. Now he served as Chairman of the Fine Arts Committee of the Jakarta Art Council.

Dokumen terkait