KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN BURUNG DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO
1)Doni IrsanNaufal*, 1)Elyska Ghasya Al Khairiyah*, 1)Harnizar*, 1)Heny Hermawati*, 1)Indah
Octaviara Sari*, 1)Putri*, 1)Alfathan Luthfi, 1)Hajar Indra Wardhana, 1)Rizky Aprizal, 1)Uchy Agustina 1Program Studi Biologi, Fakultas Sains danTeknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jalan Ir. H. Juanda No.95 Ciputat 15412 Tangerang Selatan Indonesia
ABSTRAK
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakansalahsatu taman nasional yang berada di provinsi Jawa Barat. Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu marga satwa yang mudah dijumpai hampir di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan satwa di Indonesia (Wisnubudi,2009). Penelitianinibertujuanunukmengetahuikenakeragaman, kelimpahan, dominansidanpenyebaranburung di kawasan Taman NasionalGunungGedePangrango (TNGGP), Situ Gunung, Sukabumi, Jawa Barat. Penelitian dilakukan pada 21-23 April 2017 dengan menggunakan metode Point Count (titik hitung), dengan mengamati titik yang berbeda selama 10 menit dengan radius 40 meter. Hasil pengamatan pada kawasan danau dan curug Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Situ Gunung, Sukabumi, Jawa Barat, ditemukan 32 spesies dengan jumlah 86 individu. Tingkat kemerataan pada kawasan danau dan curug termasuk kedalam kategori stabil dan memiliki pola penyebaran yang seragam. Sedangkan tingkat keanekaragaman dan dominansi pada kedua kawasan tersebut masing-masing memiliki tingkat yang berbeda.
Kata kunci: Curug, danau, habitat, keanekaragaman
PENDAHULUAN
Menurut UU No. 5 Tahun 1990, taman nasional merupakan kawasan pelestarian yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan peneilitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman nasional berperan dalam pelestarian keanekaragaman hayati, sehingga penunjukkan dan penetapannya sedapat mungkin diupayakan bisa mencakup perwakilan semua tipe ekosistem yang ada di berbagai Pulau di Indonesia. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu habitat terakhir bagi kehidupan berbagai jenis flora dan fauna endemik sebagai komponen keanekaragaman hayati di Indonesia (Basalamah et al., 2010)
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan salah satu taman nasional yang berada di provinsi Jawa Barat. TNGGP memiliki luas kawasan ±21.975 ha. Bila ditinjau dari segi konservasi, kawasan ini mempunyai keanekaragaman hayati yang cukup tinggi.
hubungan timbal balik dansaling tergantung dengan lingkungannya.
Menurut Bibby et al., (1998), burung sebagai indikator perubahan lingkungan, dapat digunakan sebagai indikator dalam mengambil keputusan tentang rencana strategis dalam konservasi lingkungan yang lebih luas (Paramitaet al., 2015)
Menurut Wirasiti et al.. (2004), burung merupakan satwa yang memiliki arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kehidupan manusia. Atas dasar peran dan manfaat ini, maka keberadaan burung perlu dipertahankan (Rusmendro, 2009). Pada dasarnya, setiap jenis burung memiliki potensi habitat yang berbeda-beda, suatu habitat yang digemari oleh suatu jenis burung belum tentu sesuai untuk jenis burung yang lain (Sujatnikaet al., 1995).
METODOLOGI
Lokasi pengamatan dilakukan dikawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Situ Gunung, Sukabumi, Jawa Barat, Indonesia pada 21-23 April 2017. Pengamatan dilakukan di dua habitat yang berbeda yaitu danaudancurug.Pengamatandilakukanpad awaktupagi 07.01 – 10.00 danpada sore 15.30 – 16.30. Peralatan yang digunakandalampengamataniniadalahbino
kuler, tabulasi data,
bukupanduanlapangan “Birds Field Guide – Mckinnon”, stopwatch dankamera.
Pengamataninidilakukan dengan menggunakan teknik Point Count
(titikhitung) denganmengikutijalur yang telahada. lokasipengamatan, padamasing-masing habitat yang berbeda. Setelah data terkumpul, data dianalisis menggunakanrumussebagaiberikut :
1. Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener or Shannon Index Diversity (H’ atau Dshannon)
Keterangan :
∑=¿ sum
s = number of species
pi = proportion of individuals found in the i species and estimated as ni/N
¿ = number of individuals pf species i
N = the total number of individuas of all species
log = log2 (log 10 and log have also been used)
Nilaiindekskeanekaragaman Shannon-Wiener diklasifikasikansebagaiberikut :
2. Shannon evenness (J’ or Eshannon)
H
’ = -
∑
i=1
s
pilogpi
Range: 0 – 1 greatest evenness
J’ = Evenness
H’ = diversity index value (Shannon)
S = total number of species
3. Simpson index dominance
Pi = ni/N
4. Distribusi(Distribution)
menggunkan Indeks Morisita (MI) denganrumus:
dimana n, adalah total jumlahindividu di dalamkuadrat, N adalahjumlah total darisemuaindividu, dan S besaradalahjumlah total darikuadrat. NilaiindeksMorisita’s (MI) memilikiketetapan, apabila: MI ¿ 1, maka nilainya seragam
MI = 1, makanilainyaterdistribusi acak, dan
MI ¿ 1, maka nilainya berkelompok
λ =
∑
Pi 2MI =
n2– N
∑
¿ ¿0 1 2 3 4 5 6 7 8
Ab Ht Av Cf Cb Msa Ap Cl Di Ds Gs Os Pa Pf Sc Scs Aj Ae Hc Lp Pg Or Sb Dtm Ms Cm Cfs
HASIL DAN PEMBAHASAN
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5
Cv Ms Dt Ei Pg Zp Ab Dtm Ae Msa Cm Scs Pf At
Gambar 1. Grafik Jumlah Spesies di Kawasan Danau
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada dua lokasi yang berbeda, yaitu di Danau dan di Curug, dijumpai 27 jenis burung di Danau dan 14 jenis burung di Curug. Pengamatan dilakukan pada pagi hari dengan metode Point Count. Untuk melihat jenis yang didapatkan di kedua lokasi dapat dilihat pada grafik 1 dan 2. Pengamatan dilakukan pada pagi hari antara pukul 06.00-11.00 pada plot pengamatan yang telah ditentukan, dimana waktu tersebut merupakan saat yang tepat bagi burung untuk mencari makan, sehingga peluang burung yang teramati besar (Fachrul, 2006).
Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel 1, terlihat bahwa pada waktu pagi hari di masing-masing habitat didapatkan kenakeragaman jenis burung yang relatif tinggi. Hal ini diduga karena pada pagi hari, jenis-jenis burung sedang memulai aktifitas hariannya, terutama mencari makan. Sedangkan pada sore hari terdapat kecenderungan beberapa jenis burung sedang istirahat atau melakukan dengan jenis burung lainnya, hal tersebut dapat dilihat pada grafik 1 yang menunjukan bahwa burung Walet Linchi
(Collocalia linchi) menduduki posisi tertinggi. Burung ini bercirikan adanya warna putih di daerah dada yang menjadi pembeda antara walet linchi dengan spesies walet lainnya. Burung ini termasuk jenis burung dengan ukuran relatif kecil kisaran 9-10 cm. Burung walet kecil yang sangat polositik dengan ekor persegi; umumnya bagian atas tubuh burung bewarna sangat biru dengan leher bewarna cokelat, perut putih, dan pada panggul terdapat bintik-bintik gelap. Burung ini jarang mengeluarkan suaranya
dan umumnya suara yang dihasilkan berbunyi "krrr" yang berulang, serak, atau "churrr". (Chantler, P. & Boesman, P. 2017)
Menurut Nazarrudin dan Widodo (2008) habitat makro burung walet yaitu daerah yang mimiliki kawasan menggunakan pestisida serta daerah yang jauh dari kawasan industri dan sumber polusi.
Menurut Farimansyah (1981), keanekaragaman jenis vegetasi yang tinggi merupakan tempat sumber pakan, tempat berlindung maupun tempat bersarang dari jenis-jenis burung lainnya. Umumnya kawasan hutan pegunungan akan memiliki jumlah jenis burung yang relatif tinggi, bila dibandingkan dengan padang rumput yang produktivitasnya rendah. Hal ini disebabkan komposisi yang cenderung melimpah sehingga memiliki jumlah jenis burung yang beragam. (Wisnubudi, G,. 2009).
Fungsi dan penggunaan habitat terbang) dan beristirahat. Jenis burung di danau dan di curug beserta aktifitasnya dapat dilihat pada tabel 1 dan tabel 2.
lainnya. Burung ini berukuran sangat kecil (8 cm), berwarna jingga dan biru. Burung jantan dewasa: memiliki kepala, sayap, dan ekor kebiruan dan punggung, tunggir, dan perut jingga khas, dan pada tenggorokan kelabu. Burung betina memiliki punggung, sayap, dan ekor berwarna zaitun, perut kuning, tunggir jingga kehijauan. Sedangkan pada burung remaja sama halnya seperti burung betina, tetapi tanpa warna kuning dan jingga.
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5
Danau Curug
Suara pada burung jenis cabai bunga api yaitu “Brrr brrr”, “zit zit zit” diulang atau “ci-cií-ciit-ciit-ciit-ciit”. Habitat burung ini banyak ditemui di hutan, semak, hutan mangrove, pekarangan dan permukiman. Aktifitas yang biasa dilakukan burung ini diantaranya, beterbangan di atas tajuk pohon-pohon kecil, mencari makan berupa buah-buahan kecil. (Chantler, P. & Boesman, P. 2017).
Gambar 3. Indeks Keanekaragaman Shannon Wiener
Keragaman merupakan sifat komunitas yang menunjukkan tingkat keanekaragaman jenis organisme yang ada di dalamnya. Menurut Krebs (1978), keanekaragaman (diversity) yaitu banyaknya jenis, yang biasanya diberi istilah kekayaan jenis (species richnes).
Berdasarkan grafik 3, didapatkan nilai indeks keanekaragaman (H’) sebesar 3.163848 pada kawasan Danau Situ Gunung. Hal tersebut menandakan bahwa tingkat keanekaragaman burung yang
berada dikawasan Danau Situ Gunung adalah tinggi. Tingkat keanekaragaman tersebut didapatkan berdasarkan kriteria indeks keanekaragaman Shannon Wiener.
tempat lainnya, halini tergantung pada kondisi lingkungan dan faktor yang mempengaruhinya.Terdapat perbedaan nilai indeks keanekaragaman pada kawasan Danau dan Curug di Situ Gunung.
Lebih tingginya tingkat keanekaragaman pada kawasan Danau dibandingkan dengan Curug mengindikasikan bahwa kawasan tersebut baik untuk mendukung kehidupanburung seperti adanya sumber pakan. Ruskhanidar dan Hambal (2007) menyatakanbahwa setiap makhluk hidup akan memilihtempat yang sesuai dengan keperluan hidupnya.Keberadaan vegetasi yang dijadikan sarang atau tempat tinggal oleh burung-burung pada kawasan tersebut juga menjadi faktor yang membedakan tingkat keanekaragaman pada kedua kawasan tersebut. Menurut Swastikaningrum et al., (2012), indekskeanekaragaman didukung secara penuh olehkondisi ekologis dalam suatu
kawasan.Distribusi vertikal dari dedaunan atau stratifikasi tajuk juga merupakan faktor yangmempengaruhi keanekaragaman jenis burung. Krebs (1978) menyebutkan ada enam faktor yang saling berkaitan yangmenentukan naik turunnya keragaman jenis suatu komunitas yaitu : waktu,heterogenitas ruang, persaingan, pemangsaan, kestabilan lingkungan danproduktivitas. Selain ke enam faktor tersebut, Soerianegara (1996) menambahkanbahwa keanekaragaman jenis tidak hanya ditentukan oleh banyaknya jenis, tetapiditentukan juga oleh banyaknya individu dari setiap jenis.
Lebih rendahnya tingkat keanekaragaman pada kawasan curug juga disebabkan oleh waktu dan cuaca yang berbeda dengan kawasan danau. Pengamatan pada kawasan curug dilakukan pada cuaca yang sedang turun hujan.
0.76 0.77 0.77 0.78 0.78 0.79 0.79 0.8
Gambar 4. Shannon evenness
Keanekaragaman jenis tidak hanya berarti kekayaan atau banyaknya jenis, tetapi juga kemerataan (evenness) dari kelimpahan individu tiap jenis. Hasil analisis indeks kemerataan adalah 0.772736 untuk kawasan Danau dan 0.791265 untuk kawasan Curug. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai indeks kemerataan pada kedua kawasan tersebut termasuk kedalam kategori stabil. Krebs (1986), menyatakan nilai indeks kemerataan berkisar antara 0-1. Apabila nilai E < 0,20 dapat dikatakan kondisi penyebaran jenis tidak stabil, sedangkan apabila nilai E 0,21 < E < 1 dapat dikatakan kondisi penyebaran jenis stabil.
Keadaan komunitas yang stabil menunjukkan bahwa komunitas tersebut tidak terdapat spesies yang mendominasi dan penyebaran atau distribusi spesies secara merata sehingga tidak menimbulkan persaingan dalam bertahan hidup (Nainggolanet al., 2015). Penyebaran burung yang cukup merata di kedua kawasantersebut disebabkan oleh vegetasi penyusun habitat yang mendukung bagi kelangsungan hidup berbagai jenis burung disana.Beberapa jenis burung menggunakan berbagai tipe habitat tersebut untuk mencari makan, reproduksi, dan menjaga kelangsungan hidupnya.
0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08 0.09 0.1
Danau Column1
Gambar 5. Dominansi
Nilai indeks dominansi setiap waktu pengamatan pada setiap habitatnya memiliki dominansi yang berbeda-beda.
spesies yang lain atau struktur komunitas dalam keadaan tidak stabil. Tetapi apabila D = 1 berarti terdapat spesies lainnya atau struktur stabil, karena tekanan ekologis. Berdasarkan perhitungan nilai indeks dominansi pada kawasan danau diperoleh hasil sebesar 0.053333 dan hasil perhitungan pada kawasan curug sebesar 0.085799. Hal tersebut menunjukkan bahwa struktur komunitas dalam keadaan tidak stabil. Diketahui bahwa hasil indeks dominansi mempunyai hubungan yang terbalik dengan indeks keanekaragaman jenis (H’), dimana bila keanekaragaman jenis rendah maka dominansinya tinggi dan sebaliknya, jika keanekaragaman jenisnya
tinggi maka dominansinya akan rendah (Syahadat et al.,2015). Dengan adanya jumlah spesies yang kecil maka penguasaan habitat akan semakin besar, dan dominansi akan tersebar lebih merata. Namun, jika jumlah jenis sedikit, memungkinkan jumlah individu untuk hidup dan berkembang lebih baik, karena pada kondisi ini akan memengaruhi persaingan antara jenis dalam menggunakan sumber daya alam yang ada sebagai mana dinyatakan oleh Alikodra (1988) bahwa kompetisi terjadi ketika organisme-organisme, baik jenis yang sama maupun dari jenis yang lain, menggunakan sumber daya yang ada (Syadahat et al., 2015).
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Danau Curug
Gambar 6. Grafik Indeks Morisita
Burung memiliki persebaran merata secara vertikal maupun horizontal. Persebaran dan keanekaragaman burung pada setiap wilayah berbeda, hal tersebut
dipengaruhi oleh luasan habitat, struktur vegetasi, serta tingkat kualitas habitat di masing-masing wilayah (Gafur et al.,
pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari keberadaan penyebarannya dapat secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal, burung dapat diamati dari tipe habitat yang dihuni oleh burung tersebut, sedangkan secara vertikal, dapat diamati dari stratifikasi profil hutan yang dimanfaatkan oleh burung (Fachrul, 2006).
Penyebaran merupakan pola tata ruang individu yang satu relatif terhadap
yang lain dalam populasi. Penyebaran atau distribusi individu dalam satu populasi bermacam- macam, pada umunya memperlihatkan tiga pola penyebaran, yaitu penyebaran secara acak, penyebaran secara merata, dan penyebaran secara berkelompok (Rahardjanto, 2001). Terbentuknya pola persebaran tersebut dipengaruhi oleh berbagai mekanisme.
Gambar 2. Tiga pola dasar sebaran spasial individu dalam suatu habitat (a) acak, (b) mengelompok, dan (c) seragam
Persebaran burung dapat diamati dengan menggunakan perhitungan Indeks Morisita. Indeks Morisita (MI) adalah parameter kualitatif yang digunakan untuk menentukan pola penyebaran jenis dalam suatu komunitas. Indeks morisita digunakan untuk melihat penyebaran suatu jenis mengelompok atau tidak (Imran, 2015). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), diperoleh hasil indeks morisita pada danau sebesar 0,96 dan indeks morisita pada curug sebesar 0,16. Nilai Indeks Morisita (MI) memiliki ketetapan , salah satunya adalah apabila MI < 1, maka nilainya seragam. Oleh karena itu, berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh menunjukkan bahwa pola penyebaran burung yang terdapat di
danau dan curug Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) adalah pola penyebaran seragam. Pola penyebaran seragam (uniform) merupakan hasil dari adanya interaksi negatif antar individu, misalkan adanya kompetisi atas makanan dan ruang tumbuh. Pola penyebaran seragam akan terjadi bila tingkat kompetisi antar individu sama. Menurut Abas (1980), persebaran jenis burung dapat dipengaruhi oleh ketersediaan pakan, perilaku hidup, makanan air pelindung dan ruang lingkup merupakan kebutuhan yang penting bagi kehidupan burung yang terbentuk dalam suatu habitat (Zuhalmi dan Prastowo, 2015).
Gunung, Sukabumi, Jawa Barat berdasarkan metode Point Count ditemukan 32 spesies dengan jumlah 86 individu. Pada lokasi Danau Situ Gunung, jenis burung Walet Linchi (Collocalia linchi) banyak ditemui dibanding jenis burung lainnya yang menunjukan burung ini menduduki posisi tinggi pertama sedangkan burung jenis Cabai bunga api (Dicaeum trigonostigma) banyak ditemui di Curug dibandingkan dengan jenis burung lainnya. Hal ini menandakan bahwa habitat tersebut mendukung keberadaan jenis burung yang ada. Keanekaragaman (H’) sebesar 3.163848 pada kawasan Danau Situ Gunung yang menandakan bahwa tingkat keanekaragaman burung yang berada dikawasan Danau adalah tinggi. Tingkat keanekaragaman tersebut didapatkan berdasarkan kriteria indeks keanekaragaman, sedangkan pada kawasan Curug adalah 2.578019 yang menandakan bahwa tingkat keanekaragaman di kawasan tersebut adalah sedang. kemerataan pada kedua kawasan tersebut termasuk kedalam kategori stabil. Berdasarkan perhitungan nilai indeks dominansi pada kawasan danau diperoleh hasil sebesar 0.053333 dan hasil perhitungan pada kawasan curug sebesar 0.085799. Hal tersebut menunjukkan bahwa struktur komunitas dalam keadaan tidak stabil.
Melalui indeks morisita, diperoleh hasil pada danau sebesar 0,96 dan indeks morisita pada curug sebesar 0,16. Nilai Indeks Morisita (MI) memiliki ketetapan ,
salah satunya adalah apabila MI < 1, maka nilainya seragam. Oleh karena itu, berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh menunjukkan bahwa pola penyebaran burung yang terdapat di danau dan curug Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) adalah pola penyebaran seragam.
DAFTAR PUSTAKA
Abas, Y. 1980. Inventarisasi Satwa
Burung dan Studi Pengetahuan Habitat terhadapPopulasi dan Keragaman Jenis Burung Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. (Tidakditerbitkan).
Alikodra, H. S. 1988. Dasar-dasar
Pengelolaan Habitat. Proyek Pendidikan dan Latihan Pengaturan KSDA, Bogor.
Basalamah, F. Zulfa, A. dkk. 2010. Status Populasi Satwa Primata Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Halimun Salak, Jawa Barat.
Jurnal Primatologi Indonesia vol 7 No.12: 55-59
Bibby C, Martin J and Stuart M, 1998.
Expedition Field Techniques: Bird Survey. London: Royal Geographical Society
http://www.hbw.com/node/55264 pada 30 Mei 2017).
Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. PT BumiAksara. Jakarta.
Farimansyah, 1981. Keragaman Jenis Burung pada Berbagai Lingkungan dan Sekitarnya. Skripsi Tidak Dipunlikasikan. Departemen Manajemen Hitan, Fakulktas Kehutanan IPB. Bogor, Indonesia.
Gafur, A., Labiro, E., dan Ihsan, M. 2016.
Asosiasi
JenisBurungpadaKawasanHutan Mangrove diAnjungan Kota Palu.
Warta Rimba. Volume 4, Nomor 1.
Imran, M. F. 2015. Struktur, Komposisi, Sebarandan Potensi Jelutung Rawa (Dyeralowii.) dan Jelutung Darat (Dyeracostulata.) di Tanjung jabung Timur, Jambi.
(Skripsi). Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia.
Krebs, C.J. 1978. Ecological
Methodology. Harper dan Row, Publisher, New York.
Nainggolan, F. H., Dewi, B. S., dan Darmawan, A. 2015.
Keanekaragaman Jenis Burung: Studi Kasus di Hutan Desa Cugung Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model Gunung Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan. Seminar Nasional Sains & Teknologi VI. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Universitas Lampung. Lampung. Nazzarudindan A. Widodo. 2008.Sukses
MerumahkanWalet. PenebarSwadaya. Jakarta
Rahardjanto, A. 2001. Ekologi Tumbuhan.
Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press. Ruskhanidardan Muhammad H, 2007.
Kajian Tentang Keanekaragaman Spesies Burung di Hutan Mangrove Aceh BesarPasca Tsunami 2004. JurnalKed Hewan, 1(2): 76-84.
Rusmendro H, 2009. Perbandingan Keanekaragaman Burung Pada Pagi Dan Sore Hari Di Empat Tipe Habitat Di Wilayah Pangandaran, Jawa Barat. Jurnal VIS VITALIS, 2(1): 8-16.
Sujatnika, PJ, T.R. Soehartono, M.J. Crosby dan A. Mardiastuti, 1995.
Melestarikan Keanekaragaman Hayati Indonesia: Pendekatan Daerah BurungEndemik (DEB).
PHPA/Bird Life Internasional Indonesia Programme Jakarta. Soerianegara, I. 1996. Ekologisme Dalam
Surabaya-Gresik. Journal ofBiological Researches, 17( 2): 1 – 13.
Syahadat, Faqih., Erianto., dan Siahaan, Sarma. 2015. Studi Keanekaragaman Jenis Burung Diurnal di Hutan Mangrove Pantai Air Mata Permai Kabupaten Ketapang. Jurnal Hutan Lestari (2015). Vol. 3 (1) : 21 – 29
Wisnubudi, G. 2009. Penggunaan Strata Vegetasi oleh Burung di Kawasan Wisata Taman Nasional Gunung Halimun – Salak. Fakultas Biologi Universitas Nasional. Jakarta. VIS
VITALIS, Vol. 02 No. 2, September 2009.
Wirasiti, NN., N. M. RaiSuarnidan AAG. RakaDalem, 2004. Jenis-Jenis Dan Karakteristik Burung Yang Ditemukan Di Kawasan Bedugul Dan Sekitarnya.Jurusan Biologi FMIPA Universitas Udayana Bali. Zuhalmi, A., dan Prastowo, P. 2015.
Keanekaragaman Burung Rawa-Rawa Payau Muara Tapus
Kecamatan Manduamas
Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara.
LAMPIRAN
Sg :Tepus Putih (Stachyris grammiceps)
Av : Cipoh Jantung (Aegithina viridissima)
Cf : Walet Sarang Putih (Collocalia fuciphaga) Cb : Walet Palem Asia (Cypsiurus balasiensis)
Cl : Walet Linci (Collocalia linchi)
Di : Kicuit Hutan (Dendronanthus indicus)
Ds : Cabai Gunung (Dicaeum sanguinolentum)
Gs : Perkutut Jawa (Geopelia Striata )
Os : Cenenen Pisang (Orthotomus sutorius )
Pa : Kipasan (Phipidura albicollis )
Ht : Layang-layang (Hirundo tahitica)
Sc : Kenari (Serinus canaria)
Aj : Kerak Kerbau (Acridotheres javanicus )
Ap : Kareopadi (Ammarus Phoenicurus)
Hc : Cekakak (Halicon cianohenthos)
Lp : Bondol Peking (Lonchura punctulata) Sb : Sikatan Belang (Ficedula westermanni)
Cfs : Wiwik (Cacomantis flaberifomis)
Mc : Kicuit Batu (Motocilla cinerea)
Cv : Walet (Collocalia vestia)
Ms : Pelanduk Semak (Malacocincla sepiarium)
Or : Cenenen Kelabu (Orthotomus ruficeps )
Dt : Cabai Bunga Api (Dicaeum trigonostigma)
Ei : Sikatan Ninon (Eumyias indigo)
Pg : Merbah Cerukcuk (Pycnonotus gosavier)
Zp : Kacamata Biasa (Zosterops palpebrosus) Ab : Walet Gunung (Aerodiamus brevirostris)
Ae : Madu Gunung (Aethopyga eximia)
Msa : Sikatan Bubik (Muscicapa sibirika)
Cm : Wiwik Kelabu (Cacomantis merulinus)
Scs : Tekukur (Spilopecia chinensis )
Pf : Perenjak Jawa (Prinia familiaris )
At : Cipoh (Aegtina tiphia)
Tabel 1. Jumlah Spesies pada Kawasan Danau
No Nama Jenis Jumlah
1 Tepus Putih (Stachyris grammiceps) 3
2 Walet Gunung (Aerodiamus brevirostris) 3
3 Layang-Layang (Hirundo tahitica) 2
4 Kicuit Hutan (Dendronanthus indicus) 1
5 Cipoh Jantung (Aegithina viridissima) 1
6 Walet Sarang Putih (Collocalia fuciphaga) 1
7 Tekukur (Spilopelia chihensis) 6
8 Pelanduk Semak (Malacocincla sepiarium) 1
9 Kipasan (Phipidura albicollis) 5
10 PerenjakJawa(Prinia familiaris) 2
11 Walet Linci (Collocalia linchi) 7
12 Burung Kenari (Serinus canaria) 1
13 Cabai Gunung (Dicaeum sanguinolentum) 2
14 Walet Palem Asia (Cypsiurus balasiensis) 1
15 Cenenen Pisang (Orthotomus sutorius) 1
16 Perkutut Jawa (Geopelia Striata) 1
17 Kareopadi (Ammarus Phoenicurus) 1
18 Bondol Peking (Lonchura punctulata) 1
19 Cekakak (Halicon cianohenthos) 3
20 Kerak Kerbau (Acridotheres javanicus) 1
21 Merbah Cerukcuk (Pycnonotus gosavier) 2
22 Madu Gunung (Aethopyga eximia) 1
23 Cenenen Kelabu (Orthotomus ruficeps) 3
24 Pelanduk Semak (Malacocincla sepiarium) 1
26 Cenenen Pisang (Orthotomus sutorius) 2
27 Wiwik Kelabu (Cacomantis merulinus) 1
28 Cabai Jawa (Dicaeum trochileum) 3
29 Sikatan Bubik (Muscicapa sibirika) 1
30 Burung Wiwik (Cacomantis flaberifomis) 1
Table 2. Jumlah Spesies pada Kawasan Curug
CURUG CURUG CURUG
No Nama Jenis Jumlah
1 Sikatan Ninon (Eumyias indigo) 3
2 Kicuit Batu (Motocilla cinerea) 2
3 Merbah Cerukcuk (Pycnonotus gosavier) 1
4 Walet (Collocalia vestia) 2
5 Sikatan Sisi Gelap (Muscicapa sibirika) 1
6 Madu Gunung (Aethopyga eximia) 3
7 Kacamata Biasa (Zosterops palpebrosus) 1
8 Cabai Bunga Api (Dicaeum trigonostigma) 4
9 Cabe Jawa (Dicaeum trochileum) 2
10 Walet Gunung (Aerodiamus brevirostris) 1
1 Pelanduk Semak (Malacocincla sepiaria) 1
12 Cipoh (Aegtina tiphia) 2
13 Wiwik Kelabu (Cacomantis merulinus) 1
14 Perenjak Jawa (Prinia familiaris) 1
15 Tekukur (Spilopecia chinensis ) 1
Species
no IndividuaNo. l
Pi ln Pi pi*lnpi J' LAMDA(ƛ
) MI
1 3 0.05 -2.99573 0.149787 0.77273
6
0.0025 0.96
2 3 0.05 -2.99573 0.149787 0.0025
3 2 0.033333 -3.4012 0.113373 0.001111
4 1 0.016667 -4.09434 0.068239 0.000278
5 1 0.016667 -4.09434 0.068239 0.000278
6 1 0.016667 -4.09434 0.068239 0.000278
7 6 0.1 -2.30259 0.230259 0.01
8 1 0.016667 -4.09434 0.068239 0.000278
9 5 0.083333 -2.48491 0.207076 0.006944
10 2 0.033333 -3.4012 0.113373 0.001111
11 7 0.116667 -2.14843 0.250651 0.013611
12 1 0.016667 -4.09434 0.068239 0.000278
13 2 0.033333 -3.4012 0.113373 0.001111
14 1 0.016667 -4.09434 0.068239 0.000278
15 1 0.016667 -4.09434 0.068239 0.000278
16 1 0.016667 -4.09434 0.068239 0.000278
17 1 0.016667 -4.09434 0.068239 0.000278
18 1 0.016667 -4.09434 0.068239 0.000278
19 3 0.05 -2.99573 0.149787 0.0025
20 1 0.016667 -4.09434 0.068239 0.000278
21 2 0.033333 -3.4012 0.113373 0.001111
22 1 0.016667 -4.09434 0.068239 0.000278
23 3 0.05 -2.99573 0.149787 0.0025
24 1 0.016667 -4.09434 0.068239 0.000278
25 1 0.016667 -4.09434 0.068239 0.000278
26 2 0.033333 -3.4012 0.113373 0.001111
27 1 0.016667 -4.09434 0.068239 0.000278
28 3 0.05 -2.99573 0.149787 0.0025
29 1 0.016667 -4.09434 0.068239 0.000278
30 1 0.016667 -4.09434 0.068239 0.000278
Hasil rumus Shannon-Wiener H' 3.163848
Nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener H'>3
Tingkat
keanekaragaman tinggi
Hasil rumus Shannon evenness J' 0.772736
Hasil rumus Simpson index dominance ƛ 0.053333
Hasil rumus distribution menggunakan indeks
Morisita's MI 0.96
Ketetapan Morisita's MI>1 Maka nilainya seragam
Tabel 4. Analisa Curug
Species
no IndividualNo. Pi ln Pi pi*lnpi J' LAMDA( )ƛ MI
1 3 0.115385 -2.15948 0.249171 0.791265 0.013314 0.16
2 2 0.076923 -2.56495 0.197304 0.005917
3 1 0.038462 -3.2581 0.125311 0.001479
4 2 0.076923 -2.56495 0.197304 0.005917
5 1 0.038462 -3.2581 0.125311 0.001479
6 3 0.115385 -2.15948 0.249171 0.013314
7 1 0.038462 -3.2581 0.125311 0.001479
8 4 0.153846 -1.8718 0.28797 0.023669
9 2 0.076923 -2.56495 0.197304 0.005917
10 1 0.038462 -3.2581 0.125311 0.001479
11 1 0.038462 -3.2581 0.125311 0.001479
12 2 0.076923 -2.56495 0.197304 0.005917
13 1 0.038462 -3.2581 0.125311 0.001479
14 1 0.038462 -3.2581 0.125311 0.001479
15 1 0.038462 -3.2581 0.125311 0.001479
Hasil rumus Shannon-Wiener H' 2.578019
Nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener H'>2
Tingkat
keanekaragaman sedang
Hasil rumus Shannon evenness J' 0.791265
Hasil rumus Simpson index dominance ƛ 0.085799
Hasil rumus distribution menggunakan indeks
Morisita's MI 0.16