• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENCAPAIAN TARGET KINERJA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III METODE PENCAPAIAN TARGET KINERJA"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

12

BAB III

METODE PENCAPAIAN TARGET KINERJA

A. Metode Pencapaian Target Kinerja

1. Kerangka – Rancangan Metode Penelitian

Untuk Rencana Pelaksanaan Pencapaian Target Telah disusun berdasarkan tahap pencairan dana dimana rencana pelaksanaan pencapaian target sebagai berikut :

a. Tahap I (satu), meliputi :

Kegiatan yang akan dilakukan pada tahap I (satu) merupakan kegiatan tahap awal penelitian dengan tahapan-tahapan sebagai berikut :

a) Penyusunan rencana kegiatan penelitian.

b) Konsultasi dan koordinasi pada beberapa pihak/instansi terkait dalam rangka sosialisasi kegiatan serta singkronisasi dengan program-program yang ada di daerah untuk mendukung pencapaian tujuan penelitian.

c) Studi literatur dan komunikasi langsung dengan pihak terkait dan masyarakat untuk mendukung kelancaran kegiatan penelitian serta sebagai dasar dalam pengambilan data (survey) lapangan, baik survey potensi tanaman ganitri ataupun data kelembagaan pengembangan ganitri di Jawa Tengah.

b. Tahap II (dua), meliputi :

Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari kegiatan yang dilakukan tahap I, maka dilanjutkan dengan kegiatan tahap II (dua) yaitu sebagai berikut :

a) Orientasi lapang sebagai persiapan kegiatan survey untuk pengambilan data tegakan serta pada beberapa lokasi sampel untuk data kelembagaan.

b) Survey lapang untuk mengetahui sebaran, data penampilan dan produktifitas tegakan ganitri di hutan alam ataupun hutan tanaman

(2)

13 yang meliputi : lokasi, letak geografis, luas, tahun tanam, kerapatan tegakan, tinggi, diameter, bentuk batang, sistem penanaman. c) Survey dan wawancara untuk pengambilan data kelembagaan. d) Pengumpulan data primer dan sekunder sebagai data pendukung

meliputi : ketinggian, curah hujan, jenis tanah dan topografi dan data kelembagaan.

c. Tahap III (tiga), meliputi :

Setelah semua data yang diperlukan dapat dikumpulkan, kegiatan selanjutnya yang merupakan tahap akhir penelitian adalah :

a) Penyusunan peta sebaran populasi, peta potensi lahan dan zonasi benih ganitri untuk wilayah Jawa Tengah dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG).

b) Penyusunan model kelembagaan pengembangan tanaman ganitri di Jawa Tengah.

c) Penyusunan laporan hasil penelitian.

2. Indikator Keberhasilan Pencapaian

Indikator keberhasilan pencapaian target kinerja meliputi :

a. Tahap Pertama (I)

a) Tersusunnya rencana kegiatan penelitian

b) Terkumpulnya informasi sebaran ganitri di wilayah secara umum di wilayah Jawa Tengah. Terkumpulnya informasi sebaran serta pemanfaatannya di wilayah Kabupaten Temanggung, Wonosobo, Banjarnegara Serta Kabupaten Cilacap.

c) Terkumpulnya informasi mengenai sebaran populasi, kondisi tegakan dan juga kondisi sosial ekonomi petani ganitri di wilayah Jawa Tengah.

b. Tahap Ke-dua (II)

a) Terkumpulnya data lokasi yang berpotensi untuk penyebaran

tanaman ganitri guna persiapan kegiatan survey untuk

pengambilan data tegakan serta pada beberapa lokasi sampel untuk data kelembagaan.

(3)

14 tegakan ganitri di hutan alam ataupun hutan tanaman yang meliputi : lokasi, letak geografis, luas, tahun tanam, kerapatan tegakan, tinggi, diameter, bentuk batang, sistem penanaman.

c) terkumpulnya data kelembagaan hasil wawancara dan survey. d) Terkumpulnya data primer dan sekunder sebagai data pendukung

meliputi : ketinggian, curah hujan, jenis tanah dan topografi dan data kelembagaan.

c. Tahap Ke Tiga (III), meliputi :

a) Tersusunnya peta sebaran populasi, peta potensi lahan dan zonasi benih ganitri untuk wilayah Jawa Tengah dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG).

b) Tersusunnya model kelembagaan pengembangan tanaman ganitri di Jawa Tengah.

c) Tersusunnya laporan hasil penelitian.

3. Perkembangan dan Hasil Pelaksanaan Penelitian

a. Sebaran Populasi Tanaman Ganitri

Survey dan identifikasi sebaran ganitri dilakukan di seluruh wilayah Jawa Tengah. Berdasarkan informasi dan survey yang telah dilakukan menunjukkan bahwa sebaran tanaman ganitri tidak ditemukan di semua wilayah tetapi hanya di beberapa lokasi dalam bentuk hutan tanaman.

Sebaran hutan tanaman ganitri tidak ditemukan di semua kabupaten, tetapi hanya terdapat di beberapa wilayah/kabupaten yang secara umum dibangun dengan beberapa tujuan yaitu untuk dimanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK) berupa biji, kayu pertukangan serta fungsi lindung. Sebaran hutan tanaman ganitri di Jawa Tengah ditemukan di kabupaten Cilacap, Kebumen, Kendal,

Brebes, Purworejo, Banjarnegara, Wonosobo, Banyumas,

Temanggung, Semarang dan Karanganyar. Secara umum ganitri kisaran wilayah yang cukup luas mulai dari dataran tinggi sampai dataran rendah khususnya berada di wilayah Jawa Tengah bagian Tengah dan Selatan, sedangkan untuk sebagian besar wilayah Utara

(4)

15 seperti Tegal, Pemalang, Batang dan Jepara keberadaan tanaman ganitri tidak ditemukan.

Gambar 1. Sebaran populasi ganitri hasil penanaman untuk berbagai tujuan pada beberapa lokasi di Jawa Tengah.

(5)

16

Tabel 2. Sebaran dan kondisi populasi tanaman ganitri pada beberapa lokasi di wilayah Jawa Tengah

No

Lokasi

Jumlah

Sistem Pengelolaan Jenis Penanaman Diameter (cm) Tinggi (m) Ketinggian

(Mdpl) Jarak Tanam Asosiasi

Kabupaten Desa/Kecamatan Pola %

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1. Cilacap Kesugihan, Jeruk Legi, Sampang, Cilacap Tengah, Cilacap Kota, Cilacap Tengah, Wanareja, Sidareja, Gandrungmangu, Kamulyan, Layansari, Kawunggaten, Bojong, Ujunggagak, Brebeg, Majenang 1647 Hutan alam 0 pekarangan, kebun, tegalan, hutan rakyat, tanaman pinggir jalan, Agroforestri 0 0

Monokultur 62,23 7,98 3,24 13-39 Ada dengan JT 5x6, 2x2

Campuran 37,77 9,65 5,11 3 - 270 Jarak tanam

tidak teratur

kelapa, gamal, sengon, jabon, jati, petai, tisuk, bambu

Total 100 8,61 3,95 2. Banyumas Jatilawang, Sumpiuh, Kemranjen, Cilongok, Paguyangan, Pakuncen, Purwokerto Barat 290 Hutan alam 0 kebun, pekarangan, agroforestri dan pagar sawah 0 0

Monokultur 51,81 3,17 2,69 28 - 41 jarak tanam tidak teratur Campuran 48,19 7,32 3,99 35 - 342 jarak tanam

tidak teratur sengon

Total 100 5,17 3,32 3. Kebumen Rowokele, Pejagoan, Sruweng, Karanganyar, Karang Gayam 2270 Hutan alam 0 pekarangan, kebun, tegalan, hutan rakyat, tanaman pinggir jalan, agroforestri dan lahan bekas pembibitan

Monokultur 11,54 12,50 5,18 27 - 60 jarak tanam tidak teratur Campuran 88,46 15,06 5,87 18 - 329 jarak tanam tidak teratur kelapa, jabon, melinjo, bambu, cengkeh, jati, mahoni, angsana, sangon Total 100 14,77 5,79

(6)

17 Lanjutan Tabel 2. No Lokasi Jumlah Sistem Pengelolaan Jenis Penanaman Diamete r (cm) Tinggi (m) Ketinggian

(Mdpl) Jarak Tanam Asosiasi

Kabupaten Desa/Kecamatan Pola %

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 4. Gombong Sempor 80 Hutan alam 0 kebun rakyat dan tanaman pinggir jalan 0 0 Monokultur 0 0 0

Campuran 100 8,79 3,53 57 - 111 jarak tanam

tidak teratur

sengon, kelapa, cengkeh

Total 100 8,79 3,53

5. Purworejo Grantung, Pituruh 10

Hutan alam 0

Kebun

0 0

Monokultur 0 0 0

Campuran 100 11,05 4,5 42 - 381 jarak tanam

tidak teratur jati, Sengon, Bambu

Total 100 11,05 4,5

6. Brebes Salem 11

Hutan alam 0 0 0

Monokultur 100 11,12 5,27 312 - 387 jarak tanam tidak teratur Campuran 0 0 0 Total 100 11,12 5,27 7. Semarang Banyumanik 25 Hutan alam 0 Kebun Monokultur 0

Campuran 100 20,06 8 353 jarak tanam

tidak teratur Sungkai, Sengon

(7)

18 Lanjutan Tabel 2. No Lokasi Jumlah Sistem Pengelolaan Jenis Penanaman Diameter (cm) Tinggi (m) Ketinggian

(Mdpl) Jarak Tanam Asosiasi

Kabupaten Desa/Kecamatan Pola %

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 8. Wonosobo Kretek, Purwojati, Wringinanom, Wonosobo, Selomerto, Mojotengah, Watumalang, Leksono, Kaliwiro, Wadaslintang, Kalikajar 979 Hutan alam 0 hutan rakyat, kebun, pekarangan, agroforestri, tanaman pinggir jalan 0 0

Monokultur 26,25 8,31 6,27 596-1040 jarak tanam tidak teratur

Campuran 73,94 15,69 10,11 456-1135 jarak tanam tidak teratur Sengon, mahoni, suren, nangka, jengkol, duren, akasia, petai, mangga, duku, tisuk, kelapa Total 100 13,77 9,11 9. Banjarnegar a Purwonegoro 244 Hutan alam 0 Kebun 0 0 Monokultur 0 0 0

Campuran 100 7,88 6,67 134-418 jarak tanam

tidak teratur Mangga, tisuk, kelapa, petai, mahoni, jabon, sonokeling, nangka, akasia Total 100 7,88 6,67 10. Kendal Gumuh 25 Hutan alam 0 Agroforestri 0 0 Monokultur 0 0 0

Campuran 100 5,1 2 30 jarak tanam

tidak teratur

empon-emponan, cengkeh, bambu,

kelapa

(8)

19 Lanjutan Tabel 2. No Lokasi Jumlah Sistem Pengelolaan Jenis Penanaman Diameter (cm) Tinggi (m) Ketinggian (Mdpl) Jarak Tanam Asosiasi

Kabupaten Desa/Kecamatan Pola %

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 11. Salatiga Tingkir 108 Hutan alam Agroforestri Monokultur

Campuran 100 9,46 4,56 506-627 jarak tanam

tidak teratur kelapa, sengon, pisang, singkong, alpukat Total 100 9,46 4,56 12. Karanganyar Tawangmangu, Karanganyar 60 Hutan alam 0 Agroforestri

Monokultur 50 10,83 5 228 jarak tanam

tidak teratur

Campuran 50 5,1 3 1213 jarak tanam

tidak teratur sengon, bambu, kelapa Total 100 7,96 4 13. Temanggung Parakan 7 Hutan alam Agroforestri Monokultur

Campuran 100 20,56 9,86 jarak tanam

tidak teratur

kalapa, nangka, sengon

(9)

20 Populasi tanaman ganitri sebagian besar di daerah yang relatif datar dan tersebar luas pada ketinggian 0 – 1300 mdpl dengan aksesibilitas yang relatif mudah. Tanaman tersebut tumbuh menyebar di hutan rakyat, pekarangan, kebun campur, pinggir jalan ataupun fasilitas umum lainnya. Pada dataran tinggi, sebaran populasi tanaman ini ditemukan pada daerah-daerah kaki pegunungan dan pinggir sungai.

Pada tegakan ganitri dalam bentuk hutan tanaman campuran beberapa tanaman yang berasosiasi khususnya untuk tanaman kehutanan adalah sengon (falcataria moluccana), mahoni (Swietenia macrophylla), jati (Tectona grandis), suren (Toona sureni), tisuk (Hibiscus macrophylla), jabon (Anthocephalus cadamba), waru (Hibiscus tiliaceus), Sonokeling (Delbergia latifolia), angsana (Pterocarpus indicus), akasia (Acacia mangium), dan bambu (Bambusa sp.). Sementara itu, untuk tanaman perkebunan yang banyak dijumpai adalah mangga (Mangifera sp.), nangka (Arthocarpus integra), durian (Durio zibethinus), kelapa (Cocos nucifera), petai (Parkia speciosa), duku (Lancium domesticum) dan jengkol (Pithecolobium lobatum) (Tabel 3).

Sementara itu, sebaran populasi pada hutan alam di wilayah Jawa Tengah belum ditemukan. Kondisi demikian bukan berarti bahwa tanaman ganitri sama sekali tidak terdapat pada hutan alam di wilayah ini, tetapi lebih disebabkan oleh informasi awal yang diperoleh sangat terbatas sehingga kegiatan eksplorasi sulit dilakukan. Kemungkinan keberadaan sebaran alam ganitri juga didasarkan pada keterangan dari tengkulak/pengusaha biji ganitri di daerah Cilacap dimana pada awalnya tanaman ganitri yang ada di dataran rendah merupakan hasil pengembangan dari tanaman ganitri yang berasal dari dataran tinggi (pegunungan), meskipun lokasinya tidak diketahui secara pasti. Keberadaan sebaran alam ganitri mungkin terdapat pada beberapa pegunungan di Jawa Tengah seperti hasil penelitian yang ditemukan pada beberapa lokasi di Jawa Barat (Rohandi et al., 2011) yaitu di

(10)

21 Cakrabuana (Majalengka), Gunung Sawal (Ciamis), Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP) dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Sebaran tanaman ganitri ditemukan pada ketinggian 1000-1500 mdpl dengan topografi datar sampai curam dan tidak ditemukan pada hutan alam dataran rendah seperti di Cagar Alam Pangandaran yang merupakan lokasi sampel. Menurut van Steenis, Elaeocarpus sp. pada habitat aslinya di pulau Jawa berada pada hutan dengan ketinggian 600-2000 mdpl.

Eksplorasi/survey hanya berupa didasarkan pada informasi awal dari instansi dan masyarakat setempat. Informasi keberadaan ganitri sangat sulit untuk diperoleh karena pihak pengelola sendiri seperti Taman Nasional, BKSDA dan Perum Perhutani tidak memiliki dokumentasi/tidak terdaftar pada jenis flora yang berada di wilayah tersebut. Dengan demikian, kegiatan survey tidak dapat dilakukan apabila tidak ada informasi sama sekali karena akan memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang cukup besar. Kegiatan eksplorasi sebaran alam ganitri sudah dilakukan diantaranya didasarkan pada beberapa informasi yang diperoleh seperti dari Perum Perhutani di wilayah Kebumen dan Gunung Slamet, tetapi dari kegiatan tersebut tidak berhasil karena tanaman yang ditunjukkan bukan tumbuh secara alami melainkan hasil penanaman masyarakat atau anakan yang tumbuh dari hutan tanaman. Pengertian hutan alam yang dimaksud oleh Perum Perhutani berbeda dengan yang dimaksudkan dalam kegiatan penelitian ini.

(11)

22

Gambar 2. Sebaran populasi hutan tanaman ganitri yang berada di kawasan hutan alam pada beberapa lokasi di KPH Kedu Selatan, Kebumen, Jawa Tengah

b. Kondisi Populasi

1) Tujuan Penanaman/Pemanfaatan

Pemanfaatan/tujuan penanaman ganitri pada provinsi Jawa Tengah pada umumnya sebagai penghasil biji/buahnya (Hasil Hutan Bukan Kayu). Hanya di kabupaten Wonosobo dan dan sebagian wilayah Purworejo, penanaman ganitri ditujukan untuk dimanfaatkan sebagai

kayu pertukangan. Sistem penanaman untuk pemanfaatan

biji/buahnya, tanaman ganitri diberi perlakuan dengan cara diteres kulitnya (Gambar a) sewaktu berbunga untuk mengurangi aliran nutrisi sehingga akan menghasilkan biji yang kecil (Gambar b). Selain itu, sering juga dijumpai ganitri hasil okulasi atau sambungan dengan inang anakan alam untuk mempercepat proses pembuahan, seperti di daerah Cilacap dan Kebumen. Akibat perlakuan tersebut, tanaman memiliki diameter kecil, batang pendek dan bengkok serta percabangan yang rendah. Perlakuan pemangkasan (pruning) tidak dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan produksi buah dan mempermudah proses pemanenan.

Hasil kegiatan survey/eksplorasi menunjukkan bahwa sebaran ganitri untuk pemanfaatan biji/buahnya sebagian besar terdapat di kabupaten Kebumen khususnya di kecamatan Sruweng. Ditemukan juga beberapa tanaman berdiameter besar dan berumur cukup tua yang merupakan tanaman awal ganitri yang dikembangkan di daerah tersebut (Gambar c). Biji ganitri yang dihasilkan di daerah ini umumnya

(12)

23 relatif kecil meskipun tanpa dilakukan peneresan kulit. Hal ini diduga berhubungan dengan rendahnya tingkat kesuburan tanah yang ditandai dengan tipisnya solum/bagian atas tanah (humus) pada tapak penanaman. Pemanenan/ pengunduhan biasanya dilakukan secara manual dengan cara memanjat (Gambar d). Selain di Kebumen, sebaran tanaman ganitri untuk produksi biji juga banyak ditemukan di daerah Cilacap yang sebagian besar merupakan hasil okulasi. Terpusatnya sebaran ganitri di kedua daerah tersebut disebabkan oleh keberadaan pengepul untuk kegiatan pemasaran biji ganitri. Kedua daeran ini merupakan pusat pemasaran biji ganitri dari para petani untuk wilayah Jawa Tengah, bahkan untuk daerah-daerah lain di Indonesia seperti dari beberapa lokasi di Jawa Barat (Rohandi et al., 2011). Tanaman ganitri juga ditemukan di beberapa kabupaten lainnya seperti kabupaten Gombong, Kendal, Salatiga, Temanggung, Banjarnegara, Brebes, Semarang dan Karanganyar meskipun dalam jumlah yang lebih sedikit.

Gambar 3. Penanaman ganitri untuk pemanfaatan

biji/buahnya yang banyak dilakukan oleh masyarakat di wilayah Jawa Tengah

Penanaman ganitri untuk pemanfaatan kayunya banyak ditemukan hampir pada semua kecamatan di wilayah Wonosobo dan kecamatan Pituruh, kabupaten Purworejo. Banyaknya masyarakat yang menanam ganitri di kabupaten Wonosobo disebabkan oleh program daerah yang

Gambar a

Gambar b Gambar c

(13)

24 menganjurkan penanaman ganitri sebagai tanaman alternatif pengganti sengon (Falcataria moluccana) dimana pada saat ini banyak terserang wabah penyakit karat tumor. Hal lain yang mendorong besarnya minat masyarakat untuk menanam ganitri di wilayah ini karena sistem pemasaran kayu sudah berjalan dengan baik. Sementara itu, penanaman untuk pemanfaatan kayunya di kabupaten Purworejo terutama terdapat di daerah dataran tinggi meskipun dalam jumlah yang relatif sedikit. Hasil kayu dari daerah ini juga dipasarkan ke beberapa perusahaan pengolahan kayu di daerah Wonosobo.

2) Sistem Penanaman dan Pengelolaan Tegakan

Ganitri di Jawa Tengah ditemukan dalam beberapa bentuk/tipe pengelolaan, yaitu monokultur, hutan campuran dan agroforestry. Jenis ini juga ditemukan dalam bentuk tanaman pekarangan, kebun/ladang dan tanaman perindang. Secara umum, tanaman ganitri tersebar mulai dataran rendah hingga tinggi dalam kondisi yang beragam, meskipun belum ditemukan dalam bentuk hutan alam sebagai habitat aslinya.

1) Monokultur

Penanaman ganitri dengan pola monokultur ditemukan dalam jumlah yang relatif sedikit dibandingkan dengan pola campuran atau agroforestry. Pola seperti ini ditemukan pada beberapa lokasi di daerah Cilacap, Banyumas, Karanganyar, Kebumen dan Brebes dengan pemanfaatan buahnya. Penanaman pada umumnya dilakukan dengan jarak tanam 2 m x 2 ataupun dengan jarak tanam yang tidak teratur (Gambar 4 ). Sementara itu, tegakan monokultur untuk pemanfaatan kayunya banyak ditemukan di daerah Wonosobo yaitu di kecamatan Selomerto, Wonosobo, dan Mojotengah. Penanaman dilakukan dengan menggunakan jarak tanam 2 m x 2 m dan 2 m x 3 m.

(14)

25 Gambar 4. Penanaman ganitri secara monokultur untuk berbagai peruntukan pada

beberapa lokasi di Jawa Tengah.

2) Hutan Campuran

Pola penanaman ganitri dalam bentuk hutan campuran merupakan pola yang banyak dilakukan oleh masyarakat. Pola ini banyak ditemukan pada beberapa lokasi di kabupaten Cilacap, Wonosobo dan Kebumen. Di daerah Cilacap, tanaman ganitri sering ditanam dan berasosiasi dengan beberapa jenis tanaman hutan seperti sengon

(Falcataria molluccana), jati (Tectona grandis) dan jabon

(Anthocephalus cadamba). Penanaman ganitri biasanya dilakukan dengan jarak tanam yang tidak teratur dan merupakan tanaman utama untuk pemanfaatan buahnya. Tanaman bawah yang ditemukan berupa tanaman hortikultura seperti : singkong, pepaya dan jenis-jenis pisang. Jenis tanaman lain yang sering diasosiasikan adalah kelapa (Cocos nucifera), mangga (Mangifera spp.) dan gamal (Glyricidia sepium). Ganitri di daerah ini ditanam pada ketinggian 3-270 mdpl pada daerah landai.

Di daerah Wonosobo, hutan campuran ganitri banyak ditemukan berasosiasi dengan tanaman sengon. Ganitri ditanam pada sela-sela tanaman sengon sebagai tanaman utama yang banyak terserang penyakit karat tumor. Jenis tanaman hutan lain yang berasosiasi adalah tisuk (Hibiscus macrophylla) dan suren (Toona sinensis). Jarak tanam yang digunakan tidak teratur dengan pemanfaatan utama adalah

(15)

26 kayunya. Sementara itu, tanaman lain yang sering dijumpai diantaranya adalah anakan tanaman hutan, durian (Durio zibethinus), petai (Parkia speciosa), pisang (Musa spp.) dan kelapa. Hutan campuran ganitri pada daerah Kebumen (gambar 5), banyak berasosiasi dengan tanaman hutan berupa jati, sengon, angsana (Pterocarpus indicus) dan mahoni (Swietenia macrophylla). Tanaman penyusun lainnya adalah bamboo, singkong, pisang, dan kelapa.

Gambar 5. Pengembangan hutan rakyat ganitri secara campuran dengan berbagai tanaman kehutanan dan perkebunan di kabupaten Kebumen

3) Agroforestry

Sistem penanaman agroforestry ganitri di wilayah Jawa Tengah hampir ditemukan pada setiap daerah terutama dalam bentuk kebun ataupun pekarangan dengan pola tumpang sari, silvofishery dan kebun pekarangan.

(a) Tumpangsari

Penanaman ganitri dengan pola tumpang sari di beberapa lokasi. Di Banyumas, tanaman ganitri banyak ditumpangsarikan dengan tanaman semusim berupa cabai dan tanaman penyusun lain seperti pisang, singkong dan kacang hijau. Pemanfaatan utama tanaman adalah buahnya dengan umur 2 - 3 tahun. Jarak tanam yang digunakan tidak teratur. Penanaman ganitri dengan sistem ini dilakukan pada daerah yang datar, dengan ketinggian tempat 30 - 50 mdpl.

Sementara itu, di kabupaten Kebumen, tumpangsari yang ditemukan lebih banyak dalam bentuk tanaman pematang sawah atau tegalan yang digabungkan dengan padi sebagai pagar sawah. Di kecamatan

(16)

27 Sruweng agroforestri ganitri ditemukan dengan tanaman penyusun yang lebih kompleks berupa pisang, nanas (Ananas comosus), talas (Colocasium giganteum), lengkuas (Alpinia galanga), kapol (Amomum compactum), kunyit (Curcuma domestica) dan bambu. Sebagai strata teratas adalah tanaman ganitri dan sengon.

Pola Tumpangsari ganitri di kabupaten Wonosobo ditemukan di kecamatan Watumalang dengan tanaman penyusun berupa sengon dan suren. Tanaman bawah yang dijumpai diantaranya adalah pisang, singkong dan kapol yang banyak ditanam pada ketinggian 770 mdpl dengan jarak tanam yang tidak teratur. Pemanfaatan utama ganitri pada daerah ini adalah untuk kayu pertukangan. Sementara itu, di kabupaten Cilacap, pola agroforestri ganitri ditemukan di kecamatan Brebeg dengan tanaman penyusun ganitri, petai, tisuk, bambu, pisang. Penanaman dengan jarak tidak teratur pada lahan landai dengan ketinggian 38 mdpl. Ditemukan pula tanaman ganitri yang berasosiasi dengan padi sebagai tanaman tegalan.

Tabel 3. Jenis-jenis tanaman bawah yang ditanam secara tumpang sari dengan ganitri pada beberapa lokasi di Jawa Tengah

No. Lokasi Tanaman Tumpangsari Keterangan

1 2 3 4

1. Banyumas cabai (Capsicum spp.), singkong (Manihot sp.), pisang (Musa spp.), dan kacang hijau (Phaseolus aureus).

Pemanfaatan utama ganitri adalah buahnya dengan umur tanaman 2-3 tahun

2. Cilacap petai (Parkia speciosa), bambu (Bambusa sp.), pisang, gamal (Glyricidia sepium), singkong, pepaya (Carica papaya), padi (Oryza sativa)

Pemanfaatan utama ganitri adalah buahnya

3. Kebumen pisang, padi, nanas (Ananas comosus), talas (Colocaseum giganteum), lengkuas (Alpinia galanga), kapulaga (Amomum compactum), kunyit (Curcuma domestica) dan bambu

Pemanfaatan utama ganitri adalah buahnya

4. Wonosobo pisang, singkong, dan kapulaga Pemanfaatan utama ganitri adalah kayunya

(17)

28

1 2 3 4

5. Kendal

empon-emponan (Zingiberacea), cengkeh (Syzygium aromaticum), bambu, kelapa (Cocos nucifera)

Pemanfaatan utama ganitri adalah buahnya

6. Salatiga kelapa, pisang, singkong, alpukat, lengkuas Pemanfaatan utama ganitri adalah buahnya

7. Karanganyar bambu, kelapa, pisang, ketela, alpukat Pemanfaatan utama ganitri adalah buahnya

8. Temanggung kelapa, nangka, ketela, pisang, padi Pemanfaatan utama ganitri adalah buahnya

Sumber : Hasil survey (b) Kebun Pekarangan

Penanaman ganitri dengan pola ini hampir ditemukan pada setiap lokasi di Jawa Tengah. Jarak tanam yang digunakan biasanya tidak teratur dan berasosiasi dengan berbagai macam tanaman. Di daerah Cilacap, penggunaan utama ganitri sebagai penghasil buah yang berasosiasi dengan tanaman hias seperti teh-tehan, gamal, pisang, kelapa, sengon dan singkong. Penanaman dilakukan pada ketinggian 0-270 m dpl.

Di kabupaten Banyumas, ganitri banyak berasosiasi dengan alpukat, sengon, singkong dan pisang. Sementara itu, kebun pekarangan ganitri di Kebumen banyak diasosiasikan dengan tanaman hias, kelapa, bambu, jati, pisang dan singkong. Sedangkan di kabupaten Gombong, kebun pekarangan ganitri banyak berasosiasi dengan cengkeh, sengon dan kelapa. Tanaman yang hampir serupa juga terdapat di Kabupaten Purworejo dan Wonosobo. Kebun pekarangan di Banjarnegara ditemukan dengan tanaman penyusun berupa mangga, tisuk, kelapa, petai, mahoni, jabon, sonokeling, nangka dan akasia.

(c) Silvofishery

Penanaman ganitri dengan pola silvofishery ditemukan di kabupaten Cilacap, kecamatan Kesugihan dan Cilacap Utara pada ketinggian antara 20-40 mdpl dengan lahan yang relatif datar. Pemanfaatan utama adalah biji/buahnya. Penanaman ganitri dilakukan pada tanah yang berbentuk guludan dengan diameter 2 meter dan berada dalam kolam ikan. (Gambar 6). Di kecamatan Cilacap Utara, tanaman monokultur

(18)

29 ganitri memiliki jarak tanam 5 m x 6 m dengan seluas 1 Ha. Penanaman dengan sistem ini cukup efektif dan efisien karena dapat meningkatkan optimalisasi lahan meskipun masih belum banyak dilakukan oleh masyarakat.

Gambar 6. Penanaman ganitri untuk pemanfaatan buah/bijinya dengan menerapkan pola Silvofishery di kabupaten Cilacap

(d) Tanaman Perindang Jalan

Ganitri sebagai tanaman pinggir/perindang jalan ditemukan dalam jumlah yang relatif sedikit seperti di Kabupaten Cilacap, Kebumen, Gombong dan Wonosobo. Selain sebagai perindang, tanaman ganitri biasanya ditujukan sebagai penghasil buah kecuali di daerah Wonosobo dimana tujuan utamanya sebagai penghasil kayu. Pada pola penanaman seperti ini, ganitri memiliki diameter yang relatif kecil, yaitu dengan rata-rata 8.35 cm dengan diameter terkecil sebesar 1.59 cm dan terbesar 13.38 cm serta tinggi total antara 1 m - 5 m.

c. Produktifitas Tegakan

Produktifitas tegakan ganitri dapat dilihat berdasarkan hasil pengukuran tinggi dan diameter tegakan serta produksi buah. Hasil survey yang diperoleh secara umum menunnjukkan bahwa tegakan ganitri yang dimanfaatkan buahnya memiliki produktifitas (tinggi dan diameter) yang lebih kecil dibandingkan dengan tegakan yang dimanfaatkan sebagai kayu pertukangan dan tanaman pelindung jalan. Hal tersebut ditunjukkan dengan lebih tingginya ukuran tinggi dan

(19)

30 diameter ganitri ditemukan di daerah Temanggung, Wonosobo dan sebagian wilayah Kebumen yang ditujukan untuk kayu pertukangan serta di daerah Semarang sebagai tanaman pelindung jalan (Gambar 1 dan 2).

Gambar 7. Penampilan tegakan ganitri pada beberapa sistem penanaman : a), tanaman peneduh b) hutan rakyat untuk kayu pertukangan, c) hutan rakyat untuk HHBK

Produktifitas yang kecil pada tegakan dengan tujuan HHBK disebabkan oleh perlakuan yang diberikan dengan tujuan untuk memperkecil biji ganitri seperti peneresan, pengurangan pemberian unsur hara dan lain-lain. Selain itu, tanaman yang ditemukan kebanyakan merupakan hasil okulasi. Tanaman tersebut banyak ditemukan di kabupaten Cilacap, Kebumen, Purworejo dan Kendal yang berada pada daerah dataran rendah. Tegakan ganitri dengan rata-rata tinggi dan diameter terbesar ditemukan pada hutan rakyat di kabupaten Temanggung masing-masing sebesar 9,86 m dan 20,56 cm. Sementara itu, tanaman ganitri berukuran kecil ditemukan di daerah kendal dengan rata-rata tinggi 2 m dan diameter sebesar 5,1 cm. Rohandi et al. (2011), pemanfaatan pada dataran rendah berbeda dari dataran tinggi, dimana pada dataran rendah pemanfaatan buahnya, sehingga diberi perlakuan seperti dikerat (diteres), perbanyakan stek atau hasil menyambung untuk menghasilkan buah yang kecil dengan umur yang relatif muda. Pada dataran tinggi kenampakan ganitri di hutan rakyat memiliki tinggi total yang tinggi dengan batang yang lurus

(20)

31 an diameter besar karena pemanfaatan utama kayunya dan biasanya diberi perlakuan prunning.

Secara umum, tanaman ganitri yang ditemukan di wilayah Jawa Tengah memiliki ukuran tinggi dan diameter yang masih kecil bila dibandingkan dengan tegakan yang ditemukan di Jawa Barat. Hal tersebut disebabkan oleh ganitri yang ditemukan hanya berupa hutan

tanaman dan sebagian besar ditujukan untuk pemanfaatan

buah/bijinya, sedangkan di Jawa Barat tanaman yang ditemukan memiliki peruntukan yang lebih bervariasi seperti untuk pemanfaatan biji/buah, kayu pertukangan, bahan baku pulp, hutan kota, tanaman pinggir (pelindung) jalan serta tanaman konservasi di hutan alam yang memiliki ukuran besar. Hasil penelitian Rohandi et al. (2011) menunjukkan bahwa ganitri pada habitat aslinya memiliki kisaran diameter yang cukup besar yaitu antara 6,36 cm hingga 107,32 cm dengan rata–rata diameter 36,38 cm.

Kualitas tegakan bervariasi untuk setiap lokasi, tetapi sebagian besar tanaman memiliki kondisi yang cukup baik. Hal tersebut disebabkan oleh tindakan pemeliharaan yang dilakukan sudah cukup intensif, sedangkan untuk kasus di beberapa tempat kondisi tanaman kurang optimal karena kurangnya tindakan pemeliharaan serta serangan hama/penyakit. Secara kuantitatif produktifitas sebagian tegakan di setiap lokasi sulit dibandingkan karena informasi mengenai umur tidak diketahui secara pasti serta kondisi lingkungan ataupun perlakuan yang diberikan berbeda-beda di setiap tempat.

(21)

32

Cilacap Banyumas Kebumen Gombong Purworejo Brebes Semarang Wonosobo Banjarnegara Kendal Salatiga Karanganyar Temanggung

Rerata Diameter (cm) 8,61 5,17 14,77 8,79 11,05 11,12 20,06 13,77 7,88 5,1 9,46 7,96 20,56 Rerata Tinggi (m) 3,95 3,32 5,79 3,53 4,5 5,27 8 9,11 6,67 2 4,56 4 9,86 0 5 10 15 20 25 D IA M ETER (C M ) D A N TI N GGI (M ) LOKASI (KABUPATEN)

(22)

33 Selain tinggi dan diameter tegakan, pembungaan dan pembuahan tanaman ganitri di setiap lokasi juga berbeda-beda untuk setiap tempat. Tegakan ganitri pada sebagian lokasi seperti di Cilacap dan Kebumen sedang mengalami proses pembuahan, tetapi untuk sebagian besar lokasi lainnya musim berbuah sudah lewat. Proses pembungan dan pembuahan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik dari dalam (individu pohon) ataupun dari luar (lingkungan). IFSP (2000), produksi benih bervariasi dari tahun ke tahun, dari satu lokasi ke lokasi lainnya dan dari satu pohon ke pohon lain. Selanjutnya Owens (1995) menjelaskan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya variasi ini, antara lain tempat tumbuh, kegagalan pohon untuk berbunga, penyerbukan tidak sempurna dan lain-lain. Hackett (1985) menjelaskan bahwa kondisi fisik lingkungan sangat kuat mempengaruhi umur reproduksi. Apabila pohon pada kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan vegetatif, maka tahap pembungaan awal akan berlangsung lebih cepat dan reproduksi akan terjadi pada umur yang lebih muda dibandingkan pada tanah yang kurang sesuai. Informasi pembungaan dan pembuahan ini sangat penting terutama untuk tanaman ganitri yang ditanam untuk pemanfaatan biji/buahnya.

Gambar 9. Kondisi pembungaan dan pembuahan tegakan ganitri yang ditemukan pada sebagian lokasi di lapangan

d. Kondisi Agroklimat Wilayah Sebaran dan Potensi Lahan

Hasil survey mengenai informasi agroklimat lokasi sebaran populasi tanaman ganitri di Jawa Barat dengan parameter kondisi ekologis

(23)

34 berupa ketinggian tempat, jenis tanah dan data curah hujan selengkapnya disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Kondisi agroklimat lokasi ditemukannya populasi tanaman ganitri di Jawa Tengah

No. Kabupaten Ketinggian (mdpl) Curah Hujan (mm/Tahun) Jenis Tanah

1. Banjarnegara 0 - 300 3000 - 4500 Regosol, Andosol, Podsolik coklat, Latosol

2. Banyumas 0 - 600 2500 - 4000 Regosol, Andosol, Podsolik coklat, Latosol

3. Brebes 300 - 600 2500 - 4000 Regosol, Andosol, Podsolik coklat, Latosol

4. Cialcap 0 - 300 2500 - 3500 Regosol, Andosol, Aluvial, Podsolik coklat, Latosol

5. Karanganyar 0 - 1300 2000 - 4000

Podsolik coklat kekelabuan, Latosol, Podsolik merah kuning Regosol, Andosol, Podsolik coklat. 6. Kdy. Salatiga 600 - 1000 2000 - 2500 Latosol

7. Kdy. Semarang 300 - 600 2500 - 3000 Regosol, Andosol, Podsolik coklat, Latosol

8. Kebumen 0 - 600 2500 - 3500

Podsolik coklat kekelabuan, Latosol, Podsolik merah kuning, Regosol, Andosol, Podsolik coklat, Podsol, Podsol air tanah.

9. Kendal 0 -300 2000 - 2500 Latosol

10. Purworejo 0 - 600 2500 - 4000 Regosol, Andosol, Podsolik coklat, Latosol, Podsol, Podsol air tanah 11. Semarang 300 - 600 2000 - 2500 Latosol

12. Wonosobo 300 - 1300 3500 - 4500 Regosol, Andosol, Podsolik coklat, Latosol

Secara umum tanaman ganitri dapat tumbuh pada kisaran ketinggian yang cukup luas yaitu 0-1300 mdpl. Tanaman ini dapat tumbuh pada jenis tanah Podsolik Coklat Kekelabuan, Latosol, Podsolik Merah Kuning, Regosol, Andosol, Podsolik Coklat, Podsol, Podsol Air Tanah dan Aluvial dengan curah hujan 2000-4500 mm/tahun. Dari data kriteria persyaratan tumbuh tersebut, untuk mengetahui potensi lahan tanaman ganitri dianalisis dengan

menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) sehingga

(24)

35 Gambar 10. Sebaran populasi dan dugaan potensi lahan tanaman ganitri di wilayah Jawa Tengah

(25)

36 Berdasarkan peta potensi lahan (Gambar 10) yang disusun berdasarkan data ekologis tempat tumbuh lokasi sebaran populasi tanaman ganitri, hasil analisis GIS menunjukkan bahwa potensi lahan jenis tersebut di wilayah Jawa Tengah diperkirakan seluas

2.737.108,82 ha. Data luas potensi lahan tersebut merupakan

lokasi/wilayah yang potensial dan memungkinkan untuk

pengembangan tanaman ganitri. Data hasil penilaian kesesuaian lahan tanaman ganitri di Jawa Barat selengkapnya dicantumkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Potensi lahan untuk pengembangan tanaman ganitri di wilayah Jawa Tengah

No. Kabupaten/Kota Luas (Ha) Persentase Dari Luas Daratan Jawa Tengah 1 Banjarnegara 106.152,64 3,27 2 Banyumas 129.600,77 3,99 3 Batang 58.092,04 1,79 4 Blora 32.683,10 1,01 5 Boyolali 103.489,52 3,18 6 Brebes 129.902,64 4,00 7 Cilacap 218.158,89 6,71 8 Demak 97.766,99 3,01 9 Grobogan 164.958,25 5,08 10 Jepara 94.169,66 2,90 11 Karanganyar 78.571,83 2,42 12 Kdy. Magelang 1.844,66 0,06 13 Kdy. Pekalong 4.472,13 0,14 14 Kdy. Salatiga 4.776,48 0,15 15 Kdy. Semarang 29.741,32 0,92 16 Kdy. Surakart 4.685,39 0,14 17 Kebumen 126.649,55 3,90 18 Kendal 96.987,77 2,98 19 Klaten 67.094,67 2,06 20 Kudus 44.935,60 1,38 21 Magelang 108.301,67 3,33 22 Pati 94.466,40 2,91 23 Pekalongan 46.247,58 1,42 24 Pemalang 91.750,57 2,82 25 Purbalingga 52.456,42 1,61 26 Purworejo 102.642,13 3,16 27 Semarang 101.819,90 3,13 28 Sragen 99.420,93 3,06 29 Sukoharjo 50.675,73 1,56 30 Tegal 81.074,49 2,49 31 Temanggung 79.485,47 2,45 32 Wonogiri 138.545,56 4,26 33 Wonosobo 95.488,08 2,94 Total 2.737.108,82 84,22

Sumber : Hasil analisis GIS

(26)

37

Data potensi lahan (Tabel 5) hanya didasarkan pada tegakan yang

ditemui di lapangan sehingga dapat berubah apabila ada

informasi/data lain yang ditambahkan tentang kriteria kesesuaian tempat tumbuh tanaman ganitri. Potensi lahan yang diperoleh merupakan gambaran awal wilayah pengembangan tanaman ganitri di wilayah Jawa Barat. Dengan demikian, perlu penelitian lanjutan untuk kegiatan pengembangan diantaranya dalam penetapan kriteria persyaratan tumbuh yang lebih komprehensif melalui uji penanaman. DPTH (2001), pilihan yang optimal membutuhkan pengujian lapangan dan pada umumnya informasi ini tidak tersedia.Penggunaan peta potensi lahan ini bermanfaat sebagai informasi awal untuk menghindari resiko terjadinya kegagalan akibat kesalahan dalam penentuan lokasi penanaman baik untuk pembangunan sumber benih ataupun pengembangan hutan tanaman (hutan rakyat).

Potensi lahan di atas menjadi gambaran umum, tetapi belum menunjukan wilayah yang spesifik untuk pengembangan tanaman ganitri. Hal tersebut juga diterangkan oleh Danu et al. (2009), pada penyusunan peta potensi lahan mimba (Azadirachta indica) dimana

potensi lahan tidak menunjukkan secara spesifik wilayah

pengembangan untuk masing-masing lokasi tetapi merupakan gabungan dari kondisi lokasi sebaran populasi yang diamati. Hal tersebut disebabkan oleh terbatasnya data ekologis dari masing-masing lokasi sehingga penyusunannya lebih bersifat umum. Penyusunan peta potensi lahan yang lebih detil dengan pembedaan secara spesifik kriteria-kriteria seperti jenis tanah, ketinggian dan curah hujan ataupun dengan menambahkan kriteria lainnya seperti kelas lereng, kelembaban dan lain-lain perlu terus dilakukan. Semakin detilnya data dasar yang diperoleh, maka informasi yang ada pada peta akan semakin lengkap.

(27)

38

e. Potensi Sumber Benih dan Zonasi Benih Ganitri

1) Ketersediaan dan Potensi Sumber Benih

Sumber benih ganitri di wilayah Jawa Tengah khususnya dan Indonesia pada umumnya masih belum tersedia. Berdasarkan hasil survey, ditemukan beberapa populasi/tegakan ganitri yang memiliki potensi untuk dijadikan sumber benih sehingga memenuhi syarat untuk disertifikasi meskipun jumlahnya masih sangat terbatas. Populasi ganitri potensial untuk dikembangkan/disertifikasi menjadi sumber benih pada beberapa lokasi selengkapnya disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Tegakan ganitri pada beberapa lokasi yang cukup potensial untuk dikembangkan menjadi sumber benih.

No Lokasi Umur (Tahun) Jumlah Pohon Induk Produktivitas Tegakan Pemilik/ Pengelola TT (m) TBC (m) D (cm) 1. Desa Kalianget, Kec. Mojotengah, Kab. Wonosobo 10 34 12 9 18 Masyarakat 2. Desa Wonosobo, Kec. Wonosobo, Kab. Wonosobo 9 36 12 8 15 Masyarakat

Keterangan : TT (tinggi total), TBC (tinggi bebas cabang) dan D (diameter)

Penilaian tegakan yang dilakukan lebih didasarkan pada penampilan (fenotipa) tegakan yang meliputi tinggi, diameter, kelurusan, jumlah pohon, aksesibilitas dan keamanan, sedangkan persyaratan-persyaratan lainnya sebagai sumber benih perlu dianalisis lebih lanjut seperti status lahan serta pembungaan dan pembuahan. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan (2002) menjelaskan bahwa kriteria umum kelayakan sumber benih meliputi aksesibilitas, jumlah pohon (minimal 25 pohon), kualitas (fenotipa) tegakan, pembungaan dan pembuahan, keamanan dan kesehatan. Tegakan diterima sebagai calon sumber benih jika semua tolok ukur tersebut terpenuhi dan tegakan ditolak sebagai calon sumber benih jika salah satu tolok ukur tersebut tidak terpenuhi.

(28)

39

Gambar 11 . Tegakan ganitri yang cukup potensial untuk disertifikasi menjadi sumber benih pada beberapa lokasi di kabupaten Wonosobo; a) di kec. Mojotengah dan b) di kec. Wonosobo

Tegakan potensial (Tabel 6) hanya ditujukan untuk tujuan kayu pertukangan. Pengembangan sumber benih untuk tujuan HHBK (biji) masih sulit dilakukan karena yang diharapkan bukan hanya jumlah produksi tetapi juga ukuran bijinya (kecil). Untuk tujuan tersebut, masyarakat selama ini memberikan perlakuan silvikultur berupa peneresan dan pengurangan unsur hara. Selain cara tersebut, sebagian masyarakat melakukan penanaman dari bibit hasil okulasi dengan bahan tanaman yang dapat menghasilkan buah berukuran kecil. Kegiatan pemuliaan untuk melihat pengaruh faktor genetik terhadap ukuran benih perlu terus dilakukan sehingga dapat ditemukan tanaman ganitri berbiji kecil yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Berdasarkan kondisi di lapangan, pada saat ini pengadaan benih ganitri diambil dari tegakan-tegakan milik masyarakat tanpa memperhatikan jumlah pohon ataupun kualitasnya. Keberadaan sumber benih sebagai penyedia benih unggul sangat penting untuk meningkatkan produktifitas dan keberhasilan penanaman di lapangan. Nurhasybi et al.(2000) menjelaskan bahwa mutu benih sangat

(a)

(29)

40 berpengaruh terhadap keberhasilan penanaman di lapangan. Pemilihan sumber benih yang tidak tepat serta mutu benih yang rendah akan menyebabkan pertumbuhan tanaman kurang optimal yang diindikasikan oleh rendahnya riap kayu, bentuk batang yang tidak lurus dan serangan hama /penyakit pada bibit di persemaian atau tanaman di lapangan. Dengan demikian, pengembangan sumber benih dari tegakan potensial yang ada sangat diperlukan sebelum sumber benih dengan kualitas lebih tinggi dapat dibangun.

Apabila dilihat dari berbagai pola pengelolaan lahan,

pengembangan sumber benih ganitri di lahan masyarakat dapat dilakukan pada hutan rakyat murni selain pada kebun campuran, hutan campuran atau perkebunan. Sedangkan untuk tipe pengelolaan lahan yang lain, pengembangan sumber benih sulit untuk dilakukan yang diakibatkan oleh beberapa hal. Pramono et al., (2008), pengembangan sumber benih pada lahan persawahan atau tegalan yang dikelola intensif kurang potensial karena perlakuan silvikultur yang berupa pruning keras akan mengganggu produksi benih, sedangkan pengembangan sumber benih pada pekarangan kurang cocok karena luas lahan dan jumlah pohonnya cenderung kecil.

2) Zonasi Benih Untuk Pengembangan dan Distribusi Benih Ganitri

Sistem zonasi benih secara umum bertujuan untuk membantu mencocokan sumber benih dengan tapak penanaman. Van Buijtenen (1992) dan Westfall (1992) dalam DPTH (2001) membagi zanasi benih menjadi dua konsep atau pendekatan yaitu zona pengadaan benih dan zona penggunaan benih. Penyusunan zonasi pada penelitian ini lebih diarahkan sebagai zona penggunaan benih yang juga bisa disebut zona pemanfaatan atau zona penanaman pohon. DPTH (2001), prinsip pokok dari zona penggunaan benih adalah sumber benih yang berbeda seharusnya ditanam pada tempat yang berbeda pula karena adanya interaksi genotif dan lingkungan. Zona ini dapat mencakup areal yang luas (lebih luas dari zona pengadaan benih) dan

(30)

41 dapat terdiri dari areal dengan kondisi ekologis yang serupa, namun areal ini tidak harus berdekatan lokasinya.

Berdasarkan data agroklimat pada lokasi sebaran tanaman ganitri yang ditemukan yaitu ketinggian tempat, curah hujan dan jenis tanah pada setiap lokasi sebaran populasi maka sistem zonasi untuk pengembangan ganitri dibagi ke dalam 4 (empat) zona yaitu zona 1 (dataran rendah), zona 2 (dataran sedang), zona 3 (dataran tinggi) dan zona 4 (pegunungan). Peta zonasi benih ganitri di Jawa Tengah disajikan pada Gambar 12.

(31)

42 Gambar 12. Sebaran populasi dan zonasi benih untuk pengembangan dan distribusi benih tanaman ganitri di Jawa Tengah

(32)

43 Berdasarkan Gambar dan hasil analisis GIS, zonasi benih yang telah disusun menghasilkan lokasi dan luas wilayah pengembangan tanaman ganitri untuk masing-masing zona di wilayah Jawa Tengah seperti disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Zonasi benih tanaman sebagai wilayah pengembangan dan distribusi benih ganitri di Jawa Tengah

No. Zona Wilayah (Kabupaten) Luas (Ha)

Persentase Dari Luas Daratan Jteng (%)

1.

Zona 1 (Dataran Rendah)

Banjarnegara, Banyumas, Batang, Blora, Boyolali, Brebes, Cilacap, Demak, Grobogan, Jepara, Karanganyar, Kdy Pekalongan, Kdy Semarang, Kdy Surakarta, Kebumen, Kendal, Klaten, Kudus, Magelang, Pati, Pekalongan, Pemalang, Purbalingga, Purworejo, Semarang, Sragen, Sukoharjo, Tegal, Temanggung, Wonogiri, Wonosobo 1.885.572,05 58,02 2. Zona 2 (Dataran Sedang)

Banjanegara, Banyumas, Batang, Blora, Boyolali, Brebes, Cilacap, Grobogan, Jepara, Karanganyar, Kdy Magelang, Kdy Salatiga, Kdy Semarang, Kebumen, Kendal, Klaten, Kudus, Magelang, Pati, Pekalongan, Pemalang,

Purbalingga, Purworejo, Semarang, Sragen, Sukoharjo, Tegal,

Temanggung, Wonogiri, Wonosobo. 431.201,44 13,27 3. Zona 3 (Dataran Tinggi)

Banjarnegara, Banyumas, Batang, Boyolali, Brebes, Cilacap, Jepara, Karanganyar, Kdy Salatiga, Kebumen, Kendal, Klaten, Kudus, Magelang, Pati, Pekalongan, Pemalang, Purbalingga, Purworejo, Semarang, Tegal, Temanggung, Wonogiri, Wonosobo.

265.882,03 8,18

4. (Pegunungan) Zona 4

Banjarnegara, Banyumas, Batang, Boyolali, Brebes, Cilacap, Jepara, Karanganyar, Kendal, Klaten, Kudus, Magelang, Pati, Pekalongan Pemalang, Purbalingga, Semarang, Tegal, Temanggung, Wonogiri, Wonosobo

154.453,30 4,75

Sumber : Hasil analisis GIS

Keterangan : Luas daratan Jawa Barat adalah 3.250.000,00 ha (Anonim, 2009b)

Zona penggunaan benih ini dapat mencakup areal yang luas dan dapat terdiri dari beberapa areal yang memiliki kondisi ekologis yang serupa. Pada zona ini, pertumbuhan kurang lebih seragam dan benih dari sumber benih yang cocok dapat digunakan di seluruh zona ini. DPTH (2001), penggunaan sistem zonasi benih bukanlah menjadi jaminan

(33)

44 pilihan sumber benih yang optimal, tapi ditujukan untuk mengurangi resiko penggunaan bahan tanaman yang kurang dapat beradaptasi dengan lingkungan (tapak penanaman).

Penggunaan zona ini diharapkan dapat membantu dalam peningkatan produktifitas tegakan ganitri sehingga pengembangan jenis ini akan menjadi alternatif yang dapat dilakukan oleh masyarakat selain budidaya tanaman yang sudah populer seperti sengon, suren, mahoni, manglid dan lain-lain yang didukung oleh aspek lain seperti penggunaan benih unggul dan silvikultur intensif. Barner dan Ditlevsen (1988) menjelaskan bahwa produktivitas hutan tanaman diyakini akan optimum seiring perbaikan kelas sumber benihnya. Perbaikan kelas sumber benih ini berhubungan kesesuaian ekologis antara sumber benih terhadap tapak pertanaman, keunggulan fenotipa atau genotipa sumber benih, metoda dan intensitas seleksi dalam sumber benih, serta siklus pemuliaan.

f. Strategi Pengembangan Tanaman Ganitri 1) Berdasarkan Sebaran Populasi

Beberapa strategi yang dapat disusun untuk pengembangan tanaman ganitri dengan adanya informasi sebaran populasi di Jawa Barat diantaranya adalah untuk penyusunan program penyediaan benih unggul melalui pengembangan sumber benih. Data potensi tegakan yang diperoleh sangat penting sebagai dasar dalam pengembangan sumber benih, mengingat sumber benih jenis ini masih belum tersedia. Berdasarkan kondisi tersebut, pengembangan sumber benih di Jawa Barat perlu lakukan baik dari segi kuantitas ataupun kualitas.

Sejalan dengan semakin meningkatnya kebutuhan benih bermutu untuk berbagai kegiatan penanaman, pengembangan sumber benih perlu dilakukan secara bertahap. Dalam jangka pendek (kebutuhan mendesak), pengembangan sumber benih dapat dilakukan melalui penunjukkan baik di hutan alam ataupun hutan tanaman. Data tegakan potensial yang ada di beberapa lokasi (Tabel 6) dapat ditunjuk menjadi Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT) atau Tegakan Benih Terseleksi (TBS). Kelas sumber benih secara bertahap dapat ditingkatkan menjadi Areal Produksi Benih (APB) khususnya untuk hutan tanaman. Sementara itu, sumber benih

(34)

45 yang berada di hutan alam tidak bisa dilakukan karena lokasi sumber benih berada pada hutan lindung dan Taman Nasional dimana tindakan penjarangan tidak bisa dilakukan. Strategi penyediaan benih jangka pendek perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan benih sebelum sumber benih dengan kualitas lebih tinggi dapat terbangun.

Sementara itu, penyediaan benih untuk jangka panjang dapat dilakukan melalui pembangunan sumber benih baru dengan penerapan prinsip-prinsip pemuliaan. Pembangunan sumber benih dengan kualitas tinggi seperti Tegakan Benih Provenan (TBP), Kebun Benih Semai (KBS) dan Kebun Benih Klon (KBK) memerlukan biaya dan tenaga yang besar terutama untuk kegiatan eksplorasi materi genetik. Diperolehnya data sebaran ganitri di Jawa Barat dapat menjadi informasi awal/petunjuk dalam pelaksanaan kegiatan eksplorasi materi genetik sebagai bahan dasar dalam kegiatan pemuliaan. Materi tersebut dapat digabung dengan materi dari daerah lain sehingga diharapkan memiliki variasi genetik yang luas. Menurut Graudal et al. (1997), manfaat dari kegiatan pemetaan sebaran sumber benih dan tegakan potensial adalah untuk membantu program koservasi sumberdaya genetik di wilayah ini. Peta sebaran digunakan untuk mengetahui sebaran geografi dan ekologi serta untuk mengetahui keragaman sifat menurun jenis tanaman target baik di hutan alam ataupun hutan tanaman. Dengan adanya peta ini diharapkan pengambilan contoh biji atau bahan vegetatif tanaman terpilih dapat mewakili potensi faktor menurun yang ada di seluruh populasi.

Peta sebaran populasi yang telah tersusun merupakan titik awal dalam penyedian benih berkualitas jenis ganitri secara berkelanjutan khususnya di Jawa Barat. Pemetaan sumber benih yang didasarkan pada zonasi ekologi akan memberikan keuntungan, yaitu : 1) menghasilkan benih yang memiliki keragaman genetik yang luas, sehingga akan berpengaruh terhadap kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan tempat tumbuh yang beragam, dan 2) menghasilkan benih yang memiliki keragaman kualitas kayu dan produk lainnya, sehingga dapat memberikan peluang untuk pemanfaatan yang beragam. (Danu et al., 2007). Selain itu, kegiatan ini akan memudahkan pembuatan dokumentasi benih, yang mencantumkan kondisi tegakan, data ekologi, asal benih/ sejarah genetik

(35)

46 benih, dan proses penanganan benihnya. Benih hasil dari eksplorasi ini merupakan materi perbanyakan tanaman yang sangat berharga untuk pembangunan sumber benih, bank benih dan penyelamatan plasma nutfah atau konservasi genetik ex-situ dengan keragaman yang sama dengan sebaran populasi alaminya

2) Berdasarkan Potensi Lahan dan Zonasi Benih

Peta potensi lahan yang telah disusun memberikan gambaran lokasi-lokasi yang diperkirakan cocok untuk pengembangan tanaman ganitri di Jawa Barat meskipun masih bersifat umum dan dibuat dalam skala yang kecil. Mengingat sampai saat ini penelitian kesesuaian lahan tanaman hutan di Indonesia masih terbatas, maka informasi potensi lahan di atas

merupakan petunjuk dalam penentuan lokasi untuk kegiatan

pengembangan hutan tanaman/hutan rakyat ataupun penentuan lokasi sumber benih. Gintings (1990) menjelaskan bahwa kurangnya data-data persyaratan tumbuh tanaman untuk penilaian potensi lahan yang secara garis besar baru berupa data curah hujan, tinggi tempat dari permukaan laut dan jenis tanah perlu ditanggulangi melalui beberapa usaha antara lain :

a) Mengadakan penanaman uji jenis (species trials) pada setiap pedoagroklimat sehingga informasi persyaratan tempat tumbuh untuk beberapa jenis pohon akan lebih lengkap.

b) Mengadakan analisa fisik dan kimia jenis-jenis tanah yang akan ditanami agar secara bertahap kekurangan unsur hara tertentu dapat diketahui lebih awal serta dapat juga meggunakan bantuan peta

RePPProT (Regional Physical Planning Programme for

Transmigration).

c) Sambil menunggu informasi dari butir a dan b, maka penggunaan tanaman lokal sebagai penunjuk jenis yang sesuai dapat dilaksanakan.

Penyusunan peta potensi lahan menjadi peta zonasi benih memiliki beberapa manfaat dalam pengembangan tanaman dan distribusi benih tanaman ganitri di Jawa Barat (DPTH, 2001) antara lain sebagai :

a) Alat perencanaan identifikasi sumber benih dan pembangunannya. b) Alat Perencanaan konservasi sumberdaya genetik hutan.

(36)

47 c) Alat dalam perencanaan pengujian lapangan/pertanaman uji.

d) Alat untuk meningkatkan kepedulian dan kursus.

Zonasi benih yang telah disusun lebih diarahkan untuk digunakan dalam pengembangan tanaman ganitri untuk tujuan kayu pertukangan dan bukan untuk tujuan HHBK (diambil bijinya). Hal tersebut disebabkan oleh budidaya ganitri untuk pemanfaatan bijinya tidak terlalu memperhatikan kondisi kesuburan lahan, bahkan tanaman tersebut diberi perlakuan dengan pengurangan nutrisi/hara atau peneresan untuk memperkecil buah/biji yang harganya lebih mahal.

Pengembangan dan domestikasi tanaman ganitri perlu didukung oleh berbagai pihak diantaranya Dinas Kehutanan dan Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH). Dinas Kehutanan berperan penting dalam kegiatan penyuluhan untuk memberikan informasi teknik budidaya ataupun prospek pengembangan tanaman ini kepada masyarakat. Sementara itu, Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) berperan penting dalam pengembangan sumber benih dan distribusi benih sehingga dapat diaplikasikan dalam peningkatan produktifitas tegakan di lapangan. Peran serta pihak lainnya sangat diperlukan sehingga pengembangan ganitri di Jawa Barat dapat berhasil dan bermanfaat bagi masyarakat banyak. Hasil penelitian ini menjadi dasar pertimbangan penentuan strategi pengembangan tanaman ganitri ditinjau dari aspek fisik. Selain itu, masih diperlukan pertimbangan dari aspek lainnya seperti seperti aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan.

g. Aspek Sosial Ekonomi dan Kelembagaan 1) Sejarah Tanaman Ganitri di Lokasi Penelitian

Sekitar 50 tahun lalu terdapat seorang India, bernama Dulkarim, yang tinggal di daerah Kauman, Kabupaten Kebumen. Orang India tersebut menitipkan beberapa bibit pohon ganitri kepada seseorang santri yang mengaji di masjid daerah Kauman untuk ditanam di daerah Condong, Panusupan dan memberikan bimbingan teknis mulai dari cara menanam, merawat, sampai dengan memanen buah ganitri. Selain memberikan cara budidaya tanaman ganitri, Dulkarim juga menampung dan membeli biji

(37)

48 ganitri yang dihasilkan oleh para santri dengan harga tinggi untuk dibawa ke Negara India.

Tingginya harga jual biji ganitri menyebabkan sebagian besar masyarakat di Desa Panusupan menanam pohon ganitri di tanah milik. Sampai saat ini, Desa Panusupan adalah sentra penghasil biji ganitri berkualitas di Kabupaten Kebumen.

Berdasarkan hasil diskusi dengan beberapa tokoh masyarakat di Desa Kauman, diperoleh informasi bahwa santri yang diajari menanam pohon Ganitri adalah “mbah buyutnya” Hariyadi, seorang pengepul biji Ganitri di Desa Panusupan sekarang. Mbah buyut Hariyadi inilah yang berjasa untuk membudidayakan dan menyebarluaskan tanaman ganitri di berbagai daerah di Kabupaten Kebumen dan sekitarnya, seperti Desa Tanggeran Kecamatan Sruweng, Desa Karangsari Kecamatan Sruweng, beberapa Desa di Kecamatan Buayan, dan Kecamatan Gombong. Pada saat itu, lahan milik Mbah buyut Hariyadi yang ditanami ganitri telah mencapai luas satu hektar, dengan jumlah tanaman 250 pohon. Mantan sopir angkot itu merupakan pengepul resmi yang mendapatkan rekomendasi langsung dari orang India.

Setelah menyebar secara luas di Kabupaten Kebumen, sekitar tahun 1980-an beberapa petani yang berasal dari daerah lain seperti Kabupaten Cilacap, Kabupaten Wonosobo, dan lainnya mulai mengembangkan tanaman ganitri di daerahnya.

2) Karakteristik Budidaya Ganitri

Berdasarkan hasil pengamatan di tiga kabupaten di Jawa tengah yaitu Kabupaten Cilacap, Kabupaten Kebumen, dan Kabupaten Wonosobo. Terdapat dua pendekatan yang dilakukan petani dalam melakukan budidaya tanaman ganitri, yaitu budidaya ganitri untuk tujuan diambil kayunya dan budidaya ganitri untuk tujuan diambil bijinya. Di Kabupaten Wonosobo petani membudiyakan tanaman ganitri untuk tujuan produksi kayu sehingga teknik budidaya yang dilakukan untuk tanaman ganitri sama dengan budidaya tanaman kayu lainnya seperti tanaman sengon, mahoni, suren, dan sebagainya. Sedangkan di Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Kebumen, mayoritas petani membudidayakan tanaman ganitri untuk tujuan produksi bijinya. Beberapa perbedaan yang terlihat jelas dari

(38)

49 kedua pendekatan budidaya diantaranya jenis bibit yang digunakan, teknik pemupukan, bagian yang dipanen, perlakuan khsus, tinggi pohon, dan umur panen. Perbedaan kedua pendekatan tersebut secara singkat ditampilkan pada Tabel 8

Tabel 8. Karakteristik Budidaya Ganitri di Lokasi Penelitian

No. Karakteristik

Budidaya ganitri di lokasi kajian Wonosobo Kebumen/Cilacap

1 Bibit Berasal dari

biji Hasil stek

2 Pemupukan Awal tanam

saja Intensif/periodik

3 Panen kayu Buah/biji

4 Perlakuan selama

pemeliharaan Tidak ada

Penyayatan batang pohon/diteres

5 Tinggi pohon rata-rata 20 – 35

meter 2 meter

6 Umur panen 6-8 tahun 2 tahun

Sumber: Hasil pengamatan di lapangan

3) Aspek Ekonomi Budidaya Ganitri

a) Produksi Kayu Ganitri

Wonosobo merupakan salah satu daerah yang memanfaatkan tanaman ganitri untuk diambil kayu nya. Pemanfaatan kayu ganitri di Wonosobo telah dimulai sejak tahun 1970-an untuk digunakan sebagai papan, “kerajinan bingkai”, dan untuk penggunaan lainnya. Tanaman ganitri yang berkembang di daerah Wonosobo berasal dari daerah Cilacap dan Kebumen.

Pemerintah Kabupaten Wonosobo melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wonosobo telah memfasilitasi pengembangan tanaman ganitri secara besar-besaran sejak tahun 2008. Menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan Wonosobo, pengembangan tanaman ganitri

(39)

50 dijadikan sebagai salah satu tanaman alternatif untuk menggantikan tanaman sengon secara perlahan-lahan. Hal ini disebabkan semakin besarnya daya serang hama dan penyakit tanaman sengon (ulat kantong dan karat tumor) di daerah Wonosobo.

Pada umumnya, petani di Kabupaten Wonosobo menanam ganitri sebagai tanaman pinggir atau tanaman pembatas lahan. Menurut para petani tanaman ganitiri tidak cocok apabila dikombinasikan dengan tanaman lain, terutama tanaman semusim, Hal ini dikarenakan : (1) perakaran tanaman ganitri cenderung menghalangi ruang tumbuh tanaman yang berada di sampingnya, sehingga penghasilan jangka pendek dan menengah yang diperoleh dari tanaman lainnya tidak ada, (2) tanaman ganitri memiliki sifat menyerap unsur hara dengan “rakus” sehingga tanaman yang berada di bawahnya cenderung tidak tercukupi hara nya, dan (3) belum adanya tanaman semusim yang mampu tumbuh baik di bawah tegakan tanaman ganitri untuk sepanjang daur tanaman ganitri.

Penggunaan tanaman ganitri di oleh petani di Kabupaten Wonosobo didorong oleh beberapa hal, diantaranya (1) semakin hebatnya daya serang Hama Penyakit Tanaman (karat tumor dan ulat kantong) yang menyerang tanaman andalan petani (sengon), sehingga tanaman ganitri dijadikan tanaman pengganti sengon, (2) ketahanan tanaman ganitri terhadap HPT seperti ulat, hama penggerek kayu, karat tumor, dan lainnya, dan (3) budidaya tanaman ganitri mudah dilakukan.

Seperti halnya tanaman sengon, tanaman ganitri pun sangat mudah dipasarkan. Hal ini ditandai dengan terdapatnya beberapa pabrik dan tempat penggergajian yang menerima kayu yang berasal dari tanaman ganitri. Penebangan tanaman ganitri yang dilakukan dua tahun terakhir ini merupakan hasil penanaman masyarakat sebelum tahun 2008. Pada umumya merupakan tanaman peninggalan keluarga sebelumnya

Budidaya tanaman ganitri di Kabupaten Wonosobo semakin berkembang pesat. Selain disebabkan oleh terserangnya tanaman utama sengon oleh ulat kantong dan karat tumor, juga disebabkan karena adanya intervensi Pemerintah Kabupaten Wonosobo yang menjadikan tanaman ganitri sebagai prioritas tanaman pokok di beberapa program

(40)

51 penanaman pohon, seperti Program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Program Kebun Benih Rakyat, Program One Man One Tree, Program Sejuta Pohon, dan program-program lainnya.

Secara ekonomi, keuntungan menanam ganitri sama dengan tanaman sengon baik dari segi waktu panen maupun harga jual kayu, bahkan pada waktu tertentu harga jual kayu ganitri relatif lebih tinggi dibandingkan kayu sengon, akibat pasokan kayu ganitri jauh lebih sedikit dari permintaan pasar. Harga log ganitri dengan panjang dua meter dengan diameter 10 – 14 cm dihargai sebesar Rp. 400.000; diameter 15 – 19 cm seharga Rp. 600.000; diameter 20 – 24 cm seharga Rp. 850.000; diameter 25 – 29 cm seharga Rp. 900.000,- diameter 30 – 39 cm seharga Rp. 1.100.000,- dan diameter 40 cm ke atas seharga Rp. 1.250.000.

b) Produksi Buah/Biji Ganitri

Pada umumnya, budidaya tanaman ganitri untuk tujuan produksi biji dilakukan di Kabuapten Kebumen dan Kabupaten Cilacap. Hasil wawancara dengan tokoh dan pelaku usaha di Daerah Cilacap, budidaya ganitri mulai berkembang pesat sejak tahun 2008. Sesungguhnya pengetahuan masyarakat mengenai tanaman ganitri sebagai tanaman yang bijinya dapat diperjualbelikan dimulai sejak tahun 1997. Akan tetapi, petani di Kabupaten Cilacap tidak mengetahui teknik membudidayakan tanaman ganitri untuk tujuan produksi biji. Petani di Kabupaten Cilacap hanya sebatas melakukan ekstraksi biji ganitri dari hutan alam di daerah Kebumen. Akan tetapi, sejak tahun 1965 petani di daerah Kebumen sudah membudidaya tanaman ganitri untuk tujuan produksi biji terutama di beberapa daerah sentra penanaman ganitri di Kabupaten Kebumen seperti Desa Penusupan (Kecamatan Sruweng), Desa Kalipuru (Kecamatan Karangsambung), dan Desa Watulawang, Panjaringan, Condongsampur (Kecamatan Pejagoan).

Sejarah jual beli biji ganitri di Kebumen dimulai pada saat datangnya Tuan Dulkarim pada tahun 1965-an. Dia adalah orang India pertama yang datang ke kebumen untuk mencari biji ganitri dan tinggal di kebumen. Kemudian bisnis biji ganitri ini dilanjutkan oleh anaknya bernama dulthamrin, dan seterusnya adalah tuan fattah, akhirnya

(41)

52 diteruskan oleh pak Lurah/pak kaum, kemudian bisnis ini dipegang juga oleh Ibu Tamrin (adik pak Kaum) pada tahun 1969. Pak Mujiman seorang pengumpul besar saat ini, mulai mengumpulkan biji ganitri yang berada di alam pada tahun 1970-an dan dijual ke Ibu Tamrin.

Tanaman ganitri ditanam untuk tujuan produksi buah, berkembang dengan pesat dengan cara penanaman intensif (monokultur) dengan jarak tanam yang teratur. Musim berbunga tanaman ini umumnya pada bulan Oktober sampai Desember, muncul buah muda pada bulan Januari dan buah masak sekitar bulan Maret yang cirinya buah sudah berwarna biru. Buah berjatuhan biasanya pada bulan April sampai akhir Mei.

Tanaman ganitri mulai berbunga pada umuir 18 bulan, dan panen perdana biasanya pada umur 2-4 tahun dengan jumlah produksi buah dapat mencapai 350.000 butir. Pengunduhan dan pengumpulan buah biasanya dilakukan mulai pertengahan bulan April sampai dengan awal bulan Mei pada musim kemarau. Buahnya termasuk jenis ortodoks sehingga viabilitasnya dapat bertahan sampai beberapa tahun.

Dari hasil wawancara, diketahui terdapat dua jenis ganitri yang berkembang di Indonesia, yaitu: (1) ganitri yang daunnya cenderung kecil, panjang dan agak melengkung, bijinya kompak, kepadatannya bagus, dan garis-garisnya terlihat jelas. Biji yang dihasilkan dari tanaman ini memiliki kualitas yang bagus dan dapat dipasarkan untuk komunitas hindu india yang berada di Bali, (2) ganitri yang daunnya cenderung lebar, dan cenderung bulat, dan kepadatan bijinya cenderung lebih rendah dibandingkan nomor 1, garis-garis pada bijinya cenderung tidak sejelas nomor 1.

Harga biji ganitri sangat bervariasi tergantung ukuran dan jumlah lekukannya (mukhi). Teradapat 12 ukuran (grade) yang digunakan sebagai standar penentuan harga biji ganitri (ukuran dimulai dari diameter biji 5,5 mm). Semakin kecil ukuran biji dengan warna coklat kemerahan semakin mahal harga jualnya. .

Ganitri dijual dengan sistem grade (kelas) yaitu kelas 1 sampai 9 dibeli per butir/biji, dan kelas 10 dan 12 dibeli per kilogram. Pada tahun 2012, kelas satu yang terkecil (ukuran diamater biji 5,5 mm ke bawah) dijual dengan Rp. 50,-/butir, kelas 2 (ukuran diameter biji 6 mm dijual dengan

(42)

53 harga Rp. 31,- dan seterusnya. Sedangkan untuk kelas 10, 11, dan 12 dijual dengan harga Rp. 6.000,-/kg , Rp. 3.000,-/kg , dan Rp. 3.000,-/kg (Tabel 9).

Tabel 9. Ukuran dan harga biji ganitri (2012)

Nomor Ukuran (mm) Harga (Rp) 1 5,5 50 2 6 31 3 7 20 4 7,5 16 5 8 15 6 8,5 13 7 9 12 8 9,5 11 9 10 10 10 10,5 6000/kg 11 11 3000/kg 12 11,5 3000/kg

Sumber: data primer

Biji Ganitri yang berukuran kecil awalnya hanya ada di daerah Kalipuru (merupakan biji ganitri dengan kualitas terbaik di Indonesia : Bijinya padat, dan garis-garis pada bijinya simetris). Setelah tahun 2010, petani di Kabupaten Cilacap mengembangkan teknik budidaya tanaman ganitri untuk menghasilkan biji berukuran kecil, yaitu dengan melakukan teknik sambung (okulasi) dan teknik pengeratan pohon ganitri (dilakukan pada saat pohon berbunga).

Berdasarkan pendapat pedagang besar di Kebumen, keberhasilan para petani di Kabupaten Cilacap dalam memproduksi biji berukuran kecil telah menyebabkan volume biji ganitri ukuran kecil di pasaran menjadi berlebih (over supply) dan akhirnya menjatuhkan harga jual biji ganitri

(43)

54 ukuran kecil. Hal ini dapat dilihat dari turunnya harga jual biji ganitri terkecil (kelas 1) dari Rp 150,- (tahun 2010) menjadi Rp 50,- (tahun 2012).

c) Kelembagaan Ganitri

Kelembagaan memainkan fungsi penting dalam pengelolaan hutan rakyat karena kelembagaan berfungsi sebagai wadah, panutan, dan menyediakan pola bagi proses pengelolaan hutan rakyat, bahkan

berfungsi mengarahkan orientasi kelompok masyarakat dalam

berinteraksi dengan tanaman. Oleh karena itu, dapat dikemukakan bahwa wujud pengelolaan hutan rakyat dalam suatu masyarakat ditentukan oleh eksistensi kelembagaan yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan.

Secara umum pandangan orang ketika membicarakan tentang kelembagaan hanya terfokus pada organisasi, wadah atau pranata saja. Sebenarnya kelembagaan tidak hanya mencakup organisasi saja melainkan juga menyangkut aturan main, etika, sikap dan tingkah laku seseorang, organisasi atau sistem. Sehingga dengan sendirinya jika kita membicarakan aturan main tentu kita tidak terlepas membicarakan organisasinya.

Berikut adalah definisi kelembagaan yang diutarakan oleh beberapa ahli, diantaranya :

... aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan dimana setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan (Ruttan dan Hayami, 1984 dalam Djogo, et al, 2003)

... aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling bergantung satu sama lain (Ostrom, 1985;1986 dalam Djogo, et al, 2003)

... Suatu himpunan atau tatanan norma-norma dan tingkah laku yang bisa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama. Institusi

Gambar

Gambar      1.    Sebaran  populasi  ganitri hasil  penanaman  untuk  berbagai  tujuan  pada  beberapa lokasi di Jawa Tengah
Tabel 2.  Sebaran dan kondisi populasi tanaman ganitri pada beberapa lokasi di wilayah Jawa Tengah
Gambar      2.    Sebaran  populasi  hutan  tanaman  ganitri  yang  berada  di  kawasan  hutan  alam  pada  beberapa  lokasi  di  KPH  Kedu  Selatan,  Kebumen,  Jawa  Tengah
Gambar  3. Penanaman ganitri untuk pemanfaatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa salah satu sikap hubungan manusia ketika pemimpin juga menghargai masyarakatnya, karena masyarakatnya merupakan bagian yang

3. Peneliti memberikan tes karakteristik kemampuan berpikir lntuitif kepada siswa gaya tipe juding. Peneliti memberi kesempatan kepada subjek untuk menyelesaikan lembar

[r]

H4 = = T Terd erdapa apat per t perbed bedaan li aan likui kuidit ditas sa as saham p ham perus erusaha ahaan y an yang me ang melak lakuka ukan sto n stock  ck 

yang digunakan oleh Handayani (2017) dengan judul Sistem Pendukung Keputusan (SPK) Pemilihan Karyawan Berprestasi dengan Metode Profile Matching Pada PT.. Sarana

1) Sumber arus DC, Unit Baterai, dan inverter 2) Rangkaian sensor pada baterai meliputi: sensor tegangan DC baterai dan sensor arus sumber DC, sensor arus pengisian dan

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan kepada Pemerintah dalam menentukan apakah keluarga yang sudah menerima bantuan masih layak atau

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tipologi kemiskinan dan kerentanan serta karakteristik rumahtangga miskin di Indonesia berdasarkan agroekosistem