• Tidak ada hasil yang ditemukan

Zonasi Benih Untuk Pengembangan dan Distribusi Benih Ganitri

Dalam dokumen BAB III METODE PENCAPAIAN TARGET KINERJA (Halaman 29-35)

Sistem zonasi benih secara umum bertujuan untuk membantu mencocokan sumber benih dengan tapak penanaman. Van Buijtenen (1992) dan Westfall (1992) dalam DPTH (2001) membagi zanasi benih menjadi dua konsep atau pendekatan yaitu zona pengadaan benih dan zona penggunaan benih. Penyusunan zonasi pada penelitian ini lebih diarahkan sebagai zona penggunaan benih yang juga bisa disebut zona pemanfaatan atau zona penanaman pohon. DPTH (2001), prinsip pokok dari zona penggunaan benih adalah sumber benih yang berbeda seharusnya ditanam pada tempat yang berbeda pula karena adanya interaksi genotif dan lingkungan. Zona ini dapat mencakup areal yang luas (lebih luas dari zona pengadaan benih) dan

41 dapat terdiri dari areal dengan kondisi ekologis yang serupa, namun areal ini tidak harus berdekatan lokasinya.

Berdasarkan data agroklimat pada lokasi sebaran tanaman ganitri yang ditemukan yaitu ketinggian tempat, curah hujan dan jenis tanah pada setiap lokasi sebaran populasi maka sistem zonasi untuk pengembangan ganitri dibagi ke dalam 4 (empat) zona yaitu zona 1 (dataran rendah), zona 2 (dataran sedang), zona 3 (dataran tinggi) dan zona 4 (pegunungan). Peta zonasi benih ganitri di Jawa Tengah disajikan pada Gambar 12.

42 Gambar 12. Sebaran populasi dan zonasi benih untuk pengembangan dan distribusi benih tanaman ganitri di Jawa Tengah

43 Berdasarkan Gambar dan hasil analisis GIS, zonasi benih yang telah disusun menghasilkan lokasi dan luas wilayah pengembangan tanaman ganitri untuk masing-masing zona di wilayah Jawa Tengah seperti disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Zonasi benih tanaman sebagai wilayah pengembangan dan distribusi benih ganitri di Jawa Tengah

No. Zona Wilayah (Kabupaten) Luas (Ha)

Persentase Dari Luas Daratan Jteng (%)

1.

Zona 1 (Dataran Rendah)

Banjarnegara, Banyumas, Batang, Blora, Boyolali, Brebes, Cilacap, Demak, Grobogan, Jepara, Karanganyar, Kdy Pekalongan, Kdy Semarang, Kdy Surakarta, Kebumen, Kendal, Klaten, Kudus, Magelang, Pati, Pekalongan, Pemalang, Purbalingga, Purworejo, Semarang, Sragen, Sukoharjo, Tegal, Temanggung, Wonogiri, Wonosobo 1.885.572,05 58,02 2. Zona 2 (Dataran Sedang)

Banjanegara, Banyumas, Batang, Blora, Boyolali, Brebes, Cilacap, Grobogan, Jepara, Karanganyar, Kdy Magelang, Kdy Salatiga, Kdy Semarang, Kebumen, Kendal, Klaten, Kudus, Magelang, Pati, Pekalongan, Pemalang,

Purbalingga, Purworejo, Semarang, Sragen, Sukoharjo, Tegal,

Temanggung, Wonogiri, Wonosobo. 431.201,44 13,27 3. Zona 3 (Dataran Tinggi)

Banjarnegara, Banyumas, Batang, Boyolali, Brebes, Cilacap, Jepara, Karanganyar, Kdy Salatiga, Kebumen, Kendal, Klaten, Kudus, Magelang, Pati, Pekalongan, Pemalang, Purbalingga, Purworejo, Semarang, Tegal, Temanggung, Wonogiri, Wonosobo.

265.882,03 8,18

4. (Pegunungan) Zona 4

Banjarnegara, Banyumas, Batang, Boyolali, Brebes, Cilacap, Jepara, Karanganyar, Kendal, Klaten, Kudus, Magelang, Pati, Pekalongan Pemalang, Purbalingga, Semarang, Tegal, Temanggung, Wonogiri, Wonosobo

154.453,30 4,75

Sumber : Hasil analisis GIS

Keterangan : Luas daratan Jawa Barat adalah 3.250.000,00 ha (Anonim, 2009b)

Zona penggunaan benih ini dapat mencakup areal yang luas dan dapat terdiri dari beberapa areal yang memiliki kondisi ekologis yang serupa. Pada zona ini, pertumbuhan kurang lebih seragam dan benih dari sumber benih yang cocok dapat digunakan di seluruh zona ini. DPTH (2001), penggunaan sistem zonasi benih bukanlah menjadi jaminan

44 pilihan sumber benih yang optimal, tapi ditujukan untuk mengurangi resiko penggunaan bahan tanaman yang kurang dapat beradaptasi dengan lingkungan (tapak penanaman).

Penggunaan zona ini diharapkan dapat membantu dalam peningkatan produktifitas tegakan ganitri sehingga pengembangan jenis ini akan menjadi alternatif yang dapat dilakukan oleh masyarakat selain budidaya tanaman yang sudah populer seperti sengon, suren, mahoni, manglid dan lain-lain yang didukung oleh aspek lain seperti penggunaan benih unggul dan silvikultur intensif. Barner dan Ditlevsen (1988) menjelaskan bahwa produktivitas hutan tanaman diyakini akan optimum seiring perbaikan kelas sumber benihnya. Perbaikan kelas sumber benih ini berhubungan kesesuaian ekologis antara sumber benih terhadap tapak pertanaman, keunggulan fenotipa atau genotipa sumber benih, metoda dan intensitas seleksi dalam sumber benih, serta siklus pemuliaan.

f. Strategi Pengembangan Tanaman Ganitri 1) Berdasarkan Sebaran Populasi

Beberapa strategi yang dapat disusun untuk pengembangan tanaman ganitri dengan adanya informasi sebaran populasi di Jawa Barat diantaranya adalah untuk penyusunan program penyediaan benih unggul melalui pengembangan sumber benih. Data potensi tegakan yang diperoleh sangat penting sebagai dasar dalam pengembangan sumber benih, mengingat sumber benih jenis ini masih belum tersedia. Berdasarkan kondisi tersebut, pengembangan sumber benih di Jawa Barat perlu lakukan baik dari segi kuantitas ataupun kualitas.

Sejalan dengan semakin meningkatnya kebutuhan benih bermutu untuk berbagai kegiatan penanaman, pengembangan sumber benih perlu dilakukan secara bertahap. Dalam jangka pendek (kebutuhan mendesak), pengembangan sumber benih dapat dilakukan melalui penunjukkan baik di hutan alam ataupun hutan tanaman. Data tegakan potensial yang ada di beberapa lokasi (Tabel 6) dapat ditunjuk menjadi Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT) atau Tegakan Benih Terseleksi (TBS). Kelas sumber benih secara bertahap dapat ditingkatkan menjadi Areal Produksi Benih (APB) khususnya untuk hutan tanaman. Sementara itu, sumber benih

45 yang berada di hutan alam tidak bisa dilakukan karena lokasi sumber benih berada pada hutan lindung dan Taman Nasional dimana tindakan penjarangan tidak bisa dilakukan. Strategi penyediaan benih jangka pendek perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan benih sebelum sumber benih dengan kualitas lebih tinggi dapat terbangun.

Sementara itu, penyediaan benih untuk jangka panjang dapat dilakukan melalui pembangunan sumber benih baru dengan penerapan prinsip-prinsip pemuliaan. Pembangunan sumber benih dengan kualitas tinggi seperti Tegakan Benih Provenan (TBP), Kebun Benih Semai (KBS) dan Kebun Benih Klon (KBK) memerlukan biaya dan tenaga yang besar terutama untuk kegiatan eksplorasi materi genetik. Diperolehnya data sebaran ganitri di Jawa Barat dapat menjadi informasi awal/petunjuk dalam pelaksanaan kegiatan eksplorasi materi genetik sebagai bahan dasar dalam kegiatan pemuliaan. Materi tersebut dapat digabung dengan materi dari daerah lain sehingga diharapkan memiliki variasi genetik yang luas. Menurut Graudal et al. (1997), manfaat dari kegiatan pemetaan sebaran sumber benih dan tegakan potensial adalah untuk membantu program koservasi sumberdaya genetik di wilayah ini. Peta sebaran digunakan untuk mengetahui sebaran geografi dan ekologi serta untuk mengetahui keragaman sifat menurun jenis tanaman target baik di hutan alam ataupun hutan tanaman. Dengan adanya peta ini diharapkan pengambilan contoh biji atau bahan vegetatif tanaman terpilih dapat mewakili potensi faktor menurun yang ada di seluruh populasi.

Peta sebaran populasi yang telah tersusun merupakan titik awal dalam penyedian benih berkualitas jenis ganitri secara berkelanjutan khususnya di Jawa Barat. Pemetaan sumber benih yang didasarkan pada zonasi ekologi akan memberikan keuntungan, yaitu : 1) menghasilkan benih yang memiliki keragaman genetik yang luas, sehingga akan berpengaruh terhadap kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan tempat tumbuh yang beragam, dan 2) menghasilkan benih yang memiliki keragaman kualitas kayu dan produk lainnya, sehingga dapat memberikan peluang untuk pemanfaatan yang beragam. (Danu et al., 2007). Selain itu, kegiatan ini akan memudahkan pembuatan dokumentasi benih, yang mencantumkan kondisi tegakan, data ekologi, asal benih/ sejarah genetik

46 benih, dan proses penanganan benihnya. Benih hasil dari eksplorasi ini merupakan materi perbanyakan tanaman yang sangat berharga untuk pembangunan sumber benih, bank benih dan penyelamatan plasma nutfah atau konservasi genetik ex-situ dengan keragaman yang sama dengan sebaran populasi alaminya

Dalam dokumen BAB III METODE PENCAPAIAN TARGET KINERJA (Halaman 29-35)

Dokumen terkait