a) Produksi Kayu Ganitri
Wonosobo merupakan salah satu daerah yang memanfaatkan tanaman ganitri untuk diambil kayu nya. Pemanfaatan kayu ganitri di Wonosobo telah dimulai sejak tahun 1970-an untuk digunakan sebagai papan, “kerajinan bingkai”, dan untuk penggunaan lainnya. Tanaman ganitri yang berkembang di daerah Wonosobo berasal dari daerah Cilacap dan Kebumen.
Pemerintah Kabupaten Wonosobo melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wonosobo telah memfasilitasi pengembangan tanaman ganitri secara besar-besaran sejak tahun 2008. Menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan Wonosobo, pengembangan tanaman ganitri
50 dijadikan sebagai salah satu tanaman alternatif untuk menggantikan tanaman sengon secara perlahan-lahan. Hal ini disebabkan semakin besarnya daya serang hama dan penyakit tanaman sengon (ulat kantong dan karat tumor) di daerah Wonosobo.
Pada umumnya, petani di Kabupaten Wonosobo menanam ganitri sebagai tanaman pinggir atau tanaman pembatas lahan. Menurut para petani tanaman ganitiri tidak cocok apabila dikombinasikan dengan tanaman lain, terutama tanaman semusim, Hal ini dikarenakan : (1) perakaran tanaman ganitri cenderung menghalangi ruang tumbuh tanaman yang berada di sampingnya, sehingga penghasilan jangka pendek dan menengah yang diperoleh dari tanaman lainnya tidak ada, (2) tanaman ganitri memiliki sifat menyerap unsur hara dengan “rakus” sehingga tanaman yang berada di bawahnya cenderung tidak tercukupi hara nya, dan (3) belum adanya tanaman semusim yang mampu tumbuh baik di bawah tegakan tanaman ganitri untuk sepanjang daur tanaman ganitri.
Penggunaan tanaman ganitri di oleh petani di Kabupaten Wonosobo didorong oleh beberapa hal, diantaranya (1) semakin hebatnya daya serang Hama Penyakit Tanaman (karat tumor dan ulat kantong) yang menyerang tanaman andalan petani (sengon), sehingga tanaman ganitri dijadikan tanaman pengganti sengon, (2) ketahanan tanaman ganitri terhadap HPT seperti ulat, hama penggerek kayu, karat tumor, dan lainnya, dan (3) budidaya tanaman ganitri mudah dilakukan.
Seperti halnya tanaman sengon, tanaman ganitri pun sangat mudah dipasarkan. Hal ini ditandai dengan terdapatnya beberapa pabrik dan tempat penggergajian yang menerima kayu yang berasal dari tanaman ganitri. Penebangan tanaman ganitri yang dilakukan dua tahun terakhir ini merupakan hasil penanaman masyarakat sebelum tahun 2008. Pada umumya merupakan tanaman peninggalan keluarga sebelumnya
Budidaya tanaman ganitri di Kabupaten Wonosobo semakin berkembang pesat. Selain disebabkan oleh terserangnya tanaman utama sengon oleh ulat kantong dan karat tumor, juga disebabkan karena adanya intervensi Pemerintah Kabupaten Wonosobo yang menjadikan tanaman ganitri sebagai prioritas tanaman pokok di beberapa program
51 penanaman pohon, seperti Program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Program Kebun Benih Rakyat, Program One Man One Tree, Program Sejuta Pohon, dan program-program lainnya.
Secara ekonomi, keuntungan menanam ganitri sama dengan tanaman sengon baik dari segi waktu panen maupun harga jual kayu, bahkan pada waktu tertentu harga jual kayu ganitri relatif lebih tinggi dibandingkan kayu sengon, akibat pasokan kayu ganitri jauh lebih sedikit dari permintaan pasar. Harga log ganitri dengan panjang dua meter dengan diameter 10 – 14 cm dihargai sebesar Rp. 400.000; diameter 15 – 19 cm seharga Rp. 600.000; diameter 20 – 24 cm seharga Rp. 850.000; diameter 25 – 29 cm seharga Rp. 900.000,- diameter 30 – 39 cm seharga Rp. 1.100.000,- dan diameter 40 cm ke atas seharga Rp. 1.250.000.
b) Produksi Buah/Biji Ganitri
Pada umumnya, budidaya tanaman ganitri untuk tujuan produksi biji dilakukan di Kabuapten Kebumen dan Kabupaten Cilacap. Hasil wawancara dengan tokoh dan pelaku usaha di Daerah Cilacap, budidaya ganitri mulai berkembang pesat sejak tahun 2008. Sesungguhnya pengetahuan masyarakat mengenai tanaman ganitri sebagai tanaman yang bijinya dapat diperjualbelikan dimulai sejak tahun 1997. Akan tetapi, petani di Kabupaten Cilacap tidak mengetahui teknik membudidayakan tanaman ganitri untuk tujuan produksi biji. Petani di Kabupaten Cilacap hanya sebatas melakukan ekstraksi biji ganitri dari hutan alam di daerah Kebumen. Akan tetapi, sejak tahun 1965 petani di daerah Kebumen sudah membudidaya tanaman ganitri untuk tujuan produksi biji terutama di beberapa daerah sentra penanaman ganitri di Kabupaten Kebumen seperti Desa Penusupan (Kecamatan Sruweng), Desa Kalipuru (Kecamatan Karangsambung), dan Desa Watulawang, Panjaringan, Condongsampur (Kecamatan Pejagoan).
Sejarah jual beli biji ganitri di Kebumen dimulai pada saat datangnya Tuan Dulkarim pada tahun 1965-an. Dia adalah orang India pertama yang datang ke kebumen untuk mencari biji ganitri dan tinggal di kebumen. Kemudian bisnis biji ganitri ini dilanjutkan oleh anaknya bernama dulthamrin, dan seterusnya adalah tuan fattah, akhirnya
52 diteruskan oleh pak Lurah/pak kaum, kemudian bisnis ini dipegang juga oleh Ibu Tamrin (adik pak Kaum) pada tahun 1969. Pak Mujiman seorang pengumpul besar saat ini, mulai mengumpulkan biji ganitri yang berada di alam pada tahun 1970-an dan dijual ke Ibu Tamrin.
Tanaman ganitri ditanam untuk tujuan produksi buah, berkembang dengan pesat dengan cara penanaman intensif (monokultur) dengan jarak tanam yang teratur. Musim berbunga tanaman ini umumnya pada bulan Oktober sampai Desember, muncul buah muda pada bulan Januari dan buah masak sekitar bulan Maret yang cirinya buah sudah berwarna biru. Buah berjatuhan biasanya pada bulan April sampai akhir Mei.
Tanaman ganitri mulai berbunga pada umuir 18 bulan, dan panen perdana biasanya pada umur 2-4 tahun dengan jumlah produksi buah dapat mencapai 350.000 butir. Pengunduhan dan pengumpulan buah biasanya dilakukan mulai pertengahan bulan April sampai dengan awal bulan Mei pada musim kemarau. Buahnya termasuk jenis ortodoks sehingga viabilitasnya dapat bertahan sampai beberapa tahun.
Dari hasil wawancara, diketahui terdapat dua jenis ganitri yang berkembang di Indonesia, yaitu: (1) ganitri yang daunnya cenderung kecil, panjang dan agak melengkung, bijinya kompak, kepadatannya bagus, dan garis-garisnya terlihat jelas. Biji yang dihasilkan dari tanaman ini memiliki kualitas yang bagus dan dapat dipasarkan untuk komunitas hindu india yang berada di Bali, (2) ganitri yang daunnya cenderung lebar, dan cenderung bulat, dan kepadatan bijinya cenderung lebih rendah dibandingkan nomor 1, garis-garis pada bijinya cenderung tidak sejelas nomor 1.
Harga biji ganitri sangat bervariasi tergantung ukuran dan jumlah lekukannya (mukhi). Teradapat 12 ukuran (grade) yang digunakan sebagai standar penentuan harga biji ganitri (ukuran dimulai dari diameter biji 5,5 mm). Semakin kecil ukuran biji dengan warna coklat kemerahan semakin mahal harga jualnya. .
Ganitri dijual dengan sistem grade (kelas) yaitu kelas 1 sampai 9 dibeli per butir/biji, dan kelas 10 dan 12 dibeli per kilogram. Pada tahun 2012, kelas satu yang terkecil (ukuran diamater biji 5,5 mm ke bawah) dijual dengan Rp. 50,-/butir, kelas 2 (ukuran diameter biji 6 mm dijual dengan
53 harga Rp. 31,- dan seterusnya. Sedangkan untuk kelas 10, 11, dan 12 dijual dengan harga Rp. 6.000,-/kg , Rp. 3.000,-/kg , dan Rp. 3.000,-/kg (Tabel 9).
Tabel 9. Ukuran dan harga biji ganitri (2012)
Nomor Ukuran (mm) Harga (Rp) 1 5,5 50 2 6 31 3 7 20 4 7,5 16 5 8 15 6 8,5 13 7 9 12 8 9,5 11 9 10 10 10 10,5 6000/kg 11 11 3000/kg 12 11,5 3000/kg
Sumber: data primer
Biji Ganitri yang berukuran kecil awalnya hanya ada di daerah Kalipuru (merupakan biji ganitri dengan kualitas terbaik di Indonesia : Bijinya padat, dan garis-garis pada bijinya simetris). Setelah tahun 2010, petani di Kabupaten Cilacap mengembangkan teknik budidaya tanaman ganitri untuk menghasilkan biji berukuran kecil, yaitu dengan melakukan teknik sambung (okulasi) dan teknik pengeratan pohon ganitri (dilakukan pada saat pohon berbunga).
Berdasarkan pendapat pedagang besar di Kebumen, keberhasilan para petani di Kabupaten Cilacap dalam memproduksi biji berukuran kecil telah menyebabkan volume biji ganitri ukuran kecil di pasaran menjadi berlebih (over supply) dan akhirnya menjatuhkan harga jual biji ganitri
54 ukuran kecil. Hal ini dapat dilihat dari turunnya harga jual biji ganitri terkecil (kelas 1) dari Rp 150,- (tahun 2010) menjadi Rp 50,- (tahun 2012).
c) Kelembagaan Ganitri
Kelembagaan memainkan fungsi penting dalam pengelolaan hutan rakyat karena kelembagaan berfungsi sebagai wadah, panutan, dan menyediakan pola bagi proses pengelolaan hutan rakyat, bahkan
berfungsi mengarahkan orientasi kelompok masyarakat dalam
berinteraksi dengan tanaman. Oleh karena itu, dapat dikemukakan bahwa wujud pengelolaan hutan rakyat dalam suatu masyarakat ditentukan oleh eksistensi kelembagaan yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan.
Secara umum pandangan orang ketika membicarakan tentang kelembagaan hanya terfokus pada organisasi, wadah atau pranata saja. Sebenarnya kelembagaan tidak hanya mencakup organisasi saja melainkan juga menyangkut aturan main, etika, sikap dan tingkah laku seseorang, organisasi atau sistem. Sehingga dengan sendirinya jika kita membicarakan aturan main tentu kita tidak terlepas membicarakan organisasinya.
Berikut adalah definisi kelembagaan yang diutarakan oleh beberapa ahli, diantaranya :
... aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan dimana setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan (Ruttan dan Hayami, 1984 dalam Djogo, et al, 2003)
... aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling bergantung satu sama lain (Ostrom, 1985;1986 dalam Djogo, et al, 2003)
... Suatu himpunan atau tatanan norma-norma dan tingkah laku yang bisa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama. Institusi
55 ditekankan pada norma-norma prilaku, niali budaya dan adat istiadat (Uphoff, 1986 dalam Djogo, et al, 2003)
Definisi yang disampaikan oleh Ruttan dan Hayami, Ostrom maupun Uphoff tersebut lebih ditekankan kepada aturan main dalam sebuah organisasi atau kelompok masyarakat tanpa menyebutkan aturan main yang mengatur orang-orang yang berada antar organisasi atau kelompok masyarakat
... aturan main di dalam suatu kelompok sosial dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik. Institusi dapat berupa aturan formal atau dalam bentuk kode etik informal yang disepakati bersama (North, 1990 dalam Djogo, et al, 2003) ... suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang wadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian prilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama (Djogo, 2003)
Kelembagaan menurut North dan Djogo memiliki definisi yang lebih lengkap dibandingkan para ahli sebelumnya yaitu dengan memasukkan faktor- faktor ekonomi, sosial, dan politik.
Berdasarkan beberapa definisi yang disampaikan para ahli maka kelembagaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang bersifat mengikat dan dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi serta ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian prilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama.
Terdapat tiga pilar utama yang menjadi bagian pokok sosial kemasyarakatan di lokasi penelitian, diantaranya pemerintah, komunitas dan pasar. Ketiga pilar tersebut baik secara sendiri maupun bersama-sama memiliki peranan, aturan main, hubungan, dan tata nilai spesifik
56 yang membentuk sebuah kelembagaan yang spesifik pula. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Syahyuti (2003) yang menyebutkan bahwa dunia sosial dibangun oleh tiga pilar utama sebagai elemen pokok yang secara fundamental ketiganya sangat berbeda. Konfigurasi kekuatan (peran, nilai, dan fungsi) antara ketuganya merupakan pembentuk suatu sistem sosial.
Pada sistem pengusahaan dan budidaya tanaman baik tanaman pertanian maupun tanaman kehutanan bentuk peranan, fungsi, aturan main, dan tata nilai yang terjadi dalam masing-masing pilar atau diantara ketiga bentuk kelembagaan dasar tersebut (komunitas, pasar, dan pemerintah) dapat dianalisis dalam sebuah model kelembagaan sistem agribisnis yaitu model kelembagaan yang menjelaskan berbagai peranan, fungsi, dan tata nilai yang terdapat dalam setiap urutan aktifitas terkait pengusahaan (usaha tani) suatu tanaman baik kehutanan maupun pertanian, termasuk kelembagaan tanaman ganitri. Berdasarkan model kelembagaan sistem agribisnis tersebut maka kelembagaan diuraikan menjadi kelembagaan aktivitas tahapan usaha tani (Syahyuti, 2003),
diantaranya kelembagaan pengadaan sarana input produksi,
kelembagaan dalam aktivitas budidaya, kelembagaan terkait dengan aktivitas pengolahan hasil produksi, kelembagaan aktivitas pemasaran, dan kelembagaan pendukung lainnya.