• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelembagaan Pengadaan Sarana Input Produksi

Dalam dokumen BAB III METODE PENCAPAIAN TARGET KINERJA (Halaman 45-58)

Kelembagaan pengadaan input sarana produksi merupakan lembaga jasa penyedia input saprodi untuk mendukung usahatani, diantaranya pupuk, pestisida, benih, bibit. Hal ini sejalan dengan pendapat Syahyuti (2003) yang termasuk dalam kelembagaan ini adalah kelembagaan, kelembagaan pupuk, kelembagaan benih/bibit, dan kelembagaan kredit/permodalan usaha tani

(a) Kelembagaan Pengadaan Pupuk

Pada saat ini, ketergantungan petani (petani sayuran, petani tanaman pangan, petani perkebunan) akan saprodi (pupuk dan pestisida) di daerah kajian sangat tinggi. Berdasarkan hasil diskusi dengan petani di

57 Kabupaten Cilacap, Kabupaten Kebumen, dan Kabupaten Wonosobo, distribusi dan pengadaan sarana produksi seperti pupuk dan pestisida tidak pernah mengalami kekurangan atau hambatan telah karena tersedia di berbagai kios pertanian dan tempat lainnya mulai dari Pasar Desa sampai dengan Pasar Kabupaten.

Akan tetapi, penggunaan pupuk pada usahatani tanaman ganitri (khususnya tanaman ganitri untuk produksi kayu) relatif sedikit. Hal ini berarti petani yang mengusahakan tanaman ganitri masih kurang mengakses lembaga penyedia pupuk dikarenakan sebagian besar petani masih menganggap bahwa budidaya ganitri terutama untuk tujuan produksi kayu tidak memerlukan pupuk dan pestisida. Padahal menurut pengalaman dari beberapa petani yang berhasil dalam mengusahakan tanaman ganitri baik untuk tujuan produksi biji maupun kayu menyebutkan bahwa pemupukan dengan dosis dan waktu yang tepat sangat mempengaruhi kualitas hasil yang dicapai. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diindikasikan bahwa peran pemerintah, terutama lembaga penyuluhan, masih kurang berfungsi dalam menyampaikan teknologi budidaya ganitri (khususnya pemupukan) bagi petani. Diagram alur akses petani terhadap pupuk di lokasi penelitian dapat dilihat pada gambar 13 di bawah ini

Gambar 13. Diagram Kelembagaan Akses Petani terhadap Pupuk di Lokasi Penelitian

Pada gambar di atas, terlihat jelas bahwa petani di lokasi penelitian memiliki akses yang besar terhadap sumber penyedia pupuk tetapi

Perusahaan Pupuk Distributor swasta Pedagang Besar Kios Pupuk Pasar Desa Kios Pupuk di Kota Kab Petani Peternak penghasil pukand

58 sebagain besar petani di lokasi penelitian tidak menggunakan kemudahan akses tersebut. Petani di lokasi penelitian mengemukakan bahwa beberapa faktor penyebab kecilnya daya akses petani terhadap sumber penyedia pupuk dalam budidaya ganitri, diantaranya : (1) petani masih menganggap bahwa tanaman ganitri (terutama untuk tujuan produksi kayu) merupakan tanaman sampingan diluar tanaman utama atau hanya sebagai pembatas lahan sehingga tidak memerlukan pemupukan, (2) kurangnya pengetahuan petani dalam teknologi pemupukan tanaman ganitri, (3) lemahnya peran pemerintah dalam memberikan penyuluhan tentang teknologi pemupukan dalam budidaya tanaman ganitri, dan (4) petani tidak memiliki modal yang cukup untuk menggunakan pupuk dalam budidaya ganitri.

Berdasarkan kondisi di lapangan, maka salah satu model alternatif yang ditawarkan untuk mengatasi lemahnya daya akses petani terhadap sumber penyedia pupuk adalah dengan (1) mengoptimalkan penggunaan pupuk kandang yang banyak tersedia di sekitar petani. Selain sangat mudah didapat, pupuk kandang memiliki harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan pupuk kimia, (2) revitalisasi penyuluh kehutanan dalam memberikan bimbingan teknis budidaya tanama (pemupukan) tanaman ganitri kepada masyarakat.

(b) Kelembagaan Pengadaan Bibit

Selain pemupukan, kelembagaan pengadaan sarana input produksi yang lain adalah benih dan bibit (hasil okulasi ataupun non okulasi). Ketersediaan benih/bibit ganitri untuk memenuhi permintaan petani telah tersedia dalam jumlah yang cukup, tetapi benih yang digunakan untuk bahan bibit merupakan benih asalan (tidak jelas asal usul dan kualitasnya). Padahal ketersediaan benih berkualitas yang dihasilkan dari sumber benih dengan menerapkan kaidah-kaidah pemuliaan pohon sangat mempengaruhi pertumbuhan dan kualitas produksi tanaman ganitri, baik untuk tujuan produksi biji maupun kayu.

Permasalahan lain yang menyangkut penyediaan bibit di lokasi penelitian adalah rendahnya kemampuan petani dalam mengecambahkan benih tanaman ganitri. Sampai saat ini, petani yang memiliki kemampuan

59 untuk mengecambahkan biji ganitri hanya terbatas kepada beberapa petani yang berada di Kabupaten Kebumen dan Purworejo. Akibatnya, petani yang berasal dari daerah lain seperti Cilacap, Wonosobo, dan lain-lain memiliki ketergantungan yang tinggi pada pasokan bibit dari Kebumen atau Purworejo. Adapun model kelembagaan pengadaan bibit yang terdapat di lokasi penelitian dapat digambarkan pada diagram di bawah ini

Gambar 14. Kelembagaan Pengadaan Bibit di Kebumen, Cilacap, dan Wonosobo

Berdasarkan penjelasan dan gambar di atas maka dapat diliaht bahwa kelembagaan pengadaan bibit tanaman ganitri masih memerlukan peran aktif pemerintah kabupaten melalui Dinas Kehutanan dan Pertanian baik Kabupaten Kebumen, Kabupaten Cilacap, dan Kabupaten Wonosobo dalam memberikan bimbingan teknis terkait teknik pengecambahan dan pembibitan tanaman ganitri kepada para petani. Sehingga petani mampu untuk mengurangi ketergantungan bibit dari daerah lain dan dapat menurunkan harga bibit tanaman ganitri yang diakibatkan oleh panjangnya rantai pemasaran bibit tanaman ganitri.

(c) Kelembagaan perkreditan atau permodalan usahatani

Kelembagaan perkreditan atau permodalan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan sebuah pengembangan produk pertanian. Menurut para petani di lokasi penelitian kemudahan akses terhadap permodalan sangat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti

Penangkar Bibit dari Benih Kebumen , Purworejo

Program Pemerintah Wonosobo Penangkar Bibit Okulasi

Kebumen, Cilacap

Petani Kayu Wonosobo

Petani Biji Cilacap, Kebumen Penjual Bibit Eceran

Kebumen, Cilacap, Wonosbo Pedagang Pengepul

60 bentuk permodalan/kredit yang diberikan, kemudahan persyaratan untuk mengakses kredit, faktor orang pemberi kredit, dan lainnya.

Kelembagaan permodalan yang terdapat di lokasi penelitian dapat dibedakan menjadi : permodalan yang berasal dari diri sendiri, permodalan dari keluarga, permodalan dari pihak perbankan, permodalan dari lembaga keuangan lain, dan permodalan dari mitra usaha (bandar, penebas, pengepul, dan sebagainya). Adapun bentuk kelembagaan permodalan usaha tani tanaman ganitri terutama budidaya ganitri untuk produksi biji dapat dilihat pada gambar di bawah ini

Gambar 15. Kelembagaan Permodalan/Kredit Ganitri Tujuan Produksi Biji

Pada Gambar 15 terlihat secara jelas bahwa modal yang diperoleh petani dalam melakukan usaha tanaman ganitri diperoleh dari empat sumber yaitu diri sendiri, keluarga, penebas, dan dari kelembagaan keuangan lain (rentenir). Petani belum optimal dalam mengakses permodalan dari pihak perbankan dikarenakan ketidakpastian usaha yang dilakukan petani di mata pihak perbankan, tidak jelas nya administrasi usaha yang dimiliki petani sehingga tidak bersifat accountable bagi perbankan, perbankan selalu mengisayaratkan adanya jaminan.

Permodalan yang berasal dari penebas didasarkan kepada tawar menawar dan taksiran pihak penebas terhadap pohon ganitri yang dimiliki oleh petani pada saat mulai berbunga. Petani biasanya menggunakan

Perbankan Bandar Petani Keluarga Penebas Pedagang Besar Keluarga Lembaga Keuangan lain

61 uang hasil tebasan tersebut untuk dijadikan modal untuk membeli sarpras pertanian atau untuk kebutuhan sehari-hari. Pada umumnya pihak penebas menggunakan uang yang dipinjamkan dari bandar atau pedagang besar biji ganitri.

Satu-satunya lembaga keuangan yang sangat mudah diakses oleh petani adalah rentenir karena selain persyaratan yang mudah, rentenir juga tidak mensyaratkan adanya jaminan. Akan tetapi bunga yang ditetapkan oleh rentenir di daerah penelitian sangat tinggi yaitu sekitar 10 % dari total pinjaman per bulan, apabila petani tidak bisa membayar pada bulan berjalan maka diberlakukan prinsip bunga berbunga yaitu bunga yang tidak bisa dibayarkan dimasukan ke dalam pokok pinjaman.

Berbeda dengan petani, pihak penebas, bandar maupun pedagang besar biasanya sudah dapat mengakses permodalan dari pihak perbankan. Biasanya permodalan tersebut digunakan untuk uang muka pembelian biji ganitri dari petani ketika musim panen raya.

(d) Kelembagaan Proses produksi

(1) Kelembagaan Penguasaan Lahan

Lahan merupakan salah satu faktor terpenting dalam kegiatan usahatani, kelembagaan yang berkaitan dengan lahan akan muncul ketika lahan tersebut diusahakan. Hal ini terkait dengan hak penguasaan dan hak pengusahaan. Seseorang yang memiliki hak penguasaan atas lahan (hak milik) tentu dapat mengusahakan lahan tersebut secara langsung, akan tetapi apabila seseorang yang tidak mempunyai hak panguasaan lahan (hak milik) maka tidak bisa mengusahakan lahan milik orang lain secara langsung. Hal ini dapat dilakukan melalui ketentuan-ketentuan yang berlaku yang termasuk dalam kelembagaan penguasaan lahan, yaitu menyangkut hubungan antara pemilik lahan dengan penggarap (yang mengusahakan lahan). Dalam hal hubungan penguasaan lahan tersebut dikenal dengan istilah penyakapan, gadai dan sewa, sesuai dengan norma-norma yang berlaku dan dipatuhi oleh masyarakat setempat.

62 Gambaran pola penguasaan lahan dalam budidaya ganitri di ketiga lokasi kajian pada umumnya adalah lahan milik sendiri. Hanya sebagian kecil saja yang menggunakan lahan bukan milik yaitu sebagian anggota Kelompok Tani di Wonosobo yaitu Kelompok Tani Sumber Alam, yang memanfaatkan tanah negara untuk aktivitas budidaya ganitrinya.

Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian, kelembagaan

penguasaan lahan yang dilakukan oleh petani sudah cukup ideal yaitu menggunakan lahan hak milik untuk budidaya tanaman ganitri.

(2) Kelembagaan Hubungan Kerja

Berdasarkan sifatnya, hubungan kerja dapat digolongkan menjadi hubungan kekeluargaan dan hubungan lugas. Sifat yang pertama menunjukan pada hubungan sosial yang didasarkan pada ikatan kekeluargaan (orientasi nilai-nilai sosial), sedangkan yang kedua menunjukan hubungan yang terjadi berdasarkan pada posisi tawar menawar (orientasi nilai ekonomi). Norma-norma yang mengatur hubungan kerja tradisional, lebih mengarah pada hubungan kekeluargaan, seperti yang tercakup dalam hubungan patron client. Hubungan ini merupakan hubungan dyadic dalam ikatan dua individu, dimana individu dari status sosial yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh, kemampuan dan kekayaannya untuk memperoleh dukungan atau keuntungan dari individu dengan status yang lebih rendah (Client). Sebagai imbalannya, patron memberikan perlindungan kepada client, baik berupa keamanan pangan (kebutuhan subsistensi) atau kebutuhan keamanan hidup keluarga client (Scott, 1989 dalam Entis Sutisna dkk, 2010).

Kelembagaan hubungan kerja di pedesaan mengalami dinamika yang cukup pesat dengan terjadinya perubahan/perkembangan sistem dan tingkat upah. Ekonomi uang menyebabkan makin lemahnya peran lembaga tradisional ketenagakerjaan, dimana sifatnya yang dipandang cenderung involutif karena lebih menekankan hubungan produksi dalam bentuk resiprositas. Tekanan ekonomi kapitalis yang makin kuat ke pedesaan, berupa penerapan teknologi modern dan sistem pasarisasi yang mengutamakan efisiensi, bukan saja mengakibatkan makin

63 hilangnya peluang dan kesempatan kerja sebagian besar buruh tani, namun juga semakin longgarnya norma dan nilai ikatan sosial masyarakat di pedesaan. Berdasarkan penjelasan di atas dan hasil pengamatan di lokasi penelitian maka secara umum hubungan kerja yang berada di lokasi kajian lebih bersifat hubungan lugas.

Dalam hubungan lugas dikenal istilah upah harian dan upah borongan. Dalam sistem ini pekerja dibayar dengan nilai uang. Upah harian adalah nilai kerja seseorang pada kegiatan tertentu berdasarkan satuan waktu, biasanya lamanya waktu rata-rata untuk satu hari kerja berkisar antara tujuh sampai delapan jam kerja. Sedangkan upah borongan adalah nilai kerja seseorang/kelompok pada kegiatan tertentu berdasarkan satuan fisik pekerjaan. Ada lagi upah kerja yang dibayarkan dengan barang misalnya memanen biji ganitri dengan biji ganitri dengan proporsi yang ditentukan , sistem ini biasanya disebut bawon.

Pada umumnya dalam proses budidaya atau produksi ganitri baik produksi kayu maupun biji, masyarakat petani di daerah kajian menggunakan tenaga kerja keluarga. Kecuali petani atau pengusaha pengolahan kayu dan produksi biji ganitri dengan skala yang besar, mereka banyak melakukan hubungan kerja dengan pihak lain. Penggunaan tenaga kerja di luar keluarga (upah) atau hubungan lugas pada umumnya terjadi pada proses pengolahan kayu (sewmill) atau pengolahan biji (proses pengupasan dan grading) atau pada saat melakukan panen raya biji ganitri.

Hubungan lugas dapat berupa kerja harian maupun borongan. Kerja harian dilakukan selama delapan jam, mulai dari jam 07.00 sampai dengan jam 16.00 istirahat selama waktu ibadah dhuhur atau asar atau kira-kira selama satu jam. Upah harian pengolahan tanah Rp. 25.000,-/hari. Upah kerja di pedagang pengumpul dalam proses pengolahan biji sebagai berikut: Pembayaran upah harian panenbuah ganitri Rp. 35000/hari, pekerjaan grading upah Rp. 40000 per hari dengan makan dankopi 3 kali + rokok (atau upah per hari Rp. 60000) satu orang mampu menggrading 1-1,5 karung per hari (50 kg/karung). Upah pengolahan buah menjadi biji (1) cara manual (diinjak) 1 karung /0,5 hari, biaya Rp.

64 15.000 ditambahn makan (2). Mesin penggiling satu karung/10 menit biaya Rp. 25000/karung.

Kebiasaan masyarakat di Sruweng menggunakan sistem tebas (dibeli dipohon secara borong) karena sistem ini dianggap tidak terlalu rumit dan tidak perlu membuang waktu dan mengatur tenaga kerja untuk mengunduh biji. Selain itu biasanya petani membutuhkan uang segera. Permodalan untuk sistem tebas biasanya diperoleh dari pengepul besar yang akan membeli biji ganitri tersebut. Si penebas hanya sebagai “kaki-tangan”nya saja dengan komisi yang diperoleh dan selisih harga antara petani dan pengepul besar tersebut. Pohon yang dijual dengan sistem tebas, kondisi buahnya masih setengah tua.

Berbeda dengan pengolahan buah ganitri. Pengolahan kayu ganitri hampir seluruh responden melakukan hubungan lugas terutama pada proses pengangkutan dan pemotongan, upah berkisar antara Rp. 100.000 s/d Rp. 200.000 per truk sesuai dengan jarak yang tempuh, upah pikul dari kebun ke pinggir jalan angkutan Rp35.000 sampai dengan Rp. 50.000,-per hari. Pekerjaan bongkar muat, biasanya dalam bentuk borongan dengan upah Rp. 3.000 per m3.

Sistem pemanenan kayu ganitri dilakukan dengan sistem tebasan yaitu diborongkan secara langsung kepada penggergajian atau pedagang perantara. Petani hanya menentukan harga secara tawar menawar dengan pedagang, selanjutnya pedaganglah yang mengatur perizinan, akomodasi, dan tarnsportasi dari lahan ke tempat penggergajian. Sistem tebasan yang dipraktekan dalam sistem pemanenan ganitri lebih disukai petani karena lebih praktis dan tidak beresiko bagi petani.

(3) Kelembagaan Kelompok Tani

Secara umum baik di Wonosobo, Kebumen maupun Cilacap

belum ada kelompok tani yang secara khusus membentuk kelompok tani tanaman ganitri. Tercatat kelompok tani mengagendakan ganitri sebagai salah satu programnya adalah Kelompok Tani Hutan Sumber Alam di Wonosobo tepatnya Dusun Karangluas, Desa Karangsari, Kecamatan Sapuran dan Kelompok Tani Rahayu di Kebumen Kecamatan Srueng.

65 Yang menarik dari kedua kelompok tani ini inisiatif pemilihan usaha budidaya ganitri bukan dari pihak luar (pemerintah) tetapi berdasarkan keinginannya sendiri karena melihat potensi ekonomi yang cukup tinggi. Sikap rasional dari Kelompok Tani Hutan Sumber Alam adalah selain karena permintaan kayu ganitri yang relatif tinggi juga karena kayu sengon yang menjadi komoditas unggulan terserang oleh penyakit karat tumor.

Kelompok tani merupakan salah satu lembaga sosial masyarakat di pedesaan, meski masih ada, namun umumnya cenderung bersifat “keproyekan” yang hanya aktif ketika proyek/program masih berjalan. Dalam banyak hal peranan kelompok tani hanya dijadikan sebagai media untuk memudahkan koordinasi dan pengorganisasian yang terkait dengan program-program pemerintah saja. Sehingga secara umum petani di beberapa lokasi penelitian (Kebumen dan Cilacap) menilai bahwa kelompok tani masih belum diperlukan untuk saat ini, hal ini dikarenakan selain fungsi dan manfaat kelompok tani belum dirasakan oleh petani, juga diakibatkan oleh minimnya perhatian pemerintah dalam pembinaan aktivitas kelompok tani dalam hal usahatani tanaman ganitri sehingga informasi tentang pengembangan usahatani ganitri (mulai dari persiapan panen hingga pemasaran, perkembangan saprodi unggulan, maupun teknologi) hanya diperoleh dari sesama petani atau pedagang/pengepul.

Berdasarkan hasil konfirmasi dan diskusi dengan pihak terkait diperoleh data bahwa pemerintah belum mengagendakan program yang secara khusus mengenai usahatani tanaman ganitri. Pemerintah hanya mengeluarkan himbauan kepada para petani untuk berhati-hati tentang adanya kemungkinan harga yang turun secara drastis di pasaran akibat oversupply. Menurut Dinas Kehutanan Kebumen pemerintah hingga saat ini hanya bersifat pasif dalam pengembangan komoditas ganitri. Pasif dalam arti hanya akan bergerak ketika masyarakat meminta untuk difasilitasi.

66

(e) Kelembagaan Pengolahan dan Pemasaran

Kelembagaan pengolahan dan kelembagaan pemasaran cenderung tidak bisa dipisahkan mengingat hampir semua pengolahan dilakukan oleh pedagang atau pengumpul. Bahkan dalam banyak hal pengolahan buah ganitri petani sekaligus sebagai pengumpul, artinya juga sebagai lembaga pengolahan. Berbeda dengan petani buah/ biji, petani atau produsen kayu ganitri di Wonosobo proses pengolahan dilakukan oleh pelaku lain, misalnya oleh produsen meubeler/furnitur di daerah lain. Namun demikian pengolahan dari bentuk gelondongan ke dalam bentuk pallet tetap di wilayah wonosobo yang dilakukan di perusahaan penggergajian (Sewmill).

Pada umumnya, perdagangan tanaman ganitri masih menjadi nomor dua setelah kayu sengon, sehingga rantai pemasaran kayu ganitri masih mengikuti rantai pemasaran yang terjadi pada tanaman sengon. Akan

tetapi pada industri olahan terdapat perbedaan pemanfaatan.

Pemanfaatan kayu ganitri memiliki spektrum yang lebih luas yaitu selain untuk digunakan bahan palet, kas, meubeler, papan juga dapat digunakan untuk bahan bingkai foto dan list profile. Rantai pemasaran yang sudah dijalankan sampai pada saat ini melibatkanbeberapa pihak (stakeholders) yaitu petani hutan rakyat, tengkulak, depo (tempat pengumpulan kayu), penggergajian, toko matrial, mebeuler, kerajinan

Gambar 16. Rantai Pemasaran Kayu Ganitri

Pedagang Pemesan Khusus Penggergajian B Kerajinan Bingkai Foto, List Profile Toko Material Pabrik Meubeler Penggergajian A Pedagang Antara (Depo/pengumpul) Petani hutan rakyat

67 Pengolahan buah ganitri dari biji yang siap jual dimulai dari perendaman selama satu hari dan selanjutnya dikupas secara manual atau dengan alat/mesin pengupas . Biji yang telah dikupas selanjunya dijemur hingga kering dan kemudian di grading berdasarkan ukuran untuk kemudian di jual ke pedagang pengumpul/pengepul.

Pengepul biasanyan melakukan proses pengolahan lanjutan yaitu penjemuran ( satu hari dan grading ulang ) terutama untuk menurunkan kadar air (misalnya dari kadar 17% diturunkan menjadi 12 %). Akibat dari proses lanjutan /pengeringan/sortasi/grading ini maka akan mengalami penurunan kurang dari 1 % : Namun pengepul akan mendapatkan keuntungan dari penurunan ukuran biji (misal ukuran 7 mm menjadi 6,5 mm) artinya nilai per biji akan mengalami peningkatan harga.

Sebagai bahan kajian kelembagaan pemasaran penulis mencoba menelusuri dari pengepul terbesar di Kebumen yaitu Perusahaan “Central Ganitri (Rudaksa)”. Perusahaan ini merupakan perusahaan keluarga yang dikelola secara turun temurun. Biji ganitri yang ditampung oleh perusahaan ini dipasarkan melalui 2 cara, yaitu (1) diekspor ke India langsung oleh perusahaan, (2) dipasarkan ke pengumpul (orang india) di Jakarta selanjutnya diekspor ke india. Sampai saat ini, terdapat 10 orang India yang melakukan kerjsama dengan pihak perusahaan. Akan tetapi yang memiliki komitmen yang jelas dan bertransaksi dengan lancar berjumlah 4 orang yang terdiri dari 2 orang eksportir india yang ada di Jakarta, dan 2 orang Importir yang berada di India langsung.

Sistem pembayaran dalam penjualan ganitri adalah sebagai berikut: (1) Untuk pedagang orang India yang menjadi eksportir di Jakarta,

semarang, atau surabaya pembayaran dilakukan secara cash and carry

(2) Penjualan langsung ke India dilakukan dengan sistem uang dimuka (50%) kemudian sisanya dibayar setelah barang sampai di India. Sistem inilah yang menyebabkan pihak perusahaan melakukan cara yang sama (sistem uang dimuka) terhadap pedagang pengumpul dan petani.

68

Pasokan biji ganitri ke perusahaan berasal dari para

pedagang/pengepul dan petani disekitar Kebumen dan daerah lain, seperti Cilacap, Ciamis, Bogor, Pangandaran, Cirebon, Tasikmalaya, dan Riau. Secara terinci rantai pemasaran biji ganitri ditampilkan pada Gambar 17.

Kebutuhan ganitri di India masih cukup tinggi karena India merupakan negara yang menjadi pusat lalu lintas pemasaran ganitri di seluruh dunia. Namun demikian bukan berarti harga stabil menjadi jaminan, pada satu tahun terakhir ini terjadi over supply, salah satu penyebabnya adalah pengembangan tanaman ganitri yang berasal dari tanaman okulasi dan menghasilkan tanaman yang berbiji ganitri kecil. Pada saat itulah, volume biji ganitri yang berada di pasaran terjadi over supply dan akhirnya menjatuhkan harga jual biji ganitri ukuran kecil. Bisnis biji ganitri juga dikenal istilah kenaikan winduan (setiap 8 tahunan) naik kemudian turun lagi secara terus menerus dan naik lagi delapan tahun kemudian.

Tejadianya over-supply adalah hal yang sangat dikhawatirkan pemerintah Kabupaten Kebumen sehingga beralasan tidak mendorong petani untuk menanam tanaman ganitri, karena apabila harga anjlok maka pemerintah akan disalahkan. Sepengetahuan pemerintah Kabupaten Kebumen, Biji Ganitri hanya diserap oleh negara India saja.

Seyogyanya pemerintah daerah berusaha mencari alternatif pasar untuk produk ganitri, karena sebenarnya ada kecenderungan bisnis biji genitri hanya dikuasai oleh eksportir tertentu di jakarta yang cenderung mengendalikan harga ganitri, karena informasi harga tidak transparan.

Gambar 17. Rantai Pemasaran Biji Ganitri Pengepul Besar di Kebumen Pengepul Besar Cilacap Exportir Jakarta India Pedagang Bali Petani Agen/Bakul /pengepul

kecil Negara2 India

Lain Negara2

Lain Daerah lain Daerah lain

69 Alternatif lain adalah menciptakan nilai tambah dari biji ganitri. Kajian dari berbagai literatur membuktikan bahwa biji ganitri mengandung berbagai unsur kimia yang bersifat farmakologis.

B. Potensi Pengembangan Ke Depan

Dalam dokumen BAB III METODE PENCAPAIAN TARGET KINERJA (Halaman 45-58)

Dokumen terkait