BAB I
PENDAHULUAN
Film pertama kali dipertontonkan untuk khalayak umum dengan membayar (paying audiences) berlangsung di Grand Cafe Boulevard de Capucines, Paris, Perancis pada 28 Desember 1895. Peristiwa ini sekaligus menandai lahirnya film dan bioskop di dunia. Karena lahir secara bersamaan inilah, maka saat awal-awal ini berbicara film artinya juga harus membicarakan bioskop. Meskipun usaha untuk membuat "citra bergerak" atau film ini sendiri sudah dimulai jauh sebelum tahun 1895, bahkan sejak tahun 130 masehi, namun dunia internasional mengakui bahwa peristiwa di Grand Cafe inilah yang menandai lahirnya film pertama di dunia. Pelopornya adalah dua bersaudara Lumiere Louis (1864-1948) dan Auguste (1862-1954).
Thomas A. Edison juga menyelenggarakan bioskop di New York pada 23 April 1896. Dan meskipun Max dan Emil Skladanowsky muncul lebih dulu di Berlin pada 1 November 1895, namun pertunjukan Lumiere bersaudara inilah yang diakui kalangan internasional. Kemudian film dan bioskop ini terselenggara pula di Inggris (Februari 1896), Uni Sovyet (Mei 1896), Jepang (1896-1897), Korea (1903) dan di Italia (1905). Di Indonesia sendiri, film pertamakali diperkenalkan pada 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta), lima tahun setelah film dan bioskop pertama lahir di Perancis.(Jauhari, 1992:11-13).
Pada masa itu film disebut “Gambar Idoep". Dalam iklan suratkabar Bintang Betawi (4 Desember 1900) tertulis: "Besok hari Rebo 5 Desember Pertoenjoekan Besar Yang Pertama di dalam satoe roemah di Tanah Abang, Kebondjae (menage) moelai poekoel Toedjoe malem. Harga tempat klas satoe f2, klas doewa f1, klas tiga f0,50." Film pertama di Indonesia ini adalah sebuah film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu Belanda dan Raja Hertog Hendrik di kota Den Haag.
Film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas. Film mewakili realitas kelompok masyarakat pendukungnya itu. Baik realitas dalam bentuk imajinasi ataupun realitas dalam arti sebenarnya. Film menunjukan pada kita jejak-jejak yang ditinggalkan pada masa lampau, cara menghadapi masa kini dan keinginan manusia terhadap masa yang akan datang. Sehingga dalam perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha menampilkan "citra bergerak" (moving images), namun juga telah diikuti oleh muatan-muatan kepentingan tertentu seperti politik, kapitalisme, hak asasi manusia atau gaya hidup.
timbul satu fenomena baru, yaitu tentang gaya hidup masyarakat Eropa yang ditransformasikan dari tayangan film pada bioskop. Bioskop juga semakin mempertajam dikotomi kelas sosial dan komunitas di Hindia Belanda.
Gaya hidup dipahami David Chaney sebagai proyek refleksif dan penggunaan fasilitas konsumen secara sangat kreatif. Menurut Chaney, Bioskop adalah istana impian dan melalui bentuk-bentuk baru pameran dengan menggunakan fasilitas layar kaca, pencahayaan elektris, konstruksi baja dan beton, serta segenap sumber daya tontonan arsitektural untuk mentransformasikan ruang public (Chaney, 1996:58).
BAB II
PEMBAHASAN
KEHADIRAN BIOSKOP DAN PERKEMBANGAN
INDUSTRI FILM DI HINDIA BELANDA
(1900-1942)
Menurut Asrul Sani, Bioskop adalah gedung di mana alat proyeksi ditempatkan dan di mana orang banyak dapat menonton gambar bergerak di atas sebidang layar putih. Penemuan tekhnik untuk memproyeksikan gambar kesebuah layar hingga dapat oleh banyak orang sekaligus, merupakan matarantai terakhir dan satu rentetan usaha penemuan yang menghasilkan gambar hidup seperti yang dikenal penduduk Hindia Belanda awal abad ke-20. (Jauhari, 1992: i).
Pertamakalinya bioskop diperkenalkan pada tahun 1895, oleh Auguste dan Louis Lumiere di Grand Café, Boulevard des Capucines, Paris. Ini merupakan hari kelahiran bioskop di dunia, hingga dibawa ke berbagai negara, termasuk ke Hindia Belanda. Sejak pemberitaan di surat kabar Bintang Betawi, tanggal 5 Desember 1900 masyarakat Hindia Belanda mulai mengenal seni pertunjukan yang kelak dikenal sebagai film, yang dirintis oleh orang Eropa, tetapi pada perkembangan selanjutnya lebih banyak dilakukan oleh penduduk asing keturunan Cina.
Pada tahun-tahun awal pemutaran film belum memiliki tempat yang tetap. Gedung manege di Kebon Jahe, Tanah Abang adalah salah satu gedung di Batavia yang paling sering diadakan pemutaran film. Tempat lainnya adalah gedung milik Kapten Cina Tan Boen Koei. Terkadang pemutaran film juga diadakan di tanah lapang, seperti lapangan Boes Kota, lapangan Mangga Besar, dan los pasar Tanah Abang.
Menurut Victor C.Mambor, Film cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 yang diimpor dari Amerika. Film-film impor ini berubah judul ke dalam bahasa Melayu. Sementara film-film produksi pemerintah kolonial saat itu masih berupa film dokumenter. Di negara-negara lain (barat) film cerita sendiri sudah mulai diproduksi antara tahun 1902-1903. The Life an American Fireman (1903) adalah film cerita Amerika pertama yang dibuat oleh Edwin S. Porter (1869-1941). La Presa di Roma dibuat di Itali oleh Filateo Alberini tahun 1905. Kemudian India juga membuat film cerita pertama mereka yaitu Rajah Harisandra tahun 1913. Film cerita impor ini cukup laku di Hindia Belanda. Jumlah bioskop jadi semakin meningkat. Daya tarik tontonan baru ini ternyata mengagumkan. Di Medan pun kemudian muncul bioskop yang pertama di luar pulau Jawa. Surat kabar Keng Po memuat sebuah iklan yang menyebutkan bahwa pada tanggal 10 September 1923 akan diputar film penerangan tentang pos dan telegraf di kota Medan.
Pada masa ini, bioskop-bioskop terbuka lebih memiliki daya tarik tersendiri. Biasanya terletak di lokasi-lokasi pasar malam. Daya tarik film dan bioskop ini mulai dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan sosial. Centrale Bioskop di Mester Cornelis (Jatinegara) pada tahun 1923 menyumbangkan 25% dari penjualan karcis untuk pensiunan militer.
Pada tahun ini juga mulai masuk film-film dari Cina melalui China Moving Picture. Dua film Tiongkok pertama adalah Li Ting Lang yang bercerita tentang revolusi di Cina dan Satoe Perempoean Yang Berboedi. Film-film dari Cina ini mulai dibanding-bandingkan dengan film produksi Amerika (Hollywood). Satu hal yang agak unik adalah usaha promosi film yang dilakukan oleh pemilik bioskop melalui surat kabar seringkali lebih menonjolkan kemajuan-kemajuan fasilitas bioskop tempat film itu diputar. Seluruh film yang diputar hingga tahun tersebut masih berupa film bisu.
Film lokal (Indonesia) pertama kali diproduksi pada tahun 1926. Sebuah film cerita yang masih bisu. Film cerita lokal pertama berjudul Loetoeng Kasaroeng (film berbasis legenda masyarakat pribumi), ini merupakan hasil karya L.Heuveldorp dan G.Krugers lewat NV Java Film Company.
De Locomotief no. 70 (30 Agustus-1 September 1926) menulis,"Pemain-pemain pribumi dipilih dengan seksama dari golongan priyayi yang berpendidikan. Pengambilan film dilakukan di suatu tempat yang dipilih dengan cermat, kira-kira dua kilometer sebelah barat kota Padalarang". Kemudian dalam edisi no. 71 (2-4 September 1926) ditulis, "Film ini, tonggak pertama dalam industri sinema Hindia sendiri, patut disambut dengan penuh perhatian".
Wiranatakusumah V, dan Raja bioskop Bandung, Buse. Awalnya, Heuveldorp tertarik dengan pertunjukan sandiwara tentang legenda tersebut, yang diprakarsai Bupati Wiranatakusumah V. Ia kemudian berhasrat untuk mengalihkannya ke layar lebar, dan langsung didukung oleh bupati. Dukungan dari bupati, bagi Heuveldorp dianggap menguntungkan, sebab ia bisa mendapatkan fasilitas shooting dan pemain-pemain "mojang Priangan".
Kehadiran Buse memudahkan untuk memutar film tersebut di dua bioskop kelas atas di Bandung. Film lokal berikutnya adalah Eulis Atjih yang diproduksi oleh perusahaan yang sama. Setelah film kedua ini diproduksi, kemudian muncul perusahaan-perusahaan film lainnya seperti Halimun Film Bandung yang membuat Lily van Java dan Central Java Film Co (Semarang) yang memproduksi Setangan Berlumur Darah. Kemudian muncul berbagai judul film berikutnya, seperti Naik Djadi Dewa (1927) dan Si Tjonat produksi Motion Picture, Rampok Preanger, Lari ke Arab, Atma de Visser (1929), dan Amat Tangkap Kodok (1930) produksi Krugers Film Bedrijf, Resia Borobudur (1929) produksi Nancing Film Corp, Nyai Dasima (1929), Nyai Dasima II (1930), produksi Tan's Film.
Pada tahun 1927, film-film bersuara mulai beredar di Indonesia. Bahkan film dari Hollywood sudah menggunakan teks melayu. Di tatar Sunda, di pertengahan dekade 1930, ada film yang cukup fenomenal berjudul Pareh, hasil garapan Mannus Franken (produksi Albert Balink dan Wong Bersaudara). Hanya, film ini tak sukses di pasaran. Ongkos pembuatan film yang terlampau mahal tidak kembali, akibatnya Balink dan Wong terancam bangkrut. Pada tahun 1937, bersama Wong Bersaudara, Balink (yang bergabung dalam Aglemeene Nederland Indie Film Synd) meluncurkan film berjudul Terang Boelan.
Industri film lokal sendiri baru bisa membuat film bersuara pada tahun 1931. Film ini diproduksi oleh Tans Film Company bekerjasama dengan Kruegers Film Bedrif di Bandung dengan judul Atma de Vischer. Selama kurun waktu itu (1926-1931) sebanyak 21 judul film (bisu dan bersuara) diproduksi. Jumlah bioskop meningkat dengan pesat. Filmrueve (majalah film pada masa itu) pada tahun 1936 mencatat adanya 227 bioskop. Daftar itu ternyata menunjukkan bahwa bioskop bukan hanya berada di kota-kota besar tapi juga dikota-kota kecil seperti Ambarawa, Balige, Subang dan Tegal.
Produksi film Indonesia mengalami “masa panen” pertama kali pada tahun 1941. Di tahun ini tercatat sebanyak 41 judul film yang diproduksi. Terdiri dari 30 film cerita dan 11 film yang bersifat dokumenter. Nama-nama Roekiah, Rd Mochtar dan Fifi Young sangat populer pada masa itu. Film-film yang diproduksi ini kebanyakan bertema romantisme yang diselingi lagu, tarian, lawakan dan sedikit laga.
Indonesia yang melarang aktivitas pembuatan film.Pendudukan Jepang mendirikan Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Sidhoso) yang di dalamnya ada Nippon Eiga Sha yang mengurusi bagian film.
Selama masa pendudukan Jepang inilah, film mulai secara terang-terangan digunakan sebagai alat propaganda politik. Film yang diputar, selain film dokumenter Jepang yang menonjolkan "kegagahan" Jepang, juga film-film Jerman yang adalah sekutu Jepang. Jepang hanya memperkenankan produksi film yang berkaitan langsung dengan upaya propaganda, seperti Berdjoeang, Habis Hoedjan, Mimpikoe, Ke Seberang, Amat Heiho, dan Tonari Kumi. Film Amerika dilarang beredar. Nama-nama Bioskop pun diganti ke bahasa Jepang dan Indonesia.
Namun pendudukan Jepang masih sedikit berbaik hati dengan memberikan kesempatan kepada kaum pribumi untuk mempelajari teknik pembuatan film. Dari tabel mengenai jumlah bioskop di Indonesia pada masa kolinial Belanda dan pada masa pendudukan Jepang, terlihat jelas bagaimana jumlah bioskop menurun drastis, karena pada masa Jepang, bioskop banyak yang ditutup dan dijadikan gudang-gudang.
Jumlah bioskop di Indonesia pada tahun 1937 dan 1943
Kota 1937 1943 menonton pertunjukan film, tetapi juga dimaknai sebagai tempat yang dapat memberi sebuah identitas dan prestise sosial tertentu, yaitu identitas dan prestise, gaya hidup tuan dan nyonye di gedongan. Jika disebut film sebagai sesuatu yang di dalamnya memasukan apa yang disebut dengan dokumen sosial suatu masyarakat, maka demikian pula dengan bioskop.
lebih jauh, juga merepresentasikan seluruh gejala perubahan yang terjadi dengan masyarakat penontonnya dalam memahami perubahan yang terjadi dalam fenomena identitas dan prestise kelas-kelas sosial.
Sejak awal kehadirannya di Hindia Belanda (5 Desember 1900), bioskop telah dimaknai bukan saja sebagai ruang fungsional untuk menyaksikan pertunjukan film, tetapi juga membayangkan bagaimana ruang itu dimaknai dengan sejumlah kategori prestise sosial tertentu. Di bawah ini akan dibahas mengenai dampak bioskop terhadap semakin rentannya pembagian kelas dalam masyarakat Hindia Belanda dan transformasi gaya hidup akibat kehadiran bioskop.
Transformasi Gaya Hidup Eropa Melalui Media Bioskop
Media film sangat besar pengaruhnya terhadap perilaku warga Hindia Belanda. Lagu, mode pakaian, cara berdandan dan merias wajah dari para bintang yang memerankan satu film dalam bioskop sering ditiru orang (menjadi semacam transformasi budaya atau gaya hidup). Awal kehadirannya di Hindia Belanda, bioskop merupakan jenis “barang” tontonan mewah dan bergengsi. Penontonnya terbatas, terutama orang-orang Eropa, Cina, dan kalangan pribumi yang berduit, yaitu golongan priyayi dan ningrat, atau pun ada juga masyarakat biasa yang tempatnya saling dibeda-bedakan (kebanyakan masyarakat ini masih buta huruf).
Lapisan-lapisan atas yang menghabiskan waktunya di bioskop makin lama makin meluas, hingga menjelang tahun 1916, pemerintah Hindia Belanda mulai merasakan adanya gejala pengaruh bioskop terhadap penontonnya. Film yang didatangkan dari Eropa dan Amerika, dianggap mempertontonkan hal-hal yang berpengaruh buruk bagi kaum pribumi, dan mengubah pandangan mereka terhadap bangsa kulit putih.
Penonton pribumi (kebanyakan buta huruf) banyak melihat gambaran tentang kekerasan, perceraian yang merupakan kezaliman, dan perilaku lain yang menggugah penilaian mereka terhadap budaya mereka sendiri. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat pribumi. Film yang mereka tonton adalah gambaran tentang budaya asing yang lebih unggul, yang telah berhasil melebarkan sayap dan menjajah Hindia Belanda. Kenyataan ini membuat cemas pemerintah, karena dikhawatirkan akan merubah perilaku penduduk pribumi (Jauhari, 1992: 15-16).
Bioscoope (hampir sama dengan lembaga sensor film sekarang) di tahun 1916. Bioskop makin membawa pengaruh dalam kehidupan masyarakat Hindia Belanda, peraturan yang dibuat secara longgar oleh pemerintah kolonial, mengakibatkan banyak orang menganggap bioskop telah membawa pengaruh buruk bagi rakyat, termasuk mengubah pandangan inlanders terhadap bangsa kulit putih yang berkuasa.
Ordonansi 1916 berkali-kali mengalami perubahan, guna menangkal pandangan dan merubah gaya hidup masyarakat pribumi secara psikologis. Ordonansi itu melakukan perubahan dan final diberlakukan Ordonansi Film 1925, yang diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1926.
Tahun 1923, muncul mode baru di kalngan masyarakat Eropa di Hindia Belanda. Film diputar di bioskop “kagetan”, seperti di tempat pertemuan perkumpulan-perkumpulan di perkebunan tebu, teh, kopi, dan tembakau. Perkumpulan ini disebut societeit, seperti Societeit de Club di Banyuwangi, Societeit Parapatan di Berau, Kalimantan, Officer Societeit di Cimahi, dan lain sebagainya. Para mandor yang notabene kebanyakan dari mereka adalah orang pribumi mulai mengikuti gaya hidup layaknya orang Eropa di perkebunan-perkebunan tersebut.
Pada tahun 1920-an, Zigomar film buatan Perancis adalah salah satu film yang banyak ditiru dalam hal gaya berpakaian (topi dan busana), seperti sosok Zigomar, oleh pria-pria pribumi. Mode pakaian Triko a la Zigomar dan Topi Zigomar yang bentuknya seperti topi filt, yang sering dikenakan para bandit, pernah menjadi semacam gaya hidup penduduk Hindia Belanda, terutama di Bandung, sehingga pemerintah kolonial sempat melarang pemutaran film seri itu.
Tokoh Eddie Polo dalam film seri Broken Coin, yang mempunyai ciri khas bentuk kumis dan potongan rambutnya, pernah menjadi mode di kalangan penduduk. Bentuk kumis gaya Hitler yang dipopulerkan oleh Charles Chaplin pada tahun 1938 juga sempat menjadi mode di kalangan masyarakat. Lagu yang mengiringi pemutaran film di bioskop juga ikut mempengaruhi jenis musik daerah yang telah ada di masyarakat Hindia Belanda. Masyarakat Hindia Belanda mulai mengenal musik-musik dari barat (Eropa), dan semakin lama musik-musik daerah mengalami proses akulturasi kebudayaan.
Status Sosial dan Stratifikasi Kelas dalam Bioskop
kemudian memapankannya dengan asumsi penonton dapat memilih tanda masuk yang sesuai kemampuan daya belinya.
Pembagian kelas ini membuat pengusaha bioskop sedikit kelawahan, karena banyak penonton yang memilih kelas yang lebih murah. Setelah berjalan beberapa lama, baru ditemukan jalan keluarnya. Keluarlah iklan The Royal Bioscope disuratkabar Bintang Betawi tahun 1903, pembagian kelas bertambah, mulai loge f 2, kelas satu f 1, kelas dua f 0.50, dan kelas tiga (untuk orang Islam dan Jawa saja) f 0.25.
Dengan pembagian kelas yang bersifat rasial ini, pengusaha memastikan tak ada lagi penduduk yang bukan orang Islam dan Jawa atau pribumi yang duduk di kelas terendah. Kelas dalam masyarakat pribumi disebut sebagai bioskop kelas “kambing”, sedangkan bagi kelas orang-orang Eropa dan Timur Asing disebut kelas elite.
Orang Cina, Eropa, dan India, berdasar ketentuan ini harus masuk di kelas dua ke atas. Dengan demikian, mereka yang berstatus sosial dan pendapatan lebih tinggi, tentu akan memilih kelas yang lebih atas. Ketentuan dalam pembagian kelas dan harga tanda masuk baru ini, menambah pendapatan bioskop. Namun, bagi para kolonial, pembagian kelas tersebut mereka restui tampaknya bukan semata-mata karena alasan ekonomi, lebih jauh pembagian kelas tersebut mencerminkan usaha mereka memapankan susunan masyarakat zaman ini. Yaitu, dengan meletakkan masyarakat Belanda dan Eropa di puncaknya, kemudian masyarakat Timur Asing, dan bumiputra di posisi paling bawah.
Golongan Timur Asing, terutama Cina, pada waktu itu memang telah memiliki daya beli yang lebih baik dibanding bumiputra. Karena itu, dalam pembagian kelas di bioskop, kaum Timur Asing tak masuk kategori yang patut disebut secara khusus, justru mereka harus membayar tiket yang lebih mahal dari kaum pribumi.
Setahun kemudian, American Animatograph hadir di Gedung Kapitein Tan Boen Koei di Kongsi Besar, harga tanda masuk ditentukan f 0,25 untuk orang Cina dan f 0,10 untuk orang Islam. Bioskop ini menjanjikan tidak mencampur tempat duduk perempuan dan laki-laki.
Pemisahan tempat duduk ini memenuhi asumsi bioskop sepi karena penonton pribumi yang menjalankan ajaran Islam dengan ketat enggan datang ke tempat yang mencampurkan lelaki dan wanita yang bukan muhrimnya. Bukan rahasia umum lagi, waktu itu bioskop dianggap tempat maksiat, karena pria dan wanita duduk berdampingan di dalam gelap.
seharga f 0,25. Dalam hal tanda masuk, sudah jelas adanya pembagian kelas di sini, di mana mereka yang berasal dari golongan Eropa, Timur Asing ataupun pribumi dibeda-bedakan, apalagi bagi masyarakat pribumi masih ada lagi stratifikasi sosialnya.
Pada tahun 1927, muncul bioskop kelas atas, seperti Cinema Palace di Krekot, Globe Bioscope di Pasar Baru, Elita di Pintu Air, Decca Park di Gambir, dan Dierentuin di Cikini. Di bioskop kelas atas ini, penontonnya orang Eropa dan kalangan pamongpraja yang berpakaian a la kolonial. Berbeda dengan penonton di bioskop kelas bawah seperti Rialto, yang berpakaian sembarangan. Di Bandung, berdiri pula bioskop bergengsi khusus orang Belanda, Concordia. Perhitungan keadaan ekonomi dan status sosial, telah menjadi lazim bagi mereka yang menikmati pertunjukkan bioskop.
BAB III
KESIMPULAN
Sejak dibukanya gedung bioskop di Tanah Abang pada awal abad ke-20, sejarah perfilman di negeri ini telah dimulai. Pada tahun 1910 orang-orang Eropa telah merintis pembuatan film dokumenter tentang Hindia Belanda. Seni pertunjukkan film lewat media bioskop berkembang seiring berjalannya waktu. Orang-orang dari Eropa, Cina dan pribumi sendiri berlomba-lomba untuk membuat film, guna diputar di bioskop-bioskop.
Hingga akhirnya bioskop mengalami penurunan dalam hal jumlahnya, karena masuknya Jepang ke Indonesia, bioskop banyak yang beralih fungsi menjadi gudang-gudang, dan sebagian besar film yang diputar di bioskop adalah propaganda film Jepang. Bioskop juga menimbulkan perubahan besar dalam masyarakat Hindia Belanda saat itu. Pengaruh westernisasi menyebar melalui penayangan film di bioskop (Wertheim, 1999: 250).
Transformasi gaya hidup Eropa (cara berpakaian, moralitas, musik, dan perbedaan status sosial yang maikn mencolok) perlahan-lahan masuk ke dalam alam pikiran masyarakat pribumi. Kehadiran bioskop menjelaskan bagaimana perkembangannya itu telah melakukan korelasi dengan apa yang terjadi dalam perubahan sosio-kultural masyarakatnya. Bioskop tidak lagi hanya dibaca dengan pemaknaan prestise tempat, melainkan dengan prestise gaya hidup yang menyertainya, yang mendasar pula pada kelas-kelas sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Chaney, David. 1996. Lifestyle; Sebuah Pengantar Komprehensif (terj.). Yogyakarta: Jalasutra.
Jauhari, Haris (ed.). 1992. Layar Perak; 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Jakarta: Dewan Film Nasional dan Gramedia Pustaka Utama.
Kunto, Haryoto. 1986. Semerbak Bunga di Bandung Raya. Bandung: Gramedia Bandung.
Pane, Armijn. 1953. Produksi Film Tjerita di Indonesia; Perkembangannja Sebagai Alat Masjarakat. Djakarta: Badan Musjawarat Kebudajaan Nasional.
Sakti, Gaman. 1999. Perfilman Indonesia 1900-1960; Lahirnya Perfilman di Indonesia Hingga Berdiri dan Berkembangnya Perfini Serta Peranannya dalam Perkembangan Film Indonesia (Skripsi). Bandung: Fakultas Sastra Unpad.
Soekiman, Djoko. 2000. Kebudayaan Indis dan gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa Abad XVIII-Medio Abad XX. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Wertheim. 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi; Studi Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Situs-situs Internet
http://66.218.69.11/search/cache?
p=bioskop+dan+gaya+hidup&prssweb=Search&ei=UTF-8&fr=FP-tab-web-t&x=wrt&u=www.pikiran
http://66.218.69.11/search/cache?
p=bioskop+di+batavia&prssweb=Search&ei=UTF-8&fr=FP-tab-web-t&x=wrt&u=www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/03/31/0069.html&w= bioskop+di+batavia&d=Hm9XszmtMux4&icp=1&.intl=us
http://72.14.203.104/search?
q=cache:mouafvEDHWoJ:www.pphui.or.id/perfiki/ +gambar+idoep&hl=id&gl=id&ct=clnk&cd=11
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=242009&kat_id=84
http://72.14.203.104/search?