• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Isolasi Dan Penentuan Struktur Senyawa Steroid Dari Daun Tumbuhan Kulu (Artocarpus Camansi: Sukun Berbiji) Yang Bersifat Antidiabetes

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Isolasi Dan Penentuan Struktur Senyawa Steroid Dari Daun Tumbuhan Kulu (Artocarpus Camansi: Sukun Berbiji) Yang Bersifat Antidiabetes"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Genus Artocarpus

Genus Artocarpus merupakan salah satu genus dari Famili Moraceae yang

termasuk kepada tribe Artocarpeae. Tumbuhan genus Artocarpus terdiri dari 60

spesies dan terdistribusi mulai Srilangka, India, Pakistan, Indo China, Malaysia,

hingga kepulauan Solomon (Lemmens, 1995).

Famili Moraceae ini terdiri dari 60 genera yang terdiri dari 1400 spesies

terdistribusi di daerah tropis dan subtropis wilayah Asia. Genus Artocarpus terutama

terdiri dari pohon sukun dan nangka. Tumbuhan ini merupakan tumbuhan asli dari

Asia Selatan dan Asia Tenggara, New Guinea dan Pasifik Selatan. Tumbuhan ini

terdapat di hutan tropis biasanya ditemukan di bawah ketinggian 1.000 m.

Di Indonesia terdapat 32 spesies tumbuhan dalam genus Artocarpus ini

(Heyne, 1987). Spesies Artocarpus yang terdapat di ekosistem hutan beragam pada

habitat yang berbeda. Keragamannya yang ada di seluruh dunia bergantung pada cara

konservasi dan keadaan dari genus Artocarpus (Jagtab and Bapat, 2010), keragaman

yang paling besar adalah di Malesian. Spesies dalam genus Artocarpus terdistribusi

sebagai berikut: Malaysia 16 spesies, Sumatera 17 spesies, Borneo (Kalimantan) 23

spesies, Filipina 15 spesies, Sulawesi 6 spesies, Jawa 4 spesies, Sunda 3 spesies,

Maluku 8 spesies, dan New guenia 6 spesies (Lemmens, 1995).

2.2 Fitokimia pada Genus Artocarpus dan Aktivitas Biologi

Berdasarkan penelusuran literatur, spesies dalam genus Artocarpus

mengandung senyawa kelompok non fenol dan senyawa kelompok fenol. Senyawa

kelompok non fenol yang umumnya terdapat pada genus Artocarpus berupa senyawa

(2)

Kandungan senyawa kelompok fenol sangat beragam seperti: flavonoid, stilben, dan

santon. Flavonoid ini masih terbagi lagi atas turunan flavan, flavon, flavanon,

flavonol, dan lain-lain.

Terpenoid

Berdasarkan literatur, diketahui bahwa dari tumbuhan genus Artocarpus

diperoleh senyawa triterpen tetrasiklik dan pentasiklik. Kulit batang A.chaplasha

menghasilkan tiga senyawa yaitu: lupeol asetat 1, yang merupakan senyawa

pentasiklik, selanjutnya diperoleh senyawa triterpen tetrasiklik yaitu, sikloartenil

asetat, 2 dan isosikloartenol asetat, 3 (Shieh et al., 1992). Triterpen pentasiklik

lainnya adalah asam betulinat 4 yang berasal dari ekstrak heksana dan ekstrak

benzene kulit batang A. heterophyllus (Venkataraman, 1972).

1 2

(3)

Lupeol asetat ini diperoleh pula dari kulit akar segar A.communis (Shieh et

al., 1992). Triterpen sikloartenol 5, dan sikloartenon 6, diperoleh dari

A.heterophyllus, sedangkan dari A. elasticus reinw, dan A.communis diperoleh

triterpen pentasiklik lupeol 7, α- amirin 8, dan β-amirin 9 (Venkataraman, 1972).

5 6

(4)

9

Distribusi senyawa triterpen tetrasiklik dan pentasiklik yang telah ditemukan

pada genus Artocarpus ditunjukkan pada Tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1. Distribusi senyawa triterpen yang telah ditemukan pada genus Artocarpus

Nama senyawa Nama spesies

Lupeol asetat, 1

Sikloartenol, 5

A.chaplasha, A. heterophyllus, A. nobilis,

A. altilis, A. lakoocha

Sikloartenon, 6 A. heterophyllus, A. nobilis, A. altilis,

A. lakoocha

Isosikloartenol asetat, 3 A.chaplasha

Sikloartenil asetat, 2 A.chaplasha, A. heterophyllus, A. nobilis,

A. altilis, A. lakoocha

Lupeol, 7 A. communis, A. elasticus

α-amirin, 8dan β-amirin, 9 A. communis, A. elasticus,

A. heterophyllus

(5)

Steroid

Mahato (1971), melaporkan bahwa senyawa steroid yaitu β-sitosterol, 10 telah

diisolasi dari tumbuhan A. chaplasha. β-sitosterol ini diperoleh juga dari A.communis

(Shieh et al., 1992).

10 Betasitosterol

Nama IUPAC : 5-Kolesten-24p-etil-3p-ol

Rumus molekul : C29H50O

Nama lain : (24R)-etilkolest-5-en-3-β-ol, betasitosterin, 24 -α

etilkolesterol, cinchol

Betasitosterol termasuk ke dalam kelompok steroid yang jalur

biosintesisnya searah dengan terpenoid. Terpenoid disebut juga isoprenoid

salah satu kelompok dari molekul hasil alam (natural product). Pembentukan

terpenoid secara kimia adalah dengan cara bergabungnya unit isopren dan

membentuk senyawa dengan berbagai cara yang berbeda. Hampir semua

struktur yang multi siklik bergabung satu dengan yang lain tidak hanya dengan

gugus fungsi, tapi juga dengan rangka dasar karbon. Terpenoid yang lebih besar

merupakan komponen yang penting untuk metabolisma makhluk hidup

termasuk hormon adrenal seperti testosterone dan estrogen, komponen membran

kolesterol, dan larutan lipid.

(6)

dari tumbuhan, tetapi untuk hal-hal tertentu. Metabolit sekunder ini mempunyai

fungsi yang berbeda, termasuk memberi bau, rasa, mengatur pertumbuhan,

penarik serbuk sari, dan komponen rosin.

Bahan alam, termasuk terpenoid, dari dahulu telah dipakai di dalam bidang

farmasi, pertanian, dan pemakaian komersil lain, seperti pengobatan kanker.

Terpen dengan berat molekul kecil selalu digunakan untuk parfum dan pemberi rasa.

Steroid dianggap berasal dari terpenoid, karena pada jalur biosintesisnya,

steroid diturunkan dari squalene, yang juga merupakan senyawa pembentuk

triterpene. Secara garis besar jalur biosintesisnya sebagai berikut. Senyawa precursor

dimulai dari senyawa asetil ko enzim A, yang bergabung sebanyak 2 molekul,

dengan beberapa jalur reaksi selanjutnya membentuk asam mevalonat. Setelah

mengalami beberapa tahap reaksi akan membentuk DMAPP (dimetilallil piropospat)

dan isomernya IPP (isopentenilpiropospat). Kedua senyawa ini bergabung dan

membentuk monoterpen. Monoterpen selanjutnya bergabung lagi dengan unit isopren

baru membentuk sesquiterpen (farnesilpiropospat). Dua molekul farnesilpiropospat

membentuk skualen, selanjutnya teroksidasi menjadi 2,3-epoksiskualen, yang dalam

suasana asam membentuk lanosterol (terpenoid). Lanosterol kehilangan 3 gugus

metil, yaitu dua dari atom C-4 dan satu dari C-14 membentuk kolesterol (steroid).

(7)

(8)

Reaksi biosintesis terpenoid sendiri dimulai dari asetilcoenzim A, reaksinya

seperti terdapat pada Gambar 2.2 berikut.

(9)

Hasil penelusuran literatur, suatu senyawa β-sitosterol asetat, merupakan

senyawa β-sitosterol yang bereaksi dengan asam asetat. Gugus OH pada β-sitosterol

bereaksi dengan asam asetat membentuk ester β-sitosterol asetat.

Geseran kimia yang terdapat pada β-sitosterol asetat dapat dilihat pada Gambar 2.3 di

bawah ini (http://www.chemicalbook.com/spektrum EN).

Gambar 2.3. Struktur β-sitosterol asetat dengan geseran kimia proton

Geseran kimia pada atom H tertentu pada β-sitosterol asetat Gambar 2.3

terdapat pada Tabel 2.2 berikut ini.

Tabel 2.2. Geseran kimia pada atom H pada β-sitosterol asetat

No. No. Atom H (Simbol ) Geseran Kimia (ppm)

1. A 5,37

2. B 4,61

3. C 2,32

4. D 2,04

5. E 2,15-0,71

6. F 1,02

(10)

Penyebaran β-sitosterol

Beta-sitosterol adalah sterol yang ditemukan pada tanaman, yang merupakan

subkomponen utama kelompok sterol yang dikenal sebagai pitosterol. Senyawa ini

berwarna putih dan memiliki struktur kimia yang sangat mirip dengan kolesterol.

Beta-sitosterol banyak ditemukan dalam dedak padi, bibit gandum, minyak jagung,

dan kedelai.

Manfaat β-sitosterol a. Mengontrol Kolesterol

Selama tiga dekade terakhir β-sitosterol telah diketahui dapat mengurangi

kadar kolesterol. Struktur β-sitosterol mempunyai kemiripan dengan kolesterol,

sehingga dapat memblokir penyerapan kolesterol dengan cara penghambatan

kompetitif. Meskipun β-sitosterol tidak diserap dengan baik oleh tubuh (5-10%), bila

dikonsumsi dengan kolesterol secara efektif memblokir penyerapan kolesterol, yang

mengakibatkan menurunkan kadar kolesterol serum. Beta-sitosterol juga dapat

meningkatkan profil lipoprotein (HDL, LDL).

b.Meningkatkan Kesehatan Prostat

Mencegah dan mengobati masalah prostat seperti benign prostatic

hyperplasia (BPH), dengan mengkonsumsi beberapa jenis herba seperti: ekstrak

palmetto, Pygeum africanum, jelatang menyengat, dan biji labu, yang mengandung

β-sitosterol.

Mekanisma kerja β-sitosterol dalam hal meningkatkan kesehatan prostate

belum diketahui, namun dalam suatu studi dikatakan bahwa β-sitosterol dapat

mengaktivasi siklus sphingomyelin dan menginduksi apoptosis di LNCaP sel kanker

prostat manusia secara invitro. Ada juga laporan yang menunjukkan bahwa β

(11)

c. Mempunyai Efek Anti-Kanker

Beta-sitosterol bertindak melawan kanker, dengan cara mengurangi

pertumbuhan prostat manusia dan sel kanker usus besar. Βetasitosterol juga dapat

mencegah leukemia limfositik.

d. Meningkatkan Kekebalan

Beta-sitosterol dapat meningkatkan kekebalan atlet yang sering menderita

tekanan kekebalan dan mengurangi respon inflamasi selama masa latihan dan

kompetisi. Beta-sitosterol telah menunjukkan tidak hanya untuk meningkatkan

kekebalan tubuh tetapi juga untuk meningkatkan proliferasi limfosit dan aktivitas sel.

Hal ini sangat berguna untuk orang-orang yang secara fisik stres, secara medis tidak

sehat atau baru sembuh dari sakit.

e. Menormalkan Gula Darah

Beta-sitosterol telah terbukti dapat menormalkan gula darah pada penderita

diabetes tipe II dengan merangsang pelepasan insulin yaitu dengan kehadiran

konsentrasi glukosa non-stimulasi, dan menghambat glukosa-6-fosfatase.

Di dalam hati, enzim glukosa-6-fosfatase adalah jalur utama untuk konversi

karbohidrat menjadi gula darah. Glukosa-6-fosfatase dephosphorylates

glukosa-6-fosfat menghasilkan D-glukosa bebas. D-glukosa bebas masuk ke dalam darah,

sehingga meningkatkan kadar gula darah.

Mengurangi kadar glukosa darah dengan down-regulasi glukosa-6-fosfatase

dapat membantu memperlambat diabetes yang disebabkan oleh usia tua.

Selain hal di atas β-sitosterol juga memiliki kemampuan untuk meredakan

peradangan, menyembuhkan borok, meningkatkan denyut rahim dan mengurangi

kram. Betasitosterol ini juga memiliki aktivitas anti-virus, anti-bakteri dan anti-jamur

(12)

Kelompok Senyawa Turunan Flavonoid

Penelitian terdahulu pada batang tumbuhan A.altilis (A. communis) diperoleh

senyawa-senyawa flavon yaitu: isosiklomulberin 11, sikloaltilisin 12, siklomorusin

13, siklomulberin 14, (Chen, 1993)

11 12

13 14

Isolasi pada kulit akar A.communis oleh Lin (1992), diperoleh:

piranoflavonoid yaitu siklokomunol 15, siklokomunin 16, dan dihidrosikloartomunin

17.

(13)

17

Shieh (1992), memperoleh senyawa flavonoid dengan rangka santon dari akar

tumbuhan A. communis yaitu artomunosanton 18, artomunosantentrion 19, dan

artomunosantentrion epoksida 20.

18 19

O

OH O

OMe

O

O O

O

20

Aida (1997), memperoleh piranobenzosanton, yaitu artobilosanton 21, dan

(14)

yaitu: artonol A 23, artonol B 24, artonol C 25, artonol D 26, dan artonol E 27 dari

tumbuhan A. communis.

21 22

23 24

(15)

27

Senyawa flavon terprenilasi, yaitu senyawa sikloartokarpin 28, artokarpin 29,

dan kaplasin 30, diisolasi dari ekstrak diklorometana dari akar dan batang

A.communis, sedangkan morusin 31, sikloartobilosanton 22, artonin E 32, and

artobilosantone 21 diisolasi dari akar yang mempunyai aktivitas antituberkulose

dengan konsentrasi daya hambat minimum (MIC) antara 3,12-100 g/mL (Jagtab

and Bapat, 2010).

28 29

(16)

32

Enam senyawa kimia yang diisolasi dari korteks akar Artocarpus, communis

(Weng et al., 2006) adalah empat flavonoid baru, yaitu: dihidroartomunosanton 33,

artomunoisosanton 34, siklokomunometanol 35, dan artomunoflavanon 36,

bersama-sama dengan dua senyawa yang telah dikenal, yaitu: artohamins B 37, dan

artokommunol 38. Dihidroartomunosantone 33, artohamins B 37, dan

artokommunol 38 yang diisolasi dari korteks akar A. communis menunjukkan efek

antiplatelet pada makhluk hidup. Senyawa ini menunjukkan daya hambat yang

signifikan pada agregasi sekunder yang diinduksi dengan adrenalin. Efek antiplatelet

senyawa ini yang utama disebabkan daya hambat pada pembentukan tromboksan.

(Weng et al., 2006.).

(17)

35 36

37 38

Dua prenilflavonoid baru, yaitu siklogerakomunin 39, dan artoflavon A 40,

diisolasi dari korteks akar A.communis. Bersama dengan senyawa tersebut diatas

diisolasi senyawa yang sudah dikenal yaitu: artomunoisosanton 34, artokomunol 38,

artohamin B 37, dan dihidroartomunosanton 33, (Lin et al., 2009).

(18)

Lima geranil dihidrocalcon,

1-(2,4-dihidroksifenil)-3-{4-hidroksi-6,6,9-trimetil-6a,7,8,10 a-tetrahidro-6H-dibenzo[b,d]piran-5-yl}-1-propanon (41

),1-(2,4-dihidroksifenil)-3-[3,4-dihidro-3,8-dihidroksi-2-metil-2-(4

metil-3-pentenil)-2H-1-benzopiran-5-il]-1-propanon (42),

1-(2,4-dihidroksifenil)-3-[8-hidroksi-2-metil-2-(3,4-epoksi-4-metil-1-pentenil)-2H-1-benzopiran-5-il]-1-propanon (43),

1-(2,4-dihidroksifenil)-3-[8-hidroksi-2-metil-2-(4-hidroksi-4-metil-2

pentenil)-2H-1-benzopiran-5-il]-1-propanon (44),and 2-[6-hidroksi

3,7-dimetilokta-2(E),7-dienil]-20,3,4,40-tetrahidroksidihidrocalcon (45), yang diisolasi dari daun A. altilis (Wang

et al., 2007).

41 42

(19)

45

Penelitian terhadap bagian tumbuhan A. communis relatif telah sempurna,

senyawa kimia dari bagian tumbuhan A. communis yang telah diteliti, aktivitas

biologinya dan penelitinya terdapat pada Tabel 2.3 berikut (Jones, et al., 2011).

Tabel 2.3. Senyawa kimia dari bagian tumbuhan Artocarpus communis yang telah

diteliti, aktivitas biologinya dan penelitinya

No. Senyawa Bagian Tanaman Aktivitas

(20)

Tabel 2.3 (Sambungan)

No. Senyawa Bagian Tanaman Aktivitas

(21)

Tabel 2.3 (Sambungan)

No. Senyawa Bagian Tanaman Aktivitas

Biologi 63 Cycloaltilisin 6 Influorescen stipule Patil et al., 2002 64 Cycloartenyl acetate Buah Amarasinghe et al.,

2008

65 Cycloartobiloxanthone Tidak tertentu Hakim et al., 2006 66 Cycloartocarpin Tidak tertentu Hakim et al., 2006 67 Cycloartomunin Kulit akar Nomura et al., 1998 68 Cycloartomunoxanthone Kulit akar Nomura et al., 1998 69 Cyclocommunin Kulit akar Nomura et al.1998 70 Cyclocommunol Kulit akar Nomura et al., 1998 71 Cyclocomunomethonol Kulit akar Wang et al., 2006 72 Cyclohexyl benzene Buah Iwaoka et al., 1994 73. Cyclomorucin Tidak tertentu Nomura et al., 1998 74 Cyclomulberrin Tidak tertentu Nomura et al., 1998 75 Cyclopentanol Buah (segar dan masak ) Iwaoka et al., 1994 76 Cycloaltilisin 7 Influorescen stipule Patil et al., 2002 77 Diethylen glycol monoethyl

ether

Buah (segar dan masak ) Iwaoka et al., 1994

78 Dihyroartomunoxanthone Kulit akar Wang et al., 2006 79 Dihydrocycloartomunin Kulit akar Nomura et al., 1998 80 Dihydroisocycloartomunin Kulit akar Nomura et al., 1998 81 Dimethylbenzenepropionic

acid

Buah (masak) Iwaoka et al., 1994

(22)

Tabel 2.3 (Sambungan)

No. Senyawa Bagian Tanaman Aktivitas

Biologi

(23)

Trans-2(or4)-2.3 Artocarpus camansi (Kulu)

Taksonomi Tanaman Artocarpus camansi

Dalam sistematika (taksonomi) tumbuh-tumbuhan, tanaman A.camansi dapat

diklasifikasikan sebagai berikut (Ragone, 2006):

Malaya, Jawa : Kelur, kulor, kulur, kuror

Botani Tanaman A. camansi, breadnut

Artocarpus camansi Blanco, famili Moraceae ( family Mulberry) merupakan

tumbuhan dengan tinggi 10-15 m (33-50 ft) dengan cabang utama sepanjang 5 m

atau lebih, bergetah berwarna putih pada setiap bagian tumbuhan.

Bunga berumah 1 yaitu bunga jantan dan bunga betina pada tumbuhan yang

sama pada ujung cabang, bunga jantan muncul lebih dahulu. Bunga jantan berbentuk

tongkat panjang yang biasa disebut ontel. Bunga betina berbentuk bulat bertangkai

pendek yang biasa disebut babal seperti pada nangka. Bunga betina ini merupakan

bunga majemuk sinkarpik seperti pada nangka. Daun alternate, besar dan panjangnya

40-60 cm (12-24 in). Gambaran pohon A.camansi dan buahnya terdapat pada

Gambar 2.4.

Penelusuran literatur yang dilakukan, penelitian terhadap senyawa kimia pada

tumbuhan A. camansi ini masih sangat kurang dibandingkan dengan kerabat satu

spesies yang sangat mirip yaitu A.altilis atau sukun.

Penelitian yang telah dilakukan umumnya terhadap biji dari buah A.camansi.

(24)

dan memperoleh hasil bahwa biji tumbuhan ini mengandung protein 4,8%, lemak

3,48%, karbohidrat 26,11%, sedangkan debu dan seratnya adalah 3,43 dan 1,20%.

(a)

(b) (c)

Gambar 2.4. Beberapa bagian pohon Artocarpus camansi dan buahnya.

(a). Pohon A.camansi

(b). Bahagian dalam buah A.camansi

(c). Bahagian luar buah A.camansi

Biji tumbuhan ini mengandung posfor, kalium, dan natrium yang tinggi, dan

(25)

leusine, isoleusine, lisine. Minyaknya kaya akan asam palmitat, oleat, linoleat, laktat,

dan sitrat, sedangkan asam malat, asetat, dan butirat ada dalam jumlah kecil. Biji

A.camansi dapat digunakan sebagai tepung, dan minyaknya sebagai sumber minyak

yang baik untuk dimakan.

Pemakaian sehari-hari buah A. camansi adalah untuk bahan makanan yang

dapat direbus sebagai sayuran dan sebagai bahan untuk sop. Buahnya mengandung

protein yang tinggi (13-20%), dan rendah lemak (6-29%). (Ragone, 1997).

2.4 Mekanisme Regulasi Glukosa Darah

Pankreas manusia memiliki 1-2 juta pulau Langerhans. Sel-sel di dalam pulau

Langerhans berdasarkan morfologinya dibagi menjadi 4 sel dan masing-masing sel

menghasilkan hormon, yaitu sel A (sel-α) yang menghasilkan glukagon, sel B (sel-β)

menghasilkan insulin, sel D menghasilkan somatostatin serta sel F menghasilkan

polipeptida pankreas. Insulin dan glukagon memiliki fungsi penting dalam

pengaturan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Insulin bersifat anabolik

dengan meningkatkan simpanan glukosa, asam amino dan asam lemak, sedangkan

glukagon bersifat katabolik dengan memobilisasi glukosa, asam amino dan asam

lemak dari penyimpanan ke dalam aliran darah (Karam, 1998).

Pelepasan insulin dirangsang oleh sejumlah besar zat endogen dan eksogen.

Glukosa merupakan salah satu zat eksogen yang menjadi penentu utama fungsi sel-β

dalam mensintesis maupun melepaskan insulin. Glukosa yang berada di aliran darah

akan memasuki sel-β melalui transpor terfasilitasi yang diperantarai oleh GLUT2.

Selanjutnya glukosa mengalami proses metabolisme, diawali dengan fosforilasi

glukosa oleh glukokinase menjadi G6P dan selanjutnya mengalami glikolisis dan

siklus TCA, sehingga meningkatkan ATP intraselular dan menurunkan ADP. Akibat

meningkatnya rasio ATP/ADP, jumlah kalium yang masuk ke dalam sel berkurang

karena terjadi hambatan pada saluran kalium yang bergantung ATP. Penurunan ini

mendepolarisasi membran plasma sel-β dan menyebabkan terbukanya saluran

(26)

granula diikuti pelepasan insulin dan komponen lainnya ke sirkulasi (Lawrence,

2005). Proses pelepasan insulin terdapat pada Gambar 2.5 berikut.

Gambar 2.5. Proses pelepasan insulin (Karam, 1998)

Insulin kemudian berikatan dengan reseptornya di permukaan sel pada

jaringan target. Adapun jaringan target yang penting untuk pengaturan homeostasis

glukosa adalah hati, otot dan lemak. Selain itu, insulin juga bekerja pada sel darah, sel

otak dan sel gonad.

Reseptor insulin merupakan glikoprotein transmembran yang terdiri atas dua

subunit α dan dua subunit β yang dihubungkan oleh ikatan disulfida untuk membentuk heteroatomer β- α- α- β. Subunit α seluruhnya berada di ekstraseluler dan

mengandung domain pengikat insulin, sedangkan subunit β merupakan protein

transmembran yang memiliki aktifitas protein kinase, yakni tirosin. Setelah insulin

diikat, reseptor membentuk agregat dan secara cepat diinternalisasi. Interaksi antara

insulin dan reseptor menghasilkan sinyal yang ditransmisikan ke dalam sel untuk

(27)

anabolik insulin ini mencakup transpor glukosa, sintesis glikogen, lipid dan protein.

Transpor glukosa ke dalam sel otot rangka dan adiposa diperantarai oleh GLUT4.

Insulin juga meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam sel hati, tetapi bukan

melalui peningkatan jumlah GLUT4 di membran sel, melainkan dengan memicu

glukokinase. Hal ini meningkatkan fosforilasi glukosa sehingga kadar glukosa bebas

intrasel tetap rendah, mempermudah masuknya glukosa ke dalam sel (Ganong, 2005).

Glukosa dalam sel selanjutnya dapat dimetabolisme dengan banyak cara. Glukosa

dapat dioksidasi melalui jalur Embden-Meyerhof dan daur Kreb untuk menghasilkan

energi. Selain itu glukosa juga digunakan untuk memperoleh kofaktor tereduksi yang

perlu untuk reaksi biosintetik.

Dalam otot rangka dan hati, glukosa disimpan dalam bentuk glikogen

(glikogenesis) untuk dapat dipakai kembali (glikogenolisis). Di dalam sel lemak,

glukosa dimetabolisme menjadi asetil koA yang kemudian digunakan untuk

mensintesis asam lemak. Pengesteran asam lemak dengan gliserol menghasilkan

trigliserida yang merupakan bentuk penyimpanan energi (Foye, 1996).

2.5 Diabetes Melitus

Diabetes melitus adalah sekumpulan gejala akibat gangguan metabolisme

lemak, karbohidrat dan protein karena defisiensi insulin, baik karena kurangnya

sekresi insulin, kurangnya aktifitas insulin maupun keduanya. Akibatnya terjadi

penurunan pemasukan glukosa ke dalam berbagai jaringan perifer dan peningkatan

pelepasan glukosa ke dalam sirkulasi dari hati. Dengan demikian terjadi kelebihan

glukosa ekstrasel dan pada banyak sel terjadi defisiensi glukosa intrasel.

Hiperglikemia yang terjadi menyebabkan glikosuria dan diuresis osmotik yang

menyebabkan dehidrasi. Dehidrasi menimbulkan polidipsia. Karena defisiensi

glukosa intrasel, nafsu makan meningkat, glukosa dibentuk dari protein

(glukoneogenesis), dan pasokan energi dipertahankan dengan metabolisme protein

dan lemak. Akibatnya terjadi penurunan berat badan, defisiensi protein, dan

(28)

Katabolisme lemak meningkat, dan sistem dibanjiri oleh trigliserida dan asam

lemak bebas. Sintesis lemak terhambat, dan jalur katabolik yang kelebihan beban

tidak dapat mengatasi kelebihan asetil koA yang terbentuk. Di hati, asetil koA diubah

menjadi benda keton. Dua dari benda keton ini adalah asam organik, dan jika keton

menumpuk dapat menimbulkan asidosis metabolik. Deplesi Na+ dan K+ terjadi pula

pada asidosis karena kation plasma ini diekskresikan dengan anion organik yang

tidak diganti oleh H+ dan NH4+ yang disekresi oleh ginjal. Akhirnya pasien atau

hewan yang mengalami asidosis, hipovolemia, dan hipotensi menjadi komatosa

karena efek toksik asidosis, dehidrasi, dan hiperosmolaritas pada sistem saraf dan

dapat meninggal bila tidak diobati (Ganong, 2005).

2.5.1 Klasifikasi Diabetes Melitus

American Diabetes Association (ADA) pada Tahun 1997 dan WHO pada

Tahun 1999 mengklasifikasikan diabetes melitus menjadi 4 tipe berdasarkan

etiologinya yaitu tipe 1, tipe 2, tipe spesifik lainnya atau akibat penyakit tertentu,

serta diabetes melitus gestasional.

Diabetes melitus tipe 1 terjadi pada 10% dari semua kasus diabetes. Ditandai

oleh adanya lesi yang menyebabkan kerusakan sel β-pankreas baik akibat mekanisme autoimmun (90%) atau penyebab yang belum diketahui (idiopatik) sehingga terjadi

defisiensi insulin absolut. Destruksi autoimun sel β pankreas disebabkan oleh

beberapa hal,yaitu terbentuknya antibodi sel pulau, antibodi terhadap asam glutamat

dekarboksilase serta antibodi insulin.

Diabetes melitus tipe 2 terjadi pada 90% dari semua kasus diabetes dan

ditandai penurunan sekresi insulin relatif dan penurunan sensitifitas insulin (resistensi

insulin), walaupun tidak selalu. Diabetes melitus tipe 2 lebih disebabkan pola hidup

kurang gerak dan obesitas dibandingkan pengaruh genetika.

Diabetes tipe spesifik lainnya terjadi pada 1-2% dari semua kasus diabetes.

Terdiri dari dua sub golongan, yaitu sub golongan A dimana terjadi mutasi spesifik

(29)

golongan B adalah diabetes yang berhubungan dengan kondisi patologis lainnya atau

suatu penyakit. Sub golongan A diakibatkan oleh abnormalitas genetika fungsi sel β

-pankreas dan abnormalitas genetika aktifitas insulin. Sub golongan B diakibatkan

oleh penyakit pankreas eksokrin, penyakit endokrin, akibat induksi obat-obatan atau

bahan kimia, infeksi, penyakit hati, diabetes karena faktor imun yang tidak umum,

serta beberapa sindroma genetika lainnya yang sering berhubungan dengan diabetes.

Diabetes gestasional didefinisikan terjadinya intoleransi glukosa selama

kehamilan atau terdeteksi pertama sekali pada saat kehamilan. Terjadi pada sekitar

7% dari seluruh kehamilan (The Expert Committee on the Diagnosis and

Classification of Diabetes Mellitus, 1997; World Health Organization, 1999; The

Committee of the Japan Diabetes Society on the diagnostic criteria of diabetes

mellitus, 2002; Triplitt, et al., 2005).

2.5.2 Diagnosis diabetes

Kriteria yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus

adalah dari gejala yang timbul dan glukosa plasma. Adapun gejala diabetes ditandai

dengan poliuria, polidipsia serta penurunan berat badan walaupun terjadi polifagia

(peningkatan nafsu makan). Gejala lainnya adalah glikosuria, ketosis, asidosis dan

koma. Untuk parameter glukosa plasma, American Diabetes Association (ADA)

merekomendasi parameter glukosa puasa sebagai acuan utama untuk mendiagnosis

diabetes melitus pada orang dewasa. Namun selain itu bisa juga ditetapkan dari

glukosa plasma sewaktu maupun 2 jam setelah mengkonsumsi glukosa. Jika nilai

glukosa plasma masih belum dapat ditentukan dengan tegas, maka pengujian dapat

diulangi pada hari yang berbeda (Triplitt, et al., 2005). Diagnosis diabetes

(30)

Tabel 2.4. Diagnosis diabetes melitus

toleransi glukosa < 140 140-199 ≥ 200

2.5.3 Model Hewan Diabetes Melitus

Model hewan diabetes melitus digunakan untuk memvalidasi beraneka

tumbuhan obat yang diduga mempunyai potensi sebagai antidiabetes. Secara in vivo,

model hewan diabetes melitus dapat diperoleh dengan induksi secara farmakologi,

pembedahan maupun rekayasa genetika. Sebagai hewan uji, dapat digunakan hewan

pengerat (rodensia) maupun bukan pengerat (non rodensia), namun sebahagian besar

penelitian dilakukan pada hewan pengerat seperti tikus dan mencit. Hewan bukan

pengerat yang juga sering digunakan adalah kelinci, dan diklaim sebagai model

hewan yang lebih baik. (Frode dan Medeiros, 2008; Kelompok Kerja Ilmiah Phyto

Medica, 1993, Rees dan Alcolado, 2005).

Induksi secara farmakologi yang paling sering digunakan adalah dengan

menggunakan streptozotosin dan aloksan. Streptozotosin lebih dijadikan pilihan

dibandingkan aloksan karena diabetes melitus yang ditimbulkan lebih stabil dan

permanen (Frode dan Medeiros, 2008).

2.5.4 Parameter Pemeriksaan Diabetes Mellitus

Sebahagian besar publikasi ilmiah yang menggunakan induksi senyawa kimia

untuk memperoleh model diabetes mellitus, mengukur penurunan glukosa darah

setelah pemberian sampel uji berupa produk alami selama waktu tertentu. Hasilnya

dibandingkan terhadap kelompok hewan non diabetes dan/atau diabetes yang diterapi

dengan obat antidiabetes tertentu. Parameter yang diperiksa adalah glukosa darah,

(31)

2008). Pengamatan terhadap histologi pankreas juga dapat dilakukan dengan cara

mengambil pankreas dari hewan uji yang telah didekapitasi, kemudian diletakkan

dalam larutan formalin 10% dan segera diproses menggunakan parafin. Selanjutnya

pankreas dipotong setebal 5 µ m serta dilakukan pewarnaan dengan hematoksilin dan

eosin untuk pengamatan histopatologi dan diletakkan pada slide mikroskop untuk

Gambar

Tabel 2.1. Distribusi senyawa triterpen yang telah ditemukan pada genus                 Artocarpus
Gambar 2. 1. Reaksi biosintesis steroid (Mannito, 1992)
Gambar 2. 2. Reaksi biosintesis terpenoid (Mannito, 1992)
Tabel 2.2. Geseran kimia pada atom H pada β-sitosterol asetat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui golongan senyawa kimia yang terdapat pada simplisia daun sukun dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya.. Untuk mengetahui golongan senyawa flavonoida

ISOLASI DAN PENENTUAN STRUKTUR SENYAWA STEROID DARI AKAR TUMBUHAN CENDANA (Santalum album

Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa artonin E yang terkandung dalam fraksi polar kayu akar tumbuhan kenangkan ( Artocarpus rigida )

Telah diisolasi steroid dari fasa padat yang diperoleh setelah penambahan asam asetat 5% pada ekstrak methanol dari daun tumbuhan Ophirorrhiza cf kunstleri King. Senyawa

Dari uraian diatas dan berdasarkan literatur mengenai kandungan kimia yang terdapat pada tumbuhan Azalea , maka peneliti tertarik melakukan penelitian terhadap daun tumbuhan

Adanya aktivitas antidiabetes dari tumbuhan karamunting dikarenakan pada tumbuhan ini terkandung senyawa-senyawa kimia salah satunya golongan flavonoid.Penelitian

Pada penelitian ini berfokus pada tahapan isolasi dan identifikasi senyawa flavonoid yang terkandung dalam fraksi semi polar kulit akar tumbuhan pudau (Artocarpus kemando

Dari penelitian terdahulu diketahui bahwa senyawa-senyawa yang ditemukan dalam tumbuhan genus Artocarpus merupakan senyawa fenolik yang termasuk dalam beberapa golongan, antara