• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil di Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil di Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara ABSTRAK"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Keberlanjutan Perikanan Tangkap ………Kabupaten Langkat (Markus Sembiring)

2

Analisis Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil di Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara Markus Sembiring1, Yayat Dhahiyat2dan Bambang Heru2

ABSTRAK

Pengelolaan perikanan tangkap yang selama ini didasarkan pada hasil maksimum lestari tidak dapat menjawab secara akurat permasalahan ketidakberlanjutan secara komprehensif. FAO mengisyaratkan perlu dianalisis faktor ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan hukum-kelembagaan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil menurut kelima dimensi tersebut, mengidentifikasi atribut/faktor sensitif serta memberikan rekomendasi strategi dan kebijakan dalam mendukung keberlanjutannya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan teknik Rapfish yang didukung oleh analisis SWOT. Status perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Langkat berdasarkan analisis Rapfish cukup berkelanjutan dengan nilai indek keberlanjutan perikanan (IKP) rata-rata 55,79. Penelitian ini juga berhasil mengidentifikasi faktor-faktor yang paling mempengaruhi keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Langkat. Rekomendasi kebijakan terpenting berdasarkan anlisis SWOT adalah meningkatkan partisipasi mayarakat dengan kelembagaan lokal dalam pelestarian sumber daya perikanan dan kelautan. Tesis ini menegaskan pentingnya memperhatikan keterpaduan aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan hukum-kelembagaan dalam pengelolaan perikanan.

Kata kunci : status keberlanjutan, perikanan tangkap skala kecil, langkat, rapfish, analisis swot

Sustainability Analysis of Small Scale Capture Fisheries in Langkat District North Sumatera Province

Markus Sembiring1, Yayat Dhahiyat2and Bambang Heru2

ABSTRAC

Marine capture fisheries management had been based on the maximum sustainable yield can't be accurately answered unsustainability problem comprehensively. FAO suggests factors need to be analyzed ecological, economic, social, technological and legal-institutional. This study intends to determine the status of small scale fisheries in the perspective of sustainability according to the five dimensions, identify attributes / factors are sensitive and provide recommendations strategies and policy in support of sustainability. The method used in this research is survey method with Rapfish technique that supported by the SWOT analysis. Status of small-scale fisheries in Langkat by analysis Rapfish enough sustainable with fisheries sustainability index values average 55.79. This study also identified attributes (factors) important and sensitive. The most important policy recommendation by SWOT analysis is to increase the participation of local institutions in society with the preservation of fisheries and marine resources. This thesis confirms the importance of attention to ecological integrity, economic, social, technological and legal-institutional structures for fisheries management.

Key word : sustainability status, small scale fisheries, langkat, rapfish, swot analysis

1Markus Sembiring (cus_5250@yahoo.com; fax (022) 2508871, Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Padjdjaran, Jl. Sekeloa Selatan I, Bandung)

2

(2)

PENDAHULUAN

Indonesia sebagai negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari laut, memiliki potensi perikanan yang sangat besar dan beragam (UU No.45/2009). Potensi perikanan yang dimiliki merupakan sumber pendapatan negara disamping menjadi sumber mata pencaharian sebagian besar masyarakat di kawasan pantai terutama nelayan. Atas dasar inilah perikanan perlu dipertahankan keberlanjutannya.

Perikanan tangkap yang merupakan usaha menangkap ikan di perairan, sangat tergantung pada daya dukung dan daya tampung lingkungannya. Pada masa lampau rekomendasi pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Indonesia pada umumnya didasarkan pada hasil tangkapan maksimum yang lestari (Hermawan, 2006). Pendekatan yang demikian tidak dapat menjawab secara akurat pertanyaan dan solusi keberlanjutan perikanan secara komprehensif. Kode etik perikanan yang bertanggung jawab yang diperkenalkan FAO mengisyaratkan aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan hukum-kelembagaan. Hal ini sejalan dengan pembangunan berkelanjutan perikanan menurut UU No.45/2009, dimana pengelolaan perikanan dilakukan secara terencana dan mampu meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat dengan mengutamakan kelestarian fungsi lingkungan hidup untuk masa kini dan masa yang akan datang.

Perikanan tangkap nasional masih dicirikan oleh perikanan tangkap skala kecil. Hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaan perikanan tangkap di Indonesia yang masih didominasi oleh usaha perikanan tangkap skala kecil yaitu sekitar 85% (Hermawan, 2006). Perikanan tangkap skala kecil menurut UU No.45/2009 adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar lima gross ton (GT). Di Kabupaten Langkat 95% nelayan adalah nelayan skala kecil dan jumlahnya meningkat 1,07% setiap tahunnya (Diskanla Kab.Langkat, 2010). Peningkatan jumlah nelayan ini berpotensi memunculkan berbagai konflik dalam persaingan pemanfaatan sumberdaya ikan. Terkait isu teknologi, nelayan kecil sering kali kalah bersaing dengan nelayan modern. Terkait isu ekologi, Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Selat Malaka sudah mengalami over fishing (Balai Besar Riset Sosial Ekonomi, 2006). Kerusakan hutan mangrove juga telah mencapai 70% dari potensi yang ada (PKSPL IPB, 2002).

(3)

Jika permasalahan tersebut di atas terus berlangsung, dikhawatirkan akan semakin menurunkan daya dukung dan daya tampung laut sebagai penyedia sumberdaya ikan sekaligus akan menyengsarakan nelayan kecil yang tinggal dan mencari nafkah di kawasan tersebut. Oleh karena itu perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Langkat memerlukan pengelolaan yang terencana agar dapat berkelanjutan dengan memperhatikan karakteristiknya. Untuk melihat konsep penilaian keberlanjutan perikanan tersebut, maka perlu dianalisis dari berbagai dimensi yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan hukum-kelembagaan (Pitcher 1999; Pitcher and Preikshot 2001). Kelima aspek keberlanjutan ini dapat dijadikan salah satu dasar untuk melihat status keberlanjutan suatu kawasan perairan. Menjadikan rujukan dalam penyusunan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap skala kecil di kawasan tersebut. Oleh karena itu penelitian ini perlu dan sangat penting dilakukan mengingat keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil tersebut dapat mencerminkan arah perkembangan perikanan nasional dimasa yang akan datang.

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di sembilan wilayah kecamatan pesisir Kabupaten Langkat, yakni Kecamatan Secanggang, Tanjung Pura, Gebang, Babalan, Sei Lepan, Brandan Barat, Pangkalan Susu, Besitang dan Pematang Jaya. Penelitian dilaksanakan selama dua bulan, mulai bulan Mei sampai dengan Juni 2012.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan alat analisis teknik Rapfish yang didukung oleh analisis SWOT untuk merumuskan strategi dan prioritas kebijakan. Teknik Rapfish (Rapid Appraissal for Fisheries) dikembangkan oleh University of British Columbia Canada, yang merupakan analisis untuk mengevaluasi sustainability dari perikanan secara multidisipliner. Rapfish didasarkan pada teknik ordinasi yaitu menempatkan sesuatu nilai (skor) pada atribut yang terukur dengan menggunakan Multi-Dimensional Scaling (MDS). Aspek dalam Rapfish menyangkut aspek dari ekologi, ekonomi, teknologi, sosial dan hukum-kelembagaan. Penentuan rekomendasi strategi dan kebijakan dilakukan dengan analisis SWOT (Rangkuti, 1999).

(4)

Pengumpulan Data, Jenis dan Sumber Data

Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan secara intensif dengan menggunakan wawancara terstruktur terhadap nelayan skala kecil, observasi dan dokumentasi di lokasi terpilih. Data sekunder diperoleh dengan melakukan studi literatur dan wawancara dengan pengelola perikanan. Data tersebut dapat diperoleh dari dinas, lembaga atau instasi terkait dalam pengelolaan perikanan tangkap seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Institusi Penelitian Perikanan, Universitas, Dinas Perikanan dan Kelautan, Tempat Pelelangan Ikan (TPI), Organisasi Nelayan (HNSI), Koperasi Nelayan dan Badan Pusat Statistik.

Populasi dan Sampel

Dalam penelitian ini subjeknya adalah seluruh nelayan skala kecil yang ada di pesisir Kabupaten Langkat. Teknik penentuan sampel yang digunakan adalah purposive sampling (Lynch,1974) dan proporsional sampling (Rubbin dan Luck,1987), dimana penelitian ini tidak dilakukan pada seluruh populasi, tapi terfokus pada target. Adapun kriteria perikanan tangkap skala kecil yang akan dijadikan sampel adalah (Charles, 2001, Smith, 1983 dan UU No.45/2009); 1) total investasi awal ≤ 30 juta rupiah, 2) kepemilikan aset sendiri (bukan perusahaan atau milik pengusaha besar), 3) kapal dan alat tangkap dioperasikan sendiri, 4) wilayah penangkapan dalam zona I, 5) lama trip penangkapan 1 hari (one day fishing), 6) teknologi paling tinggi dalam operasi penangkapan hanya menggunakan motor temple (10-25 PK, panjgan 5-10 m dan paling besar lima gross ton).

Analisis Data

Data yang diperoleh dari observasi dan wawancara dengan responden selanjutnya diolah dengan software microsoft exel, dan aplikasi Rapfish dalam templete excel. Hasil olahan data tersebut ditampilkan dalam bentuk tabel, grafik dan diagram untuk kemudian dianalisis secara deskriptif. Analisis Rapfish dalam hal ini menggunakan algoritma ALSCAL (Fauzi dan Anna, 2002) yang pada perinsipnya membuat nilai error terkecil pada proses iterasi. Proses iterasi merupakan pengulangan penghitungan untuk melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap atribut. Secara detail prosedur analisis dengan teknik Rapfish ini akan melalui beberapa tahap sebagai berikut :

(5)

2. Analisis data pengamatan lapangan dengan studi literatur.

3. Melakukan scoring aspek keberlanjutan perikanan dengan wawancara terstruktur (pengisian kuisioner) terhadap responden.

4. Melakukan analisis Multi-Dimensional Scaling (MDS) dengan template excel untuk menentukan ordinasi dan algoritma ALSCAL untuk menentukan nilai stress.

5. Melakukan rotasi untuk menentukan posisi perikanan pada ordinasi baik dan buruk. 6. Melakukan sensitivity analysis (Leverage analysis) dan Monte Carlo analysis untuk

memperhitungkan aspek ketidakpastian.

Untuk menentukan strategi dan rekomendasi kebijakan pengelolaan perikanan tangkap skala kecil yang berkelanjutan di Kabupaten Langkat dilakukan dengan analisis SWOT. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunites), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats).

Model yang digunakan

Seluruh atribut yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisis secara multidimensi. Titik yang menjadi acuan tersebut adalah baik (good) dan buruk (bad), dimana titik ekstrim good (100) dan titik ekstrim bad (0). Kemudian dibagi menjadi empat selang kategori atau status (Susilo, 2003).

Tebel 1. Selang Indeks dan Status Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil No Selang Indek Keberlanjutan Status Keberlanjutan

1. 2. 3. 4. 0 – 25 25,01 – 50 50,01 – 75 75,01 – 100 Buruk Kurang Cukup Baik Metode MDS mempunyai tahapan sebagai berikut :

1) Standarisasi (normalisasi). Variable yang mempunyai unit dan besaran yang berbeda harus distandarisasi terlebih dahulu agar dapat dianalisis.

2) Pengukuran jarak multidimensi. Dalam penelitian ini jarak antara alat tangkap terhadap titik pusat koordinat dapat dilihat.

3) Analisis reduksi dimensi. Analisis ini juga dilakukan alogaritma ALSCAL dengan template excel. Posisi objek dalam ruang multidimensi di atas diplotkan kembali pada ruang dua dimensi.

(6)

4) Pengukuran nilai stress. Stress merupakan ‘nilai simpangan baku’ dari metode MDS. Makin kecil stress tentunya makin baik. Nilai stress terbesar yang masih dapat diterima adalah 25% (Fauzi dan Anna,2005).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan skala kecil di Kabupaten Langkat diidentifikasi berjumlah 16 jenis. Alat tangkap tersebut adalah bubu, ambai, alat penangkap kerang, alat penangkap kepiting, pukat udang, dogol (termasuk lampra), jaring insang hanyut, jaring insang tetap, jaring insang lingkar, jaring insang tiga lapis, jaring angkat, serok dan songko, rawai dasar tetap, pancing ulur, pancing cumi dan jala. Umumnya semua jenis alat ini di dapatkan di setiap kecamatan.

Hasil analisis Rapfish kelima dimensi dapat dilihat pada Gambar 1 sampai dengan 5, sedangkan atribut sensitif setiap dimensi dapat dilihat pada Gambar 1a sampai dengan 5a. Garis horizontal pada Gambar 1 sampai dengan 5 menunjukkan status keberlanjutan perikanan sesuai dengan definisi selang indeks pada Tabel 1, sedangkan garis vertikal menunjukkan perbedaan dari skor atribut atau indikator diantara kegiatan perikanan tangkap dievaluasi. Untuk menggambarkan keabsahan Rapfish secara statistik dailakukan dengan pengukuran nilai stress dan r-squared (squared correlation) dari masing-masing dimensi. Persyaratan nilai stress secara statitik haruslah kurang dari 25% sedangkan r-squared mendekati 100%.

Tabel 2. Pengukuran statistik nilai stress dan r-squared dengan MDS

No Dimensi Stress (%) r-squared (%)

1 Ekologi 21,23 92,31

2 Ekonomi 16,45 94,47

3 Sosial 17,20 91,17

4 Teknologi 19,59 88,07

5 Hukum-Kelembagaan 18,07 93,70

Sebagai contoh nilai stress yang diperoleh dari penelitian pada dimensi ekonomi sebesar 16,45%. Hal ini menurut prosedur Multidimensional Scaling (MDS) sudah memenuhi goodness of fit karena nilai stress yang diperoleh kurang dari 25% dan selang kepercayaan yang diberikan sudah cukup tinggi yakni 94,47%.

(7)

Dimensi Ekologi

Gambar 1 menunjukkan ordinansi Rapfish yang menggambarkan posisi keberlanjutan setiap alat tangkap berdasarkan indeks keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di lokasi penelitian. Ordinansi keberlanjutan keseluruhan alat tangkap berada pada selang 26-50 atau mempunyai status kurang berkelanjutan (indek keberlanjutan pada Tabel 1).

Analisis laverage (Gambar 1a) memperlihatkan bahwa atribut proporsi ikan yang dibuang, perubahan ukuran ikan yang tertangkap dalam 10 tahun terakhir dan perubahan jenis ikan yang tertangkap dalam 10 tahun terakhir merupakan atribut yang sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan perikanan skala kecil. Hal ini sangat mendasar mengingat penurunan ukuran dan jenis ikan salah satu indikasi penting bahwa telah terjadi penurunan stok ikan. Apabila hal ini dibiarkan maka kerusakan sumberdaya tidak akan dapat dicegah karena bisa saja ikan-ikan yang tertangkap merupakan ikan-ikan yang belum dewasa dan sempat memijah sehingga proses penambahan stok melalui pemijahan terhenti.

Kebijakan terkait dengan atribut sensitif tersebut adalah peningkatan selektifitas alat tangkap. Penggunaan alat tangkap yang selektif disamping bermanfaat bagi pengelolaan sumberdaya perikanan juga bermanfaat secara ekonomi, karena dengan menggunakan alat tangkap yang selektif diharapkan akan diperoleh ukuran ikan sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian ikan yang berhasil ditangkap juga merupakan ikan yang bernilai lebih tinggi walaupun jumlahnya lebih sedikit. Terkait atribut proporsi ikan yang dibuang, pada saat

Gambar 1

Posisi status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil dimensi ekologi

Gambar 1a

Analisis distribusi sensitivitas atribut pada dimensi ekologi

(8)

penelitian dilakukan tidak ditemui adanya ikan yang di buang. Ini berarti semua hasil tangkapan memiliki nilai ekonomi bagi nelayan skala kecil di lokasi penelitian.

Dimensi Ekonomi

Hasil ordinansi Rapfish seluruh alat tangkap pada dimensi ekonomi dapat dilihat pada gambar 2. Ordinansi keberlanjutan keseluruhan alat tangkap berada pada selang 51-75 atau mempunyai status cukup berkelanjutan (indek keberlanjutan pada Tabel 1).

Analisis laverage (Gambar 2a) memperlihatkan bahwa atribut alternatif pekerjaan dan pendapatan, tingkat subsidi terhadap perikanan, penerimaan keuntungan dari penerimaan dan pendapatan perkapita merupakan atribut yang dominan mempengaruhi skor keberlanjutan perikanan skala kecil yang dikaji. Oleh karena itu kebijakan hendaknya diarahkan pada pengembangan mata pencaharian tambahan/ alternatif pada saat musim paceklik (tidak bisa melaut) sehingga nelayan tidak bertumpu hanya pada sektor penangkapan ikan di laut, pengurangan pemberian subsidi, pembatasan wilayah pemasaran dan mengurangi investasi dari luar yang bersifat profit semata.

Dimensi Sosial

Hasil ordinansi Rapfish seluruh alat tangkap pada dimensi sosial dapat dilihat pada gambar 3. Ordinansi keberlanjutan keseluruhan alat tangkap pada dimensi sosial berada pada selang 51-75 atau mempunyai status cukup berkelanjutan (indek keberlanjutan pada Tabel 1).

Gambar 2

Posisi status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil dimensi ekonomi

Gambar 2a

Analisis distribusi sensitivitas atribut pada dimensi ekonomi

(9)

Analisis laverage (Gambar 3a) memperlihatkan bahwa atribut tingkat pendidikan nelayan, pengetahuan lingkungan perikanan dan partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan merupakan tiga atribut yang secara berurutan sangat berpengaruh terhadap status keberlanjutan kegiatan perikanan tangkap skala kecil. Oleh karena itu kebijakan hendaknya diarahkan pada 1) peningkatan pendidikan dan pengetahuan para nelayan sehingga dapat dengan cepat mengadopsi/menyerap informasi demi perbaikan kualitas lingkungan dan peningkatan kesejahteraan mereka, 2) peningkatan partisipasi keluarga dalam memberi nilai tambah produk perikanan.

Dimensi Teknologi

Hasil ordinansi Rapfish seluruh alat tangkap pada dimensi teknologi dapat dilihat pada gambar 4. Ordinansi Rapfish seluruh alat tangkap pada dimensi teknologi berada pada selang 26-50 atau status kurang berkelanjutan (indek keberlanjutan pada Tabel 1). Hasil analisis sensitivitas (Gambar 4a di bawah) memperlihatkan bahwa atribut selektivitas alat tangkap dan ukuran kapal penangkapan merupakan atribut yang dominan mempengaruhi keberlanjutan perikanan skala kecil. Oleh karena itu kebijakan hendaknya diarahkan pada penggunaan alat tangkap yang lebih selektif, pembatasan armada penangkapan yang melakukan penangkapan di perairan patai, penegasan zona penangkapan dan pengembangan sarana penangkapan ikan skala kecil bagi nelayan yang menggunakan sampan atau perahu tampa mesin.

Gambar 3

Posisi status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil dimensi sosial

Gambar 3a

Analisis distribusi sensitivitas atribut pada dimensi sosial

(10)

Dimensi Hukum-Kelembagaan

Hasil ordinansi Rapfish seluruh alat tangkap pada dimensi hukum-kelembagaan dapat dilihat pada gambar 5. Ordinansi keberlanjutan keseluruhan alat tangkap pada dimensi hukum-kelembagaan berada pada selang 51-75 atau mempunyai status cukup berkelanjutan (indek keberlanjutan pada Tabel 1).

Gambar 4

Posisi status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil dimensi teknologi

Gambar 4a

Analisis distribusi sensitivitas atribut pada dimensi teknologi

Gambar 5

Posisi status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil dimensi hukum-kelembagaan

Gambar 5a

Analisis distribusi sensitivitas atribut pada dimensi hukum-kelembagaan

(11)

Hasil analisis sensitivitas (Gambar 5a) memperlihatkan bahwa atribut demokrasi dalam penentuan kebijakan, ketersediaan peraturan informal pengelolaan perikanan dan ketersediaan peran tokoh masyarakat lokal merupakan atribut yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil. Oleh karen itu kebijakan hendaknya diarahkan pada melibatkan nelayan dalam penentuan kebijakan dan meningkatkan peran dari keberadaan tokoh masyarakat lokal dalam pelestarian ekologi dan sumber daya ikan (SDI). Peran kelembagaan serta tokoh masyarakat lokal menjadi salah satu faktor kunci keberhasilan pengelolaan sumberdaya perikanan, seperti sasi di Maluku, awig-awig di Lombok Barat, panglima laut di Aceh

Simulasi Monte Carlo kelima dimensi Rapfish

Simulasi Monte Carlo dalam Rapfish diperlukan untuk mengatasi aspek ketidakpastian. Menurut Fauzi dan Anna (2005), ketidakpastian ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain dampak kesalahan skoring akibat minimnya informasi, dampak dari keragaman dalam skoring akibat perbedaan penilaian, kesalahan dalam data entry dan tingginya nilai stress yang diperoleh. Hasil simulasi Monte Carlo dengan 25 kali ulangan pada setiap dimensi dapat dilihat pada Gambar 6a,6b,6c,6d dan 6e. Hasil simulasi Monte Carlo ini menunjukkan bahwa indeks keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Langkat berkumpul di satu titik, walaupun dengan pola yang menyebar pada masing-masing alat tangkap pada tiap dimensi. Artiya dengan 25 kali pengulangan, beberapa faktor ketidakpastian hasil analisis Rapfish di atas masih dapat digunakan dalam penentuan status keberlanjutan sesuai dengan kaidah MDS (multidimentional scaling).

(12)

Gambar 6. Hasil sumulasi Monte Carlo dari setiap dimensi

Status Kerberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil di Kabupaten Langkat

Perbedaan nilai status keberlanjutan dari kelima dimensi di wilayah penelitian diperlihatkan pada gambar diagram layang di bawah ini.

Diagram layang status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil berdasarkan lima dimensi Analisis Rapfish pada lima dimensi menunjukkan indek keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Langkat cukup berkelanjutan, dengan nilai rata

berada pada selang 51-75.

menunjukkan status keberlanjutan yang semakin bagus, sebaliknya jika semakin ke dalam (mendekati titik 0) menunjukkan status keberlanjutan yang semakin buruk

pada setiap dimensi memperlihatkan bahwa di antara kelima dimensi dalam penelitian ini ternyata dimensi teknologi dan ekologi merupakan dimensi yang

keberlanjutannya, dengan IKP < 50 yaitu 43,99 dan 49,02 Hukum-Kelembagaan

. Hasil sumulasi Monte Carlo dari setiap dimensi

Status Kerberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil di Kabupaten Langkat

Perbedaan nilai status keberlanjutan dari kelima dimensi di wilayah penelitian diperlihatkan pada gambar diagram layang di bawah ini.

Gambar 7

Diagram layang status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil berdasarkan lima dimensi pada lima dimensi menunjukkan indek keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Langkat cukup berkelanjutan, dengan nilai rata-rata IKP 55,79 atau . Nilai atau indeks semakin keluar (mendekati angka 100) tus keberlanjutan yang semakin bagus, sebaliknya jika semakin ke dalam (mendekati titik 0) menunjukkan status keberlanjutan yang semakin buruk

pada setiap dimensi memperlihatkan bahwa di antara kelima dimensi dalam penelitian ini dimensi teknologi dan ekologi merupakan dimensi yang paling buruk status keberlanjutannya, dengan IKP < 50 yaitu 43,99 dan 49,02 (kurang berkelanjutan).

49.02 65.54 63.02 57.4 43.99 0 20 40 60 80 Ekologi Ekonomi Sos ial Teknologi Hukum-Kelembagaan

. Hasil sumulasi Monte Carlo dari setiap dimensi

Status Kerberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil di Kabupaten Langkat.

Perbedaan nilai status keberlanjutan dari kelima dimensi di wilayah penelitian

Diagram layang status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil berdasarkan lima dimensi pada lima dimensi menunjukkan indek keberlanjutan perikanan tangkap

rata IKP 55,79 atau Nilai atau indeks semakin keluar (mendekati angka 100) tus keberlanjutan yang semakin bagus, sebaliknya jika semakin ke dalam (mendekati titik 0) menunjukkan status keberlanjutan yang semakin buruk. Analisis Rapfish pada setiap dimensi memperlihatkan bahwa di antara kelima dimensi dalam penelitian ini paling buruk status (kurang berkelanjutan).

(13)

Analisis SWOT Untuk Rekomendasi Strategi dan Kebijakan

Hasil analisis SWOT yang dilakukan dengan metode skoring terhadap atribut-atribut paling sensitif /atribut kunci pada setiap dimensi, didapatkan 12 rekomendasi strategi kebijakan, yakni :

1. Meningkatkan partisipasi mayarakat dengan kelembagaan lokal dalam pelestarian sumber daya perikanan dan kelautan.

2. Penguatan kelembagaan lokal dalam pemantauan/ pengawasan kerusakan ekosistem, pencemaran perairan serta jalur penangkapan khusunya pukat langge

3. Mengembangkan partisipasi nelayan dan tokoh masyarakat dalam penentuan kebijakan dan pengelolaan SDI yang berkelanjutan

4. Mengembangkan alat tangkap yang selektif agar jenis dan ukuran ikan yang tertangkap sesuai dengan kebutuhan pasar

5. Peningkatan sosialisasi peraturan perundangan dan penegasannya dalam operasionalisasi pemantauan/ pengawasan jalur penangkapan khusunya pukat langge 6. Pengembangan sarana dan prasarana penangkapan ikan skala kecil yang tepat guna

(mengurangi subsidi)

7. Mengelola komitmen nelayan menuju pola hidup yang lebih baik 8. Peningkatan taraf pendidikan formal dan non-formal nelayan

9. Mengembangkan usaha pengolahan ikan dan parawisata bahari sebagai mata pencaharian alternatif

10. Penambahan jumlah personil, sarana dan prasarana penegakan hukum

11. Meningkatkan produksi perikanan dengan pengembangkan usaha perikanan tangkap skala kecil

12. Pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir melalui koperasi SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Analisis Rapfish pada lima dimensi (ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan hukum-kelembagaan) menunjukkan status cukup berkelanjutan (IKP rata-rata 55,79 atau berada pada selang 51-75).

(14)

2. Atribut/ faktor yang paling berpengaruh adalah selektivitas alat tangkap dan ukuran kapal penangkapan (dimensi teknologi). Menurunnya jenis dan ukuran ikan hasil tangkapan 10 tahun terakhir (dimensi ekologi). Alternative pekerjaan dan pendapatan serta tingkat subsidi terhadap perikanan (dimensi ekonomi). Tingkat pendidikan nelayan, pengetahuan lingkungan perikanan dan partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan (dimensi sosial). Demokrasi dalam penentuan kebijakan, ketersediaan peraturan informal pengelolaan perikanan dan ketersediaan peran tokoh masyarakat lokal (dimensi hukum-kelembagaan).

3. Hasil analisis SWOT didapatkan duabelas rekomendasi startegi kebijakan. Prioritas utama adalah meningkatkan partisipasi mayarakat dengan kelembagaan lokal dalam pelestarian sumber daya perikanan dan kelautan.

Saran

1. Penggunaan teknik Rapfish dalam penelitian ini dapat menjawab persoalan yang terjadi, tapi dalam penelitian sejenis dikemudian hari atribut dari masing-masing dimensi dapat lebih diperkaya.

2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait analisis dugaan stok SDI, MSY dan analisis usaha masing-masing alat tangkap, sehingga secara teknis konsep pengelolaan dapat lebih dipertajam.

3. Perlu segera ada instrumen kebijakan untuk mengatasi keadaan sumberdaya perikanan yang sudah mencapai tangkap lebih (over exploited, dan over harvested) agar sumberdaya perikanan tetap berkelanjutan.

4. Rekomendasi strategi kebijakan hasil penelitian ini perlu didukung regulasi yang demokratis bagi semua pihak khususnya nelayan, kelembagaan lokal dan tokoh masyarakat untuk pengelolaan perikanan tangkap skala kecil yang berkelanjutan.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan.2006. Indikator Kinerja Sektor Kelautan dan Perikanan Volume I: Potensi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. BBRSE. Jakarta. Hal 105-107.

Charles, T. 2001. Sustainable Fisheriy System. Blackwell Science.UK.

Dinas Perikanan dan Kelautan Kab.Langkat. 2010. Data Base Perikanan dan Kelautan Kabupaten Langkat 2010. Stabat.

Hermawan,M.2006. Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil (Kasus Perikanan Pantai di Serang dan Tegal. Disertasi S3 Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.

FAO.1999. Indicator for Sustainable Development of Marine Capture Fisheries. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries. FAO of The United Nation. Rome. Fauzi, A. dan S.Anna. 2002. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan :

Aplikasi Pendekatan Rapfish (Studi Kasus Perairan DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan Lautan Vol. 4 (3). pp: 43-55.

Fauzi, A dan S.Anna. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.

Undang-Undang No.45 tahun 2009. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Jakarta.

Pitcher, T.J. and D. Preikshot. 2001. RAPFISH : A Rapid Appraisal Technique to Evaluate The Sustainability Status of Fisheries. Fisheries Research Report, Fisheries Center University of British Columbia, Vancouver.

Pitcher, T.J. 1999. Rapfish, A Rapid Appraisal Technique for Fisheries, And Its Application to the Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO Fisheries Circular No. 947:47 pp.

Rangkuti, F. 1999. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Rubin, R.S.,and D.J.Luck. 1987. Marketing Research. seventh edition. Prentice-Hall Inc. New Jersey.

Smith. I.R. 1983. A Research Framework for Traditional Fisheries. International Center for Living Aquatic Resources Management (ICLARM), Manila.

Susilo, S. B. 2003. Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil : Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan

Gambar

Tabel 2. Pengukuran statistik nilai stress dan r-squared dengan MDS
Gambar 1 menunjukkan ordinansi Rapfish yang menggambarkan posisi keberlanjutan setiap alat tangkap berdasarkan indeks keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di lokasi penelitian
Diagram layang status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil berdasarkan lima dimensi Analisis Rapfish pada lima dimensi menunjukkan indek keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Langkat cukup berkelanjutan, dengan nilai rata

Referensi

Dokumen terkait

The 7 blood samples were subjected to 17 procedures different in harvesting (with or without washing), slide preparation (smear and spot method, and using a cytocentrifuge),

[r]

Berdasarkan penelitian hasil yang didapatkan adalah manajemen bandwidth dibuat konfigurasi Simple Queues dengan cara di bagi menjadi 3 kelompok yaitu: bandwidth untuk LAB

Menjabarkan prinsip-prinsip penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar sesuai dengan karakteristik mata pelajaran yang diampu... A B C D E

[r]

a) Sesuai dengan peraturan, berarti setiap pelaksanaan kebijakan harus sesuai dengan peraturan yang berlaku. b) Sesuai dengan petunjuk pelaksana, berarti pelaksanaan dari

Durkheim (Abdullah &amp; A. C., 1986) mendefinisikan kesadaran kolektif sebagai berikut, yaitu seluruh kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah

Hasil penelitian yang dilakukan prosentase tertinggi intensitas nyeri disminorea sebelum dilakukan stimulasi kutaneus (slow stroke back massage) Pada Siswi Kelas VII MTS