• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Eksistensi Hutan Tanaman Industri (HTI) dimulai sejak tahun 1990 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1990 tentang Hutan Tanaman Industri. Sampai saat ini, keberadaan HTI sebagai salah satu skema pengelolaan hutan masih dipertahankan dan dijamin oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan menyatakan bahwa Hutan Tanaman Industri (HTI). Berdasarkan peratuan ini HTI didefinisikan sebagai hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok industri kehutanan untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. Statistik Kehutanan Indonsesia Tahun 2013 menyebutkan bahwa sampai Tahun 2012 terdapat 238 unit usaha HTI yang mencakup luasan sebesar 9,83 juta ha. Sebagian besar HTI ini memilik komoditas utama berupa kayu yang diarahkan sebagai bahan baku utama industri perkayuan dan industri bubur kayu (pulp).

Kayu adalah hasil dari proses pertumbuhan pohon atau tegakan yang telah ditanam dan dipelihara dalam jangka waktu tertentu yang pada umumnya relatif panjang. Rentang waktu proses pertumbuhan yang relatif panjang akan menyebabkan pengelolaan HTI menjadi kompleks dan beresiko tingggi sehingga memerlukan sebuah strategi yang tepat, baik dalam budidaya hutan, pemanenan, penanganan resiko, pengelolaan investasi maupun pemasaran hasilnya. Permasalahan ini menjadi makin berat manakala muncul tuntutan bahwa selain meningkatkan produktifitas hutan, sebuah HTI harus mampu mempertahankan keberadaan hutannya untuk menjaga fungsi konservasinya.

(2)

2

Saat ini dan ke depannya, otoritas pengelola hutan Indonesia (Kementerian Kehutanan Republik Indonesia) mewajibkan kepada seluruh pengelola hutan tanaman untuk mengimplementasikan prinsip kelestarian di setiap aspek-aspek pengelolaannya. Dalam konteks pembangunan negara (state development), prinsip kelestarian ini dimaknai sebagai perwujudan upaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini dengan mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya bagi generasi mendatang. Di bidang kehutanan, prinsip ini didefinisikan sebagai upaya untuk memperoleh produksi hasil hutan pada tingkatan tertentu dengan tidak meninggalkan kerusakan pada produktifitas sumber daya hutannya. Prinsip-prinsip ini dijabarkan menjadi norma, standar dan kriteria kelestarian setiap aspek pengelolaannya melalui Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor P.8/VI-BPPHH/2011 Tanggal 30 Desember 2011Tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu.

Salah satu prinsip dasar pengelolaan hutan yang dijadikan dasar perumusan norma, standar dan kriteria ini adalah prinsip penataan kawasan dan pengaturan hasil hutan lestari (sustainable yield regulation). Prinsip penataan kawasan hutan lestari diwujudkan dengan mengorganisasi kawasan hutan sedemikian hingga bisa memungkinkan pelaksanaan kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan yang efektif, efisien dan berkesinambungan dalam upaya menyediakan hasil hutan yang relatif stabil dalam jangka waktu sepanjang mungkin. Pada tataran praktisnya, pengorganisasian kawasan ini dilakukan dengan membagi kawasan hutan menjadi unit-unit kelestarian. Pembagian kawasan ini diatur sedemikian rupa sehingga setiap unit memiliki ukuran luas yang memungkinkan pengelola untuk melaksanakan seluruh kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan lestari secara berkesinambungan. Sinambungnya kegiatan-kegiatan pengelolaan ini akan memungkinkan sistem produksi hutan untuk memberikan hasil hutan secara terus-menerus dengan jumlah yang memadai dalam jangka waktu sepanjang mungkin.

Pada tataran operasional di tingkat unit kelestarian, penataan kawasan dilakukan dengan membaginya ke dalam unit-unit manajemen terkecil yang seringkali diistilahkan dengan kompartemenisasi (mempartisi kawasan unit kelestarian ke dalam kompartemen/petak sebagai satuan-satuan manajemen terkecil). Sebagai sebuah unit

(3)

3

manajemen terkecil, pada tiap petak ini akan diimplementasikan seluruh aspek pengelolaan hutan (perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi).

Salah satu aspek pengelolaan hutan yang menjadi dasar keseluruhan perencanaan kegiatan pengelolaan hutan lestari adalah pengaturan hasil hutan yang seringkali disinonimkan dengan penjadwalan tebangan. Kegiatan ini ditujukan untuk memperoleh keluaran berupa sebuah jadwal tebangan yang handal dan dapat digunakan sebagai acuan atau masukan bagi kegiatan-kegiatan pengelolaan lainnya sedemikian hingga mampu menjaga produksi hutan dan keberadaan hutan untuk kepentingan lainnya.

Penjadwalan tebangan pada dasarnya adalah alokasi kegiatan tebangan menurut tempat dan waktu untuk memenuhi tujuan-tujuan tertentu di dalam batasan prinsip kelestarian. Khusus pada pengelolaan hutan tanaman, penjadwalan tebangan didefinisikan sebagai alokasi waktu/periode kegiatan tebangan pada tiap kompartemen/petak dalam jangka pengelolaan tertentu. Dalam konteks optimasi, penjadwalan tebangan di hutan tanaman (yang telah tertata) dapat dipandang sebagai permasalahan optimasi kombinatorial.

Optimasi menjadi semakin kompeks dikarenakan sangat luasnya kawasan, sangat beragamnya kondisi lahan dan tegakan, dan panjangnya waktu yang diperlukan untuk berproduksi. Sampai saat ini, penjadwalan tebangan masih merupakan permasalahan utama manajemen hutan. Banyak kasus penurunan produktifitas hutan tanaman atau kegagalan bisnis hutan tanaman di Indonesia berawal dari jadwal tebangan yang tak andal. Sumber dari ketidakandalan ini adalah keterbatasan kapasistas metode penjadwalan yang diterapkan dan rendahnya dukungan ketersediaan informasi pertumbuhan tegakan.

Jadwal tebangan yang andal, yang mampu menjamin kestabilan produktifitas tegakannnya, hanya mungkin diperoleh apabila tersedia informasi mengenai variasi perilaku pertumbuhan tegakan. Untuk kepentingan teknis penjadwalan, perilaku pertumbuhan tegakan diperoleh dari berbagai metode peramalan. Pengalaman dalam pengelolaan hutan tanaman di Indonesia menunjukkan bahwa perangkat dan metode peramalan potensi tegakan masih sangat terbatas. Kondisi ini seringkali memaksa perencana jadwal tebangan untuk melakukan peramalan berdasarkan intuisi dan pengalaman empiris dengan hasil proyeksi yang tak terjamin keandalannya.

(4)

4

Perangkat peramalan potensi tegakan di Indonesia pada umumnya berupa tabel tegakan atau model pertumbuhan yang dibangun melalui studi pertumbuhan dan hasil. Model-model pertumbuhan yang ada umumnya adalah model empiris hasil analisis statistik (biasanya adalah analisis regresi) dari data serial hasil studi ini. Namun demikian, sampai saat ini ketersediaan model yang andal masih sangat terbatas dan bersifat lokal (hanya bisa berlaku di kawasan tertentu). Ketersediaan data series dan keterbatasan kapasitas pemodelan merupakan permasalahan yang belum teselesaikan.

Penerapan analisis statistik untuk peramalan potensi tegakan, biasanya dibatasi oleh ketersediaan fungsi matematis tertentu. Pada kondisi yang relatif kompleks, pemaksaan penerapan fungsi matematis ini sebagai landasan pemodelan menjadikan model penurunan kualitasnya. Di sisi lain pemodelan yang menerapkan pendekatan lain seperti sistem dinamik, masih belum mampu diterapkan karena tingkat kerumitan yang sangat tinggi baik dalam hal penyediaan data, proses analisis maupun interpretasi hasil analisisnya.

Salah satu metode peramalan yang belum pernah diterapkan di kehutanan tetapi telah diterapkan pada bidang lain adalah model fuzzy Takagi-Sugeno-Kang (TSK). Dibandingkan dengan peramalan melalui analisis statistik, model fuzzy TSK tergolong lebih luwes karena tidak tergantung pada ketersediaan fungsi matematis yang menjadi dasar pemodelan. Berbeda dengan pendekatan statistik (yang diterapkan sampai saat ini), pada pemodelan fuzzy TSK, peran fungsi matematis ini digantikan oleh serangkaian kaidah untuk mendukug proses smoothing piecewise linear relations. Serangkaian kaidah ini merupakan implikasi yang dapat dibangun dari faktor-faktor yang diduga mempengaruhi pada pertumbuhan tegakan. Penyusunan kaidah ini cenderung lebih mudah dipahami karena didasarkan pada bahasa alami, sehingga mempermudah menterjemahkan pola dinamika tegakan, baik berdasarkan teori maupun pengalaman, pada proses pembangunan model.

Dalam hal eksplorasi jadwal tebangan dan pemilihannya, salah satu metode optimasi yang relatif efisien dan dapat diterapkan adalah pencarian tabu (tabu search). Metode ini sering dimanfaatkan untuk kepentingan penjadwalan dan alokasi sumber daya di berbagai bidang termasuk di kehutanan. Pengalaman dari penerapan pada bidang-bidang lain, memperlihatkan bahwa metode ini mampu menghasilkan solusi

(5)

5

yang mendekati optimum global. Integrasi metode pencarian tabu ini dengan model TSK diharapkan dapat mengefektifkan proses eksplorasi jadwal tebangan untuk mendapatkan jadwal tebangan yang lebih baik yang pada akhirnya akan memperbaiki kualitas pengelolaan hutannya.

1.2. Perumusan Masalah

Saat ini sistem penjadwalan tebangan hutan ditentukan berdasarkan daur tunggal, yang seringkali tidak didasarkan pada karakter pertumbuhan tegakannya, dan mengabaikan ragam dinamika tegakan ditiap unit manajemen (blok atau kompartemen). Pengabaian ragam ini akan berdampak pada dinamika sumber daya hutan yang fluktiuatif dan tak terkendali. Banyak kasus penurunan produktifitas hutan tanaman atau kegagalan bisnis hutan tanaman di Indonesia berawal dari jadwal tebangan yang tak andal. Sistem penjadwalan tebangan yang ada perlu diperbaiki, namun demikian perbaikan sistem penjadwalan tebangan saat ini terkendala oleh ketebatasan metode dan perangkat pengambilan keputusan penentuan tebangan yang mampu mengakomodasi kompleksitas dinamika tegakan pada unit manajemennya .

1.3. Batasan Masalah

Penelitian ini dibatasi oleh ; a. Sasaran optimasi.

Sasaran optimasi adalah unit kelestarian hutan tanaman industri sebagai penghasil bahan baku serpih (pulp) yang telah tertata. Ketertataan hutan ditunjukkan oleh adanya kompartemenisasi yang tak berubah (permanen ) sampai akhir jangka pengelolaannya.

b. Tujuan optimasi

Pengelolaan hutan tanaman sebenarnya memiliki banyak tujuan yang dapat dikelompokkan menjadi 1) tujuan produksi, memaksimumkan hasil produksi kayu lestari, 2) tujuan konservasi, mempertahankan fungsi hutan untuk perlindungan alam dan 3) peningkatan kesejahteraan masyarakat

(6)

6

sekitar hutan. Pada penelitian ini, dipilih tujuan yang harus ada di setiap skema pengelolaan hutan produksi, yaitu : maksimasi total produksi kayu

dalam jangka pengelolaan, dengan produksi kayu tahunan yang relatif tidak fluktutatif atau mengalami penyusutan..

c. Variabel keputusan

Tipe variabel keputusan adalah tipe variabel integer yang dipilih berdasarkan sifat optimasi yang dilakukan yaitu optimasi diskrit dan kemampuannya dalam merepresentasikan sebaran tebangan menurut waktu dan tempat. d. Teknis komputasi

o Model fuzzy TSK dibangun berdasarkan identifikasi premis dan parameter premis secara manual, sedangkan identifikasi parameter konsekuen dilakukan dengan metode kuadrat terkecil.

o Indeks performa model menggunakan Root Mean Square Error (RMSE). o Pencarian tabu menggunakan solusi awal yang ditentukan dengan

simulasi penentuan umur tebang optimum, operasi move adalah

neighborhood search, aspirasi treshold adalah nilai fungsi tujuan yang

telah memperhitungkan penalty-nya, dan terminasi pencarian adalah jumlah iterasi.

1.4. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang penerapan metode komputasi untuk pengambilan keputusan penjadwalan tebangan hutan tanaman di Indonesia masih sangat jarang dilakukan. Berbeda dengan kondisi di Indonesia, di beberapa negara yang telah maju pengelolaan sumber daya hutannya, telah banyak dilakukan penelitian semacam ini terutama yang menerapkan riset operasi dan metode heuristik.

Hotvedt dan James (1982), menerapkan goal programming (GP) untuk penjadwalan tebangan dengan tujuan untuk meminimalkan deviasi tebangan dari target yang diinginkan, memaksimumkan aliran kas dan meminimumkan biaya tebangan.

(7)

7

John dan Calum (1988), memanfaatkan Liniear Programming (LP) untuk mengoptimumkan produksi kayu dari kombinasi 8 skenario penebangan hutan dengan meminimumkan run-off yang terjadi akibat proses penebangan.

Lockwood dkk (1992) menerapkan simulated annealling (SA) untuk menyelesaikan masalah penjadwalan tebangan jangka panjang dengan tujuan meminimumkan deviasi tebangan terhadap target yang telah ditetapkan sebelumnya, pelanggaran terhadap hal ini dengan biaya penalti. Metode pencarian tabu diterapkan Bettinger dkk (1997) untuk menyelesaikan permasalahan penjadwalan tebangan berskala besar yang melibatkan kendala temporal dan spasial terkait dengan habitat satwa liar. Bettinger (1999) menyajikan penyempurnaan kinerja pencarian tabu untuk masalah penjadwalan tebangan. Pada penelitian ini dikaji efektivitas pemanfaatan 1-opt dan 2-opt moves sebagai neiborhood function. Sementara, Permadi (2006) menerapkan algoritma genetika untuk penjadwalan tebangan di hutan jati di Jawa.

Penelitian-penelitian penjadwalan tebangan di muka pada umumnya menerapkan tabel tegakan atau model matematis sebagai piranti penduga dinamika pertumbuhan tegakan (hutan). Pada penelitian ini dicoba diterapkan model fuzzy Takagi-Sugeno-Kang yang diintegrasikan metode pencarian tabu untuk memperoleh jadwal tebang optimum, dengan demikian diharapkan bisa memberikan keyakinan akan keaslian penelitian ini.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat berikut.

a. Manfaat langsung, yaitu tersusunnya alternatif sistem aplikasi penjadwalan tebangan yang akan mempermudah proses eksplorasi alternatif jadwal tebangan dan kemudahan untuk menentukan jadwal tebangan optimum dan andal.

b. Manfaat tidak langsung yang berupa multiplier effect perbaikan penjadwalan tebangan. Keluaran dari sistem penjadwalan tebangan merupakan masukan bagi perencanaan lainnya seperti alokasi anggaran, teknis penanaman dan penebangan, alokasi sumber daya manusia dan lain-lain. Dengan demikian perbaikan sistem penjadwalan akan diikuti dengan peningkatan kualitas perencaanan lainnya dan aspek-aspek manajemen hutan lainnya.

(8)

8

c. Kehadiran keluaran penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi penerapan model

fuzzy TSK dan teknik pencarian tabu untuk penjadwalan tebangan pada

pengusahaan hutan lainnnya seperti penjadwalan tebangan hutan tanaman multi spesies, multi komoditas, multifungsi, baik dalam kondisi dengan resiko atau tanpa resiko.

1.6. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah membangun sistem penjadwalan tebangan hutan tanaman industri yang lebih produktif dan lebih menjamin kelestarian sumber daya hutan, melalui penerapan pencarian tabu untuk menentukan alokasi tebangan dan pemodelan fuzzy Takagi-Sugeno-Kang untuk prediksi dinamika tegakannya.

1.7. Metode Penelitian

Penelitian ini menerapkan metode perancangan aplikasi Waterfall Life Cycle

Workflow yang mencakup tahapan :

a. Identifikasi persyaratan aplikasi

Tahapan ini dilakukan untuk mengidentifikasi domain informasi perangkat lunak seperti fungsi, perilaku, kinerja dan yang terpenting adalah identifikasi pengguna dan permasalahannya yang akan diselesaikan. Pada pelaksanaannya, tahapan ini dilakukan melalui

o Studi pustaka o Wawancara

Wawancara dilakukan dengan pengguna atau narasumber yang berlansung secara lisan mengenai prinsip, peran, prosedur dan permasalahan penjadwalan tebangan serta hal-hal yang diperlukan untuk pembangunan aplikasinya. Pengguna atau Narasumber ini mencakup pihak-pihak yang melakukan penelitian pertumbuhan, manajer produksi hutan tanaman industri, bagian perencanaan hutannya dan pakar manajemen hutan produksi.

(9)

9

o Analisis sistem

Analisis sistem dilakukan terhadap sistem penjadwalan tebangan hutan tanaman industri. Kegiatan utama analisis ini adalah mendeskripsikan sistem yang berlaku mencakup batasan sistem dan environment, permasalahan dan kelemahannya serta hal-hal yang diperlukan untuk pengembangannya.

b. Perancangan sistem aplikasi

Proses perancangan sistem yang meliputi : perancangan arsitektur dari aplikasi, perancangan database, dan perancangan sistem komputasi.

c. Implementasi

Implementasi mencakup perancangan detail dan coding. Pada penelitian ini rancangan sistem aplikasi diimplementasikan dengan MS. Visual Basic 0.6

d. Pengujian

Pengujian yang dilakukan mencakup :

o Pengujian akurasi model, dilakukan dengan menghitung RMSE model.

o Pengujian efektifitas proses penjadwalan. Pengujian ini dilakukan dengan mengkomparasikan hasil tebangan, stabilitas sediaan dan stabilitas tebangan hasil optimasi dengan penjadwalan yang telah dilakukan.

1.8. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun berdasarkan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang diadakan penelitian meliputi perumusan masalah, batasan masalah, keaslian penelitian dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, tujuan penelitian dan metode penelitian.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini mengkaji penelitian-penelitian lain yang memiliki kemiripan topik i dan penegasan perbedaannya dengan penelitian in

(10)

10

BAB III. LANDASAN TEORI

Bab ini menyajikan landasan teori dari penjadwalan tebangan, sistem proyeksi tegakan, model fuzzy TSK dan pencarian tabu. BAB IV. RANCANGAN SISTEM

Bab ini membahas proses perancangan sistem penjadwalan tebangan mengacu pada landasan teoritisnya.

BAB V. IMPLEMENTASI

Pada bab ini dibahas implementasi dan pembahasan dari uraian yang ada pada BAB IV

BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengujian dari penerapan sistem ini dalam problema nyata untuk mengidentifikasi keandalan dan kelemahannya. BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN

(11)

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pencarian Tabu dan Penjadwalan Tebangan

Glover (1995) menyatakan bahwa pencarian tabu adalah salah satu metode metaheuristik yang menuntun prosedur pencarian heuristik lokal untuk mengeksplorasi ruang solusi yang berada di atas optimum lokalnya. Disebutkan pula oleh Glover (1995) keberhasilan-keberhasilan pemanfaatan metode ini pada berbagai bidang termasuk didalamnya yang terkait dengan penjadwalan.

Puspitasari (2008) menerapkan metode pencarian tabu ini pada penjadwalan kuliah dan ujian. Terdapat dua tipe kendala yang diterapkan pada penjadwalan kulaiah, yaitu hard constraint dan soft constraint. Hard constraint didefinisikan sebagai

constraint wajib yang harus dipenuhi dalam proses perhitungan algoritma. Sebuah

solusi hanya dapat dikatakan sah dan valid apabila dalam solusi tersebut sama sekali tidak ada hard constraint yang terlanggar. Berbeda dari hard constraint, kendala yang termasuk dalam kategori soft constraint adalah kendala yang tidak selalu dapat terpenuhi dalam proses pembentukan jadwal kuliah. Meskipun harus tidak terpenuhi, tetapi jadwal kuliah yang dihasilkan harus semaksimal mungkin berusaha memenuhi ketentuan soft constraint ini. Setiap langkah yang dilakukan oleh Tabu Search diambil berdasarkan hasil perhitungan cost yang dilakukan tiap iterasi untuk memilih neighbour

solution yang akan menjadi current best solution berikutnya. Penghentian proses terjadi

apabila jumlah kelas yang terjadwal telah terpenuhi syarat atau interaksi dari user menghendaki penghentian proses.

Terkait dengan penjadwalan tebangan, Bettinger dkk (2009) menyatakan bahwa permasalahan penjadwalan tebangan adalah salah satu permasalahan dalam perencanaan manajemen sumber daya alam yang diarahkan untuk kelestarian dan melibatkan kendala-kendala yang diperlukan untuk menjamin pemanfaatan sumber daya tersebut agar tak melampaui daya dukungnya. Lebih jauh Bettinger dkk (2009), menyebutkan beberapa metode yang bisa dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan pada

Referensi

Dokumen terkait

Melalui kegiatan observasi di kelas, mahasiswa praktikan dapat. a) Mengetahui situasi pembelajaran yang sedang berlangsung. b) Mengetahui kesiapan dan kemampuan siswa dalam

Dua hal yang dipelajari penulis dengan pendekatan kemosistematika dalam peng- amatan adalah: (1) ketetapan karakter pada kelompok besar tetumbuhan yang memiliki arti dalam

Penelitian ini berjudul Pola Komunikasi Masyarakat Kampung Bali, yang penelitiannya meliputi wawancara pada Masyarakat Suku Bali di Desa Cipta Dharma atau

Pemodelan penyelesaian permasalahan penjadwalan ujian Program Studi S1 Sistem Mayor-Minor IPB menggunakan ASP efektif dan efisien untuk data per fakultas dengan mata

Pendekatan dapat diartikan sebagai metode ilmiah yang memberikan tekanan utama pada penjelasan konsep dasar yang kemudian dipergunakan sebagai sarana

Audit, Bonus Audit, Pengalaman Audit, Kualitas Audit. Persaingan dalam bisnis jasa akuntan publik yang semakin ketat, keinginan menghimpun klien sebanyak mungkin dan harapan agar

Perbandingan distribusi severitas antara yang menggunakan KDE dengan yang menggunakan suatu model distribusi tertentu dilakukan untuk melihat secara visual, manakah dari

61 Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa dilema yang Jepang alami pada saat pengambilan keputusan untuk berkomitmen pada Protokol Kyoto adalah karena