• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengkajian Kitab Akidah di Pesantren Oleh: Moh. Asror Yusuf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengkajian Kitab Akidah di Pesantren Oleh: Moh. Asror Yusuf"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Moh. Asror Yusuf∗ Abstrak

Dalam bukunya, Kitab Kuning, Martin menyatakan bahwa kitab-kitab tauhid (akidah) kurang menonjol dalam kurikulum pesantren. Intensitas kajian tentang akidah jauh lebih sedikit dibanding dengan kajian tentang fikih. Mungkin saja ini terjadi karena adanya anggapan pesantren bahwa besarnya minat akan masalah-masalah akidah hanya akan membawa kekafiran. Maka dari itu pula karya-karya tentang akidah yang dipelajari di pesantren semata-mata pemaparan tentang ajaran Asy’ariyah.

Kitab-kitab akidah yang dipelajari di pesantren umumnya adalah Umm al-Barahin, Dasuqi, Syarqawi, Kifayat al-’awam, Tahqiq al-Maqam ‘ala Kifayat al-’awam, Tijan al-Darari, ‘Aqidat al-’awam, Nur al-Zhalam, Jauhar al-Tauhid, Tuhfat al-Murid, Fath al-Majid, Jawahir al-Kalamiyyah, Husnun al-Hamidiyah, ‘Aqidat al-Islamiyyah. Kitab-kitab ini banyak mengutip pendapat Imam Asy’ari dan Abu Mansur Maturidi, Imam Ahmad ibn Hanbal, al-Suhaimi, Abu Ishaq al-Isfaraini, Imam al-Haramain (al-Juwaini), al-Baqillani, Sa’d al-Taftazani, dan Fakhr al-Din al-Razi. Kesemua ulama ini diklaim sebagai kelompok ahl sunnah.

Kata kunci: kitab kuning, akidah, pesantren

A. Pendahuluan

Kitab kuning tidak bisa dipisahkan dengan pesantren.

Keberadannya hampir-hampir menyatu dengan pesantren, menjadi ciri utama dan pembeda antara pesantren dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Sejak tumbuhnya pesantren, pengajaran kitab-kitab kuning telah diberikan, sebagai upaya untuk calon-calon ulama yang setia dan memegangi paham-paham tradisional. Kitab kuning seakan menjadi ciri khas dari pesantren itu sendiri. Apabila pesantren tidak lagi mengajarkan kitab kuning dalam pengajian-pengajiannya, tampaknya keaslian pesantren tersebut menjadi kabur, dipertanyakan, dan lebih tepat disebut sebagai perguruan atau madrasah dengan sistem asrama.

Di kalangan pesantren, kedudukan kitab kuning saling melengkapi dengan kedudukan kyai. Kitab kuning merupakan himpunan kodifikasi tata nilai yang dianut masyarakat pesantren, sementara kyai adalah personifikasi dari sistem tata nilai tersebut. Keduanya hampir-hampir tak

(2)

terpisahkan. Seorang kyai baru dapat disebut kyai jika ia benar-benar telah memahami dan mendalami ‘ajaran’ yang terdapat dalam kitab kuning, dan

mengamalkannya dengan penuh kesungguhan.1

Kitab-kitab kuning yang biasa dikaji di pesantren, atau yang lazim disebut dengan kitab-kitab standard (al-kutub al-muqarrarah) dapat digolongkan menjadi delapan kelompok: (1) Nahwu (Syntax) dan Sharaf (Morfologi); (2) Fikih; (3) Ushul fiqh; (4) Hadits; (5) Tafsir; (6) Tauhid; (7)

Tasawuf dan Etika; (8) cabang-cabang lain seperti Tarikh dan Balaghah.2

Kitab akidah/tauhid dalam pengkajiannya di pesantren kurang diperhatikan dan lebih diutamakan fikih. Kurangnya penekanan terhadap kitab-kitab akidah/tauhid mungkin saja karena memang Islam lebih banyak memperhatikan masalah praktis daripada masalah keyakinan, lebih banyak berkaitan dengan hukum dari pada teologi, terbukti hanya satu dari lima rukun Islam yang secara eksplisit berkaitan dengan keyakinan. Menurut Schacht, orang Islam lebih sering terlibat konflik dengan sesama

mereka karena persoalan hukum daripada karena persoalan teologi.3

Akidah yang mencakup pokok-pokok keimanan sehingga seringkali disebut ushul al-din mestinya harus diperdalam sebab keimananan merupakan fundamen bagi bangunan Islam. Anehnya, bidang yang pokok ini justru kurang diperhatikan dibanding bidang yang furu’ (cabang) seperti fikih. Hal ini, menurut Nurcholish Madjid, dikarenakan kaitan antara akidah dengan struktur kekuasaan kecil saja dibandingkan dengan kaitan fikih. Kemungkinan juga, bagi bidang yang disebut ilmu kalam ini membuka pintu bagi pemikiran filsafat yang kadang sangat spekulatif. Oleh karena itu, keahlian di bidang ini tampak kurang mendalam, dan cukuplah bagi ahlinya untuk menguasai kitab-kitab sederhana seperti aqidat

al-‘awam, sanusi dan kitab-kitab yang tidak begitu canggih (sophisticated).4

Meski dalam kenyataannya kitab akidah kurang begitu diperhatikan dalam pengkajian di pesantren, tulisan ini akan memaparkan kitab-kitab akidah yang sering diajarkan di pesantren, sumber rujukan dan geneologi pengajarannya. Tulisan ini diharapkan dapat meneguhkan bahwa betapapun kurangnya perhatian terhadap kitab akidah (jika dibandingkan

1Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta:

LP3ES, 1985), p. 60.

2Sembodo Aro Widodo, “Struktur Keilmuan Pesantren” dalam jurnal ISTIQRO,

(Jakarta: Ditperta, 2003), p. 7.

3Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan, Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad

XX, (Jakarta: PT Serambi, 2004), p. 93.

4Nurcholish Madjid, “Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren”,

dalam M. Dawam Rahardjo (ed.), Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985), p. 8.

(3)

dengan kitab fikih), sesungguhnya khazanah kitab akidah dalam keilmuan pesantren sangat kaya dan patut mendapatkan perhatian.

B. Kitab-kitab Akidah yang Diajarkan di Pesantren

Martin dalam bukunya, Kitab Kuning, telah membuat daftar tentang kitab-kitab kuning yang diajarkan di pesantren, mulai dari kitab akidah, fiqh dan tasawuf. Ia telah merangkum kitab-kitab kuning yang diajarkan di pesantren dari berbagai tingkatan, dan bahkan jumlah penyebarannya di masing-masing wilayah, mulai Sumatra, Kalsel, Jabar, Jateng dan Jatim.

Dalam buku ini, Martin menyatakan bahwa kitab-kitab tauhid kurang menonjol dalam kurikulum pesantren. Intensitas kajian tentang akidah jauh lebih sedikit dibanding dengan kajian tentang fiqh. Ini telah dimaklumi sebagaimana banyak kajian telah berkesimpulan seperti itu. Martin menduga, mungkin saja ini terjadi karena adanya anggapan dalam masyarakat pesantren bahwa besarnya minat akan masalah-masalah akidah

hanya akan membawa kekafiran.5 Karena itu, masih menurut Martin,

karya-karya tentang akidah yang dipelajari di pesantren semata-mata merupakan pemaparan tentang ajaran al-Asy’ari tentang sifat-sifat Tuhan dan para Nabi.

Tabel 1

Daftar Nama Kitab yang Dikaji di Pesantren Indonesia dan Pengarangnya Nama Kitab Nama Pengarang Keterangan Umm al-Barahin Abu Abdillah M. b. Yusuf

al-Sanusi (w.895/1490)

Disebut juga al-Durrah Sanusiyyah Abu Abdillah M. b. Yusuf

al-Sanusi

Syarh ‘Aqaid Khamsin Dasuqi Muhammad al-Dasuqi

(w.1230/1815)

Hasyiyah Sanusiyyah Syarqawi Abdullah al-Syarqawi

(w.1127/1812)

Kifayat al-’awam M. b. M. al-Fudhdhali

(w.1236/1821)

Isi kitab ini sebagian besar didasarkan pada al-Sanusi Tahqiq al-Maqam ‘ala

Kifayat al-’awam

Ibrahim Bajuri (w.1277/1861)

Syarah Kifayat al-’awam Tijan al-Darari Nawawi Banten Hasyiyah atas Syarah Kifayat

al-’awam ‘Aqidat al-’awam Ahmad Marzuki al-Maliki

al-Makki (aktif sekitar 1864)

Nur al-Zhalam Nawawi Banten Syarah ‘Aqidat al-’awam Nawawi mungkin kenal dengan

5Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan,

(4)

pengarang ‘Aqidat al-’awam. Jauhar al-Tauhid Ibrahim al-Laqani

(w.1041/1631)

Tuhfat al-Murid Ibrahim Bajuri Syarah Jauhar al-Tauhid Fath al-Majid Nawawi Banten Syarah Durr Farid fi ‘ilm

al-tauhid Jawahir al-Kalamiyyah Thahir b. Shalih al-Jazairi

(w.1919) Husn al-Hamidiyah Husein Efendi

al-Tarablusi (w.1909)

Kitab ini pertama kali digunakan di Indonesia pada 1930 di Sumatera Thawalib. ‘Aqidat al-Islamiyyah Basri b. H. Marghubi

Dikutip dari (Martin van Bruinessen, 1999)

Pesantren sepertinya memang belum ada sebelum abad ke-18, tapi kitab-kitab berbahasa Arab sudah dipelajari di Indonesia sebelum abad ke-18. Dari catatan yang ada, kitab akidah yang dipelajari di Nusantara antara abad ke-16 s/d 19 adalah kitab Tamhid, yang dimaksud barangkali

al-Tamhid fi Bayan al-Tauhid karya Abu Syukur al-Kasyi al-Salimi. Karya

terakhir ini memang pernah dikenal di Indonesia karena ada satu naskahnya dengan terjemahan Jawa antarbaris. Menariknya pula, karya

yang kedua ini banyak dibaca di India.6 Pada masa-masa itu karya yang

banyak dibaca adalah soal tasawuf dan tauhid. Karya fiqh juga dibaca, namun tidak begitu signifikan.

Dalam diskusi antara Jayengresmi dan tokoh-tokoh lain di Serat Centhini disebutkan ada dua puluh kitab yang dipelajari (pada awal abad ke-19); enam di antaranya kitab fiqh, sembilan kitab akidah termasuk kitab pengantar al-Samarqandi dan dua karya Sanusi yang sangat terkenal dengan berbagai syarahnya, dua kitab tafsir dan tiga kitab tasawuf. Untuk kitab al-Samarqandi adalah kitab yang berjudul Ushul 6 Bis, yaitu kitab tentang akidah karya Abu al-Laits al-Samarqandi, yang juga dikenal sebagai Asmarakandi. Karya ini terdiri dari enam bab yang masing-masing dibuka

dengan “bismillahirrahmanirrahim”.7

Lembaga Research Islam (pesantren luhur) melaporkan bahwa dalam menyiarkan Islam, Sunan Giri (Raden Paku) memakai al-Qur’an, Hadits, dan kitab Sittina’ yang mengandung hukum-hukum ibadah terutama masalah shalat. Selain itu, ia juga mengajarkan tarekat Syatthariyyah. Kemudian pada abad ke-18, pesantren di Mataram memakai kitab Ushul 6

6Ibid., p. 27. 7Ibid., pp. 28-29.

(5)

Bis, matan Taqrib, dan Bidayat al-Hidayah karangan Imam al-Ghazali dalam

ilmu akhlak.8

Dari kitab-kitab yang disebutkan Martin tersebut, tidak semuanya dikaji dalam satu pesantren di Jawa Timur. Ada beberapa alasan kenapa kitab-kitab tersebut tidak semuanya dikaji.

Pertama, seperti diketahui kurikulum pesantren yang mendominasi adalah materi fiqh, kemudian tasawuf, sementara akidah menjadi nomor berikutnya. Ini dapat dimengerti karena masyarakat pesantren juga umumnya masyarakat Jawa Timur adalah “masyarakat fiqh”, yang sangat berpegang teguh pada fiqh madzhab empat, khususnya madzhab Syafi’i.

Di samping kitab fiqh terutama yang mendominasi adalah pengkajian kitab alat (nahwu-sharaf) yang mengkaji tata bahasa Arab. Para santri pemula biasanya mendapatkan materi kitab alat ini banyak sekali, sehingga kajian mereka terhadap masalah akidah tidak terlalu diutamakan. Karena banyaknya kitab fiqh dan kitab alat yang dikaji oleh para santri, kitab-kitab akidah tidak dapat semuanya dikaji.

Kedua, adanya anjuran dari para kyai, terutama karena pengaruh ajaran al-Ghazali dalam kitab Ihya΄ yang menyarankan agar umat Islam tidak menghabiskan waktu untuk mendalami persoalan akidah/kalam secara detail, karena yang terpenting adalah mengetahui dalilnya secara ijmal.

Pendalaman persoalan-persoalan akidah/kalam secara mendalam dapat berakibat kurang baik, karena penguatan akidah itu tidak ditempuh dengan membahas persoalan akidah secara detail dengan olah akal, melainkan dengan cara membaca al-Qur’an, memahami tafsir dan hadits, dan beribadah, serta bergaul dengan orang-orang shaleh. Dengan jalan ini, menurutnya, akidah seseorang akan meningkat karena dia terus menerus mendengar dan mengetahui dalil-dalil al-Qur’an dan al-Hadits, dan mendapatkan cahaya dari ibadahnya. Jadi, secara umum masuknya akidah adalah dengan jalan talqin (dituntun) kemudian ditumbuhkembangkan

dengan jalan tersebut di atas sampai kuat.9 Maka pembahasan soal akidah

tidak perlu panjang lebar, sampai harus menghabiskan waktu untuk mengkaji materi pelajaran atau melakukan pekerjaan lainnya.

Ketiga, di antara kitab-kitab tersebut adalah syarah atau penjelasan dari kitab lainnya. Ada pula satu kitab isinya (secara umum) sama dengan kitab akidah yang lain, sebagaimana akan diuraikan secara detail di bawah, sehingga mengkaji satu kitab akidah dianggap sudah mewakili dari mengkaji kitab lainnya. Di samping materinya hampir sama, alur

8Mujamil Qomar, Pesantren, dari Transformasi Metodologi menuju Demokratisasi Institusi,

(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005), p. 123.

(6)

penuturannya juga hampir sama bahkan pada tempat tertentu contoh yang digunakan juga sama. Dalam soal perbuatan manusia misalnya dalam beberapa kitab, contoh yang diangkat untuk gerak yang tidak disadari adalah sama-sama al-irti’asy. Karena alasan inilah dapat dijelaskan kenapa tidak semua kitab akidah tersebut dibaca/dikaji di satu pesantren, melainkan cukup dengan mengkaji sebagian kitab akidah.

Materi Akidah di Pesantren banyak yang dikaitkan dengan pelajaran tasawuf. Dalam Jauhar al-Tauhid juga demikian, ada penjelasan mengenai akhlaq karimah. Dalam Ihya΄ Ulum al-Din, yang nota bene dinggap sebagai kitab tasawuf-akhlak, jelas-jelas al-Ghazali memasukkan bab khusus pembahasan tentang akidah.

Dalam catatan Azyumardi Azra, dalam perkembangan dan transmisi keilmuan Islam, pengkajian fiqh (dan tentu saja juga akidah, pen.) tidak bisa terlepas dari tasawuf. Pada periode abad ke-16 dan 17 terjadi pertumbuhan sejumlah besar ribath dan zawiyah. Kelihatannya, terdapat lebih 50 ribath di sekitar al-Masjid al-Haram, Mekkah, dan tidak kurang dari 30 ribath di Madinah. Padahal harus diakui bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam di Haramain waktu itu tidak terbatas pada Masjid al-Haram dan al-Masjid al-Nabawi, tetapi juga pada ribath dan zawiyah. Sementara, tidak diragukan lagi ribath-ribath tersebut merupakan pusat kaum sufi, yang juga sebagai praktik-praktik sufi. Ribath-ribath ini terlibat dalam proses keilmuan Islam. Trimingham menyebutkan bahwa mereka berfungsi sebagai pusat-pusat latihan dengan ciri yang tidak sama dengan

institusi yang melibatkan guru dan penyiar agama.10

Eksistensi ribath-ribath yang berdampingan dengan Masjid al-Haram dan madrasah menunjukkan adanya pendekatan baru dalam pengkajian fikih (dan juga akidah, pen.) dengan tasawuf. Pendekatan ini bermula pada abad ke-11 M. dan terus menemukan dasar lebih kukuh, bahkan di jantung dunia Muslim sekalipun. Menjelang abad ke-15, sufisme sepenuhnya diterima ke dalam pelukan ortodoksi Sunni. Sejak masa Saljuk, madrasah dan ribath diorganisasikan dalam garis kebijakan yang

sama, yakni kembali kepada ortodoksi Sunni.11 Dari sinilah dapat

dimengeri kenapa kitab-kitab yang dikaji di pesantren, yang beberapa di antaranya dikarang sekitar abad ke-15, isinya banyak yang merupakan gabungan ajaran antara akidah, tasawuf, dan fikih.

Dari sinilah dapat dijelaskan bahwa pelajaran tentang akidah di pesantren tidak hanya diperoleh dari kitab akidah murni tetapi juga diperoleh dari, misalnya, kitab-kitab tasawuf. Para santri yang mengkaji

10Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad

XVII dan XVIII, edisi revisi, (Jakarta: Kencana, 2004), pp. 17-18.

(7)

tasawuf pada saat yang sama akan mendapatkan pelajaran tentang akidah. Dalam kitab Ihya΄ ‘Ulum al-Din, yang lebih dikategorikan kitab tasawuf, misalnya, pada jilid I dibahas panjang lebar mengenai tauhid. Maka santri yang mengkaji Ihya΄, sebelum mengkaji bahasan yang lain, sudah mendapatkan kajian tentang akidah. Dari kitab tafsir, pengetahuan tentang akidah juga bisa didapatkan, karena al-Qur’an sebagai sumber tertinggi juga memuat tentang ayat-ayat yang digunakan dasar oleh para mutakallimin di bidang akidah. Jadi dengan membaca karya-karya tafsir tentang ayat-ayat tauhid, seperti dalam tafsir al-Baidlawi, maka pada saat yang sama para santri dapat dikatakan belajar akidah/tauhid.

Kitab-kitab akidah yang dipelajari di pesantren dapat dikatakan bukan kitab-kitab yang ditulis langsung oleh pendiri madzhab Ahl al-Sunnah atau Asy’ariyah dan Maturidiyah. Bukan pula kitab yang ditulis oleh ulama-ulama Asy’ariyah dan Maturidiyah generasi awal, seperti al-Juwaini dan al-Baqillani. Tetapi yang dipelajari lebih banyak kitab-kitab yang ditulis oleh generasi berikutnya abad XIV ke belakang. Ini menarik untuk dicermati.

Ada beberapa alasan kenapa kitab-kitab yang digunakan di pesantren umumnya kitab yang ditulis pada abad XIV ke belakang. Alasan-alasan tersebut kemungkinan besar adalah: (1) pengaruh ajaran al-Ghazali tentang materi (kurikulum) pelajaran tauhid, (2) kitab-kitab yang ditulis pada abad XIV ke belakang ini tidak rumit dan filosofis tapi sederhana dan praktis.

Ini juga terjadi dalam pengkajian kitab fiqh, sebagaimana kesimpulan yang ditulis oleh Imam Ghazali Said. Ia menyatakan bahwa menarik untuk dikaji lebih jauh karena dalam Bahtsul Masail NU belum pernah digunakan kitab Muharrar karya Rafi’i dan kitab Minhaj al-Thalibin karya al-Nawawi, padahal dalam Muktamar NU I menyepakati mengutamakan menggunakan pendapat dua ulama ini. Seharusnya, dua kitab tersebut dirujuk terlebih dulu, sebelum kitab-kitab yang lain. Ini kemungkinan karena dua kitab ini tidak beredar di kalangan pesantren dan kalangan kyai NU. Kemungkinan lain dua kitab ini dianggap sebagai “kitab induk” yang redaksi dan substansinya sudah termuat dalam kitab-kitab generasi berikutnya, sehingga yang sering dijadikan rujukan adalah kitab I’anat al-Thalibin, kitab generasi termuda (akhir abad XIXM) yang lebih terurai dan memuat berbagai pendapat ulama masa lalu sekaligus

mengcover dinamika perkembangan hukum Islam antar generasi.12

12Imam Ghazali Said (ed.), Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan

(8)

Uraian lebih jauh mengenai kitab-kitab tersebut, dijelaskan di bawah ini yang meliputi pengarangnya, sistematikanya dan isi kitab secara umum.

a. ‘Aqidat al-’Awam

Kitab ‘Aqidat al-‘Awam ini dikenal sangat luas, dan dapat dibilang sebagai kitab “favorit” kalangan pesantren. Umumnya para santri mengkaji kitab ini, karena ketika mereka masuk pesantren, kitab tauhid ini diajarkan kepada mereka.

Kitab ini dikarang oleh Syaikh Ahmad Marzuki, dan kandungannya sudah dijelaskan baik dengan menggunakan bahasa Indonesia maupun bahasa lokal (Jawa). Kitab ini berupa bait-bait (nadzaman) yang terdiri dari lima puluh tujuh (57) bait, dan selesai ditulis pada tahun 1258 H, sebagaimana dinyatakan dalam bait akhir kitab ini.

Seperti namanya, yakni kitab akidah untuk khalayak umum, isi kitab ini cukup ringkas, sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat umum, lagi pula penulisannya dalam bentuk bait yang bisa dilagukan. Sampai hari ini, di banyak masjid di Jawa Timur, bait-bait kitab ini sering dilantunkan di mushalla-mushalla, sesaat sebelum shalat lima waktu dilakukan.

Atau sebagaimana namanya, kitab ini memuat ajaran-ajaran akidah yang harus diketahui oleh setiap orang Islam mukallaf. Kitab ini berisi tentang penjelasan mengenai sifat-sifat Allah dan Rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, Malaikat-Kitab-kitab-Nya, serta silsilah dan keluarga Nabi Muhammad.

b. Kifayat al-’Awam

Nama lengkap kitab ini adalah Kifayat al-’awam fi ma yajibu ‘alaihim min ‘ilm al-kalam, karya Syaikh Muhammad al-Fudlali. Kitab ini disyarahi oleh Syaikh Ibrahim Bajuri dengan nama Tahqiq Maqam ‘ala Kifayat al-’awam, yang penulisannya diselesaikan pada 1359 H.

Kitab ini, seperti umumnya kitab-kitab kuning yang lain, ditulis atas permintaan orang yang ingin mendalami ilmu tauhid, karena itu isi dan penjelasannya disesuaikan dengan kapasitas orang yang meminta tersebut. Maksudnya, penjelasannya tidak menggunakan bahasa yang rumit tapi disertai dengan dalil-dalil.

Dalam pengajian di pesantren, kitab ini umumnya dikaji beserta syarahnya, Tahqiq al-Maqam ‘ala Kifayat al-’awam. Seperti pengakuan muallifnya, kitab ini ditulis mengikuti pendapat atau narasi yang dikemukakan oleh Imam al-Sanusi, karena itu tidak heran kalau dalam Syarh Kifayat al-’awam juga banyak mengutip pendapat Imam Sanusi baik yang dari kitab Syarh Kubra maupun dari Syarh Shugra. Dalam Syarh Kifayat al-’Awam juga mengutip ulama-ulama yang biasa disebut ulama fiqh untuk menambah penjelasan. Ulama yang banyak dikutip antara lain Imam al-Syafi’i, al-Suyuthi, Ibn Hajar, dan Shalahuddin al-‘Ala΄i. Sa’id al-Taftazani juga seringkali dikutip.

(9)

Secara umum, kitab ini memuat penjelasan tentang ‘aqaid khamsin (akidah yang lima puluh), yakni 20 sifat wajib Allah, 20 sifat mustahil Allah, 1 sifat jaiz Allah, 4 sifat wajib para Rasul, 4 sifat Mustahil para Rasul dan 1 sifat jaiz para Rasul, jadi semuanya berjumlah 50 sifat. Penjelasan tambahan yaitu mengenai keutamaan Nabi Muhammad dan para shahabatnya.

Kitab ini diakhiri dengan penjelasan mengenai hal-hal yang wajib diyakini yang telah ditunjukkan oleh nash (sam’iyyat) dan penjelasan mengenai definisi iman.

c. Al-Hushun al-Hamidiyyah

Nama lengkapnya, Hushun Hamidiyyah li muhafadlat ‘ala al-‘aqaid al-islamiyyah. Seperti namanya, kitab ini dimaksudkan untuk menjaga akidah umat Islam dari bahaya pemikiran, utamanya akibat perkembangan filsafat di dunia Islam. Sehingga kitab ini diharapkan dapat menjaga dan membentengi keimanan generasi muda dari bahaya filsafat naturalisme dan materialisme Barat.

Kitab ini ditulis oleh Sayyid Husain bin Muhammad Jisr al-Tharabilisi atau dikenal dengan Sayyid Husain Affandi. Pada waktu itu, beliau hidup di wilayah kekuasaan Turki Usmani pada masa khalifah Sultan Abdul Hamid, sehingga dapat dipahami kalau penulis kitab ini memanjatkan doa untuk sultan pada pembukaan dan penutup kitab.

Kitab ini dapat dikatakan sebagai kitab yang mengikuti pendapat Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi, sebab di awal pembahasan, kedua tokoh tersebut disebut oleh muallif sebagai (dan paling terkenal) telah membukukan ajaran tauhid yang dibawa mulai dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad. Maksudnya, untuk mengikuti ajaran tauhid yang telah dibawa oleh para rasul adalah cukup dengan membaca tulisan-tulisan kedua tokoh tersebut. Kedua tokoh tersebut juga dianggap berhasil merumuskan bantahan-bantahan terhadap kelompok yang menentang atau menyimpang dari ajaran para Rasul.

Secara umum, isi kitab ini adalah senada dengan kitab-kitab akidah yang dipengaruhi oleh Imam al-Sanusi. Hanya saja, cakupannya agak meluas dibanding kitab-kitab akidah lainnya. Di samping kandungan banyak serupa dengan kitab-kitab lainnya, kitab ini tampaknya berusaha menjawab persoalan-persoalan akidah pada masanya. Maka di samping menjelaskan tentang sifat-sifat Allah dan Rasulnya, serta rukun iman yang enam, kitab ini juga menjelaskan persoalan mengenai kedudukan dalil akal dan naqal (khususnya dalam persoalan akidah), perdebatan di seputar malaikat, dan perdebatan seputar penciptaan Adam dan Hawa, kisah Ashab al-Kahfi, tentang mimpi dan sihir. Seperti persoalan pada masa penulis kitab ini, yakni tentang perlu tidaknya kekhalifahan bagi umat

(10)

Islam, di akhir pembahasan kitab ini juga dikupas mengenai persoalan tersebut. Bagi penulis kitab ini, hukum menegakkan khalifah bagi umat Islam adalah wajib agar persoalan-persoalan umat Islam dapat diatasi dengan baik, dan Islam tegak di muka bumi.

Bentuk cetakan dan sistematika kitab ini berbeda dengan umumnya kitab-kitab kuning dikaji di pesantren. Mungkin karena kitab ini ditulis pada abad ke-20, maka pembahasannya sudah dibagi ke dalam bab-bab yang terdiri dari beberapa sub bab (fashl), sehingga memudahkan bagi para pembaca untuk mencari bahasan tertentu.

d. Tijan al-Darari

Kitab syarah ini adalah karya Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani, yang mensyarahi Risalat al-Baijuri karya Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri. Ibrahim bin Muhammad adalah syaikh ulama Azhar yang berasal dari wilayah Bajura-Mesir, sehingga terkenal dengan nama Ibrahim Bajuri. Menurut paparan Ibrahim Bajuri, Risalat al-Baijuri ini ditulis atas permintaan koleganya untuk menulis satu kitab yang memuat penjelasan ringkas mengenai sifat-sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah dan rasul-Nya. Sehingga dapat dimengerti jika isinya hanya menerangkan sifat-sifat tersebut. Sebelum penutup, kitab ini menerangkan silsilah Nabi Muhammad s.a.w., sebab menurut pengarangnya, adalah kewajiban bagi seorang Muslim untuk mengetahui silsilah Nabi Muhammad s.a.w. Kitab ini terdiri dari 16 halaman, dan selesai ditulis pada tahun 1297 H.

Meski kitab matan-nya sangat ringkas, ulasan Syaikh Nawawi dalam syarh-nya cukup panjang lebar, sehingga memberikan pengetahuan lebih bagi para pembacanya. Ulasan-ulasan dan runut pembahasan yang diberikan oleh Imam Nawawi dalam kitab syarah ini senada dengan ulasan yang dilakukan oleh Muhammad Dasuqi dalam mensyarahi ‘aqaid khamsin. Sistematika dan materi pembahasan kitab-kitab akidah di pesantren memang senada.

e. Fath al-Majid

Kitab ini adalah karya Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi, syarh terhadap kitab al-Durr al-Farid karya Syaikh Ahmad bin Sayyid Abdurrahman Nahrawi, yang terkenal dengan Ahmad Nahrawi. Nahrawi adalah nisbat yang diambil dari salah satu wilayah di Mesir, Nahariyah. Imam Nahrawi selesai menulis Durr al-Farid pada bulan Dzul Qa’dah tahun 1235 H., sedangkan kitab syarahnya diselesaikan oleh Imam Nawawi pada bulan Ramadlan hari Sabtu tahun 1294 H.

Kitab ini lebih tebal dibanding karya Imam Nawawi, Tijan al-Darari. Namun secara garis besar isi kedua kitab tersebut sama, yakni membahas tentang akidah 50 yang memuat sifat-sifat Allah dan Rasul-Nya, baik yang wajib, mustahil maupun jaiz. Meskipun isi penjelasannya hampir sama,

(11)

termasuk pokok-pokok bahasan yang diangkat, namun redaksi yang digunakan oleh Imam Nawawi dalam dua kitab tersebut (Fath al-Majid dan Tijan al-Darari) berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa Imam Nawawi tidak menjadikan satu tulisan untuk mensyarahi dua kitab (sehingga dua kitab syarahnya tersebut redaksi matannya berbeda tapi isinya sama).

Setelah menerangkan sifat Allah dan Rasulnya, kitab ini sedikit mengupas tentang “melihat Allah di Akhirat, iman terhadap malaikat, siksa kubur, dan syafaat Nabi Muhammad s.a.w.”.

C. Sumber Rujukan dan Geneologi Pengajaran Kitab Akidah

1. Sumber Rujukan Kitab Akidah

Sebenaranya nama-nama yang dikutip dalam kitab-kitab tauhid di pesantren tidak hanya Imam Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi, tapi mungkin karena kedua tokoh ini merupakan pelopor yang mempunyai bidang teologis dan menentang secara keras terhadap Muktazilah maka kemudian alirannya diikuti. Ada nama lain yang juga dikutip seperti Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241H/780-855M), Suhaimi, Abu Ishaq al-Isfaraini (w.418H/1027M) (seorang ulama kalam di Nisabur yang juga ahli fiqh ternama madzhab Syafi’iyah termasuk juga tokoh Asy’ariyah), Imam Haramain (Juwaini), Baqillani, Sa’d Taftazani, Fakhr Din al-Razi (w. 606 H/1210 M). Dalam karya-karya Imam Nawawi al-Bantani di bidang akidah, nama-nama seperti Imam al-Haramain, Sa’d al-Taftazani, dan Abu Ishaq al-Isfaraini sering dikutip. Bahkan Abu Ishaq al-Isfaraini lebih sering dikutip dibanding al-Baqillani. Gerbong besar yang sering disebut dalam kitab-kitab akidah ini adalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, (jarang ditemukan menyebut madzhab Asy’ariyah dan Maturidiyah. Madzhab Asy’ariyah memang disebut tapi agak jarang), Ahl al-Sunnah

atau Ahl al-Haq sering disebut berhadap-hadapan dengan Muktazilah,13

dan kadang-kadang dengan Jabariyah. Bukan Asy’ariyah atau Maturidiyah yang sering disebut berhadap-hadapan dengan Muktazilah. Dalam uraian-uraian di dalam kitab-kitab ini, kata yang sering disebut untuk membedakannya dengan Muktazilah adalah Ahl al-Sunnah, bukan Asy’ariyah.

Contoh yang lain, dalam kitab al-Durr al-Farid disebutkan, dalam hal perbuatan manusia ada tiga madzhab: (1) Madzhab Jabariyah; (2)

Muktazilah; (3) Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.14 Dari pernyataan ini jelaslah

bahwa yang disebut bukan madzhab Asy’ariyah atau Maturidiyah tapi Ahl

13Al-Fadhil Abi al-Fadhal, Al-Durr al-Farid fi Syarh Jauharat al-Tauhid, (Tuban:

Majlis al-Nasyr Muallifat Abi Fadlal, t.t.), p. 161.

(12)

al-Sunnah wa al-Jama’ah. Dalam al-Farq bain al-Firaq karya al-Baghdadi, aliran yang disebut untuk dihadap-hadapkan dengan aliran-aliran kalam yang lain adalah juga Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, bukan menonjolkan Asy’ariyah atau Maturidiyah. Sub bab yang dicantumkan dalam kitab ini, sebagaimana dalam daftar isi, adalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.

Dalam kitab-kitab tersebut, penyebutan tokoh sepertinya lebih dipilih dari pada penyebutan aliran atau paham. Maka tokoh-tokoh yang disebutkan tersebut sepertinya mempunyai kesejajaran ketika disebutkan. Dalam pembahasan mengenai ta’alluq sifat qudrat, misalnya, kitab-kitab tersebut memuat perbedaan pendapat antara satu tokoh dengan tokoh lainnya (dalam lingkup Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah), dan tidak menyebut perbedaan berdasarkan aliran. Dari perbedaan pendapat antara al-Baqillani yang diikuti al-Sanusi dan al-Asy’ari yang diikuti Imam Haramain, sebagaimana dimuat dalam kitab Durr al-Farid, misalnya, tampak bahwa kajian akidah di pesantren sepertinya lebih mengedepankan kajian tokoh, dan bukan kajian berdasarkan alirannya, bukan Asy’ariyah atau Maturidiyahnya, tapi lebih mengungkap pendapat tokoh-tokoh dalam lingkup Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah itu. Posisi mereka umumnya dikutip sebagai tokoh/ulama Ahl al-Sunnah bukan dalam konteks aliran Asy’ariyahnya. Namun karena tokoh-tokoh yang dikutip dalam kitab-kitab tersebut diyakini dalam satu gerbong besar “Ahl al-Sunnah” maka perbedaan di antara mereka relatif tidak dipertajam. Hal sama, misalnya, para pengarang kitab akidah tersebut tampaknya tidak menyebut perbedaan yang signifikan antara Abu Hasan al-Asy’ari dan al-Juwaini, meskipun oleh para peneliti dewasa ini, (beberapa) pemikiran di antara keduanya sering dibedakan dengan jelas. Makdisi misalnya menyebut bahwa tak lama sepeninggal al-Asy’ari, muncul aliran pengikut Asy’ariyah yang pandangan sedikit lebih rasionalis dibandingkan dengan al-Asy’ari.

Makdisi menyebutnya “rasionalis moderat”.15

Penulis mempunyai kesan yang kuat bahwa pengarang kitab akidah di pesantren lebih mengutamakan otoritas keahlian seseorang, dan memperoleh literatur yang dimaksud, ketimbang sekedar terpaku pada madzhab yang diikutinya. Ini berbeda dengan cara pengajaran akidah atau ilmu kalam di perguruan tinggi Islam (S1) yang materi pembelajarannya tentang akidah/kalam lebih mengedepankan penjelasan mengenai perbedaan pandangan madzhab ketimbang perbedaan pandangan tokoh.

Kesan senada juga diperoleh dari penelaahan terhadap kitab-kitab yang digunakan sebagai rujukan dalam Bahtsul Masail NU. Seperti

15George Makdisi, Cita Humanisme Islam, diterjemahkan dari The Rise of Humanism

(13)

dikatakan Ghazali Said, dalam Bahtsul Masail para kyai NU lebih mengutamakan otoritas keahlian seseorang ketimbang meneliti kecenderungan madzhabnya. Karena itu, para ulama NU tidak mempersoalkan para pemikir sekaliber Syaikh Bakhith al-Muth’i, Hasanain Makhluf, Abdul Qadir Audah, Yusuf Musa, Sayid Sabiq, Wahbah Zuhaili dan lain-lain untuk dirujuk kitabnya, padahal mereka kecuali al-Muthi’i dan Makhluf dikenal sebagai pemikir liberal yang merasa tidak begitu terikat

dengan madzhab fiqh tertentu.16

Kitab Hushun al-Hamidiyyah di awal pembahasan memang menyebut tentang aliran, yakni tentang aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah yang mana pengarang mengaku mengikuti dua aliran tersebut. Namun dalam pembahasannya kemudian lebih banyak menyebut pendapat tokoh-tokohnya bukan alirannya. Singkatnya, penjelasan dalam kitab-kitab tersebut lebih ditonjolkan pendapat tokohnya dibanding gerbong atau alirannya. Maka dalam pembahasannya mungkin saja tokoh yang satu berbeda dengan tokoh yang lain, misalnya soal hukum beriman dengan taklid, hukum mempelajari ilmu kalam, ta’alluq sifat Qudrat, soal dalil dari akidah tauhid, apakah akal atau cukup sama’ (misalnya dalam Durr

al-Tauhid karya Abu Fadlal),17 dan lainnya.

Di samping yang dikutip lebih banyak pendapat tokoh, bukan aliran atau madzhabnya, dalam mengutip juga melakukan tarjih di antara beberapa pendapat sesuai dengan yang paling cocok menurut pengarang kitab tersebut. Jadi mungkin saja untuk bahasan tertentu lebih condong pada tokoh tertentu, tapi pada bahasan yang lain lebih condong pada tokoh yang lain. Jika di antara tokoh-tokoh tersebut berbeda pendapat, (meskipun tokoh-tokoh tersebut oleh beberapa buku belakangan ini dianggap satu madzhab) maka pengarang kitab tetap akan condong kepada pilihannya. Misalnya apa yang dilakukan oleh Imam Sanusi, pengarang Risalat Sanusiyyah atau ‘Aqaid Khamsin. Ketika terjadi perbedaan pendapat antara al-Asy’ari dan Imam Haramain di satu sisi dan al-Baqillani

di sisi lain, Imam Sanusi lebih memilih pendapat al-Baqillani.18 Pada

masalah ini Imam Sanusi mengutip dari al-Baqillani, sementara pada masalah yang lain Imam Sanusi juga banyak mengutip dari al-Juwaini.

2. Geneologi Pengajaran Kitab Akidah

Dalam tradisi keilmuan Sunni, jalur penyampaian (transmisi) ilmu dari sumbernya sangat diperhatikan, karena ini menjadi ciri khas dari ortodoksi-Sunni. Untuk menjamin keaslian suatu doktrin, doktrin tersebut

16Imam Ghazali Said, Solusi Problematika, p. xIvi. 17Al-Fadhil Abi al-Fadhal, Al-Durr al-Farid, p. 120. 18Ibid., p. 157.

(14)

harus disampaikan dan dikomunikasikan kepada generasi umat berikutnya dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan. Penyampaian doktrin secara tepat, tidak keliru atau menyimpang, sangat diperlukan untuk mempertahankan keaslian keyakinan agar terhindar dari perubahan atau penyimpangan. Bentuk perubahan apapun dari ajaran yang asli bisa disebut penyimpangan dan dapat merusak keseluruhan doktrin. Dalam bidang keilmuan hadits, transmisi ini telah dilembagakan dalam bentuk kritisisme isnad; yaitu suatu upaya untuk menjaga keaslian jalur atau mata rantai penyampain hadits, suatu metodologi yang kemudian dikembangkan sebagai sebuah cabang ilmu yang mapan. Berdasarkan kritisisme isnad ini para ulama dapat menunjukkan bahwa sebuah hadits yang asli telah diriwayatkan dengan redaksi yang akurat dari para sahabat Nabi kepada generasi sesudahnya.

Isnad tidak hanya digunakan untuk keperluan penyampaian hadits

semata. Ia juga merupakan faktor yang amat penting dalam penyampaian fakta sejarah. Para sejarawan Muslim klasik, seperti Ibn Ishaq (w.767), Ibn Hisyam (w.838), dan al-Thabari (w.923), banyak bersandar kepada isnad dalam mengevaluasi setiap detail dari sejarah Islam. Al-Thabari secara cermat dan hati-hati menuliskan isnad atau mata rantai para perawi melalui siapa dia memperoleh setiap pernyataan atau komentar yang ia terima. Bisa jadi ada belasan atau lebih perawi yang jadi rujukannya untuk menuliskan setiap penggal informasi dalam tarikhnya. Semua hal ini menunjukkan bahwa proses penyampaian fakta secara akurat memainkan peranan yang amat fital dalam memperhatikan keaslian dan kemurnian

doktrin Islam.19

Penyampaian ilmu atau fakta dengan memperhatikan jalur transmisi ini berarti sangat menekankan subjek pemberi informasi ilmu. Bukan sekadar materi ilmunya yang penting diperhatikan, tetapi siapa yang menyampaikan dan dari siapa ia menyampaikan sangat penting diperhatikan. Karena subjek penyampai ilmu ini memegang peranan penting. Maka dari itu, dalam bahasa ungkapan yang biasa digunakan bukanlah undhur ma qala wa la tanzhur man qala (lihatlah apa yang dikatakan dan jangan lihat siapa yang mengatakan), tapi yang tepat adalah unzhur man qala (lihatlah siapa yang mengatakan).

Pesantren mewarisi tradisi penyampaian ilmu semacam ini. Jalur transmisi keilmuan sangat diperhatikan oleh ulama pesantren, baik dalam bidang fikih, teologi maupun tasawuf. Sanad atau silsilah penyampai ilmu menjadi sangat penting dan biasa selalu diberikan kepada para santri ketika mereka telah menyelesaikan (mengkhatamkan) suatu kitab tertentu. Maka

(15)

di lingkungan pesantren, banyak dijumpai “ijazah” sanad kitab, mulai dari pengarangnya sampai kepada guru yang mengajarkannya. Di antara sekian bidang ilmu tersebut, bidang fikih yang paling mudah dijumpai sanad kitabnya, karena memang kitab fikih ini paling luas dikaji di pesantren Indonesia. Bahkan sudah ditulis suatu kitab oleh kalangan pesantren yang secara khusus membahas geneologi keilmuan (kitab) fikih untuk kalangan Syafi’iyah, seperti kitab Masyahir al-Fuqaha΄ karya kyai Yasin, Petuk-Mojo-Kediri.

Dalam hal pengkajian kitab akidah dapat diketahui, dari beberapa sumber, jalur-jalur pengkajian kitab-kitab akidah. Sebagaimana Asy’ariyah dan Maturidiyah banyak diikuti oleh kalangan pesantren, silsilah pengkajian dari kedua pendiri Madzhab juga dapat dilacak.

Dari sanad atau transimisi pengkajian kitab akidah yang dapat diketahui, baik dari kalangan Asy’ariyah maupun Maturidiyah di antara jalurnya di Indonesia termasuk di pesantren Jawa adalah berasal dari Abd. al-Shamad al-Palimbani (w.1203 H./1789 M.) kemudian melalui Nawawi ibn ‘Umar Banten (w. 1230-1314 H.) dan pada masa-masa berikutnya melalui Muhammad Yasin ibn Isa Padani al-Makki (w. 1990 M.).

Nama lengkap Palimbani adalah Abd. Shamad ibn Abdullah al-Jawi al-Palimbani, tetapi sumber-sumber Arab menamakannya Sayyid Abd. al-Shamad ibn Abd. Al-Rahman al-Jawi. Al-Palimbani mendapatkan pendidikan awalnya di Kedah dan Patani, barangkali di sebuah pondok (lembaga pendidikan tradisional Islam setempat). Di kemudian hari, ayahnya mengirimnya belajar ke Arabi. Meskipun masa hidupnya kurang jelas diketahui, tapi mungkin masa hidupnya dari dasawarsa pertama hingga akhir abad ke-18. Kemungkinan besar dia meninggal dunia setelah 1203/1789, yaitu tahun ketika dia menyelesaikan karyanya yang terakhir

dan paling masyhur, Sayr al-Salikin.20

Menurut kesimpulan Azra, al-Palimbani memantapkan karirnya di Haramain dan tidak pernah kembali ke Nusantara. Namun dia tetap menaruh perhatian besar terhadap Islam dan kaum Muslim di Wilayah Melayu Islam Indonesia. Di Haramain, al-Palimbani terlibat dalam komunitas Jawa dan menjadi kawan seperguruan Muhammad Arsyad Banjari, Abd. Wahhab Bugis, Abd. Al-Rahman Batawi, dan Dawud al-Fatani. Keterlibatannya dalam komunitas Jawi membuatnya tetap tanggap terhadap perkembangan-perkembangan sosio-religius dan politik di Nusantara. Al-Palimbani dan kelompoknya mempunyai guru-guru yang sama. Yang paling masyhur di antara mereka adalah Muhammad ibn Abd.

(16)

Karim al-Samani, Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi, dan Abd.

Al-Mun’im al-Damanhuri.21

Di samping itu, umumnya kyai di pesantren Jawa juga memperoleh sanad pengkajian kitab dari Muhammad Yasin ibn Isa Padani al-Makki. Beliau sendiri pernah berkunjung ke beberapa pesantren di Jawa Timur, termasuk di Lirboyo.

Terkait dengan masuknya nama al-Palimbani sebagai jaringan pengkajian kitab di pesantren, karena memang kitab-kitab yang dikaji di pesantren dewasa ini tidak bisa dilepaskan dari jaringan ulama Haramain dan Nusantara, sebagaimana dicatat dengan baik oleh Azyumardi Azra. Keilmuan Islam di Indonesia dewasa ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Haramain. Menurut Azra, beberapa negara Muslim di Nusantara sejak abad ke-17 berada dalam hubungan yang konstan dengan Hijaz. Pada 1048/1638 penguasa Banten di Jawa Barat, ‘Abd al-Qadir (berkuasa 1626-1651) mendapat gelar sultan dari Syarif Mekkah sebagai hasil misi khusus yang dikirimkannya ke Tanah Suci. Sultan Banten ini juga menerima “bendera dan pakaian suci dan apa yang dipercayai sebagai bekas jejak kaki Nabi”, dari penguasa Haramain. Semua pemberian Syarif Mekkah ini diarak dalam prosesi sekeliling kota Banten pada kesempatan peringatan Maulid Nabi. Selanjutnya, pertukaran surat-menyurat dan hadiah di antara istana Banten dan penguasa Haramain terus berlangsung

sampai menjelang akhir abad ke-17.22

Mataram, sebuah kerajaan besar Muslim lainnya di jantung Pulau Jawa juga merasakan kebutuhan menjalin hubungan erat dengan Syarif Mekkah, dan sekaligus untuk mendapatkan gelar sultan dari penguasa Tanah Suci. Untuk tujuan terakhir ini, penguasa Mataram, Pangeran Rangsang, mengirim delegasi ke Mekkah pada 1051/1641. Syarif Mekkah memenuhi keinginan Pangeran Rangsang dan memberikan gelar Sultan kepadanya. Pangeran Rangsang sejak saat itu lebih dikenal sebagai Sultan Agung. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya, Sultan Agung mengirim sekelompok orang Jawa membawa hadiah kepada Syarif Mekkah dan sekaligus menunaikan ibadah haji. Di samping penguasa-penguasa Aceh, Banten dan Mataram, beberapa penguasa Muslim Nusantara lainnya juga

diketahui pernah menerima surat-surat dari penguasa Haramain.23

21Ibid., p. 309. 22Ibid., p. 47. 23Ibid., p. 48.

(17)

Daftar Pustaka

Abi Fadlal Senori, al-Fadlil, Al-Durr al-Farid fi syarh Jauharat al-Tauhid, Tuban: Majlis al-Nasyr Muallifat Abi Fadlal, t.t.

Afandi, Seyyed Husein, Hushun Hamidiyyah, Surabaya: Maktabah al-Hidayah, t.t.

Al-Asy’ari, Abu Hasan, Al-Ibanah ‘an ΄Ushul Diyanah, Beirut: Dar al-Kitab, 1990.

_______, Al-Luma’, Hamudah Gharabah, ed., Kairo: Musahamah Misriyah, 1955.

_______, Maqalat al-Islamiyyin wa al-Ikhtilaf al-Mushallin, Hellmut Ritter, ed., Wiesbaden: Franz Steiner Verlag, 1963.

Al-Baghdadi, al-Farq bain al-Firaq, Beirut: Dar Kutub al-Ilmiah, t.t.

Al-Bajuri, Ibrahim, Tahqiq al-Maqam ‘ala Kifayat al-‘Awam, Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub, t.t.

_______, Tijan al-Darari, Surabaya: Penerbit Bungkul Indah, t.t.

Al-Dasuqi, Muhammad, Hasyiyah al-Dasuqi ‘ala Umm al-Barahin, Semarang: Thaha Putra, t.t.

Al-Fudlali, Muhammad, Kifayat ‘Awam, Indonesia: Dar Ihya Kutub al-‘Arabiyah, t.t.

Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Jilid I, Semarang: Penerbit Thaha Putra, t.t. Al-Juwaini, Imam Haramayn, Luma’ Adillah fi Qawaid ‘Aqaid Ahl

al-Sunnah wa al-Jama’ah, ed. By Fawqiyah Husain Mahmud, Beirut:

‘Alam al-Kutub, 1987.

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, edisi revisi, Jakarta: Kencana, 2004.

Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan, 1999.

Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1985.

Ibn Shalih al-Jazairi, Thahir, Jawahir al-Kalamiyyah, Kediri: TB. De Ali, t.t. Kiswati, Tsuroya, Al-Juwaini, Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam,

(18)

Madjid, Nurcholish, “Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren” dalam M. Dawam Rahardjo (ed.), Pergulatan Dunia Pesantren Membangun Dari Bawah, Jakarta: P3M,1985.

Makdisi, George, Cita Humanisme Islam, diterjemahkan dari The Rise of

Humanism in Classical Islam and the Christian West, Jakarta: Serambi,

2005.

Marzuqi, Ahmad, ‘Aqidat al-‘Awam, Surabaya: al-Hidayah, t.t. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994.

Nawawi al-Bantani, Muhammad, Fath al-Madjid fi Syarh al-Durr al-Farid, Surabaya: Penerbit al-Hidayah, t.t.

_______, Syarh Tijan al-Darari, Surabaya: Penerbit Bungkul Indah, t.t. Qomar, Mujamil, Pesantren, dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi

Institusi, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005.

Said, Imam Ghazali, ed. Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes NU 1926-1999M, Surabaya: Diantama, 2005.

Saleh, Fauzan, Teologi Pembaharuan, Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, Jakarta: PT Serambi, 2004.

Widodo, Sembodo Ari, “Struktur Keilmuan Pesantren” dalam jurnal ISTIQRO, Jakarta: Ditperta, 2003.

Referensi

Dokumen terkait

Daljnjim unošenjem glutena u organizam čime dolazi do nastajanja anti-TG2 rezultira u nastajanju specifičnih anti-TG3 antitijela.. Uvođenjem bezglutenske prehrane kod

Pola intensitas cahaya LED dirangkai paralel dengan berbagai tegangan dan berbagai sudut sensor terhadap bidang LED dapat dilihat pada gambar 4.6 tentang intensitas cahaya

Berdasarkan dari latar belakang dan batasan masalah yang telah disebutkan tujuan yang ingin dicapai pada tugas akhir ini antara lain mampu menganalisa perubahan profil benda

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomer 7 Tahun 1996 tentang Pengesahan Agreement Between The Government Of The Republic Of Indonesia And The Government Of The

PERTAMA : Mengangkat mereka yang namanya tercantum dalam lampiran keputusan ini sebagai Dosen Pengampu Mata Kuliah Semester Gasal Tahun Akademik 2013/2014 Program

Menetapkan : KEPUTUSAN REKTOR UNIVERSITAS DIPONEGORO TENTANG PENETAPAN BIAYA SERTA PENGANGKATAN DOSEN PENGAMPU KEGIATAN PENDIDIKAN KONSULTAN JAGA PADA PROGRAM STUDI

konsolidasi ITB 84 dan memperkokoh keberadaan Forum ITB84 Terselenggaranya Reuni Perak tanggal 1 Agustus 2009 yang dihadiri Terselenggaranya Reuni Perak tanggal 1 Agustus 2009

Interkalsi lempung dengan KV diharapkan akan menghasilkan membran polimer elektrolit yang memiliki kapasitas penukar kation dan stabilitas termal yang tinggi