• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 METODOLOGI PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "3 METODOLOGI PENELITIAN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

85

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu

Untuk menganalisis proses pembentukan elite pada etnis Bugis dan etnis Makassar, dengan menggunakan paradigma kontruktivisme. Paradigma ini meletakkan pengamatan dan obyektivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan (Guba dan Lincoln dalam Denzin dan Linclon, 1994). Guba dan Lincoln mengatakan bahwa positivisme dan postpositivisme telah gagal mengungkapkan realitas dunia. Sudah saatnya paham postivisme maupun pospositivisme di-rekonstruksi atau ditinggalkan dan diganti dengan paham yang bersifat konstruktif.

Dua Desa yang dipilih sebagai tempat studi yang berada pada masing-masing etnis; Bugis dan Makassar, memiliki sejarah karakter sosiologi politik yang kontras secara geografis dan berbeda secara kultural politik. Untuk Desa yang mewakili etnis Bugis dan memiliki sejarah kekuasaan, dan menjadi salah satu sumber tempat lahirnya elite-elite Bugis, khususnya Kabupaten Bone adalah Desa Ancu di kecamatan Kajuara. Sedangkan Desa yang jauh dari wadah kelahiran elite-elite dan kekuasaan pada masa lalu (sebelum era reformasi dan otonomi daerah) bagi etnis Bugis Bone dipilih Desa Benteng Tellue Kecamatan Amali. Sedangkan Desa yang mewakili etnis Makassar dipilih Desa Manjapai Kecamatan Bontonompo Kabupaten Gowa, Desa ini memiliki tradisi melahirkan elite-elite kekuasaan pada etnis Makassar. Desa Manuju Kecamatan Manuju dipilih sebagai Desa yang mewakili kelompok masyarakat yang jauh dari sumber kekuasaan pada etnis Makassar, tetapi memiliki tradisi melahirkan elite-elite kekuasaan pada masa lalu (fase tradisional hingga fase islam modern).

Pilihan lokasi studi juga mempertimbangkan faktor geografis, yaitu; Desa Ancu yang mewakili lokasi yang membidani kelahiran elite Bugis Bone berada pada daerah pantai. Sedangkan Desa Benteng Tellue yang mewakili daerah pinggiran kekuasaan etnis Bugis Bone, berada pada daerah pedalaman. Lokasi studi di Kabupaten Gowa, yang mewakili etnis Makassar, memiliki karakter yang hampir lebih kurang sama dengan yang ada pada lokasi di Kabupaten Bone. Desa Manjapai, adalah Desa yang mewakili daerah yang memiliki tradisi ‖melahirkan‖

(2)

86

elite-elite etnis Makassar di Gowa, berada di daerah pantai, sementara Desa Manuju yang menggambarkan Desa ‖pinggiran‖ pada fase saat sekarang (era reformasi dan otonomi daerah) bagi perkembangan produksi elite berada pada daerah pegunungan.

Penelitian proses pembentukan elite di dalam etnis Bugis dan Makassar dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu: (1) pra-penelitian, dengan melakukan kunjungan lapangan di lokasi studi. Tahap ini dimaksudkan untuk memastikan lokasi penelitian. Pada tahap ini, dilakukan pengumpulan bahan-bahan yang berkaitan dengan tema penelitian, diskusi dengan beberapa informan, dan melihat secara langsung proses pembentukan elite di dalam etnis Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan. Waktu yang digunakan dalam tahap ini selama kurang lebih dua tahun ( Juni 2007 sampai Juli 2009); (2) penelitian lapangan dilakukan pada Agustus 2009 sampai Pebruari 2010; dan (3) penulisan laporan penelitian dikerjkana pada Mei 2010 sampai Oktober 2010. Tahap ini dilakukan untuk menganalisis temuan penelitian (analisis data) dan mengkontruksikannya sesuai dengan tematik yang diangkat dalam penelitian ini.

Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan kriteria-kriteria seperti; (1) lokasi penelitian merupakan keterwakilan masing-masing dua etnis (Bugis dan Makassar) sebagai kasus studi; (2) lokasi penelitian memberikan gambaran terjadinya dinamika proses pembentukan elite di dalam etnis Bugis dan Makassar; (3) lokasi penelitian merupakan daerah yang mempunyai jejak rekam (sejarah) berdirinya pusat-pusat kekuasaan pada masing-masing etnis (Bugis dan Makassar). Berdasarkan kriteria tersebut, pada aras mikro dipilih sebanyak 4 Desa (lokasi studi) pada dua Kabupaten yang masing-masing mewakili etnis Bugis dan etnis Makassar; dua Desa di Kabupaten Bone mewakili etnis Bugis, dan dua Desa lain yang berada di Kabupaten Gowa yang mewakili etnis Makassar.

Menurut Guba dan Linclon bahwa secara metodologis, konstruktivisme

menerapkan metode hermeneutika33 dan dialektika dalam menemukan proses

33

Hermeneutik secara luas dikenal sebagai ilmu penafsiran/interpretasi terhadap teks pada khususnya dan penafsiran bahasa pada umumnya. Istilah yang bermula dari bahasa Yunani kuno (hermeneuenin) ini pada zaman sekarang sangat akrab digauli para intelektual. Salah satu alasan penting menerapkan metode hermeneutik ini adalah objek (baca teks/bahasa) tidak memungkinkan diartikan tanpa melalui metode penafsiran. Ketidakmungkinan tersebut selain disebabkan karena

(3)

87 kebenaran. Kedua metode ini dalam penerapannya mempunyai perbedaan, dimana metode hermeneutika dilakukan dengan cara mengidentifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat dari orang perorangan. Sedangkan metode dialektika mencoba membandingkan dan menyilangkan pendapat dari orang-perorangan untuk memperoleh suatu konsensus kebenaran secara bersama. Adapun harapan dari semua ini adalah kebenaran merupakan perpaduan pendapat yang bersifat relatif, subyektif dan spesifik mengenai hal-hal tertentu.

3.2 Kerangka Pemikiran

Studi ini dipandu oleh pemikiran teoritis tentang elite yang dikembangkan oleh Pareto dan Mosca. Menurut Pareto, masyarakat terbagi dua yakni masyarakat elite dan non-elite. Kalangan elite terbagi menjadi dua kelompok lagi; elite yang berkuasa (governing elite) dan elite yang tidak berkuasa (non-governing elite). Sedangkan Mosca menyebutkan adanya kelompok yang dikenal sebagai sub-elite, yang berada diantara elite dan massa.

Elite yang berkuasa (governing elite) adalah mereka yang memiliki kemampuan membangun relasi atau hubungan baik dengan massa (memiliki ideologi yang sama), sebaliknya elite yang tidak berkuasa adalah elite yang gagal membina hubungan baik dengan sub-elite dan massa.

Sumber utama kalangan elite adalah; politisi, birokrat, pengusaha, dan militer yang senantiasa melakukan kapitalisasi dengan menggunakan simbol, kuasa dan uang untuk mempertahankan kekuasaannya. Sedangkan sub-elite pada umumnya berasal dari tokoh agama, cendekiawan, akademisi, mahasiswa, pers dan civil society organizations. Kerangka pikir tersbut di atas dapat diskemakan pada gambar 3 sebagai berikut;

situasi bahasa yang berbeda dan terus berubah, juga disebabkan alasan kesulitan para pembaca dalam memahami substansi makna yang terkandung dalam teks-teks dan bahasa yang dipelajari. Hal yang paling tampak dari kesulitan atas substansi makna tersebut pada dasarnya juga disebabkan oleh realitas di mana tata bahasa tersebut ternyata mempunyai keterbatasan dalam menyaring inti dari teks-teks yang terkandung di dalamnya. Karena keterbatasan inilah kemudian untuk memahami suratan kata-kata seseorang harus melalui pengkajian secara mendalam. Puisi, novel, dan karya tulisan lainnya yang bermaksud menafsirkan totalitas dunia seorang pengarang, misalnya, tentu saja tidak akan mampu terapresiasikan secara lengkap dalam kata-kata. Di sinilah fungsi hermeneutik diperlukan untuk menafsir bahasa.

(4)

88

Gambar 3. Skema Pembentukan Elite Politik Sulsel

Relasi antara kekuasaan, uang, simbol, pengaruh, dan komitmen nilai (wacana dan makna) adalah variabel-variabel yang juga ikut memberikan kontribusi dalam proses pembentukan elite di Sulawesi Selatan. Terutama, apabila pembentukan kekuasaan (elite) itu beriringan dengan kepentingan atau konflik antar kelompok identitas; etnis, agama, kultur dan geografi.

Pola permainan elite pada etnis Bugis dan Makassar dalam upayanya meraih, mempertahankan, dan memperluas kekuasaan berbeda dari satu tahapan waktu dengan era lainnya. Menurut Gibson (Gibson 2005;2007) tahapan perkembangan atau transformasi elite politik dan ekonomi pada etnis Bugis dan Makassar dimulai dari tahapan tardisional, islam dan moderenisme. Tahapan yang dimaksud Gibson memiliki kemiripan dengan tahapan perkembangan masyarakat yang dikemukakan Comte dalam bukunya the Course of Positive Philosophy,

(1838). Menurut Comte, sejarahperkembangan pikiran manusia dibagi menjadi 3

tahap yaitu 1) teologi, 2) metafisis, dan 3) positif. Melalui teori tiga tahap ini, refleksi dari sejarah manusia merupakan pangkal yang memimpin Comte memformulasikan teori yang berdasarkan pada filsafat positifnya. Ia menghubungkan tahapan ini dengan fase hidup individu dan melihat fase ini dengan kaca mata sejarah yang lebih luas.

ELITE MASYARAKAT NON-ELITE/ MASSA

GOVERNING ELITE

NON GOVERNING ELITE

LSM, TOKOH AGAMA, MEDIA MASSA, MAHASISWA  KAPITALISASI; IDEOLOGI & MITOS (SIMBOL BUDAYA) POLITISI, BIROKRAT, MILITER,

PENGUSAHA;  KAPITALISASI; SIMBOL BUDAYA, KUASA DAN UANG

(5)

89 Tahap pertama yaitu teologi. Ini dimengerti oleh Comte sebagai being. Dalam fase ini manusia mencari sebab-sebab terakhir di belakang peristiwa-peristiwa alam dan menemukannya dalam kekuatan-kekuatan adimanusiawi. Pada masa anak-anak ini secara instingtif manusia mencoba menjelaskan fenomena-fenomena. Manusia mencari penyebab sejati dari yang tidak diketahui yang dianggap berasal dari benda berjiwa dan sesuatu yang menyerupai manusia. Oleh Comte, mentalitas animistik ini didiskripsikan sebagai tahap fetisisme. Lalu pada tahap berikutnya berkembang politeisme yang memproyeksikan kekuatan alam menjadi bentuk dewa-dewa. Berikutnya dewa-dewa politeisme ini dilebur menjadi satu konsep Tuhan monoteisme. Inilah urutan sub - bagian dari fetisisme, politeisme, hingga monoteisme yang terdapat bersama di dalam tahap teologi.

Tahap kedua sebagai tahap metafisis. Pada tahap metafisis ini, penjelasan aktifitas kehendak ilahi diganti menjadi idea-idea fiksi seperti ether, prinsip-prinsip penting, dll. Masa transisi dari tahap teologi ke metafisis ini telah selesai

ketika konsep supernatural dan dewa-dewa digantikan oleh konsep

all-inclusive Nature.

Tahap ketiga yaitu tahap positif. Tahap ini dikatakan sebagai masa dewasa dari mentalitas. Pada tahap ini, pikiran memusatkan diri pada fenomena atau fakta hasil observasi dimana itu semua digolongkan di bawah hukum umum deskriptif umum, seperti hukum gravitasi. Dengan adanya hukum-hukum deskriptif ini akan membuat berbagai prediksi menjadi nyata. Dan memang, sasaran dari pengetahuan positif yang sejati adalah kemampuan untuk memprediksi dan mengontrol. Pengetahuan positif itu sejati ( real ), pasti ( certain ), dan berguna (useful).

Teori tiga tahap juga memiliki sedikit hubungan dengan reorganisasi masyarakat. Comte menggolongkan tahap tersebut dengan bentuk organisasi sosial. Tahap teologi diasosiasikan dengan kepercayaan pada otoritas absolut, kebenaran ilahi dari raja, dan golongan sosial yang berbau militer. Dengan kata lain, golongan sosial didapatkan melalui otoritas atas. Lalu dalam tahap metafisis ada kepercayaan pada hukum-hukum abstrak. Dan yang terakhir tahap positif yang diasosiasikan dengan perkembangan masyarakat industri. Dalam tahap ini, kegiatan ekonomi menjadi perhatian dan terdapat para elite dalam ahli ilmu pengetahuan yang mengorganisasikan kelompok masyarakat. Bagi Comte, abad

(6)

90

pertengahan itu merupakan representasi tahap teologi. Masa pencerahan sebagai representasi tahap metafisis. Lalu masa dimana Comte hidup merupakan awal tahap positif.

Dari tiga tahap perkembangan manusia ini dapat diambil dua point. Pertama, berhubungan dengan kepercayaan. Comte menyatakan kepercayaan kita ini kerdil karena tidak didasarkan akal sehat dimana tidak ada alasan positif untuk percaya bahwa ada Tuhan yang transenden. Dengan kata lain, penyebaran ateisme adalah ciri-ciri perkembangan pikiran pada masa dewasa ini.

Kedua, berhubungan dengan korelasi tiga tipe organisasi sosial dengan tiga tahap perkembangan manusia. Dalam kajian ini Comte mau mengungkapkan semakin intelektual manusia maju maka perkembangan sosial dapat berjalan lebih cepat. Ini dikarenakan ada suatu rencana sosial yang dilakukan oleh para elite pengetahuan juga ada suatu apriaori bahwa semakin mental maju maka kemajuan sosial akan lebih cepat tercapai.

Teori tiga tahap dari Comte dapat ditafsirkan sebagai; tahap teologis, adalah periode feudalisme, tahap metafisis merupakan periode absolutisme dan tahap

positif yang mendasari masyarakat modern dan industri.

Pada setiap tahapan tersebut di atas, para elite kekuasaan politik dan ekonomi membangun konstruksinya tersendiri untuk meraih, memperkokoh dan memperluas kekuasaannya. Konstruksi yang dimaksud dibangun dengan instrumen-instrumen utama seperti; simbol budaya; kuasa, dan uang. Kuasa memiliki hubungan dengan politik, uang berkaitan dengan ekonomi, simbol budaya berpengaruh pada komitmen nilai dan makna yang diwacanakan terus menerus dalam berbagai cara.

Berdasarkan pandangan Gibson dan Comte serta isntrumen yang digunakan para elite dalam membangun, mempertahankan dan memperluas kekuasaannya, maka proses pembentukan elite di dalam etnis Bugis dan Makassar, konstruksinya dapat dilihat pada gambar tiga (3) berikut:

(7)

91 Gambar 4. Skema proses produksi kekuasaan di dalam etnis Bugis &

Makassar.

Dari skema di atas terlihat dengan jelas bahwa proses produksi kekuasaan dan cara mempertahankan kekuasaan yang terjadi di Sulawesi Selatan dengan basis utama; birokrasi, private sectors (pengusaha) dan politisi dengan menggunakan ranah tiga media (kuasa, uang, wacana dan makna atau simbol budaya).

Jalur politik memanfaatkan etnisitas, agama, geopolitik, partai politik, organisasi sosial masyarakat dan massa. Untuk menghubungkan dirinya dengan massa, mereka dominan menggunakan kuasa dan simbol budaya. Sedangkan jalur birokrasi, cenderung menggunakan regulasi, institusi negara dan pemerintah sebagai alat utamanya (kuasa dan uang). Sedangkan jalur pengusaha memanfaatkan pasar dan institusi bisnis (uang) sebagai alat untuk dijadikan sebagai instrumen dan jembatan untuk mencapai tujuan politiknya.

(8)

92

3.3 Strategi, Langkah, Pengumpulan dan Analisis Data

Telah diuraikan sebelumnya bahwa konstruktivisme merupakan pilihan paradigma yang digunakan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Penggunaan metode ini dimaksudkan untuk menggali data yang bersifat subyektif dan historis serta sebagai panduan mencari responden (elite ekonomi, elite politik, tetua, dan warga Desa di dua etnis sebagai fokus kajian). Pilihan pengggunaan metode kualitatif dikarenakan berguna untuk melihat secara detail dan mendalam proses pembentukan elite yang terjadi di dua etnis (Makassar dan Bugis) dalam merebut kekuasaan dan ekonomi di Sulawesi Selatan. Selain itu, metode ini juga diharapkan mampu menangkap bagaimana pola interaksi antara elite dengan masyarakat, serta bagaimana institusi modern dan issue globalisasi menggeser pola sistem sosial yang ada di masyarakat Sulsel.

Sementara itu, strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus, yaitu suatu proses pengkajian dan pengumpulan data secara mendalam dan detail seputar kejadian khusus sebagai ―kasus‖ yang dipilih (Neuman 1994; Nisbet dan Watt 1994). Perlu ditambahkan pula bahwa pendekatan yang digunakan adalah pengamatan, wawancara mendalam, penelusuran dokumen, studi sejarah, dan studi riwayat hidup yang merupakan pengalaman kehidupan individu tertentu sebagai warga masyarakat yang diteliti (Denzin 1989).

Dari pendekatan yang digunakan tersebut, diharapkan terkumpulnya dua jenis kelompok data, yaitu data sekunder dan data primer. Data sekunder berupa data statistik dan hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan, meliputi: Sulawesi Selatan Dalam Angka, bagaimana proses pertarungan sosiologi politik yang terjadi seperti, dalam proses pemilihan pemimpin; Gubernur, Bupati, anggota DPRD, DPR RI, dan lain-lain. Sementara itu, data primer berupa wawancara mendalam yang diperoleh dari responden sebagai pemberi keterangan tentang dirinya sendiri dan informan sebagai pemberi keterangan tentang orang lain. Tidak hanya itu saja, studi riwayat hidup dan studi histori juga dilakukan. Pentingnya dua pendekatan terakhir ini digunakan karena akan memberikan penjelasan dinamika pembentukan elite di dua etnis (Makassar dan Bugis) dalam merebut kekuasaan dan ekonomi di Sulawesi Selatan dalam kerangka lintasan kesejarahaan (Castley dan Kumar 1988; Mulder 1984).

(9)

93 Dalam penelitian ini juga dilakukan triangulasi data, yakni penggunaan beragam sumber data yang meliputi komunikasi dialogis, riwayat hidup topikal, serta data sekunder dalam bentuk penelusuran dokumen, llaporan, catatan sejarah dan lainnya.

Teknik pengumpulan data yang digunakan disesuaikan dengan strategi studi kasus berupa komunikasi dialogis. Dalam upaya emansipasi atau penyadaran dan saling berbagi pengalaman, maka model komunikasi yang dibangun bersifat konvergen. Komunikasi konvergen sebagai suatu proses, di mana masing-masing partisipan memberikan dan berbagi informasi satu sama lain untuk memperkaya pemahaman bersama (Eiler, 1994). Dalam pemahaman yang serupa, Rogers (1986) menyebutkan bahwa konvergensi adalah kecenderungan pada dua orang atau lebih individu untuk bergerak kesatu pemikiran, atau bagi individu bergerak kepada yang lainnya, dan menyatukan fokus dan perhatian bersama. Teknik pengumpulan data ini memungkinkan peneliti dan yang diteliti memaknai berbagai kehidupan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam aplikasi interaksi sosial, system sosial dalam konteks kekuasaan lokal di Sulawesi Selatan.

Teknik pengumpulan data berupa riwayat hidup topikal juga digunakan untuk menggali data, terutama pada tahapan atau fase masuknya institusi modernisasi dan global dalam kehidupan individu atau tineliti yang dipilih pada masing-masing responden. Selain informan elite pada masing-masing level (tipe) mulai kampung, dusun, desa hingga ke aras yang paling tinggi (representasi orang Sulsel) juga dilakukan dialog dengan pengamat luar yang memahami kehidupan sosial, politik dan ekonomi Sulawesi Selatan.

lnforman penelitian juga mempertimbangkan aspek gender dengan pertimbangan bahwa dalam kegiatan sosial, politik, kebudayaan dan ekonomi, perempuan memiliki peranan strategis. seperti dalam kegiatan ritual, penyembahan, dan sebagai penentu keputusan terakhir. Menurut Patton (2006), pengambilan informan dengan metode ini merupakan pendekatan untuk menempatkan informasi yang kaya dan informan kunci atau kasus kritis, pengambilan informan dihentikan apabila; (a) tidak ada lagi data baru yang relevan, (b) penyusunan kategorinya telah terpenuhi; dan (c) hubungan antar kategori sudah ditetapkan dan dibuktikan.

(10)

94

Pengumpulan data lainnya berupa data sekunder yang bertujuan untuk menganalisis pola hubungan antara elite dengan pengikutnya, perilaku elite tentang kekuasaan, dan bagaimana perubahan sistem sosial, politik dan budaya di Sulawesi Selatan, karena pengaruh institusi modern dan globalisasi, dapat juga ditelusuri melalui berbagai dokumen dan laporan atau bentuk lainnya yang terdapat pada berbagai sumber-sumber resmi.

Menurut Lincoln dan Guba (2000) secara metodologis teori Konstruktivisme bersifat dialogis dan dialektik, sehingga penelitian dibangun melalui dialog antara peneliti dengan subjek penelitian. Dialog yang bersifat dialektikal secara alamiah bertujuan untuk merubah ketidaktahuan dan salah pengertian menjadi kesadaran atau sebagai bentuk transformasi intelektual. Pengumpulan data, dan analisis data berlangsung secara simultan. Data dalam penelitian ini merupakan pemahaman bersama antara peneliti dan tineliti. Oleh karena itu pengetahuan terdiri atas

serangkaian pemahaman struktur/historis yang akan ditransformasikan.

Pengetahuan bukan merupakan akumulasi yang mutlak, melainkan tumbuh dan berubah melalui suatu proses dialektikal revisi historis yang secara terus menerus menghilangkan salah pengertian dan ketidaktahuan, serta memperluas pengertian tentang informasi yang diberikan secara lebih mendalam.

Gambar

Gambar 3. Skema Pembentukan Elite Politik Sulsel

Referensi

Dokumen terkait

Pada bagian ini dijelaskan mengenai tahapan-tahapan dalam melakukan pengembangan Sistem Reservasi Penginapan yang terdiri dari pemodelan proses bisnis dan analisis

Alim Setiawan Slamet, S.TP, M.Si, mengatakan bahwa mahasiswa yang mengikuti program dari perusahaan dapat menambah pengalaman dan soft skill sehingga setelah lulus nanti tidak

6. Bogor via e-mail untuk menutup kegiatan usaha “CV. Harapan Utama Indah”. Sampai sekarang belum ada tindak lanjutnya. Demikian surat ini dibuat dan kami harap segera

Tujuan dari proses manajemen ketersediaan adalah untuk memastikan bahwa tingkat ketersediaan layanan yang diberikan sesuai dengan atau melebihi kebutuhan bisnis yang telah

Menurut klausul ini, pada tahap-tahap yang tepat dari desain dan pengembangan, verifikasi harus dilakukan untuk menjamin bahwa output desain dan pengembangan itu

1) Care giver, artinya Apoteker dapat memberi pelayanan kepada pasien, memberi informasi obat kepada masyarakat dan kepada tenaga kesehatan lainnya. 2) Decision

Setelah masuk ke dalam sungai harus menentang arus dan menempuh perjalanan jauh sebelum sampai daerah pemijahan Contoh : Salmon Ikan lacustrine (penghuni danau). Terbatas