• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Inklusi di Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pendidikan Inklusi di Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Pendidikan Inklusi di Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini Nuraeni

Program Studi Bimbingan dan Konseling, FIP IKIP Mataram E-mail: sasakrengganis@gmail.com

Abstract: Inclusive education should be started in early childhood. In addition to laws and regulations that

support the implementation of early childhood education, conceptual and scientific studies of child development, have shown positive values in the provision of early education services. The most striking effect and can leave the impression that the old performed at the right time, ie during the critical or sensitive period. Therefore, the need for stimuli given at an early age that can improve all aspects of the development is also based on the view. Delay or waiver provision stimuli at the right time will give a negative impact on children's development.

Abstrak: Pendidikan inklusif seharusnya dapat dimulai sejak anak usia dini. Selain undang-undang dan

peraturan yang mendukung terselenggaranya pendidikan anak usia dini, secara konseptual dan kajian-kajian ilmiah mengenai perkembangan anak, telah menunjukkan adanya nilai-nilai positif dalam pemberian layanan pendidikan sejak dini. pengaruh yang paling mengena dan dapat meninggalkan kesan yang lama dilakukan pada saat yang tepat, yaitu pada masa kritis atau masa sensitif. Oleh karena itu, perlunya rangsangan diberikan pada usia dini yang dapat meningkatkan seluruh aspek perkembangan juga didasarkan pada pandangan tersebut. Keterlambatan atau pengabaian pemberian rangsangan pada saat yang tepat akan memberi dampak negatif bagi perkembangan anak.

Kata Kunci: Pendidikan Inklusif, PAUD

Pendahuluan

Dalam undang-undang dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Hal ini menun-jukkan bahwa anak berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan.

Pendidikan terpadu yang ada pada saat ini diarahkan menuju pendidikan inklusif sebagai wadah yang ideal yang diharapkan dapat mengakomodasikan pendidikan bagi semua anak terutama anak-anak yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus yang selama ini masih belum terpenuhi haknya untuk memperoleh pendidikan layaknya anak-anak lain.

Pendidikan inklusif seharusnya dapat dimulai sejak anak usia dini. Selain undang-undang dan peraturan yang mendukung terselenggaranya pendidikan anak usia dini, secara konseptual dan kajian-kajian ilmiah mengenai perkembangan anak, telah menun-jukkan adanya nilai-nilai positif dalam pemberian layanan pendidikan sejak dini. Smith (2006) menjelaskan bahwa pengaruh

yang paling mengena dan dapat

meninggalkan kesan yang lama dilakukan pada saat yang tepat, yaitu pada masa kritis atau masa sensitif. Oleh karena itu, perlunya rangsangan diberikan pada usia dini yang dapat meningkatkan seluruh aspek perkem-bangan juga didasarkan pada pandangan tersebut. Keterlambatan atau pengabaian pemberian rangsangan pada saat yang tepat akan memberi dampak negatif bagi perkembangan anak.

(2)

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Indonesia selama ini sudah menyeleng-garakan pendidikan inklusif, dimulai dari tingkat pendidikan dasar (SD) sampai dengan tingkat atas (SMA). Pendidikan inklusif selayaknya dapat dimulai dari jenjang pendidikan yang paling awal, yaitu dimulai dari jenjang PAUD. Hal ini disebabkan karena pada saat usia dini, seorang anak dapat menerima rangsangan dengan sangat baik dibandingkan setelah anak tersebut menginjak usia yang lebih tinggi (usia SD).

Konsep ABK (Anak Berkebutuhan Khusus)

Pengertian anak berkebutuhan khusus memiliki arti yang lebih luas apabila dibandingkan dengan pengertian anak luar biasa. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam pendidikannya memer-lukan pelayanan yang spesifik dan berbeda dengan anak pada umumnya (Depdiknas, 2007). Anak berkebutuhan khusus ini mengalami hambatan dalam belajar dan perkembangan, baik itu disebabkan karena kurang atau terlalu berlebihnya potensi yan dimiliki sang anak. Oleh sebab itu mereka memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan belajar masing-masing anak.

Secara umum rentangan anak berkebutuhan khusus meliputi dua kategori yaitu: anak yang memiliki kebutuhan khusus yang bersifat permanen, yaitu akibat dari kelainan tertentu, dan anak berkebutuhan khusus yang bersifat temporer, yaitu mereka yang mengalami hambatan belajar dan perkembangan yang disebabkan kondisi dan situasi lingkungan. Misalnya, anak yang

mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri akibat kerusuhan dan bencana alam, atau tidak bisa membaca karena kekeliruan guru mengajar, anak yang mengalami kedwi-bahasaan (perbedaan bahasa di rumah dan di sekolah), anak yang mengalami hambatan belajar dan perkembangan karena isolasi budaya dan karena kemiskinan dsb. Anak berkebutuhan khusus temporer, apabila tidak mendapatkan intervensi yang tepat dan sesuai dengan hambatan belajarnya bisa menjadi permanen (Depdiknas, 2007).

Setiap anak berkebutuhan khusus, baik yang bersifat permanen maupun yang temporer, memiliki perkembangan hambatan belajar dan kebutuhan belajar yang berbeda-beda (Hildayani, 2009). Hambatan belajar yang dialami oleh setiap anak, disebabkan oleh tiga hal, yaitu: (1) faktor lingkungan (2) faktor dalam diri anak sendiri, dan (3) kombinasi antara faktor lingkungan dan faktor dalam diri anak. Sesuai kebutuhan lapangan maka pada buku ini hanya dibahas secara singkat pada kelompok anak berkebutuhan khusus yang sifatnya permanen.

Pengertian Pendidikan Inklusif

Pendidikan inklusif mempunyai pengertian yang beraneka ragam, Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa sekolah inklusif adalah sekolah yang dapat menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah tersebut mampu menyediakan program pendidikan yang layak sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa. Bantuan dan dukungan yang diberikan oleh para guru agar semua anak dapat mencapai keberhasilan.

(3)

Staub dan Peck (1995) mengemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah dengan menempatkan anak berkelainan tingkat ringan, sedang dan berat secara penuh di kelas reguler.

Pendidikan inklusif menurut Sapon-Shevin (dalam Unesco, 2003) merupakan sistem layanan pendidikan yang mem-persyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama dengan anak seusianya. Hal ini menuntut konsekuensi adanya restrukturisasi sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, artinya kaya dalam sumber belajar dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua dan masyarakat sekitar.

Istilah inklusif memiliki ukuran universal. Istilah inklusif dapat dikaitkan dengan persamaan, keadilan, dan hak individual dalam pembagian sumber-sumber seperti politik, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Dalam ranah pendidikan, istilah inklusif dikaitkan dengan model pendidikan yang tidak membeda-bedakan individu berdasarkan kemampuan dan atau kelainan yang dimiliki individu. Dengan demikian pendidikan inklusif didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu.

Istilah pendidikan inklusif digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak

berkebutuhan khusus (penyandang

hambatan/cacat) ke dalam program sekolah. Konsep inklusif memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah

Walisman (2009) menyatakan bahwa hakikat inklusif adalah mengenai persamaan hak setiap siswa atas perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Para siswa harus diberi kesempatan yang sama untuk mencapai potensi mereka. Untuk mencapai potensi tersebut, sistem pendidikan harus

dirancang dengan memperhitungkan

perbedaan-perbedaan yang ada pada diri siswa. Bagi mereka yang memiliki ketidak-mampuan khusus dan/atau memiliki kebutuhan belajar yang luar biasa harus mempunyai akses terhadap pendidikan yang bermutu tinggi dan tepat. Keduanya menekankan bahwa siswa memiliki hak yang sama tanpa dibeda-bedakan ber-dasarkan perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Perbedaan yang terdapat dalam diri individu harus disikapi dunia pendidikan dengan mempersiapkan model pendidikan yang disesuaikan dengan perbedaan-perbedaan individu tersebut. Perbedaan bukan lantas melahirkan diskriminasi dalam pendidikan, namun pendidikan harus tanggap dalam menghadapi perbedaan.

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang mem-berikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa

untuk mengikuti pendidikan atau

pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Pengertian pendidikan dalam Per-mendiknas di atas memberikan penjelasan secara lebih rinci mengenai siapa saja yang

(4)

dapat dimasukkan dalam pendidikan in-klusif. Perincian yang diberikan pemerintah ini dapat dipahami sebagai bentuk kebijakan yang sudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia, sehingga pemerintah memandang perlu memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik dari yang normal, memilik kelainan, dan memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan. Dengan demikian

pemerintah mulai mengubah model

pendidikan yang selama ini memisah-misahkan peserta didik normal ke dalam sekolah reguler, peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan bakat istimewa ke dalam sekolah (baca: kelas) akselerasi, dan peserta didik dengan kelainan ke dalam Sekolah Luar Biasa (SLB).

Rumusan mengenai pendidikan inklusif yang disusun oleh Direktorat Pendidikan Sekolah Luar Biasa (PSLB) Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Kementrian Pendidikan Nasional (Kemen-diknas) mengenai pendidikan inklusif menyebutkan bahwa pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama-sama teman seusianya. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di sekolah yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak dan menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil.

Pengertian-pengertian yang dikemu-kakan di atas secara umum menyatakan hal yang sama mengenai pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif berarti pendidikan yang dirancang dan disesuaikan dengan kebu-tuhan semua peserta didik, baik peserta didik yang normal maupun peserta didik ber-kebutuhan khusus. Masing-masing dari mereka memperoleh layanan pendidikan yang sama tanpa dibeda-bedakan satu sama lain.

Latar Belakang Pendidikan Inklusif di PAUD

Pendidikan inklusif seharusnya dapat dimulai sejak anak usia dini. Selain undang-undang dan peraturan yang mendukung terselenggaranya pendidikan anak usia dini, secara konseptual dan kajian-kajian ilmiah mengenai perkembangan anak, telah menunjukkan adanya nilai-nilai positif dalam pemberian layanan pendidikan sejak dini. Smith (2006) menjelaskan bahwa pengaruh yang paling mengena dan dapat meninggalkan kesan yang lama dilakukan pada saat yang tepat, yaitu pada masa kritis atau masa sensitif. Oleh karena itu, perlunya rangsangan diberikan pada usia dini yang dapat meningkatkan seluruh aspek per-kembangan juga didasarkan pada pandangan tersebut. Keterlambatan atau pengabaian pemberian rangsangan pada saat yang tepat akan memberi dampak negatif bagi perkembangan anak.

Disamping uraian di atas, alasan mengapa program inklusif sebaiknya diterapkan sejak di PAUD karena ternyata ada banyak sekali manfaat yang bisa didapat dari program inklusif yang diselenggarakan oleh sekolah-sekolah, diantaranya:

(5)

1. Manfaat bagi semua siswa;

 Bagi anak-anak yang tidak memiliki hambatan akan menambah wawasan bahwa di lingkungan mereka ada beberapa individu yang mempunyai beberapa hambatan

 Setelah mereka mengetahuinya selanjutnya dapat menimbulkan efek pemahaman dan penerimaan sejak dini

 Bagi anak berkebutuhan khusus tidak akan merasa bahwa mereka berbeda dengan anak-anak lain

 Meningkatkan rasa percaya diri anak-anak yang mempunyai kebu-tuhan khusus.

2. Manfaat bagi tenaga pendidik

 Guru memperoleh ilmu dan dan pengalaman baru yang sangat bermanfaat bagi mereka

 Menemukan metode-metode mani-pulatif dan kreatif dalam pengajaran

 Menumbuhkan suatu komitmen

terhadap etika dan tanggung jawab pengajaran.

3. Manfaat bagi orangtua

Manfaat bagi orangtua dengan ABK adalah dapat meningkatkan rasa percaya diri mereka karena ternyata anaknya bukanlah “penyakit” yang perlu disingkirkan tapi bisa bergabung dengan bukan ABK. Manfaat bagi orangtua pada umumnya adalah dalam rangka pengem-bangan sikap empati, penghargaan dan

penerimaan pada ABK beserta

keluarganya.

4. Manfaat bagi masyarakat

Masyarakat secara umum akan terbuka pemahamannya bahwa ABK bukanlah

anak yang harus dikucilkan dan disingkirkan, ABK bisa bergabung dengan anak pada umumnya karena mereka seperti yang lainnya juga adalah manusia yang tentu saja mempunyai hak yang sama. Keterbukaan pemahaman masyarakat tersebut bisa dibangun melalui adanya sekolah-sekolah inklusif, terutama apabila dimulai dari jenjang PAUD.

Model-model Pendidikan Inklusif

Pendidikan inklusif merupakan per-kembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana-prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya.

Pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang menye-suaikan dengan sistem persekolahan. Dengan melihat adanya penyesuaian terhadap kebutuhan peserta didik yang berbeda-beda, maka dalam setting pendidi-kan inklusif model pendidikan yang dilaksanakan memiliki model yang berbeda dengan model pendidikan yang lazim dilaksanakan di sekolah-sekolah reguler. Pada dasarnya pendidikan inklusif memiliki beberapa model, diantaranya (Dikdasmen, 2007):

(6)

1. Kelas inklusif penuh (full

inclusion).

Model ini menyertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk mene-rima pembelajaran individual dalam kelas reguler.

2. Kelas inklusif parsial (partial

inclusion) atau pull out

Model ini mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus dalam sebagian pembelajaran yang berlang-sung di kelas reguler dan sebagian lagi dalam kelas-kelas pull out dengan bantuan guru pendamping khusus.

3. Kelas reguler dengan cluster dan pull out

Anak berkebutuhan khusus bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.

4. Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian

Anak berkebutuhan khusus di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler.

5. Kelas khusus penuh

Anak berkebutuhan khusus di dalam kelas khusus pada sekolah reguler. Dengan demikian, pendidikan in-klusif tidak mengharuskan semua anak berkebutuhan khusus berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh), karena sebagian anak

berkebutuhan khusus dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi berhubung gradasi kekhususannya cukup berat. Bahkan bagi anak berkebutuhan khusus dengan gradasi kekhususan berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi anak dengan gradasi kekhususan sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).

Prasyarat Pendidikan Inklusif di PAUD

Salah satu karakteristik terpenting dari sekolah inklusif adalah satu komunitas yang kohesif, menerima dan responsif terhadap kebutuhan individual siswa. Untuk itu, Sapon-Shevin (dalam Supamo, 2001) mengemukakan beberapa profil pem-belajaran di sekolah inklusif yaitu:

1. Pendidikan inklusif berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan.

2. Mengajar kelas yang heterogen memer-lukan perubahan pelaksanaan kurikulum secara mendasar.

3. Pendidikan inklusif berarti penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara

terus menerus dan penghapusan

hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi.

4. Pendidikan inklusif berarti melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan.

(7)

Pendidikan inklusif masih menggunakan kurikulum standar nasional yang telah ditetapkan pemerintah. Namun dalam pelaksanaan di lapangan, kurikulum pada pendidikan inklusif disesuaikan dengan kemampuan dan karakteristik peserta didik.

Pemerintah menyatakan bahwa kurikulum yang dipakai satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan peserta didik sesuai dengan bakat, minat dan potensinya Model kurikulum pendidikan inklusif terdiri dari; (1) Model kurikulum reguler; (2) Model kurikulum reguler dengan modifikasi; dan (3) Model kurikulum Program Pembelajaran Individual (PPI). Konsep pendidikan inklusif yang berprinsip pada persamaan men-syaratkan adanya penyesuaian model pembelajaran yang tanggap terhadap perbedaan individu. Maka PPI atau IEP menjadi hal yang perlu mendapat penekanan lebih.

Kompetensi Guru Pendidikan Inklusif

Pengembangan Kompetensi guru sangatlah mutlak sebagai syarat terselenggaranya pendidikan inklusif. Menurut Suparno (2001), secara substansial terdapat dua komponen utama dalam pengembangan kompetensi guru pendidikan inklusif.

Pertama, memiliki kompetensi inti guru

yang telah distandarkan dan dikembangkan menjadi kompetensi guru PAUD/T K/RA, mencakup kompetensi (a) pedagogik, (b) kepribadian, (c) sosial, dan (d) profesional, (Permendiknas No. 16 Tahun 2007). Kedua, kompetensi kekhususan dalam pendidikan inklusif untuk TK, yaitu memiliki

pemahaman dan kemampuan dalam hal; (a) karakteristik dan kebutuhan belajar anak berkebutuhan khusus; (b) assesment pem-belajaran anak berkebutuhan khusus; (c) menciptakan lingkungan pembelajaran yang ramah; (d) program pembelajaran indi-vidual; dan (e) evaluasi pembelajaran anak berkebutuhan khusus.

Selain semua prasyarat yang telah dikemukakan di atas, untuk menjadi satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif menurut Direktorat Pembinaan SLB (2007) ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi, kriteria tersebut antara lain: (a) Kesiapan sekolah untuk menyelenggarakan program pendidikan inklusif (kepala sekolah, komite sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua); (b) Terdapat anak berkebutuhan khusus di lingkungan sekolah; (c) Tersedia guru pendidikan khusus (GPK). GPK adalah guru yang mempunyai latar belakang pendidikan khusus/pendidikan luar biasa atau yang pernah mendapat pelatihan tentang pendidikan khusus/luar biasa, yang ditugaskan di sekolah inklusif; (d) Komitmen terhadap penuntasan wajib belajar; (e) Memiliki jaringan kerjasama dengan lembaga lain yang relevan; (f) Tersedia sarana penunjang yang mudah diakses oleh semua anak; (g) Pihak sekolah telah memperoleh sosialisasi tentang pendidikan inklusif; (h) Sekolah tersebut telah terakreditasi; dan (i) Memenuhi prosedur administrasi yang ditentukan. Penutup

Untuk mewujudkan pendidikan inklusif di

lembaga PAUD bukanlah hal yang

sederhana, perlu perencanaan dan persiapan-persiapan yang matang, diantaranya

(8)

meliputi: penciptaan komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan; perubahan pelak-sanaan kurikulum secara mendasar; penyiapan guru untuk mengajar secara interaktif; penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi; pelibatan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan.

Guru dalam seting kelas inklusif harus menguasai strategi-strategi pengajaran yang sesuai dengan karakteristik kekhususan anak didiknya. Hal ini dikarenakan ABK masing-masing mempunyai karakteristik pembelajaran yang sangat berbeda antara individu yang satu dengan yang lain walapun itu masih dalam satu ketunaan juga.

Daftar Pustaka

Depdiknas. (2007). Pedoman Umum

Penyelenggaraan Pendidikan

Inklusif, Jakarta: Direktorat

Pembinaan Sekolah Luar Biasa Hildayani. R. (2009). Penanganan Anak

Berkelainan (Anak dengan

Kebutuhan Khusus). Jakarta:

Penerbit Universitas Terbuka, Depdiknas.

Mdikana, Andile 8: Mayekiso, Tokozile. 2007. ”Preservice Educators’

Attitudes Toward Inclusive

Education”. International journal of Special Education. Vol. 22, Number 1. 1

Smith, David. (2006). Inklusi, Sekolah yang Ramah untuk Semua. (Terjemahan). Bandung: Penerbit Nuansa

Skjorten, MD. (2001). Towards Inclusion, Education-Special Needs Education

An Introduction. Oslo: Unipub

forlag.

Stainback,W. & Sianback,S. (1990). Support Networks for Inclusive Schooling: Independent Integrated Education. Baltimore: Paul H.Brooks.

Staub, D. & Peck,C.A. (1994/195). What are

the outcomes for Nondisabled

students? Educational Leadership. 52 (4) 36 -40.

Supamo. (2001). Desain Pembelajaran Untuk Guru TK Inklusif, Cakrawala

Pendidikan, Jurnal Ilmiah

Pendidikan, Nopember 2011, Th. XXX, No. 3.

Tim Dir Pembinaan SLB (2007). Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. Dirjen Mandikdasmen. Dir Pembinaan SLB

Tim Dir Pembinaan SLB (2007).

Pengembangan Kurikulum

Pendidikan Inklusif. Dirjen

Mandikdasmen. Dir Pembinaan SLB

UNESCO. (1994). The Salamanca

Statement and Frame work for Action on Special Needs Education. Paris

UNESCO, (2003), Open File on Inclusive E ducation, Support Material for

Managers and Administrators;

Unesco; France.

Wasliman, Iim (2009) Pendidikan Inklusif Ramah Anak. Disampaikan pada pengukuhan Guru Besar Ilmu Administrasi Pendidikan STKIP Persis Bandung.

Referensi

Dokumen terkait

memperoleh pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran Cooperatif Script dengan handout, Cooperatif Script dan pembelajaran

Dalam proses sinkronisasi database, terdapat proses pengkopian data yang disimpan ke dalam suatu table dan skema yang berada pada database yang lain1. Dengan adanya

dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul Analisis Kepuasan Masyarakat Terhadap Pelayanan Kesehatan ibu dan Anak (KIA) Berdasarkan KEPMENPAN Nomor 25 Tahun 2004 di

Tugas perpustakaan umum membangun lingkungan pembelajaran ( learning environment ) dimana anggota komunitas pemakainya termotivasi untuk terus belajar dan

sajian sastra diperlukan penikmatan yang baik, sedang untuk menangkap isi atau makna dalam karya. estetika dibutuhkan sikap logis seorang

You are the desktop administrator for Certkiller .com. All employees use Windows XP Professional computers. A user named Julie is a member of the Sales user group. She reports that

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN TEACHING GAMES FOR UNDERSTANDING TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL DAN KETERAMPILAN BERMAIN BOLA BASKET.. Universitas Pendidikan Indonesia

Identifikasi hama dan patogen penyakit dilakukan di Laboratorium Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga dengan menggunakan