• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. merasa hak nya dilanggar, dikurangi, atau tidak diberikan dalam suatu hubungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. merasa hak nya dilanggar, dikurangi, atau tidak diberikan dalam suatu hubungan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Urgensi keberadaan hukum acara perdata dalam sistem hukum di Indonesia adalah sebagai salah satu bentuk perlindungan bagi subjek hukum yang merasa hak nya dilanggar, dikurangi, atau tidak diberikan dalam suatu hubungan hukum untuk menuntut keadilan atas hak nya tersebut melalui lembaga peradilan serta mencegah adanya upaya main hakim sendiri yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa agar mendapatkan hak nya. Prosedur pelaksanaan hukum acara perdata dalam praktik peradilan di Indonesia didasarkan pada sumber-sumber hukum acara perdata. Sumber-sumber hukum acara perdata di Indonesia tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, adat kebiasaan, dan doktrin1. Beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi sumber hukum acara perdata antara lain: HIR (Het Herziene Indonesicsh Reglement) / RBg (Rechtsreglement Buitengewesten); Rv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering); Bw (Burgerllijk Wetboek) Buku IV tentang Pembuktian dan

Kedaluarsa; Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; Undang No 3 Tahun 2009 jis Undang No. 5 Tahun 2004, Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; Undang-Undang-Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 jis Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 , Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum2.

1 Sudikno Mertokusumo, 2013, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Revisi, Cahaya Atma

Pustaka, Yogyakarta, hlm. 8-10.

2 H. Sunarto, 2014, Peran Aktif Hakim dalam Perkara Perdata, Kencana, Jakarta, hlm.19.

(2)

Pelaksanaan prosedur beracara dalam perkara perdata, selain didasarkan pada sumber-sumber sebagaimana disebutkan diatas, didasarkan juga pada asas-asas yang mana menjadi cikal bakal rumusan pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Beberapa asas yang dianut dalam hukum acara perdata, yakni: asas hakim bersifat menunggu, asas hakim bersifat pasif, asas sifat terbukanya persidangan, asas mendengar kedua belah pihak, asas putusan harus didasari dengan alasan, asas beracara dikenakan biaya, dan asas tidak ada keharusan mewakilkan3. Salah satu asas yang disebutkan diatas dan selama ini selalu diidentikan dalam pemeriksaan perkara perdata adalah asas hakim pasif. Hakim dalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara, luas cakupan pemeriksaan tersebut tidak ditentukan oleh hakim. Definisi dari asas ini yang harus digarisbawahi dan ditekankan adalah berkaitan dengan cakupan atau ruang lingkup pemeriksaan perkara, dimana hakim tidak boleh memperlebar atau mempersempit cakupan atau ruang lingkup dari perkara tersebut untuk diperiksa, karena para pihaklah yang menentukan cakupan ruang lingkup pemeriksaan dalam perkara perdata. Hakim dalam memeriksa perkara perdata harus bersikap tut wuri atau mengikuti kehendak para pihak, sehingga hakim dalam memeriksa perkara perdata terikat pada peristiwa-peristiwa yang diajukan oleh para pihak atau dikenal dengan istilah secundum allegata

iudicare4. Hakim hanya mengikuti kehendak para pihak dan memiliki kewajiban

3 Sudikno Mertokusumo, op,cit, hlm. 11- 18. 4 Ibid., hlm. 12.

(3)

untuk mengadilli seluruh gugatan yang dihadapkan kepadanya serta dilarang untuk menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut5 (asas iudex non ultra petita).

Asas Iudex non Ultra petita atau dikenal juga dengan istilah ultra petitum

partium secara normatif dituangkan atau diatur dalam Pasal 178 ayat (3) HIR/ Pasal

189 (3) RBg. Pasal 178 HIR/189 RBg menyatakan bahwa:

(1) Hakim karena jabatannya waktu bermusyawarah wajib mencukupkan segala alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak. (2) Hakim wajib mengadili atas segala bagian gugatan.

(3) Hakim tidak diizinkan menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak digugat atau memberikan lebih daripada yang digugat.

Ketentuan mengenai larangan untuk menjatuhkan putusan yang bersifat ultra petita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (3) HIR/ Pasal 189 ayat (3) RBg tersebut juga diperkuat dengan adanya yurisprudensi Mahkamah Agung. Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung No. 339K/Sip/1969 dalam perkara antara Sih Kanti melawan Pak Trimo dan Bpk Sutoikromo yang dikeluarkan tanggal 21 Februari 1970. Hakim Mahkamah Agung yang memeriksa perkara dalam tersebut menyatakan bahwa: “pertama putusan pengadilan negeri harus dibatalkan karena hakim dalam memutus perkara tidak boleh mengabulkan hal-hal yang tidak dituntut ataupun mengabulkan lebih dari yang dituntut. Lebih lanjut disampaikan bahwa dalam putusan tersebut hakim dianggap menguntungkan pihak

5 Bambang Sugeng, 2011, Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata,

(4)

tergugat sedangkan sebenarnya tidak ada tuntutan rekonpensi; kedua dinyatakan bahwa putusan pengadilan tinggi juga harus dibatalkan karena hanya memutus sebagian saja dari tuntutan”6.

Berkenaan dengan ketentuan mengenai putusan yang amarnya bersifat

ultra petita dalam pemeriksaan perkara di Mahkamah Agung, telah terjadi

perubahan paradigma berpikir, dimana beberapa hakim yang memutus perkara perdata menjatuhkan putusan yang bersifat ultra petita dalam perkara perdata. Adapun beberapa dasar pertimbangan yang dikemukakan hakim Mahkamah Agung dalam menjatuhkan putusan yang bersifat ultra petita dalam perkara perdata antara lain:

1. Adanya hubungan yang erat satu sama lainnya;

2. Hakim dalam menjalankan tugasnya agar aktif dan berusaha memberikan putusan yang menyelesaikan perkara;

3. Dibenarkan melebihi putusan asalkan masih sesuai dengan kejadian materiil yang dijinkan atau sesuai posita (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 556K/Sip/1971 dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 452.K/Sip/1975);

4. Mengenai ganti rugi hakim berwenang untuk menetapkan berapa sepantasnya jumlah yang harus dibayar, meskipun penggugat mempunyai hak untuk menuntut sejumlah ganti rugi tertentu;

6 R. Soeroso, 2012, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Bagian 5 Tentang Putusan

(5)

5. Putusan berdasarkan petitum subsidair, yang meminta keadilan dan tidak terikat dengan petitum primair, dibenarkan apabila diperoleh putusan yang lebih mendekati rasa keadilan, dan asalkan dalam kerangka yang serasi dengan inti petitum primair (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 140.K/Sip/1971)7;

6. Menambahkan alasan-alasan hukum yang tidak diajukan oleh pihak-pihak merupakan kewajiban Hakim berdasarkan Pasal 178 HIR (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1043 K/Sip / 1971)8.

Hakim dalam menjatuhkan putusan yang bersifat ultra petita dapat didasarkan pada yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum dalam hukum acara perdata, namun hal tersebut akan terlihat sangat subjektif karena tergantung pada bagaimana pandangan hakim yang bersangkutan dalam memutus perkara. Hal tersebut akan menimbulkan adanya perbedan pandangan bagi hakim pemeriksa perkara dalam memutus suatu perkara yang memiliki kecenderungan untuk diputus

ultra petita. Suatu perkara dalam pemeriksaan di tingkat judex factie, oleh hakim

pengadilan negerinya dijatuhkan putusan ultra petita, tetapi belum tentu putusan tersebut akan didukung atau dikuatkan oleh hakim yang memeriksa pada tingkat banding, kasasi ataupun peninjauan kembali. Ketentuan dalam Pasal 67 huruf c Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 jis Undang-Undang No. 5 Tahun 2004, Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, menyatakan bahwa,

7 Bambang Sugeng Ariadi S, Johan Wahyudi, dan Rizky Akbar, 2014, “Kajian Penerapan

Asas Ultra petita pada Petitum Ex Aequo Et Bono”, Jurnal Yuridika Vol 29 No.I, hlm. 100-112, Januari-April 2014, hlm. 105.

(6)

“suatu putusan dalam perkara perdata yang sudah inkracht atau berkekuatan hukum tetap dapat diajukan peninjauan kembali dengan beberapa alasan yang meliputi; (....) apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut”.

Oleh karena itu, jika ada pihak yang tidak puas dengan hasil putusan yang bersifat

ultra petita, maka meskipun putusan ultra petita tersebut telah bersifat inkracht atau

berkekuatan hukum tetap, masih terbuka peluang untuk diajukan peninjauan kembali atas putusan ultra petita tersebut.

Beberapa tahun terakhir, dalam rentang waktu tahun 2011-2016 didapatkan beberapa putusan yang bersifat ultra petita dalam pemeriksaan tingkat pertama khususnya di Pengadilan Negeri Denpasar. Putusan pertama yakni dengan nomer register 606/PDT.G/2011/PN. DPS dalam perkara perceraian antara Ida Ayu Putu Karang Ariani melawan Ida Bagus Komang Suryadana. Hakim menjatuhkan putusan ultra petita berkenaan dengan hak asuh anak perempuan penggugat dan tergugat, yang dalam petitum penggugat tidak dituntut. Penggugat dalam petitumnya menuntut hak asuh atas anak laki-laki, namun oleh hakim Pengadilan Negeri Denpasar ditetapkan bahwa hak asuh anak laki-laki diberikan pada penggugat, dan hak asuh atas kedua anak perempuan diberikan kepada tergugat. Berkenaan dengan adanya putusan tersebut, tergugat mengajukan banding dan dalam pemeriksaan di tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi Denpasar, amar mengenai pemberian hak asuh anak perempuan tersebut dinyatakan ultra petita oleh hakim yang memeriksa perkara, sehingga dalam putusan tingkat banding (Putusan No. 107/PDT/2012/PT DPS) amar mengenai hak asuk anak perempuan tersebut dikeluarkan dari amar putusan.

(7)

Perkara lain yang juga diputus secara ultra petita oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar yaitu perkara dengan nomor register 206/PDT.G/2014/PN.DPS, dalam perkara wanprestasi antara Gunawan Rahardjo, M.Com.,MBA. melawan DR. I Putu Gde Wardhiana, Sp.Og. Majelis hakim mengabulkan gugatan rekonvensi tergugat dan menjatuhkan putusan yang ultra

petita dengan membatalkan MOU dan perjanjian yang dibuat antara kedua belah

pihak yang bersengketa padahal dalam petitumnya Penggugat Rekonvensi tidak meminta perihal pembatalan MOU dan Perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Pada tingkat banding (Putusan No. 19/PDT/2015/PT.DPS) dan kasasi (Putusan No. 2834 K/Pdt/2015), hakim yang memeriksa perkara memperkuat putusan Pengadilan Negeri Denpasar yang amarnya menjatuhkan putusan ultra petita dalam hal pembatalan MOU dan Perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak tersebut. Putusan Ketiga yakni, putusan dengan nomor register perkara 816/Pdt.G/2015/PN.DPS dalam gugatan perbuatan melawan hukum antara Ni Wayan Gorim melawan Ni Wayan Widiastri dkk, majelis hakim memutuskan secara ultra petita berkenaan, menjatuhkan hukuman berupa ganti kerugian materiil dan inmateriil padahal yang ditutut dalam petitum hanya ganti kerugian inmateriil dan oleh karena itu terdapat penambahan pembayaran ganti rugi sejumlah Rp. 7.500.000.000 (tujuh miliar limaratus juta rupiah) dari semula yang diminta dalam petitum sejumlah Rp. 2.000.000.000 (dua miliar rupiah), akan tetapi terhadap perkara ini belum berkekuatan hukum tetap karena masih melalui prosedur upaya hukum.

(8)

Putusan pengadilan dalam perkara sebagaimana yang disebutkan pertama dan kedua, dapat dicermati bahwa terdapat perbedaan pandangan oleh hakim yang memeriksa perkara berkaitan dengan aspek putusan ultra petita. Kedua putusan tersebut pada tingkat Pengadilan Negeri dijatuhkan putusan yang amarnya bersifat

ultra petita, namun oleh hakim pada pemeriksaan di tingkat banding didapatkan

hasil yang berbeda. Satu putusan dianggap melampaui kewenangan (ultra petita) dan amar putusan yang bersifat ultra petita tersebut dibatalkan, namun putusan lain dianggap tidak melampaui kewenangan karena mempertimbangkan keadilan.

Apabila melihat pada alasan Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam salah satu yurisprudensi yang berkaitan tentang putusan ultra petita, alasan diperbolehkannya hakim menjatuhkan putusan ultra petita adalah, “dibenarkan melebihi putusan asalkan masih sesuai dengan kejadian materiil yang dijinkan atau sesuai posita”9. Amar putusan yang bersifat ultra petita dalam putusan pertama dan kedua dalam hal ini dijatuhkan dengan kondisi masih berkaitan dengan ruang lingkup pokok perkara, akan tetapi dalam pemeriksaan di tingkat pengadilan yang lebih tinggi satu putusan dinyatakan ultra petita dan dibatalkan, sedangkan satu lagi tidak. Sebagaimana yang disebutkan pula dalam yurisprudensi lain yang berkaitan dengan ultra petita dinyatakan bahwa alasan diperbolehkannya putusan

ultra petita yakni, “putusan berdasarkan petitum subsidair, yang meminta keadilan

dan tidak terikat dengan petitum primair, dibenarkan apabila diperoleh putusan yang lebih mendekati rasa keadilan, dan asalkan dalam kerangka yang serasi

(9)

dengan inti petitum primair”10. Kedua perkara tersebut pada gugatannya tidak disertai dengan petitum subsidair “ex aequo et bono”; akan tetapi dalam putusan 206/PDT.G/2014/PN.DPS; majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar menjatuhkan putusan ultra petita dengan dasar keadilan (ex aequo et bono) dan hal tersebut diperkuat dalam putusan banding dan kasasi.

Putusan hakim bagi suatu perkara merupakan hal yang amat penting karena berfungsi sebagai sarana menyelesaikan sengketa yang dihadapi oleh para pihak, sehingga putusan harus dijatuhkan dengan mempertimbangkan berbagai macam aspek. Hal ini diperlukan untuk membuat putusan menjadi lebih rasional terlebih lagi apabila hakim khususnya di tingkat pemeriksaan pada pengadilan negeri mengadili suatu perkara yang mana berpotensi untuk dijatukan putusan yang bersifat ultra petita. Pertimbangan hakim pentung untuk disusun secara cermat agar putusan tersebut dianggap tepat untuk menyelesaikan perkara yang dihadapi para pihak, serta mampu mencegah adanya disparitas pandangan hakim apabila nantinya dilakukan upaya hukum, sehingga putusan tersebut tidak dibatalkan oleh hakim yang memutus pada peradilan yang tingkatnya lebih tinggi.

B. Perumusan Masalah

1. Mengapa hakim dalam Putusan No. 2834 K/Pdt/2015 jis Putusan No. 19/PDT/2015/PT.DPS, Putusan No. 206/PDT.G/2014/PN.DPS menjatuhkan putusan yang bersifat ultra petita dalam perkara perdata?

(10)

2. Mengapa dalam Putusan No. 107/PDT/2012/PT DPS hakim Pengadilan Tinggi Denpasar menganulir amar putusan yang bersifat ultra petita yang dijatuhkan dalam Putusan No. 606/PDT.G/2011/PN.DPS?

3. Bagaimanakah pertimbangan yang semestinya dibuat hakim dalam menjatuhkan putusan yang bersifat ultra petita agar mampu memberikan keadilan dan menyelesaikan sengketa bagi para pihak yang berperkara? C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menganalisis alasan hakim menjatuhkan putusan

ultra petita dalam perkara perdata pada putusan Putusan No. 2834

K/Pdt/2015 jis Putusan No. 19/PDT/2015/PT.DPS, Putusan No. 206/PDT.G/2014/PN.DPS.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis alasan hakim Pengadilan Tinggi Denpasar dalam Putusan No. 107/PDT/2012/PT DPS menganulir amar putusan yang bersifat ultra petita yang dijatuhkan dalam Putusan No. 606/PDT.G/2011/PN.DPS.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan yang semestinya dibuat hakim dalam menjatuhkan putusan yang bersifat ultra petita agar mampu memberikan keadilan dan menyelesaikan sengketa bagi para pihak yang berperkara.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat atau faedah terhadap ilmu pengetahuan dan praktik penegakan hukum di Indonesia yakni melalui manfaat teori dan manfaat praktik, yang meliputi :

(11)

1. Manfaat teoritik yang diharapkan dari penelitian ini yakni untuk memberikan penjelasan kepada pembaca mengenai putusan ultra petita dalam perkara perdata, sehingga yang dapat memperkaya atau menambah pemahaman dalam keilmuan hukum acara perdata.

2. Manfaat praktik yang diharapkan dari penelitian ini yakni ditujukan khusunya bagi praktisi hukum dalam hal ini hakim dan advokat, serta ditujukan kepada para pihak yang berperkara;

a. Manfaat bagi hakim yang memeriksa perkara agar dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memutus perkara agar dapat menjatuhkan putusan yang mampu menyelesaikan perkara dalam kondisi suatu perkara perdata mengharuskan hakim untuk memutus

ultra petita.

b. Manfaat bagi advokat selaku kuasa hukum para pihak yang mencari keadilan agar dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mengajukan atau tidak mengajukan upaya hukum bilamana oleh hakim dijatuhkan putusan yang bersifat ultra petita, dengan mempertimbangan kebutuhan dan kepentingan pihak yang diwakilinya.

c. Manfaat bagi para pihak yang berperkara secara praktik penelitian ini diharapkan mampu membuka pemahaman agar tidak serta merta menilai bahwa putusan yang ultra petita selalu merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak yang lain, padahal tujuan dari dijatuhkannya putusan ultra petita agar putusan tersebut lebih

(12)

mencerminkan keadilan dan menyelesaikan perkara yang dihadapi oleh para pihak.

E. Keaslian Penelitian

Berkaitan dengan kajian penelitian yang meneliti tentang aspek ultra petita memang bukan kajian yang baru melainkan sebelumnya sudah ada beberapa penulis yang mengkaji tentang hal tersebut. Namun kebanyakan kajian tentang ultra

petita difokuskan pada ranah Peradilan Tata Usaha Negara atau Mahkamah

Konstitusi, sedangkan penelitian dengan aspek kajian ultra petita di ranah hukum acara perdata atau dalam perkara perdata sepengetahuan penulis belum ada yang menulis dalam tataran Tesis. Sepengetahuan penulis kajian tentang ultra petita dalam perkara perdata pernah dikaji dalam bentuk jurnal ilmiah / penelitian dosen. Beberapa penelitian sebelumnya yang mengkaji tentang ultra petita yakni :

1. Delta Arga Prayuda; Tesis Program Studi Magister Hukum Kenegaraan Universitas Gadjah Mada (2013)11

Tesis tersebut diatas berjudul Ultra petita dalam Putusan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai Upaya Perlindungan Hukum bagi Masyaakat Pencari Keadilan (Tinjauan Hukum Progresif), dengan rumusan rasalah :

a. Bagaimana implementasi dari aturan normatif yang mengatur tentang ultra petita dalam Peradilan Tata Usaha Negara terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)?

11 Delta Arga Prayuda, 2013, “Ultra petita dalam Putusan Peradilan Tata Usaha Negara

sebagai Upaya Perlindungan Hukum bagi Masyaakat Pencari Keadilan (Tinjauan Hukum Progresif)”, Tesis, Magister Hukum Kenegaraan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

(13)

b. Bagaimanakah penerapan ultra petita dalam Putusan Peradlan Tata Usaha Negara dalam Upaya perlindungan hukum bagi masyarakat pencari keadilan dipandang dari segi kebutuhan hukum yang ada saat ini (tinjauan hukum progresif) 12?

Kesimpulan yang disampaikan dalam tesis tersebut yakni sebagai berikut: a. Ketentuan larangan ultra petita secara prinsip diatur dalam Pasal 178 ayat (3) HIR yang dapat dimaknai dalam dua aspek yang atas hal-hal yang tidak diminta oleh penggugat dan kedua hakim dilarang untuk mengabulkan lebih dari yang diminta oleh penggugat. Dalam hukum acara PTUN meskipun secara normatif muatan ultra petita dilarang karena menurut undang-undang Mahkamah Agung dapat dijadikan sebagai alasan mengajukan peninjauan kembali akan tetapi dalam perkembangannya amar putusan reformatio in peius dimungkinkan untuk dijatuhkan sehingga larangan ultra petita di peradilan TUN tidak berlaku mutlak. Yurisprudensi sebagai bagian dari sumber hukum formil dalam hukum acara PTUN menjadi pijakan hukum bagi hakim TUN untuk mengeluarkan putusan ultra

petita sebatas reformatio in peuis . Namun dalam hal putusan ultra petita yang bukan reformatio in peuis dapat berimplikasi yuridis

yakni dibatalkan di tingkat banding, kasasi, maupun peninjauan kembali. Namun di lain pihak sebaian pandangan hakim administrasi, ultra petita adalah wujud dari penemuan hukum oleh

(14)

hakim yang merupakan upaya hakim untuk menyelesaikan perkara untuk kepentingan perlindungan hukum bagi masyarakat pencari keadilan maupun masyarakat pada umumnya, dimana amar “biasa” kurang memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat tersebut. b. Dalam berapa putusannya, PTUN telah memutuskan melebihi dari

yang dimohonkan. Diantara putusan tersebut adalah : Perkara No. 29/G/2010/PTUN. Smg (reformatio in peius), Perkara No. 06/G/2012/PTUN. Smg (memuat amar ultra petita), Perkara No. 32/G/2012/PTUN. Smg (memuat amar ultra petita), pertimbangan hakim yang melandasi dibuatnya amar putusan ultra petita, adalah kemanfaatan serta perlindungan hukum bagi para pihak dan bagi masyarakat secara umum. Meskipun pengaturan mengenai larangan

ultra petita masih bersifat multi tafsir, dalam perspektif hukum

progresif, proses perubahan tidak harus selalu berpusat pada peraturan yang ada, akan tetapi pada kreatifitas pelaku hukum dalam konteksnya. Akan tetapi, perlu digarisbawahi, bahwasanya kreatifitas apapun yang dilakukan oleh penegak hukum dapat menjadi tidak bermakna progresif manakala tidak untuk mewujudkan keadilan substantif, menempatkan keadilan, kemanfaatan, dan kebahagiaan manusia sebagai tujuan akhirnya. Karena perubahan progresif atas undang-undnag PTUN menjadi

(15)

salah satu alternatif bagi terwujudnya penegakan hukum yang progresif13.

2. Bambang Sugeng Ariadi S, Johan Wahyudi, dan Rizky Akbar; Jurnal Penelitian Dosen Universitas Airlangga dipublikasi dalam Jurnal Yuridika (2014)14;

Jurnal tersebut diatas berjudul Kajian Penerapan Asas Ultra petita pada Petitum Ex Aequo Et Bono, dengan pokok bahasan yang terdiri dari: a. Penerapan asas ultra petita pada petitum ex aqueo et bono menurut

yurisprudensi Mahkamah Agung.

b. Penerapan asas ultra petita pada petitum ex aqueo et bono di Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Negeri Sidoharjo15. Kesimpulan yang didapatkan dari jurnal tersebut dapat dijabarkan bahwa:

a. Dalam gugatan perdata Hakim tidak diperkenankan memberikan putusan yang melebihi daripada apa yang dituntut oleh Penggugat (ultra petita) sebagaimana diatur dalam Pasal 178 ayat (3) HIR dan Pasal 189 ayat (3) RBg. Dalam hal penjatuhan putusan atas dasar Ex

aequo et bono, yang merupakan putusan ultra petita, tidak boleh

melebihi materi pokok petitum primair, sehingga putusan yang dijatuhkan tidak melanggar ultra petita, serta putusan itu tidak boleh

13 Ibid, hlm. 133-134

14 Bambang Sugeng Ariadi S, Johan Wahyudi, dan Rizky Akbar, 2014, “Kajian Penerapan

Asas Ultra petita pada Petitum Ex Aequo Et Bono”, Jurnal Yuridika Vol 29 No.I, Periode Januari-April 2014, hlm. 100-112.

(16)

sampai berakibat merugikan tergugat dalam melakukan pembelaan kepentingannya.

b. Di dalam praktik peradilan di PN Surabaya dan PN Sidoarjo, penerapan asas ultra petita pada petitum subsider atau petitum Ex

aequo et bono, seringkali disimpangi, hal tersebut berdasar pada asas

keadilan hukum, asas kepastian hukum dan asas kemanfaatan, serta asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Hakim berdasarkan petitum subsider atau petitum Ex Aequo Et Bono (mohon putusan yang seadil-adilnya), boleh mengabulkan yang tidak diminta, karena pada hakikatnya hakim itu harus menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya16.

3. Martitah; Jurnal Ilmiah Dosen Universitas Negeri Semarang dipublikasi dalam Jurnal MMH (2014)17;

Jurnal sebagaimana disebutkan diatas berjudul Anotasi Putusan

Ultra petita dalam Lingkup Peradilan Administrasi di Indonesia, dengan

pokok bahasan yakni:

a. Kedudukan larangan putusan ultra petita dalam sistem peradilan administrasi.

b. Penerapan asas ultra petita dalam praktik peradilan administrasi18. Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan jurnal tersebut antara lain:

16 Ibid, hlm. 111.

17 Martitah, 2014, “Anotasi Putusan Ultra petita dalam Lingkup Peradilan Administrasi di

Indonesia” Jurnal MMH , jilid 43 No.1, Periode Januari 2014, hlm.115-124.

(17)

a. UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN tidak mengatur secara tegas larangan pembuatan putusan ultra petita, sehingga dapat dikatakan larangan ultra petita di lingkungan PTUN tidaklah berlaku mutlak. Yurisprudensi sebagai bagian dari sumber hukum formil dalam Hukum Acara PTUN menjadi pijakan hukum bagi para Hakim TUN untuk mengeluarkan putusan ultara petita tersebut, di samping adanya pedoman teksnis peradilan yang disusun MA sebagai pegangan para hakim yang juga memperbolehkannya sebatas

reformatio in peius.

b. Dalam praktik, diktum atau amar ultra petita sudah sering digunakan oleh hakim-hakim PTUN. Secara substantif, ternyata putusan-putusan ultra petita di PTUN memiliki karakter yang cukup beragam, misalnya bentuk amar ultra petita reformatio in peius,

reformatio in melius, perintah pengulangan proses, pembatalan

keputusan bukan objek sengketa, akan tetapi secara materiil terkait dengan objek sengketa, penambahan amar substansial dan amar-amar yang bersifat deklaratif. Dibuatnya amar-amar ultra petita dalam diktum putusan hakim dilatarbelakangi oleh berlakunya asas hakim aktif dan asas pembuktian bebas, asas kepastian hukum dan tertib penyelenggaraan negara, serta penerapan hakim sebagai penyelesai sengketa dalam sistem peradilan administrasi. Keterbatasan bentuk wewenang yang dimiliki hakim, cenderung membuat sengketa administrasi menjadi sengketa yang tidak terselesaikan. Padahal di

(18)

sisi lain, putusan PTUN diharapkan menjadi instrumen utama dan terakhir dari sekalian proses sistem PTUN, tentunya juga diharapkan sebagai instrumen penyelesaian sengketa dan pesan keadilan. Karenanya, sesuai dengan asas dominus litis, hakim administrasi dituntut untuk memaksimalkan perannya dalam penyelesaian sengketa, termasuk dalam pembuatan diktum ultra petita, sehingga putusan hakim dapat mencerminkan rasa keadilan hukum masyarakat19.

4. Suwarno Abadi; Jurnal Dosen Fakultas Hukum Wijaya Pura Surabaya, dipublikasi dalam Jurnal Konstitusi (2015)20.

Jurnal sebagaimana disebutkan diatas berjudul Ultra petita dalam Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi (Ultra petita in the

Judicial Review Law by the Constitutional Court), dengan pokok bahasan:

a. Ultra petita sebagai Praktik Judicial Activisim yang Legitimate. b. Kekhasan Peradilan Konstitusional yang dijalankan Mahkamah

Konstitusi.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan jurnal tersebut yakni: a. Sesuai dengan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa

putusan ultra petita dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang oleh MK dapat dibenarkan secara substantif atas dasar dua hal. Pertama, pilihan pendekatan judicial activism dalam

19 Ibid , hlm. 123

20 Suwarno Abadi, 2015, ”Ultra petita dalam Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah

Konstitusi (Ultra petita in the Judicial Review Law by the Constitutional Court) , Jurnal Konstitusi Volume 12 Nomor 3, September 2015, hlm. 586-604.

(19)

menyelenggarakan peradilan konstitusional. Kedua, kekhasan peradilan konstitusional dalam fungsinya untuk mempertahankan supremasi konstitusi terhadap undang-undang.

b. Supaya kedua argumen tersebut legitimate secara yuridis, hal itu bergantung sepenuhnya pada kebenaran dari interpretasi konstitusi yang dilakukan oleh MK ketika melakukan pengujian konstitusionalitas undang-undang. Hal yang sangat prinsipiil dalam interpretasi konstitusi tersebut manakala MK memilih untuk mempraktikkan pendekatan judicial activism ialah praktik tersebut seyogianya dilakukan dalam kerangka gagasan ajudikasi yang didasari oleh cita hukum keadilan21.

Berdasarkan pemaparan diatas perbedaan antara penelitan ini dengan penelitian terdahulu yakni secara umum penelitian ini mengkaji aspek ultra petita dalam prosedur hukum acara perdata atau prosedur pemeriksaan perkara perdata dan secara lebih spesifik dalam penelitian ini memfokuskan pada tiga aspek yaitu:

1. Alasan dijatuhkannya putusan ultra petita dalam perkara perdata pada Putusan No. 2834 K/Pdt/2015 jis Putusan No. 19/PDT/2015/PT.DPS, Putusan No. 206/PDT.G/2014/PN.DPS,

2. Alasan hakim dalam Putusan No. 107/PDT/2012/PT DPS menganulir amar ultra petita yang dijatuhkan dalam Putusan No. 606/PDT.G/2011/PN.DPS, dan

(20)

3. Pertimbangan yang semestinya dibuat oleh hakim dalam menjatuhkan putusan ultra petita agar putusan tersebut mampu memberikan keadilan dan menyelesaikan sengketa bagi para pihak.

Referensi

Dokumen terkait

Departemen Supply membuat proses penjadwalan dalam memenuhi kebutuhan bahan baku dari pemasok yang dijadwalkan secara tepat dalam jumlah maupun waktu dengan persediaan bahan

Mahasiswa yang telah memilih secara otomatis akan terdaftar telah melakukan pemilihan suara pada setiap pos yang disediakan oleh panitia yang menggunakan

Majelis Hakim Pengadilan Agama Pasuruan dalam memutuskan suatu perkara perceraian dengan alasan suami melakukan perselingkuhan haruslah mempunyai

Hasil uji F dalam tabel 3 pada regresi model 4A menghasilkan nilai profitabilitas sebesar 0,086 > tingkat signifikansi 5% maka model regresi tersebut tidak memiliki tingkat

Merupakaan bab yang berisikan tentang analisis data dari penelitian yang dilakukan yang diperoleh dari penelitian, pada bab ini menjelaskan mengenai produk-produk BTN

Cakupan jamban yang memenuhi syarat kesehatan masih rendah  Melakukan penyuluhan PHBS secara berkelanjutan  Kunjungan rumah secara berkelanjutan  Membuat jamban/bowl

Hasil penelitian PATANAS 2010 tentang kegiatan transaksi lahan di pedesaan, terutama menyangkut penambahan dan pelepasan lahan menunjukkan bahwa kasus penambahan

Hasil penelitian didapatkan perbedaan yang cukup terlihat di mana jumlah pasien karsinoma hepatoseluler yang terinfeksi virus hepatitis B memiliki jumlah terbanyak sebesar