• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI. dkk. 2012: 107). Belajar merupakan suatu proses berpikir yang saling

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI. dkk. 2012: 107). Belajar merupakan suatu proses berpikir yang saling"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II KAJIAN TEORI A. Pembelajaran Matematika

Belajar adalah proses memperoleh pengetahuan melalui informasi dengan melihat suatu struktur secara keseluruhan lalu menyederhanakan struktur pengetahuan tersebut agar lebih mudah dipahami (Sugihartono, dkk. 2012: 107). Belajar merupakan suatu proses berpikir yang saling berhubungan. Pada matematika proses belajar dapat terjadi apabila seseorang menemukan suatu konsep baru, lalu dapat menghubungkan keterkaitan konsep baru tersebut dengan konsep yang dimiliki sebelumnya.

Pembelajaran adalah upaya penataan lingkungan yang memberi nuansa agar program belajar tumbuh dan berkembang secara optimal (Erman Suherman, 2003: 8). Hamzah B. Uno (2011: 144) berpendapat bahwa pembelajaran adalah suatu aktivitas untuk memodifikasi berbagai kondisi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan kurikulum. Dari beberapa uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan kurikulum.

Sementara itu, matematika adalah suatu ilmu pengetahuan yang terbentuk sebagai hasil pemikiran manusia yang berkaitan dengan ide, proses, dan penalaran (Ruseffendi ET dalam Erman Suherman, 2003: 16). Matematika merupakan suatu ilmu yang memiliki peranan penting dalam memajukan kemampuan berpikir logis seseorang (Herman Hudojo, 1988: 57). Dari beberapa uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran

(2)

9

matematika adalah suatu upaya yang dilakukan terhadap kondisi lingkungan belajar agar tujuan pembelajaran matematika tercapai dan terjadi perubahan kebiasaan serta pola pikir siswa yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran.

Pada pembelajaran matematika, terdapat beberapa pendekatan, metode, model, maupun strategi pembelajaran. Namun demikian, tidak ada cara belajar yang paling benar dan cara mengajar yang paling baik (Nisbet, dalam Erman Suherman, 2003: 70). Maka dari itu, guru perlu mengadopsi beberapa pendekatan yang karakteristiknya berbeda untuk belajar, karena kemampuan intelektual, sikap dan kepribadian setiap siswa pun berbeda-beda.

B. Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME)

Anak usia 12 tahun dianggap telah berada pada tahap operasi formal, namun kenyataanya mereka masih perlu bekerja melalui tahap operasi konkrit untuk beberapa konsep baru yang dikenalkan (Herman Hudojo, 1988: 56). Hal seperti ini terjadi pada siswa kelas VII SMP yang rata-rata siswanya berusia 12 tahun. Oleh karena itu diperlukan suatu pembelajaran yang dapat menjembatani mereka dari proses berpikir konkret menuju berpikir formal. Salah satu alternatif pembelajaran yang mendukung hal ini adalah pendekatan Realistic Mathematics Education (RME).

RME adalah suatu pendekatan matematika yang dikembangkan di Belanda. Pengembangan pendekatan ini dilandasi oleh pernyataan Freudenthal yang menyatakan bahwa matematika merupakan suatu bentuk

(3)

10

aktivitas manusia (Ariyadi Wijaya, 2012: 20). Penggunaan kata realistik menunjukkan adanya suatu koneksi matematika dengan dunia nyata dan lebih ditekankan pada penggunaan suatu situasi yang bisa dibayangkan (imagineable) oleh siswa (Van den Heuvel-Panhuizan dalam Ariyadi Wijaya, 2012: 20). Penggunaan konteks yang merupakan bagian dari aktivitas manusia ataupun situasi yang bisa dibayangkan siswa dapat membantu siswa dalam menghubungkan pengetahuan yang telah mereka miliki dengan konsep matematika yang akan dikenalkan. Hubungan inilah yang dimaksud dapat menjembatani siswa dari proses berpikir konkret menuju proses berpikir formal sekaligus membantu siswa agar pembelajaran yang mereka terima lebih bermakna. Freudenthal berpendapat bahwa matematika harus dihubungkan pada reality, dekat dengan dunia anak dan relevan dengan nilai sosial yang ada di masyarakat (Sue Hough dan Steve Gough, 2007: 34). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa matematika bukanlah suatu produk jadi yang langsung disajikan kepada siswa, melainkan sebagai suatu aktivitas untuk siswa. RME membimbing siswa untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika yang pernah ditemukan oleh para ahli matematika zaman dahulu, bahkan memungkinkan siswa untuk menemukan konsep yang belum pernah ditemukan sama sekali (Erman Suherman, 2003: 150). Melalui pembelajaran RME siswa dapat berkesempatan untuk menemukan kembali konsep yang akan mereka pelajari dan aktif mengkonstruk pengetahuannya sendiri.

(4)

11

Treffers (Ariyadi Wijaya, 2012: 21) merumuskan lima karakteristik RME, yaitu sebagai berikut:

1. Penggunaan konteks

Pembelajaran matematika diawali dengan menggunakan konteks. Konteks yang digunakan dapat berupa masalah dunia nyata, permainan, penggunaan alat peraga, dan berbagai situasi yang dapat dibayangkan (imaginable). Penggunaan konteks dalam RME bertujuan agar siswa dapat terlibat aktif untuk untuk mengeksplorasi suatu permasalahan.

2. Penggunaan model untuk matematisasi progresif

Model digunakan untuk melakukan matematisasi secara progresif. Fungsinya adalah untuk menjembatani siswa dari proses berpikir konkrit menuju tingkat berpikir formal.

3. Pemanfaatan hasil konstruksi siswa

Pada pendekatan RME siswa ditantang untuk bekerja aktif, karena harus mengkonstruk pengetahuannya sendiri. Hasil konstruksi siswa selanjutnya digunakan sebagai landasan pengembangan konsep matematika. Kemudian mereka memiliki kesempatan untuk mengembangkan berbagai strategi pemecahan masalah.

4. Interaktivitas

Pada pendekatan RME terjadi interaksi antara siswa dengan guru dan siswa dengan siswa. Proses belajar siswa akan menjadi lebih bermakna ketika siswa saling mengkomunikasikan hasil kerja dan

(5)

12

gagasan mereka. Pemanfaatan interaktivitas berguna untuk mengembangkan kemampuan kognitif dan afektif siswa secara bersamaan.

5. Keterkaitan

Konsep-konsep matematika dikenalkan kepada siswa secara utuh, tidak tepisah-pisah. Hal ini karena semua konsep dalam matematika memiliki keterkaitan.

Pada karakteristik matematisasi progresif, pengembangan model terdiri dari empat tingkatan, yaitu situasional, referensial, general, dan formal (Gravemeijer dalam Ariyadi Wijaya, 2012: 47). Pada tingkat situasional siswa masih berhadapan dengan masalah ataupun konteks yang digunakan dalam pembelajaran. Masalah atau konteks yang digunakan adalah sesuatu yang relevan dengan konsep yang akan dikenalkan. Selanjutnya pada tingkat referensial siswa membuat suatu gambaran yang merujuk pada konteks atau masalah yang digunakan. Pada tingkat general siswa sudah bekerja dengan model yang telah dibuat berdasarkan konteks, kemudian berusaha untuk mencari penyelesaian dari konteks atau masalah tersebut. Pada tingkatan terakhir yaitu tingkat formal, siswa sudah bekerja dengan simbol-simbol matematika kemudian merumuskan konsep matematika yang dibangun.

Tinjauan matematisasi progresif dalam materi himpunan dapat dicontohkan melalui gambar iceberg sebagai berikut:

(6)

13

Gambar 1 Tinjauan Ice Berg pada Irisan Himpunan

Kuiper dan Knuver (Erman Suherman, 2003: 143) menyimpulkan beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan di beberapa negara, menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan pendekatan realistik sekurang-kurangnya dapat:

1. Membuat matematika lebih menarik, relevan, dan bermakna, tidak terlalu formal dan tidak terlalu abstrak.

2. Mempertimbangkan tingkat kemampuan siswa.

(7)

14

4. Memfasilitasi penyelesaian masalah matematika dengan tanpa menggunakan penyelesaian (algoritma) yang baku.

5. Menggunakan konteks sebagai titik awal pembelajaran matematika.

C. Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif atau Cooperative Learning mencakup suatu kelompok kecil yang bekerja dalam sebuah tim untuk menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan suatu tugas, atau mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan bersama lainnya (Erman Suherman, 2003: 260). Melalui kelompok kecil tersebut siswa dapat berinteraksi dengan teman sebayanya. Kondisi seperti ini memacu mereka untuk saling membantu dalam memahami permasalahan yang disajikan. Siswa yang merasa belum mampu akan termotivasi oleh siswa lainnya untuk ikut menyelesaikan suatu permasalahan. Akibatnya, pembelajaran kooperatif lebih berpengaruh pada prestasi matematika dibandingkan dengan pembelajaran tradisional dan pembelajaran ini telah terbukti dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa (Gulfer Capara dan Kamuran Tarimb, 2015: 556; Erman Suherman, 2003: 259).

Adanya kegiatan diskusi kelompok akan menguntungkan baik bagi siswa yang memiliki kemampuan tinggi maupun bagi siswa dengan kemampuan rendah. Siswa berkemampuan tinggi akan meningkatkan kemampuan akademiknya karena mempunyai kesempatan untuk memberi pelayanan sebagai tutor, sedangkan siswa berkemampuan rendah akan mendapatkan pengetahuan dari siswa yang berkemampuan tinggi. Agar

(8)

15

hal ini terjadi, maka pembagian kelompok harus heterogen baik dari kemampuannya maupun karakteristik lainnya (Erman Suherman, 2003: 261). Ukuran kelompok yang ideal untuk pembelajaran kooperatif adalah sekitar tiga sampai lima orang. Anggota kelompok yang tidak terlalu besar akan membuat seluruh anggota dapat berpartisipasi aktif berdiskusi dan mengemukakan pendapat.

D. Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) Salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang paling sering digunakan adalah Teams Games Tournament (TGT). Pembelajaran yang dikembangkan oleh De Vires ve Slavin (Mansur dan Emine, 2008: 27) ini membagi siswa menjadi kelompok-kelompok yang heterogen secara seimbang sesuai dengan kemampuan dan jenis kelamin mereka. Tujuan dari pembentukan kelompok heterogen adalah untuk membentuk kelompok dengan siswa dari berbagai tingkat keberhasilan, minat, kemampuan dan sebagainya. Namun, masing-masing perwakilan kelompok dengan kapasitas yang sama dapat bersaing satu sama lain dalam turnamen. Target masing-masing kelompok adalah sukses di turnamen.

Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif tipe TGT memungkinkan siswa dapat belajar untuk menumbuhkan tanggung jawab dan keterlibatan belajar. Hal ini karena masing-masing anggota kelompok memiliki tanggung jawab agar kelompoknya sukses di turnamen. Komponen-komponen TGT yang

(9)

16

diungkapkan Robert E. Slavin (2008: 163) meliputi presentasi kelas, tim, game, turnamen, dan rekognisi tim.

1. Presentasi Kelas

Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam penyajian kelas, biasanya dilakukan dengan pengajaran langsung dengan ceramah atau diskusi yang dipimpin guru. Pada saat penyajian kelas, siswa harus memperhatikan dan memahami materi yang diberikan guru. Hal ini akan membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja tim dan pada saat game, kerena poin game akan menentukan poin kelompok.

2. Pembentukan Tim

Tim biasanya terdiri dari empat atau lima orang siswa yang anggotanya heterogen dilihat dari kinerja akademik, jenis kelamin, ras, dan etnis. Fungsi tim adalah untuk lebih memahami materi bersama teman satu tim atau lebih khusus untuk mempersiapkan anggota tim agar saling berdiskusi, tukar menukar ide pengalaman untuk memecahkan msalah. Diharapkan setiap anggota tim melakukan yang terbaik untuk timnya sehingga dapat meningkatkan kemampuan akademik dan menumbuhkan pentingnya kerjasama di antara siswa.

3. Game

Game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang kontennya relevan yang dirancang untuk menguji pengetahuan yang didapat siswa dari presentasi kelas dan belajar tim. Game tersebut dimainkan di atas

(10)

17

meja yang terdiri dari perwakilan siswa dari kelompok yang berbeda namun memiliki kemampuan yang setara.

4. Turnamen

Turnamen biasanya dilakukan pada akhir minggu atau pada setiap akhir unit setelah guru melakukan presentasi kelas dan tim sudah mengerjakan lembar kegiatan secara kelompok. Turnamen ini juga dapat digunakan sebagai review materi pelajaran. Dalam turnamen, guru membagi siswa ke dalam beberapa meja turnamen, setiap meja terdiri dari perwakilan tiap tim dengan kemampuan yang homogen. Dalam turnamen ini, kemungkinan siswa yang memiliki kemampuan akademik sedang dan rendah dapat menjadi siswa yang mendapatkan poin tertinggi dalam kelompok turnamennya. Poin perolehan setiap siswa pada kelompok turnamen akan diakumulasikan dalam poin tim.

5. Rekognisi Tim

Rekognisi tim adalah pemberian penghargaan kepada kelompok yang memiliki poin tertinggi dalam turnamen. Dalam pembelajaran kooperatif penghargaan diberikan kepada kelompok bukan individu, sehingga keberhasilan kelompok ditentukan oleh keberhasilan setiap individunya.

Pelaksanaan game dan turnamen dilakukan dengan aturan sebagai berikut: 1. Guru menempatkan siswa pada meja turnamen (setiap meja terdiri dari

4 orang siswa dan kemampuan setara). Setiap meja terdapat 1 set kartu bernomor.

(11)

18

2. Masing-masing siswa dalam sebuah meja turnamen mengambil sebuah kartu.

3. Siswa dengan nomor kartu tertinggi berperan sebagai pembaca pertama, sebelah kiri adalah penantang pertama, sebelah kirinya lagi adalah penantang kedua dan sebelah kanan pembaca adalah penantang ketiga.

4. Pembaca mengocok kartu dan mengambil sebuah kartu paling atas, kemudian membaca dengan keras pertanyaan yang sesuai dengan nomor pada kartu tersebut dan mencoba menjawabnya.

5. Jika penantang 1, penantang 2, dan penantang 3 memiliki jawaban berbeda, mereka dapat mengajukan jawaban secara bergantian.

6. Apabila setiap siswa telah menjawab, menantang, atau pas, penantang ketiga mencocokkan dengan lembar jawaban tersebut dengan keras. 7. Pemain yang memberikan jawaban benar menyimpan kartu tersebut.

Apabila ada penantang memberikan suatu jawaban salah, ia harus mengembalikan kartu yang dimenangkan sebelumnya (bila ada) ke tumpukan kartu. Apabila tidak ada satu pun jawaban yang benar, kartu tersebut dikembalikan ke tumpukan.

8. Putaran berikutnya, segala sesuatunya bergerak ke kiri, yaitu penantang pertama menjadi pembaca, penantang kedua menjadi penantang pertama, penantang ketiga menjadi penantang kedua, dan pembaca menjadi penantang ketiga.

(12)

19

9. Ketika permainan tersebut selesai, para pemain menghitung banyak kartu yang mereka menangkan. Banyak kartu yang mereka dapatkan akan menentukan besar poin yang diperoleh.

Berikut adalah beberapa kelebihan dan kekurangan pembelajaran dalam setting TGT menurut Slavin (2010: 142) :

1. Kelebihan

a. Siswa dapat mengembangkan keterampilan berpikir, bekerja sama dalam kelompok dan dapat berperan sebagai tutor sebaya.

b. Terjadinya interaksi antarsiswa dalam kelompok dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam berpendapat.

c. Siswa dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab, kejujuran, dan kerja sama.

d. Adanya games atau turnamen dapat membuat suasana kelas lebih menyenangkan.

e. Siswa dapat termotivasi untuk belajar lebih giat karena setiap siswa bertanggung jawab terhadap keberhasilan kelompoknya dalam turnamen.

2. Kekurangan

a. Sejumlah siswa mengalami kesulitan karena belum terbiasa mendapatkan perlakuan seperti ini.

b. Pada permulaan guru akan mengalami kesulitan dalam pengelolaan kelas.

(13)

20 E. Pembelajaran Ekspositori

Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi (1994: 36) menyatakan bahwa hakikat mengajar pada pendekatan ekspositori adalah penyampaian ilmu pengetahuan dari guru kepada objek belajar yaitu peserta didik yang dipandang sebagai penerima apa yang sampaikan guru. Guru menyampaikan informasi mengenai bahan pengajaran dalam bentuk penjelasan dengan metode ceramah. Pembelajaran dengan metode seperti ini tergolong kepada belajar menerima. Pembelajaran menerima dapat menjadi pembelajaran bermakna atau tidak bermakna. Jika guru dapat membantu siswa untuk mengaitkan konsep baru dengan konsep-konsep yang telah dimiliki siswa sebelumnya, maka pembelajaran ini akan menjadi bermakna. Hal ini sesuai dengan pernyataan David P. Ausubel (Eman Suherman, 2003:203) yang mengatakan bahwa pembelajaran ekspositori adalah pembelajaran yang efektif dan efisien agar terjadi sebuah pembelajaran bermakna.

Ekspositori menghendaki peserta didik dapat memahami dan mengingat informasi yang telah diberikan guru, serta mengungkapkannya kembali melalui respon yang ia berikan pada saat guru memberikan pertanyaan (Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi,1994: 36). Pada pembelajaran dengan pendekatan ekspositori, siswa tidak hanya pasif mendengarkan penjelasan guru, namun mereka juga berkesempatan untuk bertanya atau menjawab pertanyaan dari guru. Siswa dapat mengerjakan soal secara

(14)

21

mandiri, berdiskusi dengan temannya atau mengerjakannya di depan kelas jika diminta guru.

F. Kemampuan Pemecahan Masalah

Menurut Polya (Herman Hudojo, 2003: 87) pemecahan masalah adalah suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari sebuah kesulitan namun penyelesaian tersebut tidak bisa dicapai secara langsung. Suatu soal pemecahan masalah tidak bisa dikatakan sebagai soal pemecahan masalah jika diberikan kepada siswa kemudian siswa tersebut secara langsung dapat mengetahui bagaimana cara menyelesaikannya dengan benar (Erman Suherman, 2003: 92).

Masalah bagi seorang siswa, belum tentu masalah bagi siswa lain. Oleh karenanya, guru harus benar-benar memperhatikan soal pemecahan masalah yang akan disajikan kepada siswa. Dengan demikian perlu dilakukan pembedaan antara soal rutin dan soal tidak rutin. Soal rutin biasanya mencakup aplikasi suatu prosedur matematika yang sama atau mirip dengan hal yang baru dipelajari, sedangkan untuk soal tidak rutin diperlukan pemikiran yang lebih mendalam agar dapat mencapai prosedur yang benar (Erman Suherman, 2003: 93).

Menurut Polya (Erman Suherman, 2003: 91) untuk menyelesaikan soal penyelesaian masalah terdapat empat langkah, yaitu

1. Memahami masalah

Agar dapat menyelesaikan masalah dengan benar, maka siswa perlu untuk memahami masalah yang diberikan terlebih dahulu.

(15)

22 2. Merencanakan penyelesaian

Setelah memahami masalah, siswa harus menyusun rencana penyelesaian masalah. Fase ini tergantung pada pengalaman siswa dalam menyelesaikan masalah. Semakin banyak pengalaman mereka, ada kecenderungan siswa lebih kreatif dalam menyusun rencana untuk menyelesaikan masalah. Rencana penyelesaian masalah dapat dibuat baik secara tertulis maupun tidak.

3. Menyelesaikan masalah sesuai rencana

Siswa melakukan penyelesaian masalah sesuai dengan rencana yang telah dibuat.

4. Mengecek kembali semua langkah yang telah dikerjakan

Dengan melakukan pengecekan kembali, siswa dapat mengoreksi kemungkinan kesalahan yang ia buat, sehingga siswa mendapat jawaban yang benar sesuai dengan masalah yang diberikan.

Kemampuan pemecahan masalah yang dimaksud pada penelitian ini adalah kemampuan pemecahan masalah matematika. Departemen Pendidikan Oregon dan Illinois State Board of Education (Sugiman dan Yahya. S, 2010: 44) menyatakan bahwa cara mengukur kemampuan pemecahan masalah matematika pada siswa SMP dapat dilakukan dengan memberikan soal uraian untuk diselesaikan secara tuntas. Aspek-aspek yang dinilai meliputi: (1) pengetahuan matematika yang terdiri dari pengetahuan konseptual dan prosedural; (2) pengetahuan strategi pemecahan masalah; (3) komunikasi; dan (4) akurasi. Pemecahan masalah harus ditekankan pada

(16)

23

struktur kognitif yang dimiliki siswa, karena bila tidak siswa hanya memiliki kemungkinan kecil untuk dapat menyelesaikan masalah yang diberikan (Herman Sudojo, 2003: 87).

G. Partisipasi Siswa

Partisipasi adalah aktivitas pelibatan seseorang atau beberapa orang dalam suatu kegiatan. Dick dan Carey (Abdul Gafur, 2012: 76) mengemukakan bahwa proses belajar akan lebih berhasil bila siswa berpartisipasi secara aktif dengan melakukan praktik dan latihan langsung yang berkaitan dengan tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, partisipasi siswa diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Abdul Gafur (2012: 20) yang menyatakan bahwa jika siswa aktif berpartisipasi dan interaktif, maka hasil belajar akan meningkat.

Peraturan pemerintah no 41 (2007: 8) tentang Standar Proses menyebutkan bahwa pelaksanaan kegiatan pembelajaran merupakan proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang dilakukan secara interaktif dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif. Agar tujuan pembelajaran tercapai maka guru harus meningkatkan kesempatan siswa untuk terlibat dalam pembelajaran. Siswa yang aktif melibatkan diri dalam menemukan suatu konsep dasar juga akan lebih paham, ingat lebih lama dan akan mampu menggunakan konsep tersebut dalam konteks yang lain (Herman Hudojo, 2003: 85).

Abdul Gafur (2012: 20) berpendapat bahwa partisipasi siswa dapat berupa aktivitas mental yang meliputi memikirkan jawaban, merenungkan,

(17)

24

dan membayangkan. Knowles yang dikutip oleh Mulyasa (2006: 241) juga menyatakan bahwa salah satu indikator partisipasi adalah adanya keterlibatan emosional. Keterlibatan emosional adalah kesediaan siswa untuk memberikan kontribusi dalam mencapai tujuan, seperti adanya kesediaan siswa dalam mengerjakan soal di papan tulis, mengerjakan tugas, dan mencatat. Bentuk lain dari partisipasi siswa juga dapat dilihat dari keaktifan diskusi yang meliputi aktivitas bertanya, menjawab pertanyaan, mendengar pendapat teman dan lain sebagainya.

H. Keefektifan Pembelajaran

“Efektivitas adalah usaha agar dapat mencapai sasaran yang telah ditetapkan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan, sesuai pula dengan rencana, baik dalam penggunaan data, sarana, maupun waktunya, atau berusaha melalui aktivitas tertentu baik secara fisik maupun non-fisik untuk memperoleh hasil yang maksimal baik secara kuantitatif maupun kualitatif” Supardi (2013: 163).

Supardi juga menyatakan bahwa efektivitas merupakan derajat kesesuaian antara tujuan dan hasil yang dicapai. Hamzah B. Uno (2007: 156) juga berpendapat bahwa aspek keefektifan pengajaran biasanya diukur dengan tingkat pencapaian siswa pada tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa efektivitas pembelajaran adalah suatu ukuran dari usaha yang dilakukan agar dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Pembelajaran dikatakan efektif jika pembelajaran yang sebelumnya direncanakan dapat terlaksana sehingga tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dapat tercapai.

(18)

25 I. Penelitian yang Relevan

1. Penelitian oleh Adi Rahman yang berjudul “Keefektifan Pembelajaran dengan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia Ditinjau dari Pencapaian Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik dan Karakter Siswa SMP” pada tahun 2012. Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika (KPMM) siswa PMRI lebih tinggi daripada peningkatan KPPM siswa dengan pendekatan ekspositori (PE). Artinya pembelajaran dengan pendekatan PMRI mampu meningkatkan KPMM siswa lebih baik daripada PE. Ditemukan pula bahwa pembelajaran dengan pendekatan PMRI lebih efetif dibandingkan dengan PE.

2. Penelitian oleh Rochmatun Chasanah tahun 2007 megenai upaya meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika melalui model pembelajaran kooperatif tipe TGT siswa kelas VII B di SMP N 1 Grabag. Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui pembelajaran kooperatif tipe TGT dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika. Berdasarkan hasil observasi, rata-rata keaktifan siswa pada siklus I sebesar 73,31% dengan kriteria tinggi dan rata-rata keaktifan pada siklus II sebesar 78,72% dengan kriteria tinggi. Berdasarkan hasil angket, rata-rata keaktifan siswa pada siklus I sebesar 79,96% dengan kriteria tinggi, sedangkan pada siklus II sebesar 89,61% dengan kriteria sangat tinggi.

(19)

26

3. Penelitian oleh Fifi Yuniarti tahun 2013 mengenai upaya meningkatkan keaktifan dan prestasi belajar siswa kelas VII pada konsep himpunan menggunakan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) di SMP Negeri 4 Kalasan Sleman Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pembelajaran matematika menggunakan pendekatan RME dapat meningkatkan keaktifan siswa dilihat dari persentase hasil observasi keaktifan siswa meingkat dari skilus I 59,88% ke siklus II 78,32%. Sedangkan berdasarkan angket keaktifan siswa meningkat dari siklus I 70,20% ke siklus II 74,24%.

J. Kerangka Berpikir

Kemampuan pemecahan masalah menjadi hal penting di abad 21. Oleh karena itu, pembelajaran matematika sebaiknya bertujuan agar siswa memiliki kemampuan pemecahan masalah. Salah satu pembelajaran yang dapat mendukung siswa agar dapat memiliki kemampuan pemecahan masalah adalah pembelajaran bermakna. Melalui pembelajaran bermakna siswa dapat mengetahui penerapan dari konsep-konsep matematika yang telah mereka pelajari dalam kehidupan sehari-hari.

Pembelajaran dengan pendekatan ekspositori adalah salah satu pembelajaran yang membantu menciptakan pembelajaran bermakna bagi siswa. Guru menyampaikan bahan pengajaran dalam bentuk penjelasan atau ceramah. Cara yang demikian menuntut siswa untuk berpikir pada tahap operasional. Padahal, siswa kelas VII masih memerlukan suatu yang dapat

(20)

27

menjembatani siswa untuk berpikir dari tahap operasi konkret menuju tahap operasi formal.

Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menjembatani siswa untuk belajar dari tahap operasi konkret menuju tahap operasi formal. Terdapat lima karakteristik dalam menyusun bahan ajar berbasis RME yaitu, penggunaan konteks sebagai titik awal pembelajaran, pengembangan model matematika oleh siswa, interaktivitas, dan keterkaitan. Penggunaan konteks pada awal pembelajaran dapat membuat pembelajaran lebih bermakna bagi siswa. Selain itu, Hadi (Sugiman dan Yahya S.K, 2010: 43) menyatakan bahwa pengembangan model matematika dalam pendekatan RME terkait erat dengan prosedur penyelesaian soal yang berbentuk pemecahan masalah.

Selain itu, modal utama pemecahan masalah adalah ketika siswa berada dalam kelompok (Erman Suherman, 2001: 87). Ketika berada dalam kelompok, ketertarikan siswa akan meningkat untuk menghadapi tantangan dan tumbuh kemauan untuk menyelesaikan masalah. Pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) adalah salah satu pembelajaran yang menuntut siswa untuk berdiskusi dalam kelompok yang beranggotakan 4-5 siswa.

Sementara itu pembelajaran dikatakan efektif apabila tujuan pembelajaran yang direncanakan sebelumnya dapat tercapai, sedangkan partisipasi adalah salah satu faktor penting dalam mencapai tujuan pembelajaran. Dengan demikian melalui pembelajaran kooperatif tipe TGT

(21)

28

siswa dapat aktif berdiskusi dengan teman sekelompoknya. Selain itu, siswa juga dapat memberi tanggapan terhadap pendapat temannya lalu bertanya kepada teman ataupun guru jika ada materi yang belum dipahami. Dengan adanya turnamen pada langkah pembelajaran TGT, masing-masing siswa bertanggung jawab dengan kemenangan kelompoknya. Hal ini akan memotivasi siswa untuk belajar lebih baik karena harus mempertahankan timnya, sehingga masing-masing memiliki partisipasi untuk kelompoknya. Selain itu, interaktivitas pada pendekatan RME juga menjadi faktor yang dapat menigkatkan partisipasi siswa dalam pembelajaran, karena pada interaktivitas terjadi interaksi baik antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa.

Pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) dipadukan dengan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) diperkirakan lebih efektif jika ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah dan partisipasi dibandingkan dengan pendekatan ekspositori. Melalui diskusi kelompok siswa yang berkemampuan tinggi dapat membantu temannya yang kurang mampu dalam memahami suatu konsep.

(22)

29

Gambar 2 Perbandingan Pembelajaran RME dalam Setting TGT dengan Pembelajaran Ekspositori terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah dan

Partisipasi Siswa K. Hipotesis

1. Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) dalam setting pembelajaran kooperatif tipe Team Games Tournament (TGT) efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 2 Yogyakarta kelas VII.

2. Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) dalam setting pembelajaran kooperatif tipe Team Games Tournament (TGT) efektif ditinjau dari partisipasi siswa SMP N 2 Yogyakarta kelas VII.

Pendekatan Espositori Guru memberikan informasi secara langsung Siswa diberi kesempatan bertanya Siswa membuat catatan Siswa mengerjakan soal-soal latihan Pendekatan RME  Penggunaan konteks  Penggunaan model oleh

siswa  Siswa mengkonstruksi  Interaktivitas  Keterkaitan TGT  Belajar secara kooperatif  Masing-masing siswa memiliki tanggung jawab dalam games dan tournament

 Siswa berdiskusi dalam kelompok   2  Kemampuan Pemecahan Masalah Partisipasi Siswa 

(23)

30

3. Pembelajaran matematika dengan pembelajaran ekspositori efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 2 Yogyakarta kelas VII.

4. Pembelajaran matematika dengan pembelajaran ekspositori efektif ditinjau dari partisipasi siswa SMP N 2 Yogyakarta kelas VII.

5. Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) dalam setting pembelajaran kooperatif tipe Team Games Tournament (TGT) lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran ekspositori ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 2 Yogyakarta kelas VII.

6. Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) dalam setting pembelajaran kooperatif tipe Team Games Tournament (TGT) lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran ekspositori ditinjau dari partisipasi siswa SMP N 2 Yogyakarta kelas VII.

Gambar

Gambar 1 Tinjauan Ice Berg pada Irisan Himpunan
Gambar 2 Perbandingan Pembelajaran RME dalam Setting TGT dengan  Pembelajaran Ekspositori terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah dan

Referensi

Dokumen terkait

Vaksin Hepatitis B yang pertama harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah bayi lahir, kemudian dilanjutkan pada umur 1 bulan dan 3 hingga 6 bulan.. Imunisasi ini untuk

Endoskopi sering dilakukan pada pasien dengan polip kolorektal, tetapi apa yang ditemukan dari endoskopi tidak bisa membedakan tipe dari polip tersebut, sehingga

American Shoulder dan Elbow Surgeons mendefinisikan frozen shoulder sebagai kondisi etiologi yang ditandai dengan keterbatasan yang signifikan dari gerak aktif dan

maka Pokja Pengadaan Barang, Jasa Konsultansi dan Jasa Lainnya Pada Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa Kabupaten Aceh Barat Daya Tahun Anggaran 2014 mengumumkan Paket tersebut di

Dari gambaran tersebut, dapat kita simpulkan bahwa sejauh literatur Fiqih yang menjadi acuan, maka pendekatan Fiqih terhadap penyandang disabilitas adalah melalui pemberian

Pada saat melakukan pengujian transfer data, penelitian ini menggunakan beberapa jenis data yang sama yaitu .rar, namun dengan ukuran file yang berbeda.. Hal tersebut

Hasil akhir dari penelitian ini adalah terciptanya sebuah media pembelajaran pengenalan warna, bentuk, angka, huruf dan tangga nada berbasis multimedia interaktif

Karena tidak ada pengobatan yang spsifik terhadap hepatitis A maka pencegahan lebih diutamakan, terutama terhadap anak di daerah dengan endemisitas tinggi dan pada orang dewasa