• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini, masyarakat dibelahan bumi manapun mendambakan yang namanya kebebasan mutlak. Kebebasan mutlak tidak bisa diperoleh dimanapun.Jika hidup dalam lingkungan sosial, kebebasan juga perlu aturan. Saat ini bumi semakin padat dipenuhi masyarakat, setiap detik perubahan sosial pasti akan terjadi. Indonesia sendiri yang merupakan negara plural juga pastinya mengalami perubahan sosial yang signifikan. Mulai dari zaman kerajaan, orde lama sampai pada era reformasi. Indonesia yang saat itu berada pada masa orde baru juga cukup diperhitungkan kebebasan berekspresinya, terutama media. Saat itu demokrasi sendiri masih belum cukup diperhitungkan. Di Indonesia sendiri pernah muncul terminology demokrasi terpimpin dan demokrasi pancasila. Pada hakekatnya, istilah-istilah tersebut memiliki makna yang justru bertentangan dengan hakekat demokrasi. Sebab mereka menggunakan istilah demokrasi sekedar untuk menutupi sistem politik sesungguhnya yang bersifat diktator. Termasuk menggunakan nama Pancasila, tetapi isi dan prakteknya jauh dari hakekat dan makna Pancasila itu sendiri (Zamroni, 2011). Kemudian zaman sekarang, pemilu sendiri merupakan sarana untuk mencapai sebuah demokrasi itu sendiri.

Bangsa Indonesia sejak tahun 1955 hingga 2009 sudah melaksanakan 10 kali pemilihan umum legislatif (pileg). Dalam hal ini, tidak sepenuhnya masyarakat Indonesia dapat turut andil atau merayakan pesta demokrasi tersebut. Pesta demokrasi sering disebut dengan pemilihan legislatif atau presiden.Sikap apatis yang dilakukan masyarakat Indonesia dalam pemilu semakin meningkat tiap tahunnya. Semua dipicu karena ketidak tahuan tentang pemilu sendiri, atau karena memang masyarakat sudah tidak peduli dengan wakil rakyat yang akan terpilih nanti.

(2)

Pada akhirnya masyarakat yang apatis ini tidak akan datang. Suara mereka yang tidak disampaikan pun menjadi sebutan golongan putih (golput). Sejak era reformasi tren golput cendrung meningkat. Pileg 1999 angka golput mencapai 6,4%, pileg 2004 meningkat menjadi 15,9% dan pileg 2009 mencapai angka 29,1% (Arianto, 2011). KPU menargetkan, tingkat partisipasi pemilih tahun 2014 bisa mencapai 75 persen atau 25 persen Golput (www.kpu.or.id). Namun demikian, banyak pihak memandang pemilu tahun 2014 kualitasnya jauh dibawah pemilu sebelumnya, khususnya tahun 2004 dan 2009. Indikasinya melalui banyaknya kasus dan angka partisipasi dalam pemilu. Pada pemilu tahun 2004 ada sebanyak 273 kasus, jumlah ini meningkat sebannya 128% pada tahun 2009 (Kompas, 20 Mei 2009). Jumlah golput pada tahun 2009 mencapai 49. 677. 076 orang atau 29,01% dari jumlah Daftar Pemilih Tetap ( DPT). Jumlah tersebut di luar warga negara yang terpaksa tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena kekacauan administratif DPT ( Kompas, 29 Mei 2009). Golput sendiri dimasa orde baru merupakan bentuk protes dari masyarakat terhadap sistem pemilihan yang dikendalikan oleh orang-orang yang berkuasa. Akan tetapi makna golput untuk saat ini yaitu mulai dari era reformasi, golput dianggap sebagai suatu bentuk kekecewaan yang cukup mendalam dari masyarakat kepada wakil-wakil rakyat pada periode lalu, yang sebelumnya menjajikan program-program kepada masyarakat akan tetapi tidak terealisasikan. Itu sebabnya masyarakat menjadi acuh dengan diadakannya pemilu. Tutur salah satu Pemandu Karaoke:

“Saya tidak perduli mbak siapa-siapa yang menjadi presiden atau wakil rakyat, orang saya makan saja tidak minta mereka” (Rini, 2014).

Saat ini, peran perempuan dalam dunia politik sendiri juga semakin diperhitungkan. Tak heran sekarang kaum hawa berlomba-lomba untuk sejajar dengan kaum adam dalam dunia terus disuarakan, seperti pada pelaksanaan pemilu 2009, peraturan perundang- undangan telah mengatur kuota 30% perempuan bagi partai politik (parpol) dalam menempatkan calon anggota legislatifnya. Undang-Undang (UU) Nomor 10/2008 tentang Pemilihan Umum

(3)

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (pemilu legislatif) serta UU Nomor 2/2008 tentang Partai Politik telah memberikan mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat (Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif). Minat perempuan untuk terjun ke dunia politik semakin terbukti dengan meningkatnya partisipasi perempuan dalam mencalonkan diri menjadi seorang wakil rakyat. Presentase anggota dewan perwakilan rakyat menurut jenis kelamin periode tahun 1999-2004, 2004-2009, dan 2009-2014, bahwa laki-laki pada tahun 1999-2004 mencapai 91,0%, perempuan mencapai 9,0%. Pada tahun 2004-2009 presentase laki-laki mencapai 89,3% dan perempuan 10,7%, hingga tahun 2009-2014 presentase laki-laki mencapai 82,4% dan perempuan 17,6% (Sumber : Koran Tempo, Kamis 1 Oktober 2009). Pada data diatas, menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan dari periode ke periode mengalami peningkatan, dan bahkan apabila kita melihat perkembangan dari periode 1999-2004 s.d 2009-2014 kenaikannya cukup signifikan yaitu 9 persen meningkat menjadi 17,7 persen. Sehingga keterwakilan perempuan dalam dunia politik juga semakin diperhitungkan.

Secara demografis, jumlah penduduk perempuan Indonesia lebih banyak yaitu sekitar 50,88% sedangkan jumlah penduduk laki-laki hanya sekitar 49,12%. Dalam hal partisipasi perempuan dalam dunia politik, juga harus diperhatikan kepada perempuan yang berada pada komunitas marginal juga.Kondisi marginal perempuan baik sebagai pemilih maupun caleg tidak terlepas dari lemahnya pendidikan pemilih dan kepemiluan khususnya bagi komunitas perempuan. Hasil penelitian UNDP (2008) memaparkan bahwa secara umum, “aspek ini relatif kurang mendapatkan perhatian. Ada sinyalemen bahwa semakin pemilih tidak paham dengan sistem pemilihan, mekanisme penyusunan calon, sampai implikasi dari janji-janji kampanye, maka semakin peserta Pemilu mendapatkan keuntungan. Pemilih yang pasif hanya dijadikan sebagai alat legitimasi atas kekuasaan”. Lebih lanjut diungkapkan pendidikan elektoral kebanyakan ditargetkan pada publik umum tanpa kategori khusus sesuai karakteristik pemilih dan daerah, kecuali dalam beberapa kasus. Dalam hal ini komunitas perempuan

(4)

marginal (Ibu RT, pekerja informal, penyandang cacat, Pekerja Migran, Pembantu Rumah Tangga, Lansia) sering luput dari target ini. Mereka dianggap dapat memperoleh informasi atau dapat diwakili oleh suami/laki-laki. Hal ini menunjukan bahwa pendidikan pemilih dan elektroral belum berperspektif gender. Perempuan sebagai komunitas memiliki persoalan dan kebutuhan yang berbeda dengan laki-laki. Tidak terwakilinya persoalan dan kebutuhan perempuan menjadikan mereka komunitas yang dinomer duakan dalam pembangunan bangsa ini. Kemiskinan, eksplotasi, dan kekerasan masih berwajah perempuan. Kurangnya pengetahuan tentang pemilu dan elektoral menyebabkan mereka kurang mampu menyuarakan persoalan dan kebutuhannya serta memberikan suaranya secara tepat dan rasional agar memperoleh solusi. (www.menegpp.org; UNDP, 2008).

Sebenarnya kendala perempuan dari dalam sendiri saat berpolitik meliputi kurang percaya diri (self confident); kurang berani berperan aktif dalam kegiatan politik; pemahaman yang keliru tentang politik yang dipandang sebagai hal yang kasar, kotor, keras. Sedangkan kendala dari luar adalah hambatan dari berbagai norma kultural dan struktural yang tidak menguntungkan perempuan. Masih adanya sekelompok orang menganggap bahwa yang pantas jadi pemimpin adalah laki-laki. Sehingga pelatihan kepemimpinan perlu diberikan kepada kaum hawa, seperti salah satu LSM yang intens mengadakan pendidikan politik untuk perempuan di Indonesia antara lain adalah International Republican Institute (IRI). IRI memiliki tujuan untuk mengembangkan pembangunan politik menuju negara yang demokratis semenjak jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Tujuan itu diwujudkan dengan cara mendukung proses konsolidasi demokratik di Indonesia melalui penguatan lembaga pemerintahan, mendorong partai politik agar lebih memahami keinginan pemilih dengan baik dan mendorong peningkatan partisipasi perempuan di bidang politik dan pemerintahan ( www.iri.org/asia/indonesia.asp, diakses 9 Juni 2009). Sedangkan representasi masyarakat sendiri terhadap wakil rakyat adalah mereka sudah memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi karena krakterisktik wakil rakyat yang kasat mata (misalnya jenis kelamin) dan pengalaman yang serupa. Wakil rakyat yang

(5)

memiliki karakteristik dan pengalaman yang sama dengan konstituen mereka mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk memahami pentingnya tempat penitipan anak bagi perempuan yang bekerja karena yang bersangkutan tidak pernah mengalami sulitnya menjaga keseimbangan peran sebagai ibu dan sebagai pekerja (Mansbridge, 2000).

Partisipasi perempuan sangat rendah dibandingkan laki-laki. Lagi pula, keterlibatan maupun pengaruh perempuan dalam politik terbatas. Ketika terlibat dalam dunia politik terdapat ―tendency for women to hold posts that are traditionally seen as ‘soft’ (Parawansa, 2010: 86)1.Perempuan sendiri juga seharusnya perlu mendapatkan hak suaranya dalam berpolitik. Di Sarirejo, mayoritas warganya berjenis kelamin perempuan. Mayoritas juga bukan penduduk asli kota Salatiga. Perlakuan yang sama rata juga harus diberikan kepada setiap individu. Namun, dari pihak KPU atau lembaga yang terkait dengan pemilu sendiri masih kurang merata dalam memberikan informasi mengenai pemilu kepada warga di Sarirejo.

“Saya tidak dapat yang soal politik-politik itu mbak. Soalnya setahu saya yang diundang paling kalau acara kayak gitu itu yang punya karaokeannya2.”

Tingkat kekritisan perempuan juga semakin diperhitungkan berkaitan dengan politik praktis. Partisipasi perempuan juga perlu dilihat dari segi pemikirannya terhadap persoalan masyarakat serta perubahan sosial yang terjadi.

Sekarang ini, banyak orang melakukan pemberontakan karena rasa kekecewaan yang dialami setiap individu dalam hal kebijakan atau peraturan yang dibuat oleh wakil rakyat. Khususnya perempuan yang termasuk dalam kaum marginal, mereka tidak perduli siapa pun yang menjadi wakil mereka untuk menyuarakan kebutuhan dan hambatan yang mereka hadapi sehari-hari. Beberapa orang mengatakan bahwa pemilu atau pemilihan presiden itu tidak penting, jika

1Kecenderungan bagi perempuan untuk memiliki pekerjaan yang secara tradisional digambarkan

lembut‘.

2

Hasil wawancara dengan salah seorang Pemandu Karaoke di Sarirejo.

(6)

seseorang membutuhkan uang mereka juga tidak akan mungkin meminta atau diberi oleh wakil rakyat tersebut. Justru mereka akan berusaha mencari atau berusaha untuk mencari uang sendiri.

“Maunya kita ya kemakmuran kita, apa disuruh nyoblos, aku aja makan gak minta presiden, ak cari sendiri bodo aja presiden siapa, ya maunya sih yang enak-enak. Bisa juga PK-PK hidup makmur dan diangkat derajatnya3.”

Dalam hal ini, partai-partai sendiri sudah berusaha untuk memberikan hak perempuan sebesar 30% untuk menjadi wakil rakyat. Akan tetapi, fenomena yang ada kader-kader perempuan pada partai bukan orang yang memiliki keahlian dalam berpolitik. Bahkan untuk membuat program-program bagi masyarakat saja khususnya perempuan mereka tidak paham. Sehingga membuat jarak antara warga dengan calon legislatif atau calon presiden. Sebenarnya masyarakat tidak semuanya paham mengenai visi misi, mereka justru lebih tertarik dengan program-program yang akan dilaksanakan oleh wakil rakyat. Namun, calon legislatif atau calon presiden sendiri dalam hal melakukan kampanye juga masih kurang tepat sasaran.

Akan tetapi suara laki-laki lebih didengar dibandingkan suara perempuan. Struktur patriarki yang dominan di sebagian besar masyarakat tidak melibatkan perempuan dalam proses pembuatan keputusan. Laki-lakilah yang berkomunikasi dengan dunia luar. Pengenalan teknologi baru, program pendidikan, peralatan baru dan jasa yang beraneka-ragam, selalu dirundingkan terutama dengan laki-laki. Kapitalisme internasional ini (dalam bentuk bantuan dan pembangunan) secara implisit melembagakan dominasi laki-laki atas perempuan karena pengetahuan, apa pun bentuknya, mempertinggi perluasan kekuasaan pria.Proses marginalisasi partai politik semakin tajam ketika dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan parpol sering mengabaikan kepentingan kaum perempuan.

3

Hasil wawancara dengan warga RW 09 Kelurahan Sidorejo Lor, Salatiga.

(7)

Sebagai contoh, perumusan AD/ART, pedoman-pedoman permusyawaratan, pedoman-pedoman perkaderan dan pedoman- pedoman organisasi lainnya tidak memuat secara khusus kuota untuk perempuan. Selain itu, rapat-rapat parpol yang terkait dengan pembuatan keputusan strategis biasanya dilakukan pada malam hari. Bagi anggota legislatif perempuan, rapat-rapat partai dan komisi di DPRD NTB yang sering dilakukan pada malam hari sangat menganggu mereka,khususnya bagi mereka yang masih memiliki anak kecil dan/atau mereka yang lajang maupun menjanda (Sri Yanuarti, 2012)

“Seringakali kalau saya harus pulang larut malam sehabis mengikuti sidang fraksi maupun komisi, saya harus teriak keras-keras dengan mengatakan bahwa saya baru pulang dari sidang dan dengan siapa saya pulang. Agar tetangga tidak berpikiran negatif, mengingat status saya yang janda. Selain itu, secara khusus saya meminta adik atau kakak laki-laki saya untuk menjemput saya, bukan sopir pribadi. Ini untuk mengurangi fitnah”.

“Umur anak saya masih belum ada satu tahun, saya memberikan ASI pada anak saya setiap harinya. Dengan adanya sidang pada malam hari otomatis sangat menganggu jadwal saya memberikan ASI dan mengasuh anak saya. Meskipun melalui bantuan peralatan modern kita bisa menyimpan ASI kita dan memberikannya saat kita tidak ada, namun akan sangat berbeda rasanya jika kita bisa memberikannya secara langsung. Anak pasti akan lebih nyaman. Kalau pulang larut malam karena ada sidang, suami saya yang menjemput. Kadang di kala senggang suami mampir dengan bayi saya, agar saya bisa menyusui secara langsung. Untungnya Mataram bukan Jakarta, sehingga jarak relatif tidak menjadi kendala”, kata seorang anggota DPRD termuda di Kota Mataram(Sri Yanuarti, 2012).

(8)

Sedangkan di kota Salatiga sendiri tepatnya kelurahan Sidorejo Lor, kecamatan Sidorejo RW 09 Sarirejo, banyak pemandu karaoke (PK) sekaligus pekerja seks komersial (PSK) berbicara bahwa mereka tidak akan mengikuti pesta demokrasi.

“Tidak ada mbak. Ya saya lakukan aktivitas seperti biasanya. Ya kerja, kesalon, main sama teman-teman. Kalau saya tidak mbak. Tidak pulang soalnya. Ya karena tidak pulang mbak. Mending disini cari uang saja. Malas mbak4 saya. Saya juga tidak tahu caranya.”

Masyarakat Sarirejo khususnya perempuan sendiri merupakan korban kekerasan. Sehinggapenjelasan tentang kekerasan (violence) meliputi serangan terhadap fisik, integritas, mental, dan psikologis seseorang. Kekerasan terhadap perempuan sering terjadi karena budaya dominasi laki-laki terhadap perempuan. Kekerasan digunakan oleh laki-laki untuk memenangkan pendapat, menyatakan rasa tidak puas, dan seringkali hanya untuk menunjukkan bahwa laki- laki berkuasa atas perempuan. Kekerasan ini juga bisa dilihat pada saat penentuan daerah pemilihan (dapil).

Perempuan cenderung ditempatkan di dapil yang tidak menguntungkan misalnya dapil yang bukan kantong suara partai, sementara dapil yang potensial didominasi oleh laki-laki, kecuali caleg perempuan yang memiliki kedekatan secara personal dengan pimpinan parpol. Beban kerja ganda (double burden, bahkan mungkin tripel burden) yang dialami perempuan sebagai akibat anggapan masyarakat bahwa perempuan mempunyai sifat memelihara, mengasihi, dan menyayangi. Untuk itu, perempuan cocok memikul tanggung jawab terhadap semua pekerjaan domestik. Keadaan ini melahirkan beban kerja ganda bagi perempuan yang bekerja di luar rumah sebab, selain bekerja membantu mencari nafkah, perempuan juga harus tetap menjalankan pekerjaan domestik. Hal ini disebabkan tuntutan tradisi yang mengharuskan perempuan mengurus rumah tangga, sementara di sisi lain perempuan memiliki ekspektasi yang sama dengan

4

Panggilan untuk kakak perempuan dalam bahasa jawa

(9)

laki-laki, misalnya bekerja mencari nafkah dan aktif di parpol. Semua manifestasi ketidakadilan jender di atas telah tersosialisasi dengan baik kepada perempuan dan laki-laki, yang pada akhirnya secara perlahan-lahan, perempuan dan laki-laki menjadi terbiasa dan mempercayai bahwa peran jender seolah-olah merupakan kodrat (Luky Sandra Amalia, 2012). Sikap protes dengan tidak mau mengikuti pemilihan umum, masyarakat khususnya perempuan sangat menarik untuk diteliti. Terlebih lagi PK atau PSK yang sempat diwawancara juga punya jiwa politik dari diri sendiri dengan terbentuknya sikap memberontak tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa peran serta perempuan dalam dunia politik masih rendah. Karena belum ada 30% quota perempuan yang masuk dalam ranah politik. Akan tetapi, sejak tahun 1999-2014 sekarang persentase perempuan untuk berpolitik praktis semakin meningkat. Meskipun seperti itu, perempuan masih tetap dianggap belum mempunyai pemikiran dan keputusan yang kuat dalam berpolitik. Saat pesta demokrasi tahun 2014 ini, perempuan yang terdaftar sebagai calon legislatif saja belum ada 30% dengan quota yang sudah diberikan oleh pemerintah. Begitu pula dengan calon presiden dan calon wakil presiden tahun 2014, perempuan seakan tidak ada wujudnya.

Khususnya untuk perempuan yang berada pada komunitas kaum marginal. Pemerintah sering kali mengabaikan suara komunitas tersebut, yang kemudian apa yang seharusnya menjadi kebutuhan semua masyarakat menjadi palsu. Karena masih banyak suara-suara yang diabaikan oleh pemerintah. Padahal justru suara kaum marginallah yang menjadi mayoritas di Indonesia. Sedangkan salah satu komunitas marginal sendiri di Salatiga ada kawasan yang sering disebut RW 09. Di RW 09 sendiri, yang mayoritas penduduknya perempuan dan bukan orang asli Salatiga, mereka juga tidak mendapat perlakuan yang sama seperti yang lain. Saat proses pemilu dilakukan, antara lain sosialisasi khusus untuk para pendatang pun

(10)

tidak dilaksanakan oleh KPU. Sehingga para pendatang yang ada di RW 09, memilih untuk GOLPUT5.

Oleh karena itu rumusan masalah yang didapat berdasarkan latar belakang diatas adalah:

1. Bagaimana kesadaran politik perempuan marginal di Desa Sarirejo terbentuk?

2. Bagaimana bentuk tindakan politik kritis perempuan marginal di Desa Sarirejo?

3. Bagaimana dialegtika kesadaran politik dan tindakan politik kritis perempuan marginal di Desa Sarirejo?

1.3 Tujuan Penelitian

Dari berbagai uraian sebelumnya, maka yang menjadi tujuan adalah: 1. Mendeskripsikan kesadaran politik perempuan marginal di Desa Sarirejo. 2. Menjelaskan tindakan politik kritis perempuan marginal di Desa Sarirejo. 3. Menganalisa dialegtika kesadaran politik dan tindakan politik kritis

perempuan marginal di Desa Sarirejo.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian tentang “Tindakan Politik Pemilu yang Dilakukan Perempuan Marginal” adalah untuk meninjau bagaimana partisipasi perempuan saat pemilu dilakukan, serta upaya apa yang akan dilakukan KPU berkaitan dengan tidak terdaftarnya mayoritas komunitas marginal yang ada di RW 09 Sarirejo, Salatiga. Penelitian ini juga bermanfaat bagi masyarakat luas, agar tidak

5

Kepanjangannya Golongan Putih

(11)

11

memandang kaum hawa sebagai kaum yang lemah dan tidak pantas untuk menjadi seorang pemimpin.

Realitas politik saat ini malah sebaliknya, jumlah populasi perempuan lebih besar dari pada laki-laki, namun institusi perpolitikan sangat MASKULIN tidak otomatis memiliki sensitive gender. Kenyataanya sampai saat ini, perempuan masih merupakan kelompok marjinal yang secara historis selalu disisihkan dalam dunia politik dan pada proses-proses pengambilan keputusan publik. Disisi lain tingkat pengetahuan perempuan tentang politik sangat berkaitan erat dengan kesadaran politik perempuan, termasuk kesadaran untuk memilih partai yang peduli terhadap kepentingan perempuan maupun wakilnya yang perempuan di DPR maupun DPRD.

Sehingga dalam penelitian ini juga sangat bermanfaat analisisnya untuk memperdalam peran serta perempuan dalam fenomena di ranah politik. Dapat dikatakan bahwa perempuan juga memiliki peran penting dalam ranah politik saat ini. Karena kebutuhan perempuan yang sampai sekarang belum terwujud sepenuhnya. Kemudian manfaat teoritisnya, pendekatan feminisme dan teori habitus milik Pierre Bourdieu dapat menjadi teori yang tepat untuk mengkaji persoalan gender dan politik. Melihat dari latar belakang yang diambil dari agenda negara lima tahunan yaitu pemilu dan peran serta pemandu karaoke yang mayoritas perempuan.

Referensi

Dokumen terkait

Variabel Gaya kepemimpinan (X3) berpengaruh terhadap kinerja karyawan (Y) karena mempunyai t hitung lebih besar dari t tabel yaitu 5,983 > 2,008. Hasil penelitian ini

[r]

Dari beberapa pendapat diatas tentang pengertian media dapat diambil kesimpulan bahwa: (1) Media adalah alat yang dapat membantu proses belajar mengajar

Tidak adanya hubungan secara simultan kedua variabel independen terhadap variabel dependen telah menggugurkan pendapat yang menyatakan bahwa kepuasan kerja

Karena hasilpemeriksaan secara kultural, biologik dan Ascoli telah membuktikan bahwa penyakit yang diperiksa itu adalah antraks, makapemeriksaan laboratorik terhadap serum

yang tentunya meminta ganti rugi atas kehilangan kendaraannya harus berhadapan dengan dalil pengelola parkir bahwa perjanjian parkir adalah perjanjian sewa lahan

Untuk mewujudkan jihad dalam bidang intelektual, tetap diperlukan pemimpin yang memiliki karakter integritas diri yang kuat, yang mampu membawa orang-orang di sekitarnya untuk