• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Partisipasi politik dalam negara demokrasi merupakan indikator implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh rakyat (kedaulatan rakyat), yang dimanifestasikan keterlibatan mereka dalam pesta demokrasi (Pemilu). Semakin tinggi tingkat partisipasi politik mengindikasikan bahwa rakyat mengikuti dan memahami serta melibatkan diri dalam kegiatan kenegaraan. Sebaliknya tingkat partisipasi politik yang rendah pada umumnya mengindikasikan bahwa rakyat kurang menaruh apresiasi atau minat terhadap masalah atau kegiatan kenegaraan. Rendahnya tingkat partisipasi politik rakyat direfleksikan dalam sikap golongan putih (golput) dalam pemilu.

Sebagai konsekuensi negara demokrasi, Indonesia telah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum (Pemilu) secara reguler, yaitu Tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009 untuk pemilihan calon legislatif (Pileg) dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden (Pilpres). Secara spesifik dunia internasional memuji, bahwa Pemilu Tahun 1999 sebagai Pemilu pertama di era Reformasi yang telah berlangsung secara aman, tertib, jujur, dan adil dipandang memenuhi standar demokrasi global dengan tingkat partisipasi politik 92,7%, sehingga Indonesia dinilai telah melakukan lompatan demokrasi.

Namun jika dilihat dari aspek partisipasi politik dalam sejarah pesta demokrasi di Indonesia, Pemilu tahun 1999 merupakan awal dari penurunan tingkat partisipasi politik pemilih, atau mulai meningkatnya golongan putih (golput), dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya dengan tingkat partisipasi politik pemilih tertinggi 96,6% pada Pemilu tahun 1971. Lebih-lebih jika dinilai

(2)

dengan penyelenggaraan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) sebagai bagian dari Pemilu yang telah berlangsung di beberapa daerah, terutama di wilayah Jawa sebagai konsentrasi mayoritas penduduk Indonesia juga menunjukkan potensi Golput yang besar berkisar 32% sampai 41,5%.

Realitas tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi apatisme di kalangan pemilih, di saat arus demokratisasi dan kebebasan berpolitik masyarakat sedang marak-maraknya. Fenomena tersebut sepertinya menguatkan pernyataan Anthony Giddens (1999) dalam bukunya Runaway World, How Globalisation is Reshaping Our Lives. “haruskah kita menerima lembaga-lembaga demokrasi tersingkir dari titik di mana demokrasi sedang marak”. Tentunya potensi Golput dalam pesta demokrasi nasional maupun lokal tersebut kiranya cukup mengkhawatirkan bagi perkembangan demokrasi yang berkualitas. Sebab potensi Golput yang menunjukkan eskalasi peningkatan dapat berimplikasi melumpuhkan demokrasi, karena merosotnya kredibilitas kinerja partai politik sebagai mesin pembangkit partisipasi politik.

Partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas modernisasi politik. Istilah partisipasi politik telah digunakan dalam berbagai pengertian yang berkaitan dengan perilaku, sikap dan persepsi yang merupakan syarat mutlak bagi partisipasi politik. Huntington dan Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang memaknai partisipasi politik sebagai :

By political participation we mean activity by private citizens designed to influence government decision-making. Participation may be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective. (partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh Pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.1

Dalam definisi tersebut partisipasi politik lebih berfokus pada kegiatan politik rakyat secara pribadi dalam proses politik, seperti memberikan hak suara

1

Samuel P Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta : Rineka Cipta, 1994, hal. 4

(3)

atau kegiatan politik lain yang dipandang dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan politik oleh Pemerintah dalam konteks berperan serta dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian partisipasi politik tidak mencakup kegiatan pejabat-pejabat birokrasi, pejabat partai, dan lobbyist professional yang bertindak dalam konteks jabatan yang diembannya. Dalam perspektif lain McClosky dalam International Encyclopedia of the Social Science menyatakan bahwa :2

Kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan Pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat Pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya.

The term “political participation” will refer to those voluntary activities by which members of a society share in the selection of rulers and, directly or indirectly, in the formation of public policy (partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui makna mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum”.

Dalam perspektif pengertian yang generik, Budiardjo memaknai partisipasi politik adalah:

3

Merujuk pemikiran politik tersebut dalam konteks sejarah penyelenggaraan pemilihan umum sebagai pesta demokrasi, secara empirik dapat dicermati tingkat partisipasi politik dan perkembangan golput di Indonesia. Salah satu yang terjadi dari Pemilihan Umum hingga saat ini adalah tingginya angka

Berbagai definisi partisipasi politik dari para pakar ilmu politik tersebut diatas, secara eksplisit mereka memaknai partisipasi politik bersubstansi core political activity yang bersifat personal dari setiap warga negara secara sukarela untuk berperan serta dalam proses pemilihan umum untuk memilih para pejabat publik, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penetapan kebijakan publik.

2

McClosky, Political Participation, International Encyclopedia of The Social Science, (2nd ed.).

New York : The Macmilan Company and Free Press. 1972, hal. 20 3

Miriam, Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1998, Hal. 183

(4)

pemilih yang tidak ikut dalam pemilihan. Tingkat partisipasi politik pada Pemilu rezim Orde Lama (1955), rezim Orde Baru (1971-1997) dan Orde Reformasi (periode awal 1999) cukup tinggi, yaitu rata-rata diatas 90%, diiringi dengan tingkat Golput yang relatif rendah, yaitu dibawah 10% (masih dalam batas kewajaran).

Tingkat partisipasi poitik pemilih dalam Pemilu di Indonesia pada Pemilu tahun 1955 mencapai 91,4 % dan jumlah Golput mencapai 8,6%, pada Pemilu 1971 tingkat partisipasi politik pemilih 96,6% dan jumlah Golput mencapai 3,4 %, Pemilu 1977 dan Pemilu 1982 tingkat partisipasi politik pemilih 96,5% dan jumlah Golput mencapai 3,5%, pada Pemilu 1987 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 96,4% dan jumlah Golput 3,6%, pada Pemilu 1992 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 95,1% dan jumlah Golput mencapai 4,9%, pada Pemilu 1997 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 93,6% dan jumlah Golput mencapai 6,4%, pada Pemilu 1999 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 92,6% dan jumlah Golput 7,3%, pada Pemilu Legislatif tahun 2004 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 84,1% dan jumlah Golput 15,9%, pada Pilpres putaran pertama tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 78,2% dan jumlah Golput 21,8%, sedangkan pada Pilpres putaran kedua tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 76,6% dan jumlah Golput 23,4%. Pada Pemilu Legislatif tahun 2009 tingkat partisipasi politik pemilih semakin menurun yaitu hanya mencapai 70,9% dan jumlah Golput semakin meningkat yaitu 29,1% dan pada Pilpres 2009 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 71,7% dan jumlah Golput mencapai 28,3%.

Selanjutnya secara eksplisit, Huntington dan Nelson membedakan partisipasi politik kedalam dua karakter, yaitu:

a. Partisipasi yang demokratis dan otonom adalah bentuk partisipasi politik yang sukarela;

(5)

b. Partisipasi yang dimanipulasi, diarahkan, dan disponsori oleh Pemerintah adalah bentuk partisipasi yang dimobilisasikan;4

Di era Orde Baru partisipasi politik yang dimobilisasikan merupakan kontribusi hasil mobilisasi politik yang dilakukan oleh jaringan aparat birokrasi pemerintahan Orde Baru, bersinergi dengan dukungan pengaruh para tokoh-tokoh masyarakat karismatik sebagai panutan yang telah dikooptasi oleh birokrasi pemerintahan sebagai wasit, namun ikut bermain politik sebagai orang Golkar. Kinerja kolaboratif tersebut membuktikan mampu menekan presentase tingkat Golput.

Secara prediktif jika kondisi politik dan ekonomi kurang kondusif, maka penyelenggaraan Pileg dan Pilpres 2009 nampaknya juga akan menghadapi realitas kondisional, yaitu di satu sisi penurunan partisipasi politik pemilih, dan di sisi lain meningkatnya jumlah Golput, sehingga akan timbul apatisme politik, seperti dikemukakan oleh McClosky bahwa:

Ada yang tidak ikut pemilihan karena sikap acuh tak acuh dan tidak tertarik oleh, atau kurang paham mengenai, masalah politik. Ada juga karena tidak yakin bahwa usaha untuk mempengaruhi kebijakan Pemerintah akan berhasil dan ada juga yang sengaja tidak memanfaatkan kesempatan memilih karena kebetulan berada dalam lingkungan dimana ketidaksertaan merupakan hal yang terpuji.5

Banyak pandangan tentang pilihan Golput tersebut dan semakin banyaknya masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu atau biasa disebut sebagai kelompok golput. Setidak-tidaknya ada beberapa hal penting tentang kenapa harus menggunaan hak pilihnya dengan baik. Pertama, pilihan untuk tidak memilih (golput) merupakan bentuk pemborosan terhadap anggaran belanja Negara (untuk pemilu) dan APB daerah (untuk pilkada). Padahal, dalam momentum pemilu maupun pilkada, tidak sedikit dana yang dikeluarkan. Kedua, golput juga akan menguntungkan calon yang belum tentu berkualitas atau disukai. Artinya, calon bisa menang hanya dengan perolehan suara rendah atau hanya

4

Samuel P Huntington dan Joan Nelson, op.cit, Hal. 11 5

(6)

mempunyai basis massa sedikit karena lebih banyak masyarakat yang golput. Ini mengakibatkan legitimasi kekuasaan calon terpilih akan berkurang. Dalam pemilihan secara langsung seperti saat ini, maka calon yang terpilih akan merasa bahwa ia pilihan “rakyat” dan bebas melakukan apa yang dikehendakinya. Justru hal ini menjadi bumerang bagi golput.

Sehingga, hal yang perlu dilakukan agar dapat mencegah golput yaitu : yang penting adalah melakukan gerakan kultural untuk mengembalikan semangat memilih, menggunakan hak pilih dalam pemilu maupun pilkada untuk melawan budaya golput. Bisa dilakukan kampanye besar-besaran, melibatkan semua kelompok dalam masyarakat. Dan perlunya adanya pendidikan dan sosialisasi politik kepada pemilih, khususnya bagi pemula untuk tidak menjadi golput dan memahami arti pentingnya partisipasi masyarakat dalam Pemilu.

Di Indonesia orang-orang yang tidak ikut memilih disebut dengan istilah golput (golongan putih). Istilah ini muncul tahun 1970-an, mengacu pada sikap dan tindakan politik untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu orde baru karena dinilai tidak demokratis. Menurut Arbi Sanit, fenomena golput ini memiliki keterkaitan terhadap legitimasi penguasa dan legitimasi sistem politik.6

6

Tim Litbang Kompas, Geliat Golongan Putih Makin Tampak Dari Masa ke Masa, Kompas Edisi 24 Februari 2004, hal. 7

Pada Pemilu 1971, misalnya, Golput diproklamasikan sebagai cara protes terhadap penguasa Orde Baru yang cenderung memusatkan kekuasaan sehingga menghambat pengembangan demokrasi. Di mata para pemprotes, Pemilu 1971 tidak lebih sebagai ajang pemberian legitimasi kepada penguasa. Demikian juga pada Pemilu 1977 sampai 1987 yang difungsikan untuk menghimpun legitimasi bagi keutuhan format politik Orde Baru, yang terkonsentrasi pada satu pusat kekuasaan. Di samping itu, mereka memprotes pemilu yang tidak lebih Cuma bertujuan mencari legitimasi bagi pembangunan yang ditandai oleh pertumbuhan ekonomi dan melebarnya ketimpangan sosial.

(7)

Pada masa reformasi sekarang ini pemaknaan istilah golput telah mengalami pergeseran. Hal itu tidak terlepas adanya perubahan paradigma bahwa memilih bukanlah seperti yang terjadi pada masa orde baru melainkan hak pemilih untuk ikut atau tidak dalam pemilu/pilkada. Seirimg dengan perubahan paradigma tersebut istilah golput pada saat ini merupakan penyebutan untuk orang-orang yang tidak ikut dalam pemilu atau pilkada. Dengan hanya melihat hasil pemilu atau pilkada maka golput tidak mungkin terdeteksi dengan baik. Sebab hasil pemilu tidak pernah disertai informasi alasan mengapa pemilih ikut memilih, tidak ikut memilih, atau memilih secara salah.

Meskipun tingginya angka golput menjadi gejala umum dalam Pemilu Legislatif di banyak wilayah dan kemungkinan fenomena Golput ini juga akan menjadi gejala umum Pemilu Presiden di masa mendatang hingga saat ini belum ada penjelasan yang memadai apa yang menyebabkan seorang pemilih memilih tidak menggunakan hak pilihnya. Berbagai penjelasan mengenai golput di Indonesia hingga saat ini masih didasarkan pada asumsi dan belum didasarkan pada riset yang kokoh. Pengamat dan penyelenggara Pemilu memang kerap melontarkan pendapat tentang penyebab rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Tetapi berbagai penjelasan itu didasarkan pada pengamatan dan bukan berdasarkan hasil riset.

Hingga saat ini, ada sejumlah penjelasan yang dikemukakan oleh para pengamat atau penyelenggara Pemilu tentang penyebab adanya Golput. Pertama, administratif. Seorang pemilih tidak ikut memilih karena terbentur dengan prosedur administrasi seperti tidak mempunyai kartu pemilih, tidak terdaftar dalam daftar pemilih dan sebagainya. Kedua, teknis. Seseorang memutuskan tidak ikut memilih karena tidak ada waktu untuk memilih seperti harus bekerja di hari pemilihan, sedang ada keperluan, harus ke luar kota di saat hari pemilihan dan sebagainya. Ketiga, rendahnya keterlibatan atau ketertarikan pada politik (political engagement). Seseorang tidak memilih karena tidak merasa tertarik dengan politik, acuh dan tidak memandang Pemilu atau Pilkada sebagai hal yang penting. Keempat, kalkulasi rasional. Pemilih memutuskan tidak menggunakan hak

(8)

pilihnya karena secara sadar memang memutuskan untuk tidak memilih. Pemilu legislatif dipandang tidak ada gunanya, tidak akan membawa perubahan berarti. Atau tidak ada calon kepala daerah yang disukai dan sebagainya.7

7

Eriyanto, Golput Dalam Pilkada, Kajian Bulanan LSI Edisi 05 September 2007, dikutip dari www.lsi.co.id

Maka dari penjelasan di atas, masyarakat golongan putih (golput) terbagi atas dua bagian, yaitu masyarakat yang tidak terdaftar sebagai pemilih pada pemilihan dan masyarakat yang terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilihan. Dalam hal ini penulis akan meneliti masyarakat golongan putih yang telah terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu legislatif. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi masyarakat tersebut sehingga tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu legislatif.

Mana penjelasan yang lebih cocok untuk fenomena ini, hal ini menjadi latar belakang peneliti untuk fenomena golput sehingga dapat mengetahui apa yang menyebabkan pemilih tidak menggunakan hak pilihnya. Faktor-faktor apa sajakah yang menimbulkan perilaku ini yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini.

Pemilu legislatif secara langsung pada tanggal 09 April 2009 berlangsung serentak di seluruh wilayah Indonesia termasuk di Kecamatan Medan Amplas. Kecamatan Medan Amplas yang merupakan salah satu kecamatan di kota Medan juga melaksanakan pemilu legislatif secara bersamaan. Dalam hasil pemilihan, ternyata masih didapati jumlah masyarakat yang terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum legislatif yaitu sekitar 51.83 %. Padahal jumlah suara yang tidak ikut memilih cukup besar dan sangat berpengaruh pada hasil pemilihan umum legislatif tersebut. Sedangkan rakyat telah diberikan hak untuk memilih secara langsung calon anggota legislatif periode 2009–2014.

(9)

Tingginya angka golput di Kecamatan Medan Amplas disebabkan oleh menurunnya tingkat kepercayaan kepada penyelenggaraan pemilu dan peserta pemilu. Sehingga masyarakat di Medan Amplas beranggapan ikut atau tidak dalam Pemilu tidak memberikan perubahan yang berarti bagi kehidupan keluarga. Dengan alasan inilah yang menjadi salah satu alasan penulis memilih Kecamatan Medan Amplas sebagai lokasi penelitian.

2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan bagian pokok dari kegiatan penelitian, sehingga perumusannya perlu tegas dan jelas agar proses penelitian bisa benar-benar terarah dan terfokus ke permasalahn yang jelas. Perumusan masalah juga diperlukan untuk mempermudah menginterpretasikan data dan fakta yang diperlukan dalam suatu penelitian.8

8

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta : Bina Aksara, 1996, hal. 19

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka penulis membuat perumusan masalah sebagai berikut:

“Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi Munculnya Golongan Putih di Kecamatan Medan Amplas pada Pemilu Legislatif 2009”.

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 3.1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah adalah sebagai berikut:

Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi Munculnya Golput di Kecamatan Medan Amplas dalam Pemilihan Umum Legislatif 2009.

(10)

3.2. Manfaat Penelitian

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi penulis, untuk mengembangkan kemampuan berpikir penulis melalui karya ilmiah dan sebagai penerapan dari berbagai teori yang penulis dapatkan selama dalam masa perkuliahan.

2. Berfungsi sebagai referensi tambahan bagi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dan sebagai aplikasi teori perwakilan politik.

3. Memberikan bahan masukan kepada pengambil kebijakan Pemerintah dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum, Departemen Dalam Negeri dan Pemerintahan Daerah dalam kaitannya dengan perilaku pemilih

4. Untuk menambah referensi mengenai Golongan Putih.

4. Kerangka Teori

Unsur penelitian yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori karena dengan unsur inilah peneliti mencoba menerangkan fenomena sosial atau fenomena alami yang menjadi pusat perhatiannya. Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.9

Oleh karena itu, dalam kerangka teori ini penulis akan memaparkan teori-teori yang merupakan landasan berpikir dalam menggambarkan masalah penelitian yang sedang disoroti. Teori-teori yang relevan dengan masalah penelitian ini antara lain:

9

(11)

4.1. Partisipasi Politik

Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Partisipasi merupakan taraf partisipasi politik warga masyarakat dalam kegiatan-kegiatan politik baik yang bersifat aktif maupun pasif dan bersifat langsung maupun yang bersifat tidak langsung guna mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Wahyudi Kumorotomo mengatakan,

“Partisipasi adalah berbagai corak tindakan massa maupun individual yang memperlihatkan adanya hubungan timbale balik antara pemerintah dan warganya.”10

“Partisipasi adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah, partisipasi bisa bersifat pribadi-pribadi atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.”

Lebih jauh dia mengingatkan bahwa secara umum corak partisipasi warga negara dibedakan menjadi empat macam, yaitu : pertama, partisipasi dalam pemilihan (electoral participation), kedua, partisipasi kelompok (group participation), ketiga, kontak antara warga negara dengan warga pemerintah (citizen government contacting) dan keempat, partisipasi warga negara secara langsung.

Menurut Samuel P. Hutington dan Joan Nelson dalam No Easy Choice : Political participation in developing :

11

Sedangkan Ramlan Surbakti mendefinisikan, partisipasi politik adalah kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintah.12

10

Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Jakarta : Rajawali Press, 1999, hal. 112 11

Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, No Easy Choice :Political Participation In Developing Countries Cambridge, mass : Harvard University Press 1997, Hal. 3, dalam Miriam Budiarjo.

12

(12)

Dengan demikian, pengertian Hutington dan Nelson dibatasi beberapa hal, yaitu : pertama, Hutington dan Nelson mengartikan partisipasi politik hanyalah mencakup kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Dalam hal ini, mereka tidak memasukkan komponen-komponen subjektif seperti pengetahuan tentang politik, keefektifan politik, tetapi yang lebih ditekankan adalah bagaimana berbagai sikap dan perasaan tersebut berkaitan dengan bentuk tindakan politik. Kedua, yang dimaksud dengan partisipasi politik adalah warga negara biasa, bukan pejabat-pejabatpemerintah. Hal ini didasarkan pada pejabat-pejabat yang mempunyai pekerjaan professional di bidang itu, padahal justru kajian ini pada warga negar biasa. Ketiga, kegiatan politik adalah kegiatan yang dimaksud untuk mempengaruhi keputusan pemerintah. Kegiatan yang dimaksudkan misalnya membujuk atau menekan pejabat pemerintah untuk bertindak dengan cara-cara tertentu untuk menggagalkan keputusan, bahkan dengan cara mengubah aspek-aspek sistem politik. Dengan itu protes-protes, demonstrasi, kekerasan bahkan bentuk kekerasan pembrontak untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dapat disebut sebagai partisipasi politik. Keempat, partisipasi juga mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlepas tindakan itu efektif atau tidak, berhasil atau gagal. Kelima, partisipasi politik dilakukan langsung atau tidak langsung, artinya langsung oleh pelakunya sendiri tanpa menggunakan perantara, tetapi ada pula yang tidak langsung melalui orang-orang yang dianggap dapat menyalurkan ke pemerintah.

Perilaku politik seseorang dapat dilihat dari bentuk partisipasi politik yang dilakukannya. Bentuk partisipasi politik dilihat dari segi kegiatan dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Partisipasi aktif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi masukan dan keluaran suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatu kebijakana umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut srta dalam kegiatan pemilihan pimpinan pemerintahan.

(13)

b. Partisipasi pasif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi keluaran suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan mentaati peraturan/perintah, menerima, dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah.13 Selain kedua bentuk partisipasi diatas tetapi ada sekelompok orang yang menganggap masyarakat dan sistem politik yang ada dinilai telah menyinggung dari apa yang dicita-citakan sehingga tidak ikut serta dalam politik. Orang-orang yang tidak ikut dalam politik mendapat beberapa julukan, seperti apatis, sinisme, alienasi, dan anomie.

1. Apatis (masa bodoh) dapat diartikan sebagai tidak punya minat atau tidak punya perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gejala.

2. Sinisme menurut Agger diartikan sebagai “kecurigaan yang busuk dari manusia”, dalam hal ini dia melihat bahwa politik adalah urusan yang kotor, tidak dapat dipercaya, dan menganggap partisipasi politik dalam bentuk apa pun sia-sia dan tidak ada hasilnya.

3. Alienasi menurut Lane sebagai perasaan keterasingan seseorang dari politik dan pemerintahan masyarakat dan kecenderungan berpikir mengenai pemerintahan dan politik bangsa yang dilakukan oleh orang lain untuk oranng lain tidak adil.

4. Anomie, yang oleh Lane diungkapkan sebagai suatu perasaan kehidupan nilai dan ketiadaan awal dengan kondisi seorang individu mengalami perasaan ketidakefektifan dan bahwa para penguasa bersikap tidak peduli yang mengakibatkan devaluasi dari tujuan-tujuan dan hilangnya urgensi untuk bertindak.14

Menurut Rosenberg ada 3 alasan mengapa orang enggan sekali berpartisipasi politik:15

13

Sudijono, Sastroadmojo, Perilaku Politik, IKIP Semarang Press, 1995, hal. 74 14

Michael Rush dan Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta : PT Rajawali, 1989, hal. 131 15

(14)

Pertama bahwa individu memandang aktivitas politik merupakan ancaman terhadap beberapa aspek kehidupannya. Ia beranggapan bahwa mengikuti kegiatan politik dapat merusak hubungan sosial, dengan lawannya dan dengan pekerjaannya karena kedekatannya dengan partai-partai politik tertentu. Kedua, bahwa konsekuensi yang ditanggung dari suatu aktivitas politik mereka sebagai pekerjaan sia-sia. Mungkin disini individu merasa adanya jurang pemisah antara cita-citanya dengan realitas politik. Karena jurang pemisah begitu besarnya sehingga dianggap tiada lagi aktifitas politik yang kiranya dapat menjembatani. Ketiga, beranggapan bahwa memacu diri untuk tidak terlibat atau sebagai perangsang politik adalah sebagai faktor yang sangat penting untuk mendorong aktifitas politik. Maka dengan tidak adanya perangsang politik yang sedemikian, hal itu membuat atau mendorong kearah perasaan yang semakin besar bagi dorongan apati. Disini individu merasa bahwa kegiatan bidang politik diterima sebagai yang bersifat pribadi sekali daripada sifat politiknya. Dan dalam hubungan ini, individu merasa bahwa kegiatan-kegiatan politik tidak dirasakan secara langsung menyajikan kepuasan yang relative kecil. Dengan demikian partisipasi politik diterima sebagai suatu hal yang sama sekali tidak dapat dianggap sebagai suatu yang dapat memenuhi kebutuhan pribadi dan kebutuhan material individu itu.

4.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Munculnya Golput 1. Faktor Sosial Ekonomi

Menempatkan variabel status sosial-ekonomi sebagai variabel penjelasan perilaku non-voting selalu mengandung makna ganda. Pada satu sisi, variabel status sosial ekonomi memang dapat diletakkan sebagai variabel independen untuk menjelaskan perilaku non-voting tersebut. Namun, pada sisi lain, variabel tersebut juga dapat digunakan sebagai indikator untuk mengukur karakteristik pemilih non-voting itu sendiri. Setidaknya ada empat indikator yang bisa digunakan mengukur variabel status sosial ekonomi, yaitu tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, pekerjaan dan pengaruh keluarga. Lazimnya, variabel status sosial-ekonomi digunakan untuk menjelaskan perilaku memilih. Namun dengan menggunakan proporsi yang berlawanan, pada saat yang sama variabel tersebut sebenarnya juga dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku non-voting.

(15)

memilih, itu berarti rendahnya tingkat pendidikan berhubungan dengan ketidakhadiran pemilih.

Ada beberapa alasan mengapa tingkat status sosial-ekonomi berkorelasi dengan kehadiran atau ketidakhadiran pemilih, yaitu :

a. Pekerjaan-pekerjaan tertentu lebih mengahargai partisipasi warga. Para pemilih yang bekerja di lembaga-lembaga sektor-sektor yang berkaitan langsung dengan kebijakan pemerintah cenderung lebih tinggi tingkat kehadiran dalam pemilu dibanding para pemilih yang bekerja pada lembaga-lembaga atau sektor-sektor yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Para pegawai negeri atau pensiunan, menunjukkan tingkat kehadiran memilih lebih tinggi dibanding dengan yang lain. Sebab, mereka sering terkena langsung dengan kebijakan pemerintah, seperti misalnya kenaikan gaji, pemutusan hubungan kerja, dan sebagainya. Begitu pula para pensiunan yang sangat berkepentingan langsung dengan berbagai kebijakan pemerintah, khususnya tentang besarnya tunjangan pensiun kesehatan, kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan lainnya.

b. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan dapat dikatakan turut mempengaruhi perilaku pemilih masyarakat di Kecamatan Medan Amplas. Faktor pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan, sebab pendidikan sebagai suatu kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam menganalisa teori serta mampu untuk menentukan keputusan dalam persoalan-persoalan untuk mencapai tujuan menjadi faktor yang penting bagi masyarakat sebagai pelaku partisipasi aktif dalam pemilihan. Karena semakin tinggi pendidikan seseorang, maka ketajaman dalam menganalisa informasi tentang politik dan persoalan-persoalan sosial yang

(16)

diterima semakin meningkat dan menciptakan minat dan kemampuannya dalam berpolitik.

c. Pengaruh Keluarga

Keluarga juga memberikan pengaruh yang cukup besar pada masyarakat Kecamatan Medan Amplas dalam hal tidak ikut memilih pada Pemilu Legislatif, kuatnya pengaruh pimpinan keluarga (ayah) dalam menentukan pilihan politik keluarga. Secara umum apabila kepala keluarga (ayah) tidak ikut memilih akan memberikan pengaruh kepada anggota keluarga lainnya untuk tidak ikut memilih.

2. Faktor Psikologis

Penjelasan nonvoting dari faktor psikologis pada dasarnya dikelompokkan dalam dua kategori. Pertama, berkaitan dengan ciri-ciri kepribadian seseorang. Kedua, berkaitan dengan orientasi kepribadian. Penjelasan pertama melihat bahwa perilaku nonvoting disebabkan oleh kepribadian yang tidak toleran, otoriter, tak acuh, perasaan tidak aman, perasaan khawatir, kurang mempunyai tanggung jawab secara pribadi, dan semacamnya. Orang yang mempunyai kepribadian yang tidak toleran atau tak acuh cenderung untuk tidak memilih. Sebab, apa yang diperjuangkan kandidat atau partai politik tidak selalu sejalan dengan kepentingan peroragan secara langsung, betapapun mungkin hal itu menyangkut kepentingan umum yang lebih luas.

Dalam konteks semacam ini, para pemilih yang mempunyai kepribadian tidak toleran atau tak acuh cenderung menarik diri dari percaturan politik langsung, karena tidak berhubungan dengan kepentingannya.

Ciri-ciri kepribadian ini umumnya diperoleh sejak lahir bahkan lebih bersifat keturunan dan muncul secara konsisten dalam setiap perilaku. Faktor lain yang dapat digunakan untuk menandai ciri kepribadian ini

(17)

adalah kefektifan personal (personal effectiveness), yaitu kemampuan atau ketidakmampuan seseorang untuk memimpin lingkungan di sekitarnya. Misalnya, seberapa jauh seseorang merasa mampu memimpin teman-teman sepermainan, organisasi-organisasi sosial, profesi atau okupasi di mana mereka bekerja, dan sebagainya.

Sementara itu, penjelasan kedua lebih menitikberatkan faktor orientasi kepribadian. Penjelasan kedua ini melihat bahwa perilaku nonvoting

disebakan oleh orientasi kepribadian pemilih, yang secara konseptual menunjukkan karakteristik apatis, anomi, dan alienasi.16

Secara teoritis, perasaan apatis sebenarnya merupakan jelmaan atau pengembangan lebih jauh dari kepribadian otoriter, yang secara sederhana ditandai dengan tiadanya minat terhadap persoalan-persoalan politik. Hal ini bisa disebabkan oleh rendahnya sosialisasi atau rangsangan (stimulus) politik, atau adanya perasaan (anggapan) bahwa aktivitas politik tidak menyebabkan perasaan kepuasan atau hasil secara langsung. Anomi merujuk pada perasaan tidak berguna. Mereka melihat bahwa aktivitas politik sebagai sesuatu yang sia-sia, karena mereka merasa tidak mungkin mampu mempengaruhi peristiwa atau kebijaksanaan politik. Bagi para pemilih semacam ini, memilih atau tidak memilih tidak mempunyai pengaruh apa-apa, karena keputusan-keputusan politik seringkali berada diluar kontrol para pemilih. Sebab, para terpilih biasanya menggunakan logika-logikanya sendiri dalam mengambil berbagai keputusan politik, dan dalam banyak hal mereka berada jauh di luar jangkauan para pemilih. Perasaan powerlessness inilah yang disebut sebagai anomi. Sedangkan alienasi berada di luar apatis dan anomi. Alienasi merupakan perasaan keterasingan secara aktif. Seseorang merasa dirinya tidak terlibat dalam banyak urusan politik. Pemerintah dianggap tidak mempunyai pengaruh terutama pengaruh baik terhadap kehidupan seseorang. Bahkan pemerintah

16

Arnold K. Sherman dan Aliza Kolker, The Social Bases of Politics , California : A Division of Wodsworth Inc, 1987, hal. 208-209

(18)

dianggap sebagai sesuatu yang mempunyai konsekuensi jahat terhadap kehidupan manusia. Jika perasaan alienasi ini memuncak, mungkin akan mengambil bentuk alternatif aksi politik, seperti melalui kerusuhan, kekacauan, demonstrasi dan semacamnya.

3. Faktor Pilihan Rasional

Faktor pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung dan rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya “ongkos” memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada. Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat pemerintah. Bagi pemilih, pertimbangan untung dan rugi digunakan untuk membuat keputusan tentang partai dan kandidat yang dipilih, terutama untuk membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak ikut memilih. Pada kenyataannya, ada sebagian pemilih yang mengubah pilihan politiknya dari satu pemilu ke pemilu lainnya. Ini disebabkan oleh ketergantungan pada peristiwa-peristiwa politik tertentu yang bisa saja mengubah preferensi pilihan politik seseorang. Hal ini berarti ada variabel-variabel lain yang ikut menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang. Ada faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang dalam pemilu. Dengan begitu, pemilih bukan hanya pasif melainkan juga individu yang aktif. Ia tidak terbelenggu oleh karakteristik sosiologis, melainkan bebas bertindak. Faktor-faktor situasional, bisa berupa isu-isu politik atau kandidat yang dicalonkan, seperti ketidakpercayaan dengan pemilihan yang bisa membawa perubahan yang lebih baik. Atau ketidakpercayaan masalah akan bisa diselesaikan jika pemimpin baru terpilih, dan sebagainya. Pemilih yang tidak percaya dengan pemilihan akan menciptakan keadaan lebih baik, cenderung untuk tidak ikut memilih.

(19)

Berdasarkan pendekatan ini Him Helwit mendefinisikan perilaku pemilih sebagai pengambilan keputusan yang bersifat instant, tergantung pada situasi sosial politik tertentu, tidak berbeda dengan pengambilan keputusan lain. Jadi tidak tertutup kemungkinan adanya pengaruh dari faktor tertentu dalam mempengaruhi keputusannya.17

“Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka”.

4.3. Partai Politik

4.3.1. Defenisi Partai Politik

Secara umum Miriam Budiardjo mengatakan bahwa:

18

“Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan, berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.”

Sedangkan menurut Carl J. Friedrich, seperti yang dikutip oleh Miriam Budiardjo mengatakan bahwa:

19

17

Muhammad, Asfar, Presiden Golput, Jakarta : Jawa Pos Press, 2004, hal. 35-51 18

Miriam Budiardjo, Op. Cit., hal. 160-161 19

Ibid., hal. 161

Berdasarkan defenisi di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa tujuan utama dari partai politik adalah merebut ataupun mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan cita-cita partai politik tersebut. Hal tersebut dapat dicapai oleh partai politik melalui keikutsertaan mereka dalam pemilihan umum dengan jalan merebut dukungan rakyat untuk menempatkan wakil-wakilnya dalam dewan perwakilan rakyat.

(20)

4.3.2. Fungsi Partai Politik

Dalam bukunya Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Koirudin menuliskan beberapa fungsi dari partai politik yaitu :20

Sosialisasi politik merupakan suatu caraa untuk memperkenalkan nilai-nilai politik, sikap-sikap dan etika politik yang berlaku atau yang dianut oleh suatu negara. Dalam usaha menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam pemilihan umum, partai harus memperoleh dukungan seluas mungkin. Untuk itu partai politik akan berusaha menciptakan citra bahwa ia memperjuangkan

1. Fungsi Artikulasi Kepentingan

Artikulasi kepentingan adalah suatu proses penginputan berbagai kebutuhan, tuntutan dan kepentingan melalui wakil-wakil partai politik yang masuk dalam lembaga legislatif, agar kepentingan, tuntutan dan kebutuhan kelompoknya dapat terwakili dan terlindungi dalam pembuatan kebijakan publik. Dengan fungsi artikulasi kepentingan ini partai politik melalui wakil-wakilnya di parlemen dapat meningkatkan pengeluaran kebijakan-kebijakan yang menolong masyarakat dan meminimalisir kebijakan-kebijakan yang menyulitkan rakyat.

2. Fungsi Agregasi Kepentingan

Agregasi kepentingan merupakan cara bagaimana tuntutan-tuntutan yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda, digabungkan menjadi alternatif-alternatif pembuatan kebijakan publik. Agregasi kepentingan dari partai politik dapat dilihat juga ketika partai menawarkan program politik dan menyampaikan usul-usul pada badan legislatif, dan calon-calon yang diajukan untuk jabatan-jabatan pemerintahan mengadakan tawar-menawar (bargaining)

pemenuhan kepentingan mereka kalau kelompok kepentingan tersebut mendukung calon yang diajukan.

3. Fungsi Sosialisai Politik

20

Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, hal. 86-103

(21)

kepentingan umum. Di samping menanamkan solidaritas dengan partai, partai politik juga mendidik anggota-anggotanya menjadi manusia yang sadar akan tanggungjawabnya sebagai warga Negara dan menempatkan kepentingan sendiri di bawah kepentingan nasional. Di setiap Negara-negara, partai-partai politik selalu berperan untuk memupuk identitas nasional dan integrasi nasional.

4. Fungsi Rekruitmen Politik

Rekruitmen politik adalah suatu proses seleksi atau rekruitmen anggota-anggota kelompok untuk mewakili kelompoknya dalam jabatan-jabatan administratif maupun politik. Setiap partai politik memiliki pola rekruitmen yang berbeda. Anggota partai politik yang direkrut atau diseleksi adalah yang memiliki suatu kemampuan atau bakat yang sangat dibutuhkan untuk suatu jabatan atau fungsi politik.

5. Fungsi Komunikasi Politik

Komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang dijalankan oleh partai politik dengan segala struktur yang tersedia, mengadakan komunikasi informasi, isu dan gagasan politik. Partai politik menjalankan fungsi sebagai alat komunikasi politik agar anggota partai dapat mengetahui pandangan dan prinsip-prinsip partai, program kerja partai, gagasan partai, dan sebagainya.

4.4. Perilaku Golongan Putih (Golput)

Istilah golput muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971. Pemrakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara lain Arief Budiman, Julius Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah mereka didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan, cenderung diinjak-injak.21

Bukan hanya memproklamasikan diri sebagai kelompok putih yang tidak memilih, mereka bahkan mengajukan tanda gambar segilima hitam dengan dasar

21

(22)

putih. Namun pemilu 1971 menurut versi pemerintahan, diikuti oleh 95 persen pemilih. Satu hal yang mencuat dari kemunculan fenomena golput adalah merebaknya protes atau ketidakpuasan kelompok masyarakat tertentu terhadap tidak tegaknya prinsip-prinsip demokrasi atau penentangan langsung terhadap eksistensi rezim Orde Baru pimpinan Soeharto.

Menjelang Pemilu 1992, golput marak lagi sehingga bayangan kekuatannya diidentikkan sebagai partai keempat, di samping PPP, Golkar dan PDI. Namunn jumlah pemilih pada Pemilu 1992, kembali menurut versi pemerintah, di atas 90 persen, persisnya 91 persen. Sepekan menjelang Pemilu 29 Mei 1997, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri, selaku pribadi, mengumumkan untuk tidak menggunakan hak politiknya untuk memilih. Pernyataannya ini lalu dianggap sebagai kampanye terselubung kepada massa pendukungnya untuk memboikot pemilu, meski hal itu dibantah Megawati. Meski ada aksi PDI Perjuangan itu, jumlah pemilih pada Pemilu 1997 dilaporkan mencapai 90,58 persen.22

Sikap orang-orang golput, menurut Arbi Sanit dalam memilih memang berbeda dengan kelompok pemilih lain atas dasar cara penggunaan hak pilih. Apabila pemilih umumnya menggunakan hak pilih sesuai peraturan yang berlaku atau tidak menggunakan hak pilih karena berhalangan di luar kontrolnya, kaum golput menggunakan hak pilih dengan tiga kemungkinan. Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai. Kedua ,menusuk bagian putih dari kartu suara.

Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih. Bagi mereka, memilih dalam pemilu sepenuhnya adalah hak. Kewajiban mereka dalam kaitan dengan hak pilih ialah menggunakannya secara

Angka 90 persen itu memang diakui merupakan angka semu. Karena pemilu-pemilu zaman Soeharto-disebut banyak pihak-identik dengan kecurangan demi untuk memenangkan Golkar. Angka adalah bagian dari rekayasa yang sangat menentukan.

22

(23)

bertanggungjawab dengan menekankan kaitan penyerahan suara kepada tujuan pemilu, tidak hanya membatasi pada penyerahan suara kepada salah satu kontestan pemilu.23

Dalam artikelnya di KOMPAS 28 Juli 2004

Jadi berdasarkan hal di atas, golput adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan yang jelas menolak memberikan suara dalam pemilu. Dengan demikian, orang-orang yang berhalangan hadir di Tempat Pemilihan Suara (TPS) hanya karena alasan teknis, seperti jauhnya TPS atau terluput dari pendaftaran, otomatis dikeluarkan dari kategori golput. Begitu pula persyaratan yang diperlukan untuk menjadi golput bukan lagi sekedar memiliki rasa enggan atau malas ke TPS tanpa maksud yang jelas. Pengecualian kedua golongan ini dari istilah golput tidak hanya memurnikan wawasan mengenai kelompok itu, melainkan juga sekaligus memperkecil kemungkinan terjadinya pengaburan makna, baik di sengaja maupun tidak.

24

Kedua, golput pragmatis, yakni golput yang berdasarkan kalkulasi rasional betapa ada atau tidak ada pemilu, ikut atau tidak ikut memilih, tidak akan

, Indra J. Piliang

menyatakan bahwa golongan putih (golput) dianggap sebagai bentuk perlawanan atas partai-partai politik dan calon presiden-wakil presiden yang tidak sesuai dengan aspirasi orang-orang yang kemudian golput. Dia membagi golput menjadi 3 bagian yaitu: Pertama, golput ideologis, yakni segala jenis penolakan atas apa pun produk sistem ketatanegaraan hari ini. Golput jenis ini mirip dengan golput era 1970-an, yakni semacam gerakan anti-state, ketika state dianggap hanyalah bagian korporatis dari sejumlah elite terbatas yang tidak punya legitimasi kedaulatan rakyat. Bagi golput jenis ini, produk UU sekarang, termasuk UU pemilu, hanyalah bagian dari rekayasa segolongan orang yang selama ini mendapatkan keistimewaan dan hak-hak khusus. Sistem Pemilu 1999, sebagaimana diketahui, hanyalah memilih tanda gambar sehingga rakyat tidak bisa memilih orang. Demokrasi berlangsung dalam wilayah abu-abu dan semu.

23

http//www.kompas.com 24

(24)

berdampak atas diri si pemilih. Sikap mereka setengah-setengah memandang proses pemilihan suara pada hari H, antara percaya dan tidak percaya.

Ketiga, golput politis, yakni golput yang dilakukan akibat pilihan-pilihan politik. Kelompok ini masih percaya kepada negara, juga percaya kepada pemilu, tetapi memilih golput akibat preferensi politiknya berubah atau akibat sistemnya secara sebagian merugikan mereka.

Sedangkan menurut Novel Ali, di Indonesia terdapat dua kelompok golput.25

25

Novel Ali, Peradaban Komunikasi Politik, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1999, hal. 22

Pertama, adalah kelompok golput awam. Yaitu mereka yang tidak mempergunakan hak pilihnya bukan karena alasan politik, tetapi karena alasan ekonomi, kesibukan dan sebagainya. Kemampuan politik kelompok ini tidak sampai ke tingkat analisis, melainkan hanya sampai tingkat deskriptif saja.

Kedua, adalah kelompok golput pilihan. Yaitu mereka yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya dalam pemilu benar-benar karena alasan politik. Misalnya tidak puas dengan kualitas partai politik yang ada. Atau karena mereka menginginkan adanya satu organisasi politik lain yang sekarang belum ada. Maupun karena mereka mengkehendaki pemilu atas dasar sistem distrik, dan berbagai alasan lainnya. Kemampuan analisis politik mereka jauh lebih tinggi disbanding golput awam. Golput pilihan ini memiliki kemampuan analisis politik yang tidak Cuma berada pada tingkat deskripsi saja, tapi juga pada tingkat evaluasi.

4.5. Sistem Pemilihan Umum

Konsep yang berkaitan erat dengan badan perwakilan rakyat ialah berupa sistem pemilihan umum. Hal ini disebabkan salah satu fungsi sistem pemilihan umum ialah mengatur prosedur seseorang untuk dipilih menjadi anggota badan perwakilan rakyat atau menjadi kepala pemerintahan. Oleh karena itu, berikut ini diuraikan sistem pemilihan umum.

(25)

Setiap sistem pemilihan umum, yang biasanya diatur dalam peraturan perundang-undangan, setidak-tidaknya mengandung tiga variabel pokok, yaitu penyuaraan (balloting), distrik pemilihan (electoral district), dan formula pemilihan.26

Amerika Serikat mempertimbangkan kedua faktor itu. Setiap negara bagian tidak peduli luas wilayah dan jumlah penduduknya mempunyai dua kursi untuk Senat. Jumlah Dewan Perwakilan Rakyat (House of Refresentatives) per negara bagian ditentukan berdasarkan jumlah penduduk. Walaupun demikian, pemilihan anggota kedua badan ini dilakukan menurut prinsip satu kursi per

Pertama, penyuaraan. Artinya, tata cara yang harus diikuti pemilih yang berhak dalam memberikan suara. Apakah pemilih diperkenankan memilih salah satu alternatif (categorical) atau pemilih diperkenankan mendistribusikan suaranya kepada beberapa alternatif sesuai dengan peringkat yang dikehendaki (ordinal). Pilihan yang dihadapi pemilih terdiri atas tiga kemungkinan, yakni memilih partai, memilih calon, atau keduanya (partai politik dengan daftar calonnya). Variabel penyuaraan ini terdapat di negara-negara yang menganut sistem politik demokrasi yang menjamin kemajemukan (pluralism), sedangkan pemilihan umum di negara-negara komunis tidak mempunyai alternatif terhadap partai politik ataupun calon. Dalam sistem politik yang terakhir ini, pemilih dihadapkan pada seorang calon dari satu partai sehingga pemilih menentukan ”ya” atau ”tidak” terhadap calon tunggal.

Kedua, daerah pemilihan (electoral district). Artinya, ketentuan yang mengatur berapa jumlah kursi wakil rakyat untuk setiap daerah pemilihan. Apakah satu kursi per distrik (single member district) atau lebih dari satu kursi per daerah pemilihan. Dalam menentukan daerah pemilihan ini setidak-tidaknya dua faktor selalu dipertimbangkan, yakni wilayah administrasi pemerintahan dan jumlah penduduk.

26

Douglas W. Rae, The Political Conquences of Electoral Laws, New Haven : Yale University Press, 1967, hal. 6-39

(26)

distrik. Namun, luas wilayah distrik untuk Senat berbeda dengan luas distrik untuk anggota DPR.

Menurut Undang-Undang Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 1985 Indonesia menganut ketentuan banyak kursi per daerah pemilihan. Dalam Undang-Undang tentang susunan dan kedudukan badan-badan perwakilan rakyat sudah ditentukan jumlah anggota DPR/DPRD I/DPRD II per daerah pemilihan. Partai politik peserta pemilihan umum akan mendapat kursi sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh di daerah pemilihan. Variabel yang kedua ini berkaitan erat dengan variabel ketiga, yaitu variabel formula pemilihan.

Ketiga, formula pemilihan. Artinya, rumus yang digunakan untuk menentukan siapa atau partai politik apa yang memenangkan kursi di suatu daerah pemilihan. Formula pemilihan dibedakan menjadi tiga, yakni formula pluralitas, formula mayoritas, dan formula perwakilan berimbang (proportional refresentation). Apabila menggunakan formula pluralitas maka seseorang atau suatu partai dapat dikatakan menang pada suatu daerah pemilihan manakala orang/partai tersebut berhasil memperoleh suara lebih banyak daripada calon-calon atau partai-partai lain tidak peduli apakah bedanya satu suara atau lebih. Pemilihan anggota Kongres di Amerika Serikat menggunakan formula pluralitas. Apabila menggunakan formula mayoritas maka seseorang calon atau partai harus mencapai suara terbanyak dengan rumus : 50%+1. Rumus ini berguna untuk dapat ditetapkan sebagai memenangkan satu kursi di satu daerah pemilihan. Atau dalam bahasa yang lebih abstrak, kalau menggunakan formula mayoritas seorang calon atau partai harus mencapai suatu jumlah suara yang melebihi kombinasi jumlah suara yang diperoleh calon-calon atau partai lain. Lalu menurut formula perwakilan berimbang, setiap partai politik akan memperoleh kursi sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh. Apabila lebih dahulu (jumlah pemilih yang menggunakan haknya dibagi dengan jumlah kursi yang ditetapkan untuk daerah pemilihan yang bersangkutan), untuk kemudian kursi dibagi berdasarkan jumlah suara yang diperoleh oleh setiap partai peserta pemilihan umum.

(27)

Ketiga variabel itu bersifat saling berhubungan. Dari ketiga variabel ini, variabel ketiga yang terpenting karena kedua variabel lainnya adakalanya merupakan konsekuensi logis dari yang pertama. Itu sebabnya, setiap sistem pemilihan umum ditandai dengan formula pemilihan yang digunakan. Apabila formula pemilihan pluralitas yang digunakan maka sistem penyuaraan yang digunakan cenderung bersifat kategoris, dan daerah pemilihan yang digunakan biasanya sistem distrik (satu kursi per distrik).

Sebaliknya, apabila formula perwakilan berimbang yang digunakan maka daerah pemilihan yang digunakan cenderung banyak kursi per distrik, sedangkan sistem penyuaraan yang digunakan dapat keduanya. Dalam sistem pemilihan yang menggunakan formula pluralitas, pemilih biasanya memilih calon-calon dari berbagai partai politik (seorang calon per partai). Lalu yang menggunakan formula perwakilan berimbang, para pemilih yang memilih partai politik yang telah menyusun program dan calon-calonnya. Italia menggunakan cara yang terakhir ini. Namun, pemilih diminta menuliskan nama calon yang dikehendaki dari partai politik yang dipilih.

Sementara itu, sistem pemilihan umum di Indonesia menggunakan formula perwakilan berimbang, tetapi pemilih memilih partai politik yang telah menyusun program dan daftar urutan calon sehingga pemilih praktis tidak memilih nama calon yang dikehendaki. Keterangan di atas merupakan pola umum, sebab dalam kenyataan hampir semua negara memiliki kekhususan dalam sistem pemilihan umum sesuai dengan karakteristik sistem politik yang bersangkutan. Karakteristik formula pluralitas ialah secara perhitungan jumlah dapat dikatakan kurang adil (karena suara yang dikumpulkan calon-calon lain dapat saja melebihi perolehan suara pemenangnya), tetapi secara praktis lebih mudah dilaksanakan, cenderung mematikan partai kecil sehingga cenderung menciptakan sistem dua partai bersaingan. Partai yang secara nasional memperoleh minoritas suara dapat memperoleh mayoritas kursi di badan

(28)

perwakilan rakyat atau sebaliknya. Selain itu, cenderung menciptakan pemerintahan yang mayoritas.27

Formula mayoritas biasanya diterapkan dengan negara yang mempunyai banyak partai, dan negara yang mempunyai partai tunggal. Pemilihan umum dalam negara yang menganut sistem banyak partai cenderung menghasilkan pemerintahan koalisi. Pemerintahan koalisi ini dianggap rapuh dan kurang menciptakan pemerintahan yang stabil. Oleh karena itu, formula mayoritas sengaja digunakan sebagai sarana menghasilkan pemerintahan yang didukung mayoritas sehingga stabil.

Karena cenderung menciptakan sistem dua partai bersaingan maka alternatif yang muncul bagi para pemilih menjadi terbatas. Formula pluralitas dapat diterapkan dengan baik apabila memenuhi kondisi-kondisi berikut ini.

Pertama, distribusi jumlah pemilih untuk setiap distrik (daerah pemilihan) relatif seimbang, dan penetapan batas wilayah distrik yang relatif adil. Kedua, tidak terdapat suatu golongan etnis, ras atau agama yang secara jumlah merupakan mayoritas menguasai partai politik tertentu. Apabila terdapat ”mayoritas terkristalisasi” ini maka komunikasi dan kompromi diantara partai politik cenderung tidak mungkin terjadi karena partai yang mayoritas dari golongan tertentu cenderung memaksakan kehendaknya seperti yang terjadi di Afrika Selatan. Dengan kata lain, masyarakat secara kultural harus relatif homogen. Ketiga, bangsa-negara yang bersangkutan memiliki peserta pemilihan umum (partai politik) pada dasarnya tidak lagi memiliki perbedaan ideologi yang tajam, melainkan perbedaan dalam titik berat (program) saja seperti Amerika Serikat dan Inggris. Keempat, para pemilih dan wakil rakyat memiliki hubungan yang intim karena setiap wakil rakyat memiliki batas wilayah dan para pemilih yang jelas. Pemilih mengetahui dengan jelas kepada siapa ia harus menyampaikan tuntutan dan dukungan, sedangkan wakil rakyat juga mengetahui kepada siapa ia harus bertanggung jawab.

27

Milnor, A.J, Elections and Political Stability, Boston, MA : Little, Brown and Company, 1969, hal. 18-38

(29)

Dalam undang-undang pemilihan umum ditetapkan ketentuan bahwa seorang kandidat dari partai tertentu dapat ditetapkan sebagai pemenang apabila ia berhasil mengumpulkan jumlah suara mayoritas (mayoritas sederhana (50% + 1) atau mayoritas mutlak (75%). Dalam undang-undang itu pula ditetapkan ketentuan lain apabila dalam pemilihan umum pertama tidak tercapai suara mayoritas maka akan diadakan pemilihan umum kedua dengan peserta yang lebih terbatas (biasanya dua besar).

Formula pemilihan yang diterapkan pada pemilihan umum tahap kedua ini biasanya bukan lagi formula mayoritas, melainkan pluralitas sehingga kemungkinan besar akan terbentuk pemerintahan yang sah. Prancis adalah satu dari sedikit negara yang menerapkan formula ini. Negara yang menerapkan bentuk partai tunggal totaliter (negara-negara komunis) cenderung menggunakan formula mayoritas untuk menentukan pemenang dalam pemilihan umum yang bersifat meminta persetujuan massa akan calon tunggal yang ditawarkan partai komunis. Karena tidak ada alternatif pilihan yang ditawarkan kepada massa maka formula pluralitas dan perwakilan berimbang tidak mungkin diterapkan dalam negara totaliter seperti ini.

Tujuan utama penerapan formula perwakilan berimbang untuk menghasilkan suatu badan perwakilan rakyat yang merupakan replika kehendak rakyat pada waktu pemilihan umum diselenggarakan. Formula ini mencakup masyarakat pemilih yang lebih luas karena para pemilih yang buta huruf sekalipun, dapat dengan mudah memberikan suaranya. Sistem pemilihan ini cenderung menempatkan partai dalam kedudukan berdaulat sebab dalam pemilihan umum para pemilih memilih partai bukan memilih calon. Di samping itu, sistem ini memiliki kelebihan lain yang tidak dimiliki formula pluralitas dan mayoritas. Maksudnya, tidak ada suara yang terbuang atau suara yang terabaikan sebab setiap partai mendapatkan kursi sejumlah suara yang diperolehnya dalam pemilihan umum. Titik lemah sistem ini, yakni sukar mencapai pemerintahan yang mayoritas.

(30)

Pada dasarnya ada tiga hal dalam tujuan pemilihan umum.28 Pertama, sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan alternatif kebijakan umum. Sesuai dengan prinsip demokrasi yang memandang rakyat yang berdaulat, tetapi pelaksanaannya dilakukan oleh wakil-wakilnya (demokrasi perwakilan). Oleh karena itu, pemilihan umum merupakan mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai. Untuk menentukan alternatif kebijakan yang harus ditempuh oleh pemerintah biasanya yang menyangkut hal yang prinsipil beberapa negara menyelenggarakan pemilihan umum sebagai mekanisme penyeleksian kebijakan umum. Biasanya rakyat yang memilih diminta untuk menyatakan ”setuju” atau ”tidak setuju” terhadap kebijakan yang ditawarkan pemerintah. Pemilihan umum untuk menentukan kebijakan umum yang fundamental ini disebut referendum.

Kedua, pemilihan umum juga dapat dikatakan sebagai mekanisme memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan-badan perwakilan rakyat melalui wakil-wakil rakyat yang terpilih atau melalui partai-partai yang memenangkan kursi sehingga integrasi masyarakat tetap terjamin. Hal ini didasarkan atas anggapan di dalam masyarakat terdapat berbagai kepentingan yang tidak hanya berbeda, tetapi juga kadang-kadang malahan saling bertentangan, dan dalam sistem demokrasi perbedaan atau pertentangan kepentingan tidak diselesaikan dengan kekerasan, melainkan melalui proses musyawarah (deliberation).

Ketiga, pemilihan umum merupakan sarana memobilisasikan dan/atau menggalang dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik. Hal yang ketiga ini tidak hanya berlaku di negara-negara berkembang, tetapi juga di negara-negara-negara-negara yang menganut demokrasi liberal (negara-negara industri maju), kendati sifatnya berbeda.

28

Phillips, W. Shively, Power and Choice : An Introduction to Political Science, New York : Random House, 1987, hal. 138-147.

(31)

5. Metodologi Penelitian 5.1. Jenis Penelitian

Menurut Hadari Nawawi,29

29

Nawawi, Hadari, Metodologi Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1987, hal. 63

metode penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Penelitian deskriptif melakukan analisis dan menyajikan data-data dan fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat dipahami dan disimpulkan.

Tujuan penelitian deskriptif analisis adalah untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Disamping itu penelitian ini juga menggunakan teori-teori, data-data dan konsep-konsep sebagai kerangka acuan untuk menjelaskan hasil penelitian, menganalisis dan sekaligus menjawab persoalan yang diteliti. Oleh karena itu jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif.

5.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi penelitian pada Kecamatan Medan Amplas.

5.3 Populasi dan Sampel 5.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang terdaftar di Data Pemilih Tetap pada Pemilihan Presiden 2009.

(32)

5.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi yang menggunakan cara tertentu. Dalam penelitian ini sampel yang diambil adalah masyarakat yang tidak menggunakan Hak Pilihnya dalam Pilpres 2009 di kecamatan Medan Amplas. Dalam menentukan jumlah sampel untuk kuesioner, penulis menggunakan rumus Taro Yamane30

n =

Keterangan:

n : Jumlah sampel N : Jumlah populasi

D : Presisi 10% dengan tingkat kepercayaan 90%

Pada masyarakat Kecamatan Medan Amplas, jumlah golput di Kecamatan Medan Amplas sebanyak 45239 jiwa. Maka sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak :

n =

n =

n = n = 99,8

Jadi, sampel yang digunakan untuk menjadi responden dalam penelitian ini dibulatkan menjadi 100 orang.

, sebagai berikut:

30

Rakhmat, Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya, 1991, hal. 81

(33)

5.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan maka penulis mlakukan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

a. Data primer yang didasarkan pada peninjauan langsung pada objek yang diteliti untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan. Studi lapangan yang dilakukan dengan dating langsung ke lokasi penelitian dengan cara menyebarkan angket/kuesioner kepada responden yang dijadikan sebagai sampel penelitian. Responden menjawab dengan memilih pilihan jawaban yang telah disediakan dalam daftar pertanyaan.

b. Data sekunder yaitu dengan mencari sumber data dan informasi melalui buku-buku, jurnal, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian ini.

5.5 Teknik Analisa Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian disusun, dianalisa dan disajikan untuk memperoleh gambaran sistematis tentang kondisi dan situasi yang ada. Data-data tersebut diolah dan dieksplorasi secara mendalam yang selanjutnya akan menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan masalah yang diteliti.

6. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan

Pada bab ini akan memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dasar-dasar teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Deskripsi Lokasi Penelitian

Pada bab ini akan diuraikan gambaran umum dari lokasi penelitian di Kecamatn Medan Amplas.

(34)

BAB III : Pembahasan

Pada bab ini data dan informasi disajikan dan dianalisis secara sistematis berdasarkan penelitian yang dilakukan. BAB IV : Kesimpulan dan Saran

Referensi

Dokumen terkait

Jika dilihat dari tingkat efisiensi ekonomis yang telah dicapai oleh petani menunjukkan bahwa usahatani petani padi anorganik Kecamatan Rakit Kulim memberikan

a. Menu aturan umum squash, dalam menu ini materi yang akan disampaikan yaitu aturan umum squash yang terdiri dari aturan cara bermain olahraga squash, standar lapangan yang

menyelesaikan Landasan Teori dan Program, Projek Akhir Arsitektur LXVII yang.. berjudul ” Rumah Retret di Salatiga ” , ini

Penggunaan metode inkuiri sebagai upaya untuk menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif dan menyenangkan dengan mengacu kepada minat peserta didik dengan mengangkat

Hasil penelitian menunjukkan board meeting, size audit committee, woman on board dan degree of multinational activity berpengaruh positif terhadap pengungkapan

Tingginya angka kematian ibu dan angka kematian anak dari data yang tersaji diatas menjadi salah satu faktor dipilihnya masalah Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)

Penelitian ini menguji isolat bakteri endofit rimpang temulawak ( Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap bakteri Streptococcus agalactiae dan Aeromonas hydrophilla