51 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
(Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid Dalam Konteks Keindonesiaan)
Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang
Email: dulhalim2528@yahoo.com
Abstrak
Dalam sejarah perkembangan agama Islam, diketahui bahwa hijrahnya Nabi ke Madinah dengan tujuan menjamin keamanan masyarakat agamanya serta demi kondisi-kondisi yang dibutuhkan bagi penyiaran agama Islam. Di Madinah, Nabi mengeluarkan sebuah Piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas, dengan menekankan kerjasama seerat mungkin antara muslim dengan non muslim untuk bekerjasama demi keamanan mereka bersama.
Kecenderungan sekelompok kecil umat Islam yang sering bersikap keras terhadap penganut agama lain menurut Abdurrahman Wahid merupakan proses pendangkalan agama. Proses pendidikan dan dakwah Islam yang cenderung bersifat memusuhi, mencurigai, dan tidak mau mengerti agama lain merupakan faktor lain yang memperburuk hubungan antarumat beragama di Indonesia. Hal ini dilakukan baik oleh mubalig maupun guru-guru di sekolah. Padahal tidak ada ayat atau hadis nabi yang memerintahkan kaum Muslim bersikap keras demikian, apalagi terhadap agama-agama samawi.
Kata Kunci: Pluralisme, Pendidikan Islam, Abdurrahman Wahid
Pendahuluan
Menurut para ahli, masyarakat Indonesia adalah masyarakat
majemuk atau plural society,1dari segi etnis, misalnya ada suku melayu dan ada suku Melanesia yang selanjutnya membentuk seratus suku
besar dan 1.072 suku-suku derivative besar dan kecil. Dari segi bahasa,
terdapat ratusan bahasa yang digunakan di seluruh wilayah Nusantara.
1
52 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Dari segi pulau yang dihuni, terdapat sekitar 13.000 lingkungan
kehidupan kepulauan. Dari segi sejarah politik lokal, terdapat puluhan
bahkan ratusan sistem kerajaan kesukuan lama yang berpengaruh
terhadap sistem stratifikasi sosial dan adat istiadat setempat sekarang.
Dari segi mata pencaharian, terdapat keragaman antara kehidupan
pedesaan dan perkotaan. Dari segi agama, terdapat sejumlah agama
besar dunia dan sejumlah sistem kepercayaan lokal yang tersebar
diseluruh wilayah Nusantara.2
Sering kali perbenturan dalam pluralisme yang mendapat
sorotan tajam adalah mengenai pluralisme agama. Karena secara
historis, di negara ini agama-agama besar berkembang dengan
suburnya. Dan secara sosiologis, hubungan masing-masing agama erat
dengan berbagai dinamika, terkadang akomodatif dan terkadang
konfrontatif. Pola hubungan akomodatif terjadi karena masing-masing
umat dapat mengaktualisasikan ajaran agamanya dengan benar
sekaligus para pemeluk agama menaati dan mengakomodir nilai-nilai
budaya lokal. Sedangkan mencuatnya hubungan konfrontatif
disebabkan oleh sifat dan watak umat beragama, termasuk
pemahaman agama yang sempit serta adanya pengaruh provokasi dari
luar. Yang selanjutnya menyebabkan kerusuhan yang bernuansa
agama.
Menurut Yenni Wahid3, kekerasan berbau SARA terjadi karena ada pihak-pihak yang ingin memecah belah bangsa Indonesia yang
majemuk. Mereka membenturkan hal-hal yang berbeda, juga ada
keinginan untuk memimpin ruang-ruang tertentu namun rela
2
Atho Mudzhar, Pengembangan Masyarakat Multikultural Indonesia dan Tantangan ke Depan
(Tinjauan dari Aspek Keagamaan) dalam Atho Mudzhar, Meretas Wawasan dan Praksis
Kerukunan Umat Beragama di Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005), Cet. I, hlm. 1-2
3
Yenni Wahid bernama asli Zannuba Arrifah Chafsoh, putri ke-2 KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah Direktur The Wahid Institut 2004-sekarang.
53 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
mengacaukan hubungan yang telah harmonis. Serta ada pula
penyebab lain, terutama faktor ekonomi yang bisa menyebabkan
seseorang menjadi frustasi lalu mudah ditawari untuk menjadi mujahid
dengan mengikuti kelompok yang menjanjikan surga dan kemuliaan.4
Agama dewasa ini ditantang dan diuji oleh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesatnya,5 agama-agama besar dunia, Yahudi, Kristen, dan Islam disadari ataupun tidak telah
memasuki periode krisis yang ikut dan berlangsung secara kontinyu.
Krisis tersebut karena agama-agama sudah tidak mampu memberikan
solusi-solusi alternatif bagi manusia modern dalam ragam masalah
kehidupan mereka.
Pendidikan Pluralisme
Istilah Konsep dalam Kamus Ilmiah Populer diartikan sebagai ide umum,
pengertian, pemikiran, rancangan, serta rencana dasar.6 Pluralisme berasal dari kata plural (Inggris) yang berarti jamak, dalam arti terdapat
keanekaragaman dalam masyarakat. Dalam Oxford Advanced Learner’s
Dictionary, Pluralisme diartikan sebagai keberadaan atau toleransi keragaman
etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara
serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan,
dan sebagainya.7 Pluralisme yang dalam bahasa arabnya diterjemahkan
4 Zannuba Arrifah Chafsoh, “Perangi Ahmadiyah Dengan Dakwah”,
Suara Merdeka, (Semarang: 20 Februari 2011), hlm. 2
5
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berasal dari munculnya revolusi industri yang berlangsung di beberapa masyarakat Barat terutama pada abad ke- 19 dan awal abad ke- 20. Revolusi industri bukanlah peristiwa tunggal, melainkan terdiri dari beberapa perkembangan yang saling terkait dan berpuncak pada transformasi dunia Barat dari sistem pertanian menuju sistem industri besar-besaran. Dengan munculnya pabrik-pabrik sebagai buah dari kemajuan teknologi. Lihat George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009), cet. II, hlm. 7
6
Pius A. Partanto dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola,1994), hlm. 362
7
Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005), hlm. 13
54 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015 alta’addudiyyah8
, secara lughawi berasal dari kata plural (Inggris) yangberarti
jamak, dalam arti ada keanekaragaman dalam masyarakat, adabanyak hal lain
di luar kelompok kita yang harus diakui. Pluralismeadalah sebuah “ism” atau
aliran tentang pluralitas.9
Pluralisme yang berarti jamak atau lebih dari satu, dalam kamus bahasa
Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (a)
sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur
kegerejaan, (b) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik
bersifat kegerejaan maupun nonkegerejaan. Kedua, pengertian filosofis,
berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang
mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis:
adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik
yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi
aspekaspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompokkelompok
tersebut. Ketiga pengertian tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam
satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu
waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik
masing-masing.10
Nurcholis Madjid menyatakan bahwa pluralisme tidak dapat dipahami
hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam,
terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan
kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari
kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme.
Menurut Alwi Shihab, pengertian konsep pluralisme dapat disimpulkan
sebagai berikut:
8
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Gema Insani, 2007), Cet. III, hlm. 11
9
Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005), hlm. 11
10
Anis Malik Thoha. hlm. 12
55 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang
adanya kemajemukan. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan
kosmopolitanisme, kosmopolitanisme menunjuk suatu realitas di mana aneka
ragam, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ketiga, konsep
pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Keempat, pluralisme
agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan
memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa
agama tersebut.11
Sementara definisi tentang pendidikan pluralisme menurut Frans Magnez
Suseno adalah suatu pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi
pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis
atau tradisi budaya dan agama sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki baik perbedaan maupun kesamaan
cita-cita. Inilah pendidikan akan nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk
perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.12
Pendidikan Pluralisme sering dikenal orang dengan sebutan “Pendidikan Multikultural”. Ainurrofiq Dawam menjelaskan definisi pendidikan
multikultural sebagai proses pengembangan seluruh potensi manusia yang
menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman
budaya, etnis, suku, dan aliran (agama).13
Muhammad Ali menyebut pendidikan multikultural sebagai pendidikan
yang berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis secara
agama sekaligus berwawasan multikultural, seperti itu, dengan sebutan “Pendidikan Pluralis Multikultural”. Menurutnya, pendidikan semacam itu
harus dilihat sebagai bagian dari upaya komprehensif mencegah dan
menanggulangi konflik etnis agama, radikalisme agama, separatisme, dan
11
Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 41-42
12Syamsul Ma’arif,
Pendidikan Pluralisme di Indonesia. hlm. 92
13
Ainurrofiq Dawam, Emoh Sekolah; Menolak Komersialisasi Pendidikan dan Kanibalisme Intelektual, Menuju Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsa Karya Press, 2003), hlm. 100
56 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
integrasi bangsa, sedangkan nilai dasar dari konsep pendidikan ini adalah
toleransi.14
Memperhatikan beberapa definisi tentang pendidikan pluralisme tersebut
di atas, secara sederhana pendidikan pluralisme dapatlah di definisikan
sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman keagamaan dan kebudayaan
dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat
tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Pendidikan di sini, dituntut
untuk dapat merespon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah,
sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok.
Melalui sistem pendidikannya, sebuah pendidikan yang berbasis
pluralisme akan berusaha memelihara dan berupaya menumbuhkan
pemahaman yang inklusif pada peserta didik. Dengan suatu orientasi untuk
memberikan penyadaran terhadap para peserta didiknya akan pentingnya
saling menghargai, menghormati dan bekerja sama dengan agama-agama
lain.15
Dasar Pendidikan Pluralisme
a. Dasar Historis
Ada banyak bukti historis bahwa Nabi Muhammad SAW. Sangat
proeksistensi terhadap pemeluk agama lain dan memberikan kebebasan
kepada mereka untuk melakukan ritual di masjid milik umat Islam. Dikisahkan
oleh Ibnu Hisyam dalam al Sirah al-Nabawiyyah, bahwa Nabi pernah menerima
kunjungan para tokoh Kristen Najran berjumlah 60 orang. Menurut Muhammad ibnu Ja’far ibnu al-Zubair, ketika rombongan itu sampai di
Madinah, mereka langsung menuju masjid. Saat itu Nabi sedang melaksanakan
shalat ashar bersama para sahabatnya. Mereka datang dengan memakai jubah
dan surban, pakaian yang juga lazim digunakan oleh Nabi Muhammad SAW.
Dan para sahabatnya. Ketika waktu Kebaktian tiba, mereka pun tak harus
14 Syamsul Ma’arif,
Pendidikan Pluralisme di Indonesia.
15
Syamsul Ma’arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme, (Semarang: Nedd’s Press, 2008), hlm. 100
57 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
mencari gereja. Nabi memperkenankan mereka untuk melakukan sembahyang
di masjid.16
Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh kalangan Kristen. Ketika umat
Islam dikejar-kejar oleh Kafir-Quraisy Mekkah, yang memberikan perlindungan
adalah Najasy, raja Abesinia yang Kristen. Ia berpendirian bahwa pengikut
Muhammad haruslah dilindungi hak-haknya, termasuk hak memeluk agama.
Begitu pula ketika Nabi hijrah ke Madinah, Beliau mengadakan pertemuan
secara besar-besaran bersama sahabat Anshar dan beberapa keluarga (Naqib)
dari Mekkah. Dalam pertemuan itu, 23 artikel dari Piagam Madinah telah
ditetapkan. Juga tercantum dalam piagam itu, untuk membentuk masyarakat
dan hubungan-hubungan legal bagi kelompok Muslim yang baru. Selanjutnya
Beliau berkonsultasi dengan perwakilan dari non-Muslim. Akhirnya seluruh
dari mereka menyepakati dasar-dasar pembentukan sebuah “citystate” yang
baru. Inilah yang kemudian diabadikan dengan sebutan “Piagam Madinah”.17 Seperti yang telah dikatakan oleh Muhammad Husain Haekal bahwa:
Antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan masyarakat Yahudi,
Muhammad membuat perjanjian tertulis yang berisi pengakuan atas agama
mereka dan harta benda mereka, dengan syarat-syarat timbal balik. Sehingga
setiap warga Madinah tanpa membedakan agama maupun suku, mereka
berkewajiban mempertahankan kota itu. Mereka harus bekerja sama antar
sesama.18
Piagam Madinah adalah piagam pertama dalam sejarah peradaban
Islam yang menyepakati soal-soal hubungan atau interaksi sosial antara
kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan agama dan budaya, yakni
antara kelompok Yahudi, Nasrani dan Muslim. Di sini, Nabi Muhammad SAW
bertindak sebagai pencetus dan mediator dalam gerakan ishlah ini. Hal hal
16
Moh. Shofan, Menegakkan Pluralisme; Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh Muhammadiyah, (Jogjakarta: LSAF, 2008), hlm. 54-55
17 Syamsul Ma’arif,
The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme, op. cit., hlm. 67
18
Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2008), cet. Ke-30, hlm. 202
58 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
penting yang dapat dijadikan sebagai dasar interaksi sosial di tengah
komunitas yang plural antara lain :19
1. Seluruh suku yang ada di Madinah disebut dalam pasal pasal piagam
dengan maksud menghormati identitas kolektivitas keagamaan dan etnik
yang ada dalam masyarakat tersebut.
2. Tiap-tiap kelompok etnik dan keagamaan dijamin otonomi hukum dan
budayanya secara total.
3. Secara garis besar Piagam Madinah memuat kesepakatan antara
Muhammad, kaum Musyrik, dan Yahudi. Dari 47 pasal yang termuat dalam
piagam itu meliputi masalah monoteisme, persatuan-kesatuan, persamaan
hak, keadilan, kebebasan beragama, bela negara, pelestarian adat,
perdamaian dan proteksi.
4. Masing-masing berkewajiban menjaga keamanan dan stabilitas Madinah.
5. Piagam Madinah menunjukkan bahwa Islam memiliki kepedulian tinggi
terhadap kesetaraan antaretnis dan ras. Dari sudut tinjauan modern, ia
diterima sebagai sumber inspirasi untuk membangun masyarakat yang
majemuk.
6. Piagam Madinah menjadi bukti bagi kerja sama kaum Muslimin dengan
kelompok beragama lain, sekaligus menunjukkan bahwa Muhammad telah
melembagakan asas toleransi beragama yang dinyatakan dalam al-Qur’an
(Q.S al-Baqarah: 156, al-Maidah: 48, dan al-Kafirun: 6).
7. Piagam Madinah menjadi piagam pertama yang mengakui kebebasan hati
nurani yang ditemui dalam sejarah umat manusia.
b. Dasar Normatif
Al-Qur’an secara jelas menyatakan bahwa pluralitas adalah salah satu
kenyataan objektif komunitas umat manusia, sejenis hukum Allah atau sunnah
Allah, dan bahwa hanya Allah yang tahu dan dapat menjelaskan di hari akhir
19
Mukhsin Abdurrahman, Pendidikan Pluralisme-Multikultural http://mukhsinblog.blogspot.com/ 2015/ 05 pendidikan-pluralisme-multikultural.html
59 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
nanti, mengapa manusia berbeda satu dari yang lain. Hal tersebut tercantum
dalam QS. al-Hujurat: 13.
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.20
Asbabun nuzul ayat tersebut menegaskan kesatuan asal usul manusia
dengan menunjukkan kesamaan derajat kemanusiaan manusia. Tidak wajar
seseorang berbangga dan merasa diri lebih tinggi dari yang lain, bukan saja
antar satu bangsa, suku atau warna kulit dengan selainnya, tetapi juga antara
jenis kelamin mereka.
Islam juga memerintahkan umatnya untuk berinteraksi terutama
dengan agama Kristen dan Yahudi, dan dapat menggali nilai-nilai keagamaan
melalui diskusi dan debat intelektual dan teologis secara bersama-sama
dengan cara yang sebaik-baiknya. Hal tersebut terdapat pada QS. al-Ankabut:
60 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka[1154], dan Katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu; dan Kami hanya kepada-Nya berserah diri"
Menurut Moh. Shofan, setidaknya ada empat tema pokok yang
menjadi kategori utama al-Qur’an tentang pluralisme agama:21
a) Tidak ada paksaan dalam beragama, yang terdapat pada QS. al-Baqarah:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.22
Tidak boleh ada paksaan dan tindakan kekerasan untuk masuk ke
dalam agama. Iman itu tunduk dan khudhu’ (patuh). Untuk mencapai hal itu
tidak bisa dilakukan dengan paksaan dan tekanan, tetapi harus dengan alasan
dan penjelasan yang menguatkan. Iman adalah urusan hati. Tidak seorang pun
bisa menguasai hati manusia.
Ayat ini cukup untuk membuktikan tentang kekeliruan musuh-musuh agama Islam yang mengatakan: “agama Islam ditegakkan dengan pedang, dan
orang yang tidak mau memeluk agama Islam dipancung lehernya”. Sejarah
telah membuktikan kebohongan dari pernyataan itu. Peperangan yang terjadi
pada masa Nabi bertujuan membela diri, supaya kaum Musyrik berhenti
mengganggu dan memfitnah para Muslim. Inilah sebabnya, para Muslim tidak
lagi memerangi para Musyrik ketika mereka telah memeluk Islam atau tetap
21
Moh. Shofan, hlm. 74-75
22
Departemen Agama, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, (Jakarta: Al Huda Kelompok Gema Insani, 2002), hlm. 43
61 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
pada agama semula dengan membayar jizyah (pajak) sebagai jaminan
keamanan.23
Allah Maha Kuasa, sehingga dengan kekuasaan-Nya, Dia bisa jadi ada
yang menduga bahwa hal tersebut dapat menjadi alasan bagi Allah untuk
memaksa makhluk mematuhi agama Nya. Namun yang terjadi tidak demikian,
yang dimaksud dengan tidak ada paksaan dalam menganut agama adalah
menganut akidahnya. Ini berarti jika seseorang telah memilih satu akidah,
maka dia terikat dengan tuntunan-tuntunannya, dia berkewajiban
melaksanakan perintahperintahnya. Dia terancam sanksi jika melanggar
ketetapannya.
Di sini Anda pun dituntut karena menyia-nyiakan potensi yang Anda
miliki. Anda juga tahu bahwa telah jelas yang ini membawa manfaat dan itu
mengakibatkan mudharat, jika demikian tidak perlu ada paksaan karena yang
dipaksa adalah yang enggan tunduk akibat ketidaktahuan. Di sini telah jelas
jalan itu sehingga tidak perlu ada paksaan. Anda memaksa anak untuk minum
obat yang pahit, karena Anda tahu bahwa obat itu adalah mutlak untuk
kesembuhan penyakit yang dideritanya.24
b)Pengakuan akan eksistensi agama-agama lain. Pengakuan al-Qur’an
terhadap pemeluk agama-agama lain, antara lain tercantum dalam QS.
al-Baqarah: 62 Pustaka Rizki Putra, 2000), Jilid II, hlm. 450-451
24
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 1, hlm. 551-552.
62 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.25
Pada dasarnya ayat di atas berbicara tentang empat kelompok:
al-ladzina Amanu (menunjuk pada umat Islam), alladzina Hadu (ummat Yahudi),
al-Nashara (umat Kristen), dan al-Shabi’in. Al-Thabari berpendapat bahwa
jaminan Allah atas keselamatan tersebut bersyaratkan tiga hal: beriman,
percaya pada hari kemudian, dan perbuatan baik. Syarat beriman itu termasuk
beriman kepada Allah dan Muhammad saw. Atau dengan kata lain, yang
dimaksud dalam ayat ini ialah mereka yang telah memeluk Islam.26 c) Kesatuan Kenabian, yang bertumpu pada QS. Asy Syura: 13
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya
63 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Penyebutan Nabi-Nabi sebagaimana terbaca di atas, sejalan dengan
masa kehadiran mereka di pentas bumi ini terkecuali Nabi Muhammad saw. Itu
untuk mengisyaratkan kedudukan terhormat yang diperoleh Nabi Muhammad
saw. Di kalangan para Nabi. Ini serupa dengan firman-Nya dalam QS.
al-Ahzab:7
d) Kesatuan Pesan Ketuhanan yang berpijak pada QS. an-Nisa’: 131
Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. tetapi jika kamu kafir Maka (ketahuilah), Sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah
kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji.28
Apa saja yang ada di langit dan bumi adalah kepunyaan Allah. Dialah
yang menciptakan dan Dialah yang mengurus. Dalam mengurus
makhluk-makhuk-Nya, Allah menciptakan hukum secara mutlak, dan semuanya tunduk
di bawah hukum itu.
Orang yang benar-benar memahami hukum-hukum Allah yang berlaku
umum terhadap bumi, langit dan semua isinya serta memahami pula hukum
yang mengatur kehidupan makhluk-Nya, akan mengetahui betapa besar
limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada semua makhluk-Nya. Oleh sebab
itulah kepada setiap hamba diperintahkan agar bertakwa kepada-Nya, seperti
telah diperintahkan kepada umat-umat terdahulu, yang telah diberi al-Kitab
seperti orang-orang Yahudi dan Nashrani. Serta kepada orang-orang yang
melaksanakan ketakwaan dengan tunduk dan patuh kepada- Nya dan dengan
28
Departemen Agama. hlm. 100
64 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
menegakkan syari’at-Nya. Dengan tunduk dan patuh kepada-Nya dan dengan menegakkan syari’at-Nya manusia akan berjiwa bersih dan dapat mewujudkan
kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.29 Pendidikan Islam
Dalam proses pendidikan sangatlah perlu komponen-komponen
pendidikan. Komponen itu sendiri berarti bagian dari suatu sistem yang
memiliki peran dalam keseluruhan berlangsungnya suatu proses untuk
mencapai sebuah tujuan.
Pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada term:
tarbiyah, ta’lim, ta’dib, riyadhah, irsyad, dan tadris. Masing-masing memiliki keunikan makna tersendiri, namun memiliki makna yang sama. Akan tetapi
term yang populer digunakan dalam praktek Pendidikan Islam adalah term
al-tarbiyah.30
Istilah kunci yang seakar dengan kata tarbiyah adalah al-rabb, rabbayani,
nurabbi, yurbi, dan rabbani. Istilah tarbiyah yang diambil dari madhi-nya
(rabbayani) memiliki arti memproduksi, mengasuh, menanggung, memberi
makan, menumbuhkan, mengembangkan, memelihara, membesarkan, dan
menjinakkan. Pemahaman tersebut diambil dari tiga ayat dalam al-Qur’an :
a. QS. al-Isra’: 24 “kamâ rabbayânî shaghîrâ” (sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil).
b. QS. al-Syu’ara: 18 “alâ nurabbika fînâ walîdâ” (bukankah Kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) Kami, waktu kamu masih kanak-kanak).
c. QS. al-Baqarah: 276 “yamhu Allah al-riba wa yurbi shadaqah”.(Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah).
29
Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), Jilid II, hlm. 29
30
Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasy dalam kitabnya Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, seperti dikutip oleh Abdul Mujib, Pendidikan Islam dalam khazanah keislaman populer dengan Istilah
Tarbiyah, Lihat. Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana,
2006), cet. I, hlm. 10
65 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Secara terminologi Pengertian Pendidikan Islam ini sebetulnya sudah
cukup banyak dikemukakan oleh para ahli. Meskipun demikian, perlu dicermati
dalam rangka melihat relevansi rumusan baik dalam hubungan makna, tujuan,
fungsi, maupun proses kependidikan Islam yang dikembangkan dalam rangka
menjawab permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam kehidupan umat
manusia sekarang ini.
Ahmad D. Marimba menyatakan bahwa Pendidikan Islam adalah
bimbingan jasmani-rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju
terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam.31
Memang dalam pendidikan Islam terdapat sebuah karakteristik yang
khusus, rekomendasi Konferensi Internasional Pendidikan Islam di Universitas
King Abdul Aziz Jeddah tahun 1997 mendefinisikan pendidikan Islam sebagai
keseluruhan pengertian yang terkandung dalam istilah ta’lim, tarbiyah, dan
ta’dib. Berdasarkan pemaknaan ini, Abdurrahman al-Nahlawy menyimpulkan bahwa pendidikan Islam terdiri dari empat unsur, yaitu: pertama, menjaga dan
memelihara fitrah anak menjelang baligh; kedua, mengembangkan seluruh
potensi; ketiga, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju
kesempurnaan; dan keempat, dilaksanakan secara bertahap.32
Dunia pendidikan, termasuk pendidikan Islam akan dipertanyakan dan
menjadi sorotan tajam tatkala anak didiknya terbawa arus modernitas;
menjadi robot-robot yang tidak mempunyai daya kreativitas kecuali hanya
terseret arus. Domain ini yang sejatinya mampu membawa perubahan tak
lebih hanya teranggap sebagai sesuatu yang konservatif dan sia-sia. Ini tak
lebih karena pengajaran agama selama ini bersifat normatif, dogmatis, dan
hanya memikirkan kebenaran yang masih di angan-angan (akhirat). Sedangkan
pemahaman tentang Tuhan beserta ritual pengabdiannya (baca: teologi)
cenderung eksklusif dan ada klaim-klaim apologis seperti klaim kebenaran
31
Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1989), hlm. 23
32
Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, op. hlm. 31-32
66 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
(truth claim) dan klaim keselamatan (salvation claim). Hal ini menyebabkan
fragmentasi dan permusuhan antar agama hingga menyebabkan konflik
berkepanjangan dan berdarah-darah. Nilai keagamaan menjadi luntur dan
hanya memunculkan simbolsimbol agama saja.
Dalam lingkup yang lebih luas, gerakan ini merupakan bentuk
perlawanan terhadap westernisasi. Walaupun dalam bentuk kaku, formalistik,
dan ritualistik semacam berjenggot, berpakaian putih dan berjilbab, angkatan
muda yang masih tergolong puritan dan steril dari idiologi sekuler meyakini
Islam sebagai satu-satunya juru selamat. Karenanya identitas Islam harus
dikembalikan dari pengaruh luar (westernisasi). 33
Pendidikan Islam sebagai penyedia segala fasilitas yang dapat
memungkinkan tugas-tugasnya tersebut tercapai dan berjalan lancar dengan
melihat realitas keanekaragaman ras dan agama di Indonesia, maka
pendidikan Islam harus memperhatikan beberapa hal berikut :
Pertama, Pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai
lembaga pendidikan umum yang bercirikan Islam. Artinya, di samping
menonjolkan pendidikannya dengan penguasaan atas ilmu pengetahuan,
namun karakter keagamaan juga menjadi bagian integral dan harus dikuasai
serta menjadi bagian dari kehidupan siswa sehari-hari.
Kedua; Pendidikan Islam juga harus mempunyai karakter sebagai
pendidikan yang berbasis pada pluralitas. Artinya, bahwa pendidikan yang
diberikan kepada siswa tidak menciptakan suatu pemahaman yang tunggal,
termasuk di dalamnya juga pemahaman tentang realitas keberagamaan.
Ketiga; Pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai lembaga
pendidikan yang menghidupkan sistem demokrasi dalam pendidikan. Sistem
33
Hassan Hanafi, Agama, Kekerasan dan Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2001), hlm. 14 – 15.
67 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
pendidikan yang memberikan keleluasaan pada siswa untuk mengekspresikan
pendapatnya secara bertanggung jawab.34
Pemikiran Abdurrahman Wahid Mengenai Konsep Pendidikan Pluralisme
Mengamati pemikiran Gus Dur memang menarik sekaligus
menyulitkan. Menarik karena ide-idenya sangat sederhana, tetapi mampu
memberikan wawasan tersendiri dalam menganalisis persoalan, baik di
Indonesia maupun di dunia. Menyulitkan karena pemikirannya terkadang
keluar dari kultur yang membesarkannya (NU dan Pesantren).35 1. Dasar Pemikiran Pluralisme Abdurrahman Wahid
Tulisan Gus Dur berjudul ’Pengembangan Fiqih Secara Kontekstual’,
dipaparkan bahwa Ideologi pluralisme yang dibawa Beliau dan
penghormatannya terhadap pluralitas sepenuhnya berdasarkan
pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Islam dan juga tradisi
keilmuan NU sendiri.
Pertama, prinsip pluralisme secara tegas diakui di dalam kitab suci.
Al-Qur’an secara tegas mendeklarasikan bahwa pluralitas masyarakat dari segi agama, etnis, warna kulit, bangsa, dan sebagainya, merupakan
keharusan sejarah yang menjadi kehendak Allah (sunnatullah). Karena itu,
upaya penyeragaman dan berbagai bentuk hegemonisasi yang lain,
termasuk dalam hal pemahaman dan implementasi ajaran agama,
merupakan sesuatu yang bertentangan dengan semangat dasar al-Qur’an.
Pluralitas agama dan masyarakat menjadi alat uji parameter kualitas
keberagamaan umat, apakah dengan pluralitas itu setiap kelompok atau
umat beragama bisa hidup berdampingan secara damai dengan pemeluk
agama lain dengan semangat saling belajar dan saling menghormati. Atau
34Syamsul Ma’arif,
The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme, op. cit.,hlm. 120
35
Munawar Ahmad. hlm. 55
68 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
sebaliknya, pluralitas itu justru menjadi alasan untuk membangun
klaim-klaim kebenaran yang bersifat sektarian.36
Kedua, nalar keragaman NU sepenuhnya dibangun di atas spirit
pluralisme. NU mengikuti tradisi pemikiran madzhab yang menjadi pilar
tegaknya peradaban fiqih. Ajaran Islam digali secara langsung dari
sumbernya, tetapi melalui pemikiran, NU terhindar dari pendekatan
tekstual dan interpretasi tunggal terhadap al-Qur’an dan al-Hadis. Fiqih
dirumuskan sebagai hukum atau kumpulan hukum yang ditarik dari dalildalil syar’i, yaitu al-Qur’an dan al-Hadis (al-ahkam al-mustanbathah min
adillatiha al-syar’iyyah). Definisi ini menurut Gus Dur, secara jelas
menampakkan adanya proses untuk memahami situasi yang di situ ayat al-
Qur’an dan al-Hadis memperoleh pengolahan untuk disimpulkan berdasarkan kebutuhan manusia. Di sini nyata terlihat bahwa pluralisme
yang dikembangkan Gus Dur adalah revitalisasi dari ajaran Islam dan tradisi
berpikir pesantren yang telah berkembang selama-berabad-abad.
Toleransi yang diajarkan dan dipraktekkan Gus Dur tidak sekedar
menghormati dan menghargai keyakinan atau pendirian orang lain dari
agama yang berbeda, tetapi juga disertai kesediaan untuk menerima
ajaran-ajaran yang baik dari agama lain, dalam sebuah tulisannya yang
berjudul Intelektual di Tengah Eksklusivisme, Gus Dur pernah mengatakan:
Saya membaca, menguasai, menerapkan al-Qur’an, al-Hadis, dan
kitab-kitab Kuning tidak dikhususkan bagi orang Islam. Saya bersedia memakai
yang mana pun asal benar dan cocok dan sesuai hati nurani. Saya tidak
mempedulikan apakah kutipan dari Injil, Bhagawad Gita, kalau bernas kita
terima. Dalam masalah bangsa, ayat al-Qur’an kita pakai secara fungsional,
bukannya untuk diyakini secara teologis. Keyakinan teologis dipakai dalam
persoalan mendasar. Tetapi aplikasi adalah soal penafsiran. Berbicara
36
M. Hanif Dhakiri. hlm. 63-64
69 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
masalah penafsiran berarti bukan lagi masalah teologis, melainkan sudah
menjadi masalah pemikiran.37
2. Pandangan Pluralisme Abdurrahman Wahid
Dalam QS. Ali Imran: 85 yang artinya: ”Barang siapa mengambil selain
Islam sebagai agama, maka amal kebajikannya tidak akan diterima oleh Allah,
dan dia di akhirat kelak akan menjadi orang yang merugi”, Gus Dur
memberikan penjelasan bahwa ayat tersebut jelas menunjuk kepada
masalah keyakinan Islam yang berbeda dengan keyakinan lainnya, dengan
tidak menolak kerjasama antara Islam dengan berbagai agama lainnya.38 Dalam pidato perayaan Natal pada tanggal 27 Desember 1999 di Balai
Sidang Senayan Jakarta, misalnya, Abdurrahman Wahid menyampaikan :
Saya adalah seorang yang menyakini kebenaran agama saya, tapi ini tidak menghalangi saya untuk merasa bersaudara dengan orang yang beragama lain di negeri ini, bahkan dengan sesama umat beragama. Sejak kecil itu saya rasakan. Walaupun saya tinggal di lingkungan pasantren, hidup dikalangan keluarga kiai, tak pernah sedikitpun saya merasa berbeda dengan yang lain.39
Perbedaan keyakinan tidak membatasi atau melarang kerjasama antara
Islam dan agama-agama lain, terutama dalam hal-hal yang menyangkut
kepentingan umat manusia. Penerimaan Islam akan kerjasama itu tentunya
akan dapat diwujudkan dalam praktek kehidupan, apabila ada dialog
antaragama. Dengan kata lain prinsip pemenuhan kebutuhan berlaku
dalam hal ini, seperti adagium ushul fiqh/teori legal hukum Islam: ”sesuatu
yang membuat sebuah kewajiban agama tidak terwujud tanpa
kehadirannya, akan menjadi wajib pula (Ma la yatimmu al wajibu illa bihi
37
Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2010), cet. II, hlm. 204
38
Menurut Gus Dur, Hal inilah yang membedakan amal sholeh yang merujuk pada amal baik seorang Muslim dengan amal khoir atau amal baik non muslim. Kalau amal saleh itu akan sampai kepada Allah dan akan diterima oleh Nya, sedangkan amal khair tidak demikian, dan hanya akan menjadi fatamorgana.
39Rumadi, “Dinamika Agama dalam Pemerintahan Gus Dur”, dalam Khamami Zada
(ed) Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan (Jakarta: LAKPESDAM), hlm. 144
70 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
fahuwa wajibun)”. Kerjasama tidak akan terlaksana tanpa dialog, oleh
karena itu dialog antaragama juga menjadi kewajiban.40
Tentang pluralitas, seperti terdapat dalam QS. al-Hujurat: 13, menurut
Gus Dur, ayat tersebut menunjuk kepada perbedaan yang senantiasa ada
antara laki-laki dan perempuan serta antar berbagai bangsa atau suku
bangsa. Dengan demikian, perbedaan merupakan sebuah hal yang diakui
Islam, sedangkan yang dilarang adalah perpecahan dan keterpisahan.
Tentu saja adanya berbagai keyakinan itu tidak perlu dipersamakan
secara total, karena masing-masing memiliki kepercayaan atau aqidah yang
dianggap benar. Demikian pula kedudukan penafsiran-penafsiran aqidah
itu. Umat Katholik sendiri memegang prinsip itu. Seperti dalam Konsili
Vatikan II yang dipimpin Paus Yohannes XXIII dari tahun 1962- 1965,
menyebutkan bahwa para Uskup yang menjadi peserta menghormati
setiap upaya mencapai kebenaran, walaupun tetap yakin bahwa
kebenaran abadi hanya ada dalam ajaran agama mereka. jadi keyakinan
masingmasing tidak perlu diperbandingkan atau dipertentangkan.
Di sinilah nantinya tebentuk persamaan antaragama, bukannya dalam
ajaran atau aqidah yang dianut, namun hanya pada tingkat capaian materi.
Karena ukuran capaian materi menggunakan bukti-bukti kuantitatif seperti
tingkat penghasilan rata-rata masyarakat.
3. Cara Menyikapi pluralisme
Menurut Gus Dur, pluralisme di tanah air disimbolisasi dengan banyak
hal, utamanya agama, suku, dan bahasa. Tetapi ada hal yang banyak
dilupakan oleh banyak kalangan, yaitu pluralisme makanan. Ekspresi dan
manifestasi pluralisme dalam makanan semakin memperkukuh entitas
kebhinekaan yang mewujud dalam bangsa ini.
40
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute, 2002), hlm. 133-134
71 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Ketika berkunjung ke tempat manapun, yang paling menarik dan
menjadi salah satu kekuatan adalah aneka macam menu makanan dengan
variannya. Bahkan, belakangan soal pluralisme makanan tersebut dijadikan
sebagai salah satu acara di stasiun televisi, yang dikenal dengan wisata
kuliner.41
Gus Dur memandang bahwa siapapun yang memahami realitas
keragaman masakan yang hampir dimiliki oleh setiap daerah di seluruh
pelosok negeri ini, maka pemahamannya terhadap pluralisme justru akan
semakin kokoh. Keragaman masakan yang kita miliki sebenarnya
merupakan unsur kekuatan, bukan unsur ancaman. Ia semakin menjadikan
kita sehat secara jasadi dan sehat secara ruhani. Makanan yang begitu
banyak aneka ragamnya telah menjadi fakta bahwa pluralisme atau
kebhinekaan merupakan rahmat Tuhan yang harus didayagunakan untuk
kemajuan bangsa. Belajar dari pluralisme makanan, maka kita sebenarnya
dapat merayakan manfaat dari pluralisme.
Pluralisme bukanlah ide yang menyatakan semua agama sama. Kita
semua mengakui dan menyadari bahwa setiap agama mempunyai ajaran
yang berbeda-beda. Tetapi perbedaan tersebut bukanlah alasan untuk
menebarkan konflik dan perpecahan. Perbedaan justru dapat dijadikan
sebagai katalisator untuk memahami anugerah Tuhan yang begitu nyata
untuk senantiasa merajut keharmonisan dan toleransi. Oleh sebab itu,
perbedaan dan keragaman merupakan keniscayaan yang tidak dapat
dihindari. Apalagi dalam perbedaan dan keragaman tersebut tersimpan
keistimewaan, yang mana antara kelompok yang satu dengan kelompok
lain bisa saling mengisi dan menyempurnakan.
Restoran merupakan ruang publik yang sebenarnya dapat
memperkokoh pluralisme, karena di situlah perbedaan dirayakan dalam
konteks menentukan eksistensi setiap kelompok dengan basis saling
41
72 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
menghargai dan menghormati. Sebab itu kebiasaan Gus Dur dalam
menyantap aneka ragam menu masakan di negeri ini merupakan salah satu
apresiasi terhadap pluralisme dan bagaimana menyikapinya dengan positif
dan konstruktif.
Menurut Gus Dur, Setidaknya ada tiga hal mendasar yang bisa
dilakukan sebagai ikhtiar mengurangi berbagai bentuk ancaman terhadap
kemajemukan bangsa, Pertama, penegakan hukum secara tegas terhadap
pelaku tindak kekerasan dan pemaksaan kehendak yang
mengatasnamakan agama. Kedua, ormas-ormas keagamaan harus
didorong untuk mengedepankan dialog dan kerjasama dalam berbagai
bidang sosial dan kebudayaan sehingga toleransi dapat ditumbuhkan
secara menyeluruh. Ketiga, nilai-nilai toleransi perlu ditanamkan dan
diajarkan sejak dini dan berkelanjutan kepada anak-anak mulai dari Sekolah
Dasar sampai Perguruan Tinggi.42
4. Pluralisme dalam Konteks Keindonesiaan
Wajah budaya Indonesia yang bhineka menuntut sikap toleran yang
tinggi dari setiap anggota masyarakat. Sikap toleransi tersebut harus dapat
diwujudkan oleh semua anggota dan lapisan masyarakat sehingga
terbentuklah suatu masyarakat yang kompak tapi beragam sehingga kaya
akan ide-ide baru.43
Serta hubungan antaragama di Indonesia selama kurun waktu 30 tahun
terakhir ini telah berkembang dalam berbagai dimensinya, yang secara
kualitatif telah merubah, dan pada saat yang sama dipengaruhi oleh
perkembangan pemikiran keagamaan di kalangan umat beragama itu
sendiri. Hal ini minimal dapat ditelusuri pada pemikiran keagamaan kaum
muslimin, dalam sosoknya yang tampak balau pada saat ini. Sebagaimana
42
A. Muhaimin Iskandar, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur, (Yogyakarta, LKiS, 2010), hlm. 19-20
43
HAR. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), cet. III hlm. 180
73 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
telah diketahui sejarah bangsa kita, Islam datang di kawasan ini dalam
bentuk dan corak yang heterogen. Dalam garis besarnya, Islam datang
dalam bentuk utusan-utusan politik, para pedagang dan para sufi.44
Heterogenitas asal usul Islam di Indonesia menunjukkan variasi sangat
tinggi dalam pengalaman menjalani hubungan antaragama yang dibawa
oleh kaum Muslimin ke negeri ini. Dalam pola sinkretik kehidupan
beragama orang Islam di keraton Mataram hingga puritanisme Islam yang
kemudian meletus dalam perang Paderi di Sumatera Barat pada paruh
pertama abad yang lalu, terbentang spektrum luas dengan manifestasi
hubungan antar beragama yang sangat beragam. Muslimin masyarakat Jawa menerima ”kekeramatan” bertemunya hari penting Arab Jum’at dan Hari Jawa Kliwon atau Legi, dengan melakukan ibadah ekstra pada hari
tersebut.
Begitu juga mereka menyebut hari Ahad dengan hari Minggu,45 serta mereka menjadikan hari tersebut sebagai hari tutup kantor dan tutup
sekolah dengan mengganti kesibukan seperti majlis ta’lim serta pengajian umum. Perubahan ”Hari Kristen” menjadi ”Hari Islam”, tanpa merubah penyebutan nama harinya itu menunjukkan keindahan mozaik kerukunan
hidup antara umat beragama yang menyejukkan hati dan menentramkan
jiwa. Namun, tantangan modernisasi yang datang dari Barat ternyata
menumbuhkan sikap-sikap baru di kalangan kaum muslimin, yang
memerlukan pengamatan teliti.
Pluralitas masyarakat Indonesia sendiri sekurang-kurangnya bisa dilihat
sebagai fakta dalam dua sisi. Sisi pertama: pluralitas suku, agama, dan
budaya serta berbagai turunannya. Sisi kedua: pluralitas di internal suku,
agama, dan budaya itu sendiri. Dalam Islam misalnya, terdapat berbagai
44 Abdurrahman Wahid, “Hubungan antar-Agama, Dimensi Internal dan Eksternalnya di
Indonesia” dalam Adurrahman Wahid, dkk., Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993), hlm. 3
45
Minggu berasal dari kata domingo yang berarti hari Tuhan bagi orang-orang Katolik Portugal, dan kemudian diikuti orang-orang Eropa lain untuk pergi ke gereja
74 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
aliran yang secara formal sering kali berseberangan. Demikian juga di
dalam agama, budaya dan suku yang lain.
Toleransi yang diajarkan Gus Dur merupakan ajaran semua agama dan
budaya, apalagi dalam masyarakat majemuk dan multikultur seperti
Indonesia. Namun, toleransi yang diajarkan dan dipraktekkan Gus Dur
berbeda dari tokoh-tokoh agama lain. Gus Dur mengajarkan toleransi plus,
yaitu kalau kebanyakan orang membudayakan toleransi sebatas pada
hidup berdampingan secara damai, yaitu hidup bersama dalam suasana
saling menghormati dan menghargai. Tidak demikian dengan Gus Dur.
Dalam menyikapi pluralitas tersebut, Gus Dur menegaskan bahwa
tegaknya pluralisme masyarakat bukan hanya terletak pada pola hidup
berdampingan secara damai (peaceful coexistence), karena hal demikian
masih sangat rentan terhadap munculnya kesalah-pahaman antar
kelompok masyarakat yang pada saat tertentu bisa menimbulkan
disintegrasi. Lebih dari itu penghargaan terhadap pluralisme berarti adanya
kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog secara tulus sehingga
kelompok yang satu dengan yang lain bisa saling memberi dan
menerima.46
Selama tahun 2008, masih ada beberapa elemen bangsa yang
mempermasalahkan pluralisme. Padahal pluralisme adalah keniscayaan
bangsa Indonesia. Menurut Gus Dur, kelompok yang menolak pluralisme
itu akibat ketidaktahuan terhadap sejarah lahirnya Bangsa Indonesia. Salah
satu cara mengatasinya, kata Gus Dur, Bangsa Indonesia harus
membangun batasan bersama. Batasan itu adalah penghargaan terhadap
pluralisme tidak akan diutak-atik. Batasan ini juga berlaku saat membahas
Undang-Undang Dasar Negara.47
46
Tulisan ini diambil dari makalah Gus Dur berjudul “Pluralisme Agama dan Masa Depan
Indonesia”, disampaikan pada seminar di UKSW, th. 1992. lihat M. Hanif Dhakiri, op.cit.hlm. 120
47
Catatan Akhir Tahun 2008 Gus Dur, Pluralisme di Indonesia Mengalami Krisis, http://wahidinstitute.org
75 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Konsep toleransi yang dikembangkan Gus Dur meniscayakan adanya
kebenaran yang datang dari agama atau peradaban lain. Namun, jika
kerendahan hati seperti itu bisa dikembangkan secara terus menerus,
maka toleransi di tengah masyarakat, akan semakin menemukan polanya
yang dengan sendirinya kerukunan antaragama akan menjadi bagian tak
terpisahkan dari dinamika masyarakat dan suasana saling belajar,
melengkapi dan mengisi akan menciptakan kultur keberagamaan yang
matang dan dewasa. Jika sudah demikian, maka dengan sendirinya
perbedaan agama dan keyakinan akan menjadi sumber kekuatan yang
sangat dahsyat bagi perubahan dalam persaudaraan.
5. Aktualisasi Pemikiran Pluralisme Abdurrahman Wahid
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat memimpin upacara
pemakaman Gus Dur di lingkungan Ponpes. Tebu Ireng Jombang, 31
Desember 2009, secara terbuka mengakui Gus Dur sebagai Bapak
Pluralisme. Jauh sebelumnya, tepatnya pada 24 Agustus 2005 sejumlah
tokoh Lintas Agama, Jaringan Doa Nasional Tionghoa Indonesia dan warga
Ahmadiyah menganugerahi Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme Indonesia.
Penganugerahan ini disampaikan di gedung PBNU, jalan Kramat Raya 164
Jakarta Pusat.
Kepedulian Gus Dur terhadap kasus-kasus internasional yang beberapa
diantaranya kontroversial termasuk hubungannya dengan Israel, maupun
kasus kekerasan etnik dan keagamaan serta kasus yang berkaitan dengan
HAM dan demokrasi di Indonesia, misalnya: persoalan Ahmadiyah, kasus
Monitor, ICMI, Ulil Abshar Abdalla, Inul, peristiwa Banyuwangi dan
pembunuhan di Jawa Timur tahun 1998, Sambas di Kalimantan Barat,
peristiwa Ambon di Maluku, GAM di Aceh, masalah Timor Timur,
persoaalan Etnis China, tidak hanya dibuktikan pada level pemikiran
belaka, namun Gus Dur selalu tampil sebagai pembela pada level praktis.
a. Jama’ah Ahmadiyah
76 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Ketika banyak kelompok menghujat dan berusaha
menyingkirkan kelompok lain yang dianggap sesat dengan cara-cara
kekerasan dan penistaan seperti yang sering dialami jamaah
Ahmadiyah, Gus Dur selalu tampil sebagai pembelanya. Bukan berarti
Gus Dur setuju dengan keyakinan Ahmadiyah itu, tetapi Ia sangat
menghormati keyakinan seseorang.
b. Kasus Monitor
Kasus Monitor pada bulan Oktober 1990, di mana tabloid
tersebut dirusak massa yang mengatasnamakan Islam gara-gara
sebuah surveinya yang menyinggung perasaan umat Islam. Menurut
Gus Dur, kasus monitor menunjukkan bahwa kelompok dalam
masyarakat ingin memanipulasi isu-isu agama untuk mengedepankan
kepentingan mereka. Sehingga beliau mendirikan Forum Demokrasi
untuk memperjuangkan demokrasi di Indonesia
c. Munculnya ICMI
Berdirinya ICMI pada Desember 1990. Menurut Gus Dur, ICMI
merupkan alat eksploitasi politik terhadap agama yang mengutamakan
kepentingan kelompok eksklusif yang sempit di atas kepentingan
nasional. ICMI akan mengaliansikan non-Muslim dan memperburuk
pembelahan dan salah paham yang sudah kuat dalam masyarakat
Indonesia selama ini antara kelompok keagamaan, kesukuan dan
budaya yang berbeda. Peristiwa ini pula yang melatarbelakangi Gus Dur
mendirikan Forum Demokrasi.
d. Pembelaan terhadap Ulil Abshar Abdalla, Inul Daratista, dan kelompok
yang dituduh Komunis.
Ia tanpa ragu membela Ulil Abshar Abdalla, seorang intelektual muda NU yang juga tokoh muda “Islam Liberal” yang mengemukakan
Liberalisme Islam, sebuah pandangan yang sama sekali baru dan
memiliki sejumlah implikasi yang sangat jauh, misalnya anggapan
77 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
bahwa Ulil akan mempertahankan kemerdekaan berpikir seorang santri
demikian bebasnya, sehingga meruntuhkan asas-asas keyakinannya
sendiri akan kebenaran Islam. Itulah sebabnya mengapa demikian
besar reaksi orang terhadap pemikirannya ini. Seperti diketahui bahwa sejumlah ulama’ serta aktifis Islam tertentu menilai pemikiran Ulil telah
sesat dan keluar dari Islam, dan karena itu Ia layak dihukum mati.
Menurut Gus Dur, kemerdekaan berpikir adalah sebuah keniscayaan
dalam Islam.
Demikian juga dalam kasus Inul Daratista, perempuan lugu dan
sederhana ini dicerca keras oleh sebagian Tokoh Agama, Majelis Ulama’, dan Seniman karena goyang ngebornya dianggap melanggar batas-batas kesusilaan umum. Mereka menggunakan justifikasi
fatwa-fatwa keagamaan untuk melarang Inul tampil di depan publik. Di
tengah kontroversi itu, Gus Dur tampil melindungi dari gempuran
kecaman dan panasnya opini publik yang menekan Inul. Pembelaan Gus
Dur didasarkan pada melindungi Hak Asasi wong cilik dari hegemoni elit
keagamaan dan klaim atas moralitas kesenian yang agak represif.
Dalam pembelaannya terhadap mereka yang diperlakukan tidak
manusiawi karena dituduh sebagai anggota kelompok Komunis. Karena
itu, ketika Ia menjadi Presiden, Gus Dur mengusulkan pencabutan TAP
No. XXV/MPRS/1966 soal pelarangan penyebaran ajaran Komunisme,
Marxisme dan Leninisme. Namun usul tersebut akhirnya ditolak. Dalam
rapat yang berlangsung hari Senin 29 Mei 2000, seluruh fraksi MPR
yang ada di panitia Ad Hoc II badan pekerja (PAH II BP) MPR menolak
usul Gus Dur tersebut. Para anggota MPR tampaknya masih sulit
membedakan antara Komunisme sebagai ideologi (pengetahuan) dan
Komunisme sebagai gerakan partai (G 30 S PKI).146
e. Peristiwa Banyuwangi dan Pembunuhan di Jawa Timur Tahun
1998 Pembunuhan yang konon dilakukan oleh para Ninja
78 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
berpakaian serba hitam itu telah memakan korban 200 orang
lebih, terbukti bahwa orang yang terlibat dalam pembunuhan ini
mempunyai pendidikan militer dan terorganisir dengan baik.
serta menginginkan kerusuhan sosial di masyarakat. Perlu
dicatat bahwa sebagian korban peristiwa itu adalah anggota NU
yang memiliki kedudukan sebagai Ulama’ di daerah mereka.
Respon Gus Dur terhadap pembunuhan tersebut adalah dengan
mengunjungi Banyuwangi dan mendorong para tokoh agama
lokal untuk menahan diri dari godaan untuk merespons
kekerasan ini dengan kekerasan.
f. Sambas di Kalimantan Barat
Daerah ini mempunyai sejarah konflik yang panjang, khususnya
antara transmigran Madura dengan penduduk lokal Dayak dan
masyarakat Melayu. secara kebetulan penduduk asal Madura
mempunyai hubungan dengan NU. mempelajari akar konflik itu, sering
dikatakan bahwa elemen-elemen kekerasan etnik dan agama berakar
pada kenyataan bahwa dalam konflik itu masyarakat Dayak yang
Kristen bekerja sama dengan masyarakat Melayu yang Muslim dan
karenanya kerusuhan itu berkaitan dengan faktor sosio-ekonomi. Meski
selama hari-hari sibuk pra-kampanye, Gus Dur menyempatkan diri
untuk mengunjungi langsung daerah sengketa tersebut untuk bertemu
dengan para pemimpin lokal dan meminta respons mereka dengan
sabar dan dewasa terhadap persoalan yang sangat kompleks ini. serta
kunjungan meredamkan konflik tersebut terus berlanjut pada
kesempatan berikutnya. saat itu beliau ditemani oleh Alwi Shihab untuk
bertemu dengan kelompok yang terdiri atas ratusan pemimpin lokal,
mengadakan makan siang bersama dan membincangkan isu kekerasan
dan peranan agama dan etnisitas. Baik Alwi maupun Gus Dur berbicara
dengan baik, sabar dan penuh keyakinan serta agaknya punya
79 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
pengaruh besar terhadap para pendengarnya. sulit untuk menentukan
sampai mana kunjungan singkat tersebut bersifat instrumental dalam
pencapaian perubahan yang cepat, tetapi yang jelas Gus Dur konsisten
dengan posisinya, memberikan prioritas untuk mendorong pemimpin
agama lokal dan pemimpin masyarakat untuk menghindari kekerasan.
g. Peristiwa Ambon di Maluku
Di Ambon, tak lama setelah pecah kekerasan dan kondisinya
saat itu benar-benar tegang sehingga tidak mungkin mengadakan
pertemuan dengan kubu pemimpin Muslim maupun Kristen seperti
yang direncanakan. meski demikian, Gus Dur tetap bertemu dengan
para pemimpin masyarakat lokal dan membujuk mereka agar bersabar
dan toleran dan menahan kekerasan. sulit sekali untuk mengukur arti
kunjungan Gus Dur tersebut yang teramat penting, Gus Dur merasa
perlu untuk mengunjungi dan mempertaruhkan reputasi persoalannya
untuk mencari jalan pemecahan.
h. GAM di Aceh
Kunjungan Gus Dur ke Aceh pada bulan Mei 1999 adalah atas
undangan mahasiswa Aceh untuk berbicara masalah-masalah yang
dihadapi Aceh, khususnya berkaitan dengan kekerasan yang sedang
dan terus berlangsung di Aceh di tangan militer/TNI dan semakin
kuatnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). di sana Ia juga mengunjungi
para pemimpin komunitas agama walaupun banyak diantaranya bukan
anggota PKB, karna saat itu adalah saat menjelang kampanye. Meski
sibuk menyiapkan kampanye, Gus Dur tetap menyempatkan untuk
meredamkan konflik Aceh padahal Ia juga tahu bahwa Aceh bukanlah
basis PKB. ini menunjukkan kunjungan tersebut memang murni
dorongan hati nurani beliau.
i. Masalah Timor Timur
80 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Dalam seluruh aktivitas untuk menyelesaikan kekerasan
ini,pelanggaran HAM dan konflik yang sedang berlangsung, satu
persoalan penting muncul di hadapan Gus Dur dan dituntut untuk
segera disikapi untuk merespons pasukan internasional penjaga
perdamaian di Timor Timur. pada bulan September 1999, Gus Dur
membuat serangkaian komentar keras, khususnya diarahkan pada
pemerintahan Australia dan juga lembaga-lembaga lain yang dianggap
mencampuri urusan internal Indonesia.
j. Persoalan Etnis China.
Gus Dur sengaja melakukan hubungan dengan Beijing dan
orang-orang China, baik di daratan China maupun seluruh Asia
Tenggara. di samping untuk membantu orang-orang China di Indonesia
sebagai WNI, juga menjadi pemikiran penting sebagai pendewasaan
masyarakat Indonesia. karena itu dia nyatakan tujuan akhirnya adalah
dihapuskannya diskriminasi atas orang-orang China Indonesia. bahkan
dalam situasi yang tidak menguntungkan pun, berkaitan dengan resiko
politik, dia telah menunjukkan dukungannya bagi orang-orang China,
Kristen, dan masyarakat minoritas lainnya.
Pada tanggal 10 Maret 2004, beberapa tokoh Tionghoa
Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini
dikenal sebagai kawasan pecinan di Semarang Jawa Tengah,
mentahbiskan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa. Gus Dur bukan hanya
banyak melahirkan pemikiran dan kebijakan yang menghormati
masyarakat Tionghoa, tetapi juga mensejajarkan mereka dengan
semua kelompok yang ada di bumi Nusantara dari berbagai agama,
suku dan adat-istiadat yang berbeda.
Pada level praktis dan kebijakan, pembelaan Gus Dur terhadap
kelompok dan etnis Tionghoa dibuktikan secara nyata. Saat Ia menjadi
Presiden, hari raya Imlek bisa diperingati dan dirayakan dengan bebas.
81 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Warga Tionghoa tidak perlu lagi harus sembunyi-sembunyi jika
merayakannya. Kebebasan ini tak lepas dari keputusan politik Gus Dur
yang pada 17 Januari 2000 mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres)
Nomor 6 tahun 2000, isinya mencabut Inpres nomor 14/1967 yang
dibuat Soeharto tentang agama, kepercayaan, dan adat-istiadat China.
Dengan Inpres No 14/1967 rezim Orde Baru yang represif telah
membuat Imlek terlarang dirayakan di depan publik; Barongsai, Liang
Liong harus sembunyi; huruf-huruf atau lagu Mandarin tidak boleh
diputar di radio.48 k. Konflik Filipina
Seiring dengan berjalannya waktu, Gus Dur telah tumbuh
berkembang reputasinya bukan hanya sebagai pemimpin agama yang
memiliki komitmen terhadap nilai toleransi, tetapi juga seorang pemikir
yang independen dan bijaksana, pada kunjungan ke Jakarta pada
September 1993, Presiden Filipina, Fidel Ramos mencuri kesempatan
untuk berkonsultasi dengan Gus Dur berkaitan dengan masalah
perselisihan Muslim Moro di bagian selatan Pulau Mindanao agar dapat
diselesaikan tanpa konflik senjata, Gus Dur sepakat dengan menambahkan bahwa: “semakin lama masyarakat Islam dibiasakan
dengan konflik bersenjata, semakin lama pula mereka diharuskan berjuang mengatasi kemundurannya”, Ramos kemudian mengundang
Gus Dur untuk mengunjungi Filipina dan membantu berunding dengan
Front Pembebasan Moro. permintaan yang diresponnya pada tahun
berikutnya. lebih menarik lagi itu dua pekan sebelum kunjungan Ramos
ke Jakarta, Gus Dur dianugerahi salah satu hadiah paling bergengsi di
Filipina dan Asia Tenggara, yaitu Magsaysay Award (sebagai
keterlibatan Gus Dur yang luas dalam upaya untuk mengembangkan
toleransi beragama).
48
Hanif Dhakiri. hlm. 71
82 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
l. Hubungan Diplomatik dengan Israel
Dalam hal ini dukungan Gus Dur untuk membuka hubungan
diplomatik dengan Israel. sangatlah penting untuk menimbang konteks
historis posisi kebijakan Gus Dur, khususnya dalam
pertemuanpertemuan sebelumnya dengan Israel. Gus Dur sendiri telah
memberikan berbagai macam alasan bahwa hubungan tersebut
berkaitan dengan pembangunan ekonomi dan perwujudan kemauan
baik pada Israel itu sendiri. Jika Indonesia dapat membuka hubungan
dengan Israel, maka Indonesia akan memiliki posisi yang sangat kuat
untuk memperkuat argumentasi bagi perbaikan sosial dan politik di
Timur Tengah, khususnya Israel dengan Palestina. dalam konteks ini,
Gus Dur mengatakan bahwa sebagai Muslim terbesar di dunia,
sangatlah tepat jika Indonesia memainkan peranan penting bagi
perdamaian Israel dan Palestina. sudah pasti normalisasi hubungan
diplomatik dengan Israel sangat terikat dengan suksesnya perdamaian
itu. Inilah yang mendasari Gus Dur ketika pertama kali mengunjungi
Israel pada bulan oktober 1994 untuk menjadi saksi kemajuan proses
perdamaian antara Israel dengan negara-negara “Arab”. Gus Dur
berempat, ditemani oleh tokoh utama dialog antaragama.
Analisis Tentang Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman
Wahid
1. Terbentuknya Watak Pluralisme Abdurrahman Wahid
Dari lacakan epitemologis, Gus Dur bukanlah seorang yang
eksistensialis, melainkan seorang yang beragama dan percaya pada konsep
wahyu, tetapi Ia gabungkan dengan pemikiran modern. Bahwa kalau
memang ada Tuhan Allah Sang Pencipta, ada wahyu dan ada kitab suci,
tetapi juga ada pengetahuan obyektif. Jadi ada yang mutlak tetapi
kemutlakan itu dibatasi oleh yang tidak mutlak. Jadi secara otomatis ada
implikasi pluralisme. Ini adalah sumber pluralisme intelektual, tetapi ada
83 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
juga sumber-sumber pluralisme yang lain. Orang bisa pluralis karena punya
sikap humanitarian, kecintaan kepada manusia membuat kita saling
menghormati.
Telah disadari bahwa betapa kompleks dan rumitnya perjalanan Gus
Dur dalam meniti kehidupannya, bertemu dengan berbagai macam orang
yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata
sosial dan pemikiran yang berbeda. Dari segi pemahaman keagamaan dan
ideologi, Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks, mulai dari yang
tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai modernis dan sekuler. Dari
segi kultural, Gus Dur mengalami hidup di tengah budaya Timur yang
santun, tertutup, penuh basa-basi, sampai dengan budaya Barat yang
terbuka, modern dan liberal. Demikian juga persentuhannya dengan para
pemikir, mulai dari yang konservatif, ortodoks sampai yang liberal dan
radikal semua dialami.
Pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren.
Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik,
formal, dan struktural. Sementara pengembaraannya ke Timur Tengah
telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikirann Agama,
dari yang konservatif, simbolik-fundamentalis sampai yang liberal-radikal.
Dalam bidang kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi
oleh para pemikir Barat dengan filsafat humanismenya. Secara rasa maupun
praktek perilaku yang humanis, pengaruh para Kyai yang mendidik dan
membimbingnya mempunyai andil besar dalam membentuk pemikiran Gus Dur. Kisah tentang Kyai Fatah dari Tambak Beras, KH. Ali Ma’shum dari
Krapyak dan Kyai Chudhori dari Tegalrejo telah membuat pribadi Gus Dur
menjadi orang yang sangat peka pada sentuhan-sentuhan kemanusiaan.
Menurut Greg Barton, Sebagai seorang remaja, Gus Dur mulai mencoba
memahami tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles, serta pada saat yang sama
ia bergulat memahami Das Kapital karya Marx dan What is To be Done karya