• Tidak ada hasil yang ditemukan

PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM (Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid Dalam Konteks Keindonesiaan) Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM (Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid Dalam Konteks Keindonesiaan) Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

51 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

(Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid Dalam Konteks Keindonesiaan)

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang

Email: dulhalim2528@yahoo.com

Abstrak

Dalam sejarah perkembangan agama Islam, diketahui bahwa hijrahnya Nabi ke Madinah dengan tujuan menjamin keamanan masyarakat agamanya serta demi kondisi-kondisi yang dibutuhkan bagi penyiaran agama Islam. Di Madinah, Nabi mengeluarkan sebuah Piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas, dengan menekankan kerjasama seerat mungkin antara muslim dengan non muslim untuk bekerjasama demi keamanan mereka bersama.

Kecenderungan sekelompok kecil umat Islam yang sering bersikap keras terhadap penganut agama lain menurut Abdurrahman Wahid merupakan proses pendangkalan agama. Proses pendidikan dan dakwah Islam yang cenderung bersifat memusuhi, mencurigai, dan tidak mau mengerti agama lain merupakan faktor lain yang memperburuk hubungan antarumat beragama di Indonesia. Hal ini dilakukan baik oleh mubalig maupun guru-guru di sekolah. Padahal tidak ada ayat atau hadis nabi yang memerintahkan kaum Muslim bersikap keras demikian, apalagi terhadap agama-agama samawi.

Kata Kunci: Pluralisme, Pendidikan Islam, Abdurrahman Wahid

Pendahuluan

Menurut para ahli, masyarakat Indonesia adalah masyarakat

majemuk atau plural society,1dari segi etnis, misalnya ada suku melayu dan ada suku Melanesia yang selanjutnya membentuk seratus suku

besar dan 1.072 suku-suku derivative besar dan kecil. Dari segi bahasa,

terdapat ratusan bahasa yang digunakan di seluruh wilayah Nusantara.

1

(2)

52 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

Dari segi pulau yang dihuni, terdapat sekitar 13.000 lingkungan

kehidupan kepulauan. Dari segi sejarah politik lokal, terdapat puluhan

bahkan ratusan sistem kerajaan kesukuan lama yang berpengaruh

terhadap sistem stratifikasi sosial dan adat istiadat setempat sekarang.

Dari segi mata pencaharian, terdapat keragaman antara kehidupan

pedesaan dan perkotaan. Dari segi agama, terdapat sejumlah agama

besar dunia dan sejumlah sistem kepercayaan lokal yang tersebar

diseluruh wilayah Nusantara.2

Sering kali perbenturan dalam pluralisme yang mendapat

sorotan tajam adalah mengenai pluralisme agama. Karena secara

historis, di negara ini agama-agama besar berkembang dengan

suburnya. Dan secara sosiologis, hubungan masing-masing agama erat

dengan berbagai dinamika, terkadang akomodatif dan terkadang

konfrontatif. Pola hubungan akomodatif terjadi karena masing-masing

umat dapat mengaktualisasikan ajaran agamanya dengan benar

sekaligus para pemeluk agama menaati dan mengakomodir nilai-nilai

budaya lokal. Sedangkan mencuatnya hubungan konfrontatif

disebabkan oleh sifat dan watak umat beragama, termasuk

pemahaman agama yang sempit serta adanya pengaruh provokasi dari

luar. Yang selanjutnya menyebabkan kerusuhan yang bernuansa

agama.

Menurut Yenni Wahid3, kekerasan berbau SARA terjadi karena ada pihak-pihak yang ingin memecah belah bangsa Indonesia yang

majemuk. Mereka membenturkan hal-hal yang berbeda, juga ada

keinginan untuk memimpin ruang-ruang tertentu namun rela

2

Atho Mudzhar, Pengembangan Masyarakat Multikultural Indonesia dan Tantangan ke Depan

(Tinjauan dari Aspek Keagamaan) dalam Atho Mudzhar, Meretas Wawasan dan Praksis

Kerukunan Umat Beragama di Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005), Cet. I, hlm. 1-2

3

Yenni Wahid bernama asli Zannuba Arrifah Chafsoh, putri ke-2 KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah Direktur The Wahid Institut 2004-sekarang.

(3)

53 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

mengacaukan hubungan yang telah harmonis. Serta ada pula

penyebab lain, terutama faktor ekonomi yang bisa menyebabkan

seseorang menjadi frustasi lalu mudah ditawari untuk menjadi mujahid

dengan mengikuti kelompok yang menjanjikan surga dan kemuliaan.4

Agama dewasa ini ditantang dan diuji oleh perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesatnya,5 agama-agama besar dunia, Yahudi, Kristen, dan Islam disadari ataupun tidak telah

memasuki periode krisis yang ikut dan berlangsung secara kontinyu.

Krisis tersebut karena agama-agama sudah tidak mampu memberikan

solusi-solusi alternatif bagi manusia modern dalam ragam masalah

kehidupan mereka.

Pendidikan Pluralisme

Istilah Konsep dalam Kamus Ilmiah Populer diartikan sebagai ide umum,

pengertian, pemikiran, rancangan, serta rencana dasar.6 Pluralisme berasal dari kata plural (Inggris) yang berarti jamak, dalam arti terdapat

keanekaragaman dalam masyarakat. Dalam Oxford Advanced Learner’s

Dictionary, Pluralisme diartikan sebagai keberadaan atau toleransi keragaman

etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara

serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan,

dan sebagainya.7 Pluralisme yang dalam bahasa arabnya diterjemahkan

4 Zannuba Arrifah Chafsoh, “Perangi Ahmadiyah Dengan Dakwah”,

Suara Merdeka, (Semarang: 20 Februari 2011), hlm. 2

5

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berasal dari munculnya revolusi industri yang berlangsung di beberapa masyarakat Barat terutama pada abad ke- 19 dan awal abad ke- 20. Revolusi industri bukanlah peristiwa tunggal, melainkan terdiri dari beberapa perkembangan yang saling terkait dan berpuncak pada transformasi dunia Barat dari sistem pertanian menuju sistem industri besar-besaran. Dengan munculnya pabrik-pabrik sebagai buah dari kemajuan teknologi. Lihat George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009), cet. II, hlm. 7

6

Pius A. Partanto dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola,1994), hlm. 362

7

Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005), hlm. 13

(4)

54 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015 alta’addudiyyah8

, secara lughawi berasal dari kata plural (Inggris) yangberarti

jamak, dalam arti ada keanekaragaman dalam masyarakat, adabanyak hal lain

di luar kelompok kita yang harus diakui. Pluralismeadalah sebuah “ism” atau

aliran tentang pluralitas.9

Pluralisme yang berarti jamak atau lebih dari satu, dalam kamus bahasa

Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (a)

sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur

kegerejaan, (b) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik

bersifat kegerejaan maupun nonkegerejaan. Kedua, pengertian filosofis,

berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang

mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis:

adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik

yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi

aspekaspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompokkelompok

tersebut. Ketiga pengertian tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam

satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu

waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik

masing-masing.10

Nurcholis Madjid menyatakan bahwa pluralisme tidak dapat dipahami

hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam,

terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan

kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari

kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme.

Menurut Alwi Shihab, pengertian konsep pluralisme dapat disimpulkan

sebagai berikut:

8

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Gema Insani, 2007), Cet. III, hlm. 11

9

Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005), hlm. 11

10

Anis Malik Thoha. hlm. 12

(5)

55 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang

adanya kemajemukan. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan

kosmopolitanisme, kosmopolitanisme menunjuk suatu realitas di mana aneka

ragam, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ketiga, konsep

pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Keempat, pluralisme

agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan

memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa

agama tersebut.11

Sementara definisi tentang pendidikan pluralisme menurut Frans Magnez

Suseno adalah suatu pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi

pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis

atau tradisi budaya dan agama sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki baik perbedaan maupun kesamaan

cita-cita. Inilah pendidikan akan nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk

perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.12

Pendidikan Pluralisme sering dikenal orang dengan sebutan “Pendidikan Multikultural”. Ainurrofiq Dawam menjelaskan definisi pendidikan

multikultural sebagai proses pengembangan seluruh potensi manusia yang

menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman

budaya, etnis, suku, dan aliran (agama).13

Muhammad Ali menyebut pendidikan multikultural sebagai pendidikan

yang berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis secara

agama sekaligus berwawasan multikultural, seperti itu, dengan sebutan “Pendidikan Pluralis Multikultural”. Menurutnya, pendidikan semacam itu

harus dilihat sebagai bagian dari upaya komprehensif mencegah dan

menanggulangi konflik etnis agama, radikalisme agama, separatisme, dan

11

Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 41-42

12Syamsul Ma’arif,

Pendidikan Pluralisme di Indonesia. hlm. 92

13

Ainurrofiq Dawam, Emoh Sekolah; Menolak Komersialisasi Pendidikan dan Kanibalisme Intelektual, Menuju Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsa Karya Press, 2003), hlm. 100

(6)

56 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

integrasi bangsa, sedangkan nilai dasar dari konsep pendidikan ini adalah

toleransi.14

Memperhatikan beberapa definisi tentang pendidikan pluralisme tersebut

di atas, secara sederhana pendidikan pluralisme dapatlah di definisikan

sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman keagamaan dan kebudayaan

dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat

tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Pendidikan di sini, dituntut

untuk dapat merespon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah,

sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok.

Melalui sistem pendidikannya, sebuah pendidikan yang berbasis

pluralisme akan berusaha memelihara dan berupaya menumbuhkan

pemahaman yang inklusif pada peserta didik. Dengan suatu orientasi untuk

memberikan penyadaran terhadap para peserta didiknya akan pentingnya

saling menghargai, menghormati dan bekerja sama dengan agama-agama

lain.15

Dasar Pendidikan Pluralisme

a. Dasar Historis

Ada banyak bukti historis bahwa Nabi Muhammad SAW. Sangat

proeksistensi terhadap pemeluk agama lain dan memberikan kebebasan

kepada mereka untuk melakukan ritual di masjid milik umat Islam. Dikisahkan

oleh Ibnu Hisyam dalam al Sirah al-Nabawiyyah, bahwa Nabi pernah menerima

kunjungan para tokoh Kristen Najran berjumlah 60 orang. Menurut Muhammad ibnu Ja’far ibnu al-Zubair, ketika rombongan itu sampai di

Madinah, mereka langsung menuju masjid. Saat itu Nabi sedang melaksanakan

shalat ashar bersama para sahabatnya. Mereka datang dengan memakai jubah

dan surban, pakaian yang juga lazim digunakan oleh Nabi Muhammad SAW.

Dan para sahabatnya. Ketika waktu Kebaktian tiba, mereka pun tak harus

14 Syamsul Ma’arif,

Pendidikan Pluralisme di Indonesia.

15

Syamsul Ma’arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme, (Semarang: Nedd’s Press, 2008), hlm. 100

(7)

57 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

mencari gereja. Nabi memperkenankan mereka untuk melakukan sembahyang

di masjid.16

Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh kalangan Kristen. Ketika umat

Islam dikejar-kejar oleh Kafir-Quraisy Mekkah, yang memberikan perlindungan

adalah Najasy, raja Abesinia yang Kristen. Ia berpendirian bahwa pengikut

Muhammad haruslah dilindungi hak-haknya, termasuk hak memeluk agama.

Begitu pula ketika Nabi hijrah ke Madinah, Beliau mengadakan pertemuan

secara besar-besaran bersama sahabat Anshar dan beberapa keluarga (Naqib)

dari Mekkah. Dalam pertemuan itu, 23 artikel dari Piagam Madinah telah

ditetapkan. Juga tercantum dalam piagam itu, untuk membentuk masyarakat

dan hubungan-hubungan legal bagi kelompok Muslim yang baru. Selanjutnya

Beliau berkonsultasi dengan perwakilan dari non-Muslim. Akhirnya seluruh

dari mereka menyepakati dasar-dasar pembentukan sebuah “citystate” yang

baru. Inilah yang kemudian diabadikan dengan sebutan “Piagam Madinah”.17 Seperti yang telah dikatakan oleh Muhammad Husain Haekal bahwa:

Antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan masyarakat Yahudi,

Muhammad membuat perjanjian tertulis yang berisi pengakuan atas agama

mereka dan harta benda mereka, dengan syarat-syarat timbal balik. Sehingga

setiap warga Madinah tanpa membedakan agama maupun suku, mereka

berkewajiban mempertahankan kota itu. Mereka harus bekerja sama antar

sesama.18

Piagam Madinah adalah piagam pertama dalam sejarah peradaban

Islam yang menyepakati soal-soal hubungan atau interaksi sosial antara

kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan agama dan budaya, yakni

antara kelompok Yahudi, Nasrani dan Muslim. Di sini, Nabi Muhammad SAW

bertindak sebagai pencetus dan mediator dalam gerakan ishlah ini. Hal hal

16

Moh. Shofan, Menegakkan Pluralisme; Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh Muhammadiyah, (Jogjakarta: LSAF, 2008), hlm. 54-55

17 Syamsul Ma’arif,

The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme, op. cit., hlm. 67

18

Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2008), cet. Ke-30, hlm. 202

(8)

58 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

penting yang dapat dijadikan sebagai dasar interaksi sosial di tengah

komunitas yang plural antara lain :19

1. Seluruh suku yang ada di Madinah disebut dalam pasal pasal piagam

dengan maksud menghormati identitas kolektivitas keagamaan dan etnik

yang ada dalam masyarakat tersebut.

2. Tiap-tiap kelompok etnik dan keagamaan dijamin otonomi hukum dan

budayanya secara total.

3. Secara garis besar Piagam Madinah memuat kesepakatan antara

Muhammad, kaum Musyrik, dan Yahudi. Dari 47 pasal yang termuat dalam

piagam itu meliputi masalah monoteisme, persatuan-kesatuan, persamaan

hak, keadilan, kebebasan beragama, bela negara, pelestarian adat,

perdamaian dan proteksi.

4. Masing-masing berkewajiban menjaga keamanan dan stabilitas Madinah.

5. Piagam Madinah menunjukkan bahwa Islam memiliki kepedulian tinggi

terhadap kesetaraan antaretnis dan ras. Dari sudut tinjauan modern, ia

diterima sebagai sumber inspirasi untuk membangun masyarakat yang

majemuk.

6. Piagam Madinah menjadi bukti bagi kerja sama kaum Muslimin dengan

kelompok beragama lain, sekaligus menunjukkan bahwa Muhammad telah

melembagakan asas toleransi beragama yang dinyatakan dalam al-Qur’an

(Q.S al-Baqarah: 156, al-Maidah: 48, dan al-Kafirun: 6).

7. Piagam Madinah menjadi piagam pertama yang mengakui kebebasan hati

nurani yang ditemui dalam sejarah umat manusia.

b. Dasar Normatif

Al-Qur’an secara jelas menyatakan bahwa pluralitas adalah salah satu

kenyataan objektif komunitas umat manusia, sejenis hukum Allah atau sunnah

Allah, dan bahwa hanya Allah yang tahu dan dapat menjelaskan di hari akhir

19

Mukhsin Abdurrahman, Pendidikan Pluralisme-Multikultural http://mukhsinblog.blogspot.com/ 2015/ 05 pendidikan-pluralisme-multikultural.html

(9)

59 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

nanti, mengapa manusia berbeda satu dari yang lain. Hal tersebut tercantum

dalam QS. al-Hujurat: 13.

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.20

Asbabun nuzul ayat tersebut menegaskan kesatuan asal usul manusia

dengan menunjukkan kesamaan derajat kemanusiaan manusia. Tidak wajar

seseorang berbangga dan merasa diri lebih tinggi dari yang lain, bukan saja

antar satu bangsa, suku atau warna kulit dengan selainnya, tetapi juga antara

jenis kelamin mereka.

Islam juga memerintahkan umatnya untuk berinteraksi terutama

dengan agama Kristen dan Yahudi, dan dapat menggali nilai-nilai keagamaan

melalui diskusi dan debat intelektual dan teologis secara bersama-sama

dengan cara yang sebaik-baiknya. Hal tersebut terdapat pada QS. al-Ankabut:

(10)

60 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka[1154], dan Katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu; dan Kami hanya kepada-Nya berserah diri"

Menurut Moh. Shofan, setidaknya ada empat tema pokok yang

menjadi kategori utama al-Qur’an tentang pluralisme agama:21

a) Tidak ada paksaan dalam beragama, yang terdapat pada QS. al-Baqarah:

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.22

Tidak boleh ada paksaan dan tindakan kekerasan untuk masuk ke

dalam agama. Iman itu tunduk dan khudhu’ (patuh). Untuk mencapai hal itu

tidak bisa dilakukan dengan paksaan dan tekanan, tetapi harus dengan alasan

dan penjelasan yang menguatkan. Iman adalah urusan hati. Tidak seorang pun

bisa menguasai hati manusia.

Ayat ini cukup untuk membuktikan tentang kekeliruan musuh-musuh agama Islam yang mengatakan: “agama Islam ditegakkan dengan pedang, dan

orang yang tidak mau memeluk agama Islam dipancung lehernya”. Sejarah

telah membuktikan kebohongan dari pernyataan itu. Peperangan yang terjadi

pada masa Nabi bertujuan membela diri, supaya kaum Musyrik berhenti

mengganggu dan memfitnah para Muslim. Inilah sebabnya, para Muslim tidak

lagi memerangi para Musyrik ketika mereka telah memeluk Islam atau tetap

21

Moh. Shofan, hlm. 74-75

22

Departemen Agama, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, (Jakarta: Al Huda Kelompok Gema Insani, 2002), hlm. 43

(11)

61 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

pada agama semula dengan membayar jizyah (pajak) sebagai jaminan

keamanan.23

Allah Maha Kuasa, sehingga dengan kekuasaan-Nya, Dia bisa jadi ada

yang menduga bahwa hal tersebut dapat menjadi alasan bagi Allah untuk

memaksa makhluk mematuhi agama Nya. Namun yang terjadi tidak demikian,

yang dimaksud dengan tidak ada paksaan dalam menganut agama adalah

menganut akidahnya. Ini berarti jika seseorang telah memilih satu akidah,

maka dia terikat dengan tuntunan-tuntunannya, dia berkewajiban

melaksanakan perintahperintahnya. Dia terancam sanksi jika melanggar

ketetapannya.

Di sini Anda pun dituntut karena menyia-nyiakan potensi yang Anda

miliki. Anda juga tahu bahwa telah jelas yang ini membawa manfaat dan itu

mengakibatkan mudharat, jika demikian tidak perlu ada paksaan karena yang

dipaksa adalah yang enggan tunduk akibat ketidaktahuan. Di sini telah jelas

jalan itu sehingga tidak perlu ada paksaan. Anda memaksa anak untuk minum

obat yang pahit, karena Anda tahu bahwa obat itu adalah mutlak untuk

kesembuhan penyakit yang dideritanya.24

b)Pengakuan akan eksistensi agama-agama lain. Pengakuan al-Qur’an

terhadap pemeluk agama-agama lain, antara lain tercantum dalam QS.

al-Baqarah: 62 Pustaka Rizki Putra, 2000), Jilid II, hlm. 450-451

24

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 1, hlm. 551-552.

(12)

62 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.25

Pada dasarnya ayat di atas berbicara tentang empat kelompok:

al-ladzina Amanu (menunjuk pada umat Islam), alladzina Hadu (ummat Yahudi),

al-Nashara (umat Kristen), dan al-Shabi’in. Al-Thabari berpendapat bahwa

jaminan Allah atas keselamatan tersebut bersyaratkan tiga hal: beriman,

percaya pada hari kemudian, dan perbuatan baik. Syarat beriman itu termasuk

beriman kepada Allah dan Muhammad saw. Atau dengan kata lain, yang

dimaksud dalam ayat ini ialah mereka yang telah memeluk Islam.26 c) Kesatuan Kenabian, yang bertumpu pada QS. Asy Syura: 13

Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya

(13)

63 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

Penyebutan Nabi-Nabi sebagaimana terbaca di atas, sejalan dengan

masa kehadiran mereka di pentas bumi ini terkecuali Nabi Muhammad saw. Itu

untuk mengisyaratkan kedudukan terhormat yang diperoleh Nabi Muhammad

saw. Di kalangan para Nabi. Ini serupa dengan firman-Nya dalam QS.

al-Ahzab:7

d) Kesatuan Pesan Ketuhanan yang berpijak pada QS. an-Nisa’: 131

Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. tetapi jika kamu kafir Maka (ketahuilah), Sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah

kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji.28

Apa saja yang ada di langit dan bumi adalah kepunyaan Allah. Dialah

yang menciptakan dan Dialah yang mengurus. Dalam mengurus

makhluk-makhuk-Nya, Allah menciptakan hukum secara mutlak, dan semuanya tunduk

di bawah hukum itu.

Orang yang benar-benar memahami hukum-hukum Allah yang berlaku

umum terhadap bumi, langit dan semua isinya serta memahami pula hukum

yang mengatur kehidupan makhluk-Nya, akan mengetahui betapa besar

limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada semua makhluk-Nya. Oleh sebab

itulah kepada setiap hamba diperintahkan agar bertakwa kepada-Nya, seperti

telah diperintahkan kepada umat-umat terdahulu, yang telah diberi al-Kitab

seperti orang-orang Yahudi dan Nashrani. Serta kepada orang-orang yang

melaksanakan ketakwaan dengan tunduk dan patuh kepada- Nya dan dengan

28

Departemen Agama. hlm. 100

(14)

64 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

menegakkan syari’at-Nya. Dengan tunduk dan patuh kepada-Nya dan dengan menegakkan syari’at-Nya manusia akan berjiwa bersih dan dapat mewujudkan

kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.29 Pendidikan Islam

Dalam proses pendidikan sangatlah perlu komponen-komponen

pendidikan. Komponen itu sendiri berarti bagian dari suatu sistem yang

memiliki peran dalam keseluruhan berlangsungnya suatu proses untuk

mencapai sebuah tujuan.

Pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada term:

tarbiyah, ta’lim, ta’dib, riyadhah, irsyad, dan tadris. Masing-masing memiliki keunikan makna tersendiri, namun memiliki makna yang sama. Akan tetapi

term yang populer digunakan dalam praktek Pendidikan Islam adalah term

al-tarbiyah.30

Istilah kunci yang seakar dengan kata tarbiyah adalah al-rabb, rabbayani,

nurabbi, yurbi, dan rabbani. Istilah tarbiyah yang diambil dari madhi-nya

(rabbayani) memiliki arti memproduksi, mengasuh, menanggung, memberi

makan, menumbuhkan, mengembangkan, memelihara, membesarkan, dan

menjinakkan. Pemahaman tersebut diambil dari tiga ayat dalam al-Qur’an :

a. QS. al-Isra’: 24 “kamâ rabbayânî shaghîrâ” (sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil).

b. QS. al-Syu’ara: 18 “alâ nurabbika fînâ walîdâ” (bukankah Kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) Kami, waktu kamu masih kanak-kanak).

c. QS. al-Baqarah: 276 “yamhu Allah al-riba wa yurbi shadaqah”.(Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah).

29

Kementerian Agama RI, al-Quran dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), Jilid II, hlm. 29

30

Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasy dalam kitabnya Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, seperti dikutip oleh Abdul Mujib, Pendidikan Islam dalam khazanah keislaman populer dengan Istilah

Tarbiyah, Lihat. Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana,

2006), cet. I, hlm. 10

(15)

65 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

Secara terminologi Pengertian Pendidikan Islam ini sebetulnya sudah

cukup banyak dikemukakan oleh para ahli. Meskipun demikian, perlu dicermati

dalam rangka melihat relevansi rumusan baik dalam hubungan makna, tujuan,

fungsi, maupun proses kependidikan Islam yang dikembangkan dalam rangka

menjawab permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam kehidupan umat

manusia sekarang ini.

Ahmad D. Marimba menyatakan bahwa Pendidikan Islam adalah

bimbingan jasmani-rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju

terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam.31

Memang dalam pendidikan Islam terdapat sebuah karakteristik yang

khusus, rekomendasi Konferensi Internasional Pendidikan Islam di Universitas

King Abdul Aziz Jeddah tahun 1997 mendefinisikan pendidikan Islam sebagai

keseluruhan pengertian yang terkandung dalam istilah ta’lim, tarbiyah, dan

ta’dib. Berdasarkan pemaknaan ini, Abdurrahman al-Nahlawy menyimpulkan bahwa pendidikan Islam terdiri dari empat unsur, yaitu: pertama, menjaga dan

memelihara fitrah anak menjelang baligh; kedua, mengembangkan seluruh

potensi; ketiga, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju

kesempurnaan; dan keempat, dilaksanakan secara bertahap.32

Dunia pendidikan, termasuk pendidikan Islam akan dipertanyakan dan

menjadi sorotan tajam tatkala anak didiknya terbawa arus modernitas;

menjadi robot-robot yang tidak mempunyai daya kreativitas kecuali hanya

terseret arus. Domain ini yang sejatinya mampu membawa perubahan tak

lebih hanya teranggap sebagai sesuatu yang konservatif dan sia-sia. Ini tak

lebih karena pengajaran agama selama ini bersifat normatif, dogmatis, dan

hanya memikirkan kebenaran yang masih di angan-angan (akhirat). Sedangkan

pemahaman tentang Tuhan beserta ritual pengabdiannya (baca: teologi)

cenderung eksklusif dan ada klaim-klaim apologis seperti klaim kebenaran

31

Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1989), hlm. 23

32

Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, op. hlm. 31-32

(16)

66 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

(truth claim) dan klaim keselamatan (salvation claim). Hal ini menyebabkan

fragmentasi dan permusuhan antar agama hingga menyebabkan konflik

berkepanjangan dan berdarah-darah. Nilai keagamaan menjadi luntur dan

hanya memunculkan simbolsimbol agama saja.

Dalam lingkup yang lebih luas, gerakan ini merupakan bentuk

perlawanan terhadap westernisasi. Walaupun dalam bentuk kaku, formalistik,

dan ritualistik semacam berjenggot, berpakaian putih dan berjilbab, angkatan

muda yang masih tergolong puritan dan steril dari idiologi sekuler meyakini

Islam sebagai satu-satunya juru selamat. Karenanya identitas Islam harus

dikembalikan dari pengaruh luar (westernisasi). 33

Pendidikan Islam sebagai penyedia segala fasilitas yang dapat

memungkinkan tugas-tugasnya tersebut tercapai dan berjalan lancar dengan

melihat realitas keanekaragaman ras dan agama di Indonesia, maka

pendidikan Islam harus memperhatikan beberapa hal berikut :

Pertama, Pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai

lembaga pendidikan umum yang bercirikan Islam. Artinya, di samping

menonjolkan pendidikannya dengan penguasaan atas ilmu pengetahuan,

namun karakter keagamaan juga menjadi bagian integral dan harus dikuasai

serta menjadi bagian dari kehidupan siswa sehari-hari.

Kedua; Pendidikan Islam juga harus mempunyai karakter sebagai

pendidikan yang berbasis pada pluralitas. Artinya, bahwa pendidikan yang

diberikan kepada siswa tidak menciptakan suatu pemahaman yang tunggal,

termasuk di dalamnya juga pemahaman tentang realitas keberagamaan.

Ketiga; Pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai lembaga

pendidikan yang menghidupkan sistem demokrasi dalam pendidikan. Sistem

33

Hassan Hanafi, Agama, Kekerasan dan Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2001), hlm. 14 – 15.

(17)

67 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

pendidikan yang memberikan keleluasaan pada siswa untuk mengekspresikan

pendapatnya secara bertanggung jawab.34

Pemikiran Abdurrahman Wahid Mengenai Konsep Pendidikan Pluralisme

Mengamati pemikiran Gus Dur memang menarik sekaligus

menyulitkan. Menarik karena ide-idenya sangat sederhana, tetapi mampu

memberikan wawasan tersendiri dalam menganalisis persoalan, baik di

Indonesia maupun di dunia. Menyulitkan karena pemikirannya terkadang

keluar dari kultur yang membesarkannya (NU dan Pesantren).35 1. Dasar Pemikiran Pluralisme Abdurrahman Wahid

Tulisan Gus Dur berjudul ’Pengembangan Fiqih Secara Kontekstual’,

dipaparkan bahwa Ideologi pluralisme yang dibawa Beliau dan

penghormatannya terhadap pluralitas sepenuhnya berdasarkan

pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Islam dan juga tradisi

keilmuan NU sendiri.

Pertama, prinsip pluralisme secara tegas diakui di dalam kitab suci.

Al-Qur’an secara tegas mendeklarasikan bahwa pluralitas masyarakat dari segi agama, etnis, warna kulit, bangsa, dan sebagainya, merupakan

keharusan sejarah yang menjadi kehendak Allah (sunnatullah). Karena itu,

upaya penyeragaman dan berbagai bentuk hegemonisasi yang lain,

termasuk dalam hal pemahaman dan implementasi ajaran agama,

merupakan sesuatu yang bertentangan dengan semangat dasar al-Qur’an.

Pluralitas agama dan masyarakat menjadi alat uji parameter kualitas

keberagamaan umat, apakah dengan pluralitas itu setiap kelompok atau

umat beragama bisa hidup berdampingan secara damai dengan pemeluk

agama lain dengan semangat saling belajar dan saling menghormati. Atau

34Syamsul Ma’arif,

The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme, op. cit.,hlm. 120

35

Munawar Ahmad. hlm. 55

(18)

68 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

sebaliknya, pluralitas itu justru menjadi alasan untuk membangun

klaim-klaim kebenaran yang bersifat sektarian.36

Kedua, nalar keragaman NU sepenuhnya dibangun di atas spirit

pluralisme. NU mengikuti tradisi pemikiran madzhab yang menjadi pilar

tegaknya peradaban fiqih. Ajaran Islam digali secara langsung dari

sumbernya, tetapi melalui pemikiran, NU terhindar dari pendekatan

tekstual dan interpretasi tunggal terhadap al-Qur’an dan al-Hadis. Fiqih

dirumuskan sebagai hukum atau kumpulan hukum yang ditarik dari dalildalil syar’i, yaitu al-Qur’an dan al-Hadis (al-ahkam al-mustanbathah min

adillatiha al-syar’iyyah). Definisi ini menurut Gus Dur, secara jelas

menampakkan adanya proses untuk memahami situasi yang di situ ayat al-

Qur’an dan al-Hadis memperoleh pengolahan untuk disimpulkan berdasarkan kebutuhan manusia. Di sini nyata terlihat bahwa pluralisme

yang dikembangkan Gus Dur adalah revitalisasi dari ajaran Islam dan tradisi

berpikir pesantren yang telah berkembang selama-berabad-abad.

Toleransi yang diajarkan dan dipraktekkan Gus Dur tidak sekedar

menghormati dan menghargai keyakinan atau pendirian orang lain dari

agama yang berbeda, tetapi juga disertai kesediaan untuk menerima

ajaran-ajaran yang baik dari agama lain, dalam sebuah tulisannya yang

berjudul Intelektual di Tengah Eksklusivisme, Gus Dur pernah mengatakan:

Saya membaca, menguasai, menerapkan al-Qur’an, al-Hadis, dan

kitab-kitab Kuning tidak dikhususkan bagi orang Islam. Saya bersedia memakai

yang mana pun asal benar dan cocok dan sesuai hati nurani. Saya tidak

mempedulikan apakah kutipan dari Injil, Bhagawad Gita, kalau bernas kita

terima. Dalam masalah bangsa, ayat al-Qur’an kita pakai secara fungsional,

bukannya untuk diyakini secara teologis. Keyakinan teologis dipakai dalam

persoalan mendasar. Tetapi aplikasi adalah soal penafsiran. Berbicara

36

M. Hanif Dhakiri. hlm. 63-64

(19)

69 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

masalah penafsiran berarti bukan lagi masalah teologis, melainkan sudah

menjadi masalah pemikiran.37

2. Pandangan Pluralisme Abdurrahman Wahid

Dalam QS. Ali Imran: 85 yang artinya: ”Barang siapa mengambil selain

Islam sebagai agama, maka amal kebajikannya tidak akan diterima oleh Allah,

dan dia di akhirat kelak akan menjadi orang yang merugi”, Gus Dur

memberikan penjelasan bahwa ayat tersebut jelas menunjuk kepada

masalah keyakinan Islam yang berbeda dengan keyakinan lainnya, dengan

tidak menolak kerjasama antara Islam dengan berbagai agama lainnya.38 Dalam pidato perayaan Natal pada tanggal 27 Desember 1999 di Balai

Sidang Senayan Jakarta, misalnya, Abdurrahman Wahid menyampaikan :

Saya adalah seorang yang menyakini kebenaran agama saya, tapi ini tidak menghalangi saya untuk merasa bersaudara dengan orang yang beragama lain di negeri ini, bahkan dengan sesama umat beragama. Sejak kecil itu saya rasakan. Walaupun saya tinggal di lingkungan pasantren, hidup dikalangan keluarga kiai, tak pernah sedikitpun saya merasa berbeda dengan yang lain.39

Perbedaan keyakinan tidak membatasi atau melarang kerjasama antara

Islam dan agama-agama lain, terutama dalam hal-hal yang menyangkut

kepentingan umat manusia. Penerimaan Islam akan kerjasama itu tentunya

akan dapat diwujudkan dalam praktek kehidupan, apabila ada dialog

antaragama. Dengan kata lain prinsip pemenuhan kebutuhan berlaku

dalam hal ini, seperti adagium ushul fiqh/teori legal hukum Islam: ”sesuatu

yang membuat sebuah kewajiban agama tidak terwujud tanpa

kehadirannya, akan menjadi wajib pula (Ma la yatimmu al wajibu illa bihi

37

Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2010), cet. II, hlm. 204

38

Menurut Gus Dur, Hal inilah yang membedakan amal sholeh yang merujuk pada amal baik seorang Muslim dengan amal khoir atau amal baik non muslim. Kalau amal saleh itu akan sampai kepada Allah dan akan diterima oleh Nya, sedangkan amal khair tidak demikian, dan hanya akan menjadi fatamorgana.

39Rumadi, “Dinamika Agama dalam Pemerintahan Gus Dur”, dalam Khamami Zada

(ed) Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan (Jakarta: LAKPESDAM), hlm. 144

(20)

70 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

fahuwa wajibun)”. Kerjasama tidak akan terlaksana tanpa dialog, oleh

karena itu dialog antaragama juga menjadi kewajiban.40

Tentang pluralitas, seperti terdapat dalam QS. al-Hujurat: 13, menurut

Gus Dur, ayat tersebut menunjuk kepada perbedaan yang senantiasa ada

antara laki-laki dan perempuan serta antar berbagai bangsa atau suku

bangsa. Dengan demikian, perbedaan merupakan sebuah hal yang diakui

Islam, sedangkan yang dilarang adalah perpecahan dan keterpisahan.

Tentu saja adanya berbagai keyakinan itu tidak perlu dipersamakan

secara total, karena masing-masing memiliki kepercayaan atau aqidah yang

dianggap benar. Demikian pula kedudukan penafsiran-penafsiran aqidah

itu. Umat Katholik sendiri memegang prinsip itu. Seperti dalam Konsili

Vatikan II yang dipimpin Paus Yohannes XXIII dari tahun 1962- 1965,

menyebutkan bahwa para Uskup yang menjadi peserta menghormati

setiap upaya mencapai kebenaran, walaupun tetap yakin bahwa

kebenaran abadi hanya ada dalam ajaran agama mereka. jadi keyakinan

masingmasing tidak perlu diperbandingkan atau dipertentangkan.

Di sinilah nantinya tebentuk persamaan antaragama, bukannya dalam

ajaran atau aqidah yang dianut, namun hanya pada tingkat capaian materi.

Karena ukuran capaian materi menggunakan bukti-bukti kuantitatif seperti

tingkat penghasilan rata-rata masyarakat.

3. Cara Menyikapi pluralisme

Menurut Gus Dur, pluralisme di tanah air disimbolisasi dengan banyak

hal, utamanya agama, suku, dan bahasa. Tetapi ada hal yang banyak

dilupakan oleh banyak kalangan, yaitu pluralisme makanan. Ekspresi dan

manifestasi pluralisme dalam makanan semakin memperkukuh entitas

kebhinekaan yang mewujud dalam bangsa ini.

40

Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute, 2002), hlm. 133-134

(21)

71 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

Ketika berkunjung ke tempat manapun, yang paling menarik dan

menjadi salah satu kekuatan adalah aneka macam menu makanan dengan

variannya. Bahkan, belakangan soal pluralisme makanan tersebut dijadikan

sebagai salah satu acara di stasiun televisi, yang dikenal dengan wisata

kuliner.41

Gus Dur memandang bahwa siapapun yang memahami realitas

keragaman masakan yang hampir dimiliki oleh setiap daerah di seluruh

pelosok negeri ini, maka pemahamannya terhadap pluralisme justru akan

semakin kokoh. Keragaman masakan yang kita miliki sebenarnya

merupakan unsur kekuatan, bukan unsur ancaman. Ia semakin menjadikan

kita sehat secara jasadi dan sehat secara ruhani. Makanan yang begitu

banyak aneka ragamnya telah menjadi fakta bahwa pluralisme atau

kebhinekaan merupakan rahmat Tuhan yang harus didayagunakan untuk

kemajuan bangsa. Belajar dari pluralisme makanan, maka kita sebenarnya

dapat merayakan manfaat dari pluralisme.

Pluralisme bukanlah ide yang menyatakan semua agama sama. Kita

semua mengakui dan menyadari bahwa setiap agama mempunyai ajaran

yang berbeda-beda. Tetapi perbedaan tersebut bukanlah alasan untuk

menebarkan konflik dan perpecahan. Perbedaan justru dapat dijadikan

sebagai katalisator untuk memahami anugerah Tuhan yang begitu nyata

untuk senantiasa merajut keharmonisan dan toleransi. Oleh sebab itu,

perbedaan dan keragaman merupakan keniscayaan yang tidak dapat

dihindari. Apalagi dalam perbedaan dan keragaman tersebut tersimpan

keistimewaan, yang mana antara kelompok yang satu dengan kelompok

lain bisa saling mengisi dan menyempurnakan.

Restoran merupakan ruang publik yang sebenarnya dapat

memperkokoh pluralisme, karena di situlah perbedaan dirayakan dalam

konteks menentukan eksistensi setiap kelompok dengan basis saling

41

(22)

72 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

menghargai dan menghormati. Sebab itu kebiasaan Gus Dur dalam

menyantap aneka ragam menu masakan di negeri ini merupakan salah satu

apresiasi terhadap pluralisme dan bagaimana menyikapinya dengan positif

dan konstruktif.

Menurut Gus Dur, Setidaknya ada tiga hal mendasar yang bisa

dilakukan sebagai ikhtiar mengurangi berbagai bentuk ancaman terhadap

kemajemukan bangsa, Pertama, penegakan hukum secara tegas terhadap

pelaku tindak kekerasan dan pemaksaan kehendak yang

mengatasnamakan agama. Kedua, ormas-ormas keagamaan harus

didorong untuk mengedepankan dialog dan kerjasama dalam berbagai

bidang sosial dan kebudayaan sehingga toleransi dapat ditumbuhkan

secara menyeluruh. Ketiga, nilai-nilai toleransi perlu ditanamkan dan

diajarkan sejak dini dan berkelanjutan kepada anak-anak mulai dari Sekolah

Dasar sampai Perguruan Tinggi.42

4. Pluralisme dalam Konteks Keindonesiaan

Wajah budaya Indonesia yang bhineka menuntut sikap toleran yang

tinggi dari setiap anggota masyarakat. Sikap toleransi tersebut harus dapat

diwujudkan oleh semua anggota dan lapisan masyarakat sehingga

terbentuklah suatu masyarakat yang kompak tapi beragam sehingga kaya

akan ide-ide baru.43

Serta hubungan antaragama di Indonesia selama kurun waktu 30 tahun

terakhir ini telah berkembang dalam berbagai dimensinya, yang secara

kualitatif telah merubah, dan pada saat yang sama dipengaruhi oleh

perkembangan pemikiran keagamaan di kalangan umat beragama itu

sendiri. Hal ini minimal dapat ditelusuri pada pemikiran keagamaan kaum

muslimin, dalam sosoknya yang tampak balau pada saat ini. Sebagaimana

42

A. Muhaimin Iskandar, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur, (Yogyakarta, LKiS, 2010), hlm. 19-20

43

HAR. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), cet. III hlm. 180

(23)

73 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

telah diketahui sejarah bangsa kita, Islam datang di kawasan ini dalam

bentuk dan corak yang heterogen. Dalam garis besarnya, Islam datang

dalam bentuk utusan-utusan politik, para pedagang dan para sufi.44

Heterogenitas asal usul Islam di Indonesia menunjukkan variasi sangat

tinggi dalam pengalaman menjalani hubungan antaragama yang dibawa

oleh kaum Muslimin ke negeri ini. Dalam pola sinkretik kehidupan

beragama orang Islam di keraton Mataram hingga puritanisme Islam yang

kemudian meletus dalam perang Paderi di Sumatera Barat pada paruh

pertama abad yang lalu, terbentang spektrum luas dengan manifestasi

hubungan antar beragama yang sangat beragam. Muslimin masyarakat Jawa menerima ”kekeramatan” bertemunya hari penting Arab Jum’at dan Hari Jawa Kliwon atau Legi, dengan melakukan ibadah ekstra pada hari

tersebut.

Begitu juga mereka menyebut hari Ahad dengan hari Minggu,45 serta mereka menjadikan hari tersebut sebagai hari tutup kantor dan tutup

sekolah dengan mengganti kesibukan seperti majlis ta’lim serta pengajian umum. Perubahan ”Hari Kristen” menjadi ”Hari Islam”, tanpa merubah penyebutan nama harinya itu menunjukkan keindahan mozaik kerukunan

hidup antara umat beragama yang menyejukkan hati dan menentramkan

jiwa. Namun, tantangan modernisasi yang datang dari Barat ternyata

menumbuhkan sikap-sikap baru di kalangan kaum muslimin, yang

memerlukan pengamatan teliti.

Pluralitas masyarakat Indonesia sendiri sekurang-kurangnya bisa dilihat

sebagai fakta dalam dua sisi. Sisi pertama: pluralitas suku, agama, dan

budaya serta berbagai turunannya. Sisi kedua: pluralitas di internal suku,

agama, dan budaya itu sendiri. Dalam Islam misalnya, terdapat berbagai

44 Abdurrahman Wahid, “Hubungan antar-Agama, Dimensi Internal dan Eksternalnya di

Indonesia” dalam Adurrahman Wahid, dkk., Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993), hlm. 3

45

Minggu berasal dari kata domingo yang berarti hari Tuhan bagi orang-orang Katolik Portugal, dan kemudian diikuti orang-orang Eropa lain untuk pergi ke gereja

(24)

74 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

aliran yang secara formal sering kali berseberangan. Demikian juga di

dalam agama, budaya dan suku yang lain.

Toleransi yang diajarkan Gus Dur merupakan ajaran semua agama dan

budaya, apalagi dalam masyarakat majemuk dan multikultur seperti

Indonesia. Namun, toleransi yang diajarkan dan dipraktekkan Gus Dur

berbeda dari tokoh-tokoh agama lain. Gus Dur mengajarkan toleransi plus,

yaitu kalau kebanyakan orang membudayakan toleransi sebatas pada

hidup berdampingan secara damai, yaitu hidup bersama dalam suasana

saling menghormati dan menghargai. Tidak demikian dengan Gus Dur.

Dalam menyikapi pluralitas tersebut, Gus Dur menegaskan bahwa

tegaknya pluralisme masyarakat bukan hanya terletak pada pola hidup

berdampingan secara damai (peaceful coexistence), karena hal demikian

masih sangat rentan terhadap munculnya kesalah-pahaman antar

kelompok masyarakat yang pada saat tertentu bisa menimbulkan

disintegrasi. Lebih dari itu penghargaan terhadap pluralisme berarti adanya

kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog secara tulus sehingga

kelompok yang satu dengan yang lain bisa saling memberi dan

menerima.46

Selama tahun 2008, masih ada beberapa elemen bangsa yang

mempermasalahkan pluralisme. Padahal pluralisme adalah keniscayaan

bangsa Indonesia. Menurut Gus Dur, kelompok yang menolak pluralisme

itu akibat ketidaktahuan terhadap sejarah lahirnya Bangsa Indonesia. Salah

satu cara mengatasinya, kata Gus Dur, Bangsa Indonesia harus

membangun batasan bersama. Batasan itu adalah penghargaan terhadap

pluralisme tidak akan diutak-atik. Batasan ini juga berlaku saat membahas

Undang-Undang Dasar Negara.47

46

Tulisan ini diambil dari makalah Gus Dur berjudul “Pluralisme Agama dan Masa Depan

Indonesia”, disampaikan pada seminar di UKSW, th. 1992. lihat M. Hanif Dhakiri, op.cit.hlm. 120

47

Catatan Akhir Tahun 2008 Gus Dur, Pluralisme di Indonesia Mengalami Krisis, http://wahidinstitute.org

(25)

75 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

Konsep toleransi yang dikembangkan Gus Dur meniscayakan adanya

kebenaran yang datang dari agama atau peradaban lain. Namun, jika

kerendahan hati seperti itu bisa dikembangkan secara terus menerus,

maka toleransi di tengah masyarakat, akan semakin menemukan polanya

yang dengan sendirinya kerukunan antaragama akan menjadi bagian tak

terpisahkan dari dinamika masyarakat dan suasana saling belajar,

melengkapi dan mengisi akan menciptakan kultur keberagamaan yang

matang dan dewasa. Jika sudah demikian, maka dengan sendirinya

perbedaan agama dan keyakinan akan menjadi sumber kekuatan yang

sangat dahsyat bagi perubahan dalam persaudaraan.

5. Aktualisasi Pemikiran Pluralisme Abdurrahman Wahid

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat memimpin upacara

pemakaman Gus Dur di lingkungan Ponpes. Tebu Ireng Jombang, 31

Desember 2009, secara terbuka mengakui Gus Dur sebagai Bapak

Pluralisme. Jauh sebelumnya, tepatnya pada 24 Agustus 2005 sejumlah

tokoh Lintas Agama, Jaringan Doa Nasional Tionghoa Indonesia dan warga

Ahmadiyah menganugerahi Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme Indonesia.

Penganugerahan ini disampaikan di gedung PBNU, jalan Kramat Raya 164

Jakarta Pusat.

Kepedulian Gus Dur terhadap kasus-kasus internasional yang beberapa

diantaranya kontroversial termasuk hubungannya dengan Israel, maupun

kasus kekerasan etnik dan keagamaan serta kasus yang berkaitan dengan

HAM dan demokrasi di Indonesia, misalnya: persoalan Ahmadiyah, kasus

Monitor, ICMI, Ulil Abshar Abdalla, Inul, peristiwa Banyuwangi dan

pembunuhan di Jawa Timur tahun 1998, Sambas di Kalimantan Barat,

peristiwa Ambon di Maluku, GAM di Aceh, masalah Timor Timur,

persoaalan Etnis China, tidak hanya dibuktikan pada level pemikiran

belaka, namun Gus Dur selalu tampil sebagai pembela pada level praktis.

a. Jama’ah Ahmadiyah

(26)

76 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

Ketika banyak kelompok menghujat dan berusaha

menyingkirkan kelompok lain yang dianggap sesat dengan cara-cara

kekerasan dan penistaan seperti yang sering dialami jamaah

Ahmadiyah, Gus Dur selalu tampil sebagai pembelanya. Bukan berarti

Gus Dur setuju dengan keyakinan Ahmadiyah itu, tetapi Ia sangat

menghormati keyakinan seseorang.

b. Kasus Monitor

Kasus Monitor pada bulan Oktober 1990, di mana tabloid

tersebut dirusak massa yang mengatasnamakan Islam gara-gara

sebuah surveinya yang menyinggung perasaan umat Islam. Menurut

Gus Dur, kasus monitor menunjukkan bahwa kelompok dalam

masyarakat ingin memanipulasi isu-isu agama untuk mengedepankan

kepentingan mereka. Sehingga beliau mendirikan Forum Demokrasi

untuk memperjuangkan demokrasi di Indonesia

c. Munculnya ICMI

Berdirinya ICMI pada Desember 1990. Menurut Gus Dur, ICMI

merupkan alat eksploitasi politik terhadap agama yang mengutamakan

kepentingan kelompok eksklusif yang sempit di atas kepentingan

nasional. ICMI akan mengaliansikan non-Muslim dan memperburuk

pembelahan dan salah paham yang sudah kuat dalam masyarakat

Indonesia selama ini antara kelompok keagamaan, kesukuan dan

budaya yang berbeda. Peristiwa ini pula yang melatarbelakangi Gus Dur

mendirikan Forum Demokrasi.

d. Pembelaan terhadap Ulil Abshar Abdalla, Inul Daratista, dan kelompok

yang dituduh Komunis.

Ia tanpa ragu membela Ulil Abshar Abdalla, seorang intelektual muda NU yang juga tokoh muda “Islam Liberal” yang mengemukakan

Liberalisme Islam, sebuah pandangan yang sama sekali baru dan

memiliki sejumlah implikasi yang sangat jauh, misalnya anggapan

(27)

77 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

bahwa Ulil akan mempertahankan kemerdekaan berpikir seorang santri

demikian bebasnya, sehingga meruntuhkan asas-asas keyakinannya

sendiri akan kebenaran Islam. Itulah sebabnya mengapa demikian

besar reaksi orang terhadap pemikirannya ini. Seperti diketahui bahwa sejumlah ulama’ serta aktifis Islam tertentu menilai pemikiran Ulil telah

sesat dan keluar dari Islam, dan karena itu Ia layak dihukum mati.

Menurut Gus Dur, kemerdekaan berpikir adalah sebuah keniscayaan

dalam Islam.

Demikian juga dalam kasus Inul Daratista, perempuan lugu dan

sederhana ini dicerca keras oleh sebagian Tokoh Agama, Majelis Ulama’, dan Seniman karena goyang ngebornya dianggap melanggar batas-batas kesusilaan umum. Mereka menggunakan justifikasi

fatwa-fatwa keagamaan untuk melarang Inul tampil di depan publik. Di

tengah kontroversi itu, Gus Dur tampil melindungi dari gempuran

kecaman dan panasnya opini publik yang menekan Inul. Pembelaan Gus

Dur didasarkan pada melindungi Hak Asasi wong cilik dari hegemoni elit

keagamaan dan klaim atas moralitas kesenian yang agak represif.

Dalam pembelaannya terhadap mereka yang diperlakukan tidak

manusiawi karena dituduh sebagai anggota kelompok Komunis. Karena

itu, ketika Ia menjadi Presiden, Gus Dur mengusulkan pencabutan TAP

No. XXV/MPRS/1966 soal pelarangan penyebaran ajaran Komunisme,

Marxisme dan Leninisme. Namun usul tersebut akhirnya ditolak. Dalam

rapat yang berlangsung hari Senin 29 Mei 2000, seluruh fraksi MPR

yang ada di panitia Ad Hoc II badan pekerja (PAH II BP) MPR menolak

usul Gus Dur tersebut. Para anggota MPR tampaknya masih sulit

membedakan antara Komunisme sebagai ideologi (pengetahuan) dan

Komunisme sebagai gerakan partai (G 30 S PKI).146

e. Peristiwa Banyuwangi dan Pembunuhan di Jawa Timur Tahun

1998 Pembunuhan yang konon dilakukan oleh para Ninja

(28)

78 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

berpakaian serba hitam itu telah memakan korban 200 orang

lebih, terbukti bahwa orang yang terlibat dalam pembunuhan ini

mempunyai pendidikan militer dan terorganisir dengan baik.

serta menginginkan kerusuhan sosial di masyarakat. Perlu

dicatat bahwa sebagian korban peristiwa itu adalah anggota NU

yang memiliki kedudukan sebagai Ulama’ di daerah mereka.

Respon Gus Dur terhadap pembunuhan tersebut adalah dengan

mengunjungi Banyuwangi dan mendorong para tokoh agama

lokal untuk menahan diri dari godaan untuk merespons

kekerasan ini dengan kekerasan.

f. Sambas di Kalimantan Barat

Daerah ini mempunyai sejarah konflik yang panjang, khususnya

antara transmigran Madura dengan penduduk lokal Dayak dan

masyarakat Melayu. secara kebetulan penduduk asal Madura

mempunyai hubungan dengan NU. mempelajari akar konflik itu, sering

dikatakan bahwa elemen-elemen kekerasan etnik dan agama berakar

pada kenyataan bahwa dalam konflik itu masyarakat Dayak yang

Kristen bekerja sama dengan masyarakat Melayu yang Muslim dan

karenanya kerusuhan itu berkaitan dengan faktor sosio-ekonomi. Meski

selama hari-hari sibuk pra-kampanye, Gus Dur menyempatkan diri

untuk mengunjungi langsung daerah sengketa tersebut untuk bertemu

dengan para pemimpin lokal dan meminta respons mereka dengan

sabar dan dewasa terhadap persoalan yang sangat kompleks ini. serta

kunjungan meredamkan konflik tersebut terus berlanjut pada

kesempatan berikutnya. saat itu beliau ditemani oleh Alwi Shihab untuk

bertemu dengan kelompok yang terdiri atas ratusan pemimpin lokal,

mengadakan makan siang bersama dan membincangkan isu kekerasan

dan peranan agama dan etnisitas. Baik Alwi maupun Gus Dur berbicara

dengan baik, sabar dan penuh keyakinan serta agaknya punya

(29)

79 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

pengaruh besar terhadap para pendengarnya. sulit untuk menentukan

sampai mana kunjungan singkat tersebut bersifat instrumental dalam

pencapaian perubahan yang cepat, tetapi yang jelas Gus Dur konsisten

dengan posisinya, memberikan prioritas untuk mendorong pemimpin

agama lokal dan pemimpin masyarakat untuk menghindari kekerasan.

g. Peristiwa Ambon di Maluku

Di Ambon, tak lama setelah pecah kekerasan dan kondisinya

saat itu benar-benar tegang sehingga tidak mungkin mengadakan

pertemuan dengan kubu pemimpin Muslim maupun Kristen seperti

yang direncanakan. meski demikian, Gus Dur tetap bertemu dengan

para pemimpin masyarakat lokal dan membujuk mereka agar bersabar

dan toleran dan menahan kekerasan. sulit sekali untuk mengukur arti

kunjungan Gus Dur tersebut yang teramat penting, Gus Dur merasa

perlu untuk mengunjungi dan mempertaruhkan reputasi persoalannya

untuk mencari jalan pemecahan.

h. GAM di Aceh

Kunjungan Gus Dur ke Aceh pada bulan Mei 1999 adalah atas

undangan mahasiswa Aceh untuk berbicara masalah-masalah yang

dihadapi Aceh, khususnya berkaitan dengan kekerasan yang sedang

dan terus berlangsung di Aceh di tangan militer/TNI dan semakin

kuatnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). di sana Ia juga mengunjungi

para pemimpin komunitas agama walaupun banyak diantaranya bukan

anggota PKB, karna saat itu adalah saat menjelang kampanye. Meski

sibuk menyiapkan kampanye, Gus Dur tetap menyempatkan untuk

meredamkan konflik Aceh padahal Ia juga tahu bahwa Aceh bukanlah

basis PKB. ini menunjukkan kunjungan tersebut memang murni

dorongan hati nurani beliau.

i. Masalah Timor Timur

(30)

80 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

Dalam seluruh aktivitas untuk menyelesaikan kekerasan

ini,pelanggaran HAM dan konflik yang sedang berlangsung, satu

persoalan penting muncul di hadapan Gus Dur dan dituntut untuk

segera disikapi untuk merespons pasukan internasional penjaga

perdamaian di Timor Timur. pada bulan September 1999, Gus Dur

membuat serangkaian komentar keras, khususnya diarahkan pada

pemerintahan Australia dan juga lembaga-lembaga lain yang dianggap

mencampuri urusan internal Indonesia.

j. Persoalan Etnis China.

Gus Dur sengaja melakukan hubungan dengan Beijing dan

orang-orang China, baik di daratan China maupun seluruh Asia

Tenggara. di samping untuk membantu orang-orang China di Indonesia

sebagai WNI, juga menjadi pemikiran penting sebagai pendewasaan

masyarakat Indonesia. karena itu dia nyatakan tujuan akhirnya adalah

dihapuskannya diskriminasi atas orang-orang China Indonesia. bahkan

dalam situasi yang tidak menguntungkan pun, berkaitan dengan resiko

politik, dia telah menunjukkan dukungannya bagi orang-orang China,

Kristen, dan masyarakat minoritas lainnya.

Pada tanggal 10 Maret 2004, beberapa tokoh Tionghoa

Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini

dikenal sebagai kawasan pecinan di Semarang Jawa Tengah,

mentahbiskan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa. Gus Dur bukan hanya

banyak melahirkan pemikiran dan kebijakan yang menghormati

masyarakat Tionghoa, tetapi juga mensejajarkan mereka dengan

semua kelompok yang ada di bumi Nusantara dari berbagai agama,

suku dan adat-istiadat yang berbeda.

Pada level praktis dan kebijakan, pembelaan Gus Dur terhadap

kelompok dan etnis Tionghoa dibuktikan secara nyata. Saat Ia menjadi

Presiden, hari raya Imlek bisa diperingati dan dirayakan dengan bebas.

(31)

81 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

Warga Tionghoa tidak perlu lagi harus sembunyi-sembunyi jika

merayakannya. Kebebasan ini tak lepas dari keputusan politik Gus Dur

yang pada 17 Januari 2000 mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres)

Nomor 6 tahun 2000, isinya mencabut Inpres nomor 14/1967 yang

dibuat Soeharto tentang agama, kepercayaan, dan adat-istiadat China.

Dengan Inpres No 14/1967 rezim Orde Baru yang represif telah

membuat Imlek terlarang dirayakan di depan publik; Barongsai, Liang

Liong harus sembunyi; huruf-huruf atau lagu Mandarin tidak boleh

diputar di radio.48 k. Konflik Filipina

Seiring dengan berjalannya waktu, Gus Dur telah tumbuh

berkembang reputasinya bukan hanya sebagai pemimpin agama yang

memiliki komitmen terhadap nilai toleransi, tetapi juga seorang pemikir

yang independen dan bijaksana, pada kunjungan ke Jakarta pada

September 1993, Presiden Filipina, Fidel Ramos mencuri kesempatan

untuk berkonsultasi dengan Gus Dur berkaitan dengan masalah

perselisihan Muslim Moro di bagian selatan Pulau Mindanao agar dapat

diselesaikan tanpa konflik senjata, Gus Dur sepakat dengan menambahkan bahwa: “semakin lama masyarakat Islam dibiasakan

dengan konflik bersenjata, semakin lama pula mereka diharuskan berjuang mengatasi kemundurannya”, Ramos kemudian mengundang

Gus Dur untuk mengunjungi Filipina dan membantu berunding dengan

Front Pembebasan Moro. permintaan yang diresponnya pada tahun

berikutnya. lebih menarik lagi itu dua pekan sebelum kunjungan Ramos

ke Jakarta, Gus Dur dianugerahi salah satu hadiah paling bergengsi di

Filipina dan Asia Tenggara, yaitu Magsaysay Award (sebagai

keterlibatan Gus Dur yang luas dalam upaya untuk mengembangkan

toleransi beragama).

48

Hanif Dhakiri. hlm. 71

(32)

82 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

l. Hubungan Diplomatik dengan Israel

Dalam hal ini dukungan Gus Dur untuk membuka hubungan

diplomatik dengan Israel. sangatlah penting untuk menimbang konteks

historis posisi kebijakan Gus Dur, khususnya dalam

pertemuanpertemuan sebelumnya dengan Israel. Gus Dur sendiri telah

memberikan berbagai macam alasan bahwa hubungan tersebut

berkaitan dengan pembangunan ekonomi dan perwujudan kemauan

baik pada Israel itu sendiri. Jika Indonesia dapat membuka hubungan

dengan Israel, maka Indonesia akan memiliki posisi yang sangat kuat

untuk memperkuat argumentasi bagi perbaikan sosial dan politik di

Timur Tengah, khususnya Israel dengan Palestina. dalam konteks ini,

Gus Dur mengatakan bahwa sebagai Muslim terbesar di dunia,

sangatlah tepat jika Indonesia memainkan peranan penting bagi

perdamaian Israel dan Palestina. sudah pasti normalisasi hubungan

diplomatik dengan Israel sangat terikat dengan suksesnya perdamaian

itu. Inilah yang mendasari Gus Dur ketika pertama kali mengunjungi

Israel pada bulan oktober 1994 untuk menjadi saksi kemajuan proses

perdamaian antara Israel dengan negara-negara “Arab”. Gus Dur

berempat, ditemani oleh tokoh utama dialog antaragama.

Analisis Tentang Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman

Wahid

1. Terbentuknya Watak Pluralisme Abdurrahman Wahid

Dari lacakan epitemologis, Gus Dur bukanlah seorang yang

eksistensialis, melainkan seorang yang beragama dan percaya pada konsep

wahyu, tetapi Ia gabungkan dengan pemikiran modern. Bahwa kalau

memang ada Tuhan Allah Sang Pencipta, ada wahyu dan ada kitab suci,

tetapi juga ada pengetahuan obyektif. Jadi ada yang mutlak tetapi

kemutlakan itu dibatasi oleh yang tidak mutlak. Jadi secara otomatis ada

implikasi pluralisme. Ini adalah sumber pluralisme intelektual, tetapi ada

(33)

83 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

juga sumber-sumber pluralisme yang lain. Orang bisa pluralis karena punya

sikap humanitarian, kecintaan kepada manusia membuat kita saling

menghormati.

Telah disadari bahwa betapa kompleks dan rumitnya perjalanan Gus

Dur dalam meniti kehidupannya, bertemu dengan berbagai macam orang

yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata

sosial dan pemikiran yang berbeda. Dari segi pemahaman keagamaan dan

ideologi, Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks, mulai dari yang

tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai modernis dan sekuler. Dari

segi kultural, Gus Dur mengalami hidup di tengah budaya Timur yang

santun, tertutup, penuh basa-basi, sampai dengan budaya Barat yang

terbuka, modern dan liberal. Demikian juga persentuhannya dengan para

pemikir, mulai dari yang konservatif, ortodoks sampai yang liberal dan

radikal semua dialami.

Pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren.

Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik,

formal, dan struktural. Sementara pengembaraannya ke Timur Tengah

telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikirann Agama,

dari yang konservatif, simbolik-fundamentalis sampai yang liberal-radikal.

Dalam bidang kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi

oleh para pemikir Barat dengan filsafat humanismenya. Secara rasa maupun

praktek perilaku yang humanis, pengaruh para Kyai yang mendidik dan

membimbingnya mempunyai andil besar dalam membentuk pemikiran Gus Dur. Kisah tentang Kyai Fatah dari Tambak Beras, KH. Ali Ma’shum dari

Krapyak dan Kyai Chudhori dari Tegalrejo telah membuat pribadi Gus Dur

menjadi orang yang sangat peka pada sentuhan-sentuhan kemanusiaan.

Menurut Greg Barton, Sebagai seorang remaja, Gus Dur mulai mencoba

memahami tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles, serta pada saat yang sama

ia bergulat memahami Das Kapital karya Marx dan What is To be Done karya

Referensi

Dokumen terkait

Gambaran mengenai kondisi transportasi khususnya berjalan kaki di kawasan Pendidikan Yogyakarta sebagaimana yang telah dijelaskan di atas menjadi dasar perlunya dilakukan

Dihadapan saodara tersajikan sirup buah kersen, kesediaan sodara diminta untuk memberikan penilaan terhadap kekentalan sirup buah kersen, sesuwai dengan

Pelatihan dapat meningkatkan performance kerja pada posisi jabatan yang sekarang. Kalau level of performance-nya naik/meningkat, maka berakibat peningkatan

pertanyaan awal kepada siswa secara lisan yang diarahkan pada anak tema: Healthy Foods dengan gambar; Guru menyampaikan tujuan pembelajaran; Guru menyajikan

Tujuan teks berbeda dengan teks negosiasi , dimana tujuan teks deskripsi sangat jelas yaitu agar orang yang membaca teks ini seolah-olah sedang merasakan langsung apa yang sedang

Tujuan penelitian ini adalah memetakan lokasi dan kapasitas dari informasi inventarisasi mata air di Kecamatan Cidahu, mengkaji variasi dari data deret waktu mata air yang

Dalam sebuah penelitian yang di lakukan oleh Irwanto dkk (2013) tentang “Analisis Pengaruh Kualitas Produk dan Strategi Harga terhadap Kepuasan Pelanggan, dan Pengaruhnya

Meskipun pemupukan NPK nyata mempengaruhi bobot kering polong dibanding kontrol, namun penambahan pupuk hayati pada dosis N yang lebih rendah (1/4–1/2 N), meningkatkan hasil