• Tidak ada hasil yang ditemukan

Belenggu Kokolot: Pada Ibu Hamil dan Melahirkan. Etnik Sunda – Kabupaten Pandeglang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Belenggu Kokolot: Pada Ibu Hamil dan Melahirkan. Etnik Sunda – Kabupaten Pandeglang"

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

1

Belenggu Kokolot:

Pada Ibu Hamil dan Melahirkan

Etnik Sunda – Kabupaten Pandeglang

Arief R. Eka Vitriyani Tri Juni Angkasawati

Penerbit

(3)

2

Arief R, dkk

Belenggu Kokolot:

Pada Ibu Hamil dan Melahirkan

Etnik Sunda - Kabupaten Pandeglang

Diterbitkan Oleh

UNESA UNIVERSITY PRESS Anggota IKAPI No. 060/JTI/97

Anggota APPTI No. 133/KTA/APPTI/X/2015 Kampus Unesa Ketintang

Gedung C-15Surabaya

Telp. 031 – 8288598; 8280009 ext. 109 Fax. 031 – 8288598

Email: unipress@unesa.ac.id unipressunesa@yahoo.com Bekerja sama dengan:

PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176 Tlp. 0313528748 Fax. 0313528749

xvii, 137 hal., Illus, 15.5 x 23

ISBN: 978-979-028-960-4

copyright © 2016, Unesa University Press

All right reserved

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun baik cetak, fotoprint, microfilm, dan sebagainya, tanpa izin tertulis dari penerbit

(4)

iii SUSUNAN TIM

Buku seri ini merupakan satu dari tiga puluh buku hasil kegiatan Riset Etnografi Kesehatan 2015 pada 30 etnik di Indonesia. Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/V.1/221/2015, tanggal 2 Pebruari 2015, dengan susunan tim sebagai berikut:

Pembina : Kepala Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan

Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Wakil Penanggung Jawab : Prof. Dr.dr. Lestari Handayani, M.Med (PH) Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc

Ketua Tim Teknis : drs. Setia Pranata, M.Si

Anggota Tim Teknis : Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes drg. Made Asri Budisuari, M.Kes dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH drs. Kasno Dihardjo

dr. Lulut Kusumawati, Sp.PK Sekretariat : Mardiyah, SE. MM

(5)

iv

Koordinator Wilayah:

1. Prof. Dr. dr. Lestari Handayani, M.Med (PH): Kab. Mesuji, Kab. Klaten, Kab. Barito Koala

2. dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc: Kab. Pandeglang, Kab. Gunung Mas, Kab. Ogan Komering Ulu Selatan

3. Dr.drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes: Kab. Luwu, Kab. Timor Tengah Selatan

4. drs. Kasno Dihardjo: Kab. Pasaman Barat, Kab. Kep. Aru

5. Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes: Kab. Aceh Utara, Kab. Sorong Selatan

6. dra. Suharmiati, M.Si. Apt: Kab. Tapanuli Tengah, Kab. Sumba Barat

7. drs. Setia Pranata, M.Si: Kab. Bolaang Mongondow Selatan, Kab. Sumenep, Kab. Aceh Timur

8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes: Kab. Mandailing Natal, Kab. Bantaeng

9. dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH: Kab. Cianjur, Kab. Miangas Kep.Talaud, Kab. Merauke

10. dr. Wahyu Dwi Astuti, Sp.PK, M.Kes: Kab. Sekadau, Kab. Banjar 11. Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes: Kab. Kayong Utara, Kab. Sabu

Raijua, Kab. Tolikara

12. drs. F.X. Sri Sadewo, M.Si: Kab. Halmahera Selatan, Kab. Toli-toli, Kab. Muna

(6)

v KATA PENGANTAR

Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin kompleks. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikannya. Untuk itulah maka dilakukan riset etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan.

Dengan mempertemukan pandangan rasionalis dan kaum humanis diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat.simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense

of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam

menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat di Indonesia.

Tulisan dalam Buku Seri ini merupakan bagian dari 30 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2015yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal.

Kami mengucapkan terima kasih pada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2015, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

(7)

vi

Surabaya, Nopember 2015 Kepala Pusat Humaniora, kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI

(8)

vii

DAFTAR ISI

SUSUNAN TIM ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR DIAGRAM ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 6

1.3. Metode Penelitian ... 6

1.3.1. Penentuan Lokasi Penelitian ... 6

1.3.2. Cara Pengumpulan Data ... 6

1.3.3. Jenis dan Sumber Informasi ... 7

1.3.4. Cara Analisis data ... 7

BAB II Bingkai Kebudayaan Daerah Penelitian ... 9

2.1. Sejarah Desa Tugu ... 9

2.1.1. Perkembangan Desa Tugu ... 11

2.2. Geografi dan Kependudukan ... 15

2.2.1. Geografi Kecamatan Cimanggu, Desa Tugu 15 2.2.2. Kependudukan dan Mobilitas ... 17

2.2.3. Pola Tempat Tinggal ... 19

2.3. Sistem Kepercayaan ... 23

2.4. Organisasi Sosial... 29

2.4.1. Sistem Kemasyarakatan ... 29

2.4.2. Pernikahan dan Sistem Kekerabatan ... 31

2.5. Pengetahuan Kesehatan ... 33

2.5.1. Konsep Sehat dan Sakit ... 33

(9)

viii

2.5.3. Pengetahuan Makan dan Minum ... 36

2.5.4. Pengetahuan tentang Pelayanan Kesehatan 39 2.6. Mata Pencaharian ... 42 2.6.1. Sawah ... 42 2.6.2. Kebun ... 46 2.6.3. Ternak ... 50 2.6.4. Buruh ... 50 2.7. Bahasa ... 52 2.8. Kesenian ... 53

2.9. Teknologi dan Peralatan ... 54

BAB III POTRET SITUASI KESEHATAN ... 56

3.1. Kesehatan Ibu dan Anak ... 56

3.1.1 Pra Hamil ... 56

3.1.2 Kehamilan ... 58

3.1.3 Persalinan dan Nifas ... 61

3.1.4 Menyusui ... 64

3.1.5 Neonatus dan Bayi ... 66

3.1.6 Balita dan Anak ... 67

3.2. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ... 68

3.2.1 Persalinan dengan Tenaga Kesehatan ... 69

3.2.2 Penimbangan Bayi, Balita dan Anak... 71

3.2.3 Pemberian Air Susu Ibu (ASI) ... 73

3.2.4 Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) ... 74

3.2.5 Jamban Sehat ... 76

3.2.6 Pemakaian Air Bersih ... 78

3.2.7 Konsumsi Buah dan Sayur ... 80

3.2.8 Aktivitas Fisik ... 83

3.2.9 Perilaku Merokok ... 84

3.2.10 Pemberantasan Jentik Nyamuk ... 87

3.3. Kesehatan Lingkungan ... 88

(10)

ix

3.4. Penyakit Menular ... 90

3.4.1 Penyakit Kulit ... 90

3.4.2 Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISAP) ... 91

3.4.3 Diare ... 92

3.5. Penyakit Tidak Menular ... 93

3.5.1 Asam Urat ... 93

3.5.2 Hipertensi ... 95

BAB IV BANTAHAN, BELENGGU KEPATUHAN PADA KOKOLOT 98 4.1. Kehamilan (Reneh) ... 98

4.2. Persalinan (Ngajuru) ... 105

4.3. Nifas ... 109

4.4. PARAJI, Penolong Persalinan yang Menentramkan 118 4.5. Kematian ibu bersalin, bukan salah siapa-siapa? .. 120

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 127

5.1 Kesimpulan ... 127

5.2 Rekomendasi ... 129

DAFTAR PUSTAKA ... 130

INDEKS ... 133

(11)
(12)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Penyebab Kematian Ibu Maternal di Kabupaten

Pandeglang Tahun 2013 ... 2 Tabel 1.2 Penyebab Kematian Bayi Usia 0-28 hari di

Kabupaten Pandeglang Tahun 2013 ... 3 Tabel 1.3 Penyebab Kematian Bayi Usia 29 hari-12 Bulan

di Kabupaten Pandeglang Tahun 2013 ... 4 Tabel 1.4 Data 10 Besar Penyakit Di Kabupaten Pandeglang

Tahun 2013 ... 4 Tabel 2.1 Data Jumlah Penduduk Kecamatan Cimanggu

Kabupaten Pandeglang Tahun 2014 ... 17 Tabel 2.2 Istilah Lokal dalam Penamaan Sakit ... 52

(13)
(14)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Pohon Bungur Sebagai Asal Usul Desa Tugu ... 11

Gambar 2.2 Salah satu ruas jalan aspal yang menghubungkan desa ... 12

Gambar 2.3 Akses jalan yang menghubungan kampung Cisalada di Desa Tugu ... 13

Gambar 2.4 Pedagang menggunakan mobil los bak untuk berdagang di desa Tugu ... 14

Gambar 2.5 Tiang listrik PLN Desa Tugu, Kampung Lalasari ... 16

Gambar 2.6 Poskes des Desa Tugu ... 18

Gambar 2.7 Rumah Panggung di Desa Tugu... 20

Gambar 2.8 Anyaman Daun Kirai yang digunakan sebagai AtapRumah Panggung... 21

Gambar 2.9 Bungkusan Seren taun ... 23

Gambar 2.10 Kokolot sedang melaksanakan ritual ... 25

Gambar 2.11 Slametan yang dilaksanakan pada malam hari sebelum hajat... 26

Gambar 2.12 Gotong royong membuat panggung dan tenda .... 30

Gambar 2.13 Kegiatan Memasak di Dapur ... 38

Gambar 2.14 Kopi sebagai suguhan ketika kegiatangotong royong ... 39

Gambar 2.15 KegiatanpengobatangratisdiPoskesdes Tugu ... 42

Gambar 2.16 Kegiatan Posyandu di Desa Tugu ... 42

Gambar 2.17 Sistem Irigasi dan Tadah Hujan ... 43

Gambar 2.18 Kondisi Lahan Sawah salah Satu Warga ... 45

Gambar 2.19 Kebun Kelapa di Desa Tugu ... 47

Gambar 2.20 Pengepul Kelapa Desa Tugu ... 48

Gambar 2.21 Pengangkutan Buah Kelapa Menggunakan Los Bak ... 48

(15)

xiv

Gambar 2.22 Pohon Melinjo sebagai Mata Pencaharian

Sampingan Warga ... 49

Gambar 2.23 Acara Marhaban setelah hajat sunat ... 53

Gambar 2.24 Barang yang selalu dibawa paraji ketika membantu proses persalinan ... 55

Gambar 3.1 Acara akad nikah pasangan muda ... 57

Gambar 3.2 Kegiatan Posyandu di Desa Tugu ... 58

Gambar 3.3 Ibu dan Bayi mengikuti Posyandu ... 65

Gambar 3.4 Paraji sedang mendandani bayi sehabis dimandikan ... 67

Gambar 3.5 Bidan desa keliling ... 70

Gambar 3.6 Kader Kesehatan Menimbang Balita... 72

Gambar 3.7 Jamban Cemplung (kiri) dan jamban LeherAngsa(kanan) ... 78

Gambar 3.8 Sumur Gali sebagai Sumber Air bersih Masyarakat Desa Tugu ... 79

Gambar 3.9 Mencuci peralatan masak (kiri) danpakaian (kanan) di sungai ... 80

Gambar 3.10 Ibu memotong sayur untuk dimasak ... 82

Gambar 3.11 Aktivitas Fisik yang dilakukan MasyarakatDesa Tugu ... 83

Gambar 3.12 Kebiasaan Merokok masyarakat Tugu ... 86

Gambar 3.13 Tempat Pembuangan Sampah Rumahtangga ... 86

Gambar 3.14 Penyakit Kulit atau Dermatitis ... 90

Gambar 4.1 Gedog atau urut perut saat hamil yang dilakukan Paraji ... 99

Gambar 4.2 Kenit yang dipakai Ibu Hamil untu Melindungi Ibu dari Gangguan Makhluk Halus/Kunti ... 102

Gambar 4.3 Paraji sedang memberi jampe atau doa padasegelas air putih ... 106

(16)

xv Gambar 4.5 Minyak Kelapa yang digunakan untukmemijatperut

ibu yang akan melahirkan ... 108

Gambar 4.6 Pembuatan Sambel Pepeh untuk Ibu Nifas ... 110

Gambar 4.7 Ibu Nifas bersanda ... 111

Gambar 4.8 Ibu Nifas memakai Sabuk Bereum berisi BijiGabah ... 112

Gambar 4.9 Tetojer berupa tulisan dari kapur yang ditulisoleh Paraji ... 113

Gambar 4.10 Parutan Kunyit mencegah radang kulit padabayi .. 114

Gambar 4.11 Air untuk memandikan bayi yang telahdiberiramuan ... 114

Gambar 4.12 Air dengan koin serta Beras kencur ... 115

Gambar 4.13 Batok kelapa berisi abu dan garam... 115

Gambar 4.14 Pereh Mata ... 116

Gambar 4.15 Hasepan yang diberi tulisan mantra ... 117

(17)
(18)

xvii DAFTAR DIAGRAM

Diagram 2.1 Luas Wilayah Masing-Masing Desa di Kecamatan

(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia, Negara dengan beribu kepulauan yang kaya akan budaya dan keunikan di setiap daerahnya. Beragam suku, kebudayaan, kesenian, bahasa, adat istiadat, tradisi dan kepercayaan memberi warna nan elok. Beragam perbedaan yang sejatinya adalah satu. Masyarakat Indonesia masih percaya bahwa sakit bukan hanya dikarenakan pola hidup yang kurang baik, namun keadaan sakit bagi sebagian masyarakat dianggap sebagai keadaan dimana seseorang yang sakit juga mendapat pengaruh dari berbagai hal yang bersifat supranatural atau karena gangguan makhluk halus.

Kepercayaan tentang hal-hal mistis masih melekat kuat pada budaya mereka, antaralain mitos ibu hamil yang rentan diganggu oleh roh jahat sehingga mengharuskan ibu hamil untuk menjalani ritual-ritual dan memakai jimat pelindung serta melaksanakan pantangan dan larangan agar terhindar dari gangguan makhluk halus/roh-roh jahat. Pantangan atau larangan mengkonsumsi makanan tertentu, yang justru mengurangi pemenuhan gizi ibu hamil sehingga mempengaruhi status gizi ibu hamil yang dapat berdampak pada bayi yang dikandungnya.

Kesehatan dan kebudayaan memang dua sisi yang tidak bisa terpisahkan dan saling berhubungan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, ketika menyinggung masalah kesehatan manusia secara tidak langsung akan menyinggung unsur budaya di dalam kehidupan manusia itu sendiri. Perilaku kesehatan masyarakat sangatlah dipengaruhi oleh kepercayaan, pengetahuan, lingkungan, nilai moral dan kebiasaan/tradisi. Seperti etnis Sunda di Kabupaten Pandeglang yang masih memegang erat adat istiadat kebudayaan leluhur ketika mengambil tindakan untuk penanganan terkait masalah kesehatan.

(20)

2

Kabupaten Pandeglang merupakan salah satu lokasi terpilih untuk penelitian Riset Etnografi Kesehatan tahun 2015. Kabupaten Pandeglang merupakan salah satu Kabupaten yang terletak di Provinsi Banten. Berdasarkan hasil Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM)tahun 2013, menunjukkan bahwa Kabupaten Pandeglang berada dalam urutan ke-408 yang memiliki indeks rendah sebagai kategori daerah bermasalah kesehatan. Salah satu indikator IPKM tersebut terkait masalah Kesehatan Ibu dan Anak seperti cakupan pemeriksaan kesehatan kehamilan (ANC), persalinan ke tenaga kesehatan, kunjungan ibu nifas, imunisasi bayi dan balita, posyandu ibu hamil dan balita, serta penimbangan rutin untuk memantau status gizi bayi dan balita.

Derajat kesehatan masyarakat Pandeglang dapat di ukur dari Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Berdasarkan data Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang Banten Tahun 2013, jumlah kasus kematian ibu maternal sebanyak 34. Penyebab kematian ibu maternal di Kabupaten Pandeglang tahun 2013 dapat di lihat pada table 1.1 sebagai berikut:

Tabel 1.1Penyebab Kematian Ibu Maternaldi Kab. Pandeglang Tahun 2013

No. Penyebab Kematian Ibu Jumlah Persentase (%)

1. Perdarahan 14 41,2%

2. Hipertensi dalam kehamilan 8 23,5%

3. Infeksi 4 11,8%

4. Lain-lain 9 26,5%

JUMLAH 34 100%

Sumber: Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang Tahun 2013.

Berdasarkan tabel tersebut diatas dapat dilihat penyebab kematian ibu tertinggi di Kab. Padeglang adalah pendarahan yaitu sebesar 41,2%.

(21)

3 Data di Puskesmas Cimanggu menunjukkanAngka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) yang masih tinggi menjadi perhatian dalam penelitian ini. Tercatat di tahun 2014 kasus kematian ibu hamil dan kematian nifas sebanyak 20 kasus, dengan penyebab kematian adalah pendarahan. Ketika penelitian ini berlangsung tim peneliti juga menjumpai secara langsung kasus kematian ibu ketika melahirkan dengan penyebab yang sama yaitu pendarahan.

Berdasarkan pencatatan jumlah kematian bayi dan Neonatal di Kabupaten Pandeglang pada tahun 2013 gambaran penyebab kematian bayi sebagai berikut:

Tabel 1.2 Penyebab Kematian Bayi Usia 0-28 haridi Kab. Pandeglang Tahun 2013 No Penyebab Kematian Bayi Jumlah Persentase (%) 1. Tetanus Neonatorum 4 1,2% 2. BBLR* 69 21,2% 3. Afiksia 73 22,3% 4. Sepsis 5 1,5% 5. Kelainan Kontingenital 24 7,3% 6. Lain-lain 152 46,5% JUMLAH 327 100%

*Berat Badan Lahir Rendah

(22)

4

Tabel 1.3 Penyebab Kematian Bayi Usia 29 hari-12 Bulan di Kab. Pandeglang Tahun 2013

No Penyebab Kematian Bayi Jumlah Persentase (%)

1. Pneumonia 14 45,2%

2. Diare 1 1,2%

3. Lain-lain 16 51,6%

JUMLAH 31 100%

Sumber: Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang Tahun 2013.

Namun demikian, masalah kesehatan dalam masyarakat bukan hanya masalah kematian ibu dan bayi, melainkan masalah kesehatan secara menyeluruh seperti penyakit menular, penyakit tidak menular, kesehatan lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat.

Tabel 1.4 Data 10 Besar Penyakit di Kab. Pandeglang Tahun 2013

No Penyakit Jumlah Persentase (%)

1. ISPA 151.212 31,2% 2. Gastritis 62.821 12,9% 3. Batuk 51.768 10,7% 4. Dermatitis 42.943 8,9% 5. Diare 41.905 8,6% 6. Demam 40.546 8,4% 7. Influenza 30.163 6,2% 8. Hipertensi 23.922 4,9% 9. Sakit kepala 21.457 4,4% 10. Gangguan kulit 17.987 3,7% JUMLAH 484.724 100%

Sumber: Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang Tahun 2013.

Data di atas menunjukkan bahwa penyakit ISPA menduduki peringkat paling tinggi yaitu 31,1%. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya yaitu penelitian-penelitian Yuwono (2008) menyatakan

(23)

5 bahwa faktor lingkungan fisik rumah meliputi jenis lantai, luas ventilasi, kebiasaan merokok anggota keluarga, kelembaban udara dan bahan bakar kayu yang digunakan untuk memasak merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita. Senada denga hasil penelitian yang dilakukan Yusup (2005), menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara sanitasi fisik terhadap kejadian ISPA pada balita. Hal ini menunjukkan bahwa kesehatan lingkungan dan perilaku masyarakat mempengaruhi kejadian ISPA.

Letak desa-desa yang jauh dari pusat pelayanan kesehatan masyarakat dan medan yang sulit karena jalan yang rusak, terlebih jika hujan turun, menjadi salah satu faktor penghambat masyarakat untuk menuju ke pusat pelayanan kesehatan.Penempatan Bidan desa sebagai tenaga kesehatan di desa banyak membantu masyarakat dalam pencarian pengobatan. Meskipun, tidak sedikit masyarakat yang berobat ke Dukun.

Tingginya angka kematian ibu dan angka kematian anak dari data yang tersaji diatas menjadi salah satu faktor dipilihnya masalah Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) sebagai tematik penulisan buku ini.Beragam bantahan/larangan/pantangan yang tidak boleh dilakukan seorang wanita jika dia dalam keadaan hamil, bersalin dan nifas menjadi hal yang menarik untuk dihubungkan terkait dengan Kesehatan Ibu dan Anak yang ada di dalam kebudayaan Sunda khususnya Desa Tugu, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Hal lain yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah masih banyaknya masyarakat yang memilih untuk melahirkan di rumah, bukan di fasilitas kesehatan.

Meskipun keberadaan tenaga kesehatan, seorang bidan desa, sudah dimanfaatkan oleh masyarakat, namun mereka masih memegang erat tradisi leluhur dalam pencarian pengobatan secara tradisonal. Dari uraian diatas maka pertanyaan penelitian yang ingin

(24)

6

dijawab adalah bagaimana gambaran aspek potensi budaya masyarakat terkait kesehatan di Desa Tugu Kecamatan Cimanggu Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten.

1.2 Tujuan

1. Mendeskripsikan dan menganalisis kebudayaan dalam rangka memahami masalah kesehatan ibu dan anak pada etnik Sunda di kecamatan Cimanggu, kabupaten Pandeglang.

2. Menyusun rekomendasi berdasarkan kearifan lokal untuk penyelesaian masalah-masalah kesehatan ibu dan anak.

1.3 Metode Penelitian

1.3.1 Penentuan Lokasi Penelitian

Penentuan lokasi penelitian berdasarkan atas data IPKM yang rendah di kabupaten Pandeglang yaitu 408. Berdasarkan hasil diskusi yang dilakukan dengan kepala bidang Promosi Kesehatan (Promkes) Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang menunjukan adanya permasalahan kesehatan khususnya KIA, PM, PTM dan PHBS. Permasalahan tersebut banyak terjadi di Desa Tugu dengan etnis terbanyak adalah Etnis Sunda.

1.3.2 Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data menggunakan metode observasi, observasi partisipasi, wawancara mendalam, mengamati, dan menyimak. Penggalian informasi dengan menggunakan metode observasi dan mengamati serta terlibat dalam kegiatan lingkungan peneliti menetap di lokasi penelitian selama lebih kurang satu bulan guna mendapatkan informasi yang akurat.

Peneliti tidak hanya melihat satu permasalahan tetapi peneliti juga akan mengamati perilaku masyarakat terkait budaya kesehatan untuk memperoleh gambaran masyarakat dalam persepsi sehat-sakit.

(25)

7 Keakuratan informasi yang diperoleh peneliti saat melakukan pengamatan dan wawancara mendalam terhadap informan diharapkan dapat menggambarkan secara detail keadaan atau gambaran kesehatan masyarakat setempat dan menangkap fenomena budaya yang berhubungan erat dengan masalah kesehatan. Keaktifan peneliti dalam mengikuti rutinitas sehari-hari masyarakat setempat dapat melengkapi data pengamatan.

Dalam pengumpulan data, peneliti merupakan instrumen utama, namun demikian diperlukan pedoman wawancara sebagai instrumen pembantu. Data sekunder diperlukan untuk mendukung hasil eksplorasi. Data sekunder berupa profil kesehatan Provinsi Banten, profil Kesehatan Kabupaten Pandeglang, Laporan tahunan Puskesmas Cimanggu.Informasi yang diperoleh peneliti dilengkapi dengan melakukan penulusaranpustaka terkait sejarah, budaya dan informasi terkait kesehatan.

1.3.3 Jenis dan Sumber Informasi

Beberapa informan yang menjadi sasaran peneliti antara lain ibu yang sedang hamil atau pernah hamil dan bersalin beserta suami dan keluarganya. Ibu yang memiliki anak bayi atau balita beserta suami dan keluarganya. Remaja sebaya dan keluarganya. Tokoh masyarakat, tokoh agama atau tokoh adat yang mengetahui budaya dan tradisi setempat. Pengobat tradisional seperti dukun desa, dukun bayi dan informan dari sisi provider adalah petugas kesehatan puskesmas atau bidan desa setempat.

1.3.4 Cara Analisis Data

Data yang telah terkumpul dari wawancara mendalam yang dilakukan atas dasar pemahaman masyarakat akan dikaitkan satu dengan lainnya. Sehingga data yang diperoleh tersebut akan membentuk suatu gambaran tentang budaya tertentu. Seperti yang

(26)

8

telah diungkapkan oleh Spradley, bahwa budaya merupakan pengorganisasian tentang fenomena material yang terdapat dalam pikiran (mind) masyarakat dan untuk mendapatkannya adalah dengan melalui bahasa.

Untuk menganalisis terkait masalah kesehatan peneliti menggunakan modifikasi teori H.L Blum (1974) dan Koentjaraningrat (1979), dalam teori ini mengatakan bahwa status kesehatan masyarakat di pengaruhi oleh beberapa faktor antara lainperilaku, pelayanan kesehatan, faktor keturunan, lingkungan meliputi: lingkungan fisik, sosial, ekonomi, dan unsur-unsur budaya yaitu organisasi sosial, pengetahuan, teknologi, mata pencaharian, religi dan kesenian.

(27)

9

BAB II

BINGKAI KEBUDAYAAN DAERAH PENELITIAN

Banten,akan mengingatkan kami pada kekhasan budayanya antara lain seni bela diri, pencak silat dan debus. Di samping itu terdapat peninggalan warisan leluhur seperti Masjid Agung Banten Lama, Makam Keramat Panjang dan masih banyak peninggalan lainnya. Sebagian besar masyarakat memeluk agama Islam berdampingan dengan pemeluk agama lain.

Banten terbagi menjadi beberapa kabupaten yaitu Kabupaten Serang, Tangerang, Lebak dan Pandeglang. Wilayah penelitian berada di kabupaten Pandeglang. Secara geografi Kabupaten Pandeglang terletak pada 6021” – 7010‟ Lintang Selatan dan 104048‟-106011‟ Bujur Timur, memiliki luas 2.747,89 Km2 (274.689,91 ha), atau 29,98% dari luas Provinsi Banten1.Di wilayah kabupaten inilah desa Tugu kecamatan Cimanggu berada. Dari kabupaten Pandeglang desa Tugu dapat ditempuh selama empat jam perjalanan menggunakan kendaraan bermotor, dengan melewati beberapa kecamatan diantaranya adalah kecamatan Panimbang, Cigeulis Dan Cibaliung.Dalam bab ini kami akan membahas mengenai berbagai unsur budaya yang dapat kami temukan di desa Tugu. Kebudayaan menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu (1985:9)

2.1. Sejarah Desa Tugu

Suara kendaraan bermotor terdengar dari kejauhan. Suara deru motor yang telah dimodifikasi sedemikian rupa, dengan ban

offroad agar mudah melalui jalan berbatu dan aspal yang telah rusak

(28)

10

menjadi pemandangan sehari-hari di Desa Tugu, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandelgang, Provinsi Banten. Desa Tugu, inilah desa yang menjadi salah satu daerah penelitian etnografi kesehatan tahun 2015. Masyarakat Desa Tugu yang ramah menjadikan peneliti merasa nyaman ketika tinggal dan berinteraksi dengan mereka. Suasana pegunungan yang sejuk dan hujan yang masih sering mengguyur daerah ini menambah keasriannya. Mayoritas penduduk desa Tugu adalah suku bangsa/ etnik Sunda.

Nama Tugu sendiri berasal dari adanya pohon Bungur yang tumbuh di pinggirKampung TuguGirang, Desa Tugu. Di sekamir pohon

Bungur ini terdapat tatakan batu yang tersusun layaknya meja yang

dulu dipercaya sebagai tempat pertemuan dan berkumpulnya para wali, sebelum mereka menjalankan tugasnya untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh Jawa. Dari pengamatan peneliti, ada lima pohon Bungur yang masih berdiri tegak. Tiga diantaranya tumbuh berjejer diatas tatakan batu besar, sedangkan dua lainnya berada di sebelah utara dan timur dari tatakan batu. Ukuran pohon ini memang lebih besar dibandingkan dengan pohon-pohon lain yang berada disekamirnya. Pohon Bungur dianggap sebagai penanda (Tugu) sehingga desa tersebut dinamakan desa Tugu.

Dalam sejarah desa Tugu, pernah ada beberapa orang pengelana yang singgah pada petilasan pohon Bungur. Menurut salah seorang warga Tugu, ada tujuh orang yang berkumpul dan bertemu di lokasi pohon Bungur. Masing masing dari mereka membawa sebuah tongkat. Tongkat-tongkat tersebut kemudian ditancapkan menjadi satu disekamir pohon Bungur sebagai tanda mereka pernah bertemu disana. Beberapa nama tokoh yang dipercaya pernah berkumpul ditempat ini adalah Ki Buyut Ukur, Raden Surya Kencana, Raden Umar Dasim, Syekh Mansyur dan Raden Tampang Langlangbuana.

(29)

11 Gambar 2.1

Pohon Bungur Sebagai Asal Usul Desa Tugu Sumber : Dokumentasi tim peneliti 2.1.1. Perkembangan Desa Tugu

Wilayah desa Tugu meliputi enam kampung, yaitu Kampung Lalasari, TuguHilir, TuguGirang, Cisalada, Cikeuyep dan Sindangjaya. Ketika kami memasuki desa Tugu dari arah Kecamatan Cimanggu, kampung pertama yang akan kami lewati adalah kampung Sindangjaya, kemudian Lalasari, kampung Cisalada, Tugu Hilir, Tugu Girang dan yang terakhir adalah Cikeuyep. Jalan yang menghubungkan antardesa pada kecamatan Cimanggu yang melewati desa Tugu adalah jalan raya Ranca Pinang.

Akses jalan mulai berkembang pada akhir tahun 2010-an, sejak keberadaan jalan aspal yang dibangunoleh sebuah perusahaan pertambangan yaitu PT. Cibaliung Sumber Daya dan pemerintah.Dengan adanya jalan ini mobilitas dan perekonomian di desa Tugu menjadi lebih baik.Sebelum jalan yang melintasi desa Tugu ini di aspal, warga sangat sulit mengakses pasar sebagai salah satu tempat jual-beli kebutuhan pokok masyarakat. Sehingga waktu tempuh pergi-pulang menuju ke pasar memakan waktu hingga

(30)

12

seharian penuh, dan tidak jarang warga harus menginap di pasar.Saat ini dengan adanya jalan yang menjadi urat nadi transportasi dan menghubungkan desa satu dengan desa lain, mobilitas warga menjadi lebihmudah. Meskipun demikian, dari pengamatan peneliti tampak jalan beraspal yang telah terkikis dan berlubang sulit untuk dilalui.

Gambar 2.2

Salah satu ruas jalan aspal yang menghubungkan desa Sumber : Dokumentasi Tim Peneliti

Selain jalan aspal yang menghubungan satu desa dengan lain yang ada di kecamatan Cimanggu, jalan berbatu juga masih dapat kami temui ketika kami ingin menuju ke kampung Cisalada yang merupakan daerah administrasi dari desa Tugu. Jalan berbatu yang belum diaspal, keadaanya akan bertambah parah ketika musim hujan tiba. Kondisi badan jalan menjadi lincin dan sulit untuk dilalui kendaraan bermotor.

(31)

13 Gambar 2.3.

Akses jalan yang menghubungan kampung Cisalada di Desa Tugu Sumber : Dokumentasi tim peneliti

Perekonomian dan pemenuhan kebutuhan pokok menjadi lebih mudah dengan adanya penjual yang menggunakan mobil bak terbuka (pickup) untuk menjual bahan pokok. Para penjual ini, sebagian berasal dari Desa Tugu, berangkat pada pukul dua dini hari menuju pasar Panimbang untuk mengambil barang dagang yang akan dijual secara keliling. Barang yang dijual antara lain adalah buah-buahan dan sayur. Buahan-buah-buahan berupa salak, jeruk, duku dan kelengkeng, serta sayur berupa kangkung, bayam, wortel dan lain sebagainya. Secara tidak langsung keberadaan pedagang keliling ini membantu pemenuhan gizi dari sisi komposisi ragam makanan masyarakat desa Tugu. Hal ini sangat membantu masyarakat dalam pemenuhan konsumsi gizi yang seimbang.

(32)

14

Gambar 2.4

Pedagang menggunakan mobil los bakuntuk berdagang di desa Tugu Sumber : Dokumentasi tim peneliti.

Sarana listrik telah tersedia di desa Tugu, meskipun sering terjadi pemadaman arus listrik. Ketika terjadi pemadaman, sinyal dari alat komunikasi akan terputus/hilang. Perkembangan jaman dan arus globalilasi telah merambah hingga ke desa Tugu. Handphone atau telepon genggam telah menjadi alat yang umum dimiliki oleh hampir setiap warga di desa Tugu. Selain itu, televisi sebagai media informasi dan hiburan telah banyak dimiliki oleh masyarakat desa Tugu. Dan setiap televisi menggunakan parabola sebagai penangkap sinyal yang dipancarkan dari berbagai televisi swasta. Tidak jarang pula masyarakat yang memiliki kulkas sebagai alat untuk menyimpan dan mendinginkan berbagai bahan dan makanan.Meskipun listrik telah lama masuk ke desa Tugu, namun ketika malam tiba jalan Raya Ranca Pinang yang menghubungkan berbagai kampung di desa Tugu terlihat gelap karena tidak adanya lampu penerangan jalan yang dipasang.

(33)

15 Gambar 2.5

Tiang listrik PLN Desa Tugu, Kampung lalasari Sumber : Dokumentasi Tim Peneliti 2.2. Geografi dan Kependudukan

2.2.1. Geografi Desa Tugu, Kecamatan Cimanggu

Luas wilayah Kecamatan Cimanggu lebih kurang adalah 18.878 Ha dan terdiri 12 desa yaitu Desa Mangkualam, Cimanggu, Cijalarang, Ciburial, Padasuka, Batuhideung, Tugu, Cibadak dan Rancapinang. Topografi yang dimiliki Kecamatan Cimanggu adalah pegunungan dan beriklim dingin. Secara Geografis Kecataman Cimanggu memiliki batas-batas sebagai berikut : sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Cigeulis, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Cibaliung, sebelah selatan berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Sumur dan Taman Nasional Ujung Kulon.

Masing masing desa yang berada di Kecamatan Cimanggu memiliki luas yang berbeda-beda sebagai berikut:

(34)

16

Diagram 2.1.

Luas Wilayah masing-masing Desa di Kecamatan Cimanggu Sumber : Profil puskesmasCimanggu Tahun 2014

Data tersebut menunjukan bahwa luas desa Tugu menempati urutan kedua terkecil dari 12 desa di kecamatan Cimanggu dengan luas kurang lebih 250 Km2.Adapun jumlah penduduk di Kecamatan Cimanggu adalah 39.168 jiwa.Berikut ini merupakan jumlah penduduk Kecamatan Cimanggu secara lengkap :

800 222 1250 2500 1213 1537 1300 1690 1815 Tugu = 250 1502 1589

Luas Wilayah (Km

2

)

Tangkilsari Cimanggu Waringinkurung

Cijalarang Ciburial Padasuka

Mangkualam Batuhideung Keramatjaya

(35)

17 Tabel 2.1. Data Jumlah Penduduk Kecamatan CimangguKabupaten

Pandeglang Tahun 2014

NO Nama Desa Laki-laki Perempuan Jumlah KK Jumlah

Penduduk 1 Rancapinang 1981 1963 1056 3944 2 Cibadak 1533 1548 1000 3081 3 Tugu 826 717 504 1543 4 Batuhideung 2505 2058 1075 4563 5 Padasuka 1818 1880 1094 3696 6 Ciburial 2658 2454 1281 5112 7 Cijaralang 1514 1430 898 2944 8 Cimanggu 1473 1343 862 2816 9 Mangkualam 1211 1132 724 2343 10 Tangkilsari 2205 1154 1016 3359 11 Waringinkurung 1382 1376 864 2758 12 Kramat jaya 1457 1551 895 3008 Jumlah 20563 18606 11273 39168

Sumber : ProfilPuskesmas Cimanggu Tahun 2014. 2.2.2. Kependudukan dan Mobilitas

Jumlah penduduk Desa Tugu pada tahun 2014 ada sekamir 1.543 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 826 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 717 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 504 KK. Sarana pendidikan yang dimiliki desa Tugu adalah dua sekolah dasar yang ada di Kampung TuguHilir dan Kampung Lalasari dan satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang ada di Kampung Sindangjaya. Dimasing-masing kampung terdapat sarana peribadatan berupa masjid dan mushola.

Mata pencaharian penduduk yang utama adalah sebagai petani sawah dan pemetik kelapa. Mata pencaharian lain yang dimiliki warga adalah pedagang seperti warung, bensin dan dagang dengan mobil los bak. Sebagian besar warga memang masih mengusahakan lahan sawah dan kebunnya sebagai penghasilan utama

(36)

18

mereka.Sebagian warga bekerja sebagai buruh, seperti buruh tani, kelapa atau kayu dengan pendapatan yang bervariasi.

Sarana kesehatan di Desa Tuguberupa sebuah Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) yang dikelola oleh seorang bidan. Poskesdes di Desa Tugu terletak di Kampung Lalasari, dan satu posyandu yang terdapat di Kampung TuguGirang, namun posyandu ini masih menumpang pada salah satu rumah warga yang berstatus sebagai kader.

Gambar 2.6 Poskesdes Desa Tugu Sumber : Dokumentasi Tim Peneliti

Di Desa Tugu, sebagian besar masyarakat masih menggunakan sarana air sungai sebagai tempat mandi dan mencuci meskipun sebagian besar memiliki sumur, berupa sumur gali. Hal ini dirasakan oleh masyarakat lebih praktis karena mereka tidak harus menimba air di sumur. Namun dari hasil pengamatan peneliti, kesadaran masyarakat akan kesehatan nampak ketika mereka memasak. Masyarakat telah menyadari akan bahaya penggunaan air sungai jika diminum. Kebutuhan air untuk memasak mereka ambil dari air sumur yang mereka miliki, meskipun satu sumur digunakan untuk beberapa keluarga.

Menurut mereka, air sungai saat ini sudah tidak baik untuk memasak karena sudah tercemar dari air bekas cucian kendaraan

(37)

19 bermotor. Setiap sore, banyak kaum laki-laki yangmencuci kendaraan bermotor mereka, baik sepeda motor maupun mobil seperti pick up ataulos bak.

Dengan kehidupan masyarakat yang dekat dengan alam. Masyarakat memanfaatkan lahan mereka dengan baik. Lahan yang dekat dengan hutan menjadi penopang kehidupan mereka. Lahan yang ada mereka tanami dengan berbagai macam vegetasi seperti kelapa, pisang maupun melinjo. Beberapa vegetasi ini memberikan manfaat bagi kehidupan substansi dan ekonomi masyarakat. Selain itu, kayu bakar yang masih menjadi mayoritas bahan bakar untuk memasak dapat dengan mudah didapatkan di sekamir lingkungan yang dekat dengan hutan.

2.2.3. Pola tempat tinggal

Rumah merupakan tempat yang penting. Rumah menjadi tempat berlindung bagi setiap individu. Ditempat inilah anggota keluarga pertama kali mendapatkan berbagai macam pembelajaran. Pengenalan terhadap berbagai macam ilmu pengetahuan dan pentingnya sebuah keluarga.

Dalam membangun tempat tinggal, etnik Sunda di desa Tugu secara umum memiliki pola linier. Pola linier yang dimaksud adalah dengan mengikuti jalur jalan. Pola tempat tinggal berdekatan dengan tempat tinggal sanak saudara mereka, meskipun tidak berdempetan. Masih ada jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain. Selain mengikuti jalur jalan, pola rumah di desa Tugu, khususnya di dusun TuguHilir dan TuguGirang memiliki pola yang sama dengan mengikuti alur sungai Citugu yang melintasi desa Tugu.

Masyarakat desa Tugu akan menghindari membuat rumah di persimpangan atau pertemuan antara dua sungai karena dipercaya akan membuat bala’ atau musibah dan gangguan makhluk halus atau

(38)

20

akan tentram hidupnya, serta terkena berbagai macam penyakit pada keluarga yangmenempati rumah tersebut.

Sebagian masyarakat telah menggunakan semen sebagai bahan dasar untuk membuat rumah. Luas rumah rata-rata sekamir 40 hingga 60 meter persegi. Rumah yang berbahan dasar semen biasanya berlantai keramik dan atap rumah adalah genting. Berdasarkan pengamatan, rumah masyarakat Tugu yang dibangun menggunakan semen, memiliki sistem ventilasi yang minim. Rumah semen ini identik dengan jendela yang tidak dapat dibuka, sehingga sistem sirkulasi udara di dalam rumah kurang. Terlebih ketika memasak, asap yang dihasilkan dari tungku yang masih menggunakan kayu sebagai bahan bakar akan langsung masuk ke dalam rumah atau ruangan dan akan sulit untuk keluar.

Sedangkan model rumah lain adalah rumah panggung setinggi setengah meter dari permukaan tanah. Rumah panggung biasanya berbahan dasar kayu sengon, mahoni dan laban. Bahan dasar kayu digunakan untuk membuat lantai, tembok dan langit langit, sedangkan untuk atap rumah menggunakan anyaman dari daun kirai.

Gambar 2.7

Rumah Panggung di Desa Tugu Sumber : Dokumentasi tim peneliti

(39)

21 Menurut mereka ketiga kayu tersebut cepat pertumbuhannya dan cukup kuat. Kayu mahoni dan laban dapat digunakan untuk bahan dasar lantai dan dinding, sedangkan kayu sengon hanya digunakan untuk bahan dasar lantai karena karena kualitasnya masih dibawah kayu mahoni.

Rompok(rumah) panggung yang terbuat dari kayu pada

masyarakat Sunda rata-rata terdiri dari beberapa ruang, diantaranya adalah ruang tamu berada di depan, dua kamar tidur dan dapur sebagai tempat masak yang berlantai tanah. Pada bagian dapur masih menggunakan tungku berbahan bakar kayu karena lebih mudah diperoleh, terlebih lagi desa Tugu yang sangat dekat dengan hutan. Masyarakat enggan beralih menggunakan kompor gas karena kemudahan memperoleh kayu bakar tersebut. Bagian atap menggunakan anyaman daun kirai yang telah dijemur kurang lebih selama beberapa hari hingga kering dan siap digunakan. Proses penjemuran juga tergantung pada panas matahari.

Gambar 2.8

Anyaman Daun Kirai yang digunakan sebagai Atap Rumah Panggung Sumber : Dokumentasi tim peneliti

Menurut seorang informan, AS, rumah panggung dirasa lebih nyaman. Dia mengaku lebih leluasa membuang ludah disela-sela ruas lantai papan rumahnya.

(40)

22

“...kalau sekarang orang yang kecil-kecil itu merokok, waktu dulu dari mana rokok?... ni setiap dimana aja saya gini aja (meludah pada kaleng berisi pasir) waktu dulu kan masih panggung masih ada kolong meludah... enak enak...”

Selain itu, AS juga berangapan bahwa rumah panggung yang terbuat dari papan kayu memberikan kedekatan kepada tetangga karena mereka tidak enggan dan segan untuk duduk diteras rumah. Berbeda dengan rumah beton, tetangga enggan dan segan untuk duduk bersama diteras rumah, karenaadanya pagar sebagai batas halaman.Seperti yang dipaparkan oleh AS :

“...ini gara-gara bini mau ngrasain bagaimana kalausekarang punya keramik... masih tenang masih panggung, masyarakat banyak yang kesini banyak, tapi kalau sekarang wah keramik malu, pakai pagar wah malu gak berani...tapi kalau sekarang sudah dikeramik mana orang?...”

Masyarakat memiliki kepercayaan ketika tahun baru Islam, mereka mengadakan doa bersama memohon keberkahan kepada Tuhan Maha Esa, dan menaruh bungkusan seren taun yang terdiri dari kemenyan, kapur dan panglai 2 diatas pintu utama rumah mereka.Ketika ada anggota keluarga yang sakit keras atau terkena musibah maka bungkusan ini akan digunakan sebagai obat. Kemenyan dibakar sedangkan kapur dan jahe dikunyah dan diusapkan pada kepala anggota keluarga yang sedang sakit.

2

Panglai memiliki nama latin zingiber cassummunar, tanaman ini sejenis dengan tanaman jahe dan kunyit.

(41)

23 Gambar 2.9

Bungkusan Seren taun Sumber : Dokumentasi Tim Peneliti

Salah satu informan menuturkan bahwa seren taun bukan hanya sebagai peringatan tahunan dan rasa syukur. Seren taun sebagai simbol keutuhan suatu keluarga atau sebagai identitas keanggotaan sebuah keluarga pada kerabatnya. Seperti yang dituturkan oleh TT :

“...kalau misalkan kata orang tua masih di kampung kayak gini, nggak pake seren taun kayak gini ya katanya itu nggak ikut terdaftar... keturunan masing-masing itu mah...”

2.3. Sistem Kepercayaan

Masyarakat Sunda desa Tuguseluruhnya memeluk agama Islam. Kentalnya agama Islam di Desa Tugu tidak terlepas dari Kesultanan Banten yang merupakan salah satu kesultanan yang memeluk agama Islam di pulau Jawa.Saat ini dimasing-masing kampung yang ada di desa Tugu memiliki tempat peribadatan berupa masjid. Kegiatan peribadatan rutin dilakukan setiap harinya. Di kampung Lalasari, kegiatan yang rutin dilakukan adalah yasinan atau pembacaan surat Yasin yang dilakukan oleh anak-anak pada Kamis

(42)

24

malam. Kegiatan ini dilakukan setelah mereka sembahyang atau menunaikan sholat Isya’, yaitu sekamir pukul tujuh malam.

Selain sebagai tempat sembahyang, masjid juga digunakan oleh ibu-ibu majelis taklim setiap Jumat pagi hingga pukul 10. Ibu-ibu majelis taklim mengadakan kegiatan pengajian dengan membaca ayat-ayat Al-Quran yang dilanjutkan dengan sholawatan dan ditutup dengan arisan.Setiap akhir bulan pada hari Jumat, majelis taklimini akanmengadakanpertemuan di salah satu desa yang ada di Kecamatan Cimanggu yang dihadiri oleh majelis taklim dari masing masing desa yang ada di Kecamatan Cimanggu. Pemilihan desa akan dilakukan dengan undian. Perkumpulan majelis taklim dari berbagai desa yang ada di kecamatan Cimanggu ini tergabung dalam Badan Kontrak Majelis Taklim (BKMT).

Selain menganut agama Islam, ada beberapa kepercayaan pada masyarakat terkait dengan daur hidup (life cycle). Upacara-upacara dan slametan serta kepercayaan pada jimat sebagai pelindung masih seringkali dilaksanakan oleh masyarakat. Upacara-upacara atau slametan dilaksanakan ketika mengadakan hajatan seperti sunat, pernikahan, bercocok tanam atau rosul taun untuk mensyukuri hasil tanam dan lain sebagainya. Slametan akan diadakan pada malam hari sebelum acara hajat dilaksanakan. Slametan akan dipimpin oleh sesepuh atau kolot.

Masyarakat percaya bahwa ketika mereka mengadakan hajat seperti pernikahan atau khitanan, leluhur mereka yang telah meninggal akan datang dan mengikuti prosesi slametan dan hajat. Oleh karena itu, ketika mengadakan slametan ini, kokolot akan menyediakan dan membakar kemenyan serta beberapa batang rokok, menyediakan berbagai jenis minuman seperti air putih, teh manis, teh tawar, kopi manis, kopi pahit, susu manis dan air honje3 sebagai

suguhan. Selain beberapa suguhan tersebut, tersedia nasi dan telur

(43)

25 rebus yang dibungkus dengan daun pisang yang dibentuk kerucut. Telur rebus yang berbentuk bulat utuh dimaknai sebagai niat kepada Tuhan Yang Esa bahwa keluarga tersebut dengan itikat yang baik dan tekat yang bulat atau utuh ingin mengadakan hajat, seperti sunat atau pernikahan.

Setelah semua perlengkapan telah siap, sesepuh akan segera membakar kemenyan dan rokok secara bersama diatas piring. Bahan-bahan yang telah tersedia tersebut ditaruh secara berdekatan satu dengan yang lain. Dalam sebuah ruangan, sesepuh sesekali meniup kemenyan, rokok serta beberapa jenis minuman yang ada.

Gambar 2.10

Kokolot sedang melaksanakan ritual

sumber : Dokumentasi Tim Peneliti

Setelah melaksanakan ritual, air tersebut dapat diminum oleh siapa saja. Menurut sesepuh, meminum air yang ditujukan kepada leluhur yang dipercaya hadir ditengah-tengah acara slametan ini akan membawa keselamatan, kesehatanserta menunjukan rasa hormat kepada leluhur.

Dalam acara slametan para tetangga diundang untuk memanjatkan do’a bersama yang kemudian dilanjutkan dengan menikmati hidangan yang telah disediakan oleh tuan rumah.

(44)

upacara-26

upacara atau slametan ini bertujuan untuk mencari berkah atau keselamatan supaya acara hajat yang dilaksanakan pada keesokan harinya mendapat restu dari para leluhur dan berjalan dengan lancar.

Gambar 2.11

Slametan yang dilaksanakan pada malam hari sebelum hajat

sumber : dokumentasi Tim Peneliti

Kepercayaan lainnya adalah masyarakat percaya adanya roh-roh jahat yang menggangu disekamir mereka. Oleh karena itu, mereka menggunakan jimat atau yang sering disebut dengan kenit untuk melindungi diri. Jimat atau kenit ini berupa tali yang dipasangkan pada perut, leher ataupun pergelangan tangan. Pemasangan kenit harus dilakukan oleh sesepuh atau kolot yang dipercaya oleh keluarga atau masyarakat.

Ada dua jenisbahan dasar kenit. Untuk laki-laki bahan dasar

kenit berasal dari kulit kayu pohon Teureup yang telah dijemur atau

dikeringkan, sedangkan untuk perempuan, bahan dasar kenit berasal dariselendang atau jarik keluarga. Sejauh pengamatan peneliti,

kenitbanyak digunakan oleh berbagai kalangan mulai dari balita, ibu

hamil, remaja hingga orang dewasa yang ingin pergi jauh atau merantau baik untuk mencari ilmu atau mencari pekerjaan.

Untuk ibu hamil kenit dipasangkan pada perut. Ini dimaksudkan untuk menjaga ibu hamil serta bayinya dari gangguan

(45)

27 makhluk halus. Makhluk halus yang sering mengganggu ibu hamil disebut sebagai kunti. Pada balita kenit banyak dipasangkan pada leher, pergelangan tangan atau pergelangan kaki. Sedangkan untuk remaja dan orang dewasa, kenit dapat ditemukan pada pinggang.

Kenit akan dilepas ketika lingkar kenit tidak muat.

Larangan Bulan

Selain adanya slametan yang dilakukan, masyarakat desa Tugu memiliki kepercayaan pada larangan atau pantangan yang harus dihindari. Salah satunya adalah larangan bulan. Arti larangan ini adalah masyarakat dianjurkan untuk tidak melakukan aktifitas pada bulan dan hari tertentu, misal membeli barang-barang kecuali kebutuhan pokok (pangan), mengadakan hajat, menanam padi atau bercocok tanam serta melakukan pekerjaan di sawah.Masyarakat menggunakan perhitungan bulan pada tahun Islam yaitu bulan

Muharam, Sapar, Mulud, Silih Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Ruah, Puasa, Syawal, Hapid dan Haji.

Pada bulan Muharam, Sapar, Mulud masyarakat dilarang untuk melakukan aktifitas tersebut pada hari Sabtu dan Minggu. Bulan

Silih Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir dilarang melakukan aktiftas

pada hari Senin dan Selasa. Pada bulanRajab, Ruah, Puasa dilarang melakukan kegiatan tersebut pada hari Rabu dan Kamis. Dan terakhir adalah pada bulan Syawal, Hapid dan Haji, larangan jatuh pada hari Jumat.

Selain itu, hari Rabu akhir dalam setiap bulannya tidak dianjurkan untuk melakukan kegiatan tersebut. Masyarakat percaya jika dalam bulan-bulan dan hari yang tersebut diatas masih melakukan aktifitas diatas maka harta yang diperoleh tidak berkah dan selalu kurang. Selain itu, jika melanggar dan mendapatkan musibah seperti sakit, maka penyakit yang diderita akan sulit untuk disembuhkan.

(46)

28

Arti sebuah Nama

Terdapat sebuah arti dalam sebuah nama. Pemilihan nama dianggap penting bagi masyarakat. Nama merupakan simbol harapan dari orang tua terhadap anaknya. Orang tua selalu mengharapkan keselamatan, kesehatan serta kesuksesan dari kehidupan anaknya. Menurut salah satu sesepuh, nama memiliki beberapa arti yaitu

hantelu, bisa nyatu, kekere, panca dan warna. Arti ini diperoleh dari

menghitung nama menggunakan haruf Arab dan aksara Jawa.

Hantelubermakna baik, nama anak yang berarti sebagai hantelu diharapkan akan menampatkan nasib yang baik. Bisa nyatu

dalam bahasa Sunda adalah bisa makan, sehingga bisa nyatu diartikan bahwa dimanapun nama yang memiliki makna ini akan memperoleh jalan rejeki yang lancar oleh Tuhan. Kekere adalah makna nama yang dihindari oleh masyarakat karena dianggap akan mudah sakit. Panca merupakan makna yang dianggap paling baik karena banyak memiliki kelebihan dan akan selalu diberi keselamatan. Terakhir adalah warna dimaknai sebagai perhitungan nama yang baik namun berbahaya ketika memiliki penyakit karena akan sulit untuk disembuhkan.

Seperti yang pernah dialami oleh AJ. Nama cucu AJ sebelumnya adalah Dana Hermawan, namun karena cucunya sering nangis tanpa sebab yang pasti maka AJ mengganti nama cucunya menjadi Taryana.

“...tadina baru lahir dinamaan namanya itu Dana Hermawan, ieuk naon sering mewek nu kitu-kitu lah.. heu.. sering nangis, itu lahirna di Rumah Sakit Jampang di Sukabumi. Namanya Dana Hermawan karena sering nangis, ganti nama aya nu cees sehat. Ada ririwit kata orang sini nya... ririwit itu hartina sehat nggak nangis, nggak apa tapi badannya kurus kering, sakit asupna, tapi sakitna nggak sakit gering apa muriang, nggak panas tapi itu hartina badannya kurang normal. Yang ririwit itu kadang kadang ceuk urang itu na badan gatal-gatal... heuh ganti nama kalo nggak baik nyah, kalo baik gak apa apa...”

Untuk menghindari keadaan akan adanya hal buruk, pemilihan atau penggantian nama diambil sebagai alternatif dalam kepercayaan

(47)

29 mereka. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat percaya bahwa penyakit yang diderita, khususnya pada anak, bukan hanya karena kondisi kesehatan yang lemah, demam atau sakit. Namun, ada hal-hal lain yang mempengaruhi kondisi anak yang menyebabkan keadaan mereka dianggap tidak pada keadaan normal.

2.4. Organisasi Sosial dan kemasyarakatan 2.4.1. Sistem kemasyarakatan

Keluarga inti merupakan bagian dari sebuah kekerabatan dan masyarakat. Setiap keluarga inti terdiri dari seorang ayah, ibu dan satu anak atau lebih. Seperti halnya dalam sebuah masyarakat, keluarga inti memiliki peran penting dalam mengatur dan mengorganisasi setiap anggotanya. Kolot atau orang tua merupakan orang yang dihormati dan selalu memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan.

Eratnya hubungan kekerabatan dalam masyarakat Sunda terdapat dalam peribahasa “bengkung ngariung, bongkok ngaroyok”. Peribahasa ini bermakna bahwa masyarakat sunda dalam kekerabatannya akan sulit dipisahkan atau berjauhan. Hal ini senada dengan apa yang ada dalam pola perilaku masyarakat di desa Tugu. Eratnya jalinan kekerabatan, salah satunya dapat dilihat ketika kerabat mereka memiliki hajat.

Saudara yang berada dekat dan jauh serta para tetangga akan membantu untuk mempersiapkan hajat. Bentuk bantuan yang diberikan dapat berupa materi ataupun tenaga. Bantuan materi yang diberikan adalah beras, kayu bakar atau pisang. Bantuan tenaga ditujukan untuk menyiapkan segala sesuatu untuk keperluan hajat. Seperti yang dituturkan oleh AJ bahwa ketika kerabat ada yang punya hajat maka biasanya para tetangga akanlilieuran.

“...sudah kebiasaan adat di kampung itu, kalau ada punya lagi bawa, tuker, nggak jadi utang, kalau ada rizki kami kasih, kalau nggak ada gak apa apa,

(48)

30

kalau main duit main duit terus nggak kebiaya makanya kalau di kampung itu istilah kampung mah lilieuran, gotongroyong...”

Masyarakat desa Tugu akan saling membantu dan bergotongroyong jika kerabat atau tetangga mereka mengadakan hajat, ini dimaksudkan untuk meringankan beban.Hajat menjadi salah satu media bagi setiap anggota masyarakat untuk saling membantu. Dengan keikhlasan, para tetangga dan kerabat datang untuk membantu, bergotong royong.

Seperti yang terlihat ketika salah satu warga Tugu akan mengadakan hajat sunatan, satu minggu sebelum acara sunat, para tetangga telah datang untuk membantu. Tugas bagi kaum laki-laki adalah untuk mendirikan tenda dan panggung, sedangkan para wanita sibuk di dapur untuk memasak dan mempersiapkan makanan.

Tidak ada pembagian tugas yang pasti dalam pembuatan kegiatan gotong royong, dalam hal ini adalah membuat panggung dan tenda. Setiap kerabat dan tetangga membantu melakukan tugas mereka dengan kemampuan mereka masing-masing. Ada yang mencari bahan seperti kayu dan bambu dapat diperoleh dari hutan, membersihkan tempat untuk mendirikan tenda.

Gambar 2.12

Gotong royong membuat panggung dan tenda Sumber : Dokumentasi Tim Peneliti

(49)

31 Bagi kaum wanita, sama halnya dengan laki-laki, tidak ada pembagian kerja yang pasti. Setiap wanita, sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing, ada yang mengupas dan membersihkan bumbu dapur, menyiapkan kayu bakar, mencuci dan menghidangkan makanan untuk laki-laki yang bekerja mendirikan panggung.

2.4.2. Pernikahan dan Sistem Kekerabatan

Seperti halnya sebuah masyarakat, pernikahan menjadi salah satu hal penting dalam terciptanya hubungan antara keluarga satu dengan keluarga lainnya. Dari pernikahan inilah tercipta hubungan yang saling mengikat satu sama lain. Pernikahan menjadi suatu hal yang sakral dalam agama. Begitu pula yang terjadi dalam masyarakat Sunda.

Perkawinan merupakan proses penyatuan dua kelompok yang tak bersaudara atau pengukuhan keanggotaan menjadi satu kelompok endogam bersama. Tetapi di Jawa hanya melibatkan dua keluarga inti yang akan dipersatukan kemudian ditandai dengan lahirnya seorang cucu yang merupakan milik bersama. Dan anggota keluarga besar dari masing masing pihak akan memberikan dukungan yang dapat berupa sumbangan, bantuan dan kesaksian masing masing sesuai dengan hubungan terhadap pengantin (Hildred Geerzt, 1983:58)

Pernikahan di desa Tugu dilegalkan ketika perempuan telah mengalami masa haid, meskipun dia masih sangat muda. Sedangkan untuk laki-laki adalah sudah melewati masa balighatau keluar mani. Pernikahan tidak dianjurkan ketika terdapat hubungan darah, karena ini dianggap melanggar norma agama.

Dalam bukunya yang berjudul Keluarga Jawa, Hildred Geertz menjelaskan bahwa bagi seorang anak perempuan, masa remaja diawali dengan menstruasi pertama sedangkan bagi anak laki-laki adalah dengan upacara khitanan. Khitan biasanya dilakukan ketika anak berumur 8 hingga 14 tahun baik berdasarkan atas bujukan orang

(50)

32

tua ataupun permintaan dari anak itu sendiri yang merasa dirinya sudah dewasa. Khitan juga hanya langkah awal bagi anak laki-laki menuju dewasa.

Pernikahan dapat dilakukan dalam dua tahap yaitu lamaran dan ijab kabul. Tahap pertama, pihak laki-laki akan datang pada pihak keluarga perempuan dengan maksud untuk melamar. Saat melamar pihak laki-laki dan perempuan melakukan negosiasi dan keputusan mengenai mas kawin dan hari baik dilaksanakannya pernikahan. Mas kawin yang diberikan merupakan permintaan dari pihak perempuan. Tidak ada aturan khusus yang menentukan besaran mas kawin. Tahap kedua adalah ijab kabul, yaitu perjanjian antara dua belah pihak untuk membina dan membentuk sebuah keluarga dan menjadi hal yang sakral.

Karena sifatnya yang sakral, pernikahan menjadi hal yang penting untuk mengatur pergaulan. Termasuk pergaulan pada remaja atau pemuda. Oleh karena itu, tingkat pergaulan yang melanggar norma dan nilai pada remaja berbeda jenis kelamin mendapatkan perhatian khusus pada masyarakat, hal ini mengakibatkan banyak terjadi nikah muda.

Pernikahan dengan tingkat umur SMP atau pun lulus SMA sudah menjadi hal yang wajar, dan sudah dianggap mampu untuk membina rumah tangga. Meskipun oleh negara pernikahan dibawah umur tidak dilegalkan. Pernikahan merupakan jalan yang tepat untuk menjaga norma dan nilai agama, serta nama baik keluarga.

Menurut penuturan beberapa informan. Nikah muda menjadi hal yang biasa dan diperbolehkan ketika dua orang saling menyukai.Ketakutan hamil diluar nikah dan berbuat dosa menjadi alasan kuat mengapa jalan pernikahan ini diambil agar keluarga tidak menanggung malu. Pernikahan dilakukan dengan kesepakan antara keluarga dari pihak laki-laki dan perempuan, dan yang terpenting dalam pernikahan adalah saksi dari masing masing pihak dan penghulu yang menikahkan mereka.

(51)

33 Hal ini menimbulkan banyak kendala dalam pencatatan data penduduk negara karena pernikahan yang dilaksanakan tidak tercatat dalam KUA, sehingga kebanyakan dari keluarga yang menikah muda tidak memiliki buku nikah yang dikeluarkan oleh negara. Hal ini juga berdampak pada pengajuan kartu jaminan kesehatan.Kartu Jaminan Kesehanan Nasional (JKN) berupa kartu BPJS tidak bisa diurus bila tidak ada Kartu Keluarga (KK). Bila Pernikahan tidak tercatat di KUA atau pasangan tidak mempunyai buku nikah maka tidak akan bisa mengurus Kartu Keluarga. Hal ini merupakan salah satu kendala terkait akses kepesertaan BPJS yang merupakan program JKN. Jalan nikah muda dipilih sebagai jalan untuk membina rumah tangga agar tidak membebankan orang tua karena biaya pendidikan. Sehingga tidak sedikit dari masyarakat yang putus sekolah dan memilih untuk membina rumah tangga.

2.5. Pengetahuan kesehatan 2.5.1. Konsep sehat dan sakit

Seseorang dikatakan sehat adalah orang yang tidak terganggu jasmani dan rohaninya. Sehat diartikan sebagai keadaan seseorang yang dapat melakukan kegiatan sehari-hari dengan wajar, seperti pergi ke sawah, mengangkat beban yang berat atau melakukan aktifitas lainnya.

Seseorang dikatakan sakit apabila badan terasa panas, pusing dan tidak dapat beraktifitas seperti biasanya. Terdapat dua kategori sakit yang sering disebut oleh masyarakat, yang pertama adalah sakit yang berkaitan dengan badan atau kondisi tubuh.Katagori sakit yang kedua adalah gelo atau gangguan jiwa yang bisa diakibatkan oleh gangguan makhluk halus atau yang sering disebut sebagai jurig.

Respon dari keluarga orang yang menderita sakit terlihat cepat. Ketika anggota keluarga mereka merasakan sakit, maka mereka akan membawa ke bidan atau sesepuh untuk diobati. Semenjak

(52)

34

adanya bidan desa, pemilihan pengobatan ke tenaga kesehatan lebih dulu dilakukan. Jika penyakit tersebut dirasa tidak dapat disembuhkan secara medis maka alternatif selanjutnya adalah dengan pengobatan tradisional melalui dukun.

Penyakit-penyakit yang terasa dibadan biasanyamencari alternatif dengan cara datang ke bidan. Tetapi penyakit gelo yang karena diganggu oleh jurig biasanya masyarakat akan datang pada sesepuh desa yang dapat mengobati penyakit.

2.5.2. Pengobatan tradisional

Layanan kesehatan yang membaik dan informasi yang masuk dengan pesat ke masyarakat membuat masyarakat desa Tugubanyak menaruh perhatian pada pelayanan kesehatan yang ada. Masyarakat menilai dengan adanya bidan desa menjadi mudah untuk memeriksakan diri pada petugas kesehatan. Keadaan ini membuat masyarakat sedikit demi sedkit mulai melirik sistem pengobatan medis dari pada tradisional.

Namun, masyarakat tidak begitu saja meninggalkan pengobatan tradisional. Pengobatan secara tradisional mereka pilih ketika pengobatan medis pada tenaga kesehatan tidak membuahkan hasil. Seperti yang dituturkan oleh salah seorang informanAJyang dipercaya masyarakat sebagai sesepuh yang dapat mengobati penyakit :

“...kadang kadang, ada yang sasap kesini insyaAllah diobatin, kalo harido Allah, alhamdulillah ada yang sehat, ada yang tidak gitu... sakitnya rupa-rupa, kalau bu dokter nggak bisa ka bidan nggak bisa hatenya ada penyakit lain, ditarehaken...”

Salah satu contoh pengobatan yang dilakukan untuk mengobati demam adalah dengan cara menumbuk ketela hingga halus, kemudian diberi garam dan ragi serta sedikit air. AJ yang dipercaya oleh masyarakat dapat menyembuhkan penyakit mengaku

(53)

35 bahwa dia membacakan jampe saat mengobati pasien dan jampe yang paling manjur adalah membaca dua kali kalimat Syahadat.

Pengaruh agama Islam pada masyarakat Sunda memang sangat kental, meskipun mereka masih mempercayai hal gaib yang diwariskan oleh sesepuh mereka, namun mereka masih taat dalam tuntunan agama Islam. Salah satunya adalah dalam hal menyembuhkan penyakit, kalimat Syahadat merupakan kalimat yang dianggap penting dalam doa untuk mengobati berbagai macam penyakit.

“...atu kadang-kadang ditiup, itu penyakitnya bangga atau tidak, itu biasanya penyakit gelo, tapi belum lama, baru sebulan dua bulan, kalu sudah lama nggak bisa, susah... air sama kemenyan, sama doa-doa dina qur’an kalau ketemu ayat sabaraha ayat naon, ulama ulama anu hatena haram ngabakar-bakar menyan, cuman pokokna percaya ka Allah, sifat jalma teu bisa apa-apa, berusaha nu perlu mah...”

Selain itu, penyakit yang dianggap berat adalah penyakit gelo atau sakit jiwa. Menurut AJ, jika penyakit gelo ini masih pada tahap ringan maka penyakit ini dapat disembuhkan. Bagi AJpenyakit

gelodiakibatkan karena gangguan makhluk halus.Dalam melakukan

pengobatan diamengaku membutuhkan satu gelas air putih dan kemenyan.Kemenyan digunakan untuk menghubungkan atau sebagai alat perantara berinteraksi antara AJ dengan makhluk halus yang ada di dalam tubuh orang yang sakit.

“...kalau kemenyan itu sama, cuman kalau kemenyan itu surat,, pesan... kalau urang goib itu menyan hartina... wangi-wangian itu untuk para goib, supaya yang nempel hartina urang itu mulang... ya balik lagi ke kalau ke gunung kalau asal lautan ke lautan itu pendapat abah juga gitu...”

Dalam bukunya yang berjudul Terapi Air Putih, Puspitarani menjelaskan bahwa prof. Hardinsyah seorang pakar gizi dan IPB mengemukakan, mengkonsumsi air dengan suhu yang terlalu panas ataupun terlalu dingin akan membawa dampak yang kurang baik bagi tubuh, karena organ pencernaan di dalam tubuh akan ikut

(54)

36

menyesuaikan pada suhu yang diterima. Sehingga sangat disarankan untuk mengkonsumsi air minum dengan keadaan normal. Puspitarani menjelaskan bahwa air dapat menjadi alat untuk menyalurkan pesan, doa, harapan dan pikiran yang positif. Air akan merespon sejalan dengan perlakuan kami terhadapnya, jika perlakuan kami baik dan positif maka air tersebut juga akan merespon dengan cara yang positif, sehingga dengan metode atau doa dan pikiran yang positif air dapat menjadi media penyembuhan yang baik.(Puspitarani, 2012)

Sama halnya dengan apa yang dijelaskan oleh Puspitarani, masyarakat Tugu menggunakan media air sebagai penyembuh. Dengan doa, pikiran dan hati yang bersih serta selalu ingat dan bersyukur kepada Tuhan, air dianggap mampu menyembuhkan seseorang dari berbagai penyakit. Seperti yang diungkapkan salah seorang informan AB.

“...Iya. Di bawa ka ieu nya ka mantri teu cageur sepertina nya, ceuk itu jadi lain mantrieun ieu mah kudu dibawa ka kolot kampung, kitu nya. Ari ka tanggalna mah Alhamdulillah kitu cageur, sehat... Air putih di ieu di syareatan, saperti kulhu kitu nya tujuh kali sepertina nya, jadi bikeun kanuhalangan nya....”

AB, mengaku berbagai macam penyakit akan dapat disembuhkan dengan air putih. Air putih yang telah dibacakan do’a dari ayat-ayat suci Al Quran seperti surat Al-ikhlas dan Yasin dianggap sebagai media paling baik. AB menambahkan bahwa yang terpenting adalah ridho Tuhan. Tanpa adanya ridho dan ijin dari Tuhan penyakit apapun tidak akan mampu diobati meskipun sudah mencari pengobatan pada tenaga kesehatan.

2.5.3. Pengetahuan Makanan dan Minuman

Seperti masyarakat pada umumnya, masyarakat desa Tugu memiliki dapur yang dibuat pada bagian rumah paling belakang. Disinilah pengolahan makanan dilakukan. Beberapa diantara masyarakat ada yang sudah menggunakan gas elpiji namun dekatnya

(55)

37 hutan dengan masyarakat menjadikan hampir seluruh masyarakat masih menggunakan kayu sebagai bahan bakar utama mereka. Menurut mereka, kayu sangat mudah di dapat di hutan dan kebun yang mereka miliki daripada harus menggunakan bahan bakar lainya seperti minyak dan elpiji. Terlebih lagi mereka tidak perlu mengeluarkan biaya untuk kayu, seperti halnya gas elpiji yang terkadang harganya sering naik. Di dapur rata-rata terdapat lebih dari satu tungku yang berjejer untuk memasak. Kayu yang digunakan sebagai bahan bakar terletak tidak jauh dari tungku.

Dalam mengolah makanan atau memasak, masyarakat telah memiliki kesadaran tentang kebersihan dari masakan. Air yang digunakan untuk memasak mereka ambil dari sumur yang mereka miliki. Air yang digunakan untuk memasak tidak lagi mereka ambil dari sungai yang saat ini masih sering mereka gunakan untuk mandi dan mencuci pakaian. Mereka lebih memilih menggunakan air sumur untuk memasak, minum dan mencuci piring.Sayuran dan ikan asin menjadi menu yang banyak diolah oleh masyarakat. Menurut mereka, bahan sayuran mudah didapat dikebun seperti daun melinjo muda, melinjo, singkong atau bayam. Sedangkan ikan asin, mereka peroleh dari pedagang los bak yang setiap hari selalu menjajakan segala macam lauk-pauk dan bumbu bumbu dapur.

Masyarakat percaya bahwa segala yang diterima merupakan rizki dari Tuhan, begitu pula dengan apa yang akan mereka konsumsi dan segala sesuatunya harus disyukuri. Sebelum memasak nasi menurut salah satu informan, TT, dia menggunakan jampe atau doa agar masakannya menjadi enak dan diberkahi oleh Tuhan Yang Maha Esa.Jampe ini dia peroleh dari orang tuanya.Setiap keluarga memiliki doa atau jampe yang berbeda ketika ingin memasak, namun inti dari doa atau jampe yang digunakan adalah sama yaitu untuk memohon diberi kenikmatan dan keberkahan.

Gambar

Tabel 1.1  Penyebab Kematian Ibu Maternal di Kabupaten
Tabel 1.2 Penyebab Kematian Bayi Usia 0-28 haridi Kab. Pandeglang  Tahun 2013  No  Penyebab  Kematian  Bayi  Jumlah  Persentase (%)  1
Tabel 1.3 Penyebab Kematian Bayi Usia 29 hari-12 Bulan di  Kab. Pandeglang Tahun 2013
Gambar 2.6  Poskesdes Desa Tugu  Sumber : Dokumentasi Tim Peneliti
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan berbasis masyarakat berdiri di atas prinsip dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Dari masyarakat berarti bahwa suatu pendidikan dilakukan

Setelah pengimplementasian pembelajaran melalui pendekatan scientific dalam pembelajaran matematika pada materi trigonometri di kelas X.3 SMA Negeri 10

Kondisi tersebut juga ada yang mengalaminya di antara para santri puteri Pondok Pesantren al-Masyitoh. Ada dua orang yang siklus haidnya tidak tera- tur terjadi setiap bulan.

peningkatan produktivitas karet kering lima kali lebih tinggi dengan menggunakan klon - klon unggul dibandingkan bahan tanaman.. semaian terpilih dan mas a

Pada tahun 2013 angka kematian ibu yang tercatat di Kabupaten Pekalongan berdasarkan laporan dari bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan kabupaten Pekalongan

Kadar TSS dalam air limbah bekas pencucian jeans tergolong sangat tinggi, dengan menggunakan unit koagulasi flokulasi dibantu variasi koagulan, yakni tawas 50

1. Teori proselitisasi ; teori ini akan digunakan dalam menganalisis bagaimana kegiatan penyebaran Islam di Nusantara. Dengan berpatokan pada teori Snouck Hurgronje

5. Faktor atau keadaan pencetus.. Penyebab ke lima adalah ACS yang merupakan akibat sekunder dari kondisi pencetus diluar arteri koroner. Pada pasien ini ada penyebab dapat