• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Rabies merupakan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Rabies merupakan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan II"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Penelitian

Rabies merupakan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan II berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 3238/Kpts/PD.630/9/2009 tentang Penggolongan Jenis-Jenis Hama Penyakit Hewan Karantina, Penggolongan dan Klasifikasi Media Pembawa. Penyakit ini perlu dicegah masuk, tersebar, dan keluarnya dengan menerapkan pelaksanaan tindakan karantina hewan secara optimal (Barantan, 2009).

Rabies menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia, termasuk Indonesia, 25 provinsi dari 34 provinsi dinyatakan endemis rabies dan 9 provinsi lainnya dinyatakan bebas rabies yaitu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua, dan Papua Barat. Jumlah kasus rabies pada manusia rata-rata per tahun di beberapa negara Asia antara lain India 20.000 kasus, China 2.500 kasus, Filipina 200-300 kasus, Vietnam 9.000 kasus, dan Indonesia 131 kasus selama 5 tahun terakhir (Kemenkes, 2016).

Distribusi penyebaran kasus rabies pada manusia (lyssa) di Indonesia dalam rentang waktu tahun 2013–2016 yang tersaji dalam (Gambar 1). Kasus rabies terjadi di 10 Provinsi tertinggi dengan rincian 97 kasus di Sulawesi Utara, 36 kasus di Sumatra Utara, 30 kasus di Kalimantan Barat, 24 kasus di Sumatra Barat, 23 kasus di Maluku, 22 kasus di Bali, 21 kasus di Gorontalo dan Maluku

(2)

2 Utara, 18 kasus di Riau, 17 kasus di Sulawesi Tenggara dan 16 kasus di Bengkulu dan Kalimantan Tengah (Kemenkes, 2016).

Gambar 1. Grafik kasus lyssa per Provinsi di Indonesia tahun 2013-2016 (Subdit Pengendalian Zoonosis – Kemenkes)

Lalu-lintas perdagangan dan kebiasaan masyarakat membawa anjing antar pulau menjadi faktor peyebab yang memicu munculnya kasus rabies di Provinsi yang sebelumnya bebas rabies, seperti di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada September 1997, rabies ditularkan melalui anjing yang dibawa sebuah kapal penangkap ikan dari Pulau Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara (Dibia dan Amintorogo, 1998; Akoso, 2007). Penyebab munculnya rabies di Provinsi Maluku diduga melalui anjing yang dibawa oleh para nelayan dari Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara. Kasus rabies di Provinsi Bali pertama kali dilaporkan terjadi di Semenanjung Bukit, Kabupaten Badung pada November 2008. Penelusuran

(3)

3 kasus gigitan anjing pada manusia yang berakhir dengan kematian dan didiagnosis dugaan rabies terjadi pada tanggal 10 Juni 2008. Mempertimbangkan masa inkubasi rabies pada anjing sekitar 2 bulan, maka diperkirakan anjing menderita rabies dalam masa inkubasi masuk ke Semenanjung Bukit sekitar bulan April 2008, yang kemungkinan diakibatkan oleh kegiatan manusia (Putra, 2009). Hasil analisis genetik dan penelusuran lalu-lintas hewan penular rabies (HPR) membuktikan rabies di Bali disebabkan masuknya virus rabies dari Sulawesi melalui lalu-lintas anjing karena adanya intervensi pelaut (Dibia, 2014).

Tiga jalur penyebaran telah diidentifikasi selama periode penyebaran rabies di Indonesia yaitu gerakan anjing melalui kekuatan militer, perdagangan, dan hewan peliharaan. Proses yang paling mungkin masuknya virus rabies ke pulau bebas dari sebuah pulau yang terinfeksi adalah: (1) seekor anjing terinfeksi rabies dari sebuah pulau yang terinfeksi masuk ke pulau yang masih bebas melalui perahu (nelayan atau umum) kontak dan menginfeksi anjing rentan, (2) anjing bepergian di perahu (nelayan atau umum) dari sebuah pulau bebas ke sebuah pulau yang terinfeksi, kontak anjing yang terinfeksi, menjadi terinfeksi dan kembali ke pulau bebas (Ward dan Jover, 2015).

Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai potensi yang besar untuk melokalisir penyakit rabies yang terjadi pada suatu pulau tertentu dengan memanfaatkan potensi geografis yaitu laut sebagai batas penghalang alami namun demikian rabies di Indonesia cenderung berpotensi terus menyebar. Kondisi tersebut menggambarkan masih lemahnya sistem pengawasan terhadap lalu-lintas HPR yang ada saat ini (Dibia, 2014).

(4)

4 Dampak secara ekonomi apabila rabies masuk ke pulau Papua Barat akan sangat besar karena jarak antara kabupaten satu dengan yang lain begitu jauh, infrastruktur jalan juga masih sangat kurang. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Wera et al. (2012) kerugian ekonomi berkaitan dengan eliminasi HPR yang terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Rp 5,3 milyar dengan rataan realisasi eliminasi 35.000 ekor per tahun. Total biaya untuk vaksinasi dan eliminasi periode 1998-2007 diperkirakan sebesar Rp 122,3 milyar. Total kerugian ekonomi akibat rabies di Propivinsi Nusa Tenggara Timur periode 1998-2007 yaitu sebesar Rp 142 milyar atau Rp 14,2 milyar per tahun.

Kewaspadaan terhadap penyebaran rabies harus tetap di lakukan untuk mempertahankan wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat bebas rabies secara historis. Pengawasan ketat terhadap lalu-lintas anjing dan HPR lainnya merupakan salah satu cara pencegahan masuknya rabies ke Provinsi Papua dan Papua Barat karena sampai saat ini belum ada laporan baik kasus gigitan anjing maupun kematian pada manusia karena rabies di Kota Sorong, Papua Barat. Dalam era otonomi daerah setiap kepala daerah dapat mengeluarkan kebijakan terkait dengan pembatasan lalu-lintas media pembawa penyakit hewan untuk melindungi wilayahnya dari ancaman penyakit yang berbahaya sebagai contoh penyakit flu burung dan rabies. Di Provinsi Papua terdapat Peraturan Daerah Nomor: 4 Tahun 2006 tentang Larangan Pemasukan Anjing, Kucing, Kera, dan Hewan sebangsanya ke wilayah Provinsi Papua dan di Provinsi Papua Barat terdapat Peraturan Gubernur Papua Barat Nomor: 25 Tahun 2015 tentang Larangan Pemasukan Anjing, Kucing, Kera, dan hewan sebangsanya Ke Wilayah Provinsi

(5)

5 Papua Barat, kebijakan di atas terbukti sangat strategis dan efektif untuk menekan pergerakan lalu-lintas anjing dan HPR lainnya dari daerah lain maupun daerah yang sudah tertular rabies masuk ke wilayah Papua dan Papua Barat.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan masalah yaitu: (1) Wabah rabies di Indonesia dalam dua dekade ini cenderung semakin cepat menyebar ke pulau/wilayah lain yang sebelumnya berstatus bebas. Kebiasaan masyarakat membawa anjing antar pulau, dari daerah tertular ke daerah bebas telah terbukti berperan dalam penyebaran penyakit ini, (2) Kota Sorong merupakan daerah terancam yang sangat dekat dengan daerah endemis rabies yaitu pulau Sulawesi, Maluku, dan Maluku Utara. Kota Sorong merupakan pintu gerbang utama menuju daerah Papua lainnya sehingga menjadi daerah yang memiliki faktor risiko tertular rabies yang tinggi. Lalu-lintas barang, alat angkut, dan orang yang sangat tinggi serta masih banyak pintu-pintu pemasukan yang tidak di jaga oleh petugas karantina menjadi risiko masuknya HPR yang berpotensi menyebarkan rabies ke Kota Sorong dan sekitarnya.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan penilaian risiko kualitatif terhadap: (1) kemungkinan masuk dan tersebarnya rabies pada anjing dari daerah endemis rabies ke Kota Sorong, Provinsi Papua Barat, (2) mengidentifikasi jalur potensial yang digunakan dalam lalu-lintas HPR ke Kota Sorong.

(6)

6 Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan: (1) pengetahuan secara ilmiah penilaian risiko kualitatif terhadap masuk dan

tersebarnya rabies pada anjing ke Kota Sorong, Provinsi Papua Barat, (2) mendukung program pemerintah dalam mempertahankan daerah bebas rabies

dan menuju Indonesia bebas rabies tahun 2020, dan (3) teridentifikasinya jalur potensial yang kemungkinan besar sebagai pintu masuknya HPR ke Kota Sorong sehingga penyebaran penyakit dapat diantisipasi sedini mungkin.

Keaslian Penelitian

Penelitian penilaian risiko kualitatif masuk dan tersebarnya rabies pada anjing dari daerah endemis rabies ke Kota Sorong, Provinsi Papua Barat belum pernah dilakukan. Hal ini dibuktikan dengan penelusuran hasil kajian dan penelitian dari para peneliti sebagai berikut: (1) Penilaian risiko secara kuantitatif masuk dan tersebarnya rabies di pulau Lombok dilakukan oleh Mustiana (2013) dengan judul Assessment of the Risk For Rabies Introduction and Establishment In Lombok, Indonesia, hasilnya teridentifikasinya potensi masuknya virus rabies melalui anjing yang dimasukkan dari pulau atau wilayah yang terinfeksi rabies ke Lombok, dengan adanya pergerakan anjing yang terdokumentasi secara ilegal dengan orang-orang yang bepergian dengan feri, dan kemungkinan pelepasan dan pendedahan tidak dapat diabaikan, (2) Dibia (2014) melakukan penelitian Kajian Faktor Risiko Rabies di Bali, penelitian dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang berasosiasi dengan kejadian rabies pada anjing di Bali, dan

(7)

7 menunjukkan hasil bahwa telah terjadi transportasi anjing dari daerah/pulau terluar Indonesia (Kalimantan dan Sulawesi) ke Bali dalam pelayaran tradisional yang dilakukan oleh pelaut/anak buah kapal (ABK), virus rabies yang menyebabkan wabah di Bali berasal dari Sulawesi yang sangat mungkin di bawah oleh nelayan antar pulau, (3) Penilaian besarnya risiko pemasukan virus rabies ke Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau dari Pulau Sumatera secara kualitatif dilakukan oleh Farchani (2015) dengan hasil penilaian risiko dinilai sangat tinggi yaitu risiko pada anjing yang di bawa oleh individu untuk dipelihara sebagai hewan kesayangan dan anjing yang dilalulintaskan oleh komunitas berburu babi hutan, Perkiraan risiko yang sangat tinggi ini, sudah seharusnya membuat pemerintah Provinsi Kepulauan Riau waspada terhadap pemasukan rabies ke wilayahnya, dan Safitri (2015) juga melakukan penelitian penilaian risiko terhadap pemasukan virus rabies melalui anjing untuk konsumsi dari Kabupaten Sukabumi ke DKI Jakarta dan hasilnya memiliki perkiraan risiko sangat tinggi/ekstrim dengan ketidakpastian rendah. Penilaian ini didasarkan pada status Kabupaten Sukabumi yang belum bebas rabies serta masih rendahnya cakupan vaksinasi. Lebih kurang 80% anjing yang dikirim dari Kabupaten Sukabumi ke DKI memiliki status vaksinasi yang tidak jelas (anjing liar/diliarkan dan anjing buru afkir). Penilain dampak menjadi sangat tinggi mengingat DKI Jakarta adalah ibukota negara sekaligus sebagai kota bisnis dan pariwisata, sehingga terjadinya kasus rabies di daerah ini akan memiliki dampak yang signifikan di tingkat nasional.

(8)

8 Persamaan dan perbedaan penelitian tentang penilaian risiko terhadap penyakit rabies di Indonesia tersaji dalam Tabel 1.

Tabel 1. Persamaan dan perbedaan penelitian penilaian risiko rabies

Peneliti/Tahun Judul Persamaan Perbedaan

Ana Mustiana/2013

Assessment of the Risk For Rabies Introduction and Establishment In Lombok, Indonesia - Penilaian Risiko Rabies - Penilaian Kuantitatif - Lokasi di Lombok, NTB I Nyoman Dibia/2014

Kajian Faktor Risiko Rabies di Bali - Penilaian Risiko Rabies - Faktor Risiko yang berasosiasi dengan kejadian rabies - Identifikasi secara phylogenetik - Lokasi di Bali Hanif farchani/2015 Penilaian Risiko Kualitatif Pemasukan

Rabies Dari Pulau Sumatera Ke Provinsi

Kepulauan Riau

- Penilaian Risiko Rabies

- Risiko dari Pulau Sumatera ke Pulau Bintan - Lokasi Kepulauan Riau Vitasari Safitri/2015 Penilaian Kualitatif Pemasukan Virus Rabies Dari Sukabumi Ke DKI Jakarta Melalui Anjing - Penilaian Risiko Rabies - Risiko melalui anjing khususnya untuk konsumsi - Lokasi DKI Jakarta

Gambar

Gambar 1. Grafik kasus  lyssa per Provinsi di Indonesia tahun 2013-2016 (Subdit  Pengendalian Zoonosis – Kemenkes)

Referensi

Dokumen terkait

Keadaan ini menunjukkan bahwa perusahaan berhasil menciptakan nilai (Create value) bagi pemilik modal sehingga menandakan bahwa kinerja keuangannya sehat. b) EVA

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui hubungan antara representasi simbolik, makroskopis dan submikroskopik dengan pemahaman konsep pada mata kuliah

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Ekstrak Etanolik Herba Ciplukan memberi- kan efek sitotoksik dan mampu meng- induksi apoptosis pada sel kanker payudara MCF-7

Pada wilayah berbukit dengan kemiringan >30% tidak dianjurkan untuk kelapa sawit karena akan memerlukan biaya yang besar untuk pengolahannya, sedangkan produksi

Tidak hanya itu penelitian ini juga dilakukan kembali dengan tempat yang berbeda yaitu di unit stroke center rumah sakit Bethesda sehingga diharapkan hasil dari penelitian ini dapat

mentalitas, kokoh sipritualitas, kuat kompetensi, menjadi motivator, dinamisator dan pengerak terdepan dalam perubahan menuju kehidupan yang lebih bermartabat. Pemuda santri

2 Interpretasi Hasil Analisa Data Dari analisa data yang didapatkan pada perhitungan diatas, maka dapat dilakukan pembahasan mengenai pengaruh variasi komposisi dan ukuran partikel