PERBANDINGAN KUALITAS KULIT SAPI WET BLUE DENGAN MASA PENYIMPANAN BERBEDA
Laili Rachmawati*, Tria Novianti dan Maria Sri Wiyanti Program Studi Teknologi Pengolahan Kulit, Politeknik ATK Yogyakarta Politeknik ATK, Jl. Ateka Bangunharjo Sewon Bantul Yogyakarta 55187
*koresponden: [email protected]
ABSTRACT
Raw materials storage is important in the leather tanning industry. The obstacle faced by PT Usaha Loka East Java was the problem of decreasing the quality of hide wet blue with different storage periods, so this study is to examine the difference quality of hide wet blue≤ 12 months and ≥ 24 months of storage. Physical testing was carried out at Balai Besar Kulit Karet dan Plastik (BBKKP) Yogyakarta. The results of testing the quality of hide wet blue with a storage period of ≤12 months included moisture content, tensile strength, area of defect and softness respectively were 34.2 ± 0.47%; 23.73 ± 0.32 N / mm2; 1.7 ± 0.85%; and 3.8 ± 0.37 while the results of tests on the quality of the wet cow leather with a storage period of ≥24 months were 5.8 ± 0.40 , respectively; 19.62 ± 0.28 N / mm2; 3.0 ± 0.57; and 2.2 ± 0.66. The decrease of hide wet blue quality with ≥ 24 months storage period was more than ≤ 12 months (p < 0,05).
Keywords: Hidewet blue, storage, quality.
INTISARI
Penyimpanan raw meterials menjadi hal penting dalam industri penyamakan kulit. Kendala yang dihadapi PT Usaha Loka Jawa Timur adalah masalah penurunan kulitas kulit sapi wet blue dengan masa penyimpanan yang berbeda, sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perbedaan kualitas kulit sapi wet blue dengan masa penyimpanan ≤ 12 bulan dan ≥ 24 bulan. Dilakukan pengujian fisis di Balai Besar Kulit Karet dan Plastik (BBKKP) Yogyakarta. Hasil pegujian terhadap kualitas kulit sapi wet blue dengan masa penyimpanan ≤12 bulan meliputi kadar air, kuat tarik, luasan defek dan softness berturut – turut adalah 34,2 ± 0,47%; 23,73 ± 0,32 N/mm2;1,7 ±
0,85%; dan 3,8 ± 0,37sedangkan hasil uji terhadap kualitas kulit sapi wet blue dengan masa penyimpanan ≥24 bulan berturut – turut adalah 5,8 ± 0,40%; 19,62 ± 0,28 N/mm2; 3,0 ± 0,57; dan
2,2 ± 0,66. Penurunan kualitas kulit sapi wet blue dengan masa penyimpanan ≥24 bulan lebih banyak daripada ≤12 bulan (p < 0,05).
PENGANTAR
Langkah penting dalam melakukan kegiatan produksi adalah terpenuhinya kuantitas dan kualitas bahan baku yang dibutuhkan. Bahan baku pembuatan leather yang paling banyak diperjual belikan di Indonesia adalah jenis kulit wet blue yaitu kulit yang disamak menggunakan krom namun belum dikeringkan dan masih dalam keadaan setengah basah.
Kendala yang dihadapi oleh perusahaan penyamakan kulit PT. Usaha Loka saat ini adalah penumpukan kulit wet blue karena masa tunggu untuk proses pasca tanning. Sebagian besar kulit wet blue yang disimpan menunjukkan indikasi terjadinya penurunan kualitas, sehingga proses pasca tanning menjadi tidak optimal dan menambah beban biaya produksi.
Menurut Purnomo (2010), karakteristik kulit wet blue selain memiliki pH rendah juga bermuatan positif sehingga apabila disimpan dalam kurun waktu yang cukup lama akan mengalami perubahan muatan, perubahan tingkat keasaman, penurunan kekuatan serat dan warna kulit. Wet blue yang mengalami penyimpanan cukup lama juga akan mengalami kondisi kering dan akan kesulitan untuk di proses selanjutnya.
Sejauh mana penurunan kualitas kulit wet blue dengan masa penyimpanan lebih dari 24 bulan sampai saat ini belum dilaporkan. Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji perbandingan kualitas kulit wet blue dengan masa penyimpanan kurang dari atau sama dengan 12 dan lebih dari atau sama dengan 24 bulan, sehingga dapat berguna bagi perusahaan untuk menentukan kebijakan dalam mengelola penyimpanan kulit sapi wet blue.
Tinjauan teori
Kulit wet blue
Tahapan dalam proses penyamakan kulit dapat digolongkan menjadi empat tahapan besar, yaitu: 1) Beam House Operation sebagai pendahulu dalam
proses ini, mencakup proses perendaman, pengapuran, penghilangan kapur, pengikisan protein dan yang terakhir pengawetan secara pengasaman. 2) Proses penyamakan, proses penyamakan inilah yang menjadi proses utama dari semua proses karena proses ini merubah sifat kulit yang tidak stabil menjadi kulit yang stabil terhadap perlakuan-perlakuan tertentu, seperti bakteri, bahan kimia dan perlakuan fisik (gesekan, panas dan dingin). Menurut Purnomo (2016), zat penyamak yang paling banyak digunakan dalam dunia industri penyamakan adalah zat penyamak mineral terutama krom (chrome), sehingga hasil dari proses tersebut disebut kulit wet blue (kulit samak krom). 3) Proses Pasca Tanning, proses ini memegang peran penting dalam industri penyamakan kulit yaitu memberikan karakter, memberikan sifat-sifat kulit melalui proses basah. 4) Proses finishing bertujuan untuk memperindah tampilan kulit dan memperbaiki tampilan kulit (Hermawan et al., 2014).
Kulit wet blue adalah kulit yang disamak menggunakan krom namun belum dikeringkan dan masih dalam keadaan setengah basah, ditunjukan dengan warna biru yang berubah menjadi lebih pucat pada waktu pengeringan, namun ada yang perlu diperhatikan bahwa kulit wet blue akan meningkat keasamannya pada waktu pemerahan (aging) sehingga sangat peka terhadap variasi pH. Kulit wet blue dikelompokkan dalam empat kelas yaitu kualitas I, II, III dan IV. Klasifikasi ini berdasarkan pada banyak sedikitnya kerusakan dan tempat kerusakan (Thorstensen, 1993).Menurut Purnomo (2010), wet blue selain memiliki pH rendah juga bermuatan positif dan apabila disimpan dala kurun waktu yang cukup lama juga akan mengalami perubahan muatan, keasaman, ketahanan serat dan warna kulit. Wet blue yang mengalami penyimpanan cukup lama juga akan mengalami kondisi kering dan perlu dilakukan penanganan kembali.
Penyimpanan
Masa penyimpanan raw materials (wet blue) yang terlalu lama dapat beresiko menyebabkan penurunan kadar air. Apabila kulit wet blue memiliki kadar air < 30%, resiko yang ditimbulkan adalah kulit menjadi kaku dan sulit untuk terbasahkan kembali sehingga akan menghambat penetrasi chemicals pada
saat pasca tanning (Purnomo et al., 2018). Penurunan kadar air kulit wet blue juga beresiko terhadap lepasnya gugus OH- (Kusmaryanti et al., 2016). Pelepasan
gugus OH- menyebabkan gugus Cr3+ dari garam krom tidak berpasangan lagi,
sehingga Cr3+ yang sudah terpenetrasi ke dalam kulit akan mengalami dehidrasi.
Gugus OH- pada kulit wet blue diperoleh dari proses basifying menggunakan basa lemah maupun basa kuat pada saat tanning. Molekul H2O juga ikut berperan
dalam menaikkan basisitas karena penambahan OH- (Covington, 2009).
Menurut Rozalia (2014), kulit wet blue dapat tahan disimpan dalam jangka waktu 1 tahun dengan cara penyimpanan khusus, yaitu dengan menyimpan pada tempat yang terhindar dari sinar matahari langsung, menumpuk grain dengan grain dan flesh dengan flesh, setelah itu menutup tumpukan kulit dengan plastik supaya tidak mengering dan harus selalu dikondisikan dalam keadaan basah.
Penumpukan kulit disesuaikan dengan kualitas kulitnya agar terhindar dari kerusakan. Selama proses penyimpanan, kulit wet blue sangat rentan ditumbuhi jamur dan bakteri yang dapat mempengaruhi perubahan struktur dari kualitas wet blue awal, sehingga perlindungan terhadap kulit sangatlah penting. Perhatian terhadap packaging juga sangat menentukan perlindungan terhadap kulit wet blue, terutama untuk penyimpanan dalam jangka panjang (Widowati dan Sugeng, 2008).
Standar mutu kulit wet blue
Menurut SNI no. 06-3535-1994 mengenai standar mutu kulit sapi wet blue dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini :
Tabel 1. Standart mutu kulit sapi wet blue Kualitas
Kulit Wet Blue
Keterangan
A Luas kerusakan maksimal 5%, kerusakan tidak karena bakteri, kerusakan ringan tidak di bagian yang penting, struktur kulit baik, dipakai untuk full grain.
B Luas kerusakan maksimal 10%, kerusakan boleh dibagian yang sedikit penting, struktur kulit baik, dipakai untuk kulit yang difinish pigment.
C Luas kerusakan maksimal 30%, kerusakan boleh agak berat. Struktur kulit sedang, dipakai untuk kulit corrected grain. D Luas kerusakan maksimal 40%, kerusakan boleh agak berat
tapi tidak tembus daging, strktur kulit sedang, dipakai untuk kulit corrected.
E Luas kerusakan maksimal 50%, kerusakan berat asal tidak merusak kulit (kulit masih bisa dipakai), kerusakan boleh di tempat yang penting, struktur kulit kosong dan tipis.
R Luas kerusakan maksimal >50%, kerusakan kulit sangat berat, kerusakan hampir di seluruh bagian kulit.
Permasalahan
1. Belum diketahui seberapa besar penurunan kualitas kulit sapi wet blue dengan masa simpan ≤ 12 bulan dan ≥ 24 bulan.
2. Belum diketahui perbedaan kualitas kulit sapi wet blue yang disimpan ≤ 12 bulan dengan kulit sapi wet blue yang telah disimpan dalam waktu ≥ 24 bulan.
Tujuan
1. Mengetahui penurunan kualitas kulit sapi wet blue dengan masa penyimpanan ≤ 12 bulandan ≥ 24 bulan.
2. Membandingkan kualitas kulit sapiwet blue baru dengan kulit sapi wet blue yang disimpan ≤ 12 bulan dan ≥ 24 bulan.
MATERI DAN METODE
Materi
Sampel yang digunakan adalah sebanyak 300 side kulit sapi wet blue yang disimpan ≤12 bulan dan 300 side kulit sapi wet blue yang disimpan lebih dari ≥ 24 bulan. Alat yang digunakan dalam penelitian antara lain: softness meter, mesin measuring, hydrometer, tensile strength tester.
Metode
Kulit sapi wet blue dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok A adalah kulit sapi wet blue yang disimpan ≤12 bulan, dan kelompok B adalah kulit sapi wet blue yang telah disimpan ≥ 24 bulan. Dilakukan sortasi dan grading pada kedua kelompok tersebut. Alur pelaksanaan penelitian dapat dilihat paga gambar 1. Setelah itu, dilakukan uji fisis di balai besar kulit, karet dan plastik (BBKKP) Yogyakarta yang meliputi uji sorftness, warna, luasan defek, kadar air, dan kuat tarik.
Gambar 1. Tahapan pelaksanaan penelitian
Ageing Ageing
Penyimpanan (> 12 bulan) Penyimpanan
(≤ 12 bulan)
Pengujian fisis di BBKKP Yogyakarta Hides Wet blueproduksi PT. Usaha Loka
Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan SPSS versi 17.0 untuk windows (IBM, 2009). Analisis yang digunakan adalah analisis compare means (One sample T-Test) untuk membandingkan masing-masing perlakuan (Astuti, 2007).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil
Gambar 2 dan 3 menujukkan perbandingan tampilan fisik antara kulit sapi wet blue yang disimpan ≤ 12 bulan dan kulit sapi wet blue yang disimpan ≥ 24 bulan. Hasil pengujian terhadap kualitas fisis kulit sapi wet bluedengan masa penyimpanan yang berbeda di PT. Usaha Loka disajikan pada tabel 2.
Gambar 2. Hides wet blue ≤ 12 bulan Gambar 3. Hides wet blue≥ 24 bulan
Tabel 2. Kadar formaldehyde terikat dan temperatur kerut ikan pari
Parameter Hides wet blue
(≤ 12 bulan) Hides wet blue (≥ 24 bulan)
Kadar air (%) 34,2 ± 0,47a 5,8 ± 0,40b
Kuat Tarik (N/mm2) 23,73 ± 0,32a 19,62 ± 0,28b
Luasan defek (%) 1,7 ± 0,85a 3,0 ± 0,57b
Softness 2,2 ± 0,66a 3,8 ± 0,37b
Pembahasan
Luasan defek, dan softness diukur menggunakan skala pengukuran. Skala penilaian untuk luasan defek adalah sebagai berikut: nilai 1: luasan defek < 10%; nilai 2: luasan defek 10 – 29%; nilai 3: luasan defek >29 – 50%; nilai 4: luasan defek >50%. Skala penilaian untuk tingkat softness yaitu: nilai 1: lemas +; nilai 2: lemas; nilai 3: kaku; dan nilai 4: kaku+.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kadar air kulit sapi wet blue dengan masa penyimpanan ≤ 12 bulan adalah sebesar 34,2 ± 0,47 %. Kulit wet blue dikatakan memiliki kadar air yang standar apabila berada pada kisaran 30 – 35% (Kasmudjiastuti et al., 2016). Kandungan air yang terkandung dalam kulit wet blue menentukan tingkat kelemasan/ softness. Penyimpanan ≥ 24 bulan menyebabkan terjadinya penurunan nyata tingkat softness menjadi 3,8 ± 0,37 (kaku) karena penurunan kadar air yang signifikan (p < 0,05). Apabila kulit wet blue memiliki kadar air < 30%, resiko yang ditimbulkan adalah kulit menjadi kaku dan sulit untuk terbasahkan kembali sehingga akan menghambat penetrasi chemicals pada saat pasca tanning (Purnomo et al., 2018). Penurunan kadar air kulit wet bluejuga beresiko terhadap lepasnya gugus OH- (Kusmaryanti et al., 2016). Pelepasan gugus OH- menyebabkan gugus Cr3+ dari garam krom tidak berpasangan lagi, sehingga Cr3+ yang sudah terpenetrasi ke dalam kulit akan mengalami dehidrasi. Gugus OH- pada kulit wet blue diperoleh dari proses basifying menggunakan basa lemah maupun basa kuat pada saat tanning. Molekul H2O juga ikut berperan dalam menaikkan basisitas karena penambahan OH
-(Covington, 2009).
Kuat tarik kulit sapi wet blue dengan dua periode penyimpanan yang berbeda menunujukkan perbedaan yang nyata. Kulit sapi wet blue dengan masa penyimpanan ≥ 24 bulan memiliki kuat tarik lebih rendah, hal ini dipengaruhi oleh kadar air dalam kulit wet blue. Semakin rendah kandungan air hingga mencapai kurang dari 30% menyebabkan serat-serat kolagen kulit cenderung mengalami dehidrasi, sehingga kekuatan tariknya akan menurun (Onem et al., 2017). Kekuatan tarik adalah besar gaya tarik maksimal alat untuk menarik kulit sampai
putus (N/cm2). Standar nilai kekuatan tarik kulit jadi (leather) ikan pari minimal
200 N/mm2, sedangkan standar kuat tarik untuk kulit tersamak dan belum
pengalami proses pasca tanning serta finishing adalah dibawah srandar kuat Tarik untuk leather (Sahubawa et al., 2011).
Luasan defek pada kulit sapi wet blue menunjukkan nilai yang meningkat signifikan apabila masa penyimpanan diperpanjang. Penyimpanan ≤ 12 bulan memberikan efek kulit wet blue dengan total defek 10 - 29 %, sedangkan penyimpanan ≥ 24 bulan menunujukkan luasan defek hamper 50 % dari total luas kulit. Penyimpanan menyebabkan resiko terjadi pertumbukan mikroorganisme tidak diingikan yang dapat merusak kulit (Jhon, 1997). Beberapa perusahaan penyamakan menambahkan zat anti pembetukan jamur serta penghambat pertumbuhan bakteri (BASF, 2007).
Penurunan kualitas kulit sapi wet blue selain dipengaruhi oleh faktor penyimpanan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang lain antara lain: 1) over mechanical action ketika proses tanning menyebabkan kerusakan serat kolagen kulit; 2) konsentrasi tinggi memberikan efek penetrasi bahan penyamak chrome yang cepat tetapi kulit beresiko mudah terdehidrasi pada masa penyimpanan yang panjang; 3) over basifying menyebabkan defek endapan chrome; dan 4) penggunaan garam dengan kepekatan tinggi menyebabkan jumlah chrome terikat akan semakin berkurang (Wu et al., 2014).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kualitas kulit sapi wet blue dengan masa penyimpanan ≤ 12 bulan berbeda nyata dengan masa penyimpanan ≥ 24 bulan. Penyimpanan kulit sapi wet blue dengan masa penyimpanan ≥ 24 bulan menunjukkan penurunan kualitas yang meliputi kadar air, kuat tarik, tingkat softness, serta menujukkan penambahan luasan defek.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian terhadap perbandingan kualitas kulit sapi wet blue dengan masa penyimpanan ≤ 12 bulan dan ≥ 24 bulan, maka disarankan sebagai berikut:
1. Penyimpanan kulit sapi wet blue dengan masa penyimpanan ≤ 12 bulan belum signifikan terjadi penurunan kualitas sehingga segera dapat dilanjutkan proses pasca tanning.
2. Penyimpanan kulit sapi wet blue dengan masa penyimpanan ≥ 24 bulan secara signifikan menunjukkan penurunan kualitas, sehingga tidak disarankan untuk melakukan penyimpanan kulit sapi wet blue≥ 24 bulan. 3. Perlu dilakukan perbaikan pengaturan proses kulit sapi wet blue, sehingga
tidak terjadi penyimpanan kulit sapi wet blue≥ 24 bulan.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, M. Pengantar ilmu statistik untuk peternakan dan kesehatan hewan. Binasti Publisher. Bogor. 2007.
BASF. 2007. Pocket book for the leather technology 4ed. BASF Aktiengesellschaft. Ludwigshafen. Germany. 69 – 72.
Covington, T. 2009. Tanning chemistry:the science of leather. The Royal Society of Chemistry Publisher. Cambridge, UK. 223 – 228.
Hermawan, P. 2014. Teknologi pengolahan kulit. Akademi Teknologi Kulit. Yogyakarta.
IBM®, SPSS Statistics Editions, IBM Corporation Software Group, United States of America, 2009.
Jhon,G. 1997. Possible defect in leather production. Europaring 24 D-68623. Lamperthein. 64 – 67.
Onem, E., Yorgancioglu, A., Karavana, H.A., Yilmaz, O., 2017. Comparison of different tanning agents on the stabilization of collagen via differential scanning calorimetry. J. Therm. Anal. Calorim. 129 (1), 615-622.
Purnomo, E. 2010. Teknologi pasca tanning. Akademi Teknologi Kulit.Yogyakarta.
Purnomo, E. 2016. Teknologi penyamakanmineral. Program Studi Teknologi Pengolahan Kulit,Politeknik ATK Yogyakarta. Yogyakarta.
Purnomo, E., S. S. Abdullah, E. Anggriyani, L. Rachmawati. 2018. Teknik pasca tanning kulit kecil. Program Studi Pengolahan Kulit, Politeknik ATK Yogyakarta. Yogyakarta.
Rozalia, C. 2014. Pengendalian bahan baku kulit wet blue Sapi untuk produksi kulit upper. Akademi Teknologi Kulit. Yogyakarta.
Sahubawa, L., A. Pertiwiningrum, A. T. Pamungkas. 2011. Pengaruh kombinasi bahan penyamak formalin dan syntan terhadap kualitas kulit ikan pari tersamak. Majalah Kulit, Karet dan Plastik. 27 (1), 38 – 45.
SNI No. 06-3535. 1994. Standar mutu kulit wet blue. Dinas Perindustrian. Jakarta. Kasmudjiastuti, E., B. Pidhatika, I. W. Pahlawan, dan G. Griyanitasari. 2016. Pengembangan Penyamakan Kulit Ramah Lingkungan (Bebas Khrom) dengan Bahan Penyamak Nabati untuk Kulit Bagian Atas Sepatu (Shoe Upper). Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik. Yogyakarta.
Kusmaryanti, T., R. Ibrahim dan P. H. Riyadi. 2016. Pengaruh perbedaan bahan penyamak terhadap kualitas kulit ikan pari mondol (Himaruta gerrardi) tersamak. Indonesian J. of Fisher Sci. and Tech. 11 (2). 140 – 147. Thorstensen, T. C. 1997. Practical leather technology. Krieger Publishing
Company. Malabar, Florida. 105 – 109.
Wazah, E. Purnomo, dan S. S. Abdullah. 2014. Teknik penyamakan kombinasi. Akademi Teknologi Kulit. Yogyakarta.
Widowati, T. P. dan Sugeng. 2008. Alih teknologi pengawasan mutu kulit dan sortasi kulit wet blue di Padang Panjang Sumatera Selatan. Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik. Yogyakarta.
Wu, C., W. Zhang, X. Liao, Y. Zeng and B. Shi. 2014. Transposition of chrome tanning in leather making. J. American Leather Ass. 196 (6). 176 – 183.