• Tidak ada hasil yang ditemukan

perhiasan Xi Lin berada, Xi Lin adalah suami dari wanita paruh baya itu dan ayah dari si wanita muda.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "perhiasan Xi Lin berada, Xi Lin adalah suami dari wanita paruh baya itu dan ayah dari si wanita muda."

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

Hilang dalam sekejap

Dua orang wanita saling berpegangan tangan, seorang sudah berusia setengah baya sedangkan yang seorang lagi adalah wanita muda. Tangan wanita paruh baya itu bergetar, wanita muda menggenggam erat tangannya, berusaha menenangkan. Di dalam ruangan yang cukup luas itu hanya ada mereka berdua, asisten rumah tangga mereka meminta pulang kampung beberapa hari yang lalu karena kondisi ibu kota sedang mencekam.

Mereka hanya sanggup berdiri terpaku, lidah yang kelu tak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Kegelisahan sedang merajai mereka ketika sayup-sayup terdengar suara televisi, “telah terjadi pembakaran dan penjarahan toko oleh massa." Pemandangan yang disajikan di layar

(2)

perhiasan Xi Lin berada, Xi Lin adalah suami dari wanita paruh baya itu dan ayah dari si wanita muda.

Xiao Tan terus melirik pada jam di dinding. Mei Lin menggigit bibir bawahnya, tatapannya tak lepas dari layar televisi. Xi Lin, ayah Mei Lin belum pulang ke rumah hingga larut malam tiba, tak ada kabar sedikit pun darinya. Sebelum pergi, Xi Lin hanya pamit hendak melihat keadaan toko mereka, setelah mendapat telepon dari A Bun, sang penjaga toko, bahwa telah terjadi kerusuhan. Saat itu, Xiao Tan sudah berusaha mencegah suaminya untuk tidak pergi dari rumah, tapi toko itu adalah peninggalan dari ayah Xi Lin, Xi Lin pun bersikeras untuk pergi menyelamatkan tokonya.

Mei 1998 dimana krisis financial Asia mengakibatkan kerusuhan di beberapa Kota besar di Indonesia khususnya Ibu Kota Jakarta, kemudian dipicu oleh tragedi Trisakti yaitu tertembaknya 4 orang mahasiswa pada demontrasi besar tanggal 12 Mei 1998.

(3)

Telepon berdering. Mei Lin dan Xiao Tan tersentak. Tak biasanya ada yang menelpon pada tengah malam.

Tangan Xiao Tan bergetar ketika meraih gagang telepon. "Halo." Sapa Xiao Tan kepada si penelpon.

Mei Lin memperhatikan raut wajah Ibunya. Kening Xiao Tan berkerut-kerut sembari mendengarkan orang di seberang telepon. Mei Lin merasa ada yang tidak beres. "Ma. Papa bagaimana?" Tanya Mei Lin berbisik.

Xiao Tan meletakkan gagang telepon, ia terduduk lemas, air matanya jatuh tetes demi tetes hingga tak terbendung lagi, mengalir deras membasahi pipi. "Xi Lin. Kenapa kamu tega meninggalkanku secepat ini! Xi Lin!" Xiao Tan berteriak dan meratap.

Mei Lin memeluk Xiao Tan dan menangis sejadi-jadinya. "Papa! Papa!" Berulang kali ia berteriak memanggil papanya.

(4)

tetapi tak bisa menghindar dari massa, mereka berdua diperkirakan tewas dalam peristiwa itu. Pihak rumah sakit memanggil keluarga untuk memudahkan proses identifikasi.

Xiao Tan tak kuasa menahan perih melihat jasad Xi Lin, wajahnya sudah susah untuk dikenali, tetapi Xiao Tan tak mungkin dapat melupakan tubuh Xi Lin, pria yang sudah menemaninya selama 20 tahun. Pada jasad Xi Lin, masih melintang di lehernya kalung berliontin foto mereka sekeluarga dan jam tangan yang biasa dikenakan Xi Lin. Xiao Tan jatuh pingsan di pelukan Mei Lin. Hati Mei Lin tak kalah sakit melihat ayahnya mati dalam kondisi mengenaskan. Ia memeluk tubuh ibunya yang lemah, berteriak meratapi kepergian ayahnya untuk selamanya.

Mei Lin menyaksikan proses kremasi dengan sendu, ia masih tidak percaya ayahnya telah pergi untuk selamanya. Xi Lin adalah ayah terbaik yang ia miliki. Xi Lin tidak pernah memarahi Mei Lin dan selalu memanjakan Mei Lin.

(5)

Duka besar bukan hanya dirasakan oleh Mei Lin dan ibunya, melainkan juga jemaat klenteng. Xi Lin terkenal sangat suka berderma dan ramah, ia menjadi salah satu penyumbang dana terbesar di klentengnya.

"Mei Lin, Xiao Tan Ai." A Cin, salah seorang dari satu perguruan Kong Hu Chu yang sama dengan Mei Lin dan Xiao Tan datang menghampiri mereka. “Aku dapat kabar kalau rumah-rumah di Kapuk sudah kena pembakaran dan penjarahan. Sebaiknya kalian tidak pulang ke sana lagi. Di sana sudah sangat kacau. Banyak anak gadis yang diperkosa, bahkan banyak juga yang terbunuh."

"Mei Lin, bagaimana ini?" Xiao Tan panik.

Hati Mei Lin berdebar, pikirannya kalut, tubuhnya dingin. Papa, apa yang harus kami lakukan. Hanya sisa mama dan Mei Lin. Mei Lin harus bagaimana?

(6)

kontrakan kami saja, kebetulan ada satu rumah yang kosong, tapi tidak sebesar rumah kalian."

Mata Mei Lin berkaca-kaca, masih teringat jelas kata-kata yang pernah Xi Lin sampaikan padanya. “Mei Lin, berbuat baiklah, maka kebaikan akan datang dari penjuru manapun kepadamu.”

“Ko A Cin, xie xie.” Air mata Mei Lin tak terbendung lagi.

Wajah putih A Cin memerah, lalu berkata. "Bu keqi."

Mei Lin memandang ke sekelilingnya. Rumah mini selebar 6 meter yang terbuat dari kayu dengan atap sirap. Mei Lin menguatkan hatinya, selama ini ia selalu dilimpahi kemewahan, ia sungguh tak menyangka kehidupannya berbalik secara drastis dan tiba-tiba. Mei Lin melangkahkan kakinya ke dalam ruangan, hanya ada sofa tamu kecil yang muat untuk 2 orang dan meja bundar, tak jauh dari ruang tamu terlihat meja makan kayu dengan 4 buah kursi, di sisi kirinya ada dapur dan

(7)

kamar mandi, di sebelah kanan ada dua buah pintu kamar yang bersebelahan.

Xiao Tan masuk ke kamarnya terlebih dahulu, ia ingin melepaskan kegundahan hatinya seorang diri. Kepergian Xi Lin adalah pukulan terbesar bagi dirinya. Liontin peninggalan Xi Lin adalah satu-satunya benda yang bisa diandalkannya untuk melepaskan kerinduannya, karena di dalamnya terdapat foto mereka sekeluarga. Xiao Tan memandang kalung berliontin di tangannya itu, air mata menggenang di pelupuk matanya.

Xi Lin, aku ingat ketika pertama kali kau menjemputku di rumah amaku, aku sudah yatim piatu ketika itu, kau bilang pada ama bahwa ama adalah orang terhebat karena berhasil mendidik cucu perempuannya menjadi wanita yang sangat luar biasa. Kemudian kamu meminangku dan hanya bisa memberiku sebuah cincin perak, tetapi kamu bilang akan segera menggantinya dengan cincin emas bermata satu. Tak perlu

(8)

perusahaan multinasional, kemudian membantu membesarkan usaha perhiasan ayahmu, kau sangat ulet. Xi Lin, aku sangat mengandalkanmu, kau suami yang pengertian dan ayah yang baik. Aku masih tidak rela melepaskanmu. Xi Lin!

Xiao Tan meratap dalam hati. Air mata mulai mengalir di pipinya, berusaha ia hapus dengan kedua tangannya.

Mei Lin menyaksikan kesedihan ibunya dari sela pintu kamar. Ia juga rindu pada Xi Lin, ayahnya. Xi Lin selalu memanjakan Mei Lin, apalagi Mei Lin adalah anak semata wayangnya. Xi Lin adalah sosok ayah yang bertanggungjawab. Ketika usia Mei Lin baru menginjak 5 tahun, orang tua Xi Lin memaksa Xi Lin untuk menikah lagi agar bisa mendapatkan keturunan (anak laki-laki), karena Xiao Tan tidak kunjung hamil lagi. Tetapi Xi Lin menolak, ia sangat mencintai Xiao Tan dan Mei Lin, bahkan Xi Lin sempat tidak berhubungan dengan orang tuanya cukup lama sampai ketika usia Mei Lin beranjak 11 tahun, barulah mereka bertemu kembali dan Xi Lin diminta untuk meneruskan usaha keluarga. Orang tua Xi Lin juga menerima dengan baik

(9)

Mei Lin sebagai cucunya dan Xiao Tan sebagai menantunya. Ketika Mei Lin usia 13 tahun kakeknya tersebut meninggal dan usia 15 tahun neneknya pun menyusul.

Ma, aku tak akan meninggalkanmu. Aku tak akan membiarkanmu sendirian. Aku pasti bisa menjaga Mama. Aku tak akan buat Mama sedih dan papa khawatir. Biar papa tenang di sana, aku akan buat Mama bahagia. Mei Lin berjanji di dalam hati.

“Mei Lin.” Hari masih sangat pagi ketika A Cin tiba di rumah kontrakannya untuk mencari Mei Lin.

“Aku mendapat kabar bahwa ada lowongan pekerjaan sebagai pramuniaga di toko pakaian, di ujung jalan dekat lampu merah. Apa kamu mau mencoba?”

Mei Lin tertegun. Ia baru sadar, tentu ia tak akan bisa melanjutkan kuliahnya lagi. Ia baru akan masuk semester 3 kuliah hukum. Sesaat terlintas di ingatannya

(10)

gadis di kampusnya karena kepiawaiannya bermain basket, pria yang sudah hampir 2 bulan tidak memberinya kabar. Ia menepiskan pikirannya tentang pria itu, banyak hal yang lebih penting dari itu pikir Mei Lin.

Lalu Mei Lin teringat akan cita-citanya, ia ingin menjadi seorang notaris. Mei Lin merasa sangat kecewa. Pramuniaga toko? Mei Lin menjadi kecil hati, tetapi memang kenyataan pahit harus ia terima, bahkan untuk menjadi seorang Sarjana Hukum pun tidak kesampaian.

“Mengenai ibumu tenang saja, nanti aku bantu lihatkan ke sini.” A Cin memotong seakan tahu apa yang Mei Lin khawatirkan.

“Toko yang aku rekomendasikan itu juga toko milik Tenglang kok.”

Mei Lin berusaha membesarkan hatinya, ia tak ingin membuat A Cin kecewa. Dengan berat hati Mei Lin mencoba tersenyum. “Xie xie … terima kasih, Ko.”

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur penulis panjatkan kehadiat Allah SWT, karena atas Kasih dan Sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian ini dengan judul

Telah ditegaskan sebelumnya bahwa perabot kantor sekolah merupakan sarana prasarana yang mempunyai fungsi secara tidak langsung dapat digunakan dalam melakukan

[r]

disamping memuat projek-projek jang mendapat priori- tet, djuga menjinggung soal Kebidjaksanaan Negara mengenai sumber-sumber mineral. Hal ini termasuk didalam

remunerasi (mendapatkan imbalan gaji, upah, dsb) di suatu negara, dimana dia bukan merupakan warga negara tersebut dan telah memenuhi syarat untuk dapat bekerja di luar negeri

1) Lahirnya Undang-Undang Hak Tanggungan No 4 tahun 1996 telah memperjelas bahwa parate eksekusi tak perlu lagi melalui pengadilan negeri, tetapi dapat dilakukan

Tujuan makalah ini adalah untuk membuat sebuah sistem yang menerapkan konsep Internet of Things (IoT) dan sistem kendali jaringan (NCS) untuk aplikasi rumah pintar, dengan

Penelitian ini menggunakan variabel terikat yaitu rasio ketersediaan beras, sementara variabel bebas yang digunakan adalah stok beras, luas areal panen padi, produktivitas