REPOSISI PERAN PEREMPUAN DALAM
AKSES DAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI Oleh: Yuli Candrasari, S.Sos, MSi*)
Merebaknya VCD mesum, internet porno ataupun handphone “mesra” yang melibatkan selebritis, pejabat publik, sampai dengan anak-anak sekolah akhir-akhir ini makin kerap terjadi. Intensitasnya sampai pada taraf “mencemaskan” karena tidak semata-mata terjadi di pusat kota-kota besar sebagai sentra perkembangan teknologi, namun telah merambah jauh hingga ke pelosok-pelosok desa.
Sedangkan “sang sutradara” bahkan yang mempublikasikan ---biasanya kaum laki-laki--- jarang menjadi sorotan apalagi sanksi.
Teknologi Kurang Diminati Perempuan
Situs-situs internet yang mengeksploitasi perempuan dan seks meningkat secara cepat dan diakses jutaan orang di seluruh dunia setiap pekannya sehingga bisa dikatakan bahwa terjadi pelecehan dan eksploitasi tubuh perempuan yang terjadi di dunia virtual ini. Lagi-lagi perempuan menjadi korban dan hanya menjadi “pemuas” syahwat para pengakses situs porno yang mayoritas para lelaki.
Sebuah penelitian di Amerika Serikat menyebutkan bahwa karyawan laki-laki menggunakan 62% jam kerja mereka untuk mengakses situs-situs porno. Inilah yang menunjukkan bahwa perempuan rentan menjadi korban dari suatu teknologi (komunikasi)
Sementara itu, remaja putri usia 15-17 tahun hanya sekitar 67% yang menggunakan internet sedangkan remaja laki-laki yang menggunakan internet sebesar 86%. Remaja putri juga cenderung kurang percaya diri terhadap kemampuannya dalam komputer dan menggunakan internet daripada remaja laki-laki. Bahkan remaja putri kemudian menunjukkan kurang tertarik terhadap komputer (Vale & Leder, 2004).
Hal ini menujukkan bahwa minat laki-laki terhadap teknologi komunikasi dan informasi lebih tinggi daripada kaum perempuan. Rendahnya dan tidak adanya percaya diri pada kaum perempuan terhadap teknologi komunikasi dan informasi mengakibatkan pengetahuan dan wawasan tentang teknologi kaum perempuan lebih rendah. Hal ini juga diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Carver (2000) yang menyatakan bahwa rendahnya representasi perempuan dalam bidang teknologi informasi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu rendahnya minat dan motivasi perempuan terhadap teknologi, rendahnya kemampuan perempuan secara matematis, serta kurangnya sosialisasi teknologi terhadap perempuan juga kurangnya percaya diri perempuan atas kemampuannya secara teknis. Akibatnya kaum perempuan lebih sulit untuk menyesuaikan dan mengadopsi teknologi baru.
Teknologi telah merasuki simpul kesenangan dan simbolisasi manusia secara massif. Teknologi telah membuat kehidupan manusia lebih mudah, lebih baik, lebih bahagia, dan lebih smart. Singkatnya bisa dikatakan bahwa teknologi berperan besar sebagai penunjang untuk mencapai kepuasan material.
pemberdayaan perempuan dalam pengetahuan, juga secara sosial dan politik dapat dengan mudah dilakukan.
Pemanfaatan teknologi informasi membuka peluang untuk memperlancar berbagai kegiatan manusia, sekaligus meningkatkan kemampuan SDM yang memanfaatkannya. Namun demikian, masih terdapat gap yang cukup lebar antara laki-laki dan perempuan dalam menggunakan dan mengakses teknologi komunikasi. Pesatnya perkembangan teknologi tersebut pada pihak lain kurang diikuti dengan kesediaan kaum perempuan untuk mengadopsi teknologi baru.
Data penelitian tentang kreator teknologi di Amerika Serikat menyebutkan bahwa dari 4072 responden kaum perempuan hanya 6% yang berperan sebagai kreator sedangkan 94%-nya adalah kaum laki-laki. Studi ini setidaknya menunjukkan bahwa penguasaan perempuan dalam bidang teknologi tertinggal jauh dibandingkan dengan laki-laki.
Hal yang sama terjadi pada bidang pekerjaan (Baron, 2003: 32). Kaum perempuan di Amerika Serikat memiliki kecenderungan selalu berada pada atau memilih posisi sebagai profesional atau manajemen daripada menekuni bidang teknologi komunikasi dan informasi. Data tersebut juga menyebutkan bahwa hanya 25,4% kaum perempuan yang bekerja di posisi teknologi komunikasi dan informasi.
mampu meraih sukses di bidang sains, sedangkan yang perempuan hanya 53%. (Kompas, 16/3/2007).
Hal ini menunjukkan bahwa minat perempuan atau bahkan kesempatan perempuan untuk berada dalam bidang teknologi komunikasi dan informasi masih sangat rendah. Sementara itu di Indonesia sendiri, para orang tua lazim mengarahkan anak perempuannya untuk memilih jurusan yang lebih dikaitkan dengan fungsi domestik, sementara itu anak laki-laki diharapkan berperan dalam menopang ekonomi keluarga sehingga harus lebih banyak memilih keahlian-keahlian ilmu keras, teknologi dan industri (Ernawati, Kalteng Pos 31/5/2007). Hal ini bisa dipertegas lagi dari hasil penelitian terdahulu tentang Gaya Hidup Pembaca Majalah Teknologi menunjukkan bahwa sebagian besar pembacanya adalah kaum laki-laki dengan tingkat pendidikan menengah ke atas (Arianto & Suratnoaji, 2005).
Individu perempuan memiliki minat dan motivasi yang rendah untuk studi dan memiliki karier di bidang keteknikan. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa di negara maju seperti Amerika Serikat kaum perempuan yang berkiprah di bidang teknologi hanya sekitar 25,4% (Raphael, et.al, www.jcmc.indiana.edu /diakses tanggal 28 Mei 2007). Bahkan di Perancis pelajar putri hanya memiliki
putri yang lebih memilih jurusan “perempuan” dan pelajar laki-laki lebih memilih keahlian “ilmu keras”, yaitu teknologi dan industri.
Akibatnya memang terdapat kesenjangan wawasan, pengetahuan dan kemampuan antara kaum laki-laki dan perempuan khususnya dalam bidang teknologi (komunikasi dan informasi). Laki-laki kemudian menjadi berperan besar dalam penciptaan hal-hal yang berkaitan dengan teknologi. Sebuah studi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa dari 4072 responden yang diteliti ternyata hanya 6% perempuan yang menjadi kreator teknologi, 94% nya adalah laki-laki (Baran: 2003: 32). Lebih jauh penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa perempuan yang berusia antara 35-49 tahun hanya 5%, selebihnya (95%) adalah laki-laki yang tahu teknologi, sedangkan perempuan yang berusia di atas 50 tahun hanya 2% yang tahu teknologi.
Faktor Pendidikan
angka rata-rata masuk perempuan. Tingkat SD, perbandingan perempuan dengan laki-laki adalah 49,18% : 50,83%, SMP; 46,34% : 53,56%, SMA; 41,45% : 58,57%, dan Perguruan Tinggi; 33,60% : 66.40%. Untuk tingkat yang lebih tinggi, kesempatan perempuan akan jauh lebih sedikit (www.rahima.or.id/SR/07-03/ diakses tanggal 5 Juni 2007).
Knowledge Gap Theory
Knowledge Gap Theory menjelaskan bahwa kesenjangan pengetahuan dan kemampuan individu dikarenakan adanya kesenjangan tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi. Mereka yang ada di kelas sosial ekonomi menengah atas akan memiliki wawasan dan pengetahuan yang lebih baik daripada masyarakat yang ada pada kelas sosial ekonomi bawah (Baran, 2006: 219). Kesenjangan wawasan dan pengetahuan tersebut dikarenakan masyarakat yang ada pada strata sosial ekonomi menengah atas lebih memiliki kesempatan dalam mengakses dan mendapatkan informasi dari media massa, termasuk internet, daripada masyarakat yang ada pada kelas sosial ekonomi bawah. Artinya bahwa mereka yang memiliki kemampuan lebih baik (dalam hal ini pendidikan dan wawasan) serta ditunjang kemampuan secara ekonomi lebih baik maka akan memiliki pengetahuan lebih baik.
lebih rendah dan terdapat kesejangan pengetahuan tentang teknologi antara perempuan dengan laki-laki.
Lebih jauh teori ini mengungkapkan bahwa sebenarnya media massa, termasuk internet memang ditujukan untuk masyarakat yang ada pada kelas sosial ekonomi menengah atas. Dalam arti bahwa internet akan lebih banyak ditujukan untuk laki-laki daripada perempuan. Mengingat kemampuan dan tingkat pendidikan laki-laki khususnya dalam bidang teknik atau teknologi informasi lebih baik daripada perempuan.
Teori Knowledge Gap ini pun mempertegas kenyataan bahwa masyarakat kalangan ekonomi bawah akan memiliki tingkat pengetahuan yang lebih rendah karena kelompok masyarakat yang mempunyai masalah dengan ekonomi, akses terhadap teknologi informasi sangat kurang, terutama ketika harus berebut dengan kebutuhan sehari-hari. Secara umum, di bidang ekonomi kemampuan perempuan mendapatkan peluang kerja dan berusaha masih rendah, demikian juga akses terhadap sumber daya ekonomi. Hal ini ditunjukkan dengan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan yang rendah, yaitu 45% (2002) dibanding laki-laki 75,34% (BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2002). Sedangkan di 2003 TPAK laki-laki lebih besar dibanding TPAK perempuan yakni 76,12% berbanding 44,81% (BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 2003).
peluang perempuan mengakses teknologi komunikasi menjadi sangat rendah, alih-alih untuk mendapatkan manfaat atau hasil atas kemajuan teknologi komunikasi itu.
Berdasarkan teori tersebut maka bisa dipahami bila perempuan lebih sulit untuk memahami dan mengadopsi teknologi komunikasi dan informasi. Terutama di Indonesia, sebagai negara yang sedang berkembang, maka tingkat pendidikan – sebagai indikator dari kelas sosial – relatif masih lebih rendah dibandingkan dengan negara maju. Hal itu tentu berkaitan juga dengan faktor ekonomi yang lebih rendah dibandingkan dengan negara maju.
.
Faktor Budaya
Munculnya stereotipe terhadap permainan ini ternyata didukung oleh para produsen permainan. Video games yang sekarang bermunculan lebih banyak muncul dengan karakter laki-laki daripada perempuan, sehingga banyak konsumennya pun lebih banyak anak laki-laki. Hal ini sebenarnya secara tidak langsung berdampak pada pilihan anak-anak terhadap mata pelajaran yang lebih disukai. Kenyataannya para guru di tingkat sekolah dasar selalu lebih condong mengarahkan anak laki-laki pada kemampuan matematika atau sains. Bahkan ada anggapan bahwa sains, matematika, dan teknologi adalah dunia laki-laki. Kecenderungan ini akhirnya juga terbawa sampai dengan ketika si anak harus memilih jurusan pada sebuah perguruan tinggi. Mayoritas pemilih jurusan teknik adalah laki-laki sebaliknya jurusan yang non teknik mayoritas akan dipilih oleh perempuan.
Fenomena di atas tidak terlepas dari faktor budaya yang telah terbangun di masyarakat.
Perempuan dan Adopsi Teknologi
Akibatnya kaum perempuan lebih tertinggal pengetahuan dan kemampuannya di bidang teknologi komunikasi dan informasi dibandingkan dengan kaum laki-laki. Meskipun harus diakui bahwa teknologi akan memberikan keuntungan bagi perempuan.
Perempuan lebih tertinggal dalam hal pengetahuan maupun kemampuan tentang teknologi informasi dan komunikasi juga dapat ditelisik dari banyaknya kaum perempuan yang selama ini selalu menggantungkan diri terhadap laki-laki terutama yang berkaitan dengan penggunaan teknologi. Akibat dari ketidaktahuan dan ketidakmampuan kaum perempuan terhadap teknologi menjadikan mereka selalu menjadi “korban teknologi”. Perempuan hanya menjadi alat untuk menarik perhatian. Banyak pelecehan seksual dan ketidakadilan gender bermula dari situ.
ekonomi suatu negara. Bila kaum perempuan mampu menggunakan teknologi dengan baik maka peran perempuan dalam pembangunan khususnya untuk mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik dapat berjalan dengan baik. Perempuan tidak akan menjadi beban pembangunan termasuk diantaranya menjadi “korban teknologi”, termasuk didalamnya ketidakadilan gender; misalnya marginalisasi, subordinasi, stereotipe negatif sekaligus perlakuan diskriminatif.
Perempuan cenderung kurang mengadopsi teknologi dengan baik. Artinya, dalam hal pengembangan teknologi mayoritas perempuan hanya sebagai pengguna pasif bahkan banyak juga perempuan yang resisten terhadap kehadiran teknologi baru meskipun teknologi tersebut memberikan kemudahan dan keuntungan dalam kehidupannya.
masyarakat (nilai dan norma masyarakat); (3) inovasi tersebut tidak kompleks atau rumit; (4) bisa dicoba dengan mudah; (5). Inovasi tersebut mudah untuk dikomunikasikan khususnya mampu membantu memecahkan persoalan yang ada dalam masyarakat penerima.
Teknologi informasi dan komunikasi yang baru akan lebih bisa diterima jika memang menguntungkan pengguna – khususnya kaum perempuan, compatible, dan yang lebih penting pada perempuan adalah bila teknologi tersebut mudah dicoba dalam arti mudah untuk dipelajari. Pada kenyataannya, teknologi informasi dan komunikasi yang mutakhir selalu sedikit rumit dan kompleks. Hal ini tidak bisa dipungkiri karena memang pencipta teknologi tersebut mayoritas adalah laki-laki. Akibatnya yang lebih mudah untuk memahami dan menerima teknologi baru mayoritas adalah laki-laki. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Rogers bahwa sebenarnya sebuah inovasi akan mudah diterima bila inovasi tersebut bisa dikomunikasikan dan disosialisasikan dengan baik.
daripada perempuan (Ernawati dalam Kalteng Pos Online). Sehingga bisa dimengerti bila kerumitan dan kekompleksan teknologi baru lebih mudah dipelajari untuk kemudian diadopsi laki-laki daripada perempuan.
Selain itu juga dikarenakan dalam persepsi perempuan di Indonesia bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan teknologi atau sains adalah dunia laki-laki. Kenyataannya anggapan tersebut telah menjadi steretotipe di masyarakat. Perempuan lebih sulit untuk menerima teknologi baru.
Pada dasarnya proses penyebaran sebuah inovasi terjadi dalam lima tahap yaitu diawali dengan memberikan pengetahuan pada masyarakat, mempersuasi, kemudian masyarakat memutuskan, mengimplementasikan dan mengkonfirmasi (untuk menerima atau menolak) (Sury, W. Daniel, www2.gsu.edu/ diakses pada 1 Juni 2007). Oleh karena itu penting bagi kaum perempuan untuk memiliki pengetahuan yang baik tentang sebuah teknologi baru untuk dapat mengadopsi teknologi baru tersebut.
Sulitnya teknologi baru bagi kaum perempuan dan kurangnya sosialisasi terhadap kaum perempuan mengakibatkan terjadinya kesenjangan kemampuan di bidang teknologi (informasi dan komunikasi) antara kaum laki-laki dan perempuan.
kemampuan perempuan terhadap teknologi informasi dan komunikasi yang terus berkembang.
Tampaknya diperlukan suatu konsep atau model tentang bagaiamana perempuan bisa menerima teknologi baru di tengah maraknya dan pesatnya perkembangan teknologi (baru). Hal ini dimaksudkan agar kaum perempuan tidak selalu ketinggalan dengan kaum laki-laki dalam bidang teknologi sehingga kaum perempuan tidak selalu menjadi korban teknologi dan adanya diskriminasi terhadap perempuan di bidang teknologi.
Menurut Fenomenologi, pada dasarnya hubungan antara teknologi dengan manusia tidaklah tunggal, artinya teknologi itu bersifat multi-interpretatif tergantung pada konteks kultural di mana teknologi itu berada (Amir, Zulfikar, www/duniaesai.com/sosiologi/ diakses tanggal 30 Mei 2007). Pada tingkat praksis, dikatakan bahwa teknologi bisa dibuat lebih ‘manusiawi’ dan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat bila ada nilai-nilai budaya diadopsi dalam konfigurasi teknologi. Artinya bahwa kaum perempuan akan lebih mudah menerima sebuah teknologi bila memang dalam konfigurasi teknologi tersebut terkandung nilai-nilai feminitas. Sebagaimana yang dituliskan oleh Burkman dalam Sury,W. Daniel (www2.gsu.edu/ diakses 1 Juni 2007) bahwa sebuah inovasi akan bisa diterima bila inovasi tersebut mengadung lima hal sebagai berikut:
2. Mengukur persepsi pengadopsi yang potensial
3. Mendesign dan menciptakan produk yang sederhana
4. Menginformasikan inovasi pada pengadosi yang potensial
5. Menyediakan dukungan terhadap pengadopsi setelah menggunakan inovasi.
Tetapi hal tersebut sangat sulit, karena sebagaimana yang telah diungkapkan di atas bahwa sebagian besar ‘kreator’ teknologi adalah kaum laki-laki sehingga konfigurasi teknologi yang muncul pun sesuai dengan karakter atau nilai laki-laki yang dominan di dalamnya.
Namun demikian bagi kaum perempuan tidak perlu menjadi paranoid dan bersikap antiteknologi. Hal ini dikarenakan pada era teknologi komunikasi dan informasi ini jelas manusia tidak akan pernah lepas dari teknologi. Yang dibutuhkan adalah bagaimana agar kaum perempuan memiliki kesadaran diri, minat dan motivasi yang tinggi terhadap keberadaan teknologi baru.
Teknologi Sebagai Penggerak Perubahan
pandangan Instumentalis yang menyatakan bahwa teknologi sebagai faktor penentu dalam perubahan sosial dan simbol kemajuan peradaban manusia. Abbe Mowshowitz menuliskan bahwa teknologi telah memberikan kontribusi yang besar untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dan membuat tumbuhnya kehidupan yang modern (Chandler, Daniel, www.aber.ac.uk/media diakses tanggal 10 Juni 2007).
Oleh karena itu bila perempuan dapat menguasai teknologi komunikasi dan informasi dengan baik, maka proses ketidakadilan gender yang terjadi selama ini bisa diminimalkan. Harus diakui, saat ini memang sudah banyak perempuan yang berkecimpung di bidang teknologi, tetapi masih pada batas sebagai ‘pekerja’ bukan sebagai pemegang peran penting dalam pengambil keputusan.
penelitian yang dilakukan National Geographic Survey pada tahun 2003 (Kennedy,et.al, 2003) bahwa pengguna internet meyakini informasi formal dari internet (seperti layanan berita dan search engines) adalah sebuah kebenaran sebagaimana mereka meyakini berita-berita yang ada di televisi dan koran.
Bila hal ini yang terjadi maka sebenarnya mudah bagi perempuan untuk memberdayakan kaumnya. Dengan memiliki kemampuan yang baik tentang teknologi maka perempuan akan menjadi decision making dalam setiap penciptaan teknologi. Tentu saja hal tersebut harus didukung dengan tingkat pendidikan yang baik dan tingkat ekonomi yang memadai.
Adanya kesenjangan pengadposian teknologi sangat dipengaruhi oleh tingkat ekonomi. Negara yang memiliki perekonomian tinggi maka pengguna internet perempuan lebih banyak daripada negara-negara yang perekonomiannya rendah. Pada awal tahun 2002, rata-rata 40% perempuan di Swedia, Inggris, dan Jerman telah menggunakan internet. Sedangkan pada negara berkembang rata-rata hanya 20 persen an perempuan yang menggunakan internet (Dholakia,et.al, 2003).
Dengan demikian perempuan akan lebih mudah menerima dan memahami teknologi. Untuk itu diperlukan kemauan juga konsistensi oleh kaum perempuan dalam belajar dan menguasai teknologi. Mengingat dengan memiliki kemampuan dan pengetahuan yang baik tentang teknologi maka perempuan dapat mereposisi perannya dalam akses dan pemanfaatan teknologi guna menunjang upaya meningkatkan kualitas hidupnya.
* * *
DAFTAR BACAAN
Arianto, D., Irwan & Suratnoaji, Catur. 2006. Gaya Hidup Pembaca Majalah Teknologi. UPN “Veteran” Jawa Timur.
Baran, J. Stanley. 2006. Introduction to Mass Communication: Media Literacy and Culture. Fourth Edition. Boston: McGraw-Hill
Baron, R. Gerald. 2003. Now is Too Late: Survival in an Era of Instant News. New York: Prentice Hall.
Briggs, Asa & Burke, Peter. 2006. Sejarah Sosial Media: Dari Guttenberg sampai Internet. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Griffin, Em. 2000. A First Look At Communication Theory. Fourth Edition. New Jersey: Mc Graw Hill.
Non Buku:
Amir, Zulfikar. Dalam Membuka Kota Hitam Teknologi. www.duniaesai.com/sosiologi/.
BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat, 1999-2002
BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 2003
Carver, L. Doris. 2000. Representation of Women in The Information Technology Workforce. Paper.
Chandler, Daniel. Technological or Media Determinism. www.aber.ac.uk/media/Documents/tecdet/tdet.
Dholakia, Roy, Dholakia Nikilesh, Kshetri. Gender and Internet Usage. 2003.
Kennedy, Wellman, Klement. Gendering The Digital Divide. IT & Socienty, Volume I, Issue 5. p. 72-96
Raphael, Chad, et.al. 2006. Portrayal of Information an Communication Technology on world wide Web Sites for Girls. Journal of Computer Mediated
Communication, article 4., Vol. 11. Dalam
jcmc.indiana.edu/vol11/issue3/raphael.html
Sury,W. Daniel. 1997. Diffusion Theory and Instructional Technology. Dalam www2.gsu.edu/wwwitr/docs/diffusion
Vale & Leder. 2004. The Gaps in Confidence and Interesting between Females and Males in American University. Journal of American Association of University, article 6. Vol 9.
www.kaltengpos.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=25060